2016-07-31



Ziajung’s Storyline©

Casts: Park Chan Yeol | Choi Seo Ah | Lee Ji Eun | Oh Se Hun

Genre: Romance, Comedy, Marriage Life

Prev:  [Prolog] || [1st Step] || [2nd Step] || [3rd Step] || [4th Step] || [5th Step]

[EXTRA]

Warning! Very Berry Long Part & Little Rated

———————————————–

6th Step

Mulai saat ini, aroma mawar ini menjadi kesukaannya

***

Pertengahan musim panas ini, Choi Seo Ah selalu membawa payung lipat karena ramalan cuaca yang ia dengar di radio mobil akhir-akhir ini selalu mengatakan hujan akan turun ketika sore menjelang malam. Tapi selama berhari-hari itu tidak pernah terjadi, hingga akhirnya Seo Ah bosan dan meninggalkan payung itu di mobil. Sebenarnya bisa saja Seo Ah menyimpannya di dalam tas, tapi Seo Ah bukanlah tipe orang yang mau repot-repot membawa barang yang tidak berguna saat bekerja.

Dan Seo Ah menyesal karena menjadi tipe orang yang ‘seperti itu’.

Hujan deras turun di sore hari, ketika jam pelajaran usai. Awan kelabu yang bergulung di langit seolah mengejek hari-pertama-meninggalkan-payung Seo Ah. Sudah tiga puluh menit Seo Ah berdiri di depan pintu masuk sekolah, memandangi dari jauh mobilnya yang terparkir jauh di sana. Satu per satu murid yang menunggu hujan reda dijemput orangtuanya, dan beberapa nekat menerobos hujan sampai halte bus di depan. Seo Ah masih bertahan di sana untuk beberapa menit ke depan, menunggu seseorang menawarkan payung. Tapi mustahil.

Langit semakin gelap, dan angin yang bercampur hujan membuat baju Seo Ah basah. Ia tidak benci hujan, tapi tidak suka menjadi basah. Akhirnya, karena kaki Seo Ah mulai pegal, dan ia punya janji yang tidak bisa dibatalkan, Seo Ah berlari menerobos hujan dengan high heels lima sentinya. Satu tangannya memeluk laptop dan mengapit tas tangannya, sedangkan satunya lagi menutupi kepalanya dengan buku bahan ajar. Tidak mudah berlari di tengah hujan dengan high heels. Seo Ah harus cepat tapi juga harus memperhatikan lubang atau kerikil di halaman sekolah. Ia tidak mau penampilan yang sudah menyedihkannya ini tambah menyedihkan.

Seo Ah mematikan alarm mobilnya dari jarak lima meter, dan langsung masuk ke dalam. Cepat-cepat ia mengambil handuk yang ada di jok belakang, mengelap laptopnya. Sambil harap-harap cemas, Seo Ah mencoba menyalakan benda itu, lalu menghela nafas lega saat layar laptop hidup dengan normal. Ia pun mulai mengeringkan tubuhnya sendiri.

Dari kaca tengah, Seo Ah melihat betapa kacau penampilannya. Pipinya memerah karena dingin, begitu juga ujung hidungnya. Untung saja ia memakai maskara water proof, sehingga matanya yang turun tidak terlihat mengerikan. Tidak ada sehelai rambut Seo Ah yang kering—rusak sudah hasil blow pagi-paginya.

Sambil masih mengeringkan rambutnya, Seo Ah menyalakan mesin mobil. Sebenarnya ia menyimpan beberapa kaus di mobil, tapi untuk sekarang, Seo Ah tidak memiliki waktu untuk berganti pakaian. Bukan karena ia sedang terburu-buru, tapi… halo? Apa dia bisa berganti pakaian di dalam mobil begitu saja?

Seo Ah melajukan mobilnya ke Rumah Sakit Universitas Seoul. Tidak, Seo Ah tidak sakit. Kata teman-temannya, orang bodoh dan cerewet (well, meski Seo Ah tidak benar-benar bodoh, tapi lumayan cerewet) adalah makhluk yang paling kebal terhadap penyakit. Terbukti saat tinggal di London, Seo Ah pergi ke rumah sakit hanya karena ibunya menagih laporan kesehatannya sebulan sekali. Meski beberapa saat ia membutuhkan obat penghilang sakit kepala atau flu ringan yang bisa dibelinya sendiri di apotek.

Oke, lupakan itu.

Seo Ah akan mengunjungi ayah Chan Yeol yang dirawat di salah satu ruang VIP di sini. Ini bukan pertama kalinya Seo Ah datang. Tanpa sepengetahuan Chan Yeol, ia meminta Sekretaris Jung memberitahunya di mana ayah Chan Yeol dirawat. Awalnya Sekretaris Jung menolak karena Chan Yeol akan marah besar kalau ia tahu. Tapi setelah negosiasi panjang, Seo Ah pun mendapatkannya, dan sudah seminggu ini ia rutin menjenguk ayah mertuanya setelah pulang bekerja atau saat makan siang.

Bukan tanpa alasan ia datang. Well, memang pada dasarnya ini sebagai bentuk hormat terhadap ayah mertua, tapi lebih dari itu… Seo Ah ingin membuktikan sesuatu. Membuktikan kalau Chan Yeol salah besar. Seo Ah tahu, ayah mertuanya adalah orang baik dan tidak akan berbuat hal rendahan seperti itu. Ia juga tidak mau Chan Yeol terus membenci ayah kandungnya.

Seo Ah menghentikan mobilnya di pelataran parkir Rumah Sakit Universitas Seoul. Bajunya masih basah, meski tidak sebasah sebelumnya karena terkena AC mobil. Seo Ah menggenggam sebuket Apple Blossom berwarna putih dan kuning di toko bunga tadi. Orang-orang menatapnya dengan dahi berkerut begitu Seo Ah turun dari mobil, tapi Seo Ah tidak peduli dan tetap melangkah.

Padahal baru seminggu Seo Ah rutin datang, tapi para suster yang menjaga sudah mengenalnya. Seo Ah pun balas menyapa mereka, sebelum berbelok di koridor menuju lorong VIP. Tidak seperti yang sering lihat di drama, pintu rawat ayah Chan Yeol tidak dijaga apapun. Awalnya Seo Ah juga bingung, tapi memilih untuk menghiraukannya.

Pintu mengayun terbuka, bersamaan dengan suara lembut Seo Ah yang menyapa ayah mertuanya. Tapi Seo Ah tidak langsung masuk, karena ia melihat ayah Chan Yeol tengah berbicara dengan seorang wanita cantik yang duduk di sebelah ranjangnya. Mereka berdua pun memutar kepala, melihat kehadiran Seo Ah.

“Oh, Seo Ah-ya. Masuklah.”

Seo Ah melangkah dengan ragu, ia takut kalau kehadirannya sudah mengganggu pembicaraan serius di antara mereka. Kalau dilihat, wanita itu bukan salah satu keluarga Park. Seminggu rutin menjenguk beliau, Seo Ah tidak pernah sekalipun melihat keluarga Park ada di sini—bahkan ibu Chan Yeol sekalipun. Menggantikan ayah Chan Yeol, ibu Chan Yeol pun harus mengurusi beberapa resort milik Golden di luar negeri. Tapi… apakah tidak bisa ditunda saja?

Wanita cantik yang duduk di kursi itu masih muda, mungkin seumuran Seo Ah. Rambut coklat bergelombang menggantung cantik di punggungnya. Wajahnya dihiasi kelopak mata ganda, hidung tinggi, dan dagu yang lancip. Seo Ah sangat menyukai bentuk bibirnya yang tipis dan mungil. Dari penampilannya saja sudah terlihat kalau dia berasal dari kelas atas. Blouse biru yang licin, celana bahan, dan high heels hitam yang membuat kaki jenjangnya—bahkan saat duduk sekalipun—terlihat menawan. Seo Ah merasa kecil di sini.

“Apa aku mengganggu kalian?” tanya Seo Ah.

“Tidak sama sekali.”

Wanita itu menganggukkan kepala, memberi salam pada Seo Ah dengan singkat. Senyumnya sangat tipis, dan sekilas mirip dengan milik Chan Yeol.

“Ji Eun-a, perkenalkan dia Choi Seo Ah, istri Chan Yeol.”

Selama lima detik garis tegang tergambar samar di wajah Ji Eun, meski Seo Ah tidak melihatnya. Sama seperti Chan Yeol, wanita ini sangat ahli menyembunyikan ekspresi. Wanita itu dengan mudahnya kembali tersenyum dan mengulurkan tangannya kepada Seo Ah.

“Annyeong haseyo? Nama saya Lee Ji Eun.”

Seo Ah menerima uluran tangan Ji Eun. “Saya Choi Seo Ah.”

Setelah perkenalan singkat itu, Ji Eun kembali menatap ayah Chan Yeol. “Kalau begitu saya permisi dulu, Park Daepyonim.” Ia mengangguk lalu keluar dari ruangan itu, meninggalkan ayah Chan Yeol dan Seo Ah yang masih berdiri sambil menggenggam buket bunga.

“Apa aku sudah mengganggu kalian?”

Ayah Chan Yeol tersenyum. “Tidak, kami memang sudah selesai berbicara. Duduklah.” Ia menunjuk kursi yang tadi ditempati Ji Eun.

“Bagaimana keadaan Abeonim?”

“Sudah lebih baik.” Jawab beliau. “Oleh karena itu kau bisa berhenti mengunjungiku, Seo Ah-ya.”

Chan Yeol memang menuruni sifat ayahnya. Sama seperti anaknya, ayah Chan Yeol tidak suka berbasa-basi dan berbicara langsung ke poinnya. Seo Ah terdiam di tempatnya, menggenggam erat kedua tangannya. Ia menghindar kontak mata dengan ayah Chan Yeol sambil berpikir, apa ia pernah melakukan sesuatu tidak disukai beliau? Apa jangan-jangan ayah Chan Yeol memang tidak pernah menyukainya?

Seolah mendengar pertanyaan yang berputar di kepala Seo Ah, ayah Chan Yeol melanjutkan. “Chan Yeol pasti tidak ingin kau ada di sini.”

Dan Seo Ah tahu itu benar. Sejak mendengar cerita Chan Yeol tentang keluarganya, Seo Ah merasakan betapa besar rasa benci Chan Yeol kepada keluarganya sendiri. Kebenciannya begitu kuat sampai Seo Ah takut Chan Yeol sendiri yang akan terluka nantinya. Seo Ah masih ingat betul apa yang Chan Yeol katakan dalam tidur saat Seo Ah memeluknya waktu itu.

“Tetaplah di sisiku. Kau satu-satunya keluarga yang kupunya.”

Keluarga… benarkah begitu?

“Abeonim… apa Anda membenci Chan Yeol?” entah darimana keberanian sebesar ini datang pada Seo Ah. Ia bertanya, meski pandangannya tertuju pada selimut yang menutupi kaki ayah Chan Yeol.

Park Seung Hyun tidak langsung menjawab, malah tertegun. Ia menyadari ada pertanyaan tersembunyi di balik pertanyaan Seo Ah. Pertanyaan yang terlihat jelas bahwa Seo Ah sudah mendengar sesuatu dari Chan Yeol. Seung Hyun tersenyum tipis, lebih ke arah menahan sakit hatinya yang semakin menjadi.

“Apa kau penasaran akan sesuatu?”

Seo Ah mengerjap. “Tidak… hanya saja….” matanya berputar, mencari kata-kata yang tidak terlalu kasar. “Chan Yeol-ssi bilang kalau hubungan kalian tidak terlalu baik.”

Seung Hyun yakin kalau bukan itu. Tanpa dikatakan, Seung Hyun tahu seberapa besar rasa benci Chan Yeol kepadanya—tidak, bahkan kepada keluarga Park. Semua memang salahnya. Tapi Seung Hyun bersumpah, ia tidak pernah berkeinginan untuk membuat Chan Yeol membencinya.

“Memang.” Jawab Seung Hyun sambil menghela nafas. “Karena aku yang membunuh ibu kandungnya.”

“Abeonim….” Seo Ah berbisik, tidak percaya ayah mertuanya mengatakan itu dengan mudah.

Seung Hyun menoleh, dan ia lagi-lagi mengulaskan senyum tipisnya. Senyum yang sekilas menyiratkan perasaan sedih dan luka yang dalam. “Iya, Park Seung Hyun ini yang telah membunuh ibu kandung Park Chan Yeol.”

Mulut Seo Ah terbuka dan mengatup tanpa mengeluarkan suara apa-apa. Nafasnya tercekat di tenggorokan. Ia bisa merasakan tulang punggungnya seperti kehilangan kekuataan. Beruntung ia sedang duduk, kaki Seo Ah benar-benar bergetar. “K-Kenapa? A-Abeonim pasti berbohong, kan?”

“Aku ingin melindungi anak itu.” melihat ke luar jendela, Seung Hyun menjawab. “Bukankah dia sangat merepotkan?” Ia pun terkekeh pelan.

Seo Ah tidak membalas, membiarkan ayah mertuanya bercerita lagi.

Menghela nafas, Seung Hyun kembali menatap Seo Ah. Tangannya terulur untuk meraih telapak tangan Seo Ah dan mengusapnya. “Untuk saat ini, hanya itu yang bisa kujawab. Terlalu banyak yang kau ketahui, akan membuatmu dan Chan Yeol semakin terluka. Dia tidak sekuat kelihatannya.”

Di balik perkataannya, Seung Hyun sebenarnya sedang memohon. Ia tidak mau melukai anak itu lebih dalam. Semua yang ia lakukan sampai titik ini saja sudah membuatnya hidup seperti orang mati. Chan Yeol memang terlihat kuat dari luar, dengan tatapan mata yang tajam dan cara bicaranya yang tegas, ia dikenal sebagai pemimpin yang kompetitif dan patut disegani—seperti dirinya. Namun rasa benci yang tertanam sejak kecil di hatinya membuat semua itu juga menjadi kelemahan terbesarnya.

“Kenapa?”

“Percayalah pada Chan Yeol, jangan pernah tinggalkan dia sendirian.” Ucap Seung Hyun. “Aku… Aku tidak ingin membuatnya menjadi seperti diriku.”

Seung Hyun terkekeh pelan, lebih ke arah mengasihani dirinya sendiri. Matanya menerawang kembali ke luar jendela. Hujan sudah mulai reda dan hanya tersisa gerimis kecil yang membasahi jendela. Perlahan, bulan terlihat di balik awan yang menggantung di langit gelap. Ia bisa merasakan kesepiannya bagai bulan itu.

“Bahkan dalam keadaan begini pun tidak ada satupun saudara yang menjengukku.”

***

Chan Yeol tanpa sadar mendesah saat ia melihat ruang tamunya kosong. Ia baru saja pulang bekerja. Di belakangnya, Yoon Ahjumma membawakan tas dan jas yang Chan Yeol pakai tadi. Akhir-akhir ini, melihat kehadiran Seo Ah di ruang tamu saat pulang bekerja menjadi asupan energi tersendiri untuk Chan Yeol. Memang Seo Ah tidak melakukan apa-apa, tapi senyumnya dan suara Seo Ah sangat mengatakan ‘kau sudah pulang?’ membuat penat Chan Yeol hilang seketika.

Dan hari ini, wanita itu tidak ada.

Seolah bisa membaca isi kepala Chan Yeol, Yoon Ahjumma pun berucap. “Nyonya belum pulang, mungkin agak telat hari ini.”

Benar, memang jam malam mereka (meski Chan Yeol tidak yakin apakah benar-benar ada ‘jam malam’ untuk usia mereka) jam sebelas malam, tetap saja apa susahnya memberi tahu Chan Yeol kalau ia pulang telat? Belum lagi Seo Ah membawa kendaraan sendiri. Bagaimana kalau ada apa-apa di jalan.

Chan Yeol mengambil ponselnya untuk menghubungi Seo Ah, setidaknya untuk mengetahui di mana dia sekarang. Baru ia ingin menyalakan ponselnya, sebuah panggilan masuk. Layar ponselnya menampilkan nama yang sudah lama tidak menghubunginya, bahkan ia dengar—Lee Ji Eun.

“Ada apa?”

“Apa itu kalimat pertama yang pantas diucapkan kepada seorang teman lama?”

Mendengar pertanyaan sarkastik itu, Chan Yeol mendesah. “Baiklah….”

“Bagaimana kabarmu?”

“Baik. Ada apa kau menghubungiku?” Chan Yeol tidak suka berbasa-basi, apalagi omong kosong seperti ini. Lee Ji Eun bukan tipe wanita yang menelepon hanya untuk menanyakan kabar, Chan Yeol tahu benar itu.

“Apa hubungan kita berubah sejauh itu?” Ada terselip nada hampa di sana. “Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali kau menghubungiku.”

Chan Yeol memejamkan mata sambil memijit dahinya. “Lee Ji Eun….”

“Istrimu cantik, pantas kau mau menikahinya.”

Gerakkan tangan Chan Yeol terhenti. Ia mencerna apa yang baru saja didengarnya. Ji Eun memang tahu ia menikah, Chan Yeol sendiri yang memberitahunya. Tapi wanita itu tidak datang saat acara pernikahan, atau beberapa hari setelahnya. Chan Yeol memang sempat mendengar bahwa Ji Eun kembali lagi ke Korea dari orang-orangnya, dan percakapan pertama setelah sekian lama tidak bertemu sangat membuat Chan Yeol terkejut.

“Kami bertemu. Di kamar rawat ayahmu.” Seolah tidak cukup membuat terkejut, Ji Eun melanjutkan.

Kedua tangan Chan Yeol terkepal, sampai buku jarinya memutih. Mendengar kata ‘ayah’ dari mulut Ji Eun membuat seluruh tubuhnya bergetar. Choi Seo Ah… entah kapan wanita itu berhenti membuat Chan Yeol sakit kepala. Chan Yeol tahu sifat Seo Ah yang suka ikut campur urusan orang lain, tapi ia tidak menyangka kalau Seo Ah akan terlibat sejauh ini. Menemui orang itu?! Wanita itu mau mati, ya?!

Tanpa mengucapkan apapun, Chan Yeol memutuskan panggilannya. Matanya terpejam, menahan sekuat tenaga untuk tidak menghancurkan seisi rumah. Apakah penjelasan Chan Yeol waktu itu kurang jelas di telinga Seo Ah? Sudah jelas-jelas Chan Yeol tidak mau Seo Ah terlibat apapun dengan keluarganya. Tapi wanita itu sendiri yang datang dan melibatkan diri. Dasar wanita gila!

“Tuan, apakah Anda ingin makan malam sekarang?” Yoon Ahjumma bertanya dengan hati-hati. Melihat aura gelap di sekitar Chan Yeol, ia menyadari ada sesuatu yang terjadi. Dan mungkin berhubungan dengan istrinya.

“Nanti saja.”

Chan Yeol naik ke lantai dua, menuju kamarnya. Ia kehilangan nafsu makannya, yang ia ingin lakukan sekarang adalah memukul apapun untuk mengenyahkan amarahnya. Chan Yeol bisa saja mendatangi kamar rawat ayahnya, menarik Seo Ah, dan memarahinya habis-habisan. Tapi di satu sisi, ia tidak mau melihat ayahnya. Ia tidak mau melihat wajah pembunuh.

Setelah mandi dan berganti pakaian, Chan Yeol menunggu di ruang tamu. Kakinya tersilang, dan ia melipat tangannya di dada. Ia tidak melakukan apa-apa, hanya memandang ke arah pintu depan, berharap lampu di sana segera menyala. Dalam helaan nafasnya tersimpan sumpah serapah dan kutukan untuk Seo Ah. Wanita keras kepala!

Chan Yeol menahan nafas sambil memejamkan matanya saat mendengar suara pintu depan terbuka, bersamaan dengan lampu yang menyala. Seo Ah yang masih memakai one piece oranye seperti yang Chan Yeol lihat tadi pagi, melangkah masuk dengan kepala tertunduk. Ia terlihat sangat lelah dan…. basah? Tidak hanya rambutnya yang terlihat lembab, Chan Yeol juga melihat jejak air di baju wanita itu.

“Oh, kau sudah pulang?” tanya Seo Ah ketika matanya menangkap sosok Chan Yeol yang tengah duduk di ruang tamu. Tapi pria itu tidak menjawab, malah terus menatap Seo Ah dengan dahi berkerut. Seo Ah yang lelah akhirnya memilih mengabaikan itu dan berbelok untuk naik ke lantai dua.

“Aku masuk—“

“Darimana?”

Seo Ah menghentikan langkahnya, dan berbalik lagi. Meski sedikit kesal karena tidak langsung bertanya saat Seo Ah masuk saja, Seo Ah tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Ia sudah diperingatkan oleh Sekretaris Jung kalau Chan Yeol tahu ia mengunjungi ayahnya, Chan Yeol akan marah besar. Tapi karena ia percaya pada Sekretaris Jung, Seo Ah jadi sedikit lupa diri. Ia lupa kalau Chan Yeol mempunyai mata di mana saja.

Memainkan bibirnya, Seo Ah pun menjawab. “Aku baru habis minum-minum bersama yang lain. Tapi karena aku lelah, jadinya aku pulang duluan.”

Lagi-lagi Chan Yeol hanya diam saja. Tapi tatapan mata yang menuntut itu membuat Seo Ah terang-terangan menelan air liurnya sendiri. “A-Aku ingin mandi dulu—“

“Kau menjenguk abeoji.”

Normalnya, itu adalah sebuah pertanyaan. Tapi karena nada bicara Chan Yeol terlalu datar, kalimat itu berubah menjadi pernyataan pahit yang menggores punggung Seo Ah sampai berdarah. Seo Ah membeku, tidak mampu membantah ataupun mengiyakan. Bahkan ia sampai lupa bagaimana caranya bernafas gara-gara Chan Yeol terus menatapnya seakan ingin mengulitinya saat itu juga.

“A-Aku hanya mengucapkan salam….”

“Apakah perkataanku waktu itu kurang jelas?” Chan Yeol bangkit, mendekati Seo Ah yang membatu.

“Tapi dia ayahmu—“

“DIA PEMBUNUH!”

Dua kali sudah Seo Ah mendapat bentakkan dari Chan Yeol, tapi kali ini lebih mengerikan. Chan Yeol berdiri di depannya sehingga Seo Ah bisa melihat jelas seberapa marah pria ini. Nafasnya memburu, dan wajahnya memerah sampai urat di dahinya menonjol. Tubuh Seo Ah mulai bergetar, meski begitu ia masih belum ingin meminta maaf. Ia merasa apa yang sudah ia lakukan tidak salah sama sekali. Chan Yeol-lah yang membenci ayahnya, Seo Ah hanya ingin memperbaiki semuanya.

“T-Tapi… dia tetap ayah kandungmu.”

Tangan Chan Yeol menyergap kedua lengan Seo Ah, meremasnya sampai wanita itu meringis. Tapi Chan Yeol mengabaikan itu, ia menatap lamat-lamat mata Seo Ah dengan matanya yang mulai memerah. “Kau… kau satu-satunya keluarga yang kupunya. Tidakkah kau paham artinya?”

Suara Chan Yeol yang pelan itu mampu membuat air mata terkumpul di sudut mata Seo Ah. Chan Yeol yang seperti ini jauh lebih mengerikan daripada saat berteriak tadi.

“Abeonim orang yang baik. Dia hanya ingin melindungimu.”

Chan Yeol memejamkan matanya. Lihat! Sudah seberapa jauh orang tua itu mempengaruhi otak Seo Ah. Harusnya dari awal Chan Yeol mengantisipasi sifat naif dan suka ikut campur Seo Ah ini. Sekarang semua sudah terlambat—atau hampir terlambat. Chan Yeol mengeratkan genggamannya pada lengan Seo Ah.

“Chan Yeol-ssi… sakit….”

“Jauhi orang itu.”

Itu kalimat terakhir yang diucapkan Chan Yeol sebelum ia melepaskan Seo Ah dan berbalik, meninggalkan ruang tamu menuju pintu depan. Saat pintu depan berdebum keras, Seo Ah pun jatuh terduduk di lantai. Air mata yang ditahannya tadi, meleleh keluar. Seluruh tubuhnya lemas. Sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan, Seo Ah terus terisak. Ia memang tidak ingin meminta maaf karena sudah menjenguk ayah Chan Yeol, tapi ia juga tidak ingin Chan Yeol semarah itu padanya. Ini adalah pertengkaran besar mereka yang pertama—Chan Yeol bahkan sampai meninggalkan rumah.

Seo Ah merasa seperti orang bodoh sekarang. Ia tidak menemukan titik terang permasalahan Chan Yeol dengan ayahnya, malah mendapat marah dari Chan Yeol. Ayah Chan Yeol juga menyuruhnya untuk tidak datang lagi. Salah satu hal yang ditakutkan Seo Ah adalah dibenci, dan ia sangat takut setelah ini Chan Yeol membencinya dan menjauhinya.

***

Semalam, Chan Yeol menghabiskan waktunya untuk bekerja di kantor—seorang diri. Ditemani dengan sebotol alkohol, Chan Yeol mengerjakan dan memeriksa laporan projek yang baru akan dilaksanakan tiga bulan kemudian. Ia baru pulang saat jam menunjukan pukul setengah empat pagi. Saat itu seluruh lampu di rumahnya sudah mati, termasuk kamar Seo Ah. Lama ia berdiri di depan kamar wanita itu, mengingat kembali kata-kata yang ia keluarkan tadi. Chan Yeol sudah terlalu keras padanya.

Pagi harinya, Chan Yeol tidak menemukan Seo Ah di meja makan. Sampai kopi panas tersaji di depannya pun wanita itu tidak turun juga. Biasanya Seo Ah selalu mendului Chan Yeol masuk ruang makan, dan terkadang setelah Chan Yeol karena bergadang semalaman untuk bekerja. Walaupun mereka bertengkar hebat semalam, ia tetap tidak tenang kalau belum melihat wajahnya. Mungkin saja Chan Yeol akan meminta maaf nanti.

Tidak tahan dengan kegelisahan hatinya, Chan Yeol menghela nafas. Ia pun memanggil Yoon Ahjumma.

“Panggilkan Seo Ah.”

“Baik, Tuan.”

Chan Yeol berpikir, mungkin saja Seo Ah masih marah dan memilih mengurung diri di kamar. Atau mungkin sudah berangkat kerja lebih awal karena tidak ingin melihat wajah Chan Yeol. Tapi kalau begitu, harusnya Yoon Ahjumma melaporkan hal itu pada Chan Yeol. Jadi kemungkinan Seo Ah memang masih marah dan menunggu Chan Yeol berangkat kerja duluan.

Yoon Ahjumma kembali lima menit kemudian. Ia menghampiri Chan Yeol dan berdiri di sebelah pria itu. Wajahnya yang panik membuat Chan Yeol mengeryitkan dahinya.

“Nyonya demam, Tuan. Sepertinya kemarin ia kehujanan dan telat makan malam.”

Chan Yeol secara refleks meletakkan sendok yang tengah ia pegang keras-keras ke atas meja. Ia mendesah panjang sambil menutup matanya. Benar, kan, wanita ini tidak pernah lelah membuat Chan Yeol khawatir dan uring-uringan. Setelah puas memainkan emosi Chan Yeol semalam, pagi ini ia sukses mengeluarkan kata kasar keras-keras di depan Yoon Ahjumma. Meninggalkan sarapan yang baru ia makan sedikit, Chan Yeol menerobos masuk kamar Seo Ah dengan sekali hentakkan.

“Apa lagi yang kau lakukan sekarang?”

Seo Ah membuka matanya yang berat, lalu menghela nafas ketika melihat Chan Yeol berdiri di sebelah tempat tidurnya sambil berkacak pinggang. Ia merapatkan selimutnya. Seo Ah sama sekali tidak punya kekuatan untuk berdebat dengan Chan Yeol, kepalanya pusing dan seluruh tubuhnya bagai habis dipukuli sepuluh orang.

Chan Yeol tahu, harusnya bukan itu yang ia ucapkan ketika melihat keadaan Seo Ah lebih parah dari yang ia bayangkan. Awalnya ia berpikir, orang bodoh macam apa yang terkena demam di musim panas. Chan Yeol hanya terlalu panik. Ia memijit dahinya sendiri. Tidak ada pilihan lain, karena ia melihat Seo Ah menggigil di balik selimutnya, ia pun berteriak memanggil Yoon Ahjumma. Benar-benar berteriak, karena Chan Yeol tidak mau sedetik pun mengalihkan pandangannya dari Seo Ah.

“Telepon Dokter Kim sekarang.” perintah Chan Yeol begitu Yoon Ahjumma tiba.

“Tidak perlu, Ahjumma. Aku hanya perlu beristirahat dan minum aspirin.” Suara sengau Seo Ah menghentikan Yoon Ahjumma yang akan berbalik.

“Jangan dengarkan dia. Aku yang membayarmu, Ahjumma.”

Seo Ah mendecih pelan. Dalam hati, Chan Yeol kagum juga dengan wanita ini. Bahkan dalam tubuh selemah itu, ia masih bisa mengejek Chan Yeol.

Chan Yeol pun meraih ponselnya di saku celana, mengontak sekretarisnya. “Aku tidak masuk kerja hari ini, istriku sakit.”

Chan Yeol melirik Seo Ah yang juga sedang menatapnya. Kelihatan sekali wanita itu terkejut saat Chan Yeol terang-terangan menyebutkan ‘istri’. Seo Ah pun menarik selimut sampai hidungnya, menutupi sebagian wajahnya yang memerah. Bukan karena demam, tapi karena jantungnya yang bekerja lebih cepat sampai-sampai darah mengalir deras ke wajahnya.

“Ah, telepon juga sekolah. Katakan dia tidak bisa hadir hari ini.”

“Kau bekerja saja. Ada Yoon Ahjumma di sini, aku akan baik-baik saja.” Kata Seo Ah setelah Chan Yeol selesai berbicara di telepon.

Bukannya menjawab, Chan Yeol malah menanyakan hal lain pada Seo Ah. “Kau kehujanan kemarin?”

“Iya.”

Chan Yeol menahan nafasnya sejenak, lalu mengembuskannya perlahan. Wanita ini benar-benar…. “Dan kau melewatkan makan malam?”

“….tidak.”

Seo Ah memang tidak melewatkan makan malam, tapi nasi yang masuk ke perutnya tidak lebih dari tiga sendok saja. Nafsu makannya semalam benar-benar tidak ada. Melihat kursi di hadapannya kosong, membuat Seo Ah terus teringat pertengkaran itu. Ia baru merasa bersalah setelah itu. Harusnya ia lebih mendahulukan perasaan Chan Yeol daripada rasa ingin tahunya.

“Bodoh.”

Chan Yeol mengumpat pelan. Ia tahu kalau Seo Ah berbohong. Chan Yeol mulai hafal bagaimana gelagat wanita ini kalau sedang berbohong, ia pasti akan memutar bola matanya untuk mencari jawaban—yang setidaknya—meyakinkan.

Dokter Kim datang empat puluh lima menit kemudian, dan itu sudah cukup membuat Chan Yeol hampir menelepon ambulans ke rumahnya. Seo Ah tidak berhenti merintih sepanjang itu. Masalahnya, Chan Yeol tidak tahu harus berbuat apa padahal jelas-jelas ia merasakan tubuh Seo Ah yang panas. Ia terlalu panik dan… bodoh. Chan Yeol tidak pernah merawat orang sakit—bahkan sakit demam sekalipun. Saat dirinya sakit pun orangtuanya hanya memanggil dokter ke rumah dan menyerahkan semuanya pada pelayan rumah.

Chan Yeol benar-benar tidak pergi ke kantor dan mengawasi Seo Ah yang sedang diperiksa Dokter Kim. Berkali-kali Seo Ah menyuruhnya untuk bekerja, tapi ia tidak mau menjawab apa-apa dan tetap berdiri di sebelah kasur Seo Ah. Chan Yeol berubah menjadi pria bawel setelah Dokter Kim selesai memeriksa Seo Ah. Padahal Seo Ah hanya demam biasa dan sedikit flu, tapi Chan Yeol sampai menanyakan ‘apakah tidak perlu infus’; ‘apa saja yang tidak boleh dimakan’; sampai ‘apakah tidak perlu dirujuk ke rumah sakit’. Benar-benar berlebihan.

“Ahjumma, buatkan bubur dan Samgyetang untuk Seo Ah. Aku yang akan menebus obatnya.” Setelah mengantar kepergian Dokter Kim sampai pintu depan, Chan Yeol menyuruh Yoon Ahjumma memasak untuk Seo Ah. Lalu, ia pun mengambil kunci mobilnya, pergi ke apotek.

Sebenarnya Seo Ah memang hanya butuh istirahat dan obat penurun demam biasa, tapi Chan Yeol bersikeras menyuruh Dokter Kim menambahkan resep vitamin dan beberapa obat lainnya. Pikirnya, semakin banyak obat maka semakin cepat sembuh. Dokter Kim tidak langsung menyetujuinya. Ia hanya menambahkan satu resep vitamin dan obat flu ringan untuk Seo Ah.

Kebawelan Chan Yeol tidak hanya sampai situ. Pria itu sendiri bingung kenapa kekhawatiran yang melanda dirinya malah membuat kerja mulutnya tidak terkontrol. Tidak puas dengan resep Dokter Kim, di apotek, Chan Yeol bertanya macam-macam kepada apoteker bagaimana cara menurunkan demam dengan cepat. Akhirnya, sesuai dengan usulan apoteker itu, Chan Yeol pun membeli minuman isotonik di minimarket, setelah dari apotek.

***

Masih dengan kemeja yang akan dipakainya bekerja tadi—tanpa jas, Chan Yeol memperhatikan Seo Ah yang tertidur pulas. Wanita itu menghabiskan setengah mangkuk bubur dan kuah Samgyetang yang dibuat Yoon Ahjumma, meminum obatnya, lalu tertidur. Ia menghela nafas lega. Demam Seo Ah sudah mulai turun, tidak ada rintihan lagi yang keluar dari mulutnya dan nafasnya pun sudah teratur. Chan Yeol tidak menyangka kalau merawat orang sakit sangat melelahkan, tapi rasanya sangat senang ketika melihat Seo Ah tertidur pulas.

Chan Yeol sama sekali tidak mengurusi urusan kantor. Ia menyuruh Sekretaris Jung untuk menyerahkan pekerjaannya pada Vice President hari ini. Padahal Chan Yeol tahu kalau hari ini juga sibuk, seperti biasanya. Ada beberapa rapat dan pertemuan yang harus dihadirinya, belum lagi laporan-laporan yang masuk dan harus mendapat tanda tangannya langsung. Tapi melihat Seo Ah seperti itu tadi pagi, Chan Yeol mempesetankan semua itu. Bagaimana bisa ia meninggalkan istri bodohnya dalam keadaan sakit? Ditambah semalam mereka baru saja bertengkar hebat.

Selagi Seo Ah tidur, Chan Yeol membawa laptop ke kamar itu dan memeriksa beberapa berkas yang dikirim ke emailnya. Bersender di kursi dengan kaki menjulur di atas meja, Chan Yeol mengerjakan pekerjaannya dengan tenang. Hanya suara ketikan keyboard yang terdengar. Sesekali Chan Yeol menyeruput teh yang disajikan Yoon Ahjumma dan menatap ke luar jendela.

Kamar Seo Ah berhadapan dengan halaman belakang dan kolam renang. Langit yang tadinya biru terang, mulai menunjukkan rona oranye. Chan Yeol melirik jam tangannya, sudah hampir jam 5 sore—berapa lama ia berada di sana. Sambil meregangkan tubuhnya, Chan Yeol menyempatkan diri melihat Seo Ah. Entah ini salah mata Chan Yeol, atau karena Chan Yeol terlalu asik bekerja sampai-sampai tidak sadar bahwa tadi mungkin saja ada gempa kecil di rumahnya, posisi tidur Seo Ah berubah seratus delapan puluh derajat dari yang terakhir Chan Yeol lihat.

Kepala Seo Ah sudah berada di ujung tempat tidur, dengan leher terjulur. Kedua kakinya terbuka. Hanya tubuh bagian atasnya yang tertutup selimut, padahal tadi jelas-jelas Chan Yeol menyelimuti wanita itu dari ujung kaki sampai dadanya.

Chan Yeol menutup laptop dan meletakannya di atas meja. Ia mendekati Seo Ah dengan mata menyelidik, tidak yakin apa yang dilihatnya sekarang. Apa ini alasan kenapa Seo Ah tidak mau tidur dengannya?

“Choi Seo Ah?” pertama, Chan Yeol hanya menyentuh pipi Seo Ah—memeriksa demamnya sekaligus membangunkan Seo Ah. Tapi karena tidak ada respon, Chan Yeol berinisiatif memindahkan kepala Seo Ah ke tempat seharusnya.

Ternyata gerakkan kecil itu membuat Seo Ah terbangun. Matanya mulai mengerjap, dan ketika melihat Chan Yeol di depan wajahnya, ia langsung terbelalak. Ia mendorong dada Chan Yeol, membuat kepalanya sendiri jatuh kasar di atas bantal. Sambil mengusap kepalanya, Seo Ah duduk di atas kasur.

“K-Kau masih di sini?”

Chan Yeol mengangkat bahu, ia pun merapikan selimut Seo Ah dan langsung ditepis wanita itu dengan panik.

“Sepanjang hari? Tidak bekerja?”

“Khawatirkan saja dirimu sendiri!” balas Chan Yeol ketus. “Rintihanmu benar-benar membuatku sakit kepala.”

Chan Yeol sudah siap menerima semprotan balik Seo Ah ketika wanita itu malah membalas dengan nada menyesal. “Maaf.”

“Aku pasti sangat merepotkan.”

Tidak tahan dengan suasana seperti ini, Chan Yeol berdeham keras. Niatnya ia hanya ingin menggoda Seo Ah dan membuatnya balas memekik padanya seperti biasa. Melihat Seo Ah seperti ini membuat Chan Yeol merasa bersalah, padahal ia tahu Seo Ah-lah yang seharusnya merasa begitu.

“K-Kau tidak lapar?”

“Hm.” Jawab Seo Ah. “Tapi aku mau mandi dulu. Bajuku penuh keringat.”

Chan Yeol mengangguk dengan canggung. “Aku akan menyuruh ahjumma memasakanmu makanan.”

“Terima kasih.”

Chan Yeol terdiam beberapa saat. “Aku akan kembali bekerja di perpustakaan.”

“Hm.”

Tapi meski begitu, Chan Yeol tidak langsung meninggalkan kamar. Beberapa detik ia masih berdiri di sana, memperhatikan Seo Ah. Entahlah, hanya ingin memastikan kalau wanita itu sudah benar-benar sehat. Ujung rambut Seo Ah basah karena keringat, wajahnya pun terlihat lembab. Tapi ia terlihat lebih segar. Baru saat Seo Ah memanggilnya dengan alis terangkat, Chan Yeol pun sadar dan membawa laptopnya keluar dari kamar.

***

Pukul 7 malam.

Chan Yeol menyelesaikan makan malamnya lebih cepat dan naik ke kamar. Seo Ah lagi-lagi tidak memakan makan malamnya dan hanya meminta Yoon Ahjumma mengantarkan puding roti ke kamar. Selera makan Chan Yeol hilang. Tidak melihat wanita itu di hadapannya, membuat makanan seenak apapun jadi hambar.

Chan Yeol menemukan Seo Ah tengah duduk di atas kasur dengan kaki tertutup selimut. Punggungnya diganjal sebuah bantal. Satu kotak tisu dan dua buah buku terbuka di samping Seo Ah, serta sebuah laptop ada di pangkuannya. Meski udara di luar panas, Seo Ah tetap menyalakan mesin uap di samping kasur. Saking seriusnya bekerja ia pun tidak menyadari kehadiran Chan Yeol.

Chan Yeol merasa déja vu dengan suasana ini. Ia merasakan apa yang Seo Ah rasakan waktu itu. Melihat wanita yang jelas-jelas belum sembuh, Chan Yeol gemas sendiri. Rasanya ia ingin mengeluarkan tisu-tisu itu dari kotak dan menyumpal hidung Seo Ah yang terus mengeluarkan ingus itu.

Seo Ah menoleh, ia sedikit tersentak melihat Chan Yeol berdiri di sana. “Kau mau tidur sekarang? Aku akan ke—“

“Tidurlah di sini.”

Seo Ah berhenti membereskan barang-barangnya di atas kasur. Dengan alis terangkat, ia menatap Chan Yeol—bertanya.

Chan Yeol malah mengalihkan pandangannya. “Kau masih sakit, di sini ada penghangat ruangan.”

“Aku sudah sehat, kok.”

“Sehat apanya!” Chan Yeol meringis. “Suaramu masih sengau begitu.”

Seo Ah membersitkan hidung. Memang, ia sendiri merasa kepalanya masih sedikit sakit, dan hidung yang tadinya hanya gatal kini mengeluarkan ingus yang banyak. Tapi bukan berarti ia harus tidur bersama Chan Yeol kan?

“Kau bisa tertular nanti.”

“Jangan bodoh.”

Seo Ah mengerucutkan bibirnya. Ia menunjuk sofa kecil di dekat jendela. “Kalau begitu, kau tidur di sana.”

“Choi Seo Ah.”

“Kenapa? Kenapa aku harus tidur bersamamu?”

Chan Yeol juga tidak yakin kenapa ia bersikeras menyuruh Seo Ah tidur bersama. Oke, jangan anggap Chan Yeol remaja belasan tahun yang tidak bisa menahan nafsunya. Meski saat ini ia bisa saja meniduri Seo Ah, tapi ia tidak mau melakukannya dengan keadaan Seo Ah seperti itu. Ia hanya… khawatir. Melihat Seo Ah bernafas seperti itu dan terus merintih tadi siang, Chan Yeol tidak bisa untuk tidak khawatir. Ia harus memastikan dengan matanya sendiri kalau Seo Ah sudah benar-benar sehat.

“Kasur ini kan luas, kau bisa menggunakan sisi kasur lainnya.”

“Aku membutuhkan lebih dari satu sisi.” Seo Ah menunduk. Ia berkata sepelan mungkin, tapi Chan Yeol masih bisa mendengarnya. “Aku… aku banyak bergerak saat tidur.”

Chan Yeol langsung teringat kejadian tadi sore. Ternyata memang bukan gempa lokal atau mimpi, tapi memang cara tidur wanita ini yang aneh. Jadi itu alasan Seo Ah selalu menolak tidur di kasur yang sama, bahkan rela tidur di sofa saat mereka di Singapura. Chan Yeol jadi sedikit ragu. Tapi rasa khawatirnya lebih mendominasi.

“Aku tahu.” Jawab Chan Yeol, sedikit berbohong.

Seo Ah mengangkat kepalanya. “D-Dan aku suka berbicara saat tidur.”

Untuk itu, Chan Yeol tidak tahu. Menutupi keterkejutannya, Chan Yeol kembali membalas. “Jangan banyak alasan. Matikan laptopmu dan tidur. Besok aku ada rapat penting jadi tidak bisa merawatmu.”

Seo Ah mencibir tanpa suara. Lagipula siapa yang menyuruh Chan Yeol merawatnya tadi, bukankah Seo Ah jelas-jelas menyuruhnya bekerja saja. Dasar pria tidak berpendirian! Semakin hari rasanya semakin banyak kata umpatan yang Seo Ah ciptakan untuk Chan Yeol.

Tapi meski begitu, Seo Ah menurut. Ia terus berdoa supaya hari ini saja kebiasan tidurnya itu tidak muncul. Seo Ah mengalami hari-hari yang berat dengan cara tidurnya yang aneh. Memang ini sudah ia alami sejak kecil, tapi beranjak dewasa, Seo Ah semakin tersiksa. Ia tidak pernah bisa tidur satu kasur dengan teman-temannya saat acara menginap karena mereka pasti akan langsung memarahi Seo Ah dan menyuruhnya tidur di sofa, bahkan lantai. Sudah banyak cara yang ia lakukan untuk menghilangkan kebiasaan buruknya ini. Mulai dari serentetan tips dari buku dan internet, sampai mengunjungi psikolog, tapi hasilnya nol. Bahkan sekarang, terkadang Seo Ah suka berbicara dalam tidur (dan kebiasaan barunya ini ia ketahui dari Se Hun yang merekamnya saat tidur, ketika mereka berlibur berdua ke Hongkong).

Seo Ah memunggungi Chan Yeol yang masih bekerja dengan laptop di sebelahnya. Rasanya aneh. Tidak seperti saat ia menginap bersama teman-temannya, Seo Ah merasakan lebih dari hanya sekadar takut-menendang-bokong-orang-di-sebelahnya. Berada di bawah selimut yang sama dengan seorang pria—dalam kasus ini, Chan Yeol—membuat jantung Seo Ah berdetak cepat. Ia memang naif, tapi ia tidak sepolos itu. Otaknya mulai membayangkan beberapa hal yang kemungkinan akan terjadi nantinya. Maksudnya, mereka suami-istri, satu kasur dan satu selimut, dan ini kali pertama mereka tidur bersama—bukankah aneh jika tidak terjadi apa-apa?

Suara ketikan keyboard menjadi lagu pengantar tidur untuk Seo Ah. Padahal jam baru saja menunjukkan pukul delapan malam, tapi Seo Ah sudah mengantuk. Mungkin ini efek obat, pikirnya. Dalam keheningan, Seo Ah hanya bisa mendengar suara nafasnya dan nafas Chan Yeol di sebelahnya. Seo Ah bisa merasakan sapuan ringan di kepalanya sebelum ia terlelap dalam tidurnya.

Meski mata Chan Yeol terus terfokus pada layar laptop, sebelah tangannya masih setia mengusap kepala Seo Ah, mengantar wanita itu untuk tidur. Suasana makin tenang, membuat Chan Yeol menoleh. Chan Yeol tersenyum tipis dan menutup laptopnya ketika melihat Seo Ah sudah terlelap.

Laptop hanya pengalihannya. Chan Yeol tidak mau berpikir macam-macam ketika melihat Seo Ah terus bergerak gelisah sebelum akhirnya tertidur, jadi ia mengambil laptop dan mengerjakan apapun yang bisa dikerjakannya. Masalahnya, ia juga tidak ingin meninggalkan Seo Ah meski ini masih tergolong siang untuk pria seusianya. Chan Yeol juga bukan orang gila yang memaksa istrinya bercinta di malam pertama mereka tidur bersama—terlebih Seo Ah sedang sakit.

Meski Seo Ah memunggunginya, Chan Yeol cukup puas karena akhirnya wanita ini mendengarkannya. Chan Yeol memiringkan tubuhnya, menumpu kepala dengan satu tangannya. Seo Ah bukan wanita pertama yang tidur bersamanya, tapi rasanya jauh lebih mendebarkan. Hal ‘itu’ memang mustahil dilakukan sekarang dan Chan Yeol akan bersabar—entah sampai kapan. Ia juga pria normal, kebutuhan itu pasti ada. Walaupun ia belum yakin dengan perasaannya pada Seo Ah, hasrat untuk menyentuh Seo Ah dan menjadikannya sebagai miliknya seseorang sudah ada sejak lama.

Chan Yeol tidak yakin kapan pertama ia merasakan dorongan itu. Saat mencium Seo Ah di pantai? Entahlah. Yang pasti setiap ia melihat Seo Ah, ia selalu ingin memeluk wanita itu, menenggelamkan kepalanya di leher wanita itu dan menghirupnya dalam-dalam. Chan Yeol ingin merasakan sekali lagi—atau berkali-kali lagi—kehangatan bibir Seo Ah yang selalu membatahnya. Dorongan ini begitu kuat dan tidak pernah Chan Yeol rasakan pada wanita manapun.

Obat tidur yang terkandung dalam obat flu yang diberi Dokter Kim benar-benar ampuh. Seo Ah yang biasanya terbangun ketika mendengar dentingan kecil sekalipun, kini tertidur tenang dalam pelukan Chan Yeol.

Ya… setidaknya begitu.

Sebelum masalah itu muncul.

Chan Yeol berkali-kali menghirup dan mengembuskan nafas dalam-dalam untuk mengurangi perasaan kesal yang bercokol di hatinya. Ia ingin sekali berteriak, tapi tidak mau membuat keributan seolah rumahnya baru dimasuki pencuri. Demi apapun, ekspresi Chan Yeol benar-benar mengerikan. Dan demi apapun, Seo Ah tidak terganggu dengan itu, meski setan-setan yang mengelilingi Chan Yeol sudah siap membunuhnya.

Bagaimana tidak, karena Chan Yeol baru saja ditendang keras-keras oleh kaki kurang ajar Choi Seo Ah.

Tidak jauh berbeda dengan apa yang disaksikan Chan Yeol tadi sore, begitulah posisi tidur Seo Ah sekarang. Tapi kali ini jauh lebih mengerikan karena mulut wanita itu terbuka lebar dan air liur terkumpul di ujungnya. Lihat… hanya Choi Seo Ah yang bisa melakukan ini di hadapan suaminya sendiri. Seluruh kasur kini menjadi wilayah kekuasaannya.

“Se Hun bodoh! Sudah kubilang aku benci saus kacang!”

Chan Yeol lagi-lagi harus menghitung lambat-lambat satu sampai sepuluh sambil mengatur nafasnya. Sudah habis keterkejutan yang Chan Yeol miliki, ia benar-benar tidak habis pikir. Tidak cukup dengan cara tidur, wanita ini mulai mengigau. Dan… apa itu? Se Hun?! Bahkan dalam mimpi pun Seo Ah berdekatan dengan pria itu.

“Aku tidak mau dijodohkan dengan Kim Jong In! Apa kau sudah gila menjodohkanku dengan playboy sombong itu?!”

Oke, Chan Yeol menyerah—ia kehabisan kata untuk wanita ini. Berapa banyak lagi pria yang dekat dengan Seo Ah. Sejauh ini Chan Yeol baru bertemu bocah-delapan-belas-tahun-sok-dewasa-bernama Kang Chan Hee; pewaris-Sungjin-dengan-gaya-selangit-sahabat-Choi-Seo-Ah, Oh Se Hun; dan sekarang ia mendengar nama pria lagi! Kim Jong In?! Siapa pria brengsek itu?!

Chan Yeol tidak tahan. Ia pun mengangkat sebelah kaki Seo Ah dan menggesernya ke tempat yang benar. “YA! Choi Seo Ah!”

“Lagipula aku sudah menemukan pria yang jauh lebih tampan darinya.”

Chan Yeol terdiam. Perlahan tangannya menurunkan kaki Seo Ah.

“Tidak, tidak tidak tampan,” lanjut Seo Ah, membuat Chan Yeol tanpa sadar mendengus. “Tapi sangaaaat tampan.”

“Dia juga sangat manis.” Chan Yeol melihat Seo Ah tersenyum dalam tidurnya. “Dia adalah Park… Chan… Yeol….”

Chan Yeol refleks menahan nafasnya. Wajahnya memanas, bersamaan dengan jantungnya yang berdetak cepat. Otak Chan Yeol mulai kacau karena hanya kata-kata itu yang berputar di kepalanya sekarang. Ia mengangkat tangan untuk menutup mulutnya sendiri agar tidak berteriak. Benar-benar pengakuan tidak terduga! Entah Chan Yeol harus menganggap kebiasaan Seo Ah ini sebagai anugrah atau kebalikannya. Yang penting, ia sangat sangat sangat bahagia. Sampai rasanya ingin meledak.

“Apa maksudmu dia pria yang menyedihkan?!”

Pekikkan Seo Ah membuat Chan Yeol semakin membenci Se Hun. Bahkan di dalam mimpi Seo Ah pun pria itu tetap mengejeknya. Alis Chan Yeol kembali berkedut. Silahkan sebut Chan Yeol bodoh karena terpengaruh Choi Seo Ah yang berbicara dalam tidur.

“Dia adalah pria terkuat yang pernah kutemui.” Ucap Seo Ah. Ia pun mengambil bantal dan memeluknya erat. “Karena itu aku selalu ingin memeluknya, mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja, dan dia tidak akan sendirian karena aku akan selalu berada di sisinya.”

Ya, hanya Seo Ah yang mampu memainkan perasaan Chan Yeol. Setelah membuatnya hampir meledak karena senang, mengadu domba Chan Yeol dengan Se Hun sekaligus menjatuhkannya, kini wanita itu sukses membuat Chan Yeol tersenyum sampai ujung bibirnya hampir menyentuh telinga. Ia terenyuh, tidak menyangka kalau Seo Ah memiliki perasaan sedalam itu untuknya. Chan Yeol bahagia. Pertengkaran mereka kemarin seolah tidak berarti apa-apa, dan membuat Chan Yeol merasa bodoh.

Chan Yeol sudah tidak peduli apa yang Seo Ah ucapkan kemudian. Dengan hati-hati ia meluruskan kembali posisi Seo Ah hingga menyisakan tempat untuknya sendiri. Chan Yeol membawa Seo Ah dalam pelukannya. Wajah Seo Ah tenggelam dalam dada Chan Yeol, dan ajaibnya mulut wanita itu pun berhenti berbicara setelah itu. Satu tangan Chan Yeol berada di bawah kepala Seo Ah, dan satunya lagi mengusap bagian belakang kepala Seo Ah. Tidak mau kejadian sebelumnya terulang, Chan Yeol juga melingkarkan kakinya di kaki Seo Ah.

Sebenarnya Chan Yeol tidak masalah kalau nanti Seo Ah akan kembali menendangnya. Ia hanya ingin merasakan momen seperti ini untuk beberapa saat. Merasakan nafas hangat Seo Ah membentur dadanya, dan detak jantung mereka yang seolah menyatu. Chan Yeol menghirup aroma rambut Seo Ah dalam-dalam. Mulai saat ini, aroma mawar ini menjadi kesukaannya.

***

Aroma yang asing masuk ke dalam penciuman Seo Ah, tapi ia tidak membencinya. Aroma yang menenangkan sekaligus kuat. Seperti wangi pinus di hutan hujan yang basah. Atau seperti aliran sungai yang jernih sampai-sampai Seo Ah ingin tenggelam di dalamnya. Seo Ah menekankan hidungnya, menghirup aroma itu lebih dalam.

Seo Ah tidak tahu kalau Chan Yeol sudah sepenuhnya sadar sedari tadi, dan sedang berusaha menahan nafasnya. Ia tidak bisa tidur semalam. Lebih dari Seo Ah yang tidak bisa diam—sampai menendang barang sensitifnya, suara nafas Seo Ah yang teratur dan bibir Seo Ah yang kerap kali menyentuh dadanya—yang hanya terbalut kaus putih tipis—membuat tubuhnya panas. Belum lagi Seo Ah kembali berbicara dalam tidurnya. Memeluk Seo Ah adalah ide buruk sekaligus gila yang pernah Chan Yeol lakukan!

Chan Yeol tidak yakin apakah Seo Ah bisa mendengar detak jantungnya yang seolah bisa melompat kapan saja dari dadanya. Seo Ah malah semakin menekankan wajahnya, menggesekkan hidungnya di dada Chan Yeol, dan tangannya yang memeluk Chan Yeol erat. Chan Yeol tidak lagi suka posisi ini karena ia benar-benar tersiksa! Ia tidak bisa bernafas!

“Lepas….”

Rintihan Chan Yeol berhasil membuat mata Seo Ah terbuka sempurna. Melihat dada bidang di hadapannya, buru-buru Seo Ah mengangkat kepalanya. Wajah mengerikan Chan Yeol-lah yang pertama kali ia lihat. Mata itu membulat, Seo Ah pun melepaskan pelukannya dan duduk di kasur dengan ekspresi kaku.

“Maaf.”

“Kau ingin membunuhku, ya?!” Chan Yeol menggerakkan lehernya yang kaku. Semalam adalah malam terburuk dalam hidupnya. Tapi tidak bisa dipungkiri, ia sangat bahagia.

“Kan sudah kukatakan… cara tidurku aneh. Kau saja yang memaksa….” bela Seo Ah sambil menunduk. Jari-jarinya saling bertaut.

“Sudahlah.”

Masih dengan kepala tertunduk, Seo Ah mencuri lirik ke arah Chan Yeol. Piyama yang ia pakai semalam masih utuh, begitu juga dengan Chan Yeol. Itu menandakan kalau tidak terjadi apa-apa semalam. Tapi kenapa mereka bisa berpelukan?

“Apa… apa kita seperti itu semalaman?”

“Menurutmu?”

Sial! Seo Ah salah menanyakan hal itu. Sekarang ia malu sendiri. Jelas-jelas tangannya yang melingkari tubuh Chan Yeol tadi. Aish… ia pasti terlihat sangat liar semalam! Mengurangi rasa malunya, Seo Ah pun menyibak selimutnya dengan buru-buru dan beranjak dari kasur. “Aku akan memakai kamar mandi.”

Seo Ah menghilang di balik pintu kamar mandi yang ia tutup dengan keras. Chan Yeol menutupi wajah dengan kedua tangannya. Bagaimana bisa ia terangsang hanya karena suara nafas seorang wanita?! Harga dirinya sebagai pria benar-benar sudah tercoreng!

“Aku benar-benar bisa gila.”

***

Seo Ah sedang merias wajahnya saat Chan Yeol keluar dari kamar mandi lalu masuk ke walk-in closet. Dalam pagi yang normal, biasanya Chan Yeol masih tertidur ketika Seo Ah bersiap. Rasanya sedikit aneh melihat pria itu keluar dari kamar mandi beberapa saat setelahnya. Seperti ada ketakutan tidak berdasar macam… apakah aroma Seo Ah masih tersisa di sana?

Chan Yeol keluar beberapa saat kemudian sambil membawa jas berwarna biru dongker dan dasi. Kemeja putihnya terlihat pas membentuk tubuh Chan Yeol. Seo Ah diam-diam menelan air liurnya sendiri, matanya terus memperhatikan Chan Yeol melalui cermin. Dan saat tangan Chan Yeol terulur untuk mengambil parfum di meja rias, Seo Ah refleks menahan nafasnya. Aroma maskulin menguar dari tubuh Chan Yeol, meski ia belum memakai parfum itu.

Seo Ah merasa dirinya sudah gila! Ia tidak pernah begini sebelumnya pada Chan Yeol atau pria manapun. Ia sudah sering berpelukan dengan oppa, dan adik laki-lakinya, bahkan sering bergulat dengan Se Hun, tapi tidak pernah setegang ini. Tubuh Chan Yeol bahkan sama sekali tidak menyentuhnya, tapi seluruh tubuh Seo Ah seolah terbakar habis. Ada apa dengannya?!

Mengalihkan perhatian, Seo Ah menyelesaikan riasannya dengan memberikan polesan lipstik berwarna rose di bibirnya. Chan Yeol, di belakangnya diam-diam memperhatikannya. Polesan lembut itu berubah menjadi imajinasi liar di otak Chan Yeol. Ia pun menggeleng kemudian, mengenyahkan pikiran itu, tapi tetap imajinasinya lebih kuat. Sekarang Chan Yeol malah membayangkan bagaimana rasanya bibir Seo Ah menempel lagi dengan miliknya….

“Kau perlu bantuan?”

“Eh?”

Chan Yeol tidak sadar kalau sedari tadi ia hanya memilin dasinya sambil terus memperhatikan Seo Ah. Sekarang Seo Ah sudah berdiri di hadapannya, dan langsung mengambil alih dasi itu. Chan Yeol tidak bisa berbuat banyak, hanya diam selagi Seo Ah memasangkan dasinya. Seumur hidupnya, Chan Yeol tidak pernah sekalipun meminta seseorang memakaikan dasi untuknya. Ia memang dibesarkan di lingkungan chaebol, tapi dirinya cukup sensitif dengan masalah ini.

Tinggi Seo Ah hanya sebatas dagu Chan Yeol, dan itu membuat Chan Yeol lebih leluasa menatap wajahnya dari atas. Wangi mawar itu kembali masuk ke indra penciumannya. Tangan Seo Ah bergerak lincah menyimpulkan dasi itu, dan sesekali menyentuh dada Chan Yeol. Tidak sengaja memang, tapi sukses membuat Chan Yeol menahan nafasnya sepanjang itu.

Semakin diperhatikan, semakin Chan Yeol tertarik dengan pesona Seo Ah. Rambut wanita itu tergerai, jatuh cantik melewati bahunya. Dahinya terlihat sempurna meski rol rambut itu sedikit mengganggu Chan Yeol. Mata berkelopak ganda itu diberi riasan tipis tapi cantik. Pandangan Chan Yeol terus turun—ke pipi, hidung, dan terakhir bibir Seo Ah. Bibir mungil itu terlihat sangat menggoda dengan warna sederhana. Bagai melihat kelopak mawar merah di padang pasir yang tandus. Penuh dan menarik perhatian. Chan Yeol seolah tidak mau membuang waktunya barang sedetik untuk mengalihkan pandangannya dari bibir Seo Ah.

“Sudah selesai.”

Seo Ah mengusap dasi Chan Yeol lalu mendongak. Dua detik kemudian, ia menyesal karena berinisiatif melihat wajah Chan Yeol. Tatapan mata Chan Yeol menguncinya, membuat Seo Ah tidak bisa bergerak.

“Persetan!”

Chan Yeol yang memulai, tapi Seo Ah juga tidak menolak. Bibir mereka bertemu bersamaan dengan kedua tangan Chan Yeol yang menangkup rahang Seo Ah. Tanpa dipinta, tangan Seo Ah pun melingkari leher Chan Yeol.

Tangan Chan Yeol turun menyusuri garis leher Seo Ah. Ibu jarinya mengusap pelan tulang selangka Seo Ah sebelum kembali turun sampai memeluk pinggang wanita itu. Kepala mereka bergerak bergantian, tidak puas hanya dengan kecupan, ingin menguasai satu sama lain. Seo Ah sendiri tidak tahu darimana datangnya hasrat sebesar ini. Bibir Chan Yeol bagai candu yang tidak bisa membuatnya puas dengan mudah. Ia ingin lagi dan lagi.

Bagi Chan Yeol, Seo Ah lebih manis dan memabukkan dari wine manapun. Sekali disesap, maka semakin ingin Chan Yeol menelannya. Bunyi kecapan bibir mereka membuat Chan Yeol makin terbakar. Ciuman ini memang tiba-tiba, tapi jauh lebih siap dari yang sebelumnya. Seo Ah tidak lagi menghentikannya, well, Chan Yeol sendiri tidak yakin kalau ia ingin melepaskan Seo Ah kali ini. Tidak ada suara ombak di belakang mereka, tapi cukup deru nafas beradu yang menjadi alunan musik, membawa mereka semakin tenggelam.

Chan Yeol mengerang pelan saat Seo Ah tidak sengaja menyentuh pangkal pahanya. Seo Ah, yang tidak tahu apa-apa, merasakan sesuatu mengganjal perutnya. Ia terus menekan benda itu meski fokusnya masih terarah ke ciuman mereka. Semakin bergerak, Chan Yeol semakin mengeluarkan suara aneh, sampai akhirnya pria itu menjauhkan bibirnya sejenak.

“Tolong, biar aku saja.”

Seo Ah tidak mengerti maksud perkataan Chan Yeol, namun setelah itu Chan Yeol langsung membalik tubuhnya dan menjatuhkan Seo Ah di atas kasur. Pria itu berada di atasnya, menatapnya dengan kilat mata penuh hasrat sambil sebelah tangannya menyingkirkan rambut dari pipi Seo Ah. Seo Ah menelan air liurnya, apakah ini saatnya? Tapi ini masih pagi dan mereka juga harus bekerja. Meski begitu Seo Ah tidak mampu menolak, mata Chan Yeol bagai arus sungai yang bening namun kuat, membawanya.

Satu kecupan Chan Yeol berikan, lalu terus berlanjut. Kali ini mereka memulai dengan lebih lembut dan intens. Karena Seo Ah berada dalam tawanan Chan Yeol, wanita itu tidak banyak bergerak seperti sebelumnya, dan itu memudahkan Chan Yeol. Tangan Seo Ah kembali melingkar di leher Chan Yeol, meremas rambut bagian belakangnya, membawa pria itu lebih mendekat. Tanpa disadari Seo Ah, tangan yang tadi mengusap lembut pipi Seo Ah, kini sudah mengangkat ujung blouse yang dipakai Seo Ah dan—

Cklek!

Suara pintu terbuka membuat bibir mereka menjauh secara otomatis. Menoleh ke arah pintu, mata mereka membulat melihat Yoon Ahjumma berdiri di sana dengan ekspresi yang tidak jauh dengan milik mereka.

“Maafkan saya, Tuan, Nyonya. Silahkan dilanjutkan.” Dengan panik, Yoon Ahjumma menutup kembali pintu itu dengan debuman keras.

Mana mungkin dilanjutkan! Naik sampai level ini tidak mudah, dan semua  itu dirusak karena suara pintu sialan itu.

“Chan Yeol-ssi… k-kita harus bekerja.”

Chan Yeol tidak menjawab, hanya menghela nafas panjang dan menyingkir dari tubuh Seo Ah. Ia memijit dahinya, bukan karena frustasi atau marah tapi lebih ke arah menahan sesuatu. Padahal mereka sudah sampai tahap ini, sialan! Tolong ingatkan Chan Yeol untuk mengunci pintu kamarnya mulai sekarang.

“Lipstikmu.” Tanpa menatap Seo Ah yang masih duduk di pinggir kasur, Chan Yeol berkata. Chan Yeol  juga merapikan tampilannya lagi.

“Ah, iya!”

Seo Ah kembali duduk di atas kursi meja rias. Ia cukup terkejut melihat hasil pekerjaan Chan Yeol pagi ini. Rol rambut Seo Ah sudah tidak ada, dan ia tidak tahu kapan Chan Yeol melepaskannya. Hasil blow-nya pun menjadi kacau. Dan yang terpenting bibirnya. Lipstik yang ia poleskan sudah pudar, tapi bibirnya sedikit membengkak. Ia kembali teringat ciuman itu. Buru-buru ia menggeleng dan merapikan riasannya sekali lagi.

Dehaman Chan Yeol di belakang Seo Ah, membuat fokus wanita itu teralih. Chan Yeol sudah siap dengan dasi dan jasnya. Rambutnya yang tadi Seo Ah buat berantakan, kembali rapi dengan gaya khasnya. Melalui cermin, sambil merapikan lengan kemejanya, Chan Yeol menatap Seo Ah.

“Libur musim panas ini… maukah kau liburan bersamaku?” tanyanya, diselingi dengan dehaman ringan. “Berdua saja. Ke tempat yang jauh.”

***

“Benar, kan, benar… ini pasti ada udang di balik batu.” Oh Se Hun menunjuk-nunjuk Seo Ah sambil terus menggerutu. “Kau tidak mungkin mengiyakan ajakan makan siangku semudah itu kalau tidak ada maunya.”

Seo Ah meringis. “Maaf.”

Siang ini mereka bertemu untuk makan siang di sebuah restoran Sushi di dalam COEX Mall. Se Hun yang mengajak, tapi ia sedikit curiga saat Seo Ah tidak menolak atau paling tidak protes. Wanita itu langsung mengiyakan bahkan ketika Se Hun berkata ingin menjemputnya di sekolah. Begitu mudah, seperti mengajak gadis sembilan belas tahun yang terkadang ditemuinya di Hongdae.

Harusnya Se Hun curiga dari awal. Benar saja, setelah makan siang, Seo Ah langsung menariknya ke salah satu toko pakaian dalam wanita. Dengan mata seperti anak anjing, Seo Ah meminta Se Hun memilihkan pakaian dalam yang tepat untuknya dengan alasan Se Hun sudah berpengalaman dengan wanita manapun. Pakaian dalam yang cocok untuk dipakai saat liburan musim panas bersama Chan Yeol. Cih! Pasti anak ini terpengaruh ucapan seseorang! Memangnya setiap liburan harus membutuhkan pakaian dalam baru?!

“Sudahlah.” Se Hun mengibaskan tangannya. Ia melangkah, menyusuri rak-rak dengan Seo Ah mengekorinya. “Kau memang datang ke orang yang tepat untuk mengurusi masalah ini.”

Se Hun memutar kepalanya. “Aku sangat berpengalaman, kau tahu, kan?” ucapnya sambil tertawa keras.

“Iya, Tuan Oh.”

Sebenarnya Seo Ah malas menanggapi Se Hun, tapi ia masih tahu apa arti kata ‘terima kasih’. Setelah ajakan Chan Yeol pagi ini, Seo Ah berubah menjadi gadis remaja yang baru saja mendapat pengakuan cinta dari bintang top sekolah. Sepanjang hari ia terus tersenyum, sampai rekan-rekan gurunya bingung. Seo Ah memang ramah, tapi terus tersenyum seperti itu membuatnya tampak seperti wanita gila.

Sampai akhirnya ia tidak sengaja mengatakan kalau Chan Yeol mengajaknya liburan pada libur musim panas kali ini, kepada Park Seonsaengnim. Sebagai senior juga rekan guru terdekat Seo Ah, Park Seonsaengnim memberikan beberapa masukan tentang apa saja yang harus mereka siapkan—terlebih ini liburan pertama mereka. Dan salah satunya, membeli pakaian dalam menggoda untuk malam hari.

Ide itu benar-benar gila! Tapi lebih gila lagi Seo Ah yang menelepon Chan Yeol dan berniat ingin mendiskusikan hal ini di telepon. Otaknya memang sedikit bergeser sejak kejadian itu. Tanpa malu-malu ia pun langsung menelepon Chan Yeol.

“Maaf, Seo Ah-ya, aku sedang ada pertemuan penting. Nanti kutelepon lagi.”

Seo Ah bahkan baru mengatakan ‘halo’. Chan Yeol memutuskan panggilan begitu saja tanpa mengizinkan Seo Ah berbicara. Seo Ah terus menggerutu sambil menatap layar ponselnya, seolah itu wajah Chan Yeol. Sampai akhirnya Se Hun menghubunginya, mengajaknya makan siang. Seo Ah pun memanfaatkan ini untuk meluapkan kekesalannya.

“Aku hampir tidak percaya kalau kalian benar-benar belum pernah tidur bersama.” Kata Se Hun sambil memilih lingerie di rak.

Seo Ah mendesah. “Kau pasti tidak mengerti.”

“Tentu saja! Karena aku Oh Se Hun yang sangat berpengalaman.” Se Hun tertawa sendiri. Kepercayaan diri pria ini sangat tinggi! Melihat bibir Seo Ah mencibir tanpa suara, Se Hun terkekeh dan mengacak puncak kepala wanita itu. “Hanya bercanda. Memangnya dia tidak pernah menjukkan ketertarikannya padamu sebelumnya?”

Seo Ah mengalihkan pandangan untuk menutupi wajahnya yang memanas. “Kami pernah berciuman sebelumnya. Dan kurasa itu cukup—“

“Eiy! Mana mungkin hanya ciuman saja bisa menjadi ukuran.”

Mata Seo Ah memicing. Ia pun mendekatkan bibirnya ke telinga Se Hun, berbisik. “Tapi dia menggunakan lidahnya.”

“Oke, itu mungkin saja.” Kata Se Hun. “Tapi apa yang membuatnya tiba-tiba mengajakmu untuk ya… kau tahu, tidur bersama?”

“Entahlah…”

“Apa dia mulai mencintaimu?”

“Mana mungkin….” Pandangan Seo Ah turun, menatap sepasang sepatu mahal Se Hun. “Bagi Chan Yeol, aku hanya keluarganya.”

Sebenarnya Se Hun tidak paham maksud ucapan Seo Ah, tapi entah kenapa ia merasa kalau Chan Yeol belum bisa membuka dirinya untuk Seo Ah. Se Hun percaya mereka sudah saling menyukai, atau paling tidak tertarik. Mereka sudah sama-sama dewasa, dan hidup bersama selama berbulan-bulan tidak mungkin tidak menghasilkan sesuatu. Se Hun saja bisa jatuh cinta pada anjing peliharaannya setelah satu bulan merawatnya—padahal ia tidak suka anjing.

“Jadi bagaimana? Kau bilang, kau sangat berpengalaman.” Gerutu Seo Ah saat melihat Se Hun diam saja di depan rak lingerie.

Se Hun berdeham. Ia kembali melangkah ke rak lainnya. “Dilihat dari sifat Chan Yeol itu… kurasa ini yang cocok.” Ia mengangkat satu set bikini dengan bahan yang super duper sedikit.Hampir seluruhnya hanya berupa tali, dan potongan kain kecil untuk menutupi kemaluan dan dadanya.

“Simpel dan menggoda. Arrrw!”

Seo Ah tidak tahan untuk tidak memukul kepala Se Hun. “Apa bedanya dengan tidak memakai apa-apa?!”

“Itulah daya tariknya! Semakin sedikit, semakin menggairahkan.”

“Se Hun-a… tolong….” desis Seo Ah sambil memejamkan mata. Rasanya ia ingin membedah otak Se Hun sekarang juga.

Se Hun menyerah. Ia pun mencari sekali lagi dan menemukan satu set pakaian dalam berwarna merah dengan renda di sekelilingnya. “Kalau yang ini?”

“Aku tidak suka renda. Gatal!” Seo Ah menggeleng keras.

“Ini?”

Seo Ah mengeryitkan dahinya melihat pakaian dalam motif leopard yang ditunjukkan Se Hun. “Apa aku terlihat seperti Jane? Tarzan? Itu memalukan!”

“Kalau begitu pilih saja sendiri!”

Se Hun mengembalikan semuanya ke dalam rak lalu menghentakkan kaki, beranjak dari sana. Apa-apaan Choi Seo Ah itu! Sudah meminta tolong tapi bersikap seperti itu. Kalau begitu dari awal saja ia menunggu Chan Yeol sampai selesai rapat dan tidak usah mengajak Se Hun. Harga diri Se Hun sebagai ‘pria berpengalaman’ seperti tercoreng karena perlakuan Seo Ah.

Seo Ah menarik ujung jas yang dipakai Se Hun, membuat pria itu berbalik. Matanya berbinar seperti anak anjing. Sial! Ia selalu tahu kelemahan Se Hun. “Se Hun-a… kumohon. eung?”

Se Hun mendesah, mau tidak mau kembali masuk ke dalam toko itu.

Akhirnya Seo Ah bisa juga menentukan pilihannya. Cukup lama, sampai-sampai Se Hun ingin sekali membelikan isi satu toko ini lalu menyuruh Seo Ah memilihnya di rumah. Se Hun memang pewaris satu-satunya Sungjin Group, tapi itu bukan berarti dia punya waktu luang. Untungnya ia sudah bersahabat dengan Seo Ah hampir sepuluh tahun. Kalau tidak, sudah pasti ia lebih memilih untuk meninggalkan Seo Ah-si-banyak-mau.

Seo Ah tersipu malu sambil mengintip isi paper bag bertuliskan nama toko pakaian dalam itu. Meski niatnya hanya meminta Se Hun memilihkan untuknya, tapi pria itu ternyata sangat pengertian. Se Hun membelikan dua set pakaian dalam dan satu buah lingerie sekaligus untuknya. Hadiah pernikahan katanya. Cih! Padahal Seo Ah mengharapkan hadiah pernikahan yang lebih hebat dari Se Hun.

“Mau makan es krim? Tapi kau yang traktir.” Kata Se Hun setelah mereka keluar dari toko itu.

Seo Ah terkekeh dan mengiyakan ajakan itu. Sepanjang perjalanan menuju toko es krim, mereka banyak bercerita sambil tertawa. Seo Ah dan Se Hun tidak pernah kehabisan bahan cerita. Selalu saja ada kekonyolan yang mereka bahas. Di mulai dari kenangan masa SMA sampai para mantan Se Hun yang beraneka ragam.

“Seo Ah-ya.”

Sampai akhirnya suara itu menghentikan tawa dan langkah m

Show more