2016-07-22



Kim Tales :

“Deepest Memories”

Lee Hana / OC || Kim Jongin / EXO Kai || Others

Romance, Family, Drama, Angst

Beta : Neez

PG || Chapters

[Teaser] [1st Part] [2nd Part] [3rd Part] [4th Part] [5th Part]

[6th Part] [7th Part]

In Correlation with  :

{KIM TALES} WILDEST DREAM

© IMA

Last Part :

Sinar matahari sore menerpa wajah Kai –yang berjalan di sampingnya. Menembus helaian rambut kecokelatan milik Kai –yang membuat ketampanan lelaki itu semakin bertambah saja. Hana tidak tahu sejak kapan menyukai pemandangan –wajah Kai dari samping seperti itu. Ia bisa melihat bentuk hidung yang unik dan rahang tegas milik kekasihnya. Walaupun Kai tidak setampanlaki-laki itu, tapi ada aura dari dalam diri Kai yang tidak dimiliki laki-laki itu.Yang membuat Hana tidak pernah bosan memandangi Kai dari jarak sedekat itu dalam waktu yang lama.

Hana tidak tahu kalau ia sudah jatuh begitu dalam pada pesona seorang Kim Jong In yang dulu pernah dibencinya.

[DEEPEST MEMORIES] — 8TH PART

Hidup Hana terasa jauh lebih menyenangkan entah kenapa. Hari-harinya yang dipenuhi pekerjaan kini tidak terasa berat lagi karena ia berbagi tugas menjemput Tae Jun dengan Kai dan mendapati kedua lelaki itu berdiri di depan tempatnya bekerja hanya untuk memberikan semangat. Sudah lama rasanya ia tidak merasakan hal seperti itu di hidupnya. Terasa asing namun sangat menyenangkan.

Malam itu Hana mendapat jadwal piket di restoran tempatnya bekerja. Membereskan meja-meja, mencuci sisa-sisa piring, hingga menyapu lantai di dalam restoran. Sebelum mengubah tanda restoran menjadi closed, ia mendengar bel dari atas pintu berdering, menandakan seseorang baru saja masuk ke dalamnya. Hana cepat-cepat berbalik –masih dengan sapu di tangannya dan menemukan seorang wanita paruh baya bersama seorang anak kecil berdiri di sana.

“Oh, maaf, restorannya sudah tutup,” Hana cepat-cepat menghampiri dan membungkuk dalam pada keduanya.

Pandangan anak lelaki itu menilai penampilan Hana dari atas hingga bawah. “Eomma, bukannya ahjumma ini ibunya Tae Jun?”

“Jinjja?” wanita paruh baya di hadapannya kembali menelisik penampilan Hana lalu tertawa pelan. Meremehkan. “Omo! Ternyata benar kau ibunya Tae Jun.”

Hana tanpa sadar meremas tangannya sendiri tanpa berani melihat wanita itu. “Ah, maaf, tapi restorannya sudah tutup. Saya harus membereskannya.”

“Ck ck ck, menjadi pelayan saja sudah seperti ini gayanya,” wanita itu mengibaskan rambut bergelombangnya dengan angkuh, seolah dengan sengaja memamerkan hiasan kukunya yang berkilauan. “Aku jadi kasihan pada Tae Jun. Tidak punya ayah dan ibunya bekerja seperti ini. Aku tidak bisa bayangkan bagaimana perasaan Tae Jun saat orang-orang mengintimidasinya karena pekerjaanmu.”

Kedua mata Hana terpejam dengan tangan terkepal erat. Berusaha mengatur napas dan menenangkan emosinya agar tidak langsung memukul wanita di hadapannya. “Maaf, tapi kalau anda tidak urusan lagi silakan keluar. Saya harus menutup restoran ini.”

“Keurae. Aku juga tidak berniat makan di sini kalau anakku tidak merengek mengajakku masuk. Permisi nyonya Lee,” wanita itu menyunggingkan senyum miring –meremehkan dan menatap Hana dengan mata kucingnya sekali lagi sebelum melangkah dengan angkuh keluar dari restoran itu. Memasuki mobil mewah yang diparkir di depan restoran.

Sementara Hana merasakan pening menyerang kepalanya, hingga tanpa sadar menggapai meja terdekat yang bisa diraihnya. Rasanya ia ingin menyumpal mulut wanita itu yang sudah seenaknya menilai kehidupannya seperti itu. Tapi entah kenapa ucapan wanita itu terus terngiang di dalam kepalanya. Bagaimana perasaan Tae Jun saat mendapat penghinaan atas pekerjaannya? Demi Tuhan, Hana tidak sanggup melihat anaknya terluka seperti itu.

Hana kembali disadarkan dengan suara bel dari pintu restoran yang terbuka. Membuat Hana ingat bahwa ia belum membalik tulisan di pintu restoran itu. Cepat-cepat Hana menyeka air mata –yang entah sejak kapan membasahi pipinya dan siap berbalik untuk menghadapi –siapapun yang memasuki restoran.

“Eomma!” panggilan dengan suara serentak milik Kai dan Tae Jun itu sontak membuat Hana berbalik. Tanpa sadar menyunggingkan senyum karena melihat dua laki-laki –yang berharga di hidupnya berdiri di sana.

Namun senyuman Kai menghilang ketika melihat sisa-sisa air mata –yang membuat dadanya berkedut sakit. “Han-ah?”

Hana berjongkok di hadapan Tae Jun, mengabaikan panggilan Kai dan malah memberikan kecupan ringan di puncak kepala anak lelakinya. Senyuman lebar di bibir Tae Jun malah membuat hatinya terasa semakin sakit. Ia sudah berjanji tidak akan pernah menyakiti Tae Jun lagi seumur hidupnya dan ia akan melindungi anaknya apapun yang terjadi.

“Han-ah…” panggil Kai lagi ketika menyadari kedua mata Hana mulai kembali berkaca-kaca.

Senyuman miris muncul di bibir Hana begitu wanita itu berdiri. “Aku masih harus membereskan dapur sedikit lagi. Kalian tunggu sebentar, eoh?”

Begitu melihat Hana berbalik dengan cepat dan menghilang di balik pintu menuju dapur, Kai sadar bahwa ada yang tidak beres dengan wanita itu. Kai mengambil dua bungkus roti di dekat meja kasir, menyerahkannya pada Tae Jun dan menyuruh anak itu duduk manis di salah satu meja. Sementara ia menyusul Hana ke belakang dan menemukan Hana bersandar di konter dekat tempat cuci piring. Menangis tersedu.

“Lee Hana,” Kai mendekat dan tanpa basa-basi menarik Hana ke dalam pelukannya. Perasaanya ikut terluka melihat Hana seperti itu. “Waeyo?”

“Aku bukan ibu yang baik,” Hana balas melingkarkan tangannya di pinggang Kai, menenggelamkan wajah di dada kekasihnya tanpa peduli air matanya akan membasahi kaus yang dipakai lelaki itu.

“Ssh, wae? Ada apa sebenarnya?” tanya Kai sekali lagi, masih sambil mengusap-usap puncak kepala Hana.

“Kalau Tae Jun sampai terluka lagi, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri, Jong In. Kenapa hidupku harus semenyedihkan ini?” entah Hana bertanya pada siapa. Tapi pertanyaan itu membuat jantung Kai terasa berkedut sakit.

Sungguh, Kai menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bisa memberikan kehidupan yang baik untuk Hana –sekarang. Kejadian apapun yang menimpa Hana sebelum ini pasti menyangkut Tae Jun dan pekerjaan wanita itu. “Anhi, kau ibu yang paling hebat untuk Tae Jun, Han-ah. Kau harus bahagia untuk membuat Tae Jun bahagia juga.”

“Kau salah, Jong In,” Hana mundur selangkah, melepaskan diri dari pelukan kekasihnya. “Di zaman sekarang, hal seperti itu tidak berlaku lagi. Aku harus hidup dengan baik untuk melindungi Tae Jun dan membuatnya bahagia.”

“Kita sedang berusaha, Han-ah,” Kai menundukkan kepala dengan dengusan pelan, berusaha tidak membalas Hana dengan emosi juga. “Setidaknya kau harus bahagia supaya Tae Jun tidak khawatir.”

Kai membantu Hana melepaskan apron, menghapus sisa air mata di pipi wanita itu sebelum melangkah bersama keluar dari dapur. Menemukan Tae Jun mengayun-ayunkan kakinya sambil menghabiskan roti, hingga tatapan anak itu tertuju pada keduanya yang semakin mendekat.

“Sudah selesai?” tanya Tae Jun tidak jelas karena mulutnya dipenuhi roti.

Hana terkekeh pelan sebelum mengangkat Tae Jun ke gendongannya. “Kaja! Kita makan di tempat barbeque. Hari ini Jong In hyung yang traktir!”

Senyuman geli muncul di bibir Kai ketika Hana menoleh sekilas padanya dengan senyuman tanpa dosa. Kai menepuk puncak kepala Hana sebelum memindahkan Tae Jun ke gendongannya dan membiarkan Hana mematikan lampu serta mengunci restoran itu.

***

Ada kalanya Kai benar-benar merasa jenuh pada hidupnya. Hanya bekerja di bar lalu pulang ke apartemen. Hanya begitu setiap harinya –sebelum ia mengenal Hana dan Tae Jun. Sekarang ia merasa bersyukur karena sudah mulai menemukan warna selain hitam putih di hidupnya. Ada Hana dan Tae Jun yang mulai mewarnai kesehariannya yang membosankan. Dan Kai akan berjuang agar warna-warna itu tidak berbaur dengan hitam atau putih, dan tetap menjadi patch di antara warna kelabu hidupnya.

Kai menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat pagi itu. Setelah shiftnya selesai, ia tidak lagi menyentuh vodka atau minuman alkohol yang lain. Ia ingin segera pergi dari Triptych dan menghampiri Hana di apartemennya –sebelum Tae Jun bangun tentu saja.

Seperti pagi itu, dimana Hana berdiri di hadapannya dengan rambut acak-acakan dan mata setengah terbuka. Membukakan pintu untuknya yang bertamu di jam 5 pagi.

“Jong In?” tanya Hana memastikan seraya menguap –cukup lebar. “Kenapa datang sepagi ini?”

“Aku baru pulang,” tanpa menunggu jawaban apapun, Kai menerobos masuk pintu apartemen Hana. Wanita itu tampak masih mengucek kedua matanya lalu berlalu meninggalkan Kai ke arah kamarnya kembali.

Kai cepat-cepat mengejar Hana dan menghalangi pintu kamar wanita itu. Tangan Hana berusaha menggapai rambutnya –untuk dijambak, namun Kai berhasil menghindar. Hana beralih menarik bagian depan kaus yang dipakainya, membuat Kai mengambil kesempatan –dengan menarik tubuh Hana ke dalam pelukannya. Ia memeluk Hana dengan erat, bahkan sedikit mengangkat tubuh wanita itu dari lantai apartemen.

Dan Hana masih belum sepenuhnya sadar hingga menerima saja perlakuan Jong In. “Aku mau tidur lagi, Jong In.”

“Anhi anhi. Tidak boleh,” Kai melepaskan pelukannya lalu mengusap puncak kepala Hana. “Ayo bangun.”

“Ngantuk,” balas Hana setengah merengek. Dan Kai malah memberikan kecupan ringan di bibirnya. Membuat kedua mata Hana terbuka lebar, menatap horor ke arah Kai –yang malah tertawa pelan di hadapannya. “Waeyo?”

“Aku punya sesuatu,” Kai tampak membuka tas ranselnya, mengaduk-aduk –entah mencari apa dari dalam sana. Sementara Hana menunggu dengan sesekali menguap, mencoba meredakan kantuk yang tidak juga hilang.

Hingga sesuatu yang diserahkan Kai membuat Hana membulatkan matanya. Ia mengangkat kepala, menatap Kai –masih dengan ekspresi kaget dan blank. Sungguh.

“Jong In aku—.”

Kai mendekatkan wajahnya secepat kilat hingga membuat Hana mengatupkan bibirnya kembali. Ia menyerahkan kotak merah beludru itu di hadapan Hana, membukanya dan memperlihatkan kalung –emas putih yang memiliki inisial H. Dan demi apapun di dunia ini, Hana tidak pernah menduga bahwa Kai akan membelikannya kalung seperti itu.

“Kenapa membelikanku ini?” tanya Hana heran. Dan Kai hanya tersenyum sembari mengeluarkan kalung itu dari kotaknya.

“Sebagai tanda kalau aku tidak akan meninggalkanmu dan Tae Jun,” Kai menahan senyumnya lalu melingkarkan tangannya di leher Hana, setengah memeluk wanita itu –untuk memasangkan kalung.

Hana tak bisa berkata apa-apa. Ia bahagia, senang, dan haru sekaligus dengan sikap Kai yang seperti ini. Sebelum Kai menjauh, Hana melingkarkan tangannya di sekitar pinggang lelaki itu. Memeluk Kai dengan erat. “Gomawo.”

“Sama-sama, Han-ah.”

Dua bulan berlalu dengan begitu cepat setelah Hana memutuskan untuk kembali membuka hatinya dan memberi kesempatan bagi Kai. Sekarang Hana sudah berusaha tidak canggung lagi dan menerima perlakuan Kai –yang selalu secara terang-terangan menunjukkan perasaannya dengan skinship. Namun masih bisa dihitung jari Hana memulai skinship di antara mereka, karena Kai yang lebih paham dan melakukannya dengan natural tanpa terlihat canggung sama sekali. Dan Hana senang sekali ketika bisa memeluk Kai dan menghirup wangi parfum lelaki itu setelah pulang kerja.

Masih ada beberapa jam sebelum Tae Jun pergi ke sekolah dan Hana memutuskan untuk menyiapkan sarapan. Sementara Kai duduk dengan menopang dagu, memperhatikan Hana yang sibuk memasak di depannya. Mungkin hidupnya akan benar-benar terasa lengkap jika ia menikahi Hana suatu saat nanti. Setelah uangnya sudah terkumpul cukup banyak, ia tidak akan ragu untuk mengajak Hana menikah tentu saja. Pasti menyenangkan setiap pagi disambut seseorang yang dicintainya, menghilangkan rasa lelah setelah semalaman bekerja.

“Hari ini aku mau antar Jae Hee eonni ke kantor Joonmyun oppa,” ujar Hana, membuyarkan lamunan Kai –tentang masa depan mereka berdua. Masih memandangi punggung Hana yang sibuk di dapur.

“Wae?” tanya Kai, membuat kening Hana berkerut heran.

“Apanya wae? Joonmyun oppa yang meminta tolong, keadaan Jae Hee eonni masih belum sehat ‘kan,” Hana memindahkan telur dadar ke piring lalu membawanya ke meja makan. Ia melihat Kai tersenyum simpul sambil memperhatikannya yang sibuk menata piring lauk dan nasi di meja makan.

“Mau diantar juga?” tanya Kai seraya memperhatikan Hana yang kini duduk di sampingnya.

“Anhi. Kau istirahat saja, kkaman. Aku bisa pergi sendiri nanti,” Hana menyunggingkan senyum simpul lalu menyerahkan sepasang sumpit pada kekasihnya. Uh, Hana masih harus membiasakan diri menyebut Kai sebagai kekasihnya.

“Ck, kau masih memanggilku dengan nama itu?” tanya Kai, merasa sedikit kesal karena Hana membuatkan nama kesayangan yang tidak bagus untuknya.

“Wae? Memangnya kau berharap apa? Sayang, baby, chagi? Chi, Hanya dalam mimpimu, kkaman,” cibir Hana lalu menyuapkan potongan telur dadar ke dalam mulutnya. Mengabaikan tatapan tajam Kai yang tertuju padanya.

“Ya. Kau benar-benar mau dicium, ha?” pertanyaan bodoh dari Kai membuat mulut Hana berhenti mengunyah dan secara otomatis melirik lelaki itu.

“Mwo? Ancaman macam apa itu?” Hana menaikkan sebelah alisnya sambil menahan senyum, tidak tahan melihat ekspresi kesal kekasihnya. Terkadang Kai jauh lebih kekanakkan dari Tae Jun untuk merebut perhatiannya. “Tidak akan ada yang memanggilmu kkaman selain aku ‘kan? Itu panggilan istimewa yang paling romantis untukmu, Kim Jong In. Kau beruntung.”

“Anhi, kau harus tetap dapat hukuman, Han-ah,” Kai merangkul Hana dengan sebelah tangannya dan menarik tubuh wanita itu agar semakin dekat. Sementara Hana sudah tertawa, merasa geli karena Kai menggelitik pinggangnya dengan tangan lain yang bebas. Dan Kai tidak tahan untuk mencubit pipi gembul Hana lalu memberikan kecupan gemas di bibir wanita itu.

“Ya!” Hana mendorong wajah Kai menjauh dan melihat cengiran tanpa dosa yang ditunjukkan lelaki itu.

“Tae Jun belum bangun, Han-ah,” Kai masih dengan cengiran tanpa dosanya kembali mendekatkan wajahnya dan bersiap mencium Hana lagi. Jika Tae Jun tidak mengganggu mereka tentu saja.

“Eomma~.”

Hana cepat-cepat mendorong kepala Kai kembali ke belakang dan berdiri dari kursi meja makan, menghampiri asal suara Tae Jun yang merengek memanggilnya di dalam kamar. Meninggalkan Kai yang kini tengah menghembuskan napas panjang dengan ekspresi sedikit kesal –karena kegiatannya terganggu. Tapi ia tidak sabar untuk melihat Tae Jun dan menyapa anak lelaki itu.

“Tae Jun-ie~,” sapa Jong In ketika melihat Hana kembali ke meja makan dengan Tae Jun di gendongannya.

Begitu Hana kembali duduk di sampingnya dengan Tae Jun di atas pangkuan Hana, ia mengacak pelan rambut Tae Jun. “Kenapa bangun sepagi ini, hm? Hyung masih ada urusan dengan eomma.”

Hana melirik tajam dan mecubit pelan lengan atas Kai sambil mengucapkan sesuatu tanpa suara –menyuruh lelaki itu untuk diam karena Tae Jun masih setengah sadar di pelukannya. Tae Jun mengerjap-ngerjap memperhatikan Kai yang kembali mengusap puncak kepala anak itu.

“Hyung menginap ya? Kenapa pagi-pagi sudah ada di sini?” tanya Tae Jun dengan polosnya, membuat Kai tersenyum geli sambil melirik Hana –yang mengalihkan tatapan ke arah lain.

“Anhi, hyung baru datang,” jawab Kai lalu melirik jam dinding di ruang tengah apartemen Hana yang menunjukkan pukul 6 pagi. “Cha! Ayo mandi sekarang, Tae Jun-ie.”

“Sirho,” Tae Jun menenggelamkan wajahnya pada leher Hana, menghindari ajakan Kai.

“Kau harus sekolah, Tae Jun-ei. Kaja!” Kai bangkit dari kursinya seraya mengambil alih Tae Jun ke dalam gendongannya kemudian meninggalkan meja makan menuju kamar mandi. Mengabaikan rengekan Tae Jun yang tidak mau mandi –air dingin—padahal hari itu sudah masuk minggu kedua musim panas. Sementara Hana hanya menggelengkan kepala dan tersenyum geli, melihat keduanya memasuki kamar mandi. Setelah ini Hana tidak akan meminta apapun lagi selain Kai di sisinya dan kebahagiaan Tae Jun.

***

Setelah mengantar Tae Jun ke sekolah, Hana berpisah dengan Kai –yang kembali ke apartemennya sendiri—dan ia yang menjemput Jae Hee ke apartemen sebelum pergi ke kantor Joonmyun. Melihat Jae Hee yang kembali lemah setelah masuk rumah sakit lagi benar-benar membuat Hana ikut merasa sakit juga. Padahal ia berharap setelah pernikahan Joonmyun dan Jae Hee dilangsungkan, keduanya akan bahagia dan orang-orang akan berhenti menghujat Jae Hee maupun Joonmyun. Namun ternyata takdir berkata lain. Joonmyun dan Jae Hee masih harus berusaha keras untuk menenangkan media dan kedua orangtua Joonmyun sendiri.

Hana berjalan di samping Jae Hee dan memegangi lengan wanita itu ketika menuruni tangga di gedung apartemen mereka. Walaupun Jae Hee memprotes tindakan Hana dan ingin jalan sendiri, Hana tetap bersikeras membantu Jae Hee menuruni tangga. Dan ketika keduanya berakhir duduk di dalam bus, Hana baru bisa menghela napas lega.

“Kau berlebihan, Hana-ya. Aku masih bisa jalan sendiri,” ujar Jae Hee seraya mendengus pelan dan memasang ekspresi kesal.

Hana hanya terkekeh pelan. “Aku ‘kan hanya menjaga eonni. Tapi perut eonni tidak sakit lagi ‘kan?”

“Tidak, Lee Hana,” jawab Jae Hee dengan penekanan nada lalu memperhatikan Hana yang –lagi-lagi—menghela napas panjang. Tiba-tiba saja ia ingin menggoda wanita itu. “Bagaimana Jong In?”

Sontak pipi Hana menghangat begitu mendengar pertanyaan Jae Hee. “Jong In kenapa?”

“Kalian baik-baik saja ‘kan?” tanya Jae Hee lagi, tidak bisa menyembunyikan senyum gelinya karena pipi Hana sudah mulai berubah warna.

“Eoh. Tadi sebelum pulang dia ikut mengantar Tae Jun ke sekolah,” Hana menjawab tanpa mau menatap Jae Hee dan lebih memilih untuk fokus pada sandaran kursi bangku lain di hadapannya.

“Baguslah. Sekarang kau tahu kalau Jong In benar-benar menyangi kalian berdua, bukan hanya kau atau Tae Jun saja,” Jae Hee mengulas senyum simpul, diam-diam ikut berbahagia dengan kehidupan Hana walaupun dirinya sendiri belum bisa meraih kebahagiaan bersama Joonmyun.

“Dwaesseo, eonni,” Hana berusaha mengalihkan pembicaraan agar Jae Hee tidak kembali membahas Kai, karena wajahnya mudah sekali memanas jika mengingat lelaki itu.

Hampir setengah jam kemudian keduanya tiba di depan kantor Joonmyun dengan Hana yang tetap memegangi lengan Jae Hee sejak turun dari bus. Bangunan yang memiliki empat lantai itu terlihat sepi, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Dengan ragu Hana mengikuti langkah Jae Hee memasuki halaman depan kantor Joonmyun dan memasuki lobi, yang langsung disambut oleh dua orang wanita di balik meja resepsionis.

Tanpa perlu bersusah payah bertanya pada kedua wanita itu, Hana mengikuti langkah Jae Hee menuju lift. Wanita itu menekan tombol lantai paling atas, sementara Hana berdiri diam di sebelah Jae Hee yang bersandar pada dinding lift. Begitu pintu lift terbuka, keduanya disambut oleh meja sekretaris Joonmyun yang membentang hingga satu-satunya pintu yang ada di lantai itu. Jae Hee tampak tersenyum dan membungkuk singkat pada sekretaris Joonmyun, sementara Hana hanya memegangi lengan Jae Hee dan tersenyum kaku pada wanita itu.

“Apa Joonmyun ada di dalam?” tanya Jae Hee dengan suara lembutnya.

“Ne, beliau ada di dalam. Silakan langsung masuk saja, nyonya Kim,” jawab wanita itu dan Jae Hee berterima kasih sebelum melanjutkan langkah menuju pintu ruangan Joonmyun.

Hana melepaskan lengan Jae Hee dan berdiri di belakang wanita yang kini mengetuk pelan pintu ruangan Joonmyun sebelum membukanya secara perlahan. Senyuman simpul muncul di bibir Hana, tiba-tiba merasa tidak enak karena mengganggu waktu keduanya. Ketika Jae Hee melangkahkan sebelah kakinya masuk ke dalam ruangan dan berbalik untuk mengajaknya masuk, Hana mundur satu langkah.

“Aku mau keliling, eonni. Nanti telepon aku saja kalau sudah selesai, eoh?” Hana tersenyum pada Jae Hee lalu berbalik, melangkah cepat menghampiri lift yang baru saja terbuka karena seorang laki-laki berstelan kemeja dan celana bahan baru saja keluar dari sana.

Hana hanya membungkuk singkat tanpa sempat melihat wajah lelaki itu dan memasuki lift begitu saja. Tepat ketika mengangkat kepala sebelum pintu lift tertutup, kedua mata Hana membulat seketika. Laki-laki berambut madu dengan postur tegap dan bidang yang membelakangi lift itu membuat bulu kuduk Hana meremang. Namun Hana belum sempat memastikan karena pintu lift sudah tertutup sempurna, membawanya ke lobby perusahaan milik Joonmyun. Sementara Hana berpegangan pada dinding lift begitu merasakan kedua kakinya mulai melemas dan dunianya seolah berputar.

‘Laki-laki itu’…. Tidak mungkin bekerja di perusahaan Joonmyun ‘kan?

.

.

Masih dengan pikiran berkecamuk dan penuh tanda tanya, Hana akhirnya hanya duduk di tangga darurat kantor Joonmyun –yang dikelilingi kaca dan membiaskan cahaya dari luar itu— dengan segelas kopi hangat dari vending machine di tangannya. Ia masih mengingat jelas postur laki-laki berambut madu yang tadi dilihatnya dari dalam lift. Tidak mungkin ada laki-laki yang mirip dengan ‘laki-laki itu’ dari segi postur tentu saja. Perut Hana kembali terasa mual begitu membayangkan sosok laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya itu benar-benar ada di kantor Joonmyun.

Hana menghembuskan napas panjang seraya mengeluarkan ponselnya. Mengecek pesan terakhir dari Kai sebelum berpamitan untuk tidur. Uh, harusnya ia tidak lagi memikirkan laki-laki dari masa lalunya dan lebih memikirkan Kai sekarang. Kekasihnya butuh asupan vitamin lebih agar tidak sakit karena jam kerja yang berbeda dari manusia normal lainnya. Sepertinya ia harus membantu Kai mencari pekerjaan yang lebih normal –dan tidak berhubungan dengan dunia malam—seperti itu lagi.

Jam sudah menunjukkan pukul dua siang ketika Hana bangkit dari duduknya setelah menghabiskan satu cangkir kopi. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantel sambil melangkah keluar dari pintu tangga darurat, kembali memasuki lobi kantor Joonmyun yang sepi. Ia tersenyum geli dan menyempatkan diri untuk berkeliling ke ruangan di setiap lantai kantor Joonmyun. Hingga kegiatannya terhenti karena getaran ponsel dari dalam saku mantel.

Hana membaca pesan dari Jae Hee lalu menghela napas panjang sambil kembali ke dalam lift. Menjemput Jae Hee di ruangan Joonmyun karena wanita itu baru menyelesaikan urusannya. Hana baru saja akan melangkah dari lift yang sudah berhenti di lantai teratas, ketika pandangannya bertemu seorang laki-laki berambut madu dengan tubuh tinggi tegap yang tadi dilihatnya. Bulu kuduk Hana meremang. Darah-darah di seluruh tubuhnya dipompa dengan sangat cepat hingga membuat kepalanya terasa pusing seketika.

Laki-laki itu….

“Agasshi, apa kau tidak apa-apa?”

Hana menyadari bahwa ia hampir terjatuh dengan memegangi dinding lift ketika lelaki itu menahan pintu lift dan menatapnya penuh rasa khawatir. Ia cepat-cepat melangkah keluar dari lift, sementara laki-laki itu juga tidak jadi masuk ke dalam lift dan malah mengikutinya.

“Agasshi!”

Hana baru saja akan membuka pintu ruangan Joonmyun, ketika Joonmyun dan Jae Hee keluar dari ruangan itu. Menghentikan langkah Hana di depan keduanya.

“Oh, kalian saling kenal?” tanya Joonmyun pada sosok laki-laki yang tadi terlihat seperti mengejar Hana.

“Anhi, aku tidak mengenalnya. Dia seperti mau pingsan tadi,” jawab lelaki itu sambil memberikan senyum simpul pada Hana yang meliriknya.

“Hana-ya, apa kau sedang sakit?” tanya Jae Hee khawatir, setengah merasa bersalah karena membiarkan Hana menemaninya ke kantor Joonmyun.

Hana menggeleng cepat. “Hanya sedikit pusing.”

“Luhan-ah, bisa kau antar Hana ke pantry? Di sana ada obat untuknya. Aku dan Jae Hee tunggu di lobi kantor,” titah Joonmyun pada laki-laki yang masih terlihat memperhatikan Hana itu.

Luhan sedikit terkesiap, memberikan senyum kaku pada Joonmyun lalu sedikit menyingkir –mempersilakan Hana. “Ah, silakan…. Hana-ssi.”

Dengan canggung Hana mendahului laki-laki yang disebut Luhan oleh Joonmyun tadi, menunggu di depan pintu lift. Sementara laki-laki berambut madu itu kini berdiri di sebelah Hana dengan tangan menyilang di belakang dengan canggung. Begitu pintu lift terbuka, Luhan menahan pintu lift dan membiarkan Hana masuk lebih dulu. Keduanya terjebak kecanggungan di dalam ruangan berukuran 2×2 meter itu.

“Ah, kita belum berkenalan,” Luhan menyeka tangannya ke celana sebelum mengulurkan tangan ke hadapan Hana dengan senyuman terbaik miliknya. “Aku Lu Han. Sahabatnya Joonmyun yang ikut mendirikan perusahaan ini.”

Hana dengan ragu-ragu meraih tangan Luhan tanpa berani menatap lelaki itu. “Lee Hana.”

***

Setelah mengantar Jae Hee kembali ke apartemen, Hana bergegas pergi ke sekolah Tae Jun. Begitu tiba di sana, ia melihat anak-anak kecil berhamburan keluar sekolah sementara ia tidak melihat sosok anaknya di antara kerumunan. Hembusan napas keluar dari mulutnya, ia tidak pernah merasa selelah itu –walaupun bekerja seharian penuh sebelumnya. Sejak bertemu dengan laki-laki yang mengaku bernama Luhan, ia menjadi banyak melamun dan berpikir. Kenapa Luhan bisa sangat mirip dengan ‘laki-laki itu’?

Lamunan Hana dibuyarkan oleh teriakan Tae Jun yang berhambur memeluk kakinya. Hingga ia melihat sosok lain yang berjalan santai di belakang Tae Jun, menyunggingkan senyum manis sebelum menepuk kepalanya. Kim Jong In.

“Kenapa melamun siang-siang?” tanya Kai dengan nada jahilnya –seperti biasa dan dibalas Hana dengan mengendikkan bahu.

“Dwaesseo,” Hana menghela napas panjang lalu meraih tangan Tae Jun untuk digenggam olehnya. Lalu Hana menoleh pada Kai yang tiba-tiba ikut memegangi tangan lain Tae Jun. Pipi Hana terasa panas begitu melihat Kai menyampirkan tas ransel bergambar Pororo –milik Tae Jun—di bahu lebar lelaki itu.

Kai memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana jeans hitam miliknya tanpa berani melihat ke arah Hana. Menyembunyikan degup jantungnya sendiri karena terlalu senang dengan pemandangan itu. Ia dan Hana, menuntun Tae Jun bersama-sama. Uh, ia harap pemandangan itu akan bertahan selamanya karena ia sudah membayangkan bagaimana kehidupannya bersama Hana jika mereka menikah nanti.

“Ah, malam ini aku mau mengajakmu keluar,” ujar Kai tiba-tiba seraya menoleh ke arah Hana –yang terlihat menundukkan kepala.

Hana mengangkat kepalanya untuk melihat Kai lalu mengernyit heran. “Keluar kemana? Hanya berdua?”

“Eoh. Hanya makan malam biasa, tidak di tempat mewah juga, jadi pakai baju yang nyaman saja,” Kai menyunggingkan senyum tipis –yang entah kenapa bisa membuat dunia Hana seolah jungkir balik.

“Hyung tidak mau pergi denganku?” tanya Tae Jun dengan nada polosnya, yang dibalas dengan senyum tanpa dosa dari Kai juga.

“Nanti kita ke kebun binatang, ne? Hari ini hyung ada urusan dengan eomma,” Kai menepuk-nepuk puncak kepala Tae Jun dengan senyum geli.

“Kenapa tidak ajak Tae Jun sekalian?” tanya Hana, entah kenapa bernada kesal di telinga Kai.

Kai meneguk ludah gugup dan mulai berkeringat dingin karena takut membuat Hana marah. “Kita belum pernah kencan berdua.”

“Sampai kapan pun kita tidak akan pernah kencan berdua, Jong In. Sejak awal sudah kubilang ‘kan kalau aku tidak sendiri,” Hana mengerutkan kening kesal, mendengus pelan sebelum menarik Tae Jun berjalan cepat bersamanya. Meninggalkan Kai di belakang.

Kai mengacak rambut frustasi, merasa bodoh karena ia kembali membuat Hana marah padanya. “Lee Hana!”

Sebenarnya secepat apapun Hana melangkah, Kai pasti akan kembali menyusulnya hanya dengan langkah biasa. Padahal Hana sedang tidak ingin bertengkar dengan lelaki itu, tapi ia benar-benar kesal karena Kai masih menganggapnya seperti wanita biasa. Padahal ia tidak mungkin bisa makan malam enak diluar bersama Kai, ketika Tae Jun ditinggalkan bersama Nayeon dengan makanan seadanya.

“Han-ah, aku minta maaf,” Kai cepat-cepat meraih tangan Hana dan menghentikan langkah wanita itu. “Mian, kita bertiga pergi makan malam di luar hari ini.”

“Kalau tidak rela, tidak apa-apa. Kau makan malam di luar saja sendiri, aku dan Tae Jun di apartemen,” Hana melepaskan tangannya dari Kai, melirik sinis ke arah laki-laki itu dan kembali berjalan cepat dengan Tae Jun.

Jika sedang sensitif seperti itu, Kai akan memberi jarak dan memberikan Hana waktu untuk sendiri. Sudah cukup sering ia menghadapi Hana yang dalam mode seperti itu dan ia harus mulai mengerti. Lagipula ia yang salah karena mementingkan egonya sendiri untuk bersama Hana, padahal jelas-jelas ada Tae Jun di kehidupan mereka. Sambil membetulkan tas ransel Tae Jun di bahunya, Kai berjalan santai sambil memperhatikan Hana dan Tae Jun beberapa meter di depannya.

.

Pada akhirnya di malam hari, Kai memesan dua kotak ayam goreng ukuran party dan makan bersama Hana –plus Tae Jun di ruang tengah apartemen wanita itu. Hana masih tidak banyak bicara padanya dan selalu menghindari kontak mata dengannya. Mungkin Hana masih merasa sakit hati, jadi Kai tidak mau memaksa Hana untuk cepat-cepat memaafkannya.

Tae Jun menggigit potongan paha ayam sambil memperhatikan dua orang dewasa yang saling memalingkan wajah dan terdiam di hadapannya. “Eomma… Hyung… Kalian tidak makan?”

Kai yang menyadari panggilan Tae Jun sontak menoleh dan tersenyum manis sambil mengacak rambut anak itu. “Kau makan duluan saja, Tae Jun-ah.”

“Tidak mau. Eomma, ayo makan, hyung juga,” Tae Jun menyodorkan dua potong ayam masing-masing ke piring Kai dan Hana lalu kembali melanjutkan makannya –dengan mata mengawasi keduanya.

Hana menghela napas panjang seraya meraih potongan ayam itu, mengalah karena perutnya mulai terasa sakit –menahan lapar. “Gomawo. Lain kali tidak perlu repot-repot seperti ini.”

“Tidak repot kok. Anggap saja ini untuk menebus kesalahanku tadi siang,” Kai menyunggingkan senyum tipis sambil memperhatikan Hana –yang sibuk menghabiskan makan malamnya. Sungguh, Kai tidak pernah mengalah pada wanita mana pun –sebelumnya-kecuali pada Lee Hana. Entah sihir apa yang digunakan Hana hingga ia tidak pernah bisa benar-benar marah pada wanita itu.

Tae Jun kembali memperhatikan Kai dan Hana yang terdiam lagi. “Apa Tae Jun boleh antar ayamnya ke rumah Nayeon eonni?”

“Hmm, terserah. Sepertinya eomma lihat Kyungsoo hyung juga tadi,” jawab Hana yang dibalas dengan ekspresi antusias milik Tae Jun. Anak lelaki itu berdiri cepat, membawa satu kotak ayam yang masih utuh dan berlari kecil keluar dari apartemen. Mendatangi pintu apartemen Nayeon yang berseberangan dengan pintu apartemennya.

Kai kemudian meletakkan ayamnya –yang baru digigit sedikit. “Kau masih marah, Han-ah?”

“Anhi,” Hana menjawab singkat tanpa menoleh ke arah lelaki itu. “Aku sudah tidak marah kok.”

“Bohong,” Kai mulai merajuk lalu memeluk Hana dari samping, menyandarkan dagunya pada bahu wanita itu. “Maaf ya, Han-ah.”

“Iya, iya,” jawab Hana risih sambil bergerak-gerak, berusaha melepaskan pelukan Kai –yang membuatnya gugup setengah mati.

Senyum lebar muncul di bibir Kai –karena ia berhasil membuat pipi Hana kembali merona karenanya. Ia melirik pintu apartemen Hana yang belum terbuka lagi, menandakan bahwa Tae Jun masih asyik bermain di apartemen Kyungsoo –dan Nayeon. Apa ia boleh meminta make up-kiss pada Hana?

Jika meminta izin pasti tidak boleh.

Kai kembali memeluk Hana dari samping dan mendaratkan kecupan gemas berkali-kali di pipi wanita itu. Membuat Hana risih dan berusaha sekuat tenaga mendorong Kai menjauh agar berhenti melakukan hal itu padanya. Terkadang sifat kekanakkan Kai lebih menyebalkan dari Tae Jun. Andai Kai tahu bahwa Hana hampir kehilangan nyawa karena perlakuan lelaki itu –yang selalu membuat jantungnya hampir lepas.

“Kkaman!” seru Hana lalu menutupi pipinya dengan tangan, menghentikan Kai –yang kini mulai memundurkan wajah. “Nanti Tae Jun lihat bagaimana?!”

“Wae? Biar Tae Jun tahu sebentar lagi statusku akan berubah jadi ‘appa’, bukan ‘hyung’ lagi,” Kai tersenyum geli dan kembali memeluk Hana dengan gemas. Seperti memeluk boneka beruang besar kesukaannya saat ia masih kecil dulu.

“Tch, memangnya aku mau menikah denganmu?” Hana berusaha melepaskan diri –walaupun dengan tenaga minimum karena ia menyukai momen-momen bersama kekasihnya. Bahkan ia lupa beberapa menit lalu ia masih kesal pada laki-laki itu.

“Kalau tidak mau, ya aku seret ke gereja,” Kai terkekeh pelan melihat ekspresi bodoh milik Hana –yang terlihat tidak menyetujui ucapannya.

Dan pada akhirnya Hana membiarkan Kai memeluknya dari samping seperti itu, sementara ia menghabiskan ayamnya –dengan sesekali menyuapi kekasihnya. Sudah hampir setengah jam berlalu dan Tae Jun masih belum kembali dari apartemen Kyungsoo –bersama Nayeon. Membuat Kai lebih leluasa memandangi Hana dari jarak sedekat itu.

Hingga suara ponsel berdering membuyarkan kegiatan lovey dovey mereka. Hana meraih ponselnya yang menunjukkan nama Joonmyun di layar. Sambil berdiri –dan melepaskan diri dari Kai, Hana menerima panggilan dari Joonmyun.

***

Tidak pernah terbayang sekali pun oleh Hana bahwa ia –bersama dengan Kai akan rela berlari dari apartemennya ketika mendengar kabar buruk dari Joonmyun. Sebelumnya Hana masih bisa tertawa dengan Kai dan Tae Jun, hingga kabar dari Joonmyun menghancurkan semuanya. Dan demi Tuhan, kandungan Jae Hee sudah menginjak 8 bulan dan Hana tidak tahu apa yang bisa membuat calon bayi Jae Hee meninggal.

Masih dengan peluh yang membasahi tubuhnya, Hana kembali berlari di koridor rumah sakit. Mengabaikan orang-orang yang ditabrak olehnya di koridor dan cepat-cepat mendatangi kamar rawat Jae Hee. Dari kejauhan Hana bisa melihat Joonmyun duduk di kursi ruang tunggu –depan ruang ICU, lelaki itu tampak menundukkan kepalanya.

“Jae Hee eonni bagaimana?” tanya Hana tanpa mau berbasa-basi begitu tiba di depan Joonmyun.

Joonmyun mengangkat kepalanya untuk melihat Hana lalu melirik Kai yang baru saja berdiri di samping Hana. Ia menggeleng pelan lalu kembali menundukkan kepala. Masih tetap menutup mulutnya dan enggan menjawab pertanyaan Hana.

Hana melirik Kai takut-takut, ia melihat Kai duduk di samping Joonmyun dan mengusap kedua bahu lelaki itu. Mencoba memberi kekuatan pada lelaki –yang kembali diberikan cobaan di dalam pernikahannya.

Melihat Joonmyun seperti itu, membuat hati Hana terasa perih dan sakit sekaligus. Hana menghembuskan napas panjang dan memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar koridor rumah sakit, bermaksud mencari minuman kaleng atau kopi untuk Joonmyun dan Jong In.

Dengan membawa tiga kaleng susu cokelat di pelukannya, Hana berjalan santai di koridor rumah sakit. Sambil melihat ke kanan-kiri bagian dari departemen khusus ibu dan anak itu. Ia melihat beberapa wanita muda yang memeriksakan kandungan ditemani oleh suaminya dan beberapa pasangan muda yang membawa balita mereka untuk diperiksa. Membuat jantung Hana berkedut sakit tanpa sadar. Ada bagian dalam dirinya yang menginginkan kejadian seperti itu terjadi pada hidupnya. Pasti menyenangkan jika pergi ke dokter kandungan bersama suaminya nanti. Hal yang tidak pernah ia lakukan saat mengandung Tae Jun dulu.

Hana mengabaikan perasaan aneh itu dan mempercepat langkahnya. Ia sudah hampir 15 menit menghilang hanya karena mencari minuman kaleng. Tepat ketika berbelok di koridor, Hana melihat seorang laki-laki berambut pirang madu yang berdiri membelakanginya –di dekat Kai dan Joonmyun. Joonmyun tampak mengobrol akrab dengan lelaki itu sementara Kai hanya memperhatikan keduanya secara bergantian. Hingga pandangan Kai tertuju padanya –yang masih harus beberapa langkah lagi tiba di sana.

“Han-ah,” Kai beranjak dari duduknya untuk menghampiri Hana –dan tetap tidak membuat obrolan Joonmyun dan lelaki itu berhenti.

Hana mengerutkan keningnya ketika Kai berjalan mendekat, menanyakan sosok laki-laki yang tiba-tiba muncul di sana. “Siapa?”

“Adiknya Jae Hee noona,” Kai menerima tiga kaleng itu dari tangan Hana. Membuat Hana sedikit merengut, terpaksa merelakan susu cokelat miliknya untuk diberikan pada adik Jae Hee.

“Sehun-ssi, mau susu cokelat?”

Tunggu.

Demi Tuhan.

Siapa nama adiknya Jae Hee?

“Oh terima kasih, Jong In-ssi.”

Pelafalan huruf s yang tidak jelas itu menusuk pendengaran Hana. Membawanya kembali ke masa lalu saat suara dan pelafalan s yang khas itu –membuatnya tergila-gila. Dunia Hana mulai berputar. Pandangannya mulai mengabur ketika lelaki itu berbalik, melihat dan menatapnya dengan mata membulat juga. Seperti ada ribuan jarum yang menusuk jantung Hana, kakinya tiba-tiba terasa lemas saat kembali bertatapan dengan lelaki itu.

Lelaki yang membuat hidupnya berantakan dan mengkhianati kepercayaannya.

Meninggalkannya dalam semua kekacauan yang diciptakan lelaki itu.

“Dia Oh Sehun, adiknya Jae Hee noona.”

Dan Hana mencengkeram lengan Kai tanpa sadar. Kepalanya mendadak pening, oksigen di sekitarnya seolah terenggut, membuat Hana kesulitan untuk sekedar menarik napas. Hana tidak ingat apa yang terjadi karena ia merasakan dunianya menggelap sebelum jatuh pingsan ke dalam pelukan Jong In.

[DEEPEST MEMORIES] — 8TH PART CUT

Ima’s Note :

Oke ini sangat ngaret wkwk

tapi kemaren aku sengaja beresin imperfection huhu

Abis tamat imper aku janjiin yang ini tamat sebelum ada ff baru xD Atau mungkin ada ff baru tapi pastiin yang ini tidak terbengkalai lagi eheheh

Enjoy!!!

Regards,

IMA♥

Filed under: AU, Drama, family, romance Tagged: exo, kai, kim jongin, OC

Show more