2016-03-26



Sehun’Bee

.♥.

Sehun – Hanna – Skandar

.♥.

Kai – Jenny – Freddie

.♥.

Romance – Drama

.♥.

PG-17

Multi-Chaptered

.♥.

Credit >> poster by Apinslaster and Header Title by : popowiii | SHINING VIRUS

Personal Blog : https://sehunbee.wordpress.com

..♥..

First Sight [1] – Nice to Meet You [2] – Plan [3] – I lose, You Fall [4] – You’ll be Mine [5] – Lie [6] – I Got You [7] – Goodbye Rain [8] – NO! [9A] – [9B] – Eiffel [10] – Love Means Protect [11] – [EXTRA] – Broken Angel [12]

Invitation [Now]



Diagung-agungkan tak ubahnya tiara di atas kepala. Perlakuannya membuat Hanna merasa istimewa seakan menjadi satu-satunya wanita di dunia. Semua rayuannya bahkan begitu memuja, terlebih dengan elusan manja di pipi dan pelukan setengah lingkaran di punggung. Sengaja sekali membujuk Hanna agar tak merajuk lantaran tak diantar pulang. Lantas beginilah akhirnya; beradu lembut dalam ciuman intens di dalam sebuah kamar apartemen mewah di kawasan elit Manhattan.

Berulang kali Hanna mencoba menjauh, namun berulang kali pula Sehun berhasil meraihnya kembali. Memerdalam rayuan sampai tak sadar telah terlalu jauh mendorong tubuh kekasihnya hingga jatuh ke atas sprei beige. “Sehun …,” suara merdu di bawah kuasanya bahkan tak dihiraukan. Perangkat feromon di pengujung sore yang menguar dari leher gadis cantik ini terlampau menggoda. Sehun kepayang sampai sulit mengendalikan, padahal langit saja belum gelap sempurna.

Beruntung kesadaran itu kembali saat tangan kekarnya menggenggam lembut tangan Hanna. Menekannya ke kasur empuk dengan remasan berhasrat di sela jemari; kemudian merasakan lingkar cincin di jari manis gadisnya itu sehingga sadar akan adanya batasan. Permainan sederhana pun lantas diakhiri dengan kecupan basah di rahang. “Menginap, ya!” pintanya, kembali dengan memberikan sentuhan lembut di pipi menggunakan ibu jari.

“Untuk ini?” tanya Hanna, menyinggung apa yang baru saja Sehun lakukan. Namun dengan segera gelengan kepala didapat sebagai jawaban refleks.

“Hanya ingin tidur sambil memelukmu,” tambah Sehun, beralibi. Sayang tubuhnya didorong menjauh, diikuti dengan Hanna yang mengambil posisi duduk. “Aku ingin pulang,” final-nya, datar. Lantas beranjak dari duduk yang kemudian disusul Sehun dengan gerakan sama. Tak lupa kembali menarik pinggang sempit gadisnya dalam satu kali hentak sampai kedua tangan Hanna mendarat lagi di bahu lebarnya.

“Sehun cukup. Aku bisa pulang sendiri jika kau tak bisa mengantar.” Hanna menepis tangan Sehun di pipi.

“Kenapa sangat ingin pulang, hm? Tidak pernah menginap di apartemen seorang pria, ya?” Sehun menggoda lagi. Kali ini, menyentuh pelipis Hanna dengan keningnya seakan tak mengenal apa itu jera. “Haruskah kuingatkan bahwa kita sering tidur bersama?”

“Bukan begitu.” Hanna menjawab cepat, meski pada kenyataannya Sehun benar. Gadis ini memang tak pernah menginap di kamar seorang pria bahkan Freddie sekalipun. Kendati pernah tidur di dalam satu kamar yang sama dalam keadaan tubuh bergaun menggoda dan Sehun yang bertelanjang dada; Hanna tetap merasa aneh jika harus tidur di kamar milik prianya ini. Lebih-lebih mendapati satu botol alkohol di atas meja, di samping tempat tidur.



“Lantas apa? Kau takut terbangun di pagi hari dalam keadaan tak berbusana di samping calon suamimu?” Sehun frontal seakan tahu isi kepala Hanna, meski memang tak sadar telah memahami gadis itu begitu dalam. Anggapannya hanya mengandalkan insting seorang pria pada wanita yang memang sangat dicintai.

Lalu diam pun menjadi jawaban, seolah memerjelas kegilaan Sehun setiap kali mencumbu bibirnya di ruang tertutup dengan tangan bergerilya menuntaskan rasa penasaran. Hanna bahkan merasa lebih baik menerima kecupan Sehun di muka umum daripada di dalam ruang sepi. Namun pemikiran bodoh itu lekas terbantah saat—tak sengaja—kembali menangkap gambar dirinya dalam sebuah bingkai foto besar di dinding. Tak hanya satu, tapi ada juga beberapa bingkai kecil yang tersebar apik membentuk hati dengan bingkai besar tersebut sebagai pusatnya.

“Masih ragu?” Sehun sadar titik fokus Hanna pada benda-benda di bagian belakang tubuhnya. Tampak jelas mengatakan keterkaguman lewat sorot tajam itu, padahal yang ditatap adalah gambar diri sendiri dalam balutan gaun soft pink tanpa lengan dengan keliman jatuh di atas lutut. Lengkap dengan wajah menunduk dan senyum manis saat menerima rangkaian bunga Coastal Blue pemberian seseorang berinisial B—yang sudah jelas pasti siapa orangnya. [Ambition (Chapter 9B)]

“Aku bahkan membingkai rapi semua fotomu, Hanna.” Sehun bersuara lagi. Menyadarkan Hanna akan besaran cintanya dengan segala macam sisi romantis tak terduga. Secara terang menarik penuh perhatian gadis itu agar kiranya sudi menatap kabut kecewa di matanya.

Oh, atau perlu ditekankan lagi? Hanna, perasaan Sehun itu tak sedangkal sungai; gampang terbawa arus dan terkikis. Perasaannya bahkan bermakna jauh dari sekadar rasa ingin melindungi dan memiliki. Jika harus dijelaskan, maka tak akan cukup dengan selembar kertas putih. Sederhananya saja, Sehun ingin Hanna mengerti bahwa kehadirannya adalah alasan mengapa Sehun diciptakan dan hidup. Sudah. Itu saja.

Paham. Hanna pun berakhir dengan perasaan bersalah akibat sempat meragukan. Namun alih-alih menghibur prianya yang dibuat murung; Hanna malah bertahan dengan bisu. Diam-diam membayangkan setiap kali Sehun bangun tidur dan hal pertama yang dilihat pria itu adalah foto dirinya yang tersebar di dinding bagian depan tempat tidur.

Tak hanya itu, Hanna juga mengukur kadar seberapa klasik seorang Oh Sehun sehingga bukan hanya kamarnya saja yang berdesain klasik. Semua yang dilakukan pria itu—termasuk memajang foto dirinya di kamar—terasa begitu kuno menurut Hanna. Yang sialnya, begitu manis menyentuh hati beku miliknya yang semula tak berperasaan, terlebih semua gambar cantik itu diambil secara sembunyi-sembunyi.

Terang saja hal tersebut mengundang semu di pipi Hanna yang kini menunduk. “Aku hanya …,” Mengendik sekali dan menyambung, “—sudahlah. Aku ingin mandi.”

Sehun memiringkan kepala ke kanan. “Mandi?” tanyanya, bertaut alis.

“Mm … Kau ingin aku menginap, kan?” Itu berarti Hanna setuju bermalam di kamarnya. Bersamaan dengan itu, senyum Sehun pun merekah tampan. Saking senangnya sampai membuat Hanna memekik kecil dengan tak lagi membiarkan kaki cantiknya memijak petakan keramik. Dalam waktu singkat, Sehun pun melupakan pertarungan batinnya dengan Hanna. Memutuskan membawa gadisnya itu dengan gaya bridal ke kamar mandi.

Sekarang apa? Sehun mendudukkan Hanna di atas wastafel granit. Memiringkan kepala ke kanan dengan senyum satu sudut yang tak ditanggapi berarti oleh gadisnya. Malah, bolpen dalam saku kemejanya yang bernasib beruntung lantaran berhasil menarik perhatian Hanna. Sontak alis pun bertaut saat memerhatikan apa yang akan dilakukan gadisnya itu.

Awalnya hanya gerakan menimang dengan telunjuk dan ibu jari, sejurus kemudian tatapan memuja Sehun kembali bersamaan dengan kedua tangan Hanna yang terangkat menata rambut. Mengangkatnya tinggi-tinggi untuk kemudian digulung dan ditusuk dengan bolpen. Leher putih jenjang pun menjadi pusat perhatian Sehun setelahnya, lebih-lebih tak ada anak rambut yang menghalangi.

“Hanna—”

“Kau bisa keluar sekarang,” potong Hanna, cepat.

Sehun menggeleng. “Tidak. Aku tidak akan keluar sebelum kau memahami satu hal.”

“Apa?” Hanna mengalungkan lengan santai di leher berjakun itu.

“Aku lelaki normal,” tegas Sehun, membuat Hanna meneleng ke kiri. “Aku tahu.”

“Untuk itu pahami bahwa perasaanku tak hanya berlandas nafsu semata. Percayalah, aku akan memertanggungjawabkan apa pun yang terjadi pada tubuhmu setelah kusentuh,” imbuhnya, memerjelas sekaligus meyakinkan.

Di waktu yang sama, Hanna merasakan tangan Sehun meraba naik dari pinggang ke punggungnya. Juga kakinya yang dipaksa untuk tidak merapat lagi dengan membiarkan Sehun berada di tengah dan memertemukan titik tubuh. Saat itu, Hanna tidak tahu apa yang akan Sehun lakukan, namun suara zipper turun memerjelas semuanya.

Sontak, wajah Hanna merona. Apalagi saat menggerakkan seperempat leher ke samping dan mendapati gaun cantiknya terbuka membentuk huruf V panjang di dalam refleksi cermin. Dengan jelas memerlihatkan punggung putihnya bersama segaris kain pengait bra. Oh, God.

“Termasuk yang satu ini,” bisik Sehun, nakal. Segera melangkah mundur dengan senyum sejuta arti. Tak lupa memberikan satu kerlingan murahan sebelum menarik gagang pintu. “Aku mencintaimu,” tutupnya, benar-benar kurang ajar. Meninggalkan Hanna sendiri bersama rasa gemas di ubun-ubun.

Sudah tidak tahu lagi harus bagaimana mengambil sikap menanggapi kepulangan Hanna ke New York tanpa memberitahu atau bahkan mengunjunginya. Tak salah jika sekarang Kai marah lantaran merasa tak dianggap atau lebih tepatnya merasa telah dilupakan.

Parahnya, mengetahui hal ini lebih dulu dari Jenny sepulang bekerja sampai membuatnya berlari kesetanan menuju penthouse milik Hanna di lantai atas. Sayangnya harus menelan lebih banyak kekecewaan saat tak menemukan sahabatnya itu di sana dan malah menerima satu pesan singkat berisi perintah, “Ambil barang titipanku di lobi. Itu untukmu dan Jenny.”

Begitulah ketikan tangan Hanna yang membuat Kai enggan membalas. Sampai sekarang sudah kembali berdiri di depan Jenny pun wajahnya masih kecut. “Kenapa? Hanna tidak ada di atas?” tanya Jenny, paham. Setia menunggu di lobi setelah sebelumnya ditinggal berlari.

“Hm, hanya menitipkan sesuatu. Coba tanyakan ke bagian resepsionis.” Kai lemas. Langsung duduk menengadahkan kepala ke sandaran sofa. Jenny pun lekas menurut tanpa banyak bertanya lagi. Dan kembali dengan menenteng dua buah paper bags berlabel ternama sampai-sampai Jenny berharap salah satunya adalah miliknya.

“Kai … I-ini, ini milik Hanna?” tanya Jenny sambil mengangkat satu paper bag putih berlabel Stuart Weitzman. Kai pun sontak menatapnya, juga sempat bertaut sebelum menggeleng pelan selepas membaca susunan hurufnya. “Bukan,” jawab Kai. Sedetik kemudian tersenyum lembut mengingat percakapan singkatnya di pagi hari bersama Hanna lewat pesawat telepon beberapa minggu lalu. “Itu untukmu, Jen.”

“Huh?” Jenny bergeming. Kai mengangguk sekali. Agaknya tak bisa lagi bertahan dengan amarahnya pada Hanna. Manalagi mendapati sorot tak percaya di mata Jenny setelah mendapat buah tangan sepatu dengan merk berkelas idaman seluruh wanita.

“Untukku?” tanya Jenny memastikan sekali lagi.

“Ya, untukmu. Itu hadiah dari Hanna,” jelas Kai. Serta-merta ikut merasa bahagia melihat Jenny yang berbunga-bunga sampai tergesa mengambil posisi duduk untuk kemudian mengeluarkan isinya.

“Ya Tuhan!” Jenny memekik kecil. Saking senangnya sampai membungkam mulut tak percaya. “Ini keluaran terbaru!” hebohnya. Tak sadar telah membuat tubuhnya ikut bergerak-gerak girang.

“Kau suka?” Tangan Kai terulur; menyingkirkan anak rambut Jenny yang lancang menghalangi pandangan.

“Sangat, Kai. Sangat!” Jenny memeluk hadiahnya. Kai sendiri mulai menebak seberapa mahal harga alas kaki tersebut melihat berlian murni tersebar apik dari tumit hingga ujungnya. Belum lagi desain simple, namun glamor dari stiletto itu sendiri. Malah setahunya setiap karya Stuart Weitzman itu selalu dibuat dengan jumlah terbatas. Sementara Jenny lebih tak percaya seorang pecinta fashion seperti Hanna rela memberikan stiletto cantik dan langka ini untuknya ketimbang untuk dipakai sendiri.

“Kau bisa menggunakannya besok untuk ke kantor,” usul Kai. Tak lepas memerhatikan gerak-gerik Jenny yang kini sibuk mencoba stiletto barunya.

“Tidak. Aku akan menggunakan ini di hari pernikahan kita nanti,” tolaknya konyol.

“Gaunmu berwarna putih, Jen. Tidak cocok.”

“Tak apa, ini cantik.”

Kai menggeleng pelan, menahan tawa melihat Jenny yang berputar-putar manis. Diam-diam mulai berandai bisa membelikan sepatu yang jauh lebih cantik dari itu untuk Jenny gunakan di hari pernikahan mereka nanti. Namun sayangnya Jenny menunjuk Vera Wang—desainer gaun pengantin ternama—untuk membuatkannya satu gaun istimewa. Sehingga mau tak mau, Kai harus rela merogoh kocek lebih dalam untuk urusan yang satu ini mengingat karya-karya Vera Wang sudah diakui dunia.

“Omong-omong gaun, kau tahu? Sehun sepulang dari Paris langsung memintaku untuk membuatkannya janji dengan desainer Sarah Burton, pemimpin kreatif rumah mode Alexander McQueen.” Jenny kembali berucap. Mengundang perhatian penuh Kai.

“Sarah Burton? Aku tak asing mendengar namanya. Kalau tidak salah yang membuatkan gaun pengantin untuk Kate Middleton itu, kan?” Kai memastikan tak salah ingat. Mengingat nama Sarah Burton memang ramai diperbincangkan saat pernikahan Pangeran William dengan Kate Middleton tahun 2011 silam.

“Hm ….” Jenny mengangguk.

“Untuk apa Sehun menemuinya?”

“Apalagi? Sama seperti apa yang kita lakukan saat menemui Vera Wang minggu lalu. Sehun meminta desain khusus gaun pengantin untuk wanitanya pada Sarah.” Jenny mengemas kembali stiletto-nya ke dalam kotak. Menatanya hati-hati sampai dirasa memiliki posisi yang sama sebelum dibongkar olehnya. “Aku yakin hasilnya akan sangat cantik, berhubung tak sedikit uang yang Sehun keluarkan untuk itu. Dulu saja, satu gaun Kate Middleton digandang-gandang memiliki harga US$ 400.000 (setara dengan Rp. 5 Miliyar).”

Kai menelan saliva. “Apa Hanna tahu?”

“Tentu saja tidak. Sehun itu penuh kejutan. Romantis, bukan?”

“Tapi … aku tidak yakin Hanna akan menyukainya—”

“Kai, Sehun sangat tahu apa yang paling Hanna sukai. Tenang saja. Gaun pengantin pesanan Sehun itu tak akan berakhir sia-sia.” Jenny memotong cepat.

“Berapa gaun yang Sehun pesan?” Kai kembali bertanya.

“Sekitar sepuluh gaun dengan pengerjaan tak boleh lebih dari dua bulan.”

“Hhng … Uang sebanyak itu seharusnya Sehun gunakan untuk membantu Hanna membeli kembali saham Ritz-Carlton dari Marriott.” Kai memberi pendapat seusai menghela napas berat.

“Sehun itu licik, Kai. Ia menggunakan prinsip ‘keluar modal kecil untuk untung besar’ dalam urusan bisnis,” sambil berucap, Jenny membentuk lingkaran besar dengan kedua tangan.

“Pantas, pria konyol sepertinya bisa mendapatkan wanita mahal sekelas Hanna,” seloroh Kai.

Jenny pun terkekeh membenarkan. Soket matanya bergilir cantik hingga tak sengaja tertuju pada paper bag hitam yang sebelumnya dibiarkan begitu saja. Ia lantas membukanya antusias dan mengeluarkan satu buah sepatu keluaran Testoni Shoes seharga US$ 38.000 dari dalamnya.

“Wow, Kai. Ini pasti untukmu!”

Pertengkaran kecil dalam sebuah hubungan itu pasti ada, bahkan ketika Hanna berpikir Sehun tidak akan pernah bisa marah padanya. Malah sekarang sedang didiamkan lantaran acara mogok bicara pria itu setelah sebelumnya meminta sesuatu yang tak bisa Hanna turuti. Tidur saja sampai membelakangi tanpa tahu gadisnya terus memerhatikan dengan senyum kecil. Yang Sehun tahu hanya tangan Hanna di rambutnya; yang tak henti memberikan usapan lembut penuh sayang.

Sekarang saja masih berpura-pura tak peduli pada gadisnya yang setia duduk bersandar di kepala ranjang. Dengan sabar mencoba menidurkan kemarahannya lewat gerakan tangan, tanpa berniat menenangkan lewat kata-kata. Sehun pun bertekad akan terus diam sampai Hanna mengalah. Tetapi merasakan gerakan lain dari tubuh Hanna saja sudah membuatnya berdebar; takut Hanna balas marah, apalagi gerakan tangannya berhenti.

“Masih belum tidur, hm?” goda Hanna. Membawa masuk setengah tubuhnya ke dalam selimut dengan menjadikan siku kanan penopang tubuh. Wajahnya merangsek maju; mengintip Sehun yang mengerjap terkejut. Langsung saja selimut ditarik melewati bahu; berniat sekali sembunyi dari Hanna. Yang serta-merta ditanggapi gelengan kepala oleh gadisnya itu.

“Tak dituruti langsung berulah. Kau benar-benar nakal ya ….” Satu cubitan Sehun dapat di pipi. Cukup sakit; Hanna terlanjur gemas menghadapi sikapnya. Hendak mengelus tanpa protes—mengingat sedang mogok bicara—namun terhenti saat jemari lentik Hanna menggenggamnya. Menggantikan tugasnya dengan ciuman ringan berulang di bekas cubitan dan ditanggapi heboh oleh detak jantung Sehun.

Jika sudah seperti ini, tolong ingatkan Sehun untuk tidak tersenyum. Tolong.

Atau Hanna akan ikut tersenyum—yang sayangnya memang sudah dibuat tersenyum. “Masih marah, em?” Membuat setengah lingkaran di perut Sehun yang saat itu hanya menggunakan kaos putih tipis, juga menjadikan bahunya tumpuan dagu. Tidak tahu saja Sehun kepayahan menahan diri untuk tidak balas memeluk. Melepas nightrobe pink di tubuh Hanna dan mengajaknya petting sampai berpeluh.

Oh, shit. Membayangkannya saja sudah membuat napas berat. Sebelum lepas kendali, bahunya bergerak memberi isyarat agar Hanna menjauh dari sana.

Mengerti. Tatapan Hanna pun sendu. “Ya, sudah. Tidurlah,” katanya sayang alih-alih memaki. Ia anggap itu itikad baik Sehun sebagai jawaban, mengingat betapa marahnya pria itu sekarang. Tanpa tahu Sehun sedang bertarung dengan libido demi menjaga kesuciannya.

Kendati demikian, Hanna masih memiliki kesabaran untuk tidak kecewa atau marah pada sikap kekanakan Sehun. Ia hanya menarik diri untuk kembali duduk bersandar dan mengelus lagi kepala prianya itu; karena memang masalahnya terlalu sepele untuk membuat seorang Hanna terbawa emosi. Jadi, biarkan saja Sehun ekspresif dengan kemarahannya.

Bisa dibilang, Sehun hanya lelah setelah berpuluh-puluh kali meminta bahkan sampai memohon pada Hanna agar tetap tinggal. Berhubung hari libur hanya terhalang satu hari mengingat esok hari Jum’at, jadi Sehun berpikir apa salahnya tetap tinggal untuk dua hari ke depan. Namun Hanna yang gila kerja mengatakan ada banyak hal yang harus ia lakukan di hari Sabtu dan Minggu. Lalu beginilah akhirnya. Sama-sama bertahan dengan ego masing-masing tanpa ada yang berniat mengalah, padahal tubuh saling merindu sentuhan.

“Aku tidak akan menghadiri rapat jika kau tetap bersikeras pulang,” ancam Sehun tiba-tiba seakan kehabisan akal. Malah tak segan mengorbankan proyek barunya bersama FremantleMedia—anak perusahaan Bertelsmann.

“Siapa yang akan rugi?”

“Kau benar-benar tidak peduli padaku.”

Hanna menghembuskan napas pelan. “Sini,” rayunya, membalik tubuh Sehun dan menepuk pahanya dua kali. Awalnya hanya ditatap dalam diam, namun pada akhirnya menurut juga; memosisikan kepala di sana tanpa melepas peraduan netra. “Tidurlah …,” pinta Hanna, tulus. Enggan berdebat lagi. Cukup memastikan Sehun tak akan bisa jauh-jauh darinya atau bahkan menjauhinya semarah apa pun itu.

Lalu, seakan terbuai usapan berkala di rambut yang memang begitu membius; pelan-pelan Sehun menutup mata seperti apa yang Hanna pinta. Sebelum benar-benar terlelap, sempat memiringkan kepala ke bagian perut. Menggeseknya dengan hidung dan berakhir dengan memeluk pinggang Hanna erat. Tak lama, pergi ke alam mimpi terdalam sampai begitu nyenyak. Meninggalkan Hanna yang masih asyik mencari rasa kantuk di tengah malam.

Melewati berjam-jam waktu tidur bersama lamunan panjang, sementara Sehun sudah berkali-kali mengubah posisi. Tak tahu gadisnya telah karam bersama semua masalah hidup. Bahkan rasanya sulit bagi Hanna untuk kembali ke permukaan demi melepas lelah dari semua bobot tekanan yang ada.

Syukurlah, cara tidur Sehun cukup menghibur. Hanna suka sekali ketika pria itu telentang menghadap wajahnya—seperti sekarang ini. Begitu tampan dan polos dalam balutan wajah tanpa ekspresi. Kadang Hanna usil menjawil hidungnya, yang sayangnya tak berhasil mengusik. Mencubit pipi juga sama saja; Sehun-nya benar-benar nyenyak. Padahal Hanna yakin pahanya tak seempuk bantal gemuk berwarna putih itu.

Saat pagi tiba, barulah Hanna memindahkan kepala si Tampan ke bantal. Meninggalkannya untuk membersihkan diri barang sejenak dan kembali dengan hanya menggunakan bathrobe. Duduk di samping Sehun; menyentuh rahangnya lembut dan mencoba membangunkan. “Sehun, sudah pagi. Ayo, bangun!”

“…” Tak ada reaksi berarti selain menggeliat kecil, padahal Hanna yakin Sehun sudah bangun—itu terlihat dari kerjapan imut di matanya.

“Sayang, ayolah. Kau ada jadwal penting hari ini,” rayu gadis berambut cokelat manis itu. Agaknya membuang jauh semua sikap kakunya selama ini demi Oh Sehun seorang. Gemas pun ada saat prianya kembali memunggungi; melanjutkan acara marah-marah tak jelas yang tertunda tidur semalam.

Lagi. Hanna menghela napas berat. Membalik bahu kekar itu paksa sampai telentang. Mengukungnya agresif dengan menjadikan tangan tumpuan di kedua sisi. Membuat Sehun sontak mengakhiri acara pura-pura tidurnya dan mendapati wajah cantik Hanna di depan mata.

“Good,” riang Hanna disertai senyum kecil. Menyentuh usil bulu mata Sehun sampai sang empunya mengerjap berkala. Sengaja sekali menggoda sifat kekanakan prianya itu—yang herannya bertahan lebih lama dari perkiraan. Sayang manuver-nya harus berhenti, ketika tangan Sehun menggenggamnya lembut. Tak masalah sebenarnya, yang terpenting pria di bawahnya ini tak memejamkan mata lagi.

“Kau ingin sarapan apa?” tanya Hanna. Membiarkan tangannya dicium berulang dan dihirup rakus oleh ‘pemiliknya’.

“Kau.”

“Hm?”

Awalnya, ya awalnya. Sehun tak pernah tergoda dengan aroma tubuhnya sendiri, tetapi tak lagi ketika Hanna memakai semua produk mandinya suka-suka. Pekatnya lemon dengan tetesan musk favoritnya benar-benar menggelitik hidung. Jadi cukup ingatkan Sehun untuk tidak mengubah posisi dan melempar bathrobe Hanna ke lantai, karena lelaki memang paling lemah menahan diri di pagi hari. Berikan saja Sehun sedikit kesabaran dan akal sehat guna mengakhiri tatapan memuja itu sekarang, atau acara marahnya akan berakhir sia-sia.

Maka dengan segera tangan Hanna dijauhkan dari mulut; kembali menyatakan ketidaksukaannya mengenai keputusan gadis itu untuk pulang sekarang. Hanna yang mengerti pun segera memutar otak guna menghentikan ancaman bodoh prianya.

“Belum sampai dua puluh empat jam, kau mengatakan keinginanmu untuk menjadi seorang ayah.” Dengan lembut Hanna mengungkit keinginan Sehun saat mengajaknya berjalan di taman kemarin sore. Lengkap, dengan acara merajuk manja memainkan tali bathrobe. “Jika sekarang saja kau malas bekerja, mana bisa aku menuruti keinginanmu?” tanya Hanna, sok lugu. Herannya berefek hebat untuk Sehun yang merasa itu adalah ancaman besar. “Terang saja, aku akan berpikir dua kali sebelum bersedia mengandung anakmu.”

Srett.

Selimut Sehun tendang tanpa pikir panjang. Berikutnya, suara pintu kamar mandi tertutup mengalun rendah mengisi ruang. Membawa senyum kemenangan untuk Hanna yang masih duduk diam di tempat tidur.

Perlu ditegaskan, Jenny amat sangat menghargai pasangan LDR yang jarang berjumpa dan membutuhkan lebih banyak waktu untuk berdua. Tapi pagi-pagi sekali, Kai sudah tersenyum sejuta arti di depan pintu apartemennya. Dengan seribu rayuan mengajaknya mengunjungi Sehun-Hanna—yang tak menutup kemungkinan masih betah bergumul di bawah selimut. Tak heran jika sekarang Jenny merasa tak nyaman saat sudah berhadapan dengan pintu apartemen Sehun.

Membiarkan Kai menekan tombol pintu dua kali dan berakhir menunggu. Setelah satu menit, barulah pintunya terbuka. Memerlihatkan seorang wanita cantik bertubuh semampai muncul di balik pintu. Memamerkan paha tingginya dengan gaun mini berlapis blazer ungu muda.

“Hanna!” ujar Kai, girang. Membawa serta-merta sahabatnya itu ke dalam sebuah pelukan dan mengungkapkan isi hati secara gamblang, “Aku merindukanmu!” Sepersekian detik menularkan rasa yang sama sehingga mencipta senyum manis di wajah cantik Hanna.

Pun dengan Jenny di tempatnya yang menarik kedua sudut bibir lembut alih-alih cemburu. Apalagi saat melihat Hanna membalas pelukan tunangannya tersebut. “Apa kabar?” tanyanya, manis.

“Baik, tentu saja. Uuh, lihat dirimu. Katakan bahwa kau masih perawan?!” Kai mengaduh seusai bertanya. Jenny yang memberikan cubitan di pinggang menatapnya garang seolah mengatakan, ‘pertanyaan itu tidak sopan’.

“Ayo, masuk!” ajak Hanna; menginterupsi sebelum melihat pertengkaran konyol keduanya. Menuntun mereka ke dapur minimalis dengan meja makan di tengahnya.

“Sehun di mana?” Kai kembali bertanya.

“Di kamar,” jawab Hanna, singkat. Melanjutkan lagi kegiatannya membuat sarapan, malah berniat menambah porsi setelah memastikan, “Kalian sudah sarapan?”

“Kami kemari untuk mengajakmu sarapan bersama.” Kai menarik satu kursi, memersilahkan Jenny untuk duduk di sana. Diikuti dengan bokongnya yang mendarat di kursi sebelah.

“Sarapan di sini saja, ya! Aku sedang menanak nasi,” jawab Hanna, masih tetap pada kegiatannya mencincang bawang bombay.

“Nasi?” Kai menaikkan sebelah alis. Merasa janggal sarapan dengan nasi mengingat tak sedang berada di Korea Selatan.

“Hm … Sehun membuat poin penting untuk sarapan dengan nasi setiap harinya,” jelas Hanna. Bersyukur isi kulkas Sehun lengkap, meski pria itu sempat bilang hanya menyewa pelayan untuk membersihkan apartemennya saja.

Kai pun manggut-manggut, kalau Jenny diam-diam tersenyum senang mendengar jawaban Hanna yang terdengar begitu memerhatikan kebiasaan sepupunya. Juga merasa hangat mendapati sikap Hanna yang agaknya jauh berbeda dari pertama saling mengenal.

“Mmm … Ada yang bisa kubantu, tidak?” tawar Jenny malu-malu. Bangkit, melangkah menghampiri dan mengambil tempat di samping Hanna. Sedikit bingung harus bersikap formal atau santai layaknya pada teman. Tidak tahunya Kai sudah merasa amat damai melihat keduanya dari belakang.

“Tentu,” Hanna menjawab sambil menunjuk telur yang baru selesai direbus. Secara tidak langsung meminta Jenny untuk mengupas semuanya satu-satu.

“Ingin membuat apa?”

“Sehun suka daging. Aku ingin membuat rolade macaroni dan baked stuffed egg.” Hanna mulai memanaskan minyak. Menumis bawang bombay dan bawang putih yang sudah dicincangnya, sedikit mengaduk sampai harum, lalu memasukkan daging giling sampai masak. Barulah macaroni, kacang polong, tepung terigu, keju parut, garam, merica bubuk, gula pasir, dan kaldu sapi; Hanna campurkan ke dalamnya. Tak lupa susu full cream sebagai pelengkap untuk kemudian diaduk sampai kental.

“Sejak kapan belajar memasak?” Jenny bertanya penasaran tanpa melepas kontak mata dari Hanna yang sedang meniriskan olahannya dari pan.

“Sejak menetap di Paris.” Hanna menjawab ringkas. Samar-samar teringat pada dirinya yang dulu—yang begitu ambisius sampai tak peduli pada hal lain selain mengejar mimpi (memasak pun tak bisa). Sedikit termenung juga tentang seberapa buruk sifat dan sikapnya kala itu. Beruntung Sehun hadir dan mengajarkannya bahwa ada hal lain yang jauh lebih menarik untuk dikejar dan dipertahankan, sehingga membuatnya tak lagi fokus pada satu hal saja. Bahkan kini, bagi Hanna, bahasa uang dan bisnis menjadi hal menarik nomor dua setelah cinta.

Kendati demikian, Hanna tetap merasa sifat keras kepalanya adalah hal yang paling sulit ditaklukan. Membuatnya mutlak menjadi manusia biasa yang memang tak sempurna—tak bisa lepas dari kesalahan. Hanna anggap itu cacat yang dimilikinya terlepas dari fisiknya yang tercipta sempurna.

“Sehun benar-benar beruntung memiliki wanita cerdas yang bisa menguasai sesuatu dalam waktu singkat,” goda Jenny—melihat fakta dari waktu keberangkatan Hanna ke Paris beberapa bulan lalu. Netranya pun setia memerhatikan gerak-gerik jemari lentik gadis itu, yang kini tengah meletakkan tiga lembar daging asap di atas kertas alumunium foil. Tak lama, Jenny mulai beralih menata isian telurnya dengan olahan rolade yang Hanna buat. Memarut keju di atasnya lantas memanaskan pan khusus untuk memanggang telur tersebut.

“Apa saja kesibukan yang Sehun ambil akhir-akhir ini?” alih Hanna. Mencari pembahasan yang jauh lebih penting.

“Sehun mengambil tanggung jawab dalam mengawasi perputaran uang FremantleMedia, yang sebelumnya diawasi oleh kantor pusat Bertelsmann di Jerman.” Tunangan dari pria yang sedang duduk memerhatikan itu; langsung menjawab.

“Lalu?” Yang Hanna tahu, FremantleMedia adalah bagian dari RTL Group yang 90% sahamnya dikuasai Bertelsmann. Lebih jelasnya, kantor pusat FremantleMedia ada di London. Yang menjadi pertanyaan, untuk apa Sehun repot-repot menambah beban hidup?

“FremantleMedia ingin menaklukkan pasar Amerika Utara di bawah kepemimpinan kantor pusat Bertelsmann yang saat ini Sehun pegang,” lanjut Jenny sambil membalikkan telur panggangnya di atas pan. Sementara, Hanna setia mendengarkan sembari mengeluarkan roladenya dari oven.

“Kau tahu sendiri American Idol, The X Factor, Take Me Out, Master Chef, dan beberapa program televisi lain yang dipegang FremantleMedia selalu sukses di pasaran. Jadi, Sehun dituntut untuk memilih program-program baru yang sudah disiapkan tim kreatif FremantleMedia. Dan bertanggung jawab penuh atas perputaran uang yang nantinya akan dikeluarkan Bertelsmann untuk anak perusahaannya itu. Ah, kebetulan hari ini rapatnya.”

Hanna tahu soal rapat, meski sebelumnya tidak tahu akan membahas tentang apa. Sekarang, Hanna mengerti mengapa Sehun begitu bersikeras memintanya tetap tinggal dengan alasan akan membuatnya semangat.

“Random House Tower dan 520 Park Avenue juga akan melakukan launching resmi dalam waktu dekat ini. Dari banyaknya bangunan, sudah 70% terjual habis. Tetapi tak membuat Sehun bisa tenang karena harus tetap memikirkan strategi pasar agar semuanya sould out.”

Apa? Hanna mendadak kaku mendengar nama 520 Park Avenue masuk ke dalam pembahasan. Gerakan tangannya memotong rolade pun terhenti bersamaan dengan berbagai macam pikiran yang datang menyerang. Tak kenal ampun melumpuhkan persendian sekaligus ambisinya untuk bersama Sehun. Tubuhnya pun melemas. Menerima olokan menyakitkan tentang siapa dirinya saat ini dan siapa Oh Sehun sekarang.

“Belum lagi memikirkan masalah ini dan itu beserta kegiatan lainnya sebagai seorang pemimpin perusahaan besar. Kadang, aku merasa kasihan melihatnya. Terlalu banyak beban yang harus Sehun tangani dan pikirkan akhir-akhir ini. Jam tidurnya bahkan berkurang. Tak jarang juga Sehun mengaku hanya tidur tiga jam per hari,” sambung Jenny sambil mengangkat dan menata telurnya ke atas piring saji. “Jika bisa, aku sangat ingin mengurangi kesibukannya.”

Cukup, Jen. Pemaparan tentang seberapa penting seorang Oh Sehun untuk ribuan karyawan hanya membuat Hanna semakin merasa tak pantas bersanding dengannya. Tanpa tahu Sehun bekerja mati-matian untuknya, untuk bisa memilikinya, untuk bisa mendapat pengakuan kekuasaan dari para petinggi Bertelsmann. Sungguh disayangkan, Hanna mati rasa untuk sekadar memahami maksud tersembunyi di balik itu dengan baik.

“Apa yang sedang kau lakukan di sini?”

Tersentak. Suara bariton menyadarkan Hanna dari pikiran malang. Dengan dasi dan jas ditenteng; Sehun mengambil tempat di samping Kai. Melirik Jenny yang melambai dan berakhir dengan jatuh menatap wajah datar kekasihnya. Tak lama, hanya sesaat. Hanna sudah kembali menunduk memerhatikan kegiatan Jenny menata makanan. Tidak untuk Sehun yang berhasil menangkap sendu dari sorot mata bening itu.

“Aku ingin sarapan bersama dengan sahabatku, tidak boleh?” Kai tak kalah sinis menjawab pertanyaan Sehun.

“Mengganggu saja.”

“Itu lebih baik daripada Hanna tak bisa sarapan karena terus kau cumbu.”

“Kai,” Jenny mengingatkan dari arah depan.

“Biarkan saja,” Hanna kalem. Melanjutkan kegiatannya menggoreng rolade dengan mentega.

“Aku pria penuh tanggung jawab. Jangan khawatir,” ujar Sehun; sengaja menggoda dengan senyum miring—yang hebatnya bisa langsung dimengerti dengan baik oleh si Pria Kim. Sontak saja memerhatikan jemari lentik Hanna; mencari-cari cincin kesucian gadis itu di sana.

“Kau menipuku,” sebal Kai dengan suara rendah setelah mendapati Hanna masih menggunakan purity ring-nya.

“Aku tidak mengatakan pernah mengangkat gaunnya, bukan?” bisik Sehun, tak kalah pelan. Secepat kilat kembali menjauhkan jarak dari wajah Kai saat menyadari Hanna dan Jenny sudah selesai dengan makanan di tangan.

Tetapi Kai malah kembali meregas jarak dengan mendekatkan bibir ke telinga putih miliknya. “Aku tak masalah jika memang kau sudah tak tahan. Buktikan saja kau cukup perkasa untuk membuat Hanna memiliki bayi mungil setelah itu,” hasut Kai membuat Sehun mencipta senyum ambigu. Serta-merta membawa matanya menatap Hanna yang sedang menyusun makanan di atas meja.

Terus mengikuti pergerakannya yang tak lekas duduk seperti apa yang Jenny lakukan sekarang. Hanna malah menyempatkan diri memutar meja; menghampiri, lalu mengambil posisi berdiri di belakang Sehun. Mengambil dasi hitam dari pangkuannya dengan sedikit merunduk, lantas mengalungkan kain panjang itu di leher. Disusul gerakan ringan mengancingkan bagian teratas kemeja merah maroon tersebut—yang membuat Sehun sebagai pemilik refleks mendongak. Dengan seksama memerhatikan wajah teduh Hanna yang menunduk; kali ini, membuatkan simpul dasi untuknya.

Manis, ya? Jenny membatin. Berniat meniru gaya elegan Hanna dalam membuat Sehun terpesona, kendati hanya membuatkan simpul dasi dengan posisi tak biasa. Kai pasti menyukainya. Melihat sekarang saja Sehun tak malu menahan rahang Hanna. Mencium bibirnya lembut dengan memberikan sedikit tekanan dan lumatan.

Kai yang juga melihat titik gerak peraduan pagi itu pun berdeham. Mengusir atmosfir kasmaran dari acara sarapan bersama mendadak tersebut. Jenny malah sudah menggaruk tengkuk, tak nyaman. Namun Sehun dan Hanna bersikap masa bodoh dengan kembali membahas topik semalam.

“Jam berapa jadwal keberangkatanmu, hm?” Rupanya Sehun memutuskan untuk mengalah. Memberikan elusan manja di pipi kekasihnya dengan tatapan memuja. Tak sanggup jika wajah sendu yang sempat ada itu karena egonya yang memaksa untuk tetap tinggal.

“Hari Minggu pagi, jam sembilan,” jawab Hanna, lembut. Sama, memutuskan untuk mengalah juga. Sesaat keduanya saling melempar senyum ringan, melepas beban.

“Kau penuh kejutan pagi ini, Sayang.” Lagi, satu ciuman Sehun berikan.

“Hanya untukmu,” bisik Hanna menggoda. Membuat bulu roma Sehun meremang ingin merasakan napasnya lagi. Sayang, Hanna sudah kembali menegakkan tubuh. Merapikan cekikan dasi sekaligus bagian belakang kerah kaku milik prianya. “Sudah, cepat habiskan sarapanmu atau kau akan terlambat.”

Oh, dengan senang hati. Sehun malah ingin terbang rasanya mendapati sisi lunak Hanna, namun tak bertahan lama saat gadisnya itu meminta, “Jika boleh, aku ingin pergi ke kantor bersama Kai.”

Lalu, kebahagiaan Sehun pun berlanjut setelah menyadari betapa manisnya Hanna saat meminta izin darinya. Membuat hati dan pikirannya berontak keras menuntut untuk segera menjadikan Hanna seorang istri.

“Tentu. Aku akan menjemputmu di jam makan siang. Dan kau—Kai, jaga istriku dengan baik.”

“Teruslah bermimpi Oh Sehun,” cibir Kai. Lupa, tak menggunakan volume rendah.

Emosi itu seperti angin. Sulit dikendalikan dan akan membuat tersesat jika diikuti. Seperti halnya dengan apa yang Sehun lakukan saat ini. Bukannya menjemput Hanna di Battery Park setelah rapat usai, emosinya justru membawanya melaju menempuh empat jam perjalanan ke Maryland bersama Aston Martin. Berniat menemui seseorang untuk membuat perhitungan berlandas bisnis. Kedatangannya bahkan sudah disambut di depan sebuah gedung bertingkat berhias pohon warna-warni.

Sehun tak perlu menautkan alis demi mengenali siapa pria yang berdiri dengan setelan jas formal dan kemeja toska di ujung anak tangga. Mata cokelat terang dan rambut spiky dengan potongan rapi sudah menjadi ciri khasnya. Sehun juga hafal postur tubuh itu, sekalipun melihat dari jarak 100 meter.

Namun di saat jarak hanya terhitung satuan, keduanya malah bersikap seolah asing—tak saling mengenal. Diam, beradu pandang. Sehun juga tak lagi meneruskan langkah menaiki anak tangga. Beruntung Pria Lebanon itu berdeham, memulai sapaan, “Maaf untuk kejadian dua minggu lalu. Aku terbawa emosi.” Oh, itu bukan sapaan, melainkan pengakuan dosa. Tak ayal senyum tipis memeta wajah tampan Sehun sampai tak sadar telah sedikit menunduk. Kemudian melangkah lagi; menepuk dua kali bahu sahabatnya ketika berhasil menaiki semua anak tangga.

“Akan kujaga Hanna seperti apa yang kau inginkan. Oleh sebab itu, aku datang kemari. Aku harap, kau tidak keberatan jika keadaan mengharuskanku bermain dengan ayahmu.” Sehun mengungkapkan maksud dan tujuannya menghubungi Skandar. Alasan mengapa ia memintanya untuk mengatur pertemuan dengan David Willard.

“Selagi itu tak berarti membunuh atau memukul wajahnya,” Skandar menanggapi santai. Tak segan merangkul bahu Sehun—lebih tepatnya mengalungkan sebelah tangan ke leher—untuk kemudian menuntunnya menuju ruang milik sang ayah. Membuka pintunya ringan saat tiba, lalu menginterupsi kegiatan orang di dalamnya dengan sapaan, “Hi, Dad.”

Yang merasa terpanggil pun mengangkat wajah. Melepas kacamata bacanya, lantas memicing mendapati pemuda tampan di samping putranya. “Sehun?” Selang sekian detik senyum tipis pun menyambut kedatangan dua bujangan tampan itu. Diam-diam memastikan tak salah mengenali wajah—yang seharusnya memang tidak salah, mengingat tak hanya sekali dua kali bertemu dalam berbagai macam acara berbasis bisnis.

“Ya, Paman. Apa kabar?” Sehun mengulurkan tangan dan disambut hangat oleh pria beranak satu itu.

“Baik. Kau sendiri apa kabar, Nak?” Willard bertanya sambil memersilahkan Sehun untuk duduk di sofa tengah ruang.

“Lebih baik setelah bertemu Paman,” seloroh Sehun, tak melepas wibawa.

“Langsung saja,” Skandar ikut bersuara dari samping Sehun. Mencegah perbincangan tak penting mengawali pembukaan sehingga membuat sang ayah menaikkan sebelah alis, bertanya, “Ada apa?”

Sehun pun berdeham. Skandar agaknya memiliki nilai tata krama jauh dibawahnya. Jika sudah seperti ini, tak ada pilihan lain lagi selain langsung masuk ke inti masalah tanpa menjunjung tinggi nilai kesopanan berbicara dengan orang tua.

Namun belum sempat mulut Sehun mengecap kata, Skandar sudah kembali menginvasi. “Kedatangan Sehun kemari untuk menemuimu, Dad,” katanya; sama sekali tak menunjukkan kesan santai. “Berhubung dengan turunnya diagram saham Ritz-Carlton dan …,” Menjeda hati-hati, sebelum menegaskan, “—keinginan Daddy untuk menjadikan kekasihnya sebagai tunanganku.”

“Lalu?” Willard menelengkan kepala ke kanan. Bersurat menaruh minat pada usaha dan keberanian Sehun menemuinya.

“Sebelumnya maaf atas kelancangan saya menemui Paman di jam kerja,” Sehun mengawali. Tak lepas menatap lawan bicara dan melanjutkan, “Awalnya, saya berniat menemui Arne Sorenson langsung, namun rasa hormat saya kepada Paman sebagai ayah dari Skandar, menghalangi,” sambungnya. Membiarkan lawan bicara mencerna itikad baiknya dalam berbasa-basi.

“Untuk itu, saya tak hanya membawa raga dengan tangan kosong sebagai ganti jika Paman tidak menolak untuk mengembalikan keadaan Ritz-Carlton seperti semula dengan Jo Khaza sebagai pemimpinnya,” terang Sehun, to the point.

Willard mengangguk ringkas. “Jika Nona Khaza menjadi menantuku, maka semuanya akan kembali seperti semula. Aku tak butuh penawaran apa pun darimu, Nak.”

“Daddy!” Skandar terpancing mendengar penolakan sang ayah.

“Skandar, perhatikan nada bicaramu!” Sehun meliriknya sesaat, lalu kembali menatap Willard dengan senyum tipis. “Tidak baik jika mengambil keputusan sebelum mendengar apa yang ingin orang lain katakan, Paman.”

“Kau sedang mengajariku?”

“Sama sekali bukan itu maksud saya,” elak Sehun. Mengumpat dalam hati sambil mengais kesabaran lebih banyak. “Niat saya hanya ingin memberikan penawaran sebagai lakon bisnis yang sama-sama gila keuntungan. Itu pun jika Paman tidak menolak karena saya tak bisa menjamin e-mail berisi ancaman yang Hanna terima tak akan menjadi konsumsi publik.”

Willard kecut. Sempat lupa sedang berhadapan dengan penerus perusahaan media terbesar di dunia. Tentu bukan hal mustahil untuk Sehun membuat namanya jatuh menggantikan Jo Khaza. Secara garis besar, Bertelsmann beserta jajarannya memang berdiri sebagai rumah produksi berbagai macam acara televisi ternama, pun media cetak dengan label besar. Cukup bayangkan jika Sehun memutar balikan keadaan dengan kekuasaan yang dimilikinya. Tak ayal hal tersebut membawa serta-merta senyum menawan Willard alih-alih gentar.

“Kita lihat, apa yang bisa kau lakukan jika aku berkata ‘tidak’ untuk tawaran dan gertakanmu, Nak.”

Aston Martin hitam metalik itu berhenti di depan gedung apartemen mewah di pusat kota Manhattan. Sehun, sang pemilik mobil, tak lantas keluar. Di sampingnya ada Skandar yang memegang kemudi. Keduanya kembali ke New York bersama dalam satu mobil yang ‘kebetulan’ memiliki muatan untuk dua orang. Sehun juga tak keberatan mobilnya dibawa menginap oleh Skandar setelah ini.

“Yakin tak ingin mampir? Ada Hanna di dalam,” tawar Sehun sambil melepas sabuk pengaman.

“Aku sudah bertemu dengannya.”

“Apa?” Sontak, manik elang Sehun memenjara mimik datar Skandar. Sudah bertemu, katanya?

“Ya. Aku yang menjemputnya di Bandara. Aku yakin Hanna tak mengatakan soal ini padamu, tapi kurasa, kau harus tahu …,” Skandar menjeda, menjilat bibir cepat. “—Hanna juga menemui Ayahku, yang kemarin siang kebetulan berada di Manhattan.”

“Untuk?” Tenang. Sebisa mungkin Sehun mengesampingkan rasa cemburu selepas mengetahui Hanna menyembunyikan masalah ini. Namun sudah dipastikan, Hanna akan tetap menerima hukuman darinya sebelum tidur.

“Sama sepertimu, namun Ayahku yang memberikannya pilihan. Lalu …,” Skandar menunduk. Mengatur emosi semampunya saat teringat wajah temaram Hanna sebelum meninggalkan ayahnya. “—pergi begitu saja tanpa memberikan jawaban. Namun sangat jelas Hanna terluka atas penghinaan yang diberikan Ayahku. Ia bahkan menolak saat hendak kuantar pulang dan lebih memilih naik taksi. Jujur saja, itu membuatku merasa bersalah sampai tak berani menemuinya lagi.”

Sehun menghela napas. Merilekskan tubuh pada sandaran kursi. “Jangan khawatir, Hanna baik-baik saja sekarang. Ya, meskipun kuakui pembawaannya sangat tenang, tapi asal kau tahu, Hanna itu tak pandai mengendalikan sikap saat terbawa emosi sehingga membuatnya cenderung lebih memilih menghindar. Untuk itu, jangan berpikir yang macam-macam. Hanna tidak mungkin membencimu.”

Skandar balas menatap Sehun, iri. Merasa tertampar dengan adanya fakta bahwa hanya Sehun yang paling mengerti Hanna lebih dari siapa pun. Namun juga membuatnya tenang membiarkan gadis yang dicintainya itu bersama orang yang tepat.

“Lalu, apa yang akan kau lakukan? Ayahku tahu benar kau hanya mengancam dengan menjadikan hubungan kita tolak ukur.” Agaknya Ayah Skandar memang tahu Sehun tak akan sampai hati memermalukannya yang merupakan ayah dari sahabat baiknya sendiri. Tak ayal hal tersebut membuat manik Sehun turun; menatap kosong celana hitamnya.

“Semuanya sudah kuperhitungkan … jangan khawatir. Berhati-hatilah di jalan,” jawabnya, lantas keluar dari dalam mobil. Mengangguk ringkas pada sahabatnya setelah berada di luar, sebelum akhirnya berbalik memasuki lobi. Sedikit berlari kecil demi mencapai elevator dan menekan angka 20 sebagai tujuan. Setibanya, lekas menuju satu-satunya pintu di sana untuk kemudian memasukkan password berisi tanggal lahir gadisnya; 0210.

Matanya berpendar mencari keberadaan tubuh tinggi semampai milik Hanna. Beruntungnya tak butuh waktu lama untuk menemukan punggung gadis itu di dapur. Sedang berdiri dalam balutan sweater rajut shoulder off shoulder—bahu terbuka—dengan rambut dicepol asal bervolume; Hanna tampak cantik seakan sengaja memamerkan tengkuk indah berbulu tipis miliknya.

Untuk itu, jangan salahkan Sehun jika sekarang jas ditangannya dilempar kasar ke sofa, tak lupa membuka kancing teratas kemejanya tergesa—karena demi apa pun itu, jakunnya butuh kebebasan untuk bergerak menelan gumpalan nafsu.

Ha

Show more