2016-07-16



Ziajung’s Storyline©

Casts: Park Chan Yeol | Choi Seo Ah

Genre: Romance, Comedy, Marriage Life

Prev: 10 Steps Closer [Prolog] || 10 Steps Closer [1st Step] + Announcement || 10 Steps Closer [2nd Step]

Warning! Very Berry Long Part haha

———————————————–

3rd Step

Ia nyaman dengan debaran itu

***

“Ahjumma lihat Frozen Yoghurt-ku?”

Yoon Ahjumma, yang sedang mencuci piring, menoleh ke arah Seo Ah yang berdiri di depan kulkas. Kepalanya masuk ke dalam freezer, seolah dengan begitu ia bisa menemukan apa yang ia cari. Hari Minggu yang cerah, kedua majikannya ada di rumah dan baru saja menyelesaikan makan siang. Seperti biasa, Seo Ah akan menikmati camilan sambil menonton drama di kamar setelah ini, sedangkan Chan Yeol langsung meluncur ke perpustakaan untuk bekerja. Tapi sepertinya hari Minggu ini tidak akan seperti hari Minggu pada biasanya, karena teriakan Seo Ah yang tidak biasa itu.

“Saya rasa, waktu itu melihatnya di freezer, Nyonya.”

Seo Ah mengeluarkan kepalanya dari freezer. “Tapi tidak ada…”

Padahal Seo Ah sudah sengaja menaruh Frozen Yoghurt buatan ibunya di pojok freezer, agar satu makhluk yang hidup dengannya (ya… bisa dibilang begitu. Karena, well, Yoon Ahjumma tidak mungkin lancang mengambil makanannya) tidak bisa menemukan camilan favoritnya itu. Setiap minggu, Seo Ah selalu menyempatkan diri pulang ke rumah orangtuanya di pinggir kota Seoul hanya untuk mengambil Frozen Yoghurt dan Kimchi buatan ibunya. Awas saja kalau Park Chan Yeol-yang-semakin-hari-semakin-mencampuri-hidupnya itu berani mengambilnya. Walaupun di peraturan sudah tertulis jelas mereka harus berbagi makanan, tetap saja ia tidak rela.

“Mungkin Anda belum mencarinya dengan benar.”

“Kalau tidak percaya, Ahjumma lihat saja!”

Baru Yoon Ahjumma ingin menghampiri Seo Ah, Chan Yeol masuk ke dapur sambil membawa sebuah wadah plastik yang sangat dikenal Seo Ah. Sebelah tangan Chan Yeol yang lainnya memegang tab, dan matanya sama sekali tidak peduli dengan sekitarnya. Ia melewati Seo Ah dan Yoon Ahjumma begitu saja menuju tempat cuci piring, lalu menaruh wadah itu di sana. Ia sama sekali tidak sadar kalau mata dan mulut Seo Ah sudah siap mengeluarkan lava yang akan melumerkan tubuh Chan Yeol.

Saat Chan Yeol berbalik, akhirnya ia sadar bahwa ada yang salah dengan suasana di dapur ini. Lewat ekspresi Seo Ah, Chan Yeol merasa kalau ia sudah melakukan kesalahan besar. Chan Yeol melirik Yoon Ahjumma, mencari jawaban. Tapi wanita paruh baya itu malah mengeluarkan ekspresi yang sama sekali tidak ia mengerti. Seperti ingin tertawa geli, namun terselip kengerian di sana.

“Apa?” tanya Chan Yeol akhirnya, tidak tahan dengan suasana ini.

“Apa yang telah kaulakukan?!” pekik Seo Ah, dan malah membuat Chan Yeol makin bingung.

“Aku sedang bekerja di perpustakaan.”

“Kau memakan Frozen Yoghurt-ku!” Seo Ah menunjuk wadah plastik yang diletakan Chan Yeol di tempat cuci piring.

Chan Yeol melihat sekilas ke arah yang ditunjuk Seo Ah, lalu kembali menatap Seo Ah dengan wajah tanpa dosa. “Oh.”

Seo Ah merasakan leher belakangnya kram mendadak. ‘Oh’?! hanya begitu?! Tidak ada permintaan maaf atau setidaknya basa-basi! Sekarang kadang kebencian Seo Ah kepada Chan Yeol sudah mencapai level ingin menguliti manusia itu hidup-hidup. Bagaimana bisa keluarga terhormat melahirkan anak seperti ini?!

“Kita sudah sepakat, makanan di sini adalah makanan bersama.”

Bolehkah Seo Ah menendang bokong pria ini?!

Tidak perlu diingatkan lagi, Seo Ah tahu itu! Tapi cara Chan Yeol mengatakannya seolah Seo Ah adalah wanita bodoh yang memiliki kapasitas otak tidak lebih banyak dari floopy disk. Meskipun peraturan itu Seo Ah yang buat, tidak sekalipun Seo Ah mengambil makanan Chan Yeol. Tapi pria ini… pria ini sudah berkali-kali ‘mencuri’ camilannya. Mulai dari sebatang coklat 100 Won sampai coklat asli Belgia oleh-oleh dari temannya.

“Tapi itu makanan favoritku!”

“Kau bisa membelinya lagi.”

“Eomma yang membuatnya!”

“Kalau begitu minta saja lagi.”

“YA!”

Yang tidak disukai Seo Ah saat bertengkar dengan Chan Yeol adalah ia selalu merasa kalah karena Chan Yeol terus membalasnya dengan nada dan ekspresi datar. Beda dengan Seo Ah yang ingin selalu berteriak, mengeluarkan semua emosinya. Sewaktu-waktu Seo Ah juga ingin memiliki kemampuan seperti Chan Yeol itu, agar ia bisa sabar menghadapi murid-muridnya yang nakal.

“’Ya’?”

Chan Yeol tidak pernah suka saat Seo Ah menggunakan banmal dan berteriak kasar padanya—meski di satu sisi, ia melihat itu sangat imut. Bukan apa-apa, ia hanya tidak suka istrinya bersikap tidak sopan. Istri ya… Chan Yeol tertawa pahit di dalam hati. Kenapa akhir-akhir ini kata itu selalu berputar di kepala Chan Yeol. Apa sekarang ia sudah menikmati kehidupan rumah tangganya?

“Nyonya, bagaimana kalau saya yang membuatkannya untuk Anda. Kebetulan hari ini adalah jadwal saya berbelanja, jadi Nyonya tinggal menyebutkan saja bahan-bahan yang harus saya beli.”

Yoon Mi Rae yang sedari tadi hanya menjadi penonton yang berusaha menahan tawanya, akhirnya mulai  bersuara. Jujur saja ia merasa lucu dengan pemandangan ini. Meski sudah lama bekerja untuk keluarga Park, baru kali ini ia melihat Chan Yeol seekspresif ini. Oke, bukan berarti Chan Yeol sudah bisa tersenyum lebar atau marah-marah sambil berteriak seperti Seo Ah, tapi Chan Yeol ekspresif dengan caranya. Dan itu membuat Yoon Mi Rae senang.

“Tapi tidak ada yang bisa membuatnya seenak Eomma, Ahjumma…” Seo Ah menghentakkan kakinya seperti anak kecil. Ia benar-benar kesal sampai rasanya ingin menangis.

“Beli saja di toko.”

Tanpa mengucapkan apapun, Seo Ah hanya mendelik tajam ke arah Chan Yeol. Ia harap matanya itu mengeluarkan cahaya laser seperti Superman agar Chan Yeol bisa hangus di tempat. Argh!

“Aku tahu toko yang menjual Frozen Yoghurt enak, ayo kuantar.” Dan Chan Yeol berlalu begitu saja.

Mulut Seo Ah terbuka lebar, namun matanya mengikuti Chan Yeol sampai pria itu keluar dari ruang makan, naik ke lantai dua menuju kamarnya. Setelah Chan Yeol tidak terlihat matanya, ia beralih pada Yoon Ahjumma.

“Ahjumma! Aku masih tidak percaya telah menikah dengannya! Ah, benar-benar!” Seo Ah pun ikut keluar dari ruang makan.

Dan Yoon Ahjumma hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

***

Seo Ah membuka pintu mobil Chan Yeol dengan wajah cemberut. Meski tidak ingin, pada akhirnya ia berganti baju dan menurut juga. Chan Yeol hanya memperhatikan wanita itu dari tempatnya, sampai Seo Ah memakai sabuk pengaman. Chan Yeol pun menghela nafas dan mulai menyalakan mesin mobilnya.

Meski ini bukan pertama kalinya mereka berada dalam satu mobil, tetap tidak ada pembicaraan yang bisa mereka mulai. Chan Yeol yang terlalu kaku dan dingin, sedangkan Seo Ah bingung harus memulai bahas apa bersama Chan Yeol. Ia tahu, dunianya dengan Chan Yeol sangat jauh berbeda. Takutnya ketika ia salah bicara, Chan Yeol malah menyerangnya dengan tatapan maut. Seo Ah tidak mau mati muda.

“Maaf.”

“Apa?” Seo Ah menoleh saat mendengar suara pelan Chan Yeol.

“Masalah Yoghurt-mu, maaf.” Jawab Chan Yeol. “Aku tidak tahu kau begitu menyukainya.”

Seo Ah mencibir sambil kembali menatap depan. “Sekarang kau tahu, kan?”

“Makanya aku minta maaf.”

“Iya, iya, kau bawel sekali!” Seo Ah mengibaskan tangannya ke arah Chan Yeol. Mendengar Chan Yeol terus meminta maaf membuatnya merasa seperti orang jahat. Lagipula apa gunanya tidak menerima maaf pria ini? Toh, Frozen Yoghurt itu tidak kembali utuh, paling-paling hanya menjadi kotoran nanti.

“Chan Yeol-ssi, bagaimana kalau kita berbelanja sekalian?” tiba-tiba saja ide itu terlintas di kepala Seo Ah. Lagipula mereka sedang di luar, apa salahnya meringankan beban Yoon Ahjumma sedikit.

“Kenapa?”

Dan itu adalah pertanyaan yang paling Seo Ah benci. Kenapa Chan Yeol harus bertanya ‘kenapa’ padahal Seo Ah sendiri tidak tahu kenapa?!

Sepertinya Chan Yeol menyadari perubahan raut wajah Seo Ah, makanya pria itu pun menghela nafas dan berkata, “Baiklah, kita berbelanja.”

Mobil Chan Yeol pun berbelok, ke sebuah kawasan yang tidak asing untuk Seo Ah.

Rasa antusias Seo Ah yang tadi mulai naik, langsung menurun seketika saat tahu kemana Chan Yeol membawanya. Meski ia tidak mau tahu urusan kantor Chan Yeol, setidaknya ia tahu nama perusahaan yang dikelola keluarga suaminya itu. Oke, biar Seo Ah ceritakan sedikit sebanyak apa kekayaan keluarga Park. Keluarga Park—atau dikenal dengan Golden Group—mempunyai beberapa hotel bintang lima yang tersebar di seluruh Korea, Jepang, dan Tiongkok; departement store; supermarket; juga perusahaan inti yang bergerak di bidang pengembangan apartemen dan resort. Salah satu supermarket milik Golden Group, yang dinamakan Golden Supermarket, berada di kawasan elit Gangnam.

Dan mereka sudah berada di lapangan parkir supermarket itu.

“Kau tidak mau turun?” tanya Chan Yeol sambil melepas sabuk pengamannya.

Seo Ah memutar kepala setelah cukup lama memasang wajah bodoh sambil menatap gedung besar di depannya. Ia menatap Chan Yeol tidak habis pikir. Ia kira Chan Yeol hanya pelit bicara dan senyum, tapi memang benar-benar pelit sebagaimana orang pelit. Bahkan untuk berbelanja kebutuhan rumah tangga, ia tidak mau rugi banyak. Well, sebanyak apapun nanti mereka habiskan uang di tempat itu, tetap saja sebagian besar uangnya masuk ke Golden Group.

“Kenapa?” Chan Yeol kembali ternyata saat melihat wajah Seo Ah yang sangat aneh.

Seo Ah tidak mengubah ekspresinya. “Kau benar-benar pelit, ya?”

“Apa maksudmu?”

Seo Ah berdecak sambil menggelengkan kepala, dan itu membuat Chan Yeol makin bingung. Lalu, tanpa mengucapkan apa-apa lagi, wanita itu turun dari mobil Chan Yeol. Ia meninggalkan Chan Yeol di belakang. Meski sebal, Seo Ah tidak ada pilihan lain. Ia tidak mungkin menyuruh Chan Yeol memutar arah dan mencari supermarket lain. Itu bisa melukai harga diri pria itu, juga Seo Ah tidak tahan dengan rentetan kalimat dingin yang akan Chan Yeol lemparkan padanya. Lagipula setiap supermarket isinya kurang lebih sama. Dan mungkin di sini ia akan mendapat potongan khusus, karena dia istri presdir.

Eh, tidak! Bukankah hubungan mereka rahasia?

Benar, orang-orang di sana tidak boleh tahu kalau mereka suami istri!

“Tunggu.” Seo Ah berbalik tiba-tiba, membuat Chan Yeol yang berjalan di belakangnya ikut berhenti juga. “Kau harus berdiri lima meter dariku.”

Chan Yeol menaikan sebelah alisnya. “Kenapa?”

Seo Ah mengembuskan nafas sambil mendesis ‘dasar bodoh’ dengan suara amat pelan. “Bagaimana kalau pegawaimu tahu tentang hubungan kita.”

Sampai detik Seo Ah mengatakan itu, jujur Chan Yeol tidak sadar. Maksudnya ia tidak sadar kalau itu tertulis di peraturan mereka. Walau nantinya tidak berdampak besar, tapi pasti akan menjadi berita panas kalau ketahuan bos besar-masih-muda-yang-banyak-penggemar mereka sudah memiliki istri. Apalagi istrinya biasa-biasa saja—kecuali untuk masalah mereka sama-sama berasal dari keluarga chaebol.

“Mengerti?” tanya Seo Ah. Namun, karena Chan Yeol tidak juga menjawab, ia pun memutuskan sendiri. “Oke, kau mengerti.”

Seo Ah melangkahkan kaki lebih cepat dari sebelumnya, mengambil troli, lalu masuk ke dalam supermarket. Ia tidak peduli apakah Chan Yeol masih mengikutinya atau memilih tinggal di mobil. Tapi mendengar keributan di belakangnya—karena pegawai-pegawai itu menyadari sosok Chan Yeol—Seo Ah hanya bisa menghela nafas, ternyata pria itu lebih keras kepala dari yang dibayangkannya.

Tanpa mau pusing-pusing tentang Chan Yeol, Seo Ah berjalan menuju barisan bumbu dapur, karena bagian itu yang terdekat dari pintu masuk. Ia berhenti di rak cuka apel. Agak lama ia berdiri di sana, sebelum mengambil dua botol merk yang berbeda. Karena jarang berada di dapur, ia tidak terlalu memperhatikan bahan-bahan apa saja yang biasa Yoon Ahjumma pakai.

Sama sekali tidak memiliki ide, Seo Ah pun akhirnya memasukan kedua merk yang menurutnya paling terkenal—karena harganya lumayan mahal—ke dalam troli. Seo Ah memandangi dua barang itu dalam diam. Sepertinya bukan hanya cuka apel yang harus ia beli, tapi juga beberapa bumbu lainnya.

“Apa lagi yang harus kubeli?”

“Kenapa tidak tanya Yoon Ahjumma?”

“Ah! Be—“

Seo Ah langsung mengatupkan bibirnya ketika ia menyadari suara siapa yang berbicara tepat di telinganya—bahkan Seo Ah sampai bisa merasakan hangatnya nafas pria itu. Lewat lirikan matanya, Seo Ah melihat Chan Yeol dengan santai berjalan melewati dirinya. Seo Ah mendesis, siap berkata kasar lagi (well, akhir-akhir ini Seo Ah jadi kerajinan berkata kasar pelan-pelan karena tingkah Chan Yeol—yang menurutnya—menyebalkan), namun langsung ditahannya begitu melihat banyak pegawai supermarket yang berbondong-bondong menghampiri Chan Yeol sambil memanggilnya ‘Sajangnim’.

“Apa ada yang bisa kami bantu?” seorang pegawai, yang kelihatannya manajer supermarket, bertanya sopan pada Chan Yeol.

“Aku hanya ingin membeli beberapa barang. Jadi kalian silahkan kembali bekerja.” Sambil pura-pura tertarik dengan botol kecap asin, Chan Yeol menjawab.

Seo Ah berdecak melihat tingkah Chan Yeol. Ia pun memanfaatkan adegan pegawai-yang-kelabakan-karena-kehadiran-mendadak-seorang-bos-besar itu untuk menelepon Yoon Ahjumma. Awalnya Yoon Ahjumma terdengar kaget saat mengetahui Seo Ah dan Chan Yeol berada di supermarket untuk berbelanja. Dia pun mengatakan kalau Seo Ah bisa meninggalkan tugas itu padanya. Tapi Seo Ah tetap bersikeras, sampai akhirnya Yoon Ahjumma mengatakan kalau ia akan mengirimi Seo Ah daftar barang yang harus dibeli.

“Wah, banyak juga,” ucap Seo Ah ketika mendapat daftar barang dari Yoon Ahjumma. “Jadi aku dan pria-ingin-tahu itu makan dari bahan sebanyak ini?”

“Cepatlah.”

“Ya?” Seo Ah dan manajer supermarket menjawab bersamaan.

Namun Seo Ah langsung menutup mulutnya saat melihat Chan Yeol berdiri tidak jauh dari tempatnya. Untungnya manajer supermarket itu masih betah mengikuti Chan Yeol, jadi tidak terlalu kentara kalau Seo Ah sangat mengenali suara Chan Yeol dan kebiasaan menjawabnya. Dari ujung matanya, Chan Yeol menyuruh Seo Ah cepat pergi dari tempat itu. Ia sudah gerah karena manajer itu terus-terusan mengikutinya.

Seo Ah membalas dengan gerakkan bibir seolah mengejek Chan Yeol. Mengabaikan perintah mata Chan Yeol, ia dengan tenang menyusuri koridor itu dan sesekali berhenti untuk mengambil barang. Siapa pula yang menyuruhnya mengikuti? Chan Yeol kan bisa menunggu di mobil atau ke mana saja asal tidak mengikuti Seo Ah. Seo Ah masih bisa mendengar suara manajer-yang-ternyata-jauh-lebih-bawel-dari-ibunya, itu berarti Chan Yeol juga mulai mengikutinya.

“Manajer Kim, saya benar-benar hanya ingin berbelanja, jadi kembalilah bekerja atau kau kumutasi.”

Manajer Kim akhirnya diam setelah mendengar ancaman Chan Yeol. Ia pun berpamitan sambil berpesan kalau Chan Yeol bisa memanggilnya kapan saja kalau ingin sesuatu. Terkadang, jabatan tinggi malah membuat Chan Yeol susah bergerak. Seperti sekarang contohnya. Yang ia inginkan hanya berbelanja seperti pasangan pada umumnya, memilih barang, sesekali mencoba sampel makanan, atau bahkan bertengkar karena selera mereka yang berbeda.

Dua detik Chan Yeol terdiam, lalu tersenyum sangat tipis. Ternyata otaknya bisa membayangkan hal semacam itu juga. Ditambah ia membayangkan melakukan semua itu bersama Seo Ah.

Puluhan menit berlalu, Chan Yeol masih mengekori Seo Ah dalam jarak yang diminta wanita itu. Sesekali Chan Yeol mengambil barang yang ia inginkan, lalu sambil berlalu ia meletakkannya di troli Seo Ah. Chan Yeol bisa menebak, setiap ia melakukan itu, Seo Ah pasti akan mengeluarkan ekspresi aneh seolah ingin mematahkan lehernya. Dan setiap itu juga, Chan Yeol berusaha untuk tidak tertawa geli. Sejak insiden Choi Seo Ah-ternyata-wanita-kesepian-yang-berkencan-dengan-aplikasi, Chan Yeol tidak bisa menahan geli di perutnya ketika mengingat wajah marah bercampur malu Seo Ah.

Sampai akhirnya mereka sampai di tempat olahan susu dan makanan cepat saji. Seo Ah berdiri di deretan yoghurt, menimbang sejenak sambil berbicara sendiri. Entah apa yang dikatakan wanita itu, Chan Yeol tidak bisa mendengarnya. Dan kemudian, ekspresi wanita itu berubah sambil melihat deretan yoghurt di rak paling atas.

Tanpa sadar, Chan Yeol terus memperhatikan perubahan ekspresi Seo Ah di depan rak yoghurt itu. Mulai dari dahi yang berkerut-kerut karena bingung memilih, mata dan mulut terbuka ketika melihat harga yang tertera di sana, ekspresi kelewat senang saat melihat yoghurt kesukaannya, lalu mengerucukan bibirnya sambil menggerutu karena tangannya tidak mencapai rak teratas. Ternyata Choi Seo Ah bisa terlihat manis juga.

Seo Ah menyesal karena hari ini ia menggunakan flat shoes bukan high heels tujuh sentinya. Setidaknya dengan begitu ia bisa meraih yoghurt yang diletakkan paling atas ini. Dasar supermarket-yang-tidak-memperhatikan-para-pelanggan-kurang-tinggi! Harusnya yoghurt seenak ini diletakkan di paling bawah. Lagipula ini merk terkenal, apa supermarket ini tidak tahu strategi pemasaran?!

Seo Ah masih berusaha meraih—setidaknya—satu botol yoghurt paling depan ketika sebuah tangan kekar mengambil dua botol sekaligus. Ia pun menyerahkan yoghurt itu kepada Seo Ah tanpa mengucapkan apa-apa. Seo Ah tersenyum senang, namun saat ingin mengucapkan terima kasih, bibirnya otomatis kaku.

Itu Park Chan Yeol. Sial!

Seo Ah menarik diri sekaligus trolinya menjauh dari Chan Yeol—yang masih berdiri di depan deretan yoghurt—dengan wajah panik luar biasa. Matanya membulat, seolah mengatakan ‘apa kau bodoh?!’. Chan Yeol hanya mengangkat bahu tidak peduli sebagai balasan, dan berjalan mendekati Seo Ah. Seo Ah pun berteriak tanpa suara, gerakkan tangannya menyuruh Chan Yeol jauh-jauh darinya.

“Lima meter! Lima meter!”

Chan Yeol membaca pergerakkan mulut Seo Ah. Lama kelamaan Chan Yeol merasa jengkel juga diperlakukan seperti kuman. Dengan wajah mengerikan, Chan Yeol malah sengaja mendekati Seo Ah. Wanita itu semakin panik. Tanpa berbalik badan, ia menarik trolinya sambil berjalan mundur. Orang-orang mulai memperhatikan mereka, terlebih Seo Ah yang seperti sedang dikejar hantu. Dan untungnya, sebelum petugas keamanan datang, Seo Ah pun berhenti ketika mendengar sesuatu.

“Daun bawang murah! Daun bawang murah! Seikat 860 Won! Ayo beli! Ayo beli!”

“Udang murah! Udang murah!”

“Bawang murah! Ayo beli! Sebelum kehabisan!”

Seo Ah melirik jam tangannya. Pukul setengah tiga sore—apakah itu artinya jam diskon dimulai? Seo Ah adalah pecinta barang diskon, entah apapun jenis barangnya. Pernah hidup sendiri saat kuliah membuatnya harus menekan biaya hidup (well, meski kenyataannya ia selalu diberi kelebihan uang oleh orangtuanya). Seo Ah pun melupakan ucapannya kepada Chan Yeol dan malah menyerahkan trolinya pada Chan Yeol yang sudah berada di dekatnya, setelah itu ia sendiri meluncur ke kerumunan orang di sana.

Chan Yeol menerima troli yang di dorong Seo Ah begitu saja dengan dahi berkerut, apalagi wanita itu langsung pergi entah kemana. Chan Yeol mengikuti pergerakkan Seo Ah, tapi dia dengan cepat menyelusup ke antara para ibu yang haus diskon. Begitu lincah, seperti belut mencari lubang. Chan Yeol menikmati pemandangan langka itu sambil menumpukan sikunya di gagang troli. Ternyata ada untungnya juga badan kecil Seo Ah.

Lima menit menunggu, akhirnya Chan Yeol bisa melihat sosok kecil Seo Ah keluar dari kerumunan sambil membawa beberapa kantong bawang dan udang. Wajah wanita itu terlihat sangat senang, persis orang yang baru memenangkan lotre.

Chan Yeol pun menegakkan tubuhnya. “Kenapa banyak sekali?”

“Karena aku suka udang.” Seo Ah benar-benar lupa bahwa fakta ia harus menjaga jarak dengan Chan Yeol, ia pun menjawab dengan senangnya sambil mengangkat kantong-kantong udang di tangan kanannya.

“Dan bawang itu?”

Kini Seo Ah mengangkat tangan kirinya. Ditatapnya kantong bawang putih juga daun bawang yang dibawanya selama beberapa detik sebelum menjawab, “Karena ini didiskon.”

Chan Yeol menghela nafas sambil menggeleng kecil lalu mendorong troli. Seo Ah buru-buru menaruh kantong-kantong itu ke dalam troli dan berjalan di sebelah Chan Yeol. Sepertinya teriakan semangat para pedagang itu benar-benar membuat frekuensi otak Seo Ah bergetar sedikit.

“Kau suka udang?” tanya Chan Yeol, mengawali pembicaraan.

Seo Ah menjawab sambil memeriksa daftar barang yang harus dibelinya lagi. “Suka. Tapi aku lebih suka kaki ayam, apalagi kalau dimakan dengan soju… ah, bagaimana kalau kita membeli soju?”

Seo Ah menoleh tepat saat Chan Yeol juga menoleh padanya. Tatapan mata Chan Yeol lurus tepat ke matanya. Sesuatu di perut Seo Ah bergejolak, merambat naik ke jantungnya dan membuatnya bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya sampai-sampai Seo Ah ingin muntah di tempat.Sialnya, matanya—bahkan tubuhnya—sama sekali tidak bisa bergerak, dan Chan Yeol pun masih bertahan dengan posisi itu. Tanpa Seo Ah ketahui, Chan Yeol merasakan hal yang sama dengannya. Dan ia nyaman dengan debaran itu.

“Chan Yeol-ssi… apa… a-apa kau suka makanan?”

Saking gugupnya, susunan kata Seo Ah pun tidak benar. Buru-buru Seo Ah mengalihkan pandangannya. “Maksudku, kau suka makan apa?”

“Apa saja.” Chan Yeol memang ahli dalam menyembunyikan ekspresi. Dengan mudahnya ia memasang wajah datar seperti biasa setelah debaran hebat yang ia lalui.

“Yang lebih spesifik? Seperti… makanan buatan ibumu contohnya.”

Tiba-tiba saja wajah Chan Yeol langsung kaku. Rahangnya tampak mengeras, dan tatapannya berubah menjadi sangat dingin. Bahkan tanpa menoleh pun, Seo Ah bisa merasakan aura dingin membunuh dari sebelahnya. Ada apa dengan Chan Yeol? Apa Seo Ah sudah salah bicara… tentang ibunya? Seingat Seo Ah, meski Chan Yeol tidak akrab dengan orangtuanya, mereka sangat baik kepada Chan Yeol. Lalu kenapa Chan Yeol membuat wajah seperti itu?

“Cepat bayar. Nanti ada yang melihatnya.”

Chan Yeol pergi begitu saja setelah menyerahkan troli di tangannya kepada Seo Ah. Wanita itu mendesis. Tidak cukup berwajah datar dan dingin, ternyata Chan Yeol juga menyimpan banyak rahasia. Bukan pekerjaan yang mudah untuk Seo Ah mengoreknya. Dan Seo Ah pun masih ingin hidup dengan tidak ikut campur di masalah Chan Yeol. Biarkanlah! Toh, mereka memang tidak berjodoh, cepat atau lambat nantinya akan berpisah.

Entah harus menggunakan bahasa apa Seo Ah mengumpat Park Chan Yeol, rasanya seluruh kosakata umpatan Bahasa Korea sudah ia lemparkan di dalam hati pun tidak cukup. Bagaimana mungkin Chan Yeol bisa berdiri tenang sambil meminum kopi di ujung sana, sementara Seo Ah harus mengantri di kasir untuk membayar. Menyebalkan! Menyebalkan! Sebenarnya dibuat dari apa manusia satu ini?!

Saat giliran Seo Ah, ia pun melirik Chan Yeol yang masih berdiri di sana.

“Cepat bayar!”

“Aku? Bukankah kau yang ingin berbelanja?”

“Tapi kau kan pria!”

Chan Yeol mengangkat bahu. “Tidak mau.”

Sekiranya itulah pembicaraan singkat mereka lewat tatapan mata, sebelum Chan Yeol memilih mengalihkan pandangan. Seo Ah mengepalkan tangannya, mengangkatnya sampai di depan wajah. Sayangnya Chan Yeol tidak mau repot-repot menoleh padanya, hingga yang terjadi petugas kasir dan orang-orang yang berada di dekat Seo Ah menatap wanita itu dengan aneh. Tidak berguna! Mau tidak mau Seo Ah pun membayar semua belanjaan, ditambah beberapa barang tidak penting Park Chan Yeol.

Chan Yeol mengambil alih troli yang dibawa Seo Ah setelah mereka sudah berada di luar supermarket, berjalan menuju parkiran. Seo Ah tidak sempat menolak karena Chan Yeol begitu cepat dan tanpa berbicara. Seo Ah mencibir di belakang punggung Chan Yeol. Untung saja dia bertingkah baik sekarang, kalau tidak, Seo Ah sudah berniat ingin menggunduli rambut Chan Yeol di mobil nanti.

Chan Yeol sedang memasukan kantong belanjaan mereka ke bagasi saat Seo Ah tiba-tiba memekik sambil menatap layar ponselnya. Wajahnya persis seperti ketika ia mendengar teriakan pedagang yang mengobral dagangannya tadi.

“Chan Yeol-ssi, ayo kita ke Sungjin Departement Store!” ucap Seo Ah kelewat bersemangat.

Chan Yeol mengabaikan Seo Ah dan tetap memasukkan kantong-kantong belanjaan ke bagasi.

“Chan Yeol-ssi….”

Akhirnya Chan Yeol menoleh. Tapi wajahnya sangat mengerikan, seperti ada arwah setan dari neraka terdalam yang masuk ke tubuhnya. “Sungjin? Kau sama sekali tidak tahu tempat apa itu?!”

“Itu hanya departement store biasa—“

“Sungjin adalah saingan Golden, kau tidak tahu?!”

“Lalu kenapa?!” Seo Ah membalas tidak mau kalah. “Apa aku tidak boleh pergi ke sana?”

“Belanja saja di Golden Departement Store!” kata Chan Yeol, seolah keputusannya adalah titik mati, sambil menutup bagasi dengan keras.

“Tidak mau! Tidak ada diskon!”

“Apa?!”

Seo Ah menunjukkan layar ponselnya pada Chan Yeol. “Lihat! Banyak merk yang sedang didiskon! Besar pula potongannya.”

“Kau jadi member Sungjin Departement Store?” mata Chan Yeol menyipit melihat isi pesan yang biasanya dikirim oleh operator untuk member salah satu departement store (Chan Yeol tahu karena ia memiliki departement store). Melihat Seo Ah lebih sering berbelanja di saingannya membuat kepalanya seolah ditumbuhi kutu lalu dibakar menggunakan kompor gas. Panas dan gatal!

Seo Ah menarik ponselnya dan cepat-cepat memasukkannya sebelum Chan Yeol membuang atau bahkan menggilas benda itu dengan mobilnya. “Kau mau mengantarku tidak? Aku juga bisa pergi sendiri kok kalau kau tidak mau.”

Chan Yeol membuka pintu mobilnya. “Masuk.”

“Chan Yeol-ssi….”

“Kubilang masuk.” Chan Yeol, yang masih berdiri sambil memegangi pintu mobil, menatap Seo Ah dengan galak. Akhirnya Seo Ah mendecih dan masuk juga ke dalam mobil, diikuti dirinya.

***

“Aku hanya ingin tahu sebagus apa sainganku.”

Choi  Seo Ah tidak bisa berhenti melirik Chan Yeol sambil senyum-senyum tidak jelas. Alasan konyol macam apa itu. Ya, pada akhirnya mereka pun mendatangi Sungjin Departement Store. Padahal  Seo Ah yakin setelah pertengkaran mereka di lapangan parkir itu, mereka akan langsung pulang ke rumah. Tapi begitu Chan Yeol membelokkan mobilnya ke jalan yang sudah ia hapal, Seo Ah tidak bisa berhenti tersenyum.

Meski Chan Yeol orang yang sulit ditebak, tapi Seo Ah tahu kalau alasan itu adalah bohong. Ia tidak benar-benar ingin menyelidiki Sungjin. Mungkin… hanya ingin menghabiskan waktu bersamanya?

Ah! Itu lebih konyol!

Chan Yeol mungkin hanya sedang bosan berada di rumah, apalagi terus-terusan bekerja.

“Kau bisa tinggal di mobil kalau bosan.” Karena Chan Yeol terus-terusan menunjukkan wajah jeleknya, Seo Ah tidak tahan untuk tidak mengatakan apa-apa.

“Sudahlah. Cepat selesaikan urusanmu.”

Mendecih, setelah itu Seo Ah kembali memilih baju dengan label diskon 70 persen. Katanya karena sebentar lagi Sungjin Departement Store berulang tahun, maka banyak barang yang didiskon besar-besaran. Sebagai pecinta diskon, Seo Ah tentu tidak ingin melewatkan kesempatan ini.

“Kau suka sekali barang diskon, ya?”

“Benar!” jawab Seo Ah, ia pun menarik satu baju dari rak. “Menurutmu bagaimana? Bagus tidak?”

“Tidak tahu.” Jawab Chan Yeol jujur. Seo Ah kembali menaruh baju itu di raknya dan mencari yang lain. “Kenapa?” tanya Chan Yeol lagi.

“Entahlah,” Seo Ah mengangkat bahunya. “Mungkin karena aku pernah hidup sendiri saat kuliah, jadi aku sudah biasa hidup berhemat.”

“Kau diberi uang sedikit?”

“Tidak, malah berlebihan untuk seseorang yang hidup di kota London sendirian.” Jawab Seo Ah. “Tapi aku hanya memakainya untuk keperluan sekolah, sedangkan untuk biaya hidup di sana aku bekerja sambilan.”

“Kenapa?”

“Uangnya kutabung.”

“Untuk?”

Seo Ah mendesis. “Kenapa kau ingin tahu sekali, sih?!” tapi meski begitu, Seo Ah tetap melanjutkan. “Aku ingin sekolah di Julliard, tapi Eomma dan Appa tidak mengizinkannya. Makanya aku mulai menabung sedikit demi sedikit.”

Sebelum Chan Yeol bertanya lagi, Seo Ah pun meneruskan. “Kau tahu tentang pribahasa “kalau ingin keluargamu hancur, ajari anak-anakmu tentang seni dan sastra”? Keluargaku percaya tentang hal itu. Bahkan kalau aku tidak mengatakan aku ingin menjadi guru Bahasa Inggris, mereka tidak akan pernah mengizinkanku belajar bahasa.”

Sebenarnya ada motif lain kenapa Seo Ah belajar Bahasa Inggris. Julliard merupakan sekolah seni bergengsi yang berada di New York, sudah pasti mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar dan sehari-hari. Waktu SMA ia hanya sebatas bisa, dan itu pasti tidak cukup. Lagipula menjadi guru adalah modal utama untuk mengumpulkan uang sampai akhirnya ia bisa pergi ke sana tanpa uang orangtuanya. Bagaimanapun tidak ada yang mengerti secinta apa Seo Ah pada musik, terutama gitar dan piano.

Chan Yeol terpaku beberapa saat setelah mendengar cerita Seo Ah. Ia kira Seo Ah seperti anak-anak perempuan chaebol pada umumnya, yang hanya bisa menghamburkan uang. Seo Ah ternyata seorang wanita pekerja keras dan sabar. Padahal ia bisa saja menggunakan uang kiriman orangtuanya untuk diam-diam mendaftar ke Julliard, atau bahkan menikah dengan pria mata biru di London. Tapi dengan tekun dan sabar, Seo Ah menaiki satu demi satu tangga menuju tujuan sebenarnya.

Dan ia pun sadar, bahwa keadaan Seo Ah tidak jauh dengan dirinya—sama-sama tidak bisa melakukan apapun yang mereka inginkan. Dari dulu, Chan Yeol sangat ingin menjadi peneliti luar angkasa. Tapi keluarganya mengatakan kalau itu cita-cita konyol yang hanya menyimpan harapan kosong. Chan Yeol pun dipaksa untuk menjadi pemimpin perusahaan dengan segala ilmu yang sama sekali tidak disukainya.

“Aku mencoba yang ini dulu, ya.”

Suara Seo Ah membuyarkan lamunan Chan Yeol. Wanita itu meluncur ke fitting room sambil membawa baju putih pilihannya. Selagi menunggu, Chan Yeol melihat-lihat sekitar. Karena Golden Departement Store masih baru, Chan Yeol mengakui kalau Sungjin lebih ramai dan besar daripada Golden. Tapi ia yakin, beberapa tahun lagi, posisi Sungjin sebagai departement store terbesar di Korea akan tergeser oleh Golden.

Mata Chan Yeol menangkap sebuah dress putih pendek dengan brokat bunga sebagai sebagai detail utamanya. Kesan sederhana sangat menonjol pada dress itu, tapi entah kenapa itulah yang membuat Chan Yeol mendekati dress yang dipasang pada manekin di salah satu sudut toko ini. Chan Yeol membayangkan sosok Seo Ah berada dalam balutan dress itu. Rambut coklat Seo Ah akan jatuh dengan cantiknya, berbaur dengan warna dress yang terlihat bersinar di bawah matahari. Langit biru serta hamparan alang-alang menjadi background yang cantik. Rasanya seperti melihat seorang dewi musim semi.

“Apa ada yang bisa dibantu, Tuan?” seorang pramuniaga menghampiri Chan Yeol. Sedari tadi ia ragu untuk mendekat karena wajah Chan Yeol yang seperti tidak suka diganggu, tapi karena Chan Yeol terus berdiam di depan manekin ini, ia pun memberanikan diri untuk menghampirinya.

“Aku ingin dress ini.”

“Maaf?” sepertinya pramuniaga itu sepertinya salah dengar. Tidak mungkin kan pria ini—yang memiliki tubuh tinggi, paras tampan, dan… terlihat seperti seorang chaebol—memiliki ketertarikan khusus pada dress?

“Chan Yeol-ssi!”

Chan Yeol menoleh ke arah sumber suara. Kepala Seo Ah muncul dari balik pintu fitting room, lengkap dengan sebuah topi lebar berwarna coklat. Ia tersenyum lebar serta sebelah tangannya melambai, menyuruh Chan Yeol mendekat.

“Tolong carikan ukuran untuk wanita itu.” setelah itu Chan Yeol mendekat ke arah Seo Ah.

Seo Ah keluar dari fitting room. “Bagaimana menurutmu?”

Seo Ah tampak manis dengan baju tanpa lengan itu. Tidak ada yang menyangka kalau umurnya sudah menginjak dua puluh lima tahun dengan baju seperti itu, apalagi dengan topi lebar yang membuatnya lebih manis. Tapi harus Chan Yeol akui, meski jantungnya berdebar melihat Seo Ah—bisa—semanis ini, ia akan lebih senang jika Seo Ah memakai dress yang dipilihkannya tadi. Jika Seo Ah berpakaian seperti ini, ia tidak ada bedanya dengan anak SMA. Dan entah kenapa dada Chan Yeol sakit membayangkan ada gadis semanis Seo Ah dikerumuni anak-anak laki-laki puber di SMA.

“Bagus.” Komentar Chan Yeol pendek.

“Hanya begitu?” Seo Ah terlihat tidak puas. “Kau tahu, wanita itu sangat suka dipuji!”

“Tapi itu memang bagus.”

“Cih! Apa karena aku berbelanja di sainganmu jadinya kau bersikap seperti ini?” tanya Seo Ah sakarstik. “Kekanakkan!”

Sebelum Chan Yeol membalas umpatan Seo Ah itu, pramuniaga yang tadi membantunya kembali menghampirinya sambil membawa dress putih itu. Dengan gerakkan kepala, Chan Yeol menyuruh pramuniaga itu menyerahkannya pada Seo Ah.

“Apa ini?”

“Cepat pakai.”

Karena lelah mendecih dan mengumpat, Seo Ah pun menurut saja dan kembali membuka pintu fitting room di belakangnya. Namun baru lima detik ia menutup pintu, pintu itu terbuka lebar secara tiba-tiba, membuat Chan Yeol dan pramuniaga itu kaget di tempat.

“C-Chan Yeol-ssi!” Seo Ah memekik, sambil masih memegang dress yang dipilihkan Chan Yeol tadi. Melirik pramuniaga yang masih berdiri di sana, Seo Ah perlahan mendekati Chan Yeol. “Kau tidak lihat harganya?” ia pun menunjukkan lebel harga yang masih menggantung di baju itu. “Ini tidak didiskon pula.”

Chan Yeol memutar bola matanya. Ia pun mengambil dress itu dari tangan Seo Ah, meremasnya, menggulungnya, lalu menjatuhkannya ke lantai, sebelum mengambilnya kembali. Sungguh tindakkan di luar akal. Bahkan Seo Ah dan pramuniaga itu sampai tidak berkata apa-apa, hanya membuka mulut mereka lebar-lebar.

“Lihat? Sekarang kita harus membelinya.” Ia mengangkat dress kusut itu di depan wajah Seo Ah. “Tolong hitung yang ini, juga baju itu.” Chan Yeol menyerahkan dress itu ke pramuniaga lalu menunjuk baju yang masih dipakai Seo Ah.

Dan sebelum beranjak ke meja kasir, Chan Yeol mengatakan sesuatu yang membuat mulut Seo Ah terbuka makin lebar, hampir jatuh menyentuh tanah.

“Dan baju di rak sebelah sana. Tolong carikan untuk ukuran wanita ini dan bawa ke meja kasir.”

***

“Kenapa kau marah padaku?”

Seo Ah tidak menjawab, hanya terus berjalan dengan langkah lebar-lebar.

“Ini bajumu.”

“Pakai saja semuanya!”

“Tapi ini baju wanita.”

Seo Ah berbalik. “Kalau begitu jadilah wanita dan pakai semua itu!”

Seo Ah benar-benar sebal! Marah! Chan Yeol sudah merusak waktu berbelanjannya. Memangnya dia siapa sampai membelikan Seo Ah baju sebanyak itu?! Belum lagi baju-baju itu hanya mendapat potongan sepuluh persen. Seenaknya saja seperti Tuan Banyak Uang di drama-drama (meski kenyataannya, Chan Yeol memang memiliki banyak uang tapi tetap saja Seo Ah tidak suka). Dia pikir Seo Ah akan memujinya keren setelah melakukan itu? Dia pikir Seo Ah akan memanggilnya ‘Oppa’—seperti ia menyebut Lee Min Ho—karena sudah bertingkah seperti Goo Jun Pyo hari ini?! Tidak! Tidak akan!

Chan Yeol hanya bisa menghela nafas, tidak habis pikir dengan wanita ini. Harusnya ia merasa senang karena suami kebanggaannya ini membelikan baju-baju cantik. Oke, mungkin kata suami terlalu berlebihan, tapi bisakah ia menganggapnya sebagai hadiah dari seorang teman? Teman yang hidup serumah. Kenapa harus marah seperti itu? Ia bahkan pernah memberikan cincin berlian pada seorang wanita, dan dia malah menangis terharu karenanya. Apa Seo Ah adalah spesies baru wanita?

Seo Ah berbelok ke arah toko sepatu, Chan Yeol pun mengikutinya. Chan Yeol dan Seo Ah terlihat seperti pasangan sungguhan—meski wajah Seo Ah masih saja cemberut. Bagaimana tidak, Chan Yeol terus mengekori Seo Ah sambil membawa kantong belanjaan dari toko baju sebelumnya. Beberapa pramuniaga di toko sepatu itu terlihat iri dengan Seo Ah. Meski Seo Ah tidak ‘cantik seperti dewi’, tapi jika berdiri di sebelah Chan Yeol, para pramuniaga itu harus menekan rasa irinya karena mereka benar-benar terlihat cocok. Apalagi ketika Seo Ah menggerutu sambil memainkan bibirnya kepada Chan Yeol, itu terlihat sangat manis.

“Apakah aku bisa mendapatkan nomor 38?” tanya Seo Ah kepada seorang pramuniaga—yang masih terkagum-kagum dengan sosok tinggi Chan Yeol di belakang Seo Ah—sambil memegang wedges berwarna hitam.

“Ah, ya? Oh, iya, baiklah.” Mengerjap, pramuniaga itu pun mengambil wedges itu lalu masuk gudang untuk mencari nomor yang diinginkan Seo Ah.

“Apa ini sepatu couple?”

Seo Ah menoleh begitu mendengar suara Chan Yeol. Ternyata pria itu tidak sedang berbicara dengannya, tetapi dengan seorang pramuniaga lain yang berdiri di dekatnya. Apa lagi yang pria ini ingin lakukan? Membeli sepatu couple untuk mereka? Konyol!

“Iya, Tuan. Ini baru saja datang pagi ini.”

Chan Yeol mengangguk-angguk kecil sambil melihat dua sepatu yang diletakkan berdekatan itu. Modelnya sekilas terlihat sama, hanya berbeda warna saja. Tapi karena ini sepatu couple, tentu ada perbedaan tertentu untuk sepatu pria dan wanitanya.

Chan Yeol melirik Seo Ah dengan ujung matanya. Wanita itu terlihat tidak peduli dan—tentu saja—masih marah padanya. Seo Ah berjalan ke sisi lain toko sambil melihat-lihat. Kesempatan ini pun digunakan Chan Yeol untuk membeli sepatu couple itu.

“Berikan aku nomor 43 dan 38.”

“Baik, Tuan.”

“Tolong hitung sekalian dengan sepatu milik wanita itu.”

“Saya mengerti.”

Chan Yeol melihat Seo Ah sedang mencoba sepatu yang ia pilih. Sambil terus mengawasi Seo Ah, Chan Yeol berjalan menuju meja kasir. Ia tidak mau mendengar amarah Seo Ah lagi. Meski itu tidak ada apa-apanya dibanding ucapan sakarstik para pesaing bisnisnya, Chan Yeol selalu merasakan bulu kuduknya berdiri setiap Seo Ah berteriak padanya karena marah. Apalagi sampai menggunakan banmal, rasanya ada satu sisi hatinya yang hancur.

Seo Ah pun mendelik saat menemukan Chan Yeol juga ada di depan meja kasir, tapi memilih tidak peduli. Ia mengeluarkan dompetnya dari tas selempang yang ia bawa, bersiap untuk membayar. Tapi kasir itu tidak juga menyebutkan nominal yang harus dibayarnya, malah langsung menggeser satu kantong belanja besar ke hadapan Chan Yeol.

“Aku yang membayarnya.” Ucap Chan Yeol tanpa menatap Seo Ah sambil menyerahkan black card-nya.

“Park Chan Yeol!”

Tapi Chan Yeol tetap bergeming.

Seo Ah menarik kantong belanja itu dari hadapan Chan Yeol. “Tolong untuk sepatu ini dipisah—kau membeli sepatu couple?!”

“Lalu?” Chan Yeol membalas dengan wajah datar.

“Untuk siapa?”

“Kau dan aku.”

“Aku tidak mau!” pekik Seo Ah. Ia seolah lupa masih berada di tempat umum. “Aku tidak mau memakai barang seperti itu denganmu!”

“Lalu kau akan memakainya dengan siapa? Song Joong Ki Oppa-mu?”

Wajah Seo Ah merah padam sekarang. Sial! Ia kira Chan Yeol sudah lupa kejadian memalukan itu. Ternyata benar apa yang dikatakan orang-orang; ‘aibmu lebih membekas dari kebaikanmu’. Di hati Seo Ah sudah bergerumul amarah, malu, juga emosi yang bentuknya tidak jelas. Ia sangat sangat sangat ingin berteriak di depan wajah Chan Yeol, lalu menjambak rambut pria itu sampai botak! Keterlaluan! Dasar tidak peka!

Karena tidak mau membuat adegan di sini, Seo Ah pun memilih keluar dari toko itu secepatnya. Chan Yeol menghela nafas lagi. Kenapa ia terus saja melakukan kesalahan hari ini?

***

“Baiklah, aku minta maaf.”

Meski begitu, Seo Ah tetap diam di kursinya, membuang pandangan ke luar jendela. Untungnya Chan Yeol bertindak cepat, ia bisa menahan Seo Ah sebelum wanita itu pergi dengan menaiki taksi. Ia membujuk Seo Ah masuk ke mobilnya (walau sebenarnya yang terjadi Chan Yeol mengancam Seo Ah, karena pria itu sama sekali tidak memiliki mulut yang manis). Untuk meredakan sedikit amarah Seo Ah, Chan Yeol pun tidak langsung mengarahkan mobilnya ke rumah, namun ke kafe yang menjual Frozen Yoghurt lezat seperti janjinya di awal.

Dan ketika sampai di sini dan Chan Yeol memesan dua porsi Frozen Yoghurt spesial, Seo Ah tetap bertahan dalam mode marahnya—diam dengan wajah cemberut.

“Aku tidak akan membelikanmu barang-barang lagi.”

Seo Ah mulai melirik Chan Yeol dari ujung matanya. “Kau ini hobi sekali pamer uang, ya?”

“Aku hanya ingin.”

“Alasan!”

Chan Yeol menghela nafas. Tidak ada gunanya melawan wanita yang sedang marah, karena itu hanya akan membuatnya terus merasa bersalah. Tidak, lebih tepatnya disalahkan. Percikan api dari mata Seo Ah pun padam sejenak ketika seorang pelayan mengantarkan Frozen Yoghurt spesial pesanan Chan Yeol. Seo Ah melirik mangkuk besar itu, antara ingin memakannya tapi tetap mempertahankan gengsi. Menerima traktiran Chan Yeol kali ini sama saja memaafkan pria itu, pikir Seo Ah.

“Kau tidak mau makan?”

“Tidak!”

“Baiklah….”

Chan Yeol mulai memakan porsinya. Sesekali matanya mengarah ke arah Seo Ah, hanya memastikan apa wanita itu tetap mempertahankan gengsinya atau mulai goyah. Ia tahu, Seo Ah tidak sekuat itu. Godaan makanan dan barang diskon mampu menggoyahkan pertahan dirinya.

Benar saja. Mata Seo Ah pun mulai tidak fokus ke luar jendela. Bergantian ia menatap Frozen Yoghurt miliknya lalu ke Chan Yeol yang tampak sangat menikmati makanan manis-asam itu. Seenak itukah? Mulut Seo Ah sudah berair ingin cepat-cepat mencoba, tapi gengsinya masih terlalu tinggi untuk menyerah. Ia ingat pesan temannya kalau tidak boleh dengan mudah terpengaruh oleh rayuan murahan macam ini. Tapi kalau terus begini… Frozen Yoghurt-nya akan kehilangan sensasinya.

Ah! Persetan dengan gengsi!

Seo Ah pun akhirnya menyendokkan Frozen Yoghurt, bersamaan dengan potongan pisang di sana, ke dalam mulutnya.

Gila! Ini benar-benar lezat! Jauh dari buatan Eomma!

“Bagaimana?”

“Kau benar, Yoghurt ini sangat enak!” sambil terus memakan Frozen Yoghurt-nya, Seo Ah menjawab. Akhirnya Chan Yeol tahu kelemahan Seo Ah.

Sebenarnya Seo Ah tidak sepenuhnya lupa kalau ia tengah marah kepada Chan Yeol. Tapi berhubung makanan ini sangat enak, dan Chan Yeol mentraktirnya, ia mengesampingkan sedikit masalah itu. Lagipula kalau dipikir-pikir, ini sama sekali tidak merugikannya. Maksudnya ia mendapat baju baru yang cantik juga tambahan sepatu. Hanya sifat Chan Yeol saja yang tidak disukainya.

Chan Yeol tersenyum tanpa disadari Seo Ah. Ia tidak lagi memakan Frozen Yoghurt-nya seperti saat menggoda Seo Ah tadi. Melihat cara wanita itu makan seolah membuat seluruh isi mangkuknya pindah ke perut langsung. Seo Ah sangat menikmati Frozen Yoghurt itu, membuat Chan Yeol merasakan kebanggaan sendiri karena ia yang menunjukkan tempat ini—juga mentraktirnya.

Sudah berapa banyak yang Chan Yeol pelajari tentang Seo Ah hari ini?

Seo Ah si penggemar Frozen Yoghurt buatan ibunya; Seo Ah si penyuka udang tapi lebih suka kaki ayam; Seo Ah si penggila barang diskon tapi tidak suka orang lain ikut campur saat sedang berbelanja; Seo Ah yang bercita-cita ingin sekolah di Julliard; Seo Ah yang menabung untuk terbang ke New York; dan marah seorang Choi Seo Ah yang sangat mengerikan.

Ternyata rumah bukan satu-satunya tempat Chan Yeol untuk lebih mengenal Seo Ah.

Ah, dan satu lagi. Cara makan Choi Seo Ah—yang baru Chan Yeol sadari—sangat imut, sampai tidak sadar kalau ada sisa yoghurt di sisi bibirnya.

Chan Yeol masih saja tersenyum, ia pun mengulurkan tangannya untuk menghapus sisa yoghurt itu. Ternyata gerakan spontan Chan Yeol membuat Seo Ah kaku di tempat. Matanya membulat, dan ia tidak bisa bergerak sama sekali. Bahkan potongan stroberi yang sudah sampai di ujung kerongkongannya tidak bisa ditelan. Kenapa kejadian romantis macam di drama terjadi di kehidupannya sekarang?

Dan akhirnya Chan Yeol sadar kalau ia sudah melakukan kesalahan besar. Ia menjauhkan tangannya dari sudut bibir Seo Ah, tapi tidak menarik kembali tangannya dari sana. Ditatapnya Seo Ah yang masih membulatkan mata seolah ingin mengeluarkan bola mata dari tengkoraknya. Chan Yeol bisa melihat pantulan dirinya dengan sempurna di bola mata Seo Ah yang bening. Semburat kemerahan perlahan muncul di pipi Seo Ah, membuat dada Chan Yeol berdegup sangat cepat. Perutnya bergejolak sampai-sampai ujung kakinya bergetar. Tanpa sadar, Chan Yeol mendekatkan ujung jari telunjuknya di pipi Seo Ah dengan gerakkan amat pelan—nyaris hanya sebuah sapuan udara.

Chan Yeol mengenal perasaan ini. Sudah lama sejak terakhir kali ia merasakan debaran yang membuat seluruh tubuhnya sakit sampai tidak bisa tidur.

Seo Ah yang sadar terlebih dulu, ia memalingkan wajahnya hingga ujung jari Chan Yeol tidak lagi mengenai pipinya. Tapi Chan Yeol malah merasa bersyukur karena detik-detik mendebarkan itu sudah lewat. Ia tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya kalau Seo Ah tidak menjauhkan wajahnya dan membuat Chan Yeol sadar.

“A-Aku sudah selesai.” Seo Ah pun menggeser kursinya ke belakang lalu berdiri. Ia meraih tasnya, beranjak dari sana dengan meninggalkan Chan Yeol yang masih terkejut dengan kejadian tadi.

Dia pasti sudah gila! Benar-benar gila!

Chan Yeol pun ikut beranjak dari sana, meski ia baru menyentuh Frozen Yoghurt-nya seujung kuku. Setelah membayar, Chan Yeol berjalan ke parkiran. Seo Ah sudah ada di sana, berdiri di samping mobil sambil memainkan kerikil dengan ujung sepatunya. Kepalanya tertunduk. Dan meski rambut ikalnya jatuh menutupi sebagian pipinya, Chan Yeol masih bisa melihat rona merah itu di sana.

Chan Yeol berdebar lagi.

Seo Ah terkejut saat Chan Yeol mematikan alarm mobilnya. Pria itu pun berkata, “Masuklah.”

“Chan Yeol-ssi,” panggil Seo Ah, Chan Yeol pun tidak jadi membuka pintu mobilnya. “Terima kasih.”

“Harusnya aku mengucapkan itu dari tadi,” lanjut Seo Ah. “Kau sudah menemaniku berbelanja bahkan membelikanku pakaian. Jadi… terima kasih.”

“Hm, sama-sama.”

“Dan, Chan Yeol-ssi.” Lagi-lagi suara Seo Ah menghentikan gerakkan Chan Yeol. “A-Anu… maukah… maukah kau makan kaki ayam bersamaku? Sebagai balasan Frozen Yoghurt hari ini.”

“Aku tidak suka kaki ayam.”

“Tteokppoki? Dengan soju?”

“Lain kali saja, sekarang sudah malam.”

Seo Ah melihat jam tangannya. Mereka keluar rumah pukul satu siang tadi, berarti sudah hampir enam jam mereka berada di luar. Atau bisa juga dibilang… berkencan. Benar, ini waktunya makan malam. Belum lagi bahan-bahan makanan di bagasi harus segera dikeluarkan untuk dipindahkan ke kulkas. Sepertinya memang tidak ada waktu untuk membalas Chan Yeol hari ini.

“Baiklah.” Dengan pelan, Seo Ah menjawab. Ia kemudian membuka pintu mobil dan masuk.

Chan Yeol terpekur beberapa saat melihat ekspresi Seo Ah tadi, setelah itu ikut masuk ke dalam mobil. Seo Ah sudah memasang sabuk pengaman dan hanya duduk diam sambil melihat ke luar jendela. Chan Yeol tidak suka suasana ini.

“Daripada mentraktirku Tteokppoki,” Chan Yeol memasang sabuk pengaman lalu menyalakan mesin mobil. “Aku lebih senang kalau kau memasak untukku.”

“Apa?” Seo Ah memutar kepalanya dengan cepat.

Chan Yeol pun menoleh. “Maukah kau memasakanku makanan?”

●●

*Buat yang lebih suka pake nama junhee, maafkan aku tidak bisaaa karena aku menggunakan karakter “Juniel” dimana sekarang nama aslinya “Seo Ah”

Ya sudahlah… oh iya untuk saat ini aku belum kepikiran mau pasangin juniel sama siapa selain chanyeol -_- jujur yak dia banyak banget temen cowoknya sampe ingin berkata kasar saya. Sampai saya dan kak meow (haha) main detektif-detektifan tentang lagu Pisces itu yang katanya (katanya ya katanya) lagu tentang mantannya yang berzodiak pisces. Heum…

*BTW NEW POSTER!!

Regards: Ziajung (vanillajune.wordpress.com) (and ask me anything on askfm : fauziauzya)

Filed under: comedy, Marriage Life, romance Tagged: chanyeol, juniel

Show more