2017-02-15

Ziajung’s Storyline©

Casts: Oh Se Hun | Choi Seo Ah | Kim Jong In

Genre: Romance, Comedy, Drama

Prev: Prolog || Chapter 1 || Chapter 2 || Chapter 3 || Chapter 4 || Chapter 5 || Chapter 6

———————————————–

Chapter 7—Let It Go

Semakin lama, pria ini semakin ahli memainkan kata-kata

***

Semenjak duduk di kursi mobil Se Hun, setelah mengantarkan mobil Bo Mi ke kafenya, Seo Ah yakin ada sesuatu yang aneh. Seo Ah memang meminta Se Hun mencarikannya sebuah rumah sewa murah untuk beberapa hari saja. Suasana hati Seo Ah memang membaik, tapi bukan berarti ia ingin kembali ke rumah. Se Hun menyetujuinya tanpa alasan, membawa mobilnya dengan kecepatan sedang sambil terus mengulaskan senyum tipis. Seo Ah sudah tahu kalau Se Hun pria tidak waras, dan ternyata pria itu masih bisa bertingkah lebih tidak waras seperti ini.

Benar saja, mobil Se Hun berbelok kawasan elit di Gangnam lalu masuk ke parkiran basement apartemen mewah. Seo Ah masih mampu menahan umpatannya ketika menyadari kalau pria ini membawa Seo Ah ke penthouse-nya—lagi. Ia pikir, mungkin saja Se Hun ingin mengambil sesuatu yang tertinggal lalu membantu Seo Ah. Tapi pria itu malah mengajaknya naik, membuat Seo Ah semakin yakin kalau pria ini gila.

“Aku menyuruhmu untuk membantuku mencari kamar hotel murah, bukan menginap di rumahmu!” Seo Ah tidak bisa menahan emosinya lagi ketika Se Hun mengatakan kalau Seo Ah boleh tidur di kamar tamu atau tidur bersama dengannya di kamar pria itu. Bukan hanya gila dan menyebalkan, ternyata pria ini juga mengalami kerusakan di syaraf pendengarannya.

“Di sini juga seperti hotel.” Jawab Se Hun enteng, sambil membuka kancing lengan kemejanya lalu menggulungnya sampai siku.

Seo Ah mengikuti langkah Se Hun ke arah dapur. Seharian ia lelah bekerja—ditambah adegan memalukan di atap kantor tadi—setidaknya Se Hun membantunya kali ini. Ia ingin tidur nyenyak, melupakan segala masalahnya sejenak.

“Tapi ini milikmu!”

“Kau bisa memilikinya kalau kau mau.” Se Hun membuka pintu lemari es dan mengeluarkan dua botol air mineral dari sana.

“Se Hun-ssi!”

Se Hun sudah meminum air miliknya, dan menyerahkan yang satunya pada Seo Ah. “Di sini ada kamar kosong. Lebih baik, kan, daripada menyewa kamar hotel?”

Meski Seo Ah menerima botol air mineral itu, bukan berarti ia menuruti ucapan Se Hun. Setelah meminum setengah isi botol itu, Seo Ah kembali meledak. “Tapi tetap saja! Ah, sudahlah! Aku akan mencarinya sendiri.”

Se Hun dengan cepat menahan tangan Seo Ah. “Kau bilang akan percaya padaku. Aku ingin membantumu, bukankah itu juga salah satu makna berpacaran?”

Seo Ah benar-benar kehabisan kata. Ia hanya menatap Se Hun dengan tatapan tidak percaya dan mulut terbuka. Tidak hanya bersikap aneh, pria itu juga menyinggung masalah ‘pacaran’. Demi apapun, Seo Ah sama sekali tidak ingat kalau Se Hun tidak menyebutkannya barusan. Seingatnya, mereka tidak mempunyai kesepakatan seperti itu. Seo Ah hanya mengatakan kalau ia akan mencoba untuk membuka hatinya, bukan mengganti status seenak perut!

“T-Tunggu. Kau bilang apa?” tanya Seo Ah. Meski ia mendengar jelas ucapan Se Hun tadi, otaknya bekerja sangat lamban.

“Aku ingin membantumu.”

“Bukan, bukan yang itu!” Seo Ah menggelengkan tangan dan kepalanya. “Tentang… berpacaran? Siapa? Aku dan kau?”

Se Hun berkacak pinggang dan menatap Seo Ah dengan datar. “Bukankah sudah jelas? Kita resmi berpacaran hari ini. Atau mungkin harus kuputar ulang semua adegan yang kita lakukan tadi?”

Seo Ah mengangkat kepalan tangannya. Alisnya menyatu sehingga membuat matanya yang turun sedikit lebih besar. Se Hun juga bisa mendengar wanita itu bernafas dengan kasar. Pria itu terkekeh. Sepertinya membuat Choi Seo Ah marah sudah menjadi salah satu kelebihannya.

“Lagipula di sini gratis.” Ucap Se Hun, sambil masih terkekeh.

Seo Ah tidak juga mengubah ekspresinya, membuat Se Hun berinisiatif untuk meraih tangan Seo Ah dan membawanya menuju kamar tamu. Tentu bukan hal yang mudah, karena lagi-lagi wanita itu melakukan penolakan keras yang dibarengi dengan rentetan kalimat protes. Se Hun tidak tahan. Ia pun mendorong baru Seo Ah dengan sedikit kasar, lalu menutupi pintu kamar itu dengan tubuhnya saat Seo Ah berniat ingin keluar dari sana.

“Sekali saja dengarkan aku.” Nada bicara Se Hun antara putus asa, memohon, juga kesal. “Sekarang bersihkan tubuhmu, lalu makan malam. Mengerti?”

“Tapi aku tidak bawa baju ganti!”

Tentu saja, karena Seo Ah sama sekali tidak merencanakan hal ini. Karena awalnya ia pikir Se Hun akan membawanya ke hotel, Seo Ah berniat tidur hanya dengan jubah mandi—atau mungkin telanjang bulat. Ia tidak bisa melakukan itu di sini. Gila saja! Itu sama saja menyerahkan diri di hadapan singa kelaparan. Lebih baik Seo Ah tidak mandi sampai besok pagi daripada membayangkannya.

Se Hun berdecak. “Pakai bajuku.”

“Tapi—“

“Cepat mandi!” kalau tadi Seo Ah yang menatap Se Hun dengan galak, sekarang kebalikannya. Se Hun tidak mengerti, kenapa wanita ini sangat keras kepala. “Aku akan menyiapkan bajumu. Jadi mandi, lalu pergi ke ruang makan.”

Dan Se Hun pun menutup pintu kamar itu dengan sedikit keras.

***

Sehabis mandi, Seo Ah mengintip kamar dari balik pintu kamar mandi. Ia takut kalau Se Hun merencanakan sesuatu. Siapa tahu pria itu ternyata sedang bersembunyi di kamar itu dengan alasan ingin memberinya baju. Atau parahnya lagi, ia sudah menyiapkan obat bius untuk Seo Ah. Mengingat terakhir kali Seo Ah datang ke tempat ini dan berakhir dengan buruk, kemungkinan itu bisa saja terjadi. Se Hun memiliki kejahilan di luar batas normal.

Tapi Seo Ah tidak menemukan sosok apapun selain kamar yang tenang. Ia pun menghela nafas lega lalu keluar dari kamar mandi. Di atas kasur sudah ada sebuah sweater rajut yang terlihat sangat lembut dan hangat, dan sebuah celana training panjang. Seo Ah mengangkat celana itu. Alisnya berkerut melihat kedua pakaian itu, membayangkan akan seperti apa penampilannya. Celana ini jelas kepanjangan di kaki Seo Ah, mengingat tingginya hanya sebatas bahu pria itu. Dan meski Se Hun terlihat kurus, ternyata sweater yang diberikan—atau dipinjamkan—pria itu mampu menenggelamkan setengah badan Seo Ah.

Oke, Seo Ah memang tidak bisa menyalahkan pria itu karena memiliki tubuh kelewat raksasa, dan juga menyalahkan dirinya sendiri karena tidak membawa baju ganti. Tidak punya pilihan lain, Seo Ah pun memakai pakaian itu lalu keluar dari kamar—sesuai perintah Se Hun tadi.

Hidung Seo Ah langsung disambut dengan aroma harum daging panggang. Tanpa sadar, Seo Ah menghirupnya dalam-dalam, menikmati setiap partikel aroma itu masuk ke syaraf penciumannya. Dari baunya saja sudah ketahuan kalau itu daging kualitas super baik yang dicampur dengan beraneka ragam bumbu. Kaki Seo Ah pun mulai melangkah menuju dapur.

Seo Ah sudah sering kali melihat Jeong Min memasak di dapur dengan apron merah milik Jung Ahjumma, tapi ada sesuatu yang beda ketika ia menemukan Se Hun berdiri di belakang kompor dengan kaus lengan panjang berwarna cokelat yang digulung sampai siku, rambut yang segar sehabis mandi, dan asap dari daging yang tengah dipanggang mengelilinginya. Dada Seo Ah seperti dipenuhi sesuatu sampai rasanya sangat sesak. Darahnya berhenti mengalir, membuat kepalanya hanya terisi sosok indah namun maskulin itu.

Se Hun sudah menyadari keberadaan Seo Ah ketika wanita itu memasuki dapur, namun ia tidak menyapanya karena tengah berbicara dengan Jun Myeon melalui earphone bluetooth. Se Hun mengabaikan daging panggangnya, juga suara Jun Myeon yang terus memanggilnya di seberang sana, begitu melihat wajah polos Seo Ah—tanpa make-up apapun—dan baju kebesaran yang membuatnya tampak seperti anak kecil. Rambut cokelatnya yang masih basah seolah mengeluarkan aroma pohon pinus di seluruh ruangan itu, mengalahkan aroma daging panggang yang hampir hangus itu.

Untungnya Se Hun cepat menguasai dirinya dan segera membalik daging itu, bersamaan dengan Jun Myeon yang berteriak di sana.

“YA, OH SE HUN!”

“Ah, iya?”

“Ukurannya apa?”

Ah, Se Hun lupa kalau ia sedang meminta Jun Myeon membelikan baju wanita untuk Seo Ah. Meskipun ia tidak jelas-jelas mengatakannya untuk Seo Ah, tapi itu cukup membuat Jun Myeon terkejut mendengar permintaannya. Se Hun memang playboy, tapi ini pertama kalinya pria itu meminta Jun Myeon membelikan pakaian wanita—mulai dari dalaman sampai mantel.

Mungkin karena mendengar suara Se Hun tadi, Seo Ah pun mulai menguasai dirinya. Ia beranjak dari pintu dapur dan mendekat ke arah Se Hun. Melihat Seo Ah mendekat, itu memberikan Se Hun ide. Ia tidak mau Seo Ah tahu kalau ia sedang meminta Jun Myeon untuk membelikan pakaian, juga tidak ingin menerima banyak permintaan dari Jun Myeon. Se Hun pun mengangkat ponselnya, lalu dengan asal memotret Seo Ah yang sedang berjalan ke arahnya.

“Apa yang kau lakukan?!”

Mengabaikan pekikkan Seo Ah, Se Hun berkata dengan santai kepada Jun Myeon. “Aku sudah mengirimkan gambarnya, Hyeong.” Ia pun memutuskan panggilan.

“Kau memotretku?!” pekik Seo Ah lagi. Ia seolah lupa kalau beberapa detik yang lalu sedang menganggumi sosok Se Hun.

“Kenapa? Apa salah memotret pacar sendiri?”

Tiba-tiba saja kepala Seo Ah berdenyut hebat. Ia mengatur nafasnya pelan-pelan, menetralkan kembali amarah yang hampir memecahkan kepalanya. “Sudah cukup. Aku mengerti.” Ucapnya, mencoba menghentikan Se Hun agar tidak kembali mengoceh. “Kau memasak ini semua?”

Di atas kompor, ada dua potong daging steak yang sedang dipanggang Se Hun. Daging itu tampak menggoda dengan saus yang menempel di atasnya. Di sisi lain konter dapur, ada mashed potato yang siap disajikan bersama steak itu juga tumis sayuran yang ditaburi wijen hitam. Semua tampak menggoda untuk Seo Ah. Dan yang lebih menggoda adalah pria tinggi di hadapannya.

Ah, sial! Pria itu mulai menguasai pikirannya!

Se Hun menanggapi ucapan Seo Ah dengan senyuman lebar. “Kau bangga, kan, punya pacar tampan dan pintar memasak?”

“Cukup dengan kata konyol itu, Oh Se Hun!”

Seo Ah tidak yakin ia tidak muntah sekarang juga kalau Se Hun terus-terusan mengucapkan kata itu. Telinganya masih gatal ketika Se Hun mengucapkannya. Rasanya… seperti mimpi saja, dan Seo Ah berharap tidak pernah menjadi nyata. Ya… meski faktanya dirinya sendiri yang memberi Se Hun lampu hijau. Benar, dia memang bodoh waktu itu. Bisa-bisanya jatuh ke pesona Oh Se Hun.

Se Hun tertawa mendengar respon Seo Ah. Hari ini, ia telah resmi menjadi orang gila. Tersenyum setiap waktu, menggoda wanita ini dengan kata-kata manis menjijikan—padahal sebelumnya ia senang sekali membalas semua ucapan Seo Ah dengan sinis, sampai menertawakan kata-kata yang sama sekali tidak ada lucunya itu.

Selesai menata steak yang sudah siap itu di atas piring saji bersama mashed potato dan tumis sayuran, Se Hun membawa dua piring itu dengan tangannya lalu memberi kode kepada Seo Ah untuk mengikutinya melalui gerakkan kepala.

“Apa?” Seo Ah mengangkat sebelah alisnya, tidak mengerti kenapa Se Hun malah mengajaknya ke arah lain, bukan duduk di meja makan. Tapi meski begitu, Seo Ah tetap mengikuti langkahnya.

Se Hun menggeser pintu yang menghubungkan bagian dalam rumahnya dengan balkon, menggunakan sebelah kakinya. Ia pun tersenyum pada Seo Ah, seolah mengundang wanita itu untuk mendekat. Angin dingin langsung saja menyambut keduanya. Seo Ah hampir membalikkan badannya—merasa setengah jengkel karena Se Hun mengajaknya makan malam di luar padahal udara sangat dingin daripada ruang makannya yang hangat—kalau ia tidak melihat sebuah meja kecil yang sudah ditata sedemikian rupa sehingga tampak indah. Sebotol wine, dengan dua gelas bening, dan alat makan tampak berkilauan di atas alas meja berwarna putih itu dan pantulan cahaya dari gedung-gedung di sekitarnya. Meski tidak ada lilin, setangkai mawar merah di sana, atau alunan musik klasik di sana, entah kenapa semua itu tampak menawan untuk Seo Ah. Tanpa sadar wanita itu pun mendekat.

“Kau menyiapkan semua ini?” meski tidak berhasil menyembunyikan rasa takjubnya, Seo Ah tetap menggunakan kalimat sinisnya.

Se Hun melipat tangannya di dada. “Begitulah.” Jawabnya bangga. Ia merasa sangat berhasil sebagai seorang pria.

“Kau sering melakukan ini pada pacar-pacarmu ya?”

“Mungkin.” Masih tersenyum, Se Hun mengangkat bahunya dan menjawab pertanyaan Seo Ah dengan santai.

Seo Ah mendecih. Oh Se Hun ini memang selalu bisa memainkan emosinya. Sebentar ia membuat Seo Ah merasa seperti wanita paling dipuji, sebentar sudah membuat amarahnya memuncak sampai ubun-ubun. Mengabaikan wajah tampan Se Hun yang seolah puas menggodanya, Seo Ah memilih untuk menarik kursi dan duduk. Semakin cepat ia menghabiskan makanannya, semakin cepat ia melepaskan diri dari Se Hun.

Se Hun lagi-lagi terkekeh. Ia pun duduk di kursi, di depan Seo Ah. Senyuman tidak hilang dari wajahnya ketika melihat Seo Ah yang dengan kesal mengiris steak di piringnya. Wanita ini kelihatannya saja ketus begitu, padahal bisa juga bertingkah imut seperti ini. Se Hun tahu kalau Seo Ah sedang cemburu, tapi bagaimanapun sifat keras kepala wanita itu tidak bisa dipisahkan.

“Tapi…,” Se Hun mengambil piring Seo Ah dan menukarnya dengan piring miliknya, di mana steak itu sudah terpotong kecil-kecil. “Mulai hari ini, aku akan melakukan hal semacam ini hanya kepadamu.”

Tangan Seo Ah, yang masih menggenggam garpu dan pisau, menggantung di udara. Melihat senyum Se Hun, mendengar kata-kata romantis itu, merasakan udara malam dengan aroma steak dan wine, membuat seluruh tubuhnya diselimuti kehangatan. Wajah Seo Ah pun memanas, dan sepertinya sudah memerah. Cepat-cepat wanita itu berdeham agar Se Hun tidak menyadari detak jantungnya yang menggila, dan mulai menyuap dagingnya.

“Jangan menggodaku!” dengan mulut penuh makanan, Seo Ah berkata pada Se Hun. Namun matanya tidak mau menatap Se Hun sama sekali, ia terus mendelik ke arah lain asalkan bukan wajah-tampan-yang-sialnya-semakin-tampan-dengan-rambut-tertiup-angin-itu.

Se Hun meletakkan garpu dan pisaunya, lalu menatap Seo Ah dalam-dalam. “Bukankah kau ingin percaya padaku?”

Kunyahan Seo Ah memelan, seiring dengan bola matanya yang mulai membalas tatapan Se Hun. Tentu ia tidak lupa kata-katanya sendiri. Tapi kalau Se Hun terus mengatakannya, Seo Ah menjadi tidak yakin harus menarik ucapannya atau tidak. Tindakkan pria ini seolah hanya sedang bermain-main dengannya.

“Aku memang ingin tapi… aku tidak bisa kalau kau tidak membuatku ingin mempercayaimu.” Jawab Seo Ah.

“Tenang saja, mulai sekarang apapun yang kulakukan dan kuucapkan adalah bentuk usahaku untuk membuatmu percaya padaku.”

Seo Ah tertawa. Semakin lama, pria ini semakin ahli memainkan kata-kata. Semuanya terdengar hanya seperti gurauan namun terasa manis dan hangat dalam waktu bersamaan. Entah memang begitu, atau mungkin saja Seo Ah sudah terlalu gila untuk membedakan mana yang sungguhan mana yang palsu.

***

Jeong Min terpaksa meminta jatah liburnya ditambah beberapa hari karena keadaan ibunya semakin mengkhawatirkan. Sudah dua hari Seo Ah tidak pulang ke rumah, dan sudah dua hari pula ibunya terlihat seperti mayat hidup. Beliau mengawali hari tanpa gairah, hanya minum secangkir kopi sebelum berangkat ke kantor, lalu pulang lebih awal dan duduk seharian di ruang tamu. Jeong Min tahu ibunya bukan kelelahan—seperti yang selama ini beliau katakan ketika Jeong Min bertanya—tapi ibunya sedang menunggu Seo Ah, berharap anak perempuannya itu pulang ke rumah.

Dan Jeong Min juga yakin, ibunya juga tidak membutuhkan permintaan maaf Seo Ah, karena yang terpenting adalah melihat anaknya itu baik-baik saja dengan mata kepalanya sendiri.

Jeong Min bukannya diam saja selama dua hari ini. Ia sudah mencoba menghubungi Seo Ah setelah pertengkaran lanjutan pagi itu, tapi tidak ada satupun panggilannya atau bahkan pesannya yang dibalas. Menelepon kantornya pun percuma. Jeong Min juga sudah menghubungi Ji Eun dan Bo Mi, tapi dua wanita itu hanya mengatakan Seo Ah memang sempat menghubungi mereka dan setelah itu mereka hilang kontak. Entah itu benar atau tidak. Namun Jeong Min tidak bisa berbuat banyak selain mempercayai mereka dulu.

Malam ini pun seperti malam-malam sebelumnya. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi ibunya tetap duduk di ruang tamu dengan secangkir teh yang sudah kehilangan uapnya. Tidak banyak yang beliau lakukan; hanya duduk, memeriksa beberapa dokumen dan laptopnya, dan sesekali melirik ponselnya berharap satu pesan dari Seo Ah masuk. Jeong Min melihat itu dengan tatapan miris. Ia pun mencoba menghampiri ibunya dengan dua cangkir cokelat panas—untuknya dan ibunya.

“Eomma tidak mengantuk?” tanya Jeong Min. Selama ini ia tidak pernah menyuruh ibunya langsung untuk tidur dan berhenti menunggu Seo Ah, karena ia tahu ibunya tidak akan mendengarkannya. Beliau sama keras kepalanya seperti Seo Ah.

Ibu Jeong Min mengalihkan pandangannya dari dokumen yang ia baca lalu tersenyum tipis pada Jeong Min. “Eomma masih harus memeriksa ini sekali lagi.”

“Eomma kan bisa meneruskannya di kantor nanti.”

“Semakin cepat selesai, semakin baik.”

Seperti dugaan Jeong Min, segala bujuk rayunya tidak akan mempan. Harus diakui, melihat pertengkaran Seo Ah dan ibunya waktu itu, Jeong Min merasa kalau hubungan mereka sedikit aneh. Mereka sama-sama keras kepala, tidak mau mengalah, tapi di satu sisi saling menjaga. Meski ibunya terlihat sangat murka waktu itu, tetap saja beliau menunggu Seo Ah pulang. Perasaan iri itu muncul lagi di hati Jeong Min. Pasti sangat menyenangkan dinantikan kepulangannya oleh seorang ibu—meski Jeong Min pernah merasakannya, tapi tetap saja berbeda.

Jeong Min terbiasa hidup sendiri sejak kecil. Terbiasa tidak dirindukan dan diinginkan. Terbiasa untuk serba bisa melakukan kebutuhannya sendiri. Ketika ia mendapat keluarga baru, tentu itu menjadi kejutan besar untuknya, meskipun keluarga barunya bukanlah keluarga utuh. Tiba-tiba saja Jeong Min dilanda rasa penasaran luar biasa kenapa ibunya menyembunyikan ayah Seo Ah.

“Eomma.”

“Hm?” jawab ibunya tanpa menoleh.

“Bolehkah aku bertanya sesuatu?”

Mendengar kedalaman dalam nada bicara Jeong Min, Min Soo tidak bisa menahan kepalanya untuk tidak menatap mata anak laki-lakinya itu. “Apa?”

“Apa yang terjadi antara eomma dan ayah Seo Ah?” tanya Jeong Min, dan seketika itu pula wajah Min Soo menjadi kaku. “Kenapa eomma tidak ingin Seo Ah bertemu dengan ayahnya?”

Min Soo menelan air liurnya yang terasa berat dan pahit itu. Pertanyaan Jeong Min memang terdengar lebih halus daripada milik Seo Ah waktu itu, tapi tetap saja melukai hatinya. Baginya, itu sama saja seperti mengoyak kembali ketakutannya yang sudah lama ia simpan, dan ia tidak ingin siapapun tahu ketakutan itu. Tapi Min Soo juga sadar, semakin ia menyimpannya, semakin besar kemungkinan orang-orang di sekitarnya akan terluka. Ini dilema besar yang tidak pernah Min Soo bayangkan sebelumnya.

Min Soo pun melepas kacamatanya dan memijit pelan pangkal hidungnya. Haruskah ia menceritakan itu pada Jeong Min? Bahkan sebelum Seo Ah? Ia ingin melakukan itu, tapi… ketakutannya masih sangat besar.

“Aku… aku hanya ingin membuat beban eomma lebih ringan,” ucap Jeong Min. “Aku tidak tahu siapa yang salah; eomma atau Seo Ah, tapi aku yakin kalian hanya ingin saling menjaga, kan? Aku juga tidak tahu kenapa eomma menyembunyikan ayah Seo Ah, atau kenapa Seo Ah harus semarah itu padamu.”

Jeong Min sadar kalau ia sudah terlalu banyak bicara, sampai akhirnya ia mengambil jeda untuk mengamati ekspresi ibunya. Begitu melihat ibunya hanya diam menunduk, menatap kosong meja di depannya, Jeong Min merasa bersalah karena meminta hal itu.

“A-Aku memang tidak ada hubungannya dengan masalah kalian, tapi—sungguh—aku ingin membantu. Tapi kalau eomma tidak—“

“Tidak, Min-a. Ini memang kesalahanku.” Jawab Min Soo. “Ini kesalahanku karena membiarkan ketakutan ini menguasaiku dan melukai Seo Ah.”

[Dua puluh delapan tahun yang lalu.

Musim gugur.

Musim gugur adalah musim terindah di Korea Selatan, di mana dedaunan berubah warna menjadi kemerahan, dan jatuh dengan anggunnya di pedestrian. Pemandangan itu menimbulkan kehangatan sendiri bagi siapapun yang melihatnya. Tapi tidak dengan dua wanita yang duduk saling berhadapan ini. Di dalam kafe dengan aroma kopi memabukkan, di antara orang-orang yang tersenyum dan bercengkrama riang, dua orang itu hanya duduk diam tanpa mengucapkan sepatah katapun sejak lima belas menit yang lalu.

Keduanya terlihat sangat kontras—seperti bulan dan matahari. Satu wanita berpenampilan sederhana dengan kecantikan yang terlihat polos; sedangkan yang satunya sangat anggun, glamour, dan berkilauan. Di sisi lain, wanita berpenampilan sederhana itu duduk dengan punggung yang tegak, seperti ada kayu yang menahannya. Ia tidak berhenti memainkan kesepuluh jari di pangkuannya, menunggu harap-harap cemas apa yang ingin dikatakan perempuan yang terlihat lebih tua darinya itu. Berbeda dengannya, wanita yang menjadi lawannya itu tidak henti-hentinya melempar tatapan menilai untuknya. Dan semakin ia menilai, semakin tidak paham apa yang membuatnya harus kalah dari wanita ini.

“Jadi itu kau?”

Choi Min Soo, si wanita sederhana itu, mengangkat kepalanya. “Apa?”

“Kau wanita yang dicintai Kim Young Kwan-ssi, kan?”

Air muka Min Soo membeku. Ia pun menggenggam erat rok yang dikenakannya dan kembali menundukkan wajah. Harusnya ia menyadari hal ini ketika tiba-tiba seniornya memanggilnya dan mengatakan ada seorang wanita cantik mencarinya. Min Soo tidak pernah bergaul dengan wanita macam itu, karena tujuannya kuliah hanya untuk belajar. Ia terlalu kuno bahkan untuk sebuah pergaulan. Ia hanya berinteraksi secukupnya dengan teman satu kelasnya, dan senior yang ia kenal. Selebihnya, hanya Kim Young Kwan—seniornya saat SMA juga sekarang berada di universitas sama dengannya—pria yang dekat dengannya.

Atau mungkin… ‘dekat’ saja tidak cukup untuk menggambarkan hubungan mereka.

Jo Hye Ryeong mendengus ketika melihat reaksi wanita di depannya. “Kau ini benar-benar menjijikan.” Ucapnya. “Apa aku harus menunjukkan di mana tempatmu seharusnya?”

Jujur, Min Soo ingin membalas semua ucapan sarkastik itu, tapi ia ketakutannya lebih mendominasi. Ia sadar, ia tidak dalam keadaan untuk melawan ucapan wanita ini. Kalau Min Soo benar-benar melakukan itu, bukan hanya kalimat beracun yang diterimanya, mungkin nyawanya dan nyawa kecil di perutnya bisa dicabut paksa.

Karena Min Soo tidak membalas ucapannya, Hye Ryeong semakin senang memojokkan wanita itu. “Jangan menemui Young Kwang-ssi lagi. Dia akan menikah denganku minggu depan.”

“Apa?!”

Hye Ryeong menaikan sudut bibirnya. Ia tidak menyangka reaksi wanita itu sampai begini. “Bukankah sudah kukatakan, kau harus sadar di mana tempatmu seharusnya.” Kata Hye Ryeong sambil dengan santai mengangkat cangkir kopinya. “Young Kwan-ssi… terlalu tinggi untuk wanita rendahan sepertimu.”

Tangan Min Soo semakin erat menggenggam roknya sampai berkerut. Dadanya terasa terbakar, dan dorongan itu semakin besar sampai rasanya kepalanya ingin meledak. Min Soo sekuat mungkin tidak mengeluarkan air matanya, setidaknya tidak di depan wanita ini. Ia tidak mau terlihat lebih menyedihkan.

Seolah belum cukup memojokkan dan menghina Min Soo, wanita itu mengeluarkan satu lembar cek dari tasnya. Ia menggeser lembar bernilai ratusan juta Won itu ke hadapan Min Soo. Mata Min Soo semakin panas, dan seluruh tubuhnya mulai bergetar. Apa lagi sekarang?!

“Pergilah sejauh mungkin tanpa sepengetahuan Young Kwan-ssi, selagi kami memintamu dengan baik-baik.”

Tentu Min Soo mengerti kenapa wanita itu menyebut ‘kami’ daripada dirinya sendiri. Orangtua Kim Young Kwan sama sekali tidak menyukai kehadirannya, meski faktanya hubungan mereka dilakukan sembunyi-sembunyi. Young Kwan adalah pewaris KeyEast Group, yang merupakan keluarga terpandang dan punya koneksi politik dan bisnis yang cukup kuat. Sementara Min Soo hanya wanita dari keluarga biasa yang bodohnya sangat mencintai pria itu sejak kelas satu SMA. Dan—entah ini disebut kesialan atau anugrah Tuhan—perasaannya terbalas.

Min Soo menguatkan tekadnya. Benar. Kalau selama ini Young Kwan berusaha mempertahankan cinta mereka, ia pun harus melakukan hal yang sama. Bukankah itu arti mencintai? Saling menjaga.

“Maaf, aku tidak bisa.”

Seolah sudah menduga jawaban Min Soo, Hye Ryeong tertawa mengejek. “Aku tidak menyangka harga dirimu ternyata tinggi juga.”

“Aku… aku tidak akan meninggalkan Young Kwan seonbae.”

Ekspresi Hye Ryeong mengeras. “Aku tidak sedang bermain-main, Choi Min Soo-ssi.”

Min Soo pun memberanikan diri untuk menatap wajah wanita itu. “Aku pun begitu.”

Hye Ryeong sangat tidak suka kekalahan, ia juga tidak suka dibantah. Mendekatkan wajahnya ke Min Soo, wanita itu pun mendesis dengan rahang mengeras. “Ambil dan pergi. Atau kau dan bayimu tidak akan pernah menghirup udara segar.”

Bersamaan dengan Hye Ryeong yang kembali ke posisi semula, wajah Min Soo pun mendadak pucat pasi. Tidak ada yang tahu tentang kehamilannya, termasuk Young Kwan. Min Soo memang tidak akan memberitahu Young Kwan sebelum keadaan di dalam keluarga pria itu membaik. Tapi ia tidak tahu kalau itu tidak akan terjadi untuknya. Min Soo sama sekali tidak siap dengan skenario seperti ini.

Hye Ryeong tersenyum lebar di balik cangkirnya. Perasaan puas menyelimuti dirinya. Bagi orang sepertinya, sangat mudah menghancurkan semut kecil seperti Choi Min Soo. Bangkit dari duduknya, Hye Ryeong pun menatap Min Soo dari atas dengan tatapan meremehkan. Memang begitulah seharusnya; gadis rendahan harus berada di posisi paling rendah.

“Kalau uang itu tidak cukup, kau bisa menghubungiku. Aku dengan senang hati akan memberikan sebanyak apapun yang kau mau.” Ucap Hye Ryeong sambil merapikan pakaian dan tatanan rambutnya. “Asal kau tahu saja, aku tidak pernah menelan air liurku sendiri.”

Seperginya Hye Ryeong dari hadapannya, Min Soo tidak bisa menahan air matanya. Ia mencintai Young Kwan dan buah cintanya yang baru berumur 4 minggu ini. Ia tidak bisa memilih di antaranya, tapi juga tidak bisa membiarkan mereka terluka. Apa itu artinya Min Soo yang harus berkorban?]

***

Jun Myeon tidak tahu apa yang bisa membuatnya lebih terkejut daripada melihat seorang wanita dengan sweater abu-abu kebesaran sedang memasak di dapur rumah Se Hun. Tidak hanya itu, wanita itu bahkan repot-repot memakai apron milik Se Hun dan mengikat rambutnya tinggi-tinggi. Jun Myeon mengenal wanita itu, itulah yang membuatnya tidak bisa menahan alisnya tidak terangkat tinggi.

Ia pikir, semalam Se Hun hanya bercanda ketika mengiriminya foto Choi Seo Ah dan memintanya membelikan beberapa pakaian. Bos sekaligus temannya itu akhir-akhir ini memang bertingkah aneh. Se Hun tidak pernah lagi datang ke club malam dan bercumbu dengan wanita. Tapi kebiasaan barunya ini—merecoki hidup Choi Seo Ah—terlihat jauh lebih aneh dari sifat playboy-nya. Memang bukan hal yang buruk, jujur saja Jun Myeon akan mendukung Se Hun kalau ia benar-benar serius dengan Choi Seo Ah.

“Seo Ah-ssi, annyeonghaseyo?”

Seo Ah mengangkat kepalanya, lalu mendapati Jun Myeon yang melangkah ringan ke arahnya sambil membawa tiga tas karton merk pakaian wanita ternama. Seo Ah pun menyapa balik pria itu dan kembali sibuk dengan masakannya. Hari ini ia terbangun lebih pagi. Lalu karena tidak tahu apa yang harus dilakukan, Seo Ah mulai bereksperimen dengan bahan makanan di kulkas Se Hun. Yah… anggap saja sebagai balas jasa atas makanan lezat semalam.

“Kau sedang memasak apa?” tanya Jun Myeon sambil melongokkan kepala ke isi panci tanah liat.

“Hanya masakan biasa; sup kimchi, dubujeorim*, dan cumi goreng tepung. Aku tidak tahu apa yang Se Hun suka, jadi kubuat saja sebisaku.” Jawab Seo Ah sambil memasukkan cumi yang sudah terbalut tepung ke dalam wajan berisi minyak panas. Wanita itu sama sekali tidak menyadari kalau senyum aneh muncul di wajah Jun Myeon.

“Pria menyebalkan itu pemakan segalanya, tidak perlu khawatir.”

Masih tidak sadar kalau Jun Myeon sedang menggodanya, Seo Ah malah mengangguk setuju. “Aku juga berpikir begitu.”

Jun Myeon sungguh ingin tertawa keras. Choi Seo Ah ini memang sangat berbeda dari Ji Eun. Dulu memang Ji Eun sering datang ke rumah Se Hun dan memasak seperti ini, tapi wanita itu selalu menjawab dengan nada malu-malu ketika Jun Myeon bertanya. Jun Myeon pun sering bertingkah canggung terhadap wanita itu. Entahlah, ia hanya merasa kalau Ji Eun bukanlah wanita yang bisa didekati dengan mudah.

“Jadi, di mana Se Hun?” tanya Jun Myeon.

“Masih tidur di kamarnya.”

Mengangguk, Jun Myeon pun memutar langkahnya ke kamar Se Hun. Dilihat dari kamarnya yang masih gelap dan posisi tidur Se Hun yang sembarangan, sepertinya mereka tidur bersama. Oke, ini melegakkan namun sedikit mengecewakan. Melegakkan karena Se Hun tidak segila itu untuk mengajak Seo Ah tidur bersama langsung, dan mengecewakan karena Jun Myeon tidak memiiki bahan untuk menggoda Se Hun.

Jun Myeon pun membuka tirai kamar Se Hun lebar-lebar, membuat sinar matahari menerobos masuk dan menerangi seisi kamar. Se Hun sebenarnya bukan tipe orang yang sulit dibangunkan, tapi terkadang pria itu sama menyebalkannya seperti anak kecil. Se Hun pun mulai terusik dengan sinar matahari dan membuka sedikit demi sedikit matanya. Begitu mengenali sosok yang berdiri sambil melipat tangannya di sisi kasurnya, Se Hun hanya berdecak, memutar kepalanya ke arah lain, lalu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

“Bangunlah! Aku ingin bicara padamu.”

“Kalau itu masalah pekerjaan, nanti saja.” Suara serak Se Hun teredam oleh bantal. “Ini hari Minggu, Hyeong.”

“Kau membawa Choi Seo Ah ke rumah? Apa kalian berpacaran?”

Se Hun hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas. Jun Myeon yang mulai jengkel dengan sikap Se Hun, menarik selimut pria itu, sampai Se Hun—yang tengah meringkuk seperti janin di dalam selimutnya—mau tidak mau duduk di kasur dan melemparkan tatapan protes untuk Jun Myeon.

“Hyeong!”

Jun Myeon berdecak. “Apa kau sedang memainkan peran suami pemalas, heh? Ini sudah cukup siang, tapi kau masih bermalasan di kasur sementara Seo Ah sedang membuatkanmu sarapan enak!”

“Apa?”

“Ck! Aku heran, kenapa pria sepertimu selalu mendapat wanita baik, sih?”

“T-Tunggu, Hyeong,” Se Hun turun dari kasur dengan cepat dan berdiri di depan Jun Myeon. “Kau bilang Seo Ah sedang apa? Untukku?”

“Aish… nafasmu….”

“Hyeong!”

“Iya! Seo Ah sedang memasak sarapan—“

Sebelum Jun Myeon menyelesaikan kalimatnya, Se Hun melesat ke luar kamar, meninggalkan pria itu yang hanya bisa membuka mulutnya tidak percaya. Tidak peduli dengan bau mulutnya, atau bahkan sendal rumah yang ditinggalkannya di kamar, Se Hun berlari ke arah dapur. Aroma masakan Korea memenuhi dapurnya, membuat Se Hun tidak bisa menahan sudut-sudut bibirnya untuk terangkat. Sudah lama ia tidak bangun dalam keadaan begini. Bahkan saat Se Hun pulang ke rumah orangtuanya pun sarapan sudah tersaji rapi di atas meja makan tanpa tahu siapa yang membuatnya. Dan ketika Se Hun merasakan kehangatan ini berasal dari rumahnya sendiri, di tambah wanita itu yang melakukannya, Se Hun tidak bisa untuk tidak merasa bahagia.

“Apa ini? Apa kau sedang berlatih menjadi istri yang baik?”

Seo Ah cukup terkejut dengan kehadiran Se Hun yang tiba-tiba, tapi setelah mendengar ucapan pria itu, Seo Ah hanya mendecih.

Se Hun menatap meja makannya yang sudah penuh dengan makanan. “Aku suka semua makanan ini. Kau memang pengertian, Sayang.”

“Mau mati ya?!”

Se Hun tertawa keras, lalu menarik kursi. Ia baru akan mengambil sumpitnya ketika Seo Ah sudah terlebih dulu mengambil mangkuk nasi Se Hun.

“Cuci wajahmu dulu!” suruh Seo Ah.

Harus Seo Ah akui, meski wajah Se Hun terlihat kacau karena baru bangun tidur, tapi kadar ketampanan pria itu sama sekali tidak berkurang. Malah semakin menggoda. Kalau saja Seo Ah tidak melihat sisa air liur di sudut bibir Se Hun, ia pasti akan membiarkan pria itu menghabiskan sarapannya saat itu juga.

Se Hun terkekeh sendiri sambil menyugar rambutnya ke belakang. Ia pun menuruti Seo Ah tanpa banyak bicara, untuk menghemat waktu. Sementara Se Hun masuk kembali ke kamarnya, Jun Myeon masuk ke dapur. Seo Ah pun menawarkan sarapan juga untuk Jun Myeon dan langsung disambut pria itu dengan senang hati. Se Hun muncul lima menit setelahnya dengan wajah yang lebih segar, meski tidak mau repot-repot mengganti bajunya terlebih dulu.

“Aku tidak menyangka kau bisa melakukan hal semacam ini.” Komentar Se Hun setelah mencicipi sup kimchi buatan Seo Ah.

Seo Ah memutar bola matanya. “Memangnya aku tidak terlihat seperti bisa melakukannya?”

Se Hun mengangkat bahunya. “Begitulah.” Jawabnya. “Bahkan Jun Myeon hyeong juga berpikir begitu, kan?”

Jun Myeon, yang namanya tiba-tiba dibawa, tersedak kuah sup kimchi-nya. Ia pun melempar tatapan membunuh pada Se Hun, dan hanya direspon tawa Se Hun. Berbeda dengan Se Hun, Seo Ah mengerutkan dahinya menatap Se Hun. Ada yang aneh dengan pria ini. Tidak hanya semakin bawel, kejahilan pria ini juga sudah mencapai level ‘menjengkelkan’. Seo Ah bahkan tidak tahu sampai kapan dirinya bisa bertahan untuk tidak menusukan sumpitnya ke mata Se Hun.

Mencoba menghiraukan Se Hun yang bertingkah aneh pagi ini, Jun Myeon mengalihkan pandangannya ke Seo Ah. “Kau menginap di sini semalam?”

“Ah, iya, begitulah,” jawab Seo Ah sedikit canggung. Tiba-tiba saja ia merasa konyol sendiri. Ia bisa saja keluar dari rumah itu dari tadi, tapi dengan bodohnya malah membuatkan si pemilik rumah sarapan lengkap—ditambah sekarang mereka makan bersama.

“Dia sedang ada masalah di rumahnya, jadi aku menawarkan bantuan,” Se Hun pun melanjutkan jawaban Seo Ah, ia khawatir Jun Myeon akan menanyakan hal yang akan membuat Seo Ah tidak nyaman.

“Tapi… sebenarnya bukan bantuan sih,” nada bicara Se Hun tiba-tiba berubah, ia melemparkan tatapan menggoda pada Seo Ah. “Bukankah sudah kewajiban seorang pria melindungi wanitanya?”

Kali ini Seo Ah dan Jun Myeon tersedak bersamaan. Benar, otak Oh Se Hun memang bermasalah pagi ini, dan masalahnya benar-benar kompleks. Mereka tahu Se Hun adalah perayu ulung, tapi kata-kata yang baru diucapkannya benar-benar menjijikan. Jun Myeon tidak tahu harus menyalahkan siapa di sini; Choi Seo Ah—yang secara tidak langsung penyebab semua ini, atau sifat asli Se Hun yang suka memanjakan wanita yang ia sukai. Seo Ah sendiri juga merasa harus meninjau ulang pilihan hidupnya. Apakah pilihannya untuk mempercayai Se Hun adalah benar?

“Direktur, Anda baik-baik saja?” tanya Jun Myeon, menggunakan kalimat formal, bermaksud untuk mengejek Se Hun sekaligus mengantisipasi jika Se Hun benar-benar gila.

“Seo Ah-ya, apa yang akan kau lakukan hari ini?” Mengabaikan pertanyaan Jun Myeon dan raut aneh dua orang itu, Se Hun malah bertanya dengan senyum lebar kepada Seo Ah.

“Eh?”

“Ada yang ingin kaulakukan hari ini?” tanya Se Hun lagi, begitu melihat wajah bingung Seo Ah.

“Entahlah. Mungkin hanya di rumah. Atau… mencari tempat tinggal baru.”

“Tidak, tidak, tidak,” Se Hun menggelengkan kepalanya. Ia pun meletakkan alat makannya dan menatap Seo Ah serius. “Pilihannya hanya dua; tetap tinggal di sini atau pulang ke rumahmu—tidak boleh ke tempat yang lain.”

Seo Ah mendecih. “Apa urusanmu?”

“Se Hun-a, kurasa kau sudah berlebihan.” Jun Myeon menambahkan. Rasanya ia harus menelepon psikiater begitu selesai sarapan.

“Hyeong, aku hanya ingin memastikan pacarku dalam keadaan aman—“

“BERHENTI MENGATAKAN KATA MENJIJIKAN ITU, SIALAN!”

Se Hun dan Jun Myeon tidak bisa tidak terkejut mendengar teriakan Seo Ah. Wanita itu bahkan sampai menggebrak meja di depannya. Baru kali ini Jun Myeon mendengar seorang wanita berteriak seperti itu kepada Se Hun, bahkan sampai menyebutnya ‘sialan’. Pria itu pun masih berusaha mencerna keadaan, ketika suara tawa Se Hun mengisi kesunyian itu.

Dia gila! Dia gila! Jun Myeon berteriak dalam hati. Mungkin bagi Jun Myeon, tawa Se Hun menggambarkan betapa kacaunya otak pria itu dibuat Choi Seo Ah. Tapi bagi Se Hun, mendengar teriakan Seo Ah dengan umpatan khasnya, dan wajah memerah wanita itu karena menahan emosinya adalah hiburan tersendiri. Seo Ah tampak menggemaskan. Umpatan itu dianggap Se Hun sebagai sebutan sayang Seo Ah untuknya. Oleh karena itu Se Hun tidak bisa menahan rasa senangnya hanya dalam hati. Wanita itu benar-benar hebat.

“Baiklah, kita pergi berkencan hari ini!” kata Se Hun, sambil menghapus setitik air mata di ujung matanya. “Kurasa kau memang butuh liburan.”

***

Seo Ah pikir, awalnya mereka akan berkencan di bioskop atau paling tidak berjalan-jalan di Myeong-dong sambil mencicipi segala food street. Meski kemungkinan Se Hun membawanya makan di restoran mewah sangat besar, Seo Ah tidak berharap hari itu karena pria ini sedang dalam keadaan tidak waras. Namun ternyata tingkat kewarasan Se Hun jauh lebih mengenaskan daripada yang Seo Ah bayangkan. Tidak puas membuat kejutan untuk Seo Ah di rumah tadi, pria itu pun membawa mobilnya ke arah Gapyeong.

Dan sekarang mereka di sini. Di kaki menara setinggi 55 meter, di pinggir danau yang dikelilingi pegunungan hijau. Seo Ah tidak akan mempermasalahkan hal ini kalau saja cuaca sedikit lebih hangat, dan tidak mendengar teriakan mengerikan dari orang-orang yang sukarela—bahkan sampai membayar mahal—hanya untuk melompat dari ketinggian itu.

Bungee jumping.

Melihat menara itu saja sudah membuat Seo Ah mual.

Se Hun, yang berada di sebelah Seo Ah, menghirup udara segar dalam-dalam seolah dingin yang menusuk ini sama sekali tidak ada. “Bagaimana? Kau suka?”

Untuk bagian tempat dan pemandangan yang Seo Ah nikmati selama perjalanan, Seo Ah sangat tersanjung. Tapi tidak dengan teriakan-teriakan itu. Apalagi membayangkan dirinya jatuh dari sana.

“Apa yang akan kita lakukan?” meski sedikit yakin kalau Se Hun berniat membunuhnya di sini, Seo Ah tetap bertanya.

“Tentu saja bungee jumping.” Jawab Se Hun dengan wajah kelewat antusias. Tidak tahu kalau Seo Ah sudah siap melemparnya ke danau, mata Se Hun malah berbinar-binar menatap menara tinggi yang disinari sinar matahari itu.

“Aku baru tahu kalau gaya berkencanmu sangat aneh.”

Se Hun menoleh. “Aku hanya melakukan ini padamu. Biasanya kami hanya menonton film dan makan di restoran, atau pergi ke gedung pertunjukkan atau galeri.”

“Aku biasa ke sini kalau sedang ingin menghilangkan stres. Pemandangan yang indah dan bisa berteriak sepuasnya benar-benar ampuh untukku. Ah, bagaimana kalau kita datang lagi saat musim semi nanti? Pemandangannya akan jauh lebih indah.”

Rasa kesal ketika mendengar Se Hun menceritakan pengalaman berkencannya dengan wanita lain langsung terhapus begitu Seo Ah melihat senyum hangat dari Se Hun. Mata pria itu seolah mengatakan kalau tempat ini adalah tempat spesial untuknya. Tidak perlu menunggu sampai musim semi untuk melihat pemandangan yang jauh lebih indah dari ini, karena Seo Ah sudah melihatnya di dalam senyum Se Hun. Hah… Seo Ah benci menjadi seperti ini—menjadi tidak berdaya di hadapan seorang pria menyebalkan. Tapi bagaimanapun ia tidak bisa menghindari perasaan senang itu.

“Kau mau kan?”

“Hah? Apa?” Seo Ah mengerjap cepat, melihat wajah Se Hun sudah ada di depan wajahnya. Wanita itu terlalu sibuk dengan pikirannya sampai tidak sadar kalau Se Hun sudah bertanya padanya berkali-kali sampai akhirnya pria itu tidak tahan untuk mendekatkan wajahnya ke wajah Seo Ah.

Masih dalam posisi yang sama, Se Hun mengulang ucapannya. “Naik ke sana bersamaku.”

Mata Seo Ah melirik dramatis ke arah menara tinggi itu, lalu mengikuti gerakkan seseorang yang baru menjatuhkan diri dari sana. Teriakan orang itu teringiang di kepalanya bagai mars kematian yang membuat seluruh tubuhnya bergidik ngeri. Hilang sudah perasaan hangat yang sempat ia rasakan. Seo Ah pun kembali mengalihkan pandangan ke Se Hun, berharap belas kasihan pria itu sekaligus mengutuknya.

“Bisakah… aku menunggu di sini saja?”

Se Hun menggeleng. “Tidak. Aku sudah mengajakmu, itu berarti kau juga harus naik.”

“Kau pasti sangat membenciku, kan?”

Seo Ah berpikir kalau ucapan Se Hun waktu itu adalah sungguhan—pria itu benar-benar membencinya sampai ingin membunuhnya. Maka dari itu Se Hun tidak pernah melepaskannya sejak saat itu, terus mengikuti Seo Ah seperti lintah, dan bertindak seperti psikopat gila. Seo Ah menelan air liur yang seperti bongkahan batu di kerongkongannya. Hari ini, riwayat hidup Choi Seo Ah akan berakhir.

Berbeda dengan Seo Ah, Se Hun malah berpikir kalau Seo Ah sedang mempertanyakan keseriusan perasaannya. Silahkan sebut Se Hun bodoh karena masih percaya dengan ucapan Seo Ah malam itu. Se Hun pun tersenyum lebar, berusaha semakin menyakinkan Seo Ah kalau ia serius dengan perasaannya. Ia ingin Seo Ah percaya, baik dalam hubungan ini maupun saat melompat nanti.

“Tentu saja aku sangat membencimu.” Jawab Se Hun.

Air muka Seo Ah semakin membeku. “Kau benar-benar ingin membunuhku, kan?”

Kata-kata itu terdengar seperti ‘kau akan melindungiku,kan?’ di telinga Se Hun. Ah, wanita zaman sekarang memang kreatif. Mengubah kata-kata romantis itu agar terdengar lebih menantang untuk para pria. Tapi Se Hun, yang sudah tahu rahasia itu (karena Seo Ah yang mengatakannya), lagi-lagi tersenyum dan mengangguk mantap.

“Benar. Kau percaya saja padaku.”

GILA! Bagaimana mungkin Seo Ah bisa mempercayai pria yang ingin membunuhnya?! Mulut Seo Ah hanya bisa buka-tutup seperti ikan kekurangan air, tanpa ada satu pun kata yang keluar. Kaki Seo Ah juga mulai lemas. Ia sama sekali tidak berdaya saat Se Hun menarik tangannya ke arah pintu masuk menara itu. Nyawanya sudah terlanjur hilang setengah. Seo Ah hanya mengikuti perintah Se Hun dan instruktur di sana saat diminta untuk menimbang berat badan atau saat dipasangkan tali pengaman di tubuhnya. Ia juga tidak sadar kalau Se Hun tidak berhenti tersenyum seperti orang bodoh sambil terus menggenggam tangannya. Sampai akhirnya mereka sampai di puncak teratas menara setelah menaiki lift selama satu menit, Seo Ah seperti mendapat tamparan keras dari angin dingin yang menyapanya dan langsung sadar.

Seo Ah memekik keras dan memeluk lengan Se Hun erat-erat. Ini neraka! Seo Ah membayangkan akan seperti apa bentuk tubuhnya kalau ia benar-benar jatuh dari ketinggian 55 meter. Pandangannya langsung berkunang-kunang ketika melihat hamparan danau biru di bawahnya. Oh, bahkan Seo Ah belum menyelesaikan urusannya dengan ibunya, ia tidak rela kalau harus mati konyol di sini, apalagi bersama Oh Se Hun.

Seorang instruktur pria menyuruh Seo Ah dan Se Hun agar lebih ke tepi. Se Hun menyadari ketakutan Seo Ah, oleh sebab itu ia menggenggam tangan Seo Ah lebih erat dan menuntun wanita itu untuk mengikutinya. Tapi Seo Ah menganggap semua itu sebagai suatu yang mengerikan. Di kepalanya sudah membayangkan adega Se Hun mendorongnya ke dalam danau yang dingin itu, lalu jasadnya baru ditemukan seminggu kemudian.

“Apa kalian siap?” tanya istruktur itu.

Seo Ah akhirnya sadar kalau ia dan Se Hun sudah dalam posisi berpelukan, disatukan dalam sebuah tali dan kait pengaman. Tidak hanya itu, tangan Se Hun pun dengan pas melingkar di pinggang Seo Ah. Awalnya Seo Ah pikir dirinya akan terjun sendiri, tapi melihat posisi mereka seperti ini… Seo Ah merasa sedikit lebih tenang—paling tidak ia tidak akan mati sendiri.

Satu tangan Se Hun menangkup pipi Seo Ah, membuat pandangan wanita itu beralih dari permukaan danau yang tenang ke wajahnya. Tanpa mengucapkan apapun, tatapan pria itu seolah mengirimkan kata-kata menenangkan yang membuat hati Seo Ah menghangat. Debaran ketakutan yang tadi menguasai Seo Ah, digantikan menjadi debaran panas karena tatapan Se Hun. Tanpa sadar, Seo Ah menggenggam mantel Se Hun erat-erat, berusaha mencari perlindungan dari pria itu. Dan tentu Seo Ah mendapatkannya. Karena hanya dengan senyuman tipis itu, Seo Ah yakin kalau mereka akan baik-baik saja.

Lagi-lagi Seo Ah percaya padanya.

“Saya akan menghintung mundur, dan kalian bisa melompat.”

Seo Ah tidak bisa mendengar apapun selain debar jantungnya sendiri. Tubuhnya semakin merapat dengan tubuh Se Hun, memeluk pria itu dengan erat, dan membiarkan pipinya bersandar nyaman di dada Se Hun.

“Lima, empat, tiga, dua, satu!”

Dengan satu lompatan kecl, Se Hun membawa Seo Ah melompat bersamanya. Teriakan mereka bersatu bersama udara dingin yang terasa hangat. Rasa percaya membuat Seo Ah lebih berani. Seo Ah tidak perlu mengevaluasi ulang pilihan hidupnya, karena mulai sekarang ia yakin untuk terus mempercayai Se Hun.

***

Ini sudah setengah jam lebih sejak adegan ‘menyambut kematian’ dari puncak menara setinggi 55 meter, tapi seluruh tubuh Seo Ah masih gemetaran. Begitu turun tadi, Seo Ah benar-benar tidak bisa berdiri tegak. Semua tulangnya seperti dilepas paksa dari tubuhnya, Se Hun bahkan sampai harus menggendong wanita itu sampai ke tepi danau sambil tertawa keras. Ya, melihat Seo Ah tidak berdaya seperti ini sangat menyenangkan untuk Se Hun. Sepertinya ia harus sering-sering membawa Seo Ah ke tempat semacam ini agar mulut wanita itu berhenti mengeluarkan kalimat sinis padanya.

Sekarang mereka sedang duduk di sebuah restoran yang menyediakan menu Kkalbitang*. Restoran itu tidak berada jauh dari lokasi bungee jumping sehingga mereka masih bisa melihat orang-orang gila yang jatuh dari ketinggian. Itu juga yang menjadi alasan kenapa Seo Ah masih belum bisa menghilangkan traumanya. Kalau ia tidak melihat Se Hun yang sedang menerawainya, Seo Ah pasti lebih memilih pingsan di sana daripada menyeret kakinya ke restoran ini.

“Kenapa tidak dimakan?” tanya Se Hun, melihat Seo Ah tidak juga mengangkat sendoknya.

Bagaimana mau makan, kalau tanganku saja masih gemetaran! Seo Ah melemparkan delikan sinis pada Se Hun. Kalau ia mengucapkan kata itu keras-keras, sudah pasti Se Hun akan menggodanya habis-habisan.

“Kau mau kusuapi?”

“Kau benar-benar sesuatu, Oh Se Hun.” Seo Ah pun mengambil sendoknya dan mulai makan.

Se Hun terkekeh sendiri. Hari ini lebih dari sekadar menyenangkan—ini sangat fantastis! Diawali dengan sarapan bersama wanita ini—dengan menu rumahan yang dimasak sendiri oleh Seo Ah, perjalanan penuh obrolan dan canda (sebenarnya itu adalah pertengkaran konyol yang sering mereka lakukan), lalu berpelukan dan berteriak bersama seolah mereka memang ditakdirkan begitu. Kapan lagi Se Hun bisa memeluk Seo Ah seperti itu, apalagi melihat wajahnya yang ketakutan setengah mati. Ternyata hanya mulut Seo Ah yang pedas, di dalamnya dia hanyalah wanita biasa yang takut dengan hal semacam itu.

“Seo Ah-ya.”

“Hm?”

“Maaf kalau kencan ini tidak seperti yang kau harapkan.”

Seo Ah mengangkat pandangannya, dan mendapati Se Hun sedang menatapnya lurus-lurus. Tidak ada senyuman konyol di wajahnya, yang ada hanya senyum tipis penuh permintaan maaf. Sekali lagi Se Hun berhasil mengendalikan Seo Ah. Rasa kesal karena Se Hun tidak berhenti menggodanya, atau ketakutan yang Seo Ah rasakan karena bungee jumping sialan itu hilang tidak berbekas bersamaan dengan helaan nafas panjang Seo Ah.

Se Hun kemudian melanjutkan dengan ekspresi yang sama. “Tapi aku ingin melakukan hal yang ingin kulakukan bersamamu. Karena kau berbeda.”

“Haruskah aku berterima kasih?” itu bukan ejekkan, tapi Seo Ah benar-benar tidak tahu harus menjawab apa.

Se Hun terkekeh. “Bukankah kau seharusnya menyumpahiku?”

Seo Ah mendecih, tapi dua detik kemudian ikut terkekeh. Perasaan keduanya pun meringan. Seo Ah menikmati makan siangnya dengan lebih tenang, begitu juga dengan Se Hun. Sampai sebuah panggilan masuk ke ponselnya, membuat ekpresi Seo Ah kembali mendingin.

“Tidak diangkat?” tanya Se Hun, melihat Seo Ah yang hanya menatap layar ponselnya dengan ekspresi kaku.

Seolah baru dibangunkan dari tidur panjang, Seo Ah mengerjap kaget dan menolak panggilan itu. Ia pun mematikan ponselnya, membuat Se Hun menaikan sebelah alisnya.

“Hanya panggilan iseng. Biarkan saja.”

Se Hun sedang tidak ingin berdebat dengan wanita itu, jadi ia hanya mengangguk dan kembali menikmati makan siang. Meski begitu, perasaan mengganjal itu tetap dirasakannya. Melihat wajah Seo Ah yang menggelap, pasti ada sesuatu dengan panggilan itu.

Seo Ah sadar kalau Se Hun tidak puas dengan jawabannya, maka ia pun menyuruh Se Hun menghabiskan makannya dengan cepat agar ia bisa berjalan-jalan lagi. Seo Ah juga beralasan kalau ini memang kencan, mereka harusmengunjungi—setidaknya—satu tempat indah. Oke, danau itu memang indah, tapi bungee jumping itu merusak segalanya.

Keluar dari restoran itu, mereka berjalan ke arena parkir dan menaiki mobil Se Hun. Tempat yang akan mereka kunjungi adalah Petite France yang berjarak sepuluh menit dari tempat terkutuk itu. Seo Ah yang memaksa. Seo Ah sering melihat tempat itu di drama-drama. Asal tahu saja, 27 tahun hidup di Korea, ia sama sekali belum mengunjungi tempat itu. Hidup Seo Ah termasuk monoton dan membosankan. Saat liburan pun Kim Seol Hyun sialan itu tidak pernah tidak membuatnya sibuk.

Pedestrian dengan bata merah, bangunan simetris warna-warni, dan ornamen-ornamen unik sangat memanjakan mata Seo Ah. Mulut wanita itu tidak berhenti berdecak kagum. Kalau saja Seo Ah tidak melihat orang-orang Korea di sekitarnya, sudah pasti ia akan mengira kalau ia sudah melewati dimensi lain. Sulit mendeskripsikannya dengan kata-kata, yang pasti Seo Ah sangat senang berada di sini.

Se Hun, yang berjalan pelan di belakang Seo Ah, sama sekali tidak menaruh minat pada tempat ini. Tidak ada yang spesial, hanya bangunan warna-warni dan… orang-orang yang berkencan sambil bergandengan tangan. Se Hun pun melirik tangan Seo Ah yang menggantung bebas di sisi tubuh wanita itu. Haruskah ia menggandeng tangan Seo Ah?

Se Hun melangkah dengan langkah lebar sampai menyamai langkah kecil Seo Ah. Wanita itu masih sibuk menganggumi tempat ini, sama sekali tidak mempedulikan kehadiran Se Hun. Se Hun mendecih. Bahkan para wanita yang berpapasan dengannya—mulai dari siswi SMA sampai nenek-nenek—tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Se Hun. Tapi Choi Seo Ah dengan kurang ajarnya malah memilih bangunan-bangunan itu daripada dirinya—yang jauh lebih indah. Wanita ini memang luar biasa!

Pandangan mata Se Hun turun ke tangan Seo Ah. Tangan itu bebas, dan udara di sini juga sedikit dingin, jadi tidak salah kan kalau Se Hun berpikir untuk menggenggam tangan Seo Ah? Lagipula suasana di sini sangat mendukung. Se Hun pun mulai mendekatkan jari-jarinya ke tangan Seo Ah, mencoba untuk meraih ujung tangan wanita itu. Se Hun menelan air liurnya sendiri. Sial! Kenapa dia berubah menjadi konyol begini?! Ia hanya akan menggenggam tangan Seo Ah, kenapa harus berdebar begini?! Dia bukan lagi anak SD yang takut menggenggam tangan gadis yang disukainya.

Satu gerakkan lagi Se Hun bisa menggenggam tangan Seo Ah. Namun sebelum itu terjadi, Seo Ah sudah membalikkan badannya sehingga tangan Se Hun ditepisnya tanpa sengaja. Se Hun pun mengepalkan tangannya dan dengan cepat memasukkannya ke saku mantel. Tadi itu hampir saja!

“Se Hun-ssi, tolong fotokan di sana!”

Se Hun melihat arah yang ditunjuk Seo Ah. Pria itu tidak punya pilihan lain selain menuruti kemauannya. Seo Ah berlari kecil terlebih dulu, berdiri di sebuah jendela kayu besar dengan desain unik. Se Hun melangkahkan kakinya dengan malas, namun kemudian ia hanya berdiri saja melihat Seo Ah yang sudah berpose di sana.

“Mana ponselmu?” tanya Se Hun setengah kesal.

Seo Ah menurunkan tangannya sambil menyeringai malu. Ia pun mengambil ponselnya dan menyerahkan pada Se Hun. Tidak hanya sampai sana Seo Ah membuat Se Hun kesal. Ponsel itu dalam keadaan mati, sehingga Se Hun harus menyalakannya terlebih dulu dan membutuhkan waktu lagi. Bahkan ketika Se Hun siap memotret Seo Ah pun, ponsel itu sama menyebalkannya dengan si pemilik. Lima pesan masuk sekaligus, membuat Se Hun menyerah dan memilih untuk menyerahkannya kepada Seo Ah.

“Ya, banyak pesan masuk!”

Seo Ah mengibaskan tangannya. “Biarkan saja. Ayo foto aku!”

Se Hun berdecak. Ia pun memeriksa ponsel wanita itu tanpa persetujuannya, memeriksa isi pesan-pesan itu agar bisa membacakan keras-keras untuk Seo Ah. Asal tahu saja, Se Hun sudah sangat jengkel sekarang. Gara-gara wanita itu—secara tidak sengaja—menolak bergandengan tangan dengannya, Se Hun merasa kencan ini sangat konyol.

“Ini dari ‘Min-a’. Katanya ibumu….” mata Se Hun membulat membaca isi pesan itu. Perlahan, ia pun mengalihkan pandangannya ke arah Seo Ah. Ekspresi pria itu membuat Seo Ah penasaran. Entahlah, Se Hun terlihat takut, kaku, gemetar—sulit untuk dijelaskan hanya dengan melihat. Oleh sebab itu Seo Ah mendekat.

“Kenapa kau membacanya?!” Seo Ah langsung merebut ponsel itu dari tangan Se Hun. Dan sebelum Seo Ah membaca lima pesan yang masuk dari Jeong Min, Se Hun sudah mengatakannya terlebih dulu.

“Ibumu kecelakaan, dan beliau sedang kritis di rumah sakit.”

***

Seo Ah tidak senaif itu melupakan pertengkaran dengan ibunya waktu itu, tapi ia tidak bisa berpikir jernih saat melihat rentetan kalimat dari Jeong Min yang masuk ke ponselnya. Wajahnya langsung pucat, dan tanpa mengucapkan apapun ia meninggalkan tempat itu dengan wajah kosong. Se Hun tentu tidak bisa membiarkan Seo Ah seperti itu. Tanpa banyak bicara, Se Hun menarik tangan Seo Ah dan membawanya naik ke dalam mobil, berangkat menuju rumah sakit tempat ibu Seo Ah dirawat.

Sampai di rumah sakit, Seo Ah tampak linglung dan berjalan tanpa arah, mencari keberadaan ibunya. Se Hun menghela nafas panjang, lalu kembali menggenggam tangan Seo Ah. Ia ingin membuat Seo Ah tenang sekaligus agar tidak kehilangan wanita itu. Dengan tenang, Se Hun bertanya di meja informasi, sambil masih menggenggam Seo Ah. Begitu mendapat informasi tentang keberadaan ibu Seo Ah, Se Hun pun membawa wanita itu bersamanya menuju ruang operasi.

Di deretann kursi yang berada di depan pintu ruang operasi, Jeong Min duduk dengan kepala tertunduk. Dilihat dari pakaiannya, sepertinya pria itu tidak ada dinas hari ini. Tapi bukan itu yang menjadi pusat perhatian Seo Ah. Sosok Jeong Min yang terlihat putus asa itu membuat lutut Seo Ah semakin lemas. Untung saja Se Hun masih memeganginya, jadi ia tidak sampai jatuh ke lantai.

Jeong Min melihat kehadiran Seo Ah. Pria itu masih marah, tetapi ia sudah tidak punya tenaga untuk melakukan itu. Jadi ia hanya bisa menghela nafas panjang dan kembali membuang pandangan ke lantai. Itu membuat Seo Ah semakin hancur. Dengan langkah diseret, Seo Ah menghampiri Jeong Min dan duduk di sebelahnya.

“Kenapa….”

“Kecelakaan mobil.”

“Bagaimana….”

“Masih diselidiki polisi. Kemungkinan besar karena ibu mengantuk, sudah tiga hari ia tidak bisa tidur nyenyak.” Jawab Jeong Min, setengah menyindir Seo Ah.

Seo Ah tidak menjawab meski sadar Jeong Min tengah menghakiminya. Tangannya saling bertaut di pangkuannya. Ia hampir melupakan kehadiran Se Hun kalau saja ia tidak merasakan kursi di sebelahnya terisi. Pria itu berubah menjadi manusia paling diam sekarang. Entah Seo Ah harus bersyukur atau merasa bersalah karena membuat Se Hun menjadi seperti ini.

Dua jam keheningan menyelimuti mereka, sampai lampu tanda operasi berjalan mati dan pintu ruangan operasi terbuka. Jeong Min dan Seo Ah bangkit bersamaan, menghampiri seorang dokter yang keluar dari sana.

“Bagaimana keadaan ibu saya, Dokter?” tanya Jeong Min panik.

Dokter itu tersenyum tipis. “Operasinya berjalan lancar, organ vital pasien juga stabil. Kita akan menunggu sampai pasien sadar untuk pemeriksaan selanjutnya.”

Kaki Seo Ah kembali lemas mendengar tuturan sang dokter. Untungnya Jeong Min cepat menangkapnya dan dibantu Se Hun yang ternyata sudah berdiri di belakang wanita itu. Seo Ah tidak tahu harus mengucapkan apa, ia benar-benar merasa bersyukur dan berterima kasih. Air matanya tidak bisa terbendung lagi.

“Terima kasih, Dokter. Terima kasih….” ucap Seo Ah dengan suara yang teredam tangannya sendiri. Ia menangis keras sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Jeong Min juga mengucapkan terima kasih dengan nada haru, meski tidak separah Seo Ah. “Terima kasih, Dokter.”

Dokter itu menepuk bahu Jeong Min sebelum meninggalkan tempat itu.

***

Langkah Se Hun melambat ketika melihat Jeong Min berdiri di depan pintu kamar ibunya yang dirawat. Sebenarnya tidak ada yang aneh, hanya saja Se Hun merasa Jeong Min memang sedang menunggunya. Tadi ia keluar sebentar untuk menerima panggilan dari kantor, lalu berinisiatif membeli kopi hangat untuk Seo Ah dan Jeong Min. Ibu mereka belum juga sadar dan itu membuat wajah lelah kedua saudara itu semakin jelas.

Se Hun menyerahkan segelas kopi kepada Jeong Min setelah sampai di samping pria itu. “Minumlah, ini akan membuatmu lebih tenang.”

“Kau… apa hubunganmu dengan Seo Ah?” tanya Jeong Min, sambil menerima kopi itu.

“Menurutmu bagaimana?” itu bukan kalimat sarkastik, tapi Se Hun benar-benar ingin mengetahui bagaimana Jeong Min melihat hubungan mereka.

Jeong Min melirik Se Hun dengan ujung matanya. Ia pun menyesap kopi itu. “Apa Seo Ah bersamamu selama ini?”

Se Hun tidak langsung menjawab. Otaknya masih mencerna pertanyaan Jeong Min. Pria itu bertanya dengan nada datar, membuat Se Hun menebak apa maksud yang ingin Jeong Min sampaikan—apakah mencurigainya karena membawa kabur Seo Ah, atau memang hanya penasaran dan mengkhawatirkan Seo Ah.

“Kau tahu, Seo Ah baru saja berpisah dengan kekasihnya yang dulu,” karena Se Hun tidak juga menjawab, Jeong Min kembali berucap. “Dan keluarga kami juga sedang mempunyai masalah serius. Aku tidak akan diam kalau kau malah membuatnya tambah terluka.”

“Aku ingin melindunginya.”

Jeong Min, yang sedaritadi hanya bicara sambil menatap lurus ke depan, akhirnya menoleh. Dari awal, Jeong Min sudah menduga kalau Se Hun bukan pria biasa. Aura pria itu mengingatkannya dengan Jong In, oleh sebab itu ia sedikit khawatir. Belum lagi wajah dan tubuhnya sangat mendukung (bahkan Jeong Min yang seorang laki-laki saja mengakui itu). Hanya dengan satu gerakkan jari, pria itu mungkin saja bisa menghancurkah hidup Seo Ah.

Tapi, melihat pria itu menghela nafas panjang dan menatap gelas yang digenggamnya dalam-dalam, seperti sedang terlarut dalam pikirannya. Nada suaranya terdengar sangat serius dan dalam, membuat Jeong Min mengerutkan dahinya.

“Seo Ah memang terlihat keras, tapi di satu sisi aku juga bisa melihat kelemahannya.” Ucap Se Hun. “Aku ingin membuatnya tidak hanya memikirkan perasaan orang lain, tapi juga memperhatikan dirinya sendiri. Dan… merasa kalau ia diperhatikan dan dicintai.”

Sama seperti Se Hun, Jeong Min juga kadang berpikir kalau sifat keras kepala Seo Ah bisa menyakiti diri wanita itu sendiri. Seo Ah terlalu sering mementingkan perasaan orang lain ketimbang perasaannya sendiri. Ia tidak akan berhenti sebelum ia sendiri memutuskan untuk berhenti. Sayangnya, orang-orang di sekitarnya malah memanfaatkan sifat Seo Ah itu—termasuk Jeong Min. Mereka bisa mendapatkan apa yang mereka mau, tanpa sadar kalau mereka telah menyakiti Seo Ah.

“Kau sangat

Show more