2016-08-07

Limerence

Cast : Sehun and Miju | Genre : Romance | Rating : PG – 17 | Series

Disc : Terastory © 2016

Summary : “Ketika tidak bisa memiliki, maka kau harus melepaskan.” Tapi, Sehun tidak ingin melepaskan Miju sama sekali.

Teaser

.

.

#1 Special

Ada sebuah buku—tidak, maksudku novel online (maaf saja aku wattpad addict)—mengatakan jika orang bunuh diri bukan untuk menghilangkan nyawa mereka, melainkan rasa sakit yang terus menghantui.

Angel benar—si tokoh utama—namun, ada banyak cara lain menghapus rasa sakit itu. Misalnya, dengan mengembangkan potensi diri sendiri, melatihnya untuk menjadi lebih kuat, bukan menunggu saja keajaiban datang sementara bokongmu gatal ingin beraksi.

Aku pernah merasakan di posisi tak nyaman itu. Semua orang mengejekmu, kau diganggu, berbagai kata-kata sampah keluar dari mulut orang lain agar kau kedengaran hina. Bahkan rambutku dijambak—apa aku kedengaran seperti pendendam?

Yeah, aku dendam. Dan aku beruntung itu terjadi saat umurku belia, atau dia sudah mati di tanganku.

“Gong Miju! Apa yang kau lakukan di atas pohon persikku?” ayahku memanggil, wajahnya lelah tapi gurat jenakanya tidak lantas hilang begitu saja. Aku bertaruh dia pikir putri bungsunya ini adalah simpanse dalam masa kawin.

Ah, apakah nama tadi membunyikan sesuatu? Iya, aku si Gong Miju itu—yang gendut, timbunan lipid—apapun yang mereka inginkan untuk memanggilku.

Tak ingin fantasi ayahku semakin liar, aku meloncat turun. Tenang, tidak ada gempa yang terjadi, menurutmu manusia seberat 53 kg bisa menggetarkan dunia? Ya ampun, jika aku bisa mungkin kekuatan salah satu member EXO itu berpindah padaku.

“Ya! Aku sedang mencoba tidur siang, kenapa appa mengganggu?” bohong. Aku saja tidak bisa menyandarkan punggungku dimanapun dengan aman. Pohon persik tadi bukan pohon favoritku, aku hanya sedang—bagaimana mengatakannya—sedikit bernostalgia.

“Ini sudah waktunya makan siang, jangan sampai Mingyu mengambil jatah makanmu lagi.” Aku tidak tahu kapan itu terjadi, tapi cara jalan ayah semakin melambat, jantungku sedikit berdetak namun tak kugubris.

Waktu memang telah berlalu tanpa terasa.

15 tahun, bukan sesuatu yang singkat untuk mengubah seorang anak kecil gendut menjadi wanita tomboy seperti sekarang. Dan metamorfosa itu yang terjadi padaku.

Angin dari ujung timur menerbangkan sedikit rambutku yang pendek. Kemeja flannel dan sneakers, di dukung celana khaki—tak ada kesan perempuan yang tertinggal dariku—trauma itu membuatku memikir ulang setiap ingin memanjangkan rambut, dan berpenampilan feminim justru menjadikan mentalku terasa lemah.

Oh Sehun. Dia hanya bocah sama sepertiku ketika bully itu terjadi. Aku sudah lama memaafkan semua kenaifan sang jenius tapi, perbuatannya sedikit meninggalkan bekas hingga sekarang. Yang bisa kulakukan saat ini, membiarkan hidupku terus berjalan.

Langkahku mengekor di belakang ayah, jujur saja ada perasaan was-was tiap kali mengulas kembali kesehatannya. Ketika membuka pintu belakang, mataku langsung disuguhi pemandangan meja makan yang besar dan dapur kecil bergaya shabby hasil tangan mendiang ibu.

Aku sedih tiap mengingatnya, tetapi, setahun setelah kami tiba di Sokcho, kesehatan ibu menurun drastis—bukan—itu bukan karena dia depresi ayah jatuh bangkrut seperti yang dialami kedua kakak perempuanku. Kami baru mengetahui ibu menderita sirosis hati ketika kondisinya telah parah. Dia menolak ke rumah sakit, kemudian meminta kami hanya menghabiskan sisa waktunya dengan tetap bersama.

Kematian ibu merupakan pukulan terberat untuk pria tua di hadapanku. Mereka selayaknya jantung dan paru-paru, ketika paru-paru berhenti, jantung tak akan mungkin berdetak dengan cara yang sama. Esensinya telah hilang.

Kursi goyang di sudut ruang tamu yang terlihat dari meja makan jadi spot favorit ayah, dari sana dia sanggup menyaksikan pemandangan perbukitan dari jendela besar. Dia bercerita itu membuatnya tenang, dan aku bisa duduk sambil berusaha mencerna Kimchi Stew yang dihidangkan bibi Kim—ibunya Mingyu.

“Dimana Mingyu?” aku bertanya setelah bibi meletakkan mangkuk nasiku ke meja kayu jati yang di pesan jauh-jauh dari Indonesia. Ketika masanya, keluarga kami memang cukup berada, tapi masa kejayaan sekarang hanya berpusat pada perkebunan persik kami, tanpanya kami sudah menjadi gelandangan mungkin.

“Dia ikut Tuan Cha. Sepertinya musim panen sudah dekat.” Yang aku suka dari bibi Kim adalah caranya bicara yang hangat penuh keibuan. Aku sedikit merasa bersyukur dia bekerja di rumah kami sehingga aku tak merasa benar-benar kehilangan figure seorang ibu, meski begitu, tak ada yang bisa menggantikan ibu kandungmu sendiri sebaik apapun wanita itu memperlakukanmu.

“Itu lebih baik, dia harus mulai menggerakan bokongnya jika benar-benar serius dengan siapa—“ aku memutar sumpitku di udara, mencoba menggali memori seputar gadis rumah sebelah yang jadi incaran Kim Mingyu.

“—Jang Sohyun….” Bibi Kim menyambung dengan senyuman kecil. Sepaham kurasa. Bibirku mengeluarkan decakan. “Nah!”

“Dan kau seharusnya juga mulai berkemas, keluarlah dari rumahku dan kembalilah ke Seoul seperti kakak-kakakmu. Atau kau menikah dan beri aku banyak cucu!” aku hampir memuntahkan nasiku kembali. Mataku menudingkan ketidak sukaan ke arah ayah yang masih duduk di kursi goyang.

Mendengarnya meminta cucu membuatnya kelihatan semakin tua (aku pun merasa ikut-ikutan tua). “Appa!” aku tak bisa mengendalikan diri lagi.

“Apa? Aku hanya mengatakan kebenaran. Kupikir saat kau belajar di luar negeri kau akan pulang bersama seorang pria bule dan memperkenalkannya padaku sebagai calon suami. Tapi, bertahun-tahun di sana kau hanya bercinta dengan buku, cumlaude tak akan membuatmu dilirik pria Gong Miju. Lihat sekarang, perkataanku terbukti, 27 tahun dan kau masih single.”

Barusan itu apa maksudnya? Seberapa aku benci dengan perkataannya tapi jika diucapkan ayah sendiri rasanya menohok. Aku kehilangan segala-galanya, kemampuan bicara, dan napsu makan. Mataku berputar kemana saja asal tak bertemu pandangan menghakimi yang ayah sertakan dengan kalimatnya barusan, tapi yang kutemui malah foto pernikahan Ahra dan Hyemi yang dipajang berdampingan.

Sial!

Suara kursi yang bergeser terdengar di seluruh rumah, sikap tubuhku telah tegak di depan meja makan. Bibirku terkulum rapat, dan mataku bertemu pandang dengan ayah. Menyadari jika sudah ratusan kali kami terlibat dalam pembicaraan yang sama.

Pria itu. Aku tahu dia menginginkan kebahagian untuk para putrinya. Setelah kehilangan perusahaan, aku memahami kalau bukan hanya sumber penghidupan kami yang lenyap namun juga harga dirinya sebagai kepala keluarga.

Dia mungkin merasa telah menjadi ayah terburuk yang pernah ada, aku pernah mencoba berbicara hal ini padanya, namun tidak berhasil. Setiap hari perasaan bersalah mungkin telah menggerogoti pria itu, sampai-sampai perkataannya menjadi keras kepadaku, berusaha mendorongku keluar dari rumah ini dan mencari kehidupan yang lebih baik.

Sayangnya, jika dia pikir hal yang sama bekerja pada kedua putrinya terdahulu. Maka ayahku tak akan menemukan hal yang sama pada anak bungsunya.

“Aku akan menikah, ketika aku menemukan orang yang tepat. Pernikahan bukan hanya sekedar mengikrarkan janji di depan Tuhan lalu hidup berdua dalam satu rumah. Seperti eomma dan appa. Aku ingin menjalani pernikahan seperti yang kalian miliki.” Biasanya aku hanya akan pergi jika kalah dalam berdebat dengan ayah, namun, kali ini aku memberi jawaban yang sedikit berbeda.

Sesuatu itu, mungkin sedikit mengubah pandangan ayah. Aku menyaksikan tatapannya melunak. Sebelum dia dapat membalasnya dengan perkataan lain, aku telah lebih dulu naik ke lantai dua. Kasur dan bantal mendadak terdengar menggiurkan.

.

.

.

Mendapatkan beasiswa penuh berkuliah di Standford bisa jadi adalah harapan semua orang. Aku sendiri tidak pernah menyangkanya. Tapi, berita itu datang bersama sebuah kesadaran jika aku harus mengambilnya dan belajar menghadapi dunia di luar sana.

Seironis apapun kenyataan menantiku di balik samudra itu.

Negara orang tidak selalu sehangat rumah sendiri, beberapa kali aku bertemu orang-orang yang memperlakukanku sedikit berbeda dari biasanya—namun, tanpa sadar aku telah terbiasa—lambat laun, kesulitan karena perbedaan ras dan cara pandang kubuang begitu saja. Aku mulai bisa membiasakan diri di lingkungan mereka para Kaukasian, bahkan aku membuat beberapa ikatan pertemanan yang mendorongku menjadi pribadiku yang sekarang.

Melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda.

Dan tantanganpun datang ketika musim dingin menemui penghujungnya di bulan Desember, tapi tak sentak kehilangan angin dingin atau penurunan suhu.

Aku baru saja merasakan lumeran marshmallow di lidahku saat ponselku mulai berbunyi. Bukan tanda pesan masuk, melainkan email. Sudah lama sejak aku menerima email, terakhir datangnya dari Sarah—temanku dari Oklahoma—yang mengumumkan tanggal pernikahannya, sejak itu aku tak pernah tersambung lagi.

Pertama, bukan penggemar dunia maya (pengecualian pada wattpad).

Kedua, mereka sibuk. Dan aku sibuk bertani buah persik.

Singkatnya aku dan teman-temanku saat kuliah dulu jarang terhubung. Teman-teman SMA? Kau berharap banyak dari gadis yang punya trauma masa kecil, nak. Aku tak terlalu bersosialisasi di masa remajaku, duniaku habis untuk mengejar masa depan, peringkat terbaik, dan segala tetek bengek untuk menjadi seorang nerd. I know.

Aku membuka kontak yang baru saja masuk itu, alamatnya dari salah satu yang tidak kukenal. Pikiranku berpandangan jika seharusnya mereka berada di spam atau tempat sampah. Dengan banyaknya malware sekarang, aku sedikit waspada dengan email-email asing yang masuk ke kontakku.

Baru saja aku akan menghapusnya, tanpa sengaja aku membuka keseluruhan isi email. Ada sesuatu yang menarik pandanganku di sana, dan itu membuat belakang leherku gatal. Hampir lupa jika aku belum memotong rambutku lagi, panjangnya sudah sebahu saat ini.

Lambang instansi yang telah lama tak kulihat menjadi kop surat dari isi email itu. Aku men-scroll tampilannya semakin ke bawah, membaca semua maksud dari isi email itu tanpa ada yang terlewat sama sekali.

Jika darah bisa berhenti mengalir, mungkin milikku sudah berhenti sejak tadi.

Hanshin’s School Reunion.

Aku bahkan tak pernah lulus dari sekolah itu. Lagi, darimana mereka mengetahui alamat emailku? Aku yakin satu-satunya yang mengenalku dengan baik adalah Byun Baekhyun dan—.

Alas!

“Katakan padaku siapa yang menyebarkan alamat emailku secara sembarangan ke panitia reuni Hanshin?”

Sudut mataku menangkap pergerakan, hah! Ketahuan kau!

“Gong Ahra!” sentakku.

Wanita yang telah memiliki tiga orang anak itu menatapku, senyumannya begitu kaku. Tidak salah lagi. “Aku hanya memberitahu teman lamaku, dia bilang akan ada reunian dari Hanshin. Kupikir sudah lama sekali sejak kita pindah, menyapa beberapa orang tidak ada salahnya, kan?”

Memang, kalau kau tidak punya pengalaman lima tahun di bully.

“Iya, tapi kenapa kau memberitahu emailku juga?” aku tetap tidak terima dengan perbuatan Ahra. Dia seharusnya mengatakan sesuatu lebih dulu sebelum memutuskan menyebarkan kontakku kepada setiap teman lama yang ditemuinya. Aku bahkan tidak tahu siapa saja teman Ahra semasa sekolah, dan tidak mau tahu.

“Apa itu masalah?” pertanyaan itu datang dari Hyemi. Dia bintang utama di kamar ini, dua hari yang lalu kami menerima telepon dari Chanyeol—suaminya—yang tengah malam panik karena air ketuban Hyemi pecah sementara istrinya berteriak-teriak minta dibawa ke rumah sakit. Aku dan ayah berkendara berjam-jam dari Sokcho ke Seoul malam itu juga untuk menemui Hyemi dan anak keduanya yang sempat terjebak komplikasi pada proses melahirkan.

Untunglah, keponakanku yang kelima ini selamat bersama ibunya. Bagus, bertambah lagi orang yang akan memanggilku Bibi Miju atau Bibi Gong. Usia selalu membuatku sensitif.

Itu masalah besar, tapi aku malah berkata,“tidak.” Aku sangat pandai berbohong. Well, 15 tahun aku merahasiakan pengalaman burukku di sekolah dari mereka. Tidak ada yang tahu jika anak bungsu keluarga Gong selama ini di bully oleh teman-temannya, kecuali sahabat lamaku yang sekarang tidak tahu masih hidup atau mati—si Byun Baekhyun.

Memikirkannya aku jadi sedikit rindu.

“Bagus, kalau begitu kau bisa datang bersama Ahra ke sana. Siapa tahu kau bisa bertemu cinta pertamamu, si Byun itu.” kalau tidak ada anak di gendongan Hyemi, aku sudah pasti akan mencekiknya di bawah ketiakku.

Sayang, aku hanya bisa memutar kedua bola mataku dengan mata kosong. “Dia bukan cinta pertamaku. Dan aku tidak akan pergi.” Itu adalah sebuah final.

Ayah datang dari balik pintu toilet, gespernya lebih kencang dari biasanya, tanda jika dia selesai buang air dan perutnya telah lebih lapang. “Kau akan pergi ke sana, Gong Miju.”

Here goes again. Batinku.

“Make me!” ucapku, menantangnya. Seperti mereka bisa membuatku datang ke reunian itu saja.

.

.

.

They definitely did it!

Aku tidak bisa percaya ini, mereka benar-benar melakukannya. Membuatku datang ke reunian bodoh dengan tube dress dan stiletto di tengah musim dingin! Tolong beri garis keras. Aku bisa merasakan sensasi bulu kakiku yang minim itu saling berdiri satu sama lain—menggigil kedinginan tiap sepoi angin menyapu kakiku yang tak tertutupi coat.

Kutuklah Gong Ahra serta serdadu keponakannya! Dan desakan ayahku! Jika mereka tidak mengancam akan mewarnai ulang trukku aku tidak akan pernah menginjakkan kaki di Hanshin setelah 15 tahun tak melakukannya.

Demi Tuhan, truk itu dari tahun 1976, butuh waktu buatku mendapatkannya setelah bertahun-tahun mencari ke seluruh penjual mobil rongsok di pinggir kota. Wajar kalau agak sensitif.

“Ahra-ya! Palli-wa!” aku tak bisa berlama-lama di sini, atau bulu-bulu kakiku akan menjadi balok-balok es kecil yang menggelantung.

“Baiklah, kau bisa masuk duluan, aku harus mencari sesuatu, dia pasti jatuh di sini.” Ahra mengusirku dengan tangannya, kalau bukan kakakku, entah menjadi apa wanita ini di tanganku! Akhirnya aku masuk ke koridor seorang diri, sudah banyak orang di sana, dan rata-rata mereka membawa pasangan.

Ini satu dari berjuta alasan mengapa aku tak pernah hadir di acara reuni.

Sebelum bisa memasuki hall, kami diharuskan memenuhi nama undangan pada meja registrasi yang tersedia. Aku tentu tak lekas mendekat, terutama karena niatku adalah menggunakan nama Ahra sebagai backing agar tak ada yang tahu jika Gong Miju menghadiri acara ini—setidaknya—tidak semua orang perlu mengetahuinya.

Pandanganku bergerak ke mana saja, mempelajari kembali setiap arsitektur Hanshin yang sejak lama tak kulihat lagi. Rupanya sudah banyak perubahan, aku tak terkejut, gedung puluhan tahun itu pasti sudah mengalami beberapa pemugaran mengikuti jaman. Mataku tak sengaja bertemu sebuah dinding berkaca besar, tepat menghadapku dan memberikan ke seluruhan tampilanku malam ini.

Acara yang dihelat pada malam pergantian tahun itu memberikan kesempatan pada Hyemi untuk sembuh, sehingga dia bisa memaksaku mem-blow rambut dan memberi riasan di sana-sini.

Aku merasa—cantik? Bukan maksudku memuji diri sendiri, tapi, sudah lama tak bekerja kantoran, aku juga sudah lama tak merias diri. Menghemat kedengarannya tepat dibubuhi sebagai alasan.

Aku tahu aku wanita yang mengerikan. Pantas jika tak ada laki-laki yang tertarik padaku, sejujurnya aku masih mempercayai kenaifanku soal ‘kalau cinta tak memandang tampilan’. Nyatanya, semua orang selalu memulai dari ketertarikan fisik di jaman yang serba mudah ini.

Ahra bahkan pernah mengatakan aku harus mendapatkan operasi plastik—maaf saja aku tak sejelek itu—satu atau dua, kecantikan ibu menurun padaku, terutama mata besar dan rahang ovalnya. Baiklah, yang ini memang aku memuji diri sendiri.

Intinya, malam ini aku tak buruk. Tak ada salahnya merasa percaya diri. Akan lebih baik jika tak ada yang mengetahui kalau aku si gendut Gong Miju, bukan karena aku malu, hanya tak ingin membahas luka lama.

“Hei, kau!” seseorang menyentuh bahuku.

Kini perhatianku beralih seratus persen padanya. Seorang wanita, tingginya tak lebih dari pundakku, mungkin pengaruh flat shoes yang dia pakai. “Kau belum mengisi registrasi, bagaimana jika kau mengisi dulu selagi menunggu pasanganmu?” dia tersenyum, manis sekali, apalagi wajahnya terhitung baby face.

Andai kakak perempuan bisa disebut pasangan. Kepalaku berkata dengan penuh sarkasme.

Aku agak bingung, ini di luar rencanaku, jika aku menuliskan nama dan wanita ini mengenalku bagaimana?

“Ta-tapi….” Kemana kemampuan komunikasi yang dielu-elukan dosenku saat di Standford ketika dibutuhkan? Aku gagap seperti keledai di depan wanita yang jadi panitia reuni ini. Oh, dobel sial bagiku.

“Ah, apa kau malu? Sudah lama tak bertemu teman-teman? Haha, aku Lee Hyeri dari angkatan 22 SD Hanshin. Agak menyebalkan harus memperkenalkan diri lagi sebenarnya, tapi—“ wanita bernama Hyeri ini bicara tanpa berhenti, tak memberikan aku izin untuk bicara dan malah menggaetku mendekati meja registrasi.

Kemana pula si Ahra? Jika dia meninggalkanku, aku benar-benar akan membuat perhitungan padanya. “—jadi, isilah dulu!”

“Ne?” Hyeri memindahkan bolpoin di tangannya ke tanganku—memaksa lebih tepatnya.

“Isilah dulu. Daripada kau di pojok sana seperti orang bodoh.” Satu-satunya hal yang membuatku merasa bodoh adalah bicara dengan wanita cerewet ini, aku rasa ketika di SD dia adalah biang gosip atau semacamnya. Beruntung aku melupakan siapapun Lee Hyeri ini.

Pandanganku beralih pada lembaran kertas yang berisi nama-nama dengan beberapa blok masih kosong. Liurku tertelan begitu sulit di tenggorokan. Haruskah aku menuliskan namaku? Atau aku berpura-pura menjadi orang lain?

Opsi yang kedua seolah menjadi ide brilian, diam-diam aku memuji otakku dan mengingat-ingat nama teman sekelas yang kutahu dari 15 tahun silam.

Ah, maaf ya Hong Sena. Aku meminjam namamu tanpa ijin.

“Ho-Hong Sena!” suara terbata Hyeri membuat senyumku luntur, aku memandangnya was-was, apakah dia mengenali Hong Sena? Sial, aku tidak memperhitungkan ini!

“Bu-bukankah, Hong Sena su-sudah meninggal? Hong Sena angkatan 22….” Dia menatap wajahku ngeri, selayaknya melihat hantu. Dan akibat suara tingginya kami mendapatkan perhatian semua orang di meja regis.

Inilah hal terakhir yang aku inginkan. Kenapa keberuntungan tak pernah memihak padaku soal ini? Saat aku hampir mengakui jika aku bukan Hong Sena, sebuah suara memecahkan kekakuan beberapa saat tersebut.

“Bukankah itu pewaris Hanshin, Oh Sehun?”

Ketika fokus semua orang telah berpindah, aku merunduk, dan bersembunyi di balik pilar besar tak jauh dari sana. Perkataan kasar dan bahasa slang keluar dari bibirku yang ranum karena lipstik.

Suasana kembali sunyi ketika seorang pria masuk bersama beberapa pria parlente. Rambutnya hitam tersisir rapih, auranya mengintimidasi, dan tatapannya tajam seperti 15 tahun lalu.

Perasaan dejavu membuatku terhenyak sesaat, membawa kembali kepingan memori yang diputar ke dalam sebuah proyektor di otakku dengan paksa. Sesuatu yang berusaha dilupakan.

Aku tak tahu jika akan secepat ini bertemu Sehun. Jauh dalam hati kecilku aku berharap tak bertemu dengannya malam ini. Sama sekali. Namun, aku hanya kurang beruntung dalam hal ini. Yang tak adil lainnya, kenapa laki-laki antagonis seperti di drama—sepertinya—punya wajah tampan dan mumpuni?

Selalu saja begitu, dan aku heroin yang payah serta malang—bercanda—aku berharap aku bukan heroin di opera sabun itu, atau adegan terakhir yang aku inginkan adalah jatuh cinta dengan Oh Sehun.

Terlalu klasik.

Lelaki itu masih sosok yang sama yang tak pernah mau membuang waktunya. Dia segera berlalu ke dalam hall setelah mengisi namanya di meja regis, saat orang-orang mulai kembali panik kala menyadari Hong Sena palsu telah lenyap di hadapan mereka.

“I-itu pasti hantu Hong Sena!” Lee Hyeri menjerit sebelum jatuh pingsan. Ya ampun.

Ini pertanda jika aku harus segera keluar dari sini atau sesuatu yang lebih buruk dapat terjadi. Sayang niatku terurung karena kedatangan seorang pria yang aku tak tahu kapannya. “Hong Sena-ssi atau seseorang yang menyamar menjadi dirinya?” dia mengendikkan bahu.

Rambutnya pirang dan mengkilap karena pomade. Dimana kameranya? Aku menyerah! Bahkan pria ini tahu aku berbohong.

Seolah tahu isi pikiranku, pria itu tertawa renyah. Tangannya berlindung di balik saku celana bahannya, dia mengenakan stelan jas abu-abu semi formal berdasar kemeja putih. Kalau perkiraanku benar, pria ini bukan orang yang kaku. “Tenang saja, aku tidak akan memberitahu pada siapapun. Mau ke dalam bersama?” tawarnya.

Sekarang itu ide yang bagus, setidaknya orang di meja regis akan berhenti mencariku. “Te-tentu.” Aku meringis untuk keterbataanku.

Hall Hanshin telah di rubah menjadi ruangan megah untuk acara reuni kali ini, jujur saja aku terpana pada desainnya. Tapi, tak menunjukan itu sebab masih ada pria tadi yang berusaha memulai pembicaraan denganku.

Kami sukses menemukan sebuah bar stool kosong, dan duduk di atasnya bersampingan. “Ironis, saat kita pernah menjadi teman sekolah tapi, saling melupakan nama masing-masing. Pubertas benar-benar merubah semua orang.” Kata pria yang masih belum kuketahui namanya ini.

Dia benar, dan kurasa pubertas benar-benar mengubah pria ini juga seperti ditabrak truk. Aku memilih tak menjawabnya, dan memesan cocktail untuk menghilangkan haus. Hanshin memang hebat, mereka bahkan sampai menyediakan sebuah bar mini hanya untuk perhelatan ini?

“Aku Kai….” Pria itu mulai lagi. Setidaknya dia memberikan identitasnya.

“Kai?” ulangku. Seingatku tak ada yang namanya Kai di Hanshin. “Itu hanya nama panggilan saja, sekarang katakan namamu.” Bibirku segera terkulum rapat, topik yang berusaha kuhindari malah muncul ke permukaan.

“MJ!” selorohku. Itu panggilan yang biasa teman-temanku di Standford gunakan. Miju terlalu kuno buat mereka.

Butuh waktu bagi Kai mencerna, dia terkekeh sebentar. “Then I’m your Peter Parker.” Jerk!

“Lelucon yang bagus….” Aku mencoba tertawa di tengah selera humornya yang payah. Jika ini tandanya untuk flirting denganku, selamat saja karena dia gagal. “Maaf, tapi, MJ. Aku tak ingat ada anak bernama Mary Jane atau apapun inisial MJ itu berarti.”

Tanganku bergerak menyelinapkan anak-anak rambutku ke belakang telinga. Entah mataku yang salah atau Kai memang kelihatan menahan napasnya. Jadi kuabaikan, “sepertimu, itu panggilan. Aku lebih suka dipanggil MJ.” Atau maksudku aku lebih suka kalian tidak mengetahui siapa aku.

Postur tubuhku berubah menjadi santai, Kai memutar sedikit bar stoolnya dan duduk menghadap padaku. “Ok, MJ. Anything for a beautiful maiden.” Aku harus hati-hati dengan pria-Kai ini, dia kelihatannya adalah player. Lihat bagaimana dengan begitu mudahnya dia meluncurkan kata-kata manis pada wanita yang baru dikenalnya dalam kurun 23 menit.

“Ah, aku tersanjung. Aku rasa aku harus ke toilet, Kai-ssi. A moment please.” Sebelumnya aku tidak pernah melesat secepat tadi seumur hidupku. Tahu-tahu aku sudah berada di sebuah kubikel yang terkunci sambil berusaha mengatur napasku yang tersengal.

Sejak awal datang ke sini memang ide yang buruk. Aku mengambil ponsel dari clutch yang sejak tadi aku bawa di tangan. Saat menyalakannya sudah ada 10 panggilan tak terjawab dan 5 pesan masuk yang semua datangnya dari Ahra. Tanpa menengok isi pesannya, aku mendial balik nomer kakakku.

Setelah beberapa nada sambung, suara Ahra yang tercampur musik klasik dari hall terdengar dari speaker.

“Yobosaeyo?”

“Ya! Gong Ahra, kau yang mengajakku ke sini dan kau yang melupakanku. Dimana kau? aku ingin pulang segera!” ujarku tanpa membalas sapaannya.

“Melupakanmu? Aku berputar-putar mencarimu sejak tadi, yang harusnya bertanya dimana itu aku.” Suaranya menjawab. Nampaknya Ahra bergerak ke tempat yang lebih sepi, sebab suara-suara musik mulai tak terdengar lagi.

“Aku terjebak bersama namja tukang rayu dan sekarang aku di toilet. Cepat ke sini dan selamatkan bokong adikmu!” sentakku.

“A-apa? Bicara—putus-putus—aku-“ TUUUT

Sambungan terputus begitu saja setelah suara-suara aneh datang dari sebrang sana, aku mendengus. Hampir saja meninju pintu kubikel jika tak mendengar derap langkah beberapa sepatu yang masuk ke dalam toilet.

Daripada aku melampiaskan sesuatu pada sarana umum dan terjadi kasus vandalisme, kakiku sepakat membawaku keluar dari kubikel tersebut, mengabaikan beberapa wanita yang sedang bercermin sambil memoles ulang wajah mereka. Aku tak punya waktu untuk mengecek tampilanku, dari awal memang tak ada niat sedikitpun bagiku berlama-lama di acara ini.

Aku hanya perlu menemukan Ahra lalu mengajaknya pulang, kalau dia menolak, aku akan mencari taksi atau Uber.

Mungkin saat aku berjalan di hall aku menjadi begitu mirip dengan pencuri. Bagaimana tidak? Aku mengendap agar tidak kelihatan oleh Kai sambil mengawasi sekitarku, yang aku butuhkan adalah menemukan cocktail dress merah gemerlap milik Ahra agar bisa pulang.

Takdir bisa jadi sangat membenciku atau sejenisnya, sebab ketika stiletto 5 sentiku berusaha menemukan jalan yang benar. Seseorang memutuskan memakai gaun yang panjang mala mini hingga menyapu lantai, saking panjangnya gaun itu, kakiku terselengkat.

Tubuhku oleng ke depan karena kehilangan keseimbangan, hendak membentur lantai jika saja tak ada seseorang yang melingkarkan tangannya di pinggangku kemudian menahan sebelum tubuhku benar-benar jatuh secara memalukan.

“Astaga….” aku mendesah perlahan.

Orang itu pelan-pelan menarik tubuhku dan membiarkan aku mendapatkan keseimbanganku kembali. Aku baru saja akan mengucapkan terimakasih pada orang itu, ketika wajah yang hendak kutengok berada beberapa inchi dari wajahku sendiri.

Napasku tercekat, entah mengapa suasana berubah sunyi bersama otakku yang terus mengirim sinyal-sinyal berbahaya.

OH SEHUN RADIUS 2 INCHI ALERT! ALERT!

Apa yang harus aku lakukan sekarang?

TBC or END?

HAHA I know I’m such a cliffhanger! Part 1 ini sebenernya special POV Miju setelah 15 tahun, makanya belum fokus sama Miju dan Sehun lagi, tapi di part 2 akan kembali jadi sudut pandang ketiga dan lebih banyak momen Sehun-Miju. RCL please~

Filed under: romance, Uncategorized Tagged: kai, OC, Sehun

Show more