“Kau milikku, sudah kukatakan dari awal, bukan? Kau adalah milikku.”- Oh Se-Hun
.
A FanFiction
by
Heena Park
.
‘SALTED WOUND’
.
.
Romance–Incest-Thriller–PG15–Chaptered
.
Wattpad : Heena_Park
Facebook : Heena
Instagram : @heenapark.ofc
.
Notes : ff ini juga aku share di WATTPAD
.
.
Cepat-cepat Se-Hun menuju mansion-nya sebelum Jasmine mendapatkan apa yang ia mau. Untungnya Se-Hun telah menyimpan semua data penting soal Hee-Ra dan keluarganya dalam brangkas. Semoga Jasmine tidak bisa membukanya, mengingat betapa piciknya wanita itu.
Park Young-Lee telah menunggunya di luar pintu, pria itu kelihatan cemas dan langsung menghampiri Se-Hun begitu melihat kedatangannya.
“Apa dia masih di sini?” Se-Hun bertanya penuh kemarahan.
Park Young-Lee mengangguk, “Ya, Tuan. Miss. Rochester masih di sini.”
“Brengsek! Apa yang sebenarnya dia inginkan?”
Se-Hun langsung melesat ke dalam, mencari-cari di mana keberadaan Jasmine yang mungkin telah menjelajahi seisi mansionnya dengan leluasa. Ruang tamu, taman, kolam renang, gadis itu tidak ada di sana. Mungkinkah?
Ternyata benar!
Jasmine tengah berada di kamar Se-Hun, duduk di atas ranjang sambil menonton televisi. Ia tersenyum ketika mendapati kehadiran Se-Hun dari ambang pintu. Nampak kesenangan di sana, rindu akan wajah Se-Hun yang telah lama tak muncul.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Se-Hun berdiri di pinggir ranjang, meraih pergelangan tangan Jasmine dan memaksanya berdiri.
Mendapat perlakuan cukup kasar dari Se-Hun rupanya berhasil membuat Jasmine geram. Ia tertawa pelan, seolah menyindir apa yang barusan dilakukan oleh pria itu.
“Kau tidak perlu sekasar itu padaku, Mr. Oh.” Jasmine melepaskan tangannya dari genggaman Se-Hun, matanya berkilat menyatakan perang. Bukan pada Se-Hun, tapi pada siapapun perempuan yang telah membuat Se-Hun berubah.
Tak ingin kecanggunan semakin terasa, Jasmine segera mengambil tas lengannya yang tergeletak di atas ranjang. “Aku lapar sekali, apa kau tidak berniat memberiku makan? Ah, tidak. Bagaimana kalau kita minum saja?”
Sesungguhnya Se-Hun lelah. Ia baru sampai di London tadi pagi dan harus segera menyelesaikan setumpuk dokumen penting sampai akhirnya Park Young-Lee menelepon, mengatakan Jasmine berada di mansionnya. Ia butuh istirahat, tapi wanita gila ini tak akan membiarkan Se-Hun lepas begitu saja.
Jadi? Tak ada cara lain. Se-Hun harus mengiyakan permintaan Jasmine.
Mereka pergi ke salah satu bar, duduk bersampingan dan saling menuangkan minuman ke gelas satu sama lain. Keduanya bukanlah tipikal orang yang gampang mabuk, meski begitu Se-Hun harus tetap berhati-hati. Ia sekuat mungkin akan berusaha menahan diri dan jangan sampai kalah lebih dulu karena Jasmine pasti berusaha mendapatkan informasi tambahan darinya.
“Kita ada pertemuan organisasi besok.” Jasmine mengawali pembicaraan. “Kurasa kita bisa berangkat bersama.”
“Baiklah.”
Cuma itu yang Se-Hun katakan? Satu kata saja?
Jasmine tak menyerah, otaknya kembali berputar mencari sesuatu yang bisa dibahas selain duduk dan minum sampai mabuk. “Bagaimana kabar keluarga palsumu?” Ia menyeringai, sementara Se-Hun langsung menengok tak menyangka kalau Jasmine akan bertanya sefrontal itu padanya.
“Mereka baik-baik saja,” jawab Se-Hun seadanya, berusaha untuk tidak terlihat sedang menyembunyikan sesuatu.
Tapi bukan Jasmine namanya bila kehabisan akal dan tak tahu. Ia kembali memancing, “Kudengar kau bahagia hidup bersama mereka? Seorang ayah dan ibu yang berusia akhir empat puluhan. Bukankah mereka benar-benar masih muda?”
Dahinya mengerut, ada yang aneh. Dari mana Jasmine tahu kalau kedua orang tuanya berusia akhir empat puluhan? Apa dia sudah mencari informasi sebanyak itu?
Se-Hun menghadap ke Jasmine, menekan kedua pundak gadis itu kencang. “Dari mana kau tahu semua itu? Apa yang sudah kau lakukan?”
Perubahan air muka juga balasan Se-Hun akhirnya dimengerti oleh Jasmine. Rupanya pria itu sangat takut kalau sesuatu yang buruk sampai menimpa keluarga palsunya. Well, apakah masuk akal jika seorang pembunuh seperti Se-Hun ternyata masih memiliki belas kasihan? Jasmine benar-benar ingin menertawai pria yang mulai lemah ini.
Tiba-tiba Se-Hun menggoyang-goyangkan badannya. Pria ini mabuk! Jelas. Lihat saja matanya yang mulai berputar ke sana-ke mari. Jasmine berusaha melepaskan cengkeraman Se-Hun dan menyilangan kedua lengannya di depan perut. “Kau mabuk juga akhirnya.” Ia berhenti sebentar dan merangkulkan lengan Se-Hun ke pundaknya. “Lebih baik kita pergi ke apartemenku saja,” lanjutnya penuh kepuasan.
Dalam keadaan setengah mabuk Se-Hun tak mampu banyak berkutik, ia membiarkan Jasmine membawanya keluar bar sampai suara ponsel berhasil mengembalikan beberapa persen kesadaran yang hampir menghilang dari kepalanya.
Ia melepaskan lengannya dari pundak Jasmine dan menyandar ke dinding lalu merogoh ponsel di saku. Sementara Jasmine mendesah berat, usahanya hancur karena ponsel sialan itu.
Kedua matanya tak pernah berpindah, antisipasi kalau Jasmine tiba-tiba menarik paksa Se-Hun untuk masuk ke mobil gadis itu. “Ya, pa?” Susah payah Se-Hun mengeluarkan suaranya seperti biasa dan tak terkesan sedang mabuk.
“Aku akan segera ke sana,” tukas Se-Hun sebelum akhirnya mengembalikan ponselnya ke dalam saku.
Jasmine yang tak tahu pembicaraan dengan ayahnya langsung menahan lengan Se-Hun begitu pria itu berniat untuk berbalik. “Kau mau ke mana? Kau tidak mungkin meninggalkanku di sini? Dan kita bahkan belum melakukannya.”
“Lepaskan aku, Jaze!” Se-Hun melepaskan paksa tangan Jasmine hingga mengaduh kesakitan. “Aku harus pergi.”
Hal paling mengesalkan yang ada dalam diri Jasmine adalah sifat memaksanya. Ia tak akan berputus asa dan malah memeluk Se-Hun dari belakang, erat-erat menautkan kedua tangannya di depan perut Se-Hun hingga terpaksa berhenti.
“Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu pergi. Seharusnya hari ini kau menjadi milikku!”
“Lepas, Jaze!” Se-Hun tak akan kalah. Ia memang pria, dan seorang pria tak seharusnya kasar pada wanita. Tapi hal tersebut tak berlaku untuk sosok seperti Jasmine.
Kerinduan Jasmine padanya memang begitu besar hingga terasa menyakitkan bila ditolak berkali-kali. Namun Se-Hun tidak berniat menghabiskan waktu atau baginya membuang-buang waktu bersama gadis itu. Baginya yang terpenting saat ini adalah Hee-Ra.
“Ikutlah denganku kali ini saja.” Nada suaranya kedengaran agak bergetar, Jasmine menggigiti bibir bawahnya pelan. Rasa sakit akibat penolakan Se-Hun membuatnya ingin menangis. “Aku mohon, semalam saja…” pintanya lagi, siapa tahu Se-Hun luluh dan mau mengubah pendiriannya.
Se-Hun tak punya waktu, perangkap Jasmine sangat berbahaya. Sekali ia terlena, maka akan sulit untuk keluar.
“Tidak, Jaze.” Se-Hun menjauhkan tangan Jasmine dari perutnya, menghalangi apabila gadis itu berusaha memeluknya lagi. “Aku harus pergi.”
Berat rasanya untuk membiarkan sosok Se-Hun berjalan menjauh, punggung yang semula begitu mudah untuk digapai kini selalu berlari tanpa peduli akan masa lalu yang sempat dirasa. Jasmine menelan ludahnya pahit. Perubahan Se-Hun yang pesat hanya karena wanita biasa itu tak bisa diterima.
Bagaimanapun caranya Jasmine akan berusaha melenyapkan Shin Hee-Ra. Se-Hun untuknya, ia akan mempertahankan masa lalu.
♠
Setelah menyelimuti Se-Hun yang kehilangan kesadarannya sejak beberapa menit lalu, Hee-Ra masih duduk di pinggir ranjang. Untuk pertama kali ia menginjakkan kaki ke dalam kamar Se-Hun. Lucu, bukan? Mereka telah tinggal bersama selama empat tahun dan Hee-Ra tidak pernah sekalipun masuk ke kamar kakaknya.
Tadi waktu ke rumah sakit menjenguk Jong-In, Hee-Ra menumpang di mobil Jason. Sayangnya waktu dia kembali, entah ada angin apa tiba-tiba mobilnya rusak dan tak mau berjalan sehingga terpaksa Hee-Ra menghubungi sang ayah dan meminta agar segera dicarikan bengkel terdekat atau apapun yang mau menderek mobilnya.
Satu masalah selesai, timbul masalah lagi. Ia lupa tak membawa dompet dan sekali lagi Hee-Ra meminta bantuan pada sang ayah untuk mengirimkan sopir atau siapapun yang mau menjemputnya. Lalu siapa yang datang? Ya, Se-Hun.
Awalnya Hee-Ra tak menyadari kalau kondisi Se-Hun setengah mabuk, namun di tengah perjalanan ia mulai merasa aneh. Pasalnya Se-Hun sering mengoceh tak jelas dan beberapa kali tak fokus ke jalan. Sontak saat itu juga ia tersadar dan langsung memaksa untuk berganti posisi. Sebenarnya Se-Hun tidak mau, tapi Hee-Ra memaksa sehingga pria itu hanya bisa menerima.
Lalu lihat dia sekarang. Meringkuk layaknya bayi di ranjang dengan selimut tebal yang tak mampu diraihnya sendiri. Tapi……melihat Se-Hun dalam keadaan tertidur seperti ini benar-benar berbeda. Ayolah, lihat wajah polos tanpa dosanya. Hee-Ra bahkan merasa damai ketika menatap wajah tak bersalah di depannya itu.
“Kenapa seseorang bisa kelihatan sangat berbeda saat tidur?” bisik Hee-Ra pada dirinya sendiri. Sebuah senyuman hangat mencuat dari bibirnya, tanpa sadar Hee-Ra menyibakkan poni Se-Hun yang mulai memanjang. “Kau harus memotong rambutmu setelah ini,” bisiknya lagi diselingi tawa pelan.
Selama beberapa saat kebersamaannya dengan Se-Hun berhasil menghilangkan nama Jong-In dari pikiran maupun hati Hee-Ra. Ia terus mengusap rambut Se-Hun penuh kelembutan, berharap pria itu tertidur semakin nyenyak. Matanya tak bisa lepas dari wajah damai di depannya. Bagaimana ini? Kenapa jantungnya kembali berdebar kencang seperti dulu? Kenapa ia merasakan sesuatu yang sudah lama menghilang? Tidak mungkin Hee-Ra jatuh cinta lagi pada Se-Hun, kan?
Ketika hendak bangkit dan memilih untuk membiarkan Se-Hun menikmati tidurnya, tiba-tiba tangannya ditahan oleh cengkeraman yang cukup kuat. Hee-Ra hampir berteriak saking terkejutnya, tapi untungnya ia bisa menguasai diri lebih cepat dan hanya sedikit terlonjak.
Se-Hun tengah mencengkeram erat tangan kanannya sambil menggigau, tidak jelas apa yang pria itu katakan, tapi dalam tidurnya ia menangis dan bibirnya bergetar penuh ketakutan.
Astaga, ada apa dengannya?
“…..Aku ingin tinggal bersama ayah….” Tangisannya semakin menjadi-jadi hingga keningnya berkerut. Hee-Ra yang tak bisa mendengar begitu jelas perkataan yang keluar dari mulut Se-Hun mulai mendekatkan telinganya ke arah pria itu.
Se-Hun terisak dan terus terisak, membuat Hee-Ra bingung pada apa yang sebenarnya terjadi. Ia tak pernah melihat Se-Hun menangis semasa hidupnya, bagaimana kalau Se-Hun saat ini tengah kesakitan hingga tak bisa membuka matanya? Bagaimana kalau sesuatu yang buruk terjadi pada Se-Hun?
“Aku tidak mau pergi ayah, aku tidak mau ikut orang itu!”
Ayah?
Ayah siapa?
Hee-Ra makin kebingungan setelah telinganya bisa mendengar jelas semua kata yang keluar dari mulut Se-Hun. Ia berkali-kali mengigau tidak ingin pergi bersama orang itu. Siapa yang sebenarnya dimaksud Se-Hun? Kenapa dia sampai menangis seperti ini?
“Hei, hei tenanglah, astaga Oh Se-Hun.” Hee-Ra membalas genggaman tangan Se-Hun dan memutuskan untuk berbaring di samping pria itu, menariknya dalam pelukan dan mengusap punggungnya untuk sekadar menenangkan.
“Ada apa denganmu? Ayah siapa yang kau maksud?” Hee-Ra berbisik pada diri sendiri karena sadar Se-Hun tak akan menjawabnya.
“Jangan buang aku ayah….jangan…”
“Ssst..” Hee-Ra menenggelamkan wajah Se-Hun di lehernya, tangan kanannya mengusap lembut tengkuk pria itu supaya tenang. Perlahan tapi pasti, Se-Hun mulai diam dan kembali terlelap. Kelegaan jelas menghinggapi Hee-Ra. Ia benar-benar tak mengerti siapa ayah yang dimaksud Se-Hun, dan kenapa ia berkata supaya tidak dibuang? Apakah mungkin mantan kekasih ibunya—yang juga merupakan ayah Se-Hun—telah membuang putranya dulu? Tapi bukankah ia meninggal makanya Se-Hun mencari ibunya?
Setelah merasa Se-Hun benar-benar tenang, Hee-Ra kembali membaringkan kepala pria itu ke bantal dan sekali lagi memandang wajahnya. Kali ini raut sedih yang nampak, rupanya ia mengigau sampai ke hati. Bahkan air matanyapun masih jatuh bebas membasahi pipi pucatnya.
Hal tersebut berhasil menggerakkan hati Hee-Ra untuk mengusap butiran bening di wajah Se-Hun dengan jarinya. Ia mendesah beberapa kali, tak berniat untuk bicara dan hanya membatin saja.
Se-Hun kelihatannya memiliki masa lalu yang rumit, entahlah Hee-Ra tak paham. Tapi melihatnya menangis dalam keadaan tidak sadar seperti hari ini, hatinya tersentuh, ia seakan bisa melihat kepahitan yang berlipat ganda dalam hidup Se-Hun. Astaga, sepertinya memang benar. Mungkin saja kekejaman Se-Hun yang pernah dilihat Hee-Ra dulu adalah akibat dari tersiksanya hidup pria itu.
Kini Se-Hun sudah lebih tenang, tidurnya juga kelihatan mulai nyenyak. Dorongan dari dalam diri yang terus mengatakan agar tak pergi berhasil mengalahkan Hee-Ra. Ia terpaku di samping Se-Hun, menatap nanar pria yang terlelap di sebelahnya untuk beberapa jam ke depan, tentu saja ia harus pergi sebelum Se-Hun terbangun. Ia tidak ingin terjebak dalam satu masalah lagi.
♠
Sepanjang waktu Se-Hun tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Pertemuan organisasi yang membahas tentang rencana pembunuhan masal dalam sebuah pesta beberapa hari lagi juga tak begitu masuk dalam otaknya. Bayangan sosok Hee-Ra yang tak sengaja dilihatnya saat terbangun kemarin membuat Se-Hun terkejut sekaligus senang. Ia tak menyangka gadis itu sampai ikut terlelap bersamanya.
“Sasaran kita adalah Louis dan seluruh pegawainya.” Seorang pria berambut pirang yang memimpin rapat terdengar serius. Matanya bergerak mengawasi Se-Hun yang duduk di ujung. “Aku menunjuk Se-Hun sebagai pemimpin kalian untuk kali ini.”
Merasa namanya dipanggil, Se-Hun langsung menengok dan mendapat kilatan-kilatan serius dari seluruh orang dalam ruangan. Sosok yang berdiri di sana tersenyum licik padanya. Sialan, ia pasti memilih Se-Hun karena daritadi tidak fokus pada apa yang jadi bahan pembicaraan.
Jasmine yang menyadari perubahan ekspresi Se-Hun segera menyiku lengan pria itu. “Kau tidak perlu khawatir, aku akan mengulangi apa yang dia bicarakan padamu,” bisiknya.
“Ah, akan ada beberapa orang yang tidak termasuk dalam daftar kita di sana, tapi tak masalah. Kalian boleh melenyapkan semua yang ada di pesta.” Kali ini orang itu kembali memberikan kode pada Se-Hun, ia menarik salah satu ujung bibirnya. “Aku yakin Oh Se-Hun bisa menanganinya, iya kan?”
Brengsek memang. Ia tahu peraturan organisasi ketika mengadakan rapat atau apapun supaya tidak kehilangan fokus atau sekedar memikirkan yang lain. Kini Se-Hun tahu akibatnya. Ia harus menjadi pemimpin dalam penyerangan empat hari lagi dan tak tahu-menahu soal kondisi di tempat itu? Sialan.
Sampai akhir, Se-Hun hanya mendengarkan beberapa info yang terpaksa harus ia cerna. Untungnya Jasmine bersedia mengatakan beberapa info yang sempat tak didengarnya tadi.
Mereka memilih sebuah kafe yang tak jauh dari tempat pertemuan, Jasmine menjelaskan segalanya. Ingatan gadis itu memang jauh lebih baik daripada Se-Hun. Itulah salah satu alasan kenapa organisasi juga sering mengelu-elukan Jasmine sebagai salah satu yang terbaik.
Kalau dilihat-lihat, ada yang berbeda dengan Jasmine hari ini. Rambutnya disanggul, ia juga memakai pakaian formal seperti pekerja kantoran, dan yang paling penting, sejak kapan mata Jasmine berubah biru?
Se-Hun mengerutkan dahinya sambil terus mengamati Jasmine yang tengah berbicara. “Kau menggunakan softlens?” tanyanya tiba-tiba.
Jasmine mengangguk. “Begitulah, kenapa?”
Se-Hun menggeleng. “Kau sedang menjalankan misi?”
Ia tidak mengeluarkan suara dan hanya mengangguk beberapa kali. Sebenarnya mereka berniat untuk berangkat bersama tadi, tapi Jasmine tiba-tiba membatalkannya dan berkata akan berangkat sendiri, padahal Se-Hun tak masalah jika harus menjemput Jasmine di suatu tempat. Lagipula bukankah kemarin Jasmine yang meminta agar mereka berangkat bersama?
“Siapa targetmu?”
Jasmine tak mungkin mengatakan pada Se-Hun secara terang-terangan kalau targetnya adalah orang tua palsu dari pria itu. Ia memalingkan wajahnya, menunduk menatap kopi di meja. “Seorang pria tampan dan sudah berkeluarga.”
Aneh, Se-Hun tak tahu kenapa rasa ingin tahunya mencuat. Jasmine biasanya akan dengan senang hati mengatakan siapa nama targetnya, tapi kali ini gadis itu terkesan menutup-nutupi.
Baru akan mengeluarkan suara dan bertanya, Jasmine lebih dulu bangkit. “Aku harus pergi.” Oh, apa dia sedang menghindari pembicaraan? Kenapa?
“Kau mau kuantar?”
“Tidak usah.” Jasmine menolak. Sangat aneh. Seharusnya ia senang kalau Se-Hun bersedia mengantarnya, tapi melihat niat lain dibalik tawarannya tersebut, Jasmine berubah was-was. “Sopirku sudah di depan. Ah ya, nanti malam bagaimana kalau kita makan bersama? Kau maukan datang ke apartemenku?”
Menaikkan bahunya bersamaan sambil membuang muka, “Entahlah. Aku tidak janji.”
Bernar, kan? Se-Hun kelihatan tidak tertarik pada ajakan makan malam Jasmine. Itu artinya dia hanya sedang ingin tahu pada siapa target yang disembunyikan Jasmine itu. Yah, Se-Hun memang pintar, tapi sayangnya Jasmine lebih pintar.
“Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik, Oh Se-Hun,” gumam Jasmine penuh misteri. Ia mengedipkan salah satu matanya sebelum berbalik meninggalkan Se-Hun yang masih duduk di tempat.
Kecurigaan semakin timbul dalam benak Se-Hun. Haruskah ia mengikuti Jasmine? Gadis itu bersikap sangat tidak wajar hari ini. Atau jangan-jangan dia sudah mulai bertindak? Kalau begitu Se-Hun harus mengamankan Hee-Ra. Ia tidak boleh lalai dan menempatkan Hee-Ra dalam bahaya.
♠
Sudah sejam lebih Hee-Ra bermalas-malasan di ruang kerja sang ayah, sementara Shin Jae-Woo terus berkutat dengan setumpuk dokumen di mejanya. Ia juga tak berniat menjenguk Jong-In hari ini, perasaannya masih kesal gara-gara omongan pria itu kemarin.
“Tidak biasanya kau betah di kantor papa.” Suara Shin Jae-Woo memecah keheningan. Ia melirik sebentar wajah Hee-Ra, kelihatannya sedang gelisah. “Bertengkar lagi dengan Jong-In?”
Ayahnya memang sangat peka. Bahkan lebih peka daripada sang ibu. Yah tidak aneh memang, sejak kecil Hee-Ra lebih dekat dengan Shin Jae-Woo daripada Kang So-Hee.
“Jadi?”
Hee-Ra tidak suka pembicaraan mereka. “Aku haus. Aku ingin membeli minuman,” ujarnya mengalihkan pembicaraan.
Shin Jae-Woo langsung paham. Ia tak lagi mengungkit soal Jong-In dan segera mengangkat gagang telepon, menghubungi Jasmine. Well, sebenarnya Jasmine tidak menggunakan nama aslinya di sini, ia hanya menggunakan marganya sebagai akhir. Selalu seperti itu.
“Miss. Rochester, bisakah kau membawakan minuman dingin ke ruanganku?” tanyanya dan sesaat kemudian menutup telepon.
Hee-Ra membulatkan pipinya senang. Beberapa menit kemudian masuk sosok wanita cantik berbadan tinggi. Matanya biru, ia lebih cocok menjadi model daripada pekerja kantoran.
“Oh, berikan pada anakku. Dia yang ingin minum,” ujar Shin Jae-Woo cepat-cepat.
Jasmine mengangguk dan menghampiri Hee-Ra. “Minuman anda, Miss,” ucapnya ramah sambil memandang Hee-Ra selama beberapa saat dan tak lupa mengumbar senyum yang agak terasa aneh.
Tanpa curiga Hee-Ra segera mengambil minuman dari Jasmine dan mengucapkan terima kasih sebelum meneguknya. Wanita itu juga langsung keluar begitu Shin Jae-Woo mengucapkan terima kasih. Eh, apa dia orang baru? Batin Hee-Ra dalam hati.
“Dia orang baru?” tanya Hee-Ra pada sang ayah.
Shin Jae-Woo mengangguk beberapa kali. “Ya, dia asisten baru papa. Elizabeth Rochester.”
“Oh…” Hee-Ra memutar bola matanya, kenapa gadis secantik itu tidak mendaftar agensi model saja? Pasti ia bisa sukses besar. Dan ayolah, Hee-Ra ingat bagaimana cara wanita itu memberikannya minum tadi, begitu anggun dan berkelas.
“Kenapa?”
Pundaknya diangkat bersamaan, “Tidak apa-apa. Aku hanya merasa kalau dia lebih cocok menjadi model daripada bekerja kantoran.”
TO BE CONTINUED
Filed under: Action, Incest, relationship, romance, Thriller Tagged: exo, EXO K, kai, OC, Sehun