2016-08-06



Taeb’s

Hope: The 2nd Hope

Oh Sehun / Han Jena

Campus Life, Romance

Sequel of Hope

“Apa itu tadi sebuah harapan?”

Happy Reading

Sorry for typo(s)

Kuanggap tatapan itu merupakan harapan. Kuanggap segala perlakuanmu tertuju padaku. Kuharap semuanya mengalir seperti di novel-novel yang senang untuk kumesrakan. Namun ternyata tidak. Rasanya seperti setiap khayalan yang aku khayalkan akan selalu berakhir sebaliknya, aku hanya bermimpi dan membuat kenyataan menjadi begitu pahit. Menyakitkan sekali.

Suara lembut dan menyentuh milik Baekhyun mengalun indah di sekitaranku. Bayangkan saja alunan-alunan musik itu memutari tubuhku lalu mereka melemparkan segala perasaan tak enak kembali padaku. Entahlah sebab bayang-bayng itu kembali mendatangiku.

Masih ingat ketika aku menemukannya sedang bersama dengan wanita itu? Ketika tatapannya seolah mengucapkan beribu kata namun tidak dapat kumengerti.

Bahkan baru saja beberapa hari yang lalu aku menemukannya di sebuah pusat pembelanjaan. Disana ia tampak tersenyum sambil memegang telepon genggamnya, membuatku bertanya-tanya, apa yang ia senyumkan sementara dirinya sendiri saat itu sedang tidak bersama orang lain.

Dan itu semua membuatku kebawa perasaan, aku berpikir ia tersenyum mungkin saja karena ia menemukanku—namun ini sangat impossible, dan menggelikan—ataupun sebab ia tersenyum adalah segala sesuatu yang berada di telepon genggamnya. Mungkin ia tengah bertukar text dengan temannya atau kekasihnya?

Aku terlalu berharap bukan?

Dan aku kembali dibuat bingung. Beberapa saat yang lalu ketika aku sedang menaiki tangga, ketika aku siap untuk berjalan menuju kelas, aku menemukannya. Berjalan kearahku, dengan ekspresi yang sangat—dingin?

Aku tidak tahu namun biasanya ketika kami bertemu ia akan menyapaku lalu kuberikan senyum padanya namun kali ini, matanya seolah ingin menembus kepalaku, menatapku tajam dan tidak lagi kutemukan tatapan seperti hari-hari biasanya.

Dan mulai dari saat itu kusadari, ia berubah. Ia tidak lagi menyapaku, memberikanku senyum ataupun sekedar menatapku sekilas seperti biasanya. Memang seharusnya aku tidak berharap banyak tentang seseorang yang kini telah memiliki kekasih bahkan tunangan sepertinya, namun harus bagaimana lagi? Aku telah jatuh ke jurang yang dalam itu, aku terjebak disana.

Aku menyadari suatu hal. Apa ia melakukan itu karena ia jelas tahu perasaanku? Apa kode-kode yang sering aku tunjukkan—tanpa kesengajaan—ataupun kode-kode yang teman-temanku tunjukkan membuatnya peka dan muak pada saat yang bersamaan? Jika itu penyebabnya, apakah artinya aku harus mundur? Sekarang?

***

Ddup. Aku menutup lemari bukuku yang usang—barang asrama—setelah membaca kembali kenangan yang kutulis didalam buku diari kekanakan milikku. Kenangan mengenai sesosok penting yang selalu saja membbuatku haus akan kasih sayang, seseorang yang membuatku harus menahan nafas ketika berada didekatnya.

3 tahun telah berlalu, segalanya berjalan dengan sangat santai dan menenangkan. Pergi jauh dari Korea Selatan sebagai upaya untuk menimba ilmu yang lebih luas dan tinggi serta melarikan diri dari—kesesakan cinta yang bertepuk sebelah tangan?

2 tahun sudah aku meninggalkan negara ginseng tersebut dan belum pernah memberanikan diri untuk kembali. Membuat orang tua atau adik-kakakkulah yang memilih untuk mengunjungiku. Mereka mempertanyakan keraguanku? Aku menolak untuk menjawab. Biarkan aku, tuhan, dan buku diariku yang mengetahuinya.

Kota yang indah inipun tiba-tiba saja terlintas saat usiaku menginnjak 19 tahun, Edinburgh, Skotlandia. Sebuah kota yang tenang, di injaki oleh orang-orang yang ramah dan memiliki sikap kekeluargaan yang tinggi. Bagian dari Kerajaan Inggris Raya inipun memiliki suasana perkotaan yang sangat kuno namun klasik dan menarik pada saat yang bersamaan, membuat orang-orang akan betah menetap disini.

Bersekolah disini ternyata jauh lebih menarik, teman dari berbagai negara lainnya yang seperti berkumpul menjadi satu dan menjalankan misi masing-masing. Kelas yang kumasuki sepertinya tidak pernah sepi dan kosong, para pengajar pun jarang sekali tidak hadir pada jadwalnya. Mereka benar-benar hebat dan terlalu rajin.

Tugas-tugas essai yang banyakpun membuat para pelajar-pelajar lebih sering berkutat di perpustakaan melainkan kafe-kafe untuk mengerjakannya. Didalam perpustakaan mereka akan selalu berkutat dengan laptop dan buku-buku tebal yang sesuai dengan materi, rata-rata berkacamata dan memiliki kantong mata di wajahnya. Menyedihkan.

Lalu tersorotlah diriku yang tengah membaca novel romantis 90-an yang kutemukan di Perpustakaan 24 jam dekat asrama. Dengan kacamata yang telah melorot sampai ke hidung, mata berkaca-kaca sebab alur cerita yang mengharukan dan duduk yang tidak lagi tegak. Mungkin sebentar lagi akan merosot kelantai.

Katakanlah aku masih tetap seperti diriku yang dulu. Pemalas, mencintai novel dan menyelingkuhi novelku sendiri dengan tempat tidurku. Aku masih 22 tahun, maklumkanlah segala kemalasanku sebab jiwa yang masih belum matang menjadi seorang wanita yang seharusnya. Bahkan keluargaku selalu bertanya-tanya bagaimana aku bisa mendapatkan beasiswa untuk masuk ke Edinburgh University ini.

Plok.

“Ahh, aduh!” Aku melepas begitu saja genggamanku pada novel dan memegangi kepalaku yang baru saja dipukul dengan sesuatu yang tebal dan menyakitkan. Tubuhku merosot kebawah membuat daguku membentur meja.

“Apa yang kau lakukan, itu sakit!” Badanku yang semakin merosot karena tepukan maut tadi kembali ku betulkan dan kini duduk layaknya Kate Middleton. Lalu kubetulkan letak kacamataku dan menatap ke arah gadis berambut pirang pendek dengan mata besar berwarna biru miliknya.

“Menghidupkan kembali jiwa ragamu yang mati”

“Menghidupkan kembali jiwa ragamu yang mati” Jena mendengus pelan dan mengusap jidat jenongnya yang katanya seksi itu sambil merutuki teman dari Jermannya itu.

“Ya ya ya, terserah apa katamu Ibu Biologi” Lalu Jena kembali fokus pada bacaannya. Membuat wanita disebelahnya mendengus lalu menyikut lengan temannya.

“Hey, apa kau gila? Ayolah, apa tugas essaimu sudah selesai?”

“Ofcourse! I found this novel 2 days ago and i really wanted to read this. So, thats why i finished it before you” Dan dengan bangganya Jena menepuk dada kirinya lalu tersenyum membuat matanya menghilang.

“Cih, terserah” Lalu keduanya larut dalam kerjaan masing-masing.

Adelea Catarena Agnethe. Itulah nama wanita berambut pirang disebelah Jena. Ia berkebangsaan Jerman dan memilih untuk belajar di Skotlandia. Seharusnya dia sadar bahwa dahulu negaranya itu sudah beberapa kali menyerang Kerajaan Inggris Raya dan Skotlandia termasuk. Membuat Jena sangat berbinar ketika mengetahui asal wanita tersebut pada awalnya.

Kini jarum pendek jam sudah menunjuk kearah setengah dua pagi, Jena sudah memasuki akhir-akhir halaman dari novelnya sementara Catarena sudah terlebih dahulu membereskan barang-barangnya.

“Aku duluan, Jen. Jangan lupa untuk mengunci sepedamu ketika sampai, mwah”

“Tentu. See you tomorrow, Cat” Lalu Catarena memberikan flying kiss kepada Jena. Sebelum Jena membalasnya, wanita itu sudah terlebih dahulu pergi dan menghilang. Selalu seperti itu.

Jena sadar kini perpustakaan sudah berubah menjadi sepi, sangat sepi malah. Di ruangan yang ia pilih untuk membaca hanya tersisa dirinya dan seorang wanita Arab yang ia ketahui dari Edinburgh Medical School, same like Catarena.

Wanita itu lebih memilih keluar, sebelumnya ia mengembalikan bukunya ke rak yang seharusnya. Sebenarnya bisa saja ia meminjam buku dari perustakaan lalu mengembalikannya, namun jika ia menghilangkan buku itu, ia tidak mau membayar denda hilang buku untuk ke-4 kalinya.

Seperti kata Catarena. Sesampai di asramanya Jena mengingatkan diri untuk mengunci sepedanya, karena tiga hari yang lalu ia kehilangan sepedanya. Ia pikir tidak akan ada yang berniat untuk mencuri di Skotlandia yang terkenal aman. Mungkin ia tertimpa nasib buruk.

Jena tiba dikamarnya yang berada dilantai tiga. Kamarnya yang kecil, sangat kecil. Tentu saja kecil karena kamar ini merupakan kamar termurah di asrama University of Edinburgh. Ayolah, ia tidak punya uang yang cukup untuk membeli kamar yang jauh lebih mahal.

Setelah melepas tasnya, menaruhnya di meja belajar, melepas jaket serta syal, Langsung saja wanita itu melemparkan diri kekasurnya dan mulai mengitari alam mimpinya yang baginya tidak pernah sebahagia mimpi-mimpi orang lain yang tampaknya sangat indah.

***

Sebagai murid dari Edinburgh College of Art tentu hidup seorang Han Jena tidak pernah jauh dari imajinasi-imajinasi kreatif miliknya seperti dinosaurus bersayap kupu-kupu ataupun kupu-kupu dengan taring yang mengeluarkan api dari mulutnya. Menarik dan menyegarkan.

Itulah mengapa Jena memilih untuk mengikuti ujian beasiswa dan memilih School tersebut. Setelah menyelesaikan rapat diskusi untuk menyelenggarakan event tahunan di Universitasnya yang dilakukan 3 kali setahun, Jena kini memilih untuk menuju ke kafe favoritnya dekat dengan ruang kelas yang akan ia masuki selanjutnya tentu.

“1 vanilla latte and hm, salad’s bowl please” Setelah memberikan card payment kepada si kasir, Jena bergeser sedikit ke kanan lalu meraih sebuah talenan berwarna hitam. Menaruh vanilla latte panas miliknya serta mangkuk salad, sebelum berjalan kearah Salad Corner.

Sudah menjadi kebiasaannya sendiri sarapan dengan menu termurah di kantin kampus. Selalu vanilla latte—paling, 1-2 kali ia muak lalu memesan hot chocolate—dan semangkuk salad ataupun roti lapis daging panggan favoritnya. Usai mengisi mangkuknya dengan beberapa salada, tomat, telur rebus, brokoli, beberapa sayur lainnya serta tidak lupa mayonnaise dan saus rasa tomat, ia melangkah ke meja dengan dua bangku dekat jendela. Ia menyenderkan tasnya ke jendela sementara merogoh kantung jaketnya, mengeluarkan ponselnya dan menaruhnya pas disebelah mangkuk salad.

“Morning, Ms. Han” Suara Catarena menggema di pendengarannya. Ia mengalihkan pandangannya kearah Catarena sebentar. Hari ini gadis itu mengenakan sebuah blouse berwarna krim dan rok ketat 10 cm diatas lutut dan flat shoes hitam andalannya. Omong-omong, Catarena salah satu wanita yang banyak dkejar-kejar di kampus.

“Morning, Ms. Agnethe” Sebenarnya itu bukan panggilan yang benar untuk Catarena namun biarkanlah Jena. Catarena menaruh tas selempang dengan ukuran sedang miliknya di sebelah tas Jena lalu mengeluarkan kotak bekal miliknya dan sebuah kotak plastik yogurt.

“Apa yang kau bawa? Roti lapis tuna?”

“Ya, seperti biasanya” Jena mengangguk-angguk lalu kembali fokus pada layar ponselnya. Catarena memerhatikan sikap teman sejawatnya itu dengan aneh. Ia tidak pernah sefokus ini jika sudah melihat layar ponsel, karena Jena anak yang sedikit membuat celah dengan ponsel. Biasanya ia hanya akan fokus ketika membaca novel fantasi-romansa 90-an yang terlalu berliku-liku—itu kata Jena.

“Apa itu?” Tanya Catarena. Membuat Jena meliriknya sebentar.

“Untuk Event Open Days, mereka mau kami untuk membuat sesuatu yang berbeda dan jauh lebih baik daripada tahun lalu. Ingin dekorasi jauh lebih hebat, sekalian pamer kalau college of art itu hebat-hebat”

“Lalu apa yang tidak kau sukai?” Ucap Catarena. Tahu bahwa ada yang tidak beres setelah mendengarkan intonasi suara Jena yang emnurun.

“Aku rasa tidak ada yang perlu di upgrade. Karena acara-acara sebelumnya sudah cukup baik, dan peminatnya semakin meningkat dari tahun-ke-tahun” Jena menempelkan kepalanya ke meja hitam yang dingin. Menatap ke roti lapis tuna milik Catarena yang tinggal setengah. Bibirnya memangut-mangut ertanda ia sedang berpikir keras.

“Hanya itu?”

“Ya, dan mereka semua yang menyuruhku untuk mencari ide. Tidak adil, karena katanya hanya aku yang sedang tidak begitu sibuk akhir-akhir ini. Menyebalkan”

“Dan kutebak kau tidak menemukan idenya”

“Tepat sekali!” Ia menegakkan badannya lalu menyeruput kembali vanilla latte yang ia pesan.

“Kau hebat dalam berimajinasi, Jen. Keluarkan saja” Ucap Catarena.

Jena memutar bola matanya. Ia lalu meraih tasnya setelah menyendokkan suapa terakhir saladnya ke mulut. Memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jaket lalu menggenggam cup holder vanilla lattenya kuat-kuat, takut setengah cairan didalam yang panas akan keluar jika tidak dipegang benar-benar. .

“Semoga ‘keluarkan saja’ itu sangat mudah, ya, Catarena”

***

Setelah menyelesaikan kelasnya, Jena menuju kearah parkiran sepeda dan berniat pergi ke pasar untuk membeli berbagai macam bahan-bahan masak. Esok adalah Sabtu dan biasanya ia aakn menghabiskan waktu mengunjungi rumah besar milik Catarena lalu memulai eksperimen disana.

Seperti hari biasanya, koridor-koridor sekolah tidak akan pernah sepi dari para murid-murid yang berkumpul dengan temannya ataupun membaca buku sendirian. Jenapun salut sekali dengan mereka yang membaca buku sendirian disalah satu bangku koridor, karena koridor yang ribut dengan canda atau tawa orang-orang yang berlalu lalang sangat menganggu namun si pembaca masih tetap bisa fokus pada bacaannya.

Tibanya di parkiran, ia membuka gembok sepedanya dan mulai mendorong sepedanya dari track parkiran sepedanya. Menuju kearah jalan keluar sepeda yang di apit oleh dinding-dinding atau tembok yang kasar namun indah karena warnanya yang menenangkan.

Ia mengayun pedal sepeda dengan tenang menikmati angin-angin yang menyapunya kulit wajahnya sejuk, ia menyukainya. Tampaknya ia sangat menikmati angin-angin tersebut sampai-sampai menutup matanya ketika mengendarai sepedanya.

“Ah, inilah sesuatu yang sulit di temukan di Seoul” Ia menutup matanya lalu tersenyum dan—

Tit, Titt!

“Ehe?!”

Gdubrak!

Amazing, sanking menikmati angin-angin yang membelainya lembut kini ia berakhir dengan menikmati kasarnya dinding-dinding batu di pipinya yang seperti memberinya kecupan hangat.

Matanya menatap ke atas—awan—bertanya-tanya kenapa hidupnya tidak pernah sebahagia orang-orang lainnya. Lalu ia memutar kepalanya dan menatap kearah mobil hitam yang baru saja membuatnya dicium oleh dinding kasar tersebut.

Walaupun ini sedikit kesalahannya, ini tidak sepenuhnya kesalahannya! Ini adalah jalan bagi pembawa sepeda, kenapa mobil hitam itu lewat jalan ini. Jena menggeram, ia mengelus pipinya yang panas karena dikecup. Ia mengumpat kesal ketika merasakan perih di pipinya lalu menarik salah satu besi sepedanya. Memberdirikan kembali sepedanya.

Didalam mobil hitam tersebut seorang lelaki dengan setelan jas hitamnya melirik kearah kaca spion tengah, tersenyum miring sebelum kembali fokus ke kata-kata yang tersusun rapi di layar iPad Pronya.

“She is following us” Itulah katanya kepada si supir yang kini tengah membawa mobil hitam itu berjalan kearah sebuah bangunan utama ataupun biasanya disebut sebagai bangunan pertemuan untuk tamu-tamu penting.

Si Supir melirik kearah spion tengah dan sedikit terperanjat ketika menemukan seorang gadis dengan jaket berwarna hitam yang tengah mengayun sepedanya dengan cepat dan tentu sambil menatap tajam ke mobilnya. Berharap dengan tatapan itu ia bisa memberhentikan mobil tersebut dan minta pertanggungan jawab.

Mobil hitam itu tiba didepan sebuah gedung dengan arsitektur yang mirip menyerupai sebuah istana yang berada di Edinburgh. Mobil berhenti, lelaki yang duduk di jok penumpang memasukkan iPadnya ke dalam tasnya sebelum pintu terbuka dan tampaklah seorang lelaki paruh baya dengan rambut keputihan miliknya, meraih tas hitam milik atasannya lalu membukakan jalan.

Lelaki dengan badan tinggi tegap serta rahang tegas itu keluar dari mobilnya lalu memutar pandangannya, memeriksa dengan detail gedung yang berada dihadapannya. Lalu menatap kearah skretaris pribadinya yang telah tiba lebih awal daripadanya.

“Anda telah ditunggu, Tuan Muda. Silahkan masuk, lewat sini” Kata lelaki tersebut, berdiri di belakang atasannya ketika mereka melangkah masuk ke pintu utama.

Sementara di balik pagar jerami yang setinggi dengan ukuran tubuhnya, Jena menatap tidak percaya pemandangan yang ia lihat. Bukan bangunan yang sangat indah itu, bukan pula mobil mewah hitam yang mencelakainya itu, bukan pula pengawal tampan yang berada didepan pintu masuk gedung. Melainkan seorang lelaki yang baru saja turun dari mobil hitam itu.

Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Mungkin saja ia salah orang, namun, bagaimana bisa ia salah melihat orang sementara rupa itu sudah tercetak dengan sangat jelas dikepalanya. Itu benar dia. Itu benar merupakan lelaki yang membuatnya memilih bermukim di benua Eropa ini.

Tapi di luasnya dunia ini, kenapa harus kembali bertemu?

Jena memutar badannya lalu duduk bersender pada pagar jerami ketika lelaki itu menghilang di balik pintu gedung pertemuan. Ia memutar balik ingatannya tentang lelaki masa lalunya dan lelaki yang baru saja ia lihat tadi.

“Apa benar? Apa itu dia?” Ia menenggelamkan kepalanya diantara kedua lututnya yang ia rapatkan.

Ia bingung kenapa tuhan kembali mempertemukannya dengan lelaki yang bahkan belum bisa ia lupakan itu. Apa ini adalah sebuah kesempatan yang tuhan berikan? Mungkinkah ini adalah harapan untuk bersama dengan lelaki itu?

Apa itu tadi sebuah harapan?

—————-

Halo, idk what is this maybe you can call this as the sequel of my ficlet before ‘Hope’. Suddenly those ideas come to me and yea inilah hasilnya. Mungkin ceritanya sangat tidak jelas dan gaya penulisan aku yang masih banyak kurangnya. Maafin aku. Aku gatau sebenarnya aku mau bikin ini jadi chaptered tapi gatau karena aku punya firasat nobody bakal tertarik jadi ya, masih fifty-fifty mau bikin ini chaptered ato enggak.

Makasih udah baca. Jangan lupa komen cus i like it when someone commented on my fanfic and said everything about their own opinion. Sorry for typo(s), and see u next time^^

Regards, Taeb

Filed under: Campus Life, Drama, romance, Uncategorized Tagged: exo, Sehun, Sehun EXO

Show more