2016-07-23



Forbidden

—The Dim Hollow Side Story

.

a fanfiction by cedarpie24

.

Kim Jongin x Son Dahye

.

Foreword ♣ Chapter 1—Got Noticed ♣ Chapter 2—Nightmare ♣ Chapter 3—Detention ♣

Chapter 4—The Kiss ♣ Chapter 5—Sinner ♣ Side Story : Secret ♣

Chapter 6—Take Care of Her ♣ Chapter 7–Adore ♣ Chapter 8–Him ♣ Chapter 9—Confession ♣ Chapter 10—Elude ♣ Chapter 11—Decision ♣ Chapter 12—Deserve ♣ Chapter 13—Jealous ♣ Chapter 14—Meet Them ♣ Chapter 15—Realize ♣ Chapter 16—Date

♠♠♠♠

Sejak kecil menyaksikan kedua orang tuanya bertengkar hebat bukan lagi hal aneh bagi Jongin. Teriakan nyaring, isak tangis tak terkendali, hingga barang-barang yang dilemparkan sampai pecah sudah jadi tradisi kelewat biasa di kediaman Kim. Kalau kau tanya apa artinya keluarga harmonis pada si kecil Jongin, mungkin bocah sepuluh tahun itu hanya bisa menatapmu dengan kosong, bingung harus menjawab apa. Sebab Jongin memang tak punya keluarga harmonis. Tak pernah punya.

Lewat pertengkaran-pertengkaran kedua orang tuanya, Jongin tahu ia lahir dari sebuah kecelakaan. Ayah dan ibunya dipaksa menikah, demi menjaga nama baik masing-masing keluarga. Namun melihat pertengkaran yang nyaris setiap hari terjadi, siapa pun dapat menilai kehidupan pernikahan mereka sama sekali tak bahagia. Tentu saja, sesuatu yang dimulai dengan gegabah takkan mungkin memberikan hasil sempurna.

Lalu suatu waktu, ketika pertengkaran mereka memuncak, ketika segalanya terasa lebih buruk, Jongin mendengar ayahnya menyerukan kata cerai. Dan setelah hari itu berakhir, Jongin bagai tak pernah punya sosok ayah lagi. Ayahnya pergi dari rumah, menghilang tanpa kabar maupun pamit. Hari-hari selanjutnya Jongin lalui bersama ibunya yang tambah muram. Hidup mereka sama sekali tak membaik, ibunya kelihatan lebih sendu dan tak pernah ada satu pembicaraan pun yang melibatkan mereka. Ibunya jadi begitu pendiam, dan Jongin tak punya cukup keberanian untuk sekedar bertanya kenapa.

Sampai kemudian di Minggu pagi yang dingin, ibunya masuk ke kamar Jongin. Ia duduk di tepi ranjang Jongin dan membelai puncak kepalanya dengan lembut. Jongin yang baru terjaga dari tidurnya tersadar sang ibu berpakaian begitu rapi, rambutnya ditata sedemikian rupa dan wajahnya dipoles make-up tipis. Harum parfum ibunya menyengat hidung Jongin, mengantar ia pada kesadaran sepenuhnya.

“Ibu.” Jongin berbisik pelan dan ibunya mengulas senyum yang jarang sekali Jongin lihat. Baru disadarinya, ibunya tak pernah banyak tersenyum selama ini.

“Jongin-ah, kita ke rumah Nenek, ya?” Suara ibu begitu halus, dan Jongin tak punya alasan untuk menolak ajakan ibunya. “Kau suka rumah Nenek, ‘kan, sayang? Kau juga suka Nenek, ‘kan?”

Meski tak mengerti mengapa ibu mendadak memberinya pertanyaan seperti ini, Jongin menganggukan kepalanya perlahan. Jantungnya mulai berdentum tak terkendali ketika Jongin tahu perasaannya berkata sesuatu yang tak baik akan segera terjadi.

“Bagus kalau begitu.” Ibu tersenyum tambah lebar, dan tangannya menggenggam tangan mungil Jongin. “Sayang, Ibu dapat pemindahan tugas ke Tokyo dari kantor. Tak mungkin membawamu bersama Ibu ke sana. Maka selama Ibu pergi, kau bisa tinggal dengan baik bersama Nenek, ‘kan, sayang?”

Dan firasatnya terbukti benar.

“Berapa lama?” Adalah satu-satunya yang kemudian meluncur dari mulut Jongin. “Berapa lama Ibu pergi?”

Sejenak ibunya terdiam. Kemudian ia membelai surai Jongin sembari berujar perlahan, “Ibu tidak tahu, sayang. Tapi Ibu pastikan tidak akan lama, sebab Ibu tak bisa berpisah terlalu lama denganmu.”

Mulanya Jongin menerima janji ibunya bulat-bulat, percaya bahwa ibunya takkan meninggalkannya terlalu lama, percaya bahwa ibunya pun enggan jauh-jauh darinya. Namun setelah satu bulan lebih ditinggalkan bersama sang nenek tanpa kabar, Jongin tahu ia tak bisa banyak berharap lagi. Mungkin ibunya berbohong. Mungkin sebenarnya ibunya memang ingin berpisah dengannya. Boleh jadi pemindahan tugas yang digadang-gadangnya pun hanya bualan belaka.

Satu kesimpulan menubruk pemikiran Jongin. Sukses membuat hatinya hampa, membuatnya bagai jatuh ke lubang gelap tanpa dasar.

Ibunya ingin membuangnya.

Tentu saja, sebab ia berasal dari sebuah kecelakaan. Sebab ia membuat ibunya terpaksa menikah dengan lelaki yang mungkin hanya ingin bermain-main dengannya saja. Sebab ia telah merampas masa muda ibunya dan menukarnya dengan pernikahan yang benar-benar menyedihkan.

Kala itu, meski usianya masih sepuluh, Jongin dapat mengerti benar bagaimana perasaan ibunya. Ia tertawa pahit, dan tersadar betapa mengerikan hidupnya.

Ayahnya meninggalkannya. Dan ibunya membuangnya.

Jongin tak tahu siapa yang mesti ia salahkan. Namun entah bagaimana rasa bencinya pada sang ayah begitu saja tumbuh besar tanpa bisa dicegah. Kalau saja ayahnya tak main-main dengan ibunya, kalau saja ayahnya bisa menerima pernikahan mereka dan tak terus-menerus memulai pertengkaran, kalau saja ayahnya tak meninggalkan ia dan ibunya, kalau saja ayahnya mau bertanggung jawab…

Mungkin kisah hidupnya akan sedikit lebih baik.

Memikirkan ini membuat kebencian Jongin pada ayahnya semakin tak terbendung lagi. Sosok yang mestinya jadi pahlawannya, jadi panutan paling dicintai, justru berbalik menjadi satu yang paling dibencinya.

Jongin, ia tak mau menjadi seperti sang ayah.

♠♠♠♠

Di sekolah barunya Jongin sama sekali tak punya teman. Ia lebih sering menghabiskan jam istirahatnya di taman belakang yang jarang dikunjungi siswa lain. Kebanyakan orang lebih memilih kantin, lapangan atau taman depan sebagai tempat beristirahat ketimbang taman belakang yang agak gersang dan tak terurus. Katanya, sejak awal taman belakang ini memang tak ada dalam rencana pembangunan sekolah. Jadi pihak sekolah pun tak mengeluarkan banyak biaya demi mengurus tempat ini.

Diam-diam Jongin merasa taman belakang cocok dengan dirinya. Sebab bukankah mereka sama? Yang terbuang, dan yang tak diinginkan. Maka di antara seluruh tempat di sekolah, Jongin menemukan dirinya begitu nyaman ketika berada di taman belakang.

Sampai hari itu tiba. Hari dimana ia menginjakan kaki di taman belakangnya, dan menemukan sosok lain duduk di bawah pohon besar kesukaannya. Sosok itu merupakan seorang bocah perempuan kecil yang agak familier di mata Jongin. Son Dahye, sepupunya yang sekali dua kali pernah berkunjung ke rumahnya dan nenek.

Kalau tidak salah usia mereka terpaut tiga tahun. Itu artinya, Dahye masih duduk di bangku kelas satu sekarang. Tak tahu kenapa, tapi Jongin merasa menemukan Dahye yang berbeda dari Dahye yang biasa ia lihat di rumah neneknya.

Ketika berkunjung ke rumah neneknya bersama ayah, ibu, dan kakak perempuannya, Dahye selalu kelihatan ceria dan cerewet. Ia bercanda sampai tertawa-tawa dengan kakak perempuannya, lalu bermanja-manja dengan ibu dan ayahnya. Sekali waktu Jongin menyadari dirinya merasa iri dengan keluarga yang saat itu Dahye miliki. Ibu yang hangat, kakak perempuan yang peduli, dan yang paling penting, ayah yang selalu ada dikala butuh. Keluarga sempurna. Satu hal yang tak pernah Jongin dapatkan.

Namun hari itu, di taman belakang Jongin mendapati Dahye yang sama sekali lain. Sepupu kecilnya itu tampak murung. Duduk memeluk kedua lutut yang dilipat. Ketika ia mengambil langkah mendekat, disadarinya sepasang manik bulat milik Dahye telah berembun.

Ia … menangis?

“Dahye? Kau Dahye, ‘kan?” Jongin bertanya pelan, membuat Dahye mendongak. Kedua mata bocah perempuan itu segera membola begitu mendapati Jongin berdiri di hadapannya.

“Jongin oppa ….” Ia bergumam kecil, mungkin tak sangka sepupunya juga sekolah di tempat yang sama dengannya.

Tanpa banyak bicara Jongin mendudukan dirinya semeter dari Dahye. Sejenak ia membiarkan hanya desau angin dan gemerisik daun yang mengisi udara di antara mereka. Sampai kemudian, Jongin memilih membuka mulut lebih dulu.

“Kau kenapa?”

Perlahan Dahye menoleh padanya. Rautnya menunjukan keraguan untuk bicara.

“Kau bisa cerita padaku, kalau kau mau,” tukas Jongin kemudian.

“Sekolah menyebalkan.” Dahye lantas menyahut setelah setengah menit memilih bungkam. “Dayoung eonni bohong. Sekolah sama sekali tidak asyik. Dahye benci sekolah.”

Mendengar ini, membuat Jongin memandang sepupunya terkejut. Bagaimana bisa ia berkata demikian?

“Kenapa …?”

Lalu begitu saja, tangis Dahye pecah. Bocah perempuan itu menangis terisak-isak, menimbun wajahnya di kedua telapak tangan. Bahunya bergetar dan suara tangisnya entah kenapa membuat Jongin ikut sakit.

“Semua orang punya teman … tapi Dahye bahkan tidak punya orang yang bisa diajak mengobrol … Dahye sendirian di kelas sementara orang-orang main bersama ….” Bocah itu berujar di sela tangisnya, membuat suaranya kedengaran teredam. “Tidak ada yang mau jadi teman Dahye … Dahye tidak suka sekolah, tidak suka orang-orang di sekolah ….”

Jadi karena ini. Jongin menatap sepupunya sendu. Ia juga berada di posisi yang sama dengan Dahye, tidak punya seorang pun kawan. Bedanya, Jongin begini atas pilihannya sendiri.

“Kau harus mau bergabung dengan mereka kalau mau punya teman,” gumam Jongin kemudian.

Lalu Dahye mendongak menatapnya. Wajahnya telah basah dan kedua matanya membengkak. “Tapi tidak ada yang seperti Dayoung eonni. Dahye cuma mau main dengan yang seperti Dayoung eonni.”

Kedua alis Jongin berjingkat mendengar ini. “Wah, susah kalau begitu.”

“Kenapa susah?” tanya Dahye sembari mencebikan bibirnya.

Jongin mengesah pelan lalu memutar otak berusaha mencari penjelasan. “Begini, ya, Dahye. Kalau mau berteman, kita harus bisa menerima apa pun sifat teman kita. Kita tidak mungkin menemukan seseorang yang sifatnya sama persis seperti Dayoung noona.” Ia berhenti sejenak untuk mengerutkan keningnya. “Jadi, berteman saja dengan siapa pun yang membuatmu nyaman.”

Dahye mengerjap beberapa kali setelahnya. Entah mengerti entah tidak dengan penjelasan yang baru saja Jongin sampaikan.

“Kalau begitu Oppa saja yang jadi teman Dahye. Ya?” tukas Dahye.

Jongin ingin menolak. Tapi Dahye kelihatan begitu berharap padanya. Hal selanjutnya yang Jongin tahu, bocah perempuan itu terus datang ke taman belakang untuk menemuinya di setiap jam istirahat. Dan sebelum Jongin menyadarinya, ia telah terbiasa dengan kebiasaan baru.

Dirinya, taman belakang, dan Son Dahye.

♠♠♠♠

“Oppa, beri tahu Dahye satu rahasia terbesarmu.”

Jongin tengah duduk di kursi beranda sambil menikmati musik kesukaannya ketika tahu-tahu Dahye muncul dan duduk di sampingnya. Bocah perempuan yang empat tahun silam menangis tersedu-sedu di taman belakang bersamanya kini telah tumbuh menjadi perempuan yang manis. Jongin yakin sekali keluarga Son memiliki gen yang menakjubkan. Sebab lihat saja Dahye, usianya bahkan baru sebelas, tapi kecantikannya sudah cukup untuk membuat Jongin terpana.

Pagi itu Dahye mengenakan terusan berwarna pink yang kelihatan begitu pas di tubuhnya. Rambutnya dihias oleh jepit pita berwarna serupa, membuat sepupunya semakin manis di mata Jongin.

Oh tunggu. Apa yang baru saja dipikirkannya?

“Oppa! Pipimu meraah! Merah seperti tomat!”

Jongin tersentak mendengar tukasan Dahye. Memang benar, ia bisa merasakan wajahnya kini memanas.

“Tidak! Apanya yang merah…” Jongin berusaha mengelak kendati tak berguna juga.

Setelahnya Dahye justru tergelak puas. ”Eonnie bilang, kalau seseorang pipinya memerah, orang itu sedang jatuh cinta. Itu artinya… Oppa sedang jatuh cinta, ya!”

Jatuh cinta katanya?

Mendengar itu, Jongin tersentak sendiri. Beberapa teman di kelasnya tengah ribut-ributnya membicarakan cinta pertama belakangan ini. Mereka menggosipkan perempuan cantik dari kelas sebelah, atau para senior anggun berkarisma, atau bahkan guru muda di tempat kursus. Tapi entah bagaimana, memikirkan topik ini hanya satu sosok yang melintas di benak Jongin.

Dahye. Son Dahye.

Sepupunya sendiri yang telah ia kenal sejak kecil.

Jongin tak mengerti kenapa ia bisa merasa seperti ini. Tapi belakangan disadarinya berada di dekat Dahye tak bisa membuatnya tenang. Jantungnya selalu berdebar lebih cepat, keringat membanjiri pelipisnya, dan sesuatu dalam dadanya terasa meletup-letup tak keruan. Mungkin karena Dahye telah berhasil membawa warna baru dalam hidupnya yang menyedihkan. Sepupunya itu membuat Jongin mengerti bahwa rupanya ia masih bisa menikmati hidupnya yang sebelumnya ia pikir telah tak bermakna lagi.

Jongin ditinggalkan kedua orang tuanya. Tapi Dahye datang dan membuat ia merasa punya seseorang yang bisa diajaknya berjalan bersama.

“Tidak, Dahye-ya, Oppa tidak—“

“Jangan bohong! Dahye tahu Oppa memang sedang jatuh cinta.” Cepat-cepat Dahye menyambar perkataan Jongin, berhasil membuatnya langsung kikuk dan kelihatan serba salah. ”Memangnya siapa yang berhasil membuat pipi Oppa memerah begini? Ayolah, Oppa, beri tahu Dahye.”

Namun tentu Jongin tak bisa membiarkan Dahye tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Jongin cukup pintar untuk mengerti bahwa rasa sukanya pada Dahye tak boleh terjadi. Mereka sepupu, ‘kan? Mereka keluarga. Tak seharusnya ada rasa suka yang terselip di antara hubungan keluarga. Maka Jongin memilih menggeleng pelan, menolak tuduhan Dahye sebelumnya.

Namun Dahye selalu mampu mendapatkan apa yang diinginkannya dari oppanya. Ia terus merajuk dan merajuk, hingga kemudian Jongin menghela napas lelah lantas mengangkat kedua tangan pertanda menyerah.

“Baiklah. Oppa memang sedang suka seseorang.” Jongin berujar akhirnya, sama sekali tak bisa menolak Dahye. “Tapi Oppa tidak bisa beri tahu Dahye siapa orangnya. Karena itu—rahasia.”

Lalu sorot mata Dahye meredup mendengar ini.

“Kenapa? Apa karena Oppa tidak percaya Dahye?” suaranya melemah, dan Dahye nyaris pecah dalam tangis.

Lekas-lekas Jongin menyentuh kedua tangan Dahye. Ia menatap manik sepupunya dalam-dalam, berusaha meyakinkan dengan sungguh-sungguh lantas menghapus genangan air mata yang sempat meleleh.

“Bukan begitu, Dahye-ya. Oppa hanya… ini hanya terlalu rahasia hingga Oppa pikir tak seorang pun bisa Oppa beri tahu.” Jongin berujar lembut.

“Termasuk Dahye?”

“Ya, termasuk Dahye.”

Dahye mencebikan bibir kemudian menelengkan kepalanya. ”Tapi apa Dahye kenal orang itu? Orang yang Oppa sukai.”

Sejenak Jongin terdiam. Kenal orang itu, katanya?

Tentu saja. Tentu saja Dahye kenal betul orang yang Jongin sukai. Sebab orang itu, merupakan Dahye sendiri.

”Eum. Dahye mengenalnya—sangat mengenalnya.”

Kedua mata Dahye melebar takjub mendengar ini.”Benarkah?”

Jongin terdiam sejenak sebelum mengangguk dengan pasti. Dalam diam ia memperhatikan Dahye yang kini menelengkan kepalanya, mungkin tengah sibuk menerka-nerka siapa kiranya perempuan yang Jongin sukai.

Dahye tak pernah tahu—tak boleh tahu—pada siapa hati Jongin dijatuhkan.

Sampai detik itu Jongin tak ambil pusing soal perasaannya. Sebab ia pikir, rasa sukanya pada Dahye hanya selingan semata. Akan hilang dan lenyap, seiring berjalannya waktu.

♠♠♠♠

Namun rupanya Jongin keliru.

Bahkan setelah bertahun berlalu, rasa yang mengendap di hatinya tak juga pergi. Malah kalau mungkin, bertambah besar dari waktu ke waktu. Jongin bukannya tak berusaha untuk menghapus perasaan terlarang itu, namun semakin ia berkeras melupakan Dahye, justru semakin kuat pula rasa sukanya. Gadis Son itu membuat Jongin kebingungan sendiri.

Sampai kemudian insiden mengerikan itu terjadi.

Paman dan bibi Son meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Nenek yang tak bisa membiarkan dua cucunya tinggal tanpa orang tua mengusulkan mereka untuk pindah kemari, ke rumahnya. Melalui banyak perundingan, pada akhirnya Dahye dan kakak perempuannya memutuskan untuk tinggal bersama nenek dan juga Jongin.

Musibah yang merenggut kedua orang tua mereka, berhasil membuat dua bersaudara Son berubah menjadi pribadi yang berbeda, terutama Dahye. Gadis itu lebih banyak diam dan mengurung diri di kamarnya. Meski tak pernah berada di posisi yang persis sama, Jongin mengerti bagaimana perasaan Dahye.

Ditinggalkan oleh orang terkasih—oleh kedua orang tua. Bukankah Jongin juga pernah merasakannya?

Jongin yang tak tahan melihat Dahye terus mengunci diri di dalam kamar memutuskan mengambil tindakan. Mungkin ia bisa memberikan satu dua kalimat penghiburan.

Dengan pikiran itu, Jongin melangkah masuk ke dalam kamar Dahye. Gelap. Padahal setahunya, Dahye tak suka berlama-lama dalam ruangan gulita. Ia lantas menekan saklar, dan menemukan sosok yang dicarinya tengah terbaring dengan damai di atas kasur.

Rupanya Dahye terlelap.

Perlahan, Jongin menyusun langkah mendekati Dahye. Ia mendudukan diri dengan hati-hati di sisi ranjang, lantas membetulkan letak selimut Dahye yang agak berantakan.

Rambut gadis itu kusut, kentara sekali tak diberi perhatian selama berhari-hari. Di kedua pipinya juga terlihat jejak air mata yang telah mengering. Hati Jongin pedih memikirkan ini. Dahye pasti menangis sampai ia jatuh tertidur.

Sebelah tangan Jongin kemudian bergerak menyingkirkan helaian rambut Dahye yang jatuh menutupi wajahnya. Jemarinya yang tanpa sengaja menyentuh kulit wajah gadis itu bagai dialiri sengatan listrik, namun dalam artian menyenangkan. Tanpa disadarinya, jemarinya lantas bergerak sendiri menelusuri permukaan wajah Dahye, membelainya dengan lembut dan hati-hati.

Bahkan di saat seperti ini, Dahye masih saja kelihatan cantik. Dengan kedua matanya yang tertutup, Jongin baru menyadari betapa lentiknya bulu mata gadis itu. Hidung bangirnya yang melancip, kedua pipinya yang tirus, lalu … lalu ….

Atensi Jongin jatuh pada bibir merah muda Dahye. Pemuda itu meneguk salivanya susah payah. Dan sebelum ia menyadarinya, tubuhnya telah bergerak sendiri untuk menunduk memangkas jarak yang memisahkan dirinya dengan Dahye. Melabuhkan bibirnya pada Dahye, mengecupnya dengan teramat lembut dan hati-hati.

Sesuatu dalam dadanya terasa meledak, sensasi menyenangkan seperti menonton ratusan kembang api yang meletup-letup. Jongin suka perasaan ini. Untuk sesaat ia merasa menjadi lelaki paling bahagia, sampai kemudian ia segera tersadarkan.

Ia tengah mencium Son Dahye, sepupunya sendiri.

Cepat-cepat Jongin menjauh. Ia bangun berdiri sembari membeliakan matanya.

Apa yang baru saja dilakukannya? Ia mencium Dahye?

Jongin menatap Dahye yang masih saja terlelap dengan ribuan rasa bersalah menyesaki hati. Sialan. Kenapa ia tak bisa menahan diri? Bagaimana mungkin ia melakukan ini pada Dahye?

Jongin mengutuk dirinya berkali-kali. Sebagian hatinya mulai membenci dirinya sendiri yang tak bisa menahan diri. Bagaimana kalau sampai Dahye tahu? Ia juga pasti akan membenci Jongin.

Sambil memejamkan mata Jongin menggelengkan kepalanya berkali-kali. Bergegas ia meninggalkan kamar Dahye, lanta mengunci diri di kamarnya sendiri.

Ini yang sejak awal selalu Jongin takutkan jika Dahye memutuskan tinggal di rumah yang sama dengannya. Jongin takut ia tak bisa menahan dirinya untuk menyentuh Dahye. Usianya masih delapan belas tahun, ia masih kesulitan mengontrol dirinya sendiri. Bagaimana kalau sampai ia berbuat lebih jauh dari ciuman? Bagaimana kalau ia sampai melukai Dahye?

Tidak. Jongin tidak mau itu sampai terjadi.

Dengan gusar ia menjambak rambutnya sendiri. Menjatuhkan diri ke atas kasur dengan geram. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Ketika itu, tatapan Jongin jatuh pada ransel besarnya yang diletakan di atas lemari. Ransel yang biasa ia gunakan untuk berpergian jauh.

Haruskah …?

Jongin tercenung untuk sejemang. Lagi, ia melirik ransel besarnya. Pemuda itu lantas menghela napas berat dan bangkit berdiri untuk meraih ranselnya di atas lemari.

Jika ia memang harus pergi demi melindungi Dahye dari dirinya sendiri, maka Jongin akan melakukannya.

♠♠♠♠

Pagi itu langit kelabu. Dahye merapatkan syal yang melilit lehernya dengan tangan gemetar. Matanya yang membengkak tak pernah lepas dari gundukan tanah di hadapannya tempat eonninya kini beristirahat. Orang-orang yang menghadiri prosesi pemakaman eonninya telah pergi sejak bermenit lalu, tinggal ia dan nenek yang masih setia tinggal di samping makam eonninya.

Dahye memejamkan matanya sejenak, dan air mata kembali bergulir membasahi pipinya. Ketika itu ia merasakan tangan rapuh neneknya merangkul bahunya lembut.

“Kita pulang, ya, Hye-ya.” Neneknya berbisik dengan halus di telinganya.

Dan meski enggan, Dahye tetap pergi juga dari sana. Ia berkendara pulang sambil termenung, menatap keluar jendela mobil dengan kosong. Di rumahnya, Dahye tak tahu harus melakukan apa. Perasaannya benar-benar hampa sekarang. Setelah kedua orang tuanya, kini eonninya juga ikut pergi.

Apa yang harus ia lakukan?

Dahye mulai muak dengan perasaan kosong yang mengisi hatinya. Ia mulai benci dengan sepi yang terus menghantuinya. Ia butuh seseorang untuk diajaknya bicara. Seseorang yang bisa mengusir perasaan kelam itu dari hatinya.

Tatapan Dahye lantas terhenti pada pintu kamar Jongin yang sejak berhari kemarin tertutup. Ia butuh Jongin ….

Tapi kemana perginya Jongin? Berhari-hari lalu ia menghilang dan belum kembali lagi. Dahye dan nenek telah menghubungi ponselnya dan juga beberapa temannya. Namun tak satu pun membuahkan hasil. Jongin seolah menghilang tanpa kabar.

Di saat seperti ini … di saat Dahye benar-benar merasa sendiri, harapannya hanya jatuh pada Jongin. Tapi pemuda itu menghilang entah kemana.

Di detik itu pula Dahye tersadar, ia telah ditinggalkan seorang diri oleh semua orang yang disayanginya.

♠♠♠♠

“Kau kemana saja, Jongin?”

Pertanyaan dari nenek menyambut kepulangan Jongin sepekan kemudian. Jongin menjatuhkan ranselnya ke atas lantai, lalu menunduk menatap sepatunya. Memilih menghindari tatapan nenek.

“Maaf, aku pergi tanpa kabar. Maaf ….” Jongin bergumam dan suaranya bagai tercekat di kerongkongan ketika ia meneruskan, “aku tidak tahu … Dayoung noona ….”

Ia bahkan tak sanggup menuntaskan kalimatnya. Masih dikuasai keterkejutan setelah menerima kabar Dayoung mengakhiri hidupnya tepat beberapa hari setelah ia meninggalkan rumah. Jongin tidak tahu akan seperti ini akhirnya. Ia tidak sangka ….

“Oh? Kau masih ingat pulang?”

Suara itu membuat Jongin mendongakan kepalanya. Dilihatnya Dahye berdiri di belakang nenek dengan kedua tangan dimasukan ke saku celana. Jantungnya terasa mencelus sampai ke perut begitu melihat tatapan yang Dahye berikan padanya.

Gadis itu menatapnya dengan dingin, seolah ia bukan Kim Jongin, sepupu yang selama ini selalu jadi teman baiknya.

“Dahye ….”

Dahye bahkan tak membiarkan Jongin menyelesaikan kalimatnya. Gadis itu telah lebih dulu berbalik, dan meninggalkan Jongin ke ruang tengah.

“Kau pasti terkejut melihat Dahye seperti itu,” ujar nenek kemudian. Sorot matanya sedih dan lelah. “Nenek juga tak sangka Dahye akan berubah jadi begitu. Tapi dia telah melalui hari-hari yang berat sendirian selama ini. Nenek sudah berusaha bicara dan menghiburnya, tapi kelihatannya itu sama sekali tak membantu. Mungkin luka yang didapatnya telah terlampau dalam.”

Bahu Jongin melorot mendengar ini.

Dia telah melalui hari-hari yang berat sendirian selama ini.

Sendirian. Jika saja Jongin tak pergi untuk menghindar, mungkin Dahye takkan merasa begitu kesepian, mungkin ia takkan sendirian ….

Bergegas Jongin mengejar langkah Dahye. Rupanya gadis itu tengah terduduk di sofa ruang tengah, memandang layar televisi di hadapannya yang menyala. Namun begitu diperhatikan, Jongin tersadar tatapan gadis itu kosong.

“Dahye, maaf. Aku—“

“Tidak usah bersimpati kalau kau tidak peduli.” Tanpa diduga Dahye berujar kendati sama sekali tak menoleh pada Jongin. Suaranya kedengaran kelewat dingin. “Kau tidak tahu apa saja yang sudah kulalui selama kau pergi.”

Jongin cepat-cepat menghampiri Dahye, ia berlutut di hadapannya, dan berusaha membuat gadis itu menatapnya. “Dahye, dengar. Maaf aku pergi tanpa pamit, hilang tanpa kabar. Maaf aku meninggalkanmu di saat terberat. Aku benar-benar tak bermaksud melakukan itu semua padamu.”

Perlahan tatapan Dahye jatuh padanya. Kali ini, Jongin menemukan luka di dalam sorot matanya.

“Sebenarnya kemana kau pergi?” Dahye berbisik tajam. “Kenapa meninggalkanku sendirian? Kenapa menghilang ketika kupikir kaulah satu-satunya harapanku? Aku mungkin kedengaran egois sekarang, tapi sebagai saudaraku, tak bisakah kau menemaniku ketika aku butuh? Tak bisakah?”

Jongin dibuat bungkam diberi pertanyaan seperti itu. Tak tahu harus menjawab bagaimana.

“Maaf, Dahye-ya ….”

“Aku tidak butuh maaf. Aku butuh jawabanmu.” Dahye menukas cepat sementara matanya kembali memanas. “Kenapa kau meninggalkanku sendirian?”

Aku pergi untuk melindungimu, Dahye-ya. Melindungimu dari diriku sendiri.

Jongin mengembuskan napas berat, lalu berusaha menghindari mata Dahye ketika akhirnya menjawab, “Aku … Chanyeol mengajakku pergi liburan di villa milik keluarganya—aku tak punya waktu untuk pamitan dan menghubungimu atau nenek, jadi aku pergi tanpa kabar.”

Bohong. Tentu saja itu bohong besar.

Tapi Jongin lebih memilih menyampaikan kebohongan ini ketimbang mengungkapkan alasan sesungguhnya pergi.

Ketika ia menatap kembali wajah Dahye, ditemukannya kekecewaan dalam sorot mata gadis itu. Hatinya bagai ditonjok ketika kemudian Dahye melengos untuk menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca. Sebuah tawa sinis lantas terdengar dari mulutnya.

“Rupanya kau sudah punya jadwal super sibuk dengan temanmu sampai tak bisa menemaniku, ya?” tukas Dahye kemudian, sarkasme terselip dengan kentara di dalamnya. Ia lalu menatap Jongin tajam, dan meneruskan, “Seharusnya sejak awal aku tak boleh berharap banyak padamu. Kau memang tak pernah mempedulikanku, aku hanya buang-buang waktu mengharapkan kehadiranmu di sisiku.”

Lalu tanpa banyak bicara lagi, Dahye beranjak bangun dari duduknya. Ia berjalan pergi, namun sebelum benar-benar menghilang, menyempatkan diri untuk berbalik dan menatap Jongin lurus-lurus sembari berbisik tajam.

“Kau berhasil membuatku kecewa padamu, Jongin. Aku membencimu.”

Di tempatnya, Jongin hanya mampu membeku. Ia bersumpah bukan ini yang diinginkannya. Ia menjaga jarak dari Dahye untuk melindunginya—bukan untuk membuat gadis itu benci padanya. Namun Dahye seperti ini, bukankah karena dirinya sendiri? Karena ia pergi, dan tak menemani gadis itu ketika ia sendirian. Karena ia pergi, dan membuat luka yang dirasakan Dahye kian besar.

Bagai tersedot ke dalam sebuah lubang hitam, Jongin merasakan napasnya menyesak. Bukankah kini ia telah kelihatan seperti ayahnya? Yang pergi tanpa tanggung jawab meninggalkan orang yang menyayanginya.

Bahkan tanpa ia ketahui, ia berubah menjadi selayaknya sang ayah, sosok yang paling ia benci.

Namun kemudian Jongin sadari, semua yang didapatnya kini merupakan hukuman karena ia tak pernah mampu membunuh rasa sukanya pada sepupunya sendiri.

Sejak awal, memang tak seharusnya Jongin menjaga perasaan terlarangnya itu.

♠♠♠♠

Note♥

Haluuu

Wehehe akhirnya kesampean juga ngepost jongin-dahye side story^^ sebenernya ini telat banget siiih, harusnya side story ini tuh dipost beberapa chapter dari side storynya sehun-dayoung-baekhyun, lagian jongin dahyenya juga udah baikan, tapi gapapalah yaa seengganya kalian jadi tau karna apa dahye musuhan sama jongin hehee dan ternyataaaa ciuman pertamanya si dahye bukan sehun omayaaa O.O

Ahh yaudah deh segini dulu aja, semoga kalian terhibur sama chapter ini yaa^^ makasih buat kalian yang udah baca^^

Seeya on next chap geng~~~

…mind to leave a review?

p.s. ada yang masih galauin exordium in seoul dari malem kemaren? Ada? Ada? Bagus, yang di sini ga galau sendirian ternyata HIKS

Filed under: romance Tagged: kai, OC

Show more