2016-07-09



Ziajung’s Storyline©

Casts: Park Chan Yeol | Choi Seo Ah

Genre: Romance, Comedy, Marriage Life

Prev : 10 Steps Closer [Prolog] || 10 Steps Closer [1st Step] + Announcement

———————————————–

2nd Step

Satu hari yang tidak terduga menghampiri Chan Yeol. Lagi.

***

Malam musim semi yang sejuk dengan rintikan hujan mengisi malam Seo Ah yang terasa… biasa saja. Bahkan terlalu biasa karena lagi-lagi ia harus menikmati makan malam sendirian. Sudah seminggu ini Chan Yeol pulang larut malam, bahkan beberapa kali tidak pulang. Sejak kembali dari perjalanan bisnisnya ke Dallas, pria itu semakin sibuk. Seo Ah kira, dulu Chan Yeol adalah manusia tersibuk abad ini, tapi ternyata ia bisa lebih sibuk lagi. Entah apa yang dikerjakan pria itu, Seo Ah sama sekali tidak mengerti dan tidak mau mengerti.

Setelah makan malam, Seo Ah langsung menuju perpustakaan untuk menyusun materi pelajaran besok. Ia membuka pintu perpustakaan dengan satu tangan, karena tangan satunya memegang laptop dan beberapa buku. Ia tidak tahu harus melakukan apa selain bekerja. Rumah ini terlalu besar dan memiliki banyak fasilitas, tapi Seo Ah sama sekali tidak tertarik.

Ada alasan kenapa Seo Ah lebih senang bekerja di perpustakaan daripada kamarnya, yaitu; sinyal wifi di perpustakaan lebih kencang dari tempat manapun di rumah ini. Itulah yang membuat Seo Ah betah lama-lama di sini. Selain cepat mengirim pekerjaannya, ia juga bisa sekalian streaming drama kalau sedang bosan. Tapi sayangnya Seo Ah hanya bisa menguasai tempat ini kalau Chan Yeol sedang tidak ada di rumah. Bukannya apa-apa, berada satu ruangan bersama Park Chan Yeol bisa membuatnya menjadi pengidap astma dadakan.

Seo Ah meletakkan barang-barangnya di meja kerja Chan Yeol, sebelum akhirnya duduk di kursinya. Ini juga menjadi alasan kenapa hanya saat Chan Yeol tidak ada di rumah ia bisa menggunakan perpustakaan sesukanya. Kapan lagi bisa duduk di kursi bos seperti ini?

“Baiklah… kita lihat apa yang harus dikerjakan terlebih dulu….”

Ia menyalakan laptop, membuka buku, lalu mengeluarkan pulpen dari tempat pensilnya. Selagi menunggu laptopnya booting, Seo Ah membolak-balik halaman buku yang dibukanya untuk mencari materi yang akan ia ajarkan besok sambil memainkan pulpen mekanik. Seo Ah lebih suka mengajar menggunakan power point, jadi setiap malam ia pasti menyiapkan persentasi baru untuk muridnya. Dan, well, metode belajarnya membawa dampak baik bagi murid-muridnya.

Seo Ah mengalihkan pandangannya saat layar laptopnya menampilkan desktop, dan itu membuatnya menekan pulpen mekaniknya terlalu keras sampai terpental. Ia mendengus dan terpaksa membungkukkan punggungnya untuk mengambil pulpen yang terjatuh di kolong meja itu. Seolah belum cukup menyiksa, saat Seo Ah ingin menegakkan tubuhnya, kepalanya terbentur meja lalu pulpennya kembali jatuh. Seo Ah mengaduh sambil setengah mengutuk pulpen dan meja dan apapun yang menyulitkannya, sampai akhirnya ia terpaku sendiri saat melihat selembar kertas yang tergeletak tak jauh dari pulpennya.

Ternyata bukan sekadar kertas, melainkan selembar foto tua. Mengabaikan punggungnya yang mulai sakit, Seo Ah tetap bertahan dengan posisinya. Ia memperhatikan foto itu dengan dahi berkerut. Foto itu berisi seorang wanita bersama anak laki-laki yang berumur sekitar sepuluh tahunan. Seo Ah tidak tahu siapa wanita itu, tapi ia cukup yakin kalau Chan Yeol-lah anak laki-lakinya. Ibu Chan Yeol? Tidak, Seo Ah hapal betul wajah mertuanya. Dan meski jarak umur Chan Yeol dan noona-nya cukup jauh, tapi wanita itu juga bukan kakak Chan Yeol. Apa cinta pertama Chan Yeol? Wah, kalau begitu Chan Yeol memiliki selera yang buruk dalam percintaan.

“Sedang apa kau?”

Duk!

“Aw!”

Suara berat Chan Yeol yang tiba-tiba masuk ke indra pendengaran Seo Ah, membuat wanita itu lagi-lagi terantuk meja di atasnya. Sambil mengusap kepalanya, Seo Ah pun menegakkan tubuhnya. Ia mendapati Chan Yeol berdiri di depan meja masih dengan pakaian kerjanya.

“Bekerja.” Jawab Seo Ah setengah jengkel, ia meletakkan pulpen sialan itu di atas meja.

“Di bawah meja?”

Seo Ah mendelik ke arah Chan Yeol. Berbeda dengan ucapannya, wajah Chan Yeol sama sekali tidak sedang mengejek—dan itu membuat Seo Ah makin sebal! Bisa-bisanya pria itu menyembunyikan ekspresi sehebat itu.

“Tadi ada masalah sedikit—ah, sudahlah.” Seo Ah mengibaskan tangannya. “Omong-omong, tumben kau pulang cepat.”

“Aku hanya pulang untuk mengambil beberapa dokumen.” Setelah itu Chan Yeol memutari meja, dan membuka laci meja yang ditempati Seo Ah, membuat wanita itu harus menggeser kursinya sedikit.

Seo Ah sedikit meringis mendengarnya. Melihat sebegitu sibuknya Chan Yeol, ia jadi mengkhawatirkan kesehatan pria itu. Di hari-hari biasa saja Chan Yeol sudah sering melewatkan sarapan (dan Seo Ah yakin, makan siang juga), apalagi sekarang. Kalau begini ibu mertuanya bisa mencapnya sebagai menantu tidak becus. Well… memang kenyataannya Seo Ah tidak ‘mengurusi’ Chan Yeol dengan baik.

“Kau sudah makan?”

Gerakkan Chan Yeol terhenti beberapa detik. Dan sebelum Seo Ah menyadarinya, pria itu sudah bersikap seperti biasa. “Belum.”

“Makanlah dulu. Aku akan meminta Yoon Ahjumma menyiapkannya.”

“Tidak perlu.” Ucapan Chan Yeol membuat Seo Ah kembali duduk di kursinya. “Aku akan makan nanti di kantor.”

Final. Seo Ah tidak bisa membantah lagi.

Karena Chan Yeol tidak kunjung selesai mencari dokumen yang ia butuhkan (itu membuat Seo Ah tidak bisa segera menyelesaikan pekerjaannya), Seo Ah pun memberanikan diri untuk bertanya tentang foto yang masih dipegangnya kepada Chan Yeol.

“Chan Yeol-ssi, ini fotomu, kan? Lalu siapa wanita ini?”

Chan Yeol menoleh, dan seketika itu pula bola matanya membesar ketika melihat foto apa yang Seo Ah maksud.

“Ini bukan eommeoni, kan?”

Chan Yeol menyambar lembar foto itu dari tangan Seo Ah dan langsung meremasnya. Rasa penasaran Seo Ah makin besar, dan ia tidak percaya dengan reaksi Chan Yeol itu. Seo Ah bisa melihat begitu banyak amarah yang terkumpul di manik mata Chan Yeol. Rahang pria itu mengatup rapat. Meski biasanya Chan Yeol memang pelit bicara dan datar, tapi Seo Ah tidak pernah merasa setakut ini. Chan Yeol yang sekarang seolah ingin mengeluarkan monster mengerikan yang bisa mengoyaknya sampai tulang.

“Tidak bisakah kau tidak mengacau?!” lambat-lambat, Chan Yeol mengatakan itu. Seo Ah menelan air liurnya sendiri mendengar kalimat dingin Chan Yeol.

“A-Aku… aku hanya tidak sengaja menemukannya….”

“’Tidak saling mencampuri urusan pribadi masing-masing’, kau tidak ingat?”

“Aku tahu…,” Seo Ah menggigit bibirnya, menahan air mata. “Maaf.”

Tidak bisa. Chan Yeol tidak bisa menyalahkan Seo Ah begitu saja karena tidak sengaja membuka luka lamanya. Luka yang belum kering sampai sekarang. Perlahan, Chan Yeol mengembuskan nafasnya. Amarahnya mulai menurun, namun tangannya masih meremas kuat lembar foto itu.

“A-Aku akan bekerja di kamar saja,” Seo Ah bangun dari kursi dan merapikan barang-barangnya. “Selamat malam.” Ia memberi salam, lalu keluar dari perpustakaan.

Setelah Seo Ah keluar, barulah Chan Yeol bisa membuka tangannya dan melihat lembar foto yang sudah lecek. ’12 Desember 1998’—begitulah yang tertulis di pojok kanan foto itu. Foto yang diambil di musim dingin, di mana salju baru turun memenuhi ranting-ranting kurus pohon. Dua orang tampak bahagia di sana, meski hanya seulas senyum yang terlihat. Chan Yeol ingat itu adalah hari terakhir ia bertemu dengan wanita itu.

***

Paginya, Seo Ah sedikit bersyukur karena tidak menemukan Chan Yeol di meja makan. Jujur saja, Seo Ah masih merasa tidak enak dengan kejadian semalam. Ia merasa sudah melewati batas yang ia buat sendiri. Ekspresi Chan Yeol benar-benar mengerikan semalam, seolah menggambarkan kalau foto itu menyimpan luka dan rahasia yang hanya boleh diketahuinya.

Tapi meskipun begitu, Seo Ah sedikit khawatir.

Pria gila kerja itu selalu melewatkan jam makan akhir-akhir ini. Lama kelamaan Chan Yeol melepaskan predikat ‘pria robot’ dan berubah menjadi ‘kerangka berjalan’ kalau terus seperti itu. Oke, Seo Ah hanya tidak ingin dianggap tidak bertanggung jawab karena menelantarkan Chan Yeol, bukan karena sudah tumbuh hal-hal aneh di antara mereka.

“Ahjumma, mana Chan Yeol?” tanya Seo Ah basa-basi ketika Yoon Ahjumma meletakkan nasi di hadapannya.

“Tuan Chan Yeol bilang ia sedang tidak enak badan, jadi ia ingin istirahat lebih lama.”

Akhirnya terjadi juga! Seo Ah memekik dalam hati. Bagaimana kalau tiba-tiba Chan Yeol mati karena kelelahan? Apa ia akan disalahkan? Dipenjara? Tidak, tidak.

“A-Ahjumma, a-aku ke atas dulu sebentar.”

Tanpa menunggu jawaban Yoon Ahjumma, Seo Ah melesat ke lantai dua, ke kamar Chan Yeol. Melihat itu, Yoon Ahjumma hanya bisa terkekeh sendiri sambil menggelengkan kepala. Dua majikannya memang tidak terlihat seperti pasangan suami istri pada umumnya, namun juga tidak terlihat saling membenci. Entahlah, sangat sulit dijelaskan. Tapi ia cukup yakin, dua kepribadian itu akan saling melengkapi suatu hari nanti.

Begitu sampai di depan pintu kamar, Seo Ah menahan nafasnya. Tiba-tiba saja aura di sekitarnya mendingin. Ah, tidak! Chan Yeol tidak sedang sekarat, jadi kau tidak perlu seperti ini! Seo Ah menepuk-nepuk pipinya sendiri, lalu menghela nafas dan membuka pintu kamar itu.

“Chan Yeol-ssi…”

Ketika membuka pintu dan melihat Chan Yeol duduk bersandar di kasur, Seo Ah langsung menghela nafas lega. Bayangan Chan Yeol tengah menggigil di bawah selimut tebal—padahal udara musim semi tengah hangat-hangatnya—langsung hancur berkeping-keping, digantikan dengan kalimat ‘sebenarnya apa sih pria ini?!’ yang terus berputar di kepalanya. Lihat saja! Bagaimana mungkin Yoon Ahjumma bisa mengatakan ‘tidak enak badan’ kalau jelas-jelas Chan Yeol sedang bermesraan dengan tugas kantor di depan laptopnya itu.

“Kukira kau sedang istirahat…” ada nada bingung di kalimat Seo Ah. Wanita itu pun mengerutkan dahinya. Satu-satunya indikasi Chan Yeol tengah sakit hanya sweater rajut yang menggantung di kedua pundaknya, dan mesin uap menyala di nakas sebelah tempat tidur.

“Aku harus segera menyelesaikannya.” Jawab Chan Yeol tanpa menatap Seo Ah.

“Harusnya kalau sakit kau istirahat saja!”

Ucapan Seo Ah itu akhirnya membuat Chan Yeol menoleh. “Ini pekerjaanku. Kau tidak perlu ikut campur, Choi Seo Ah.”

“Aku tahu, tapi tetap saja!” balas Seo Ah. “Kau itu manusia, bukan robot, sudah tentu punya batas! Kalau kau terus begini, tubuhmu akan rusak, hancur, lalu sakit kompilasi berkepanjangan dan tidak bekerja. Lalu siapa yang repot? Bukan hanya kau, tapi aku juga. Nanti aku harus membiayai rumah sakit, biaya perawatanmu, obat-obatan, dan—“

“Kau berpikiran sampai sejauh itu?”

Bola mata Seo Ah menatap langit-langit kamar. Ya… pikirannya kadang suka berkelana liar. “Aku… hanya… memprediksinya…”

Chan Yeol menghela nafas. Ia pun menyingkirkan laptop dari pangkuannya. Kini tangannya bersedekap di dada, menatap Seo Ah dengan tatapan lurus dan menusuk, seolah sedang berusaha menjinakkan pikiran dan mulut liar Choi Seo Ah.

“Biar kuluruskan di sini,” kata Chan Yeol. “Ini pekerjaanku, dan bukan urusanmu. Begitu juga denganmu, aku tidak akan mencampuri urusanmu.”

“Tapi…” melihat tatapan Chan Yeol masih sama, Seo Ah mengecilkan volume suaranya. “Maksudku, istirahat saja, tidak perlu bekerja. Toh, pekerjaanmu tidak akan kemana-mana.”

“Lalu dengan begitu semua akan selesai?”

“Kau kan Presiden Direktur! Memangnya tidak punya anak buah?”

Rasanya pertanyaan Seo Ah tidak perlu mendapat jawaban dengan kata-kata, karena mata Chan Yeol yang terus menusuk sudah mampu membuat Seo Ah ingin cepat-cepat keluar dari sana. Awalnya Seo Ah hanya ingin melihat keadaan Chan Yeol, tapi begitu tahu Chan Yeol masih tetap bekerja dalam keadaan seperti itu, nalurinya muncul.

“Kau tidak bekerja?” tanya Chan Yeol, melihat Seo Ah tidak juga beranjak dari tempatnya.

“Iya, iya, aku pergi.”

Begitu menutup pintu kamar Chan Yeol, Seo Ah mencibir tanpa suara. Pria arogan! Tidak tahu disayang! Pantas saja sampai umurnya dua puluh delapan tahun tidak ada yang mau menikah dengannya. Untung saja orangtua mereka memiliki koneksi, kalau tidak, Seo Ah yakin Chan Yeol akan menua bersama laptopnya itu. Memang apa susahnya rebahan sejenak dan merilekskan pikiran tanpa deretan huruf dan angka dengan kombinasi jelek itu! Serajin-rajinnya Seo Ah, ia pasti lebih memilih tidur daripada bekerja saat sedang sakit.

Oke, dari sini sudah terlihat. Park Chan Yeol bukan manusia.

Seo Ah pun turun dari lantai dua dan kembali ke ruang makan. Setelah menyelesaikan sarapannya, ia berpamitan kepada Yoon Ahjumma untuk berangkat ke sekolah. Ketika sampai di pintu masuk, Seo Ah berpapasan dengan sekretaris Chan Yeol yang sudah rapi dengan seragam kerjanya.

“Nyonya, annyeonghaseyo?”

“Annyeonghaseyo, Yoon Ha-ssi.”

Jung Yoon Ha adalah sekretaris Chan Yeol yang mencangkup asisten pribadinya. Dia sangat cantik, pintar, dan memiliki tubuh bagai model. Selain itu kepribadiannya juga sangat bagus. Saat pertama kali melihatnya, Seo Ah langsung merasa kecil. Harusnya Chan Yeol disandingkan dengan wanita macam Sekretaris Jung, daripada dirinya yang biasa-biasa saja (terlebih tidak tahu apapun tentang bisnis dan… tentunya Park Chan Yeol sendiri).

Tapi, Seo Ah sadar kenapa Sekretaris Jung tidak bisa bersanding dengan Chan Yeol. Itu karena perbedaan umur mereka yang mencapai dua puluh tujuh tahun. Benar, tahun ini Sekretaris Jung berumur lima puluh lima tahun.

“Anda sudah ingin berangkat bekerja?” tanya Sekretaris Jung.

Seo Ah mengangguk. “Padahal aku sedang malas, tapi… ya mau bagaimana.” Seo Ah terkekeh pelan.

“Kalau begitu, selamat bekerja, Nyonya.” Sekretaris Jung pun membungkuk sedikit lalu berlalu dari hadapan Seo Ah. Namun, baru dua langkah Sekretaris Jung melangkah, suara Seo Ah yang memanggilnya, membuatnya berhenti dan berbalik lagi.

“Ya, Nyonya?”

“Bisakah… aku meminta bantuanmu sedikit?”

***

Seo Ah tidak langsung menyalakan mesin mobilnya walau sudah duduk di kursi kemudi. Sabuk pengaman pun masih bergantung di sebelahnya. Ditatapnya lagi halaman rumah sambil menghela nafas. Rasanya sangat berat meninggalkan seseorang yang sakit di rumah. Lagi-lagi masalah tanggung jawab. Perasaan khawatir Seo Ah seolah Chan Yeol akan kejang kalau ia tinggal bekerja.

Tidak bisa! Sekali lagi tidak bisa!

Seo Ah mengambil ponselnya dan mengontak salah satu rekan gurunya di SMA Yongsan Gangnam. Selagi suara sambungan masih terdengar, jari-jarinya tidak bisa berhenti bergerak di atas roda kemudi. Barulah ketika seseorang di sana menjawab, Seo Ah menegakkan tubuhnya.

“Lee Seonsaengnim, ini aku.”

Lee Jung Shin, guru Sejarah yang memiliki banyak fans di sekolah itu, menjawab. “Ada apa, Choi Seonsaengnim?”

“Eung… begini… hari ini aku tidak bisa datang ke sekolah. Jadi, bisakah kau mengatakan pada para siswa?”

“Kenapa?”

“Itu… anu…” mata Seo Ah bergerak. Harus pakai alasan apa dia membohongi Lee Seonsaengnim?

Ah!

“Kau tahu kan aku memiliki anjing?” ucap Seo Ah. Terdengar gumaman dari seberang sana. “Dia… sedang terkena diare. Sangat parah! Aku tidak bisa meninggalkannya, Lee Seonsaengnim. Kau tahu kan bagaimana rasanya meninggalkan peliharaan kesayanganmu yang sedang sakit? Bayangkan! A-Aku… aku…” dan Seo Ah mulai pura-pura menangis.

“C-Choi Seonsaengnim…” bagus! Lee Seonsaengnim sudah masuk ke jebakannya. Seo Ah pun menangis lebih keras dan pilu—lebih tepatnya pura-pura. “B-Baiklah, akan kusampaikan pada para siswa. K-Kau yang tabah, ya. Aku yakin anjingmu akan cepat sembuh kalau kau menemaninya.”

“Terima kasih, Lee Seonsaengnim. Terima kasih.”

“Bersemangatlah, Choi Seonsaengnim.” Ucapan Lee Seonsaengnim yang terdengar tulus tiba-tba membuat Seo Ah terlihat seperti iblis kecil yang jahat. Sebelum hatinya luluh dan menyatakan semuanya, Seo Ah pun memutuskan panggilan dengan mengucapkan terima kasih sekali lagi.

Seo Ah sangat tidak ahli berbohong. Untung saja ini pembicaraan via telepon. Kalau bertatapan langsung, sudah pasti Lee Seonsaengnim menolak mentah-mentah permohonan konyolnya. Sayangnya Seo Ah belum bisa mengatakan kalau ia sudah memiliki suami dan sekarang sedang sakit. Jadi ia tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya berharap anjingnya di sana—di rumah orangtua Seo Ah—baik-baik saja, tidak terkena kutukan yang baru Seo Ah ucapkan tadi.

Seo Ah pun keluar dari mobil dan langsung melesat ke lantai dua. Bahkan Yoon Ahjumma tidak diberi kesempatan untuk bertanya kenapa ia kembali lagi. Baru ia ingin meraih kenop pintu kamar Chan Yeol, sebuah suara berat terdengar marah dari dalam. Asal tahu saja, Chan Yeol tidak benar-benar berteriak, tapi aura dingin dari suaranya terasa sampai tubuh Seo Ah.

“Kau memang dibawah perintah ayahku, tapi tetap saja kau adalah karyawanku! Membatalkan semua pertemuan hari ini?! Kau gila?!”

“Ada baiknya jika Sajangnim istirahat hari ini. Saya akan kembali mengatur jadwal Anda.” Sekarang suara lembut Sekretaris Jung terdengar.

Seo Ah menggigit bibir bawahnya. Bagaimana ini? Gara-gara permintaannya, sekarang Sekretaris Jung yang kena marah. Ah! Kenapa hidupnya hari ini penuh rasa bersalah?

“Kau tahu, perjanjian hari ini sangat penting! Aku tidak peduli dengan keadaan tubuhku, jadi sekarang cepat hubungi mereka dan katakan bahwa pertemuan dijadwalkan seperti semula.”

“Maafkan saya, Park Sajangnim. Saya tidak bisa melakukannya.”

“Kau—“

“Aku yang menyuruhnya, Chan Yeol-ssi!” Seo Ah membuka pintu dan menginterupsi pembicaraan mereka. Ia tidak bisa dibawah tekanan rasa bersalah sepanjang hari, dan lebih memilih mengaku saja. Toh, ini demi kebaikan Chan Yeol juga.

“Apa?” balas Chan Yeol.

Seo Ah berdiri di samping kasur Chan Yeol. Ia pun melirik ke arah Sekretaris Jung sebentar. “Aku yang menyuruhnya membatalkan semua pertemuanmu, dan memintanya untuk membiarkanmu istirahat hari ini.”

“Kau gila?!” berbeda dengan nada yang digunakan kepada Sekretaris Jung tadi, Chan Yeol menaikan setingkat suaranya. Sekarang, suara beratnya itu terdengar jauh lebih mengerikan dari petir musim panas. “Ini pekerjaanku! Kenapa kau ikut campur?!”

“Aku hanya khawatir dengan kesehatanmu!”

“Kau sama sekali tidak paham dengan urusan kantor.”

Dahi Seo Ah berkerut, tersinggung. “Iya, aku memang tidak mengerti. Tapi kau juga tidak akan mendapat apa-apa dari pertemuan konyol itu dalam keadaan seperti ini!”

“Kau… argh!”

Seo Ah lagi-lagi menggigit bibir bawahnya. Baru kali ini ia melihat Chan Yeol benar-benar emosi. Maksudnya, marah seperti itu. Apa yang ia lakukan salah? Tapi kan ini demi kebaikan Chan Yeol. Ah! Kenapa ia harus merasa bersalah lagi! Apa hari ini hari ‘merasa bersalah’ sedunia?!

“Park Sajangnim, maaf kalau saya mengganggu,” kata Sekretaris Jung. “Tapi yang dikatakan Nyonya memang benar, ada baiknya kalau Anda istirahat seharian ini. Saya juga mengkhawatirkan kesehatan Anda akhir-akhir ini. Saya akan mengatur kembali jadwal untuk besok.”

Chan Yeol diam saja, kelihatan sekali ia masih sangat marah. Sekretaris Jung hanya bisa menghela nafas lalu berbalik ke arah Seo Ah. “Nyonya, kalau begitu saya permisi dulu. Dan Park Sajangnim, selamat beristirahat.”

Selepas kepergian Sekretaris Jung dari kamar itu, Chan Yeol dan Seo Ah hanya saling menutup mulut. Chan Yeol masih terlalu kesal dan marah, sementara Seo Ah sedang mencoba mengenyahkan perasaan jengkelnya. Bahkan anjing tuanya tidak sekeras kepala ini.

“Sudah makan?”

“Bukan urusanmu.”

Seo Ah mengepalkan tangannya. ‘Bukan urusanmu. Bukan urusanmu’, kenapa dia suka sekali mengucapkan itu?!  Seo Ah jadi sangsi, jangan-jangan Chan Yeol memang ditakdirkan hidup sendiri sepanjang hidupnya, dan dirinya hanya sebagai hiasan saja. Melirik ke arah Seo Ah, Chan Yeol menyadari kalau ucapannya membuat Seo Ah kesal. Oleh karena itu ia menambahkan sebelum Seo Ah benar-benar membunuhnya.

“Aku akan makan nanti.”

“Kau harus makan sekarang. Akan kupanggilkan Yoon Ahjumma agar membawa sarapanmu ke sini.” Seo Ah pun berbalik.

“Seo Ah-ya.”

Seo Ah kembali menghadap Chan Yeol, kali ini sambil berkacak pinggang, tidak tahan dengan sikap kekanakan Chan Yeol. “Setelah itu minum obat. Sudahlah, jangan membantah terus! Kau ini kenapa lebih merepotkan dari Sia, sih?!”

“S-Sia?!” Chan Yeol membulatkan matanya. “Kau menyamakan aku dengan anjing?!”

Seo Ah memainkan bola matanya. “Maksudku… karena aku sering merawat Sia saat sedang sakit, jadi… agak sedikit mirip.”

“Kau…”

“Ah! Yoon Ahjumma! Aku harus memanggilnya!”

Seo Ah pun melesat keluar dari kamar dan menutup pintu itu cukup keras. Di dalam, Chan Yeol menghela nafas sambil menyenderkan punggungnya ke dashboard kasur. Dilihatnya tumpukan kertas dan laptop yang masih menyala di sampingnya. Oke, kali ini ia akan mendengarkan wanita itu. Wanita yang menjadi istrinya.

***

Esok paginya, tubuh Chan Yeol terasa jauh lebih segar. Sudah lama ia tidak merasakan istirahat, dan kemarin satu hari penuh ia hanya berada di kasur. Seo Ah sama sekali tidak mengizinkannya keluar kamar, bahkan wanita itu menyingkirkan kertas-kertas dan laptop Chan Yeol. Awalnya Chan Yeol jengkel dengan sikap wanita itu, tapi sekarang ia baru merasakan efeknya. Wanita itu benar, ia memang butuh istirahat.

Selesai berpakaian rapi, Chan Yeol turun menuju ruang makan. Tidak seperti biasa, ia tidak menemukan Seo Ah duduk di sana. Hanya Yoon Ahjumma yang sedang mencuci piring di dapur, dan semua makanan sudah tertata rapi di meja. Kursi di seberang Chan Yeol kosong, bahkan tidak ada mangkuk nasi di sana.

“Selamat pagi, Tuan. Bagaimana keadaan Anda?” sapa Yoon Ahjumma ketika Chan Yeol menggeser kursinya.

“Sudah lebih baik,” jawab Chan Yeol dengan senyum tipis. “Mana Seo Ah?”

“Nyonya sudah berangkat lebih dulu karena ada rapat.”

Chan Yeol hanya mengangguk, lalu duduk di kursinya. Saat sedang mengambil lauk dengan sumpitnya, ia melihat ponsel Seo Ah tergeletak di sana. Chan Yeol mengerutkan dahi, menaruh kembali sumpitnya, lalu mengambil ponsel itu. Benar, itu ponsel Seo Ah. Pasti wanita itu sangat terburu-buru sampai melupakan ponselnya.

Rasa penasaran tiba-tiba muncul di otak Chan Yeol. Ia pun menyalakan layar ponsel itu, bersamaan sebuah pesan pop-up muncul.

Song Joong Ki

Seo Ah-ya, aku mencintaimu *love*

Mata Chan Yeol membulat, hampir keluar dari tengkoraknya. Sayangnya ponsel Seo Ah memakai pattern password, sehingga Chan Yeol tidak bisa mengetahui lebih jauh sampai mana hubungan mereka. Chan Yeol meletakkan ponsel itu ke meja dengan layar menelungkup. Sial! Ternyata Seo Ah bergerak lebih cepat dari surat peraturan itu. Pantas saja banyak pasal-pasal aneh di sana.

Song Joong Ki? Siapa pria itu? Apa dia rekan kerjanya di sekolah itu?

Sejauh mana mereka melangkah?

Chan Yeol tidak bisa berhenti memikirkan itu bahkan setelah ia sampai di kantor sekalipun. Beberapa kali ia kehilangan fokusnya karena satu pesan sialan itu. Dadanya bergejolak, seperti ingin meledak setiap kali mengingat isi pesan itu. Hanya satu kalimat, tapi sudah membuat kepalanya sakit. Ia tidak bisa menyepelekan wanita bernama Choi Seo Ah.

“Park Sajangnim.”

“Ya?”

Ini sudah ketiga kalinya Sekretaris Jung memanggil atasannya itu. Baru ketika ia mengetukkan jarinya di atas meja, Chan Yeol menoleh. Tidak seperti biasanya, atasannya banyak melamun hari ini. Apa Chan Yeol masih belum sembuh total? Tapi tadi pagi wajahnya sudah secerah biasanya, bahkan sudah bisa menegur karyawan yang melakukan kesalahan.

“Apa ada sesuatu yang mengganggu Anda?”

“Tidak ada,” Chan Yeol langsung membuka map yang tadi diletakkan Sekretaris Jung di mejanya, mengalihkan topik sekaligus pikirannya sendiri. Ia harus berhenti memikirkan itu, karena itu sama sekali bukan urusannya. Bukankah mereka sudah sepakat boleh berhubungan dengan orang lain di luar sana? Lalu kenapa Chan Yeol begini?!

“Apa jadwalku selanjutnya?”

“Jam tiga nanti ada jamuan minum teh bersama Presdir Grup Taehwa.”

“Baiklah.” Selesai membubuhkan tanda tangan, Chan Yeol menutup map itu dan menyerahkannya kepada Sekretaris Jung.

Sekretaris Jung membungkuk sebelum beranjak dari tempatnya. Namun, suara Chan Yeol yang kembali memanggilnya, membuatnya kembali berbalik.

“Tolong selidiki sesuatu untukku.”

***

“Ah, lelahnya!”

Seo Ah menyalakan alarm mobilnya dan masuk ke dalam rumah. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi Seo Ah baru pulang bekerja. Setelah rapat sepagian tadi, jadwal pelajaran pun dimundurkan cukup lama. Biasanya Seo Ah sudah sampai rumah tepat jam makan malam. Ia merasakan tubuhnya benar-benar lelah.

Seo Ah tidak tahu apakah Chan Yeol sudah pulang atau belum. Ponselnya tertinggal, ia juga tidak bisa menghubungi pria itu dan mengatakan kalau ia pulang agak telat. Well, walaupun ini belum pukul sebelas malam, masih berada di luar rumah padahal biasanya sudah menikmati makan malam, membuat hati Seo Ah terganjal sesuatu.

“Baru pulang?”

Mata Seo Ah yang sudah setengah mengantuk , tiba-tiba terbuka lebar. Ia tidak salah dengar, kan? Itu suara Chan Yeol? Kemasukan setan apa dia menyapa Seo Ah saat pulang bekerja?

Seo Ah melihat Chan Yeol duduk di sofa ruang tamu dengan kaki tersilang dan tangan bersedekap. Jangan bilang pria ini menunggunya.

“Iya.” Meski bingung, Seo Ah tetap menjawab. “Kau… menungguku?”

“Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”

“Baiklah, tapi aku ingin mandi lalu makan. Setelah itu—“

“Sekarang.”

“Cih!”

Meski begitu, Seo Ah tetap duduk di sebelah Chan Yeol—maksudnya dengan jarak yang cukup jauh tentunya. Matanya mendelik jengkel ke arah Chan Yeol. Tumben sekali pria ini mengajaknya bicara. Tunggu! Jangan bilang Chan Yeol ingin mengeluh padanya karena perjanjiannya dibatalkan kemarin? B-Berapa ganti rugi yang harus dibayar Seo Ah?!

“Kau mengenal seseorang bernama Song Joong Ki?” tanya Chan Yeol, tanpa menatap Seo Ah.

Perlu beberapa detik untuk Seo Ah paham, sebelum akhirnya ia mengangguk.

Dada Chan Yeol berdebar melihat gerakkan kepala Seo Ah. Ternyata mereka menyembunyikan hubungan itu begitu rapi, sampai orang-orangnya pun tidak bisa menemukan banyak informasi. Siang tadi, untuk pertama kalinya Chan Yeol menyuruh sekretarisnya melakukan pekerjaan yang sama sekali di luar urusan kantor—menyelidiki hubungan Seo Ah dengan pria bernama Song Joong Ki. Tapi tidak banyak yang Chan Yeol dapat, bahkan hampir tidak sama sekali. Hanya satu ucapan sekretarisnya yang membekas sampai sekarang, dan setiap kali mengingatnya, jantung Chan Yeol selalu berdetak lebih cepat.

[“Saya menemukan sesuatu, tapi… tidak yakin ini berhubungan dengan hal yang dicari Sajangnim atau tidak.”

“Katakan saja.”

“Nyonya sangat suka menonton drama. Dan menurut rekan kerjanya, akhir-akhir ini dia jadi menyukai seorang aktor, dan dia bernama Song Joong Ki.”]

Aktor?! Seo Ah dekat dengan seorang publik figur?! Apakah wanita ini memiliki otak? Bagaimana kalau hubungan mereka sampai tercium media, mau taruh dimana wajah Chan Yeol nanti!

“Sejauh mana hubungan kalian?” tanya Chan Yeol lagi.

“Hah?!”

Oke, Chan Yeol mungkin benar-benar akan menuntutnya nanti, makanya ia mengalihkan pembicaraan dulu ke arah tidak jelas seperti ini. Seo Ah meremas tangannya semakin erat.

Chan Yeol menoleh. “Kalian memiliki hubungan sudah sejauh mana?”

Seo Ah bisa melihat, Chan Yeol tidak sedang bermain-main. Mata dingin dan tajam itu sukses membuat bulu kuduk Seo Ah berdiri. Hei! Apa maksud pertanyaan bodoh ini?

“Aku benar-benar lelah, Chan Yeol-ssi. Bisakah bercandanya nanti saja?”

“Aku tidak sedang bercanda, Choi Seo Ah!” oke, dia mulai memanggil nama lengkap Seo Ah. “Kau memiliki hubungan dengan publik figur? Apa kau gila?!”

“Aku sama sekali tidak mengerti—“

“Aku melihatnya,” kata Chan Yeol. “Isi pesan di ponselmu, dari Song Joong Ki.”

Tiba-tiba saja wajah Seo Ah pucat pasi, seluruh tubuhnya membeku di tempat. Sial! Sial! Sial! Rahasianya akan terbongkar! Rahasia paling memalukannya.

“K-Kau memeriksa ponselku?! Tidak sopan!” Seo Ah berusaha mengalihkan arah pembicaraan. Jika terus seperti ini, maka harga diri Seo Ah akan jatuh ke level lebih rendah dari neraka.

“Jawab saja!”

“I-Itu urusanku! Kau tidak perlu ikut campur!”

Chan Yeol merasa sesuatu baru saja menghantam dada kirinya. Entah itu apa, tapi membuat Chan Yeol tidak bisa bernafas selama beberapa detik. Sesaat kemudian ia mengingat kalau mulutnya sendiri pernah mengatakan hal itu pada Seo Ah. Jadi begini yang dirasakan Seo Ah saat ia mengucapkan itu….

“Choi Seo Ah! Kau tidak tahu seberapa bahayanya kalau kau berhubungan dengan selebriti? Kau tidak hanya akan mencoreng nama keluargamu, tapi nama keluargaku juga.”

Bisa Chan Yeol bayangkan kalau hubungan Seo Ah dan Song Joong Ki itu tercium publik. Orangtua mereka akan mengetahui hubungan rumah tangga seperti apa yang mereka jalani. Belum lagi dampak skandal pada kedua perusahaan keluarga itu. Entah harus berapa pegawai yang akan Chan Yeol pecat jika itu terjadi.

“Kau tidak perlu khawatir. Aku bisa mengurusi diriku sendiri.” Seo Ah berdiri dari duduknya, berniat masuk kamar, membersihkan diri lalu langsung pergi tidur. Ternyata Chan Yeol-yang-banyak-omong-dan-banyak-bicara sama sekali tidak menyenangkan. Ia lebih suka Chan Yeol yang pelit bicara meski terus menatapnya dingin.

“Aku belum selesai bicara.”

“Aku sudah!”

“Choi Seo Ah, kau tidak mendengar ucapan suamimu?”

Seo Ah membalik tubuhnya. “Suami? Sekarang kau menggunakan kata itu?”

“Aku memang suamimu.”

“Sudahlah, aku lelah!”

Ternyata Chan Yeol belum menyerah juga. Ia ingin mendengar Seo Ah berjanji untuk tidak menghubungi Song Joong Ki lagi. Chan Yeol pun mengikuti Seo Ah sampai anak tangga.

“Berikan aku kontak Song Joong Ki.”

Lagi-lagi Seo Ah membalik tubuhnya, ia berteriak pada Chan Yeol. “Aku tidak punya!”

“Apa maksudmu? Kalian kan—“

“Karena itu hanya aplikasi!”

Chan Yeol tidak bisa berkata apa-apa. Wajahnya kosong, ia hanya berkedip beberapa kali, menandakan ia tidak paham apa yang dikatakan Seo Ah. Wajah Seo Ah sudah memerah—karena marah juga malu. Dasar pria keras kepala! Harga diri Seo Ah sebagai wanita juga guru di sekolah terkenal di Gangnam hancur sudah.

“Aplikasi?” ulang Chan Yeol, dengan nada jauh lebih pelan.

“Iya! Aplikasi! Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Joong Ki Oppa, dia hanya idolaku! Aku sangat menyukainya sampai-sampai ingin dia menjadi pacarku dan mengirimiku pesan setiap hari. Puas?!”

“Kenapa….”

“Karena aku bosan mendapat pesan darimu yang isinya itu-itu saja!” sudah kedua kalinya Seo Ah berbicara menggunakan banmal pada Chan Yeol, bahkan segala menunjuk-nunjuk pria itu dengan tidak sopan.

Seo Ah sudah tidak bisa menampung rasa malunya. Ia pun melangkah lebar-lebar, bahkan menaiki dua anak tangga sekaligus. Ia membuka pintu kamar dan menutupnya dengan kasar, tidak lupa dikunci. Tubuhnya bergetar saking malunya, dan ia ingin sekali berendam di kolam air panas sambil menangis keras. Rahasia dan harga dirinya terbongkar pada saat bersamaan.

Seo Ah melempar tasnya sembarang lalu masuk ke kamar mandi. Diambilnya sikat gigi dan mengoleskan pasta gigi banyak-banyak di atasnya. Sambil menatap cermin, ia menggosok gigi dengan kasar, tidak peduli kalau itu akan melukai gusinya. Ia sangat kesal! Pokoknya kesal! Semua gara-gara pria keras kepala-yang-sekarang-berubah-menjadi-pria-serba-ingin-tahu. Lagipula kenapa juga Chan Yeol membuka-buka ponselnya?! Tidak bisakah dia meletakkannya langsung di kamar tanpa mencari tahu!

Apanya tidak saling mencampuri urusan masing-masing?! Sudah jelas pria itu terlalu banyak ikut campur di hidupnya, bahkan sampai memerika ponselnya.

“Seo Ah-ya.”

Terdengar ketukan pintu bersamaan dengan suara Chan Yeol yang memanggil dari luar kamar. Apa lagi sekarang?! Tidak puaskah dia menggerus harga dirinya? Apa sekarang dia ingin menertawakan Seo Ah sampai hidungnya mengeluarkan lendir?

“Choi Seo Ah.”

“Kenapa?!” tanpa keluar dari kamar mandi, Seo Ah berteriak keras pada Chan Yeol. Mulutnya masih penuh busa.

“Buka pintunya. Kenapa dikunci?”

“Masuk saja kamarmu sana, dasar bodoh.” Seo Ah mengecilkan suaranya saat mengatakan ‘dasar bodoh’. “Aku ingin cepat tidur!”

“Tapi ini kamarku.”

Seo Ah hampir menelan air yang digunakan untuk berkumur saat mendengar itu. Akhirnya ia sadar, kalau ini memang kamar Chan Yeol—dan sebagian kamarnya. Karena Seo Ah hanya menggunakan kamar ini saat hal-hal lain selain tidur, tanpa sadar kakinya membawa Seo Ah ke sini. Dan sialnya, ia malah mengunci pintu kamar ini.

Di luar kamar, Chan Yeol berusaha agar Seo Ah tidak menyadari kalau ia baru saja puas tertawa tadi. Sisa air mata masih terlihat di ujung matanya.  Sumpah, seumur hidupnya, baru kali ini Chan Yeol tertawa sampai perutnya kram. Tidak ada yang lebih menggelikan daripada wajah Seo Ah yang menahan malu tadi. Ah! Tentu saja ada! Yaitu kenyataan kalau Seo Ah masih memiliki jiwa seperti anak SMA yang tergila-gila pada idol.

Chan Yeol langsung mengatur wajahnya menjadi datar seperti biasa saat Seo Ah membuka pintu kamarnya. Wanita itu membawa baju ganti dan peralatan mandinya. Tatapan mereka bertemu beberapa detik. Dan untungnya, sebelum Chan Yeol tertawa keras karena mengingat kejadian tadi, Seo Ah sudah memutuskan kontak mata mereka dan masuk ke kamar tempatnya tidur.

Chan Yeol berjongkok di depan kamar, menenggelamkan kepala dalam lingkaran tangannya. Ia tidak tahan lagi! Ia kembali tertawa, tapi kali ini tanpa suara. Wajah itu! Wajah itu seolah ingin menyobeknya sampai sel terkecil, tapi juga masih terselip perasaan malu. Benar-benar lucu!

Satu hari yang tidak terduga menghampiri Chan Yeol. Lagi.

●●

*Kalau mau tau apps apa yang dipake Seoah itu, namanya ‘my idol’

Aku dulu masang itu, pura-pura jonghyun ngirimin pesan Line semacam pacar *jones akut* T.T tapi aku gak tau itu apps masih ada dan fungsinya masih sama apa enggak wkwk udah jarang apdet.

Hayooo udah pada nonton mv baru Juniel belom??? Aku baper loh dia sama cowok lain yang buka fnc boys T.T Seoah ku sudah besar (jujur masih awkward manggil juniel pake seoah)

Regards: Ziajung (vanillajune.wordpress.com) (and ask me everything on askfm : fauziauzya)

Filed under: comedy, Marriage Life, romance Tagged: chanyeol, juniel

Show more