2016-11-29



“Kau milikku, sudah kukatakan dari awal, bukan? Kau adalah milikku.”- Oh Se-Hun

.

A FanFiction

by

Heena Park

.

‘SALTED WOUND’

.

.

Romance–Incest-Thriller–PG15–Chaptered

.

Wattpad : Heena_Park

Facebook : Heena

.

Notes : ff ini juga aku share di WATTPAD. And thanks to Byun Hyunji for this awesome poster!

.

.

Seoul, South Korean.

14 Years Ago.

Oh Jae-Bum menaruh tas berisi pakaian Se-Hun ke lantai dengan keras. Di depannya duduk seorang pria berawajah Eropa yang tengah menghisap sepuntung rokok.

“Apa dia sudah siap?” tanya pria itu santai.

Oh Jae-Bum mengangguk mantap. “Ya, aku akan memanggilnya,” balasnya dan sedetik kemudian telah berbalik menuju ke kamar Se-Hun.

Netranya menatap kesal pintu kamar Se-Hun yang masih tertutup. Apa dia belum siap? Padahal Jae-Bum sudah menyuruhnya bersiap sejak tadi.

“Oh Se-Hun, buka pintunya!” teriaknya sambil menggedor-gedor pintu, namun tak mendapat jawaban.

“Apa kau tuli?! Buka pintunya anak sialan!” Jae-Bum naik pitam, ia menggedor pintu semakin keras. Umpatan-umpatan kasar keluar begitu saja dari mulutnya, tak perduli bahwa orang yang tengah dipanggil adalah putranya sendiri-Anak kandungnya.

Kali ini terdengar isak tangis dari dalam kamar, Jae-Bum mengeram, “Berhenti menangis dan cepat buka pintunya! Kalau tidak aku akan mendobrak pintu ini!”

Isakannya semakin keras, samar-samar terdengar suara, “Aku tidak mau pergi ayah, aku tidak mau ikut orang itu,” gumam Se-Hun ketakutan.

Jawaban Se-Hun semakin membuat Jae-Bum kesal. Tidak tahukah dia kalau Bruce telah membayar mahal hanya untuk ini? Bagaimanapun caranya, Jae-Bum akan mengeluarkan Se-Hun dari kamar.

Ya, ia akan mendobrak pintu dan menyeret paksa anak sialan itu. Ia akan melakukannya.

Jae-Bum menghitung mundur dari tiga, dalam sekali hentakan keras ia mendorong pintu hingga terjatuh ke lantai. Jae-Bum mengumpat sekali lagi mendapati Se-Hun tengah meringkuk di lantai, menangis sesenggukkan penuh rasa takut.

“Bajingan kecil, karena melahirkanmu, ibumu harus kehilangan nyawa dan kita kehilangan kekayaan. Sekarang, kau harus menebusnya!” Jae-Bum menarik legan Se-Hun, menyeretnya dengan kasar di lantai, tak peduli pada tangisan penolakan yang terdengar begitu keras.

“Aku tidak mau, ayah! Aku ingin tinggal bersama ayah, kumohon!” Bibirnya bergetar, berharap pintu hati sang ayah terbuka sedikit untuknya.

Namun nihil, pria itu melemparkan tubuhnya ke lantai tepat di mana pria berwajah Eropa itu duduk. Se-Hun terus menangis, ia tidak ingin dijual, ia takut kalau akan dibunuh oleh pria itu.

“Kau sudah menjadi miliknya anak sialan!” Oh Jae-Bum menjabat tangan pria berwajah Eropa tersebut, kemudian menerima sebuah tas hitam yang setelah dibuka berisi uang dalam satuan dollar.

“Aku akan membawanya, kau bisa pergi sejauh mungkin dari Korea, Oh Jae-Bum,” gumam pria itu dan langsung dibalas anggukan oleh Oh Jae-Bum.

“Dan kau..Aku akan melatihmu menjadi pria yang sebenarnya, Oh Se-Hun.”

••

Jong-In menggaruk kepalanya frustasi. Hee-Ra tak membalas pesannya sama sekali, ia bahkan telah mencoba menghubungi berkali-kali, tapi gadis itu tak kunjung mengangkatnya.

Ia kemudian memilih untuk pergi ke studio, masih jam satu siang, pasti tidak ada orang di sana.

Namun dugaannya salah, telinganya mendengar suara sebuah lagu yang tengah diputar. Tunggu, bukankah latihan dimulai pukul tiga sore? Kenapa sudah ada orang di dalam?

Jong-In melangkah pelan, kedua manik matanya mendapati seorang gadis tengah menari menggunakan kedua lengannya, sementara ia tetap duduk bersila di tengah ruangan.

Jong-In tahu lagu ini, Thinking Out Loud milik Ed Sheeran. Ia mendekat, kedua bola matanya membesar begitu menyadari bahwa gadis di bawah sana adalah Hee-Ra.

Ia tidak mengganggu dan memilih untuk duduk. Menyaksikan Hee-Ra menari dengan kedua tangan dan tanpa menggerakkan kaki sedikitpun. Percayalah bahwa gerakan Hee-Ra begitu indah, bahkan tanpa perlu menggunakan kaki sekalipun.

Jong-In mengambil ponselnya dan mengabadikan momen indah ini. Ia tersenyum tipis, ingin sekali rasanya menemani Hee-Ra menari di sana.

Setelah musik berakhir, bersamaan dengan terdiamnya tangan Hee-Ra, gadis itu menengok. “Aku tahu kau ada di sana,” katanya.

Jong-In tersentak, ia bangkit dan segera memasukkan ponselnya ke saku. “Ah, maafkan aku.”

Susasana canggung menyelimuti, Jong-In berdehem beberapa kali sambil berjalan ke arah Hee-Ra. Untungya gadis itu tak menolak atau menyuruh Jong-In untuk menjauh.

“Aku…”

“Aku tahu.” Hee-Ra menyela, ia membuang napas berat. “Aku akan melupakannya,” sambungnya.

Jong-In mempercepat langkahnya dan segera duduk di samping Hee-Ra. “Aku sangat menyesal soal kemarin, Emma melakukannya begitu saja, aku tidak ta-”

Belum sempat Jong-In menyelesaikan kalimatnya, Hee-Ra sudah lebih dulu menempelkan bibirnya pada bibir Jong-In dan mengecupnya lama. Sementara Jong-In yang awalnya nampak terkejut, perlahan menutup matanya dan mulai membalas ciuman Hee-Ra.

Ciuman yang semula begitu lembut nan dingin itu perlahan berubah panas dan menggairahkan. Jong-In mengangkat tubuh Hee-Ra untuk duduk di pahaya, sementara Hee-Ra memeluk erat leher kekasihnya sambil terus beradu dalam candu.

Suara kecupan mesra terdengar nyaring memenuhi ruangan. Keduanya membenamkan diri dalam kenikmatan serta kehangatan satu sama lain.

“Shin Hee-Ra!”

Teriakan seseorang membuat keduanya terhenti. Hee-Ra menengok, mendapati Se-Hun sudah berdiri di ambang pintu, menatapnya penuh marah.

Awalnya Se-Hun berniat mengajak Hee-Ra untuk berjalan-jalan terlebih dahulu sebelum pulang, namun pikirannya berubah seratus delapan puluh derajat setelah melihat pemandangan paling mengesalkan yang membuat dadanya nyeri.

Hee-Ra-nya…

Miliknya..

Mencium pria lain di depan kedua matanya..

Amarah yang meliputi pikiran juga jiwanya seolah mendorong Se-Hun untuk berlari dan langsung menancapkan pisau ke punggung pria itu. Membunuhnya dengan kejam, membuatnya menjadi picisan-picisan tak berharga. Berani sekali si brengsek Jong-In mencium Hee-Ra?

Tapi untungnya ia masih bisa mengendalikan diri. Se-Hun langsung meluncur dan menarik Hee-Ra untuk bangkit dengan kasar, tak peduli bahwa kaki gadis itu masih sakit.

“Ikut aku pulang,” katanya dingin. Tatapan tajam sempat dilontarkan Se-Hun pada Jong-In yang masih duduk di lantai. Kalau saja Hee-Ra tidak ada, Se-Hun pasti telah menghabisi Jong-In.

Sesaat setelah menarik Hee-Ra agar mengikutinya, Se-Hun dihadang. Jong-In berlari dan berhenti tepat di depannya. Pria itu menghentikan langkah Se-Hun dengan mencengkeram pundaknya.

“Kau tidak boleh membawa Hee-Ra. Aku yang akan mengantarnya pulang,” ucap Jong-In.

“Kau tidak memiliki hak untuk itu, bajingan.”

Hee-Ra membelalakkan matanya setelah mendengar Se-Hun menyebut Jong-In ‘bajingan’. Ia ingin melontarkan protes tapi nampaknya sia-sia karena Jong-In sudah lebih dulu berucap, “Aku bajingan? Kurasa seharusnya kata itu ditujukan padamu!”

Dakk!

Jong-In meluncurkan pukulan begitu saja pada wajah Se-Hun hingga terhuyung ke lantai. Tak berhenti sampai di situ, Jong-In terus mendekat dan menarik kerah baju Se-Hun, mencengkeramnya erat sembari menatapnya penuh emosi.

“Itu adalah hadiah bagi seorang kakak yang selalu ikut campur dalam urusan percintaan adiknya.”

Hee-Ra yang kala itu masih shock pada kejadian di depannya hanya bisa menutupi mulutnya dengan telapak tangan. Belum terlintas dalam pikirannya untuk sekedar melerai dua pria yang tengah bertengkar hanya karena hal kecil.

Se-Hun meringis, ia tertawa dan mengusap pipi lebamnya. “Kau sebut dirimu calon suami yang baik bagi Hee-Ra? Bangunlah dari mimpimu bajingan, tidak ada calon adik ipar yang memukul kakak kekasihnya.”

Pernyataan Se-Hun semakin membuat Jong-In naik pitam. Ia tanpa ragu kembali melemparkan pukulan keras, kali ini tepat di pipi kanannya, membuat hidung Se-Hun mimisan.

“Kau sebut dirimu kakak? Seorang kakak tak akan merusak mimpi indah adiknya! Kaulah yang bajingan Oh Se-Hun, bukan aku!”

“Hentikan!” Hee-Ra tak bisa diam saja, ia tak ingin hubungan keduanya semakin memburuk hanya karena hal seperti ini. Terpaksa ia harus melerai pertengkaran kedua lelaki emosian di depannya.

Hee-Ra mendorong Jong-In pelan agar menjauh dari tubuh Se-Hun, kemudian berjongkok dan membantu Se-Hun untuk duduk. Tunggu dulu, kenapa tadi pria itu tak membalas pukulan Jong-In? Kenapa dia hanya diam saja? Tidak seperti Se-Hun yang biasanya.

“Aku tahu kau ingin melindungiku, tapi kau seharusnya tidak memukul kakakku, Kim Jong-In,” gumam Hee-Ra tegas. Ia menarik napas dalam untuk menenangkan diri dan kembali fokus pada Se-Hun. Kedua tangannya terulur, berusaha membantu Se-Hun untuk berdiri dan melupakan kenyataan tentang kakinya yang sedang sakit.

“Kita bicara lagi nanti. Kuharap kau bisa menenangkan diri dan mengatur emosimu yang akhir-akhir ini tidak stabil,” gumam Hee-Ra yang sedetik kemudian telah membawa Se-Hun berjalan melewatinya.

Kejadian ini tentu tak dibiarkan begitu saja oleh Se-Hun. Ia menengok ke belakang, menatap menang ke arah Jong-In, berkata tanpa suara bahwa ia adalah juaranya. Untuk yang satu ini, Hee-Ra lebih memilihnya daripada si brengsek Jong-In itu. Benar-benar menyenangkan.

Kalau tahu jadinya begini, seharusnya dari dulu Se-Hun sudah melakukannya. Tak masalah kalau tubuhnya harus babak belur, toh akhirnya Hee-Ra akan membela dan menatapnya khawatir. Sesuatu yang sangat ingin dirasakan Se-Hun sejak lama.

••

Se-Hun tidak langsung membawa Hee-Ra pulang. Ia berhenti di pinggir jalan yang sepi, memandang sungai berbalut jingga langit sore. Se-Hun membuka atap mobilnya, sementara Hee-Ra mengambil kotak P3K yang selalu tersedia di jok belakang. Ia sendiri tak tahu kenapa Se-Hun menyiapkan kotak P3K dengan isi yang sangat lengkap di dalam mobilnya.

Seharusnya tadi Hee-Ra tak menolong Se-Hun dan duduk bersampingan dengan pria itu sekarang. Tapi mau bagaimana lagi, mungkin otaknya sedang eror, kenapa ia malah masuk ke kandang singa? Sudah tahu Se-Hun selalu agresif dan bersikap buruk padanya.

Nasi sudah terlanjur menjadi bubur, Hee-Ra memutuskan untuk mengobati luka di wajah Se-Hun. Pria itu sempat mengerang kesakitan beberapa kali, membuat Hee-Ra meringis seolah ikut merasa sakit.

“Kenapa diam saja saat Jong-In memukulmu?” tanya Hee-Ra singkat.

Se-Hun mendengus. “Kau ingin aku membalas pukulannya?”

Oh ya ampun, dia salah memberikan pertanyaan. “Bukan begitu…Sudahlah, lupakan saja,” kata Hee-Ra akhirnya.

Se-Hun tertawa pelan mendengar ucapan Hee-Ra. Ada kilatan berbeda di sana. Ya, di mata Se-Hun, tidak seperti sebelumnya yang kasar dan terkesan mendominasi. Saat ini tatapannya begitu lembut, membuat Hee-Ra cukup terkejut walau tak menunjukkannya.

“Aku senang kau mengkhawatirkanku.”

Apa?

Apa barusan yang diucapkan Se-Hun?

Yang benar saja! Hee-Ra tidak mengkhawatirkannya. Ia hanya tidak suka melihat dua orang pria berkelahi hanya karena sesuatu yang konyol.

“Aku tidak mengkhawatirkanmu,” balas Hee-Ra.

“Benarkah?” Se-Hun mengerutkan keningnya. Kedua matanya menerawang, mencari kejujuran dalam diri Hee-Ra yang nampaknya semu. “Tapi aku bisa melihatnya, kau memang mengkhawatirkanku.”

“Serius, aku tidak mengkhawatirkanmu sama sekali, Oh Se-Hun!”

Memaksa Hee-Ra mengakui sesuatu yang tidak ingin diucapkan rupanya bukan ide yang bagus. Se-Hun terhenti, ia menunduk. “Baiklah. Kalau begitu, aku senang kau mau mengobati lukaku.”

Untuk yang satu ini Hee-Ra tak mengelak. Ia mengangguk pelan. “Sama-sama,” jawabnya yang sedetik kemudian telah mengembalikan kotak P3K ke jok belakang.

Bersamaan dengan itu, matahari yang awalnya masih sedikit terlihat, secara perlahan benar-benar membenamkan diri menuju ke sisi bumi yang lain. Keheningan menyelimuti ketika sang surya pamit. Tiada suara terdengar sama sekali. Hee-Ra yang sibuk mengagumi keindahan langit jingga perlahan gelap, sedangkan Se-Hun sibuk mengamati wajah Hee-Ra dari samping.

Senyuman bak bulan sabit tergambar pada wajah Se-Hun. Ia ingin terus seperti ini, berdua dengan Hee-Ra, menciptakan suasana hangat bagi mereka berdua. Ia belum pernah melihat Hee-Ra setenang ini saat bersamanya.

Kalau saja Hee-Ra tak pernah melihatnya membunuh, kalau saja Se-Hun tidak datang dengan membawa keburukan, pasti bukan hal yang mustahil bagi mereka untuk bersatu sekarang. Sayangnya itu hanya pengandaian, fakta berkata lain, waktu tak bisa kembali, tapi masih ada harapan masa depan untuk memperbaiki.

Bisakah Se-Hun memperbaiki segalanya? Membuat Hee-Ra sadar kalau Se-Hun tidak seburuk dan sekeji yang ia kira? Susah memang, dan Se-Hun sangat memahami itu.

“Shin Hee-Ra?”

Tanpa menengok, Hee-Ra menjawab, “Ya..”

“Maukah kau menemaniku ke pesta pernikahan temanku besok?”

Hee-Ra terdiam selama beberapa saat. Ia sudah terbiasa menolak keinginan Se-Hun, tapi kali ini terasa berbeda. Hee-Ra bisa merasakan kesungguhan Se-Hun tentang pesta yang dibicarakan. Lagipula mereka belum pernah pergi ke pesta bersama selama empat tahun ini, padahal hubungan keduanya adalah kakak-adik.

“Baiklah.”

“Kau serius?”

“Aku bisa menarik kembali kata-kataku kalau begitu.”

“Tidak-tidak.” Sehun menggeleng cepat. “Aku berjanji akan bersikap baik padamu.”

••

Shin Jae-Woo mengalihkan pandangannya yang semula fokus ke laptop. Seorang wanita cantik tengah berdiri sambil membawa nampan berisi secangkir kopi.

“Miss. Rochester, kau belum pulang?” tanyanya pada Jasmine.

Gadis itu menggeleng. “Saya akan menemani anda sampai selesai,” jawabnya anggun.

Sebagai seorang asisten, Shin Jae-Woo memberikan dua jempol bagi Jasmine, walaupun gadis itu baru bekerja selama beberapa hari. Tapi ia sangat profesional, gadis itu bisa membedakan antara urusan pribadi dan kantor.

“Aku tidak apa-apa, kau bisa pulang sekarang,” ia berhenti sebentar dan menatap secangkir kopi yang saat ini telah berada di meja. “Terima kasih untuk kopinya,” lanjut Shin Jae-Woo.

“Baiklah kalau begitu, Mr. Shin.” Jasmine memeluk nampan di dadanya. “Besok anda ada rapat jam sepuluh, saya sudah menyiapkan berkas-berkasnya.”

Lihat? Benarkan? Jasmine memang sangat profesional.

“Kalau begitu saya pamit dulu, Mr. Shin,” ujarnya yang setelah dibalas anggukkan oleh Shin Jae-Woo langsung keluar dari ruangan. Ia bisa pulang sekarang. Tugasnya hari ini sudah selesai. Dalam sehari, Jasmine bisa membuatkan dua sampai tiga kopi untuk Shin Jae-Woo, dan tanpa pria itu ketahui, Jasmine menyampurkan obat di dalamnya. Obat yang nantinya akan membuat Shin Jae-Woo semakin lemah, sangat lemah, dan akhirnya meninggal.

TO BE CONTINUED

Filed under: Action, Incest Tagged: exo, EXO K, kai, OC, Sehun

Show more