2016-01-13



CHAPTER 1

I’M WITH YOU

Author : Choi Sungrin

Genre : Sad, Hurt, Romance.

Rating : 15

Lenght : Chapter

Cast :

Kim Hyena

Park Chanyeol

Kim Joon Myun

Choi Sungrin

DISCLAIMER : Semua cast resmi milik Tuhan dan orang tua mereka masing-masing, author hanya meminjam. Terinspirasi dari kisah hidup teman, sebuah kisah terkenal dari Italia, dan sebuah film ternama di Indonesia.

And the story begin…

[Kim Hyena’s Point of View]

Apakah kalian tau apa itu artinya sebuah kehidupan? Bagiku, hidup adalah suatu hal yang kita jalani dengan keadaan yang teramat sulit dan mahal. Hidup adalah suatu hal yang selalu aku fikirkan selama ini.

Ketika aku memandang langit, aku bertanya-tanya, apakah bintang disana juga memiliki kehidupan sepertiku? Ataukah mereka bernafas sepertiku? Siapapun, beritahu aku apa arti hidup. Untuk apa kita hidup? Apakah aku memiliki alasan yang kuat untuk hidup? Seseorang tolong beritahu aku.

Aku tau, selama aku hidup aku selalu dikelilingi oleh cinta, dan mungkin cinta itulah yang membuat aku bertahan hidup selama ini. Tapi sejujurnya aku tidak mengerti apa arti cinta itu sebenarnya? Membahas tentang cinta itu terlalu abu-abu untukku. Dimana aku tidak pernah tau maksud pasti dari cinta tersebut, semua orang membicarakan cinta, tapi mereka dan tentunya aku belum tentu tau maksud dari cinta itu apa.

Aku mendapat cinta dari keluargaku, tentu, hanya saja, aku merasa mereka tidak menunjukan cinta mereka sepenuhnya untukku. Mereka memberikan cinta, bukan berbagi cinta denganku. Mereka hanya memberi, tanpa peduli bagaimana aku memanfaatkan cinta itu.

Mereka hanya memberikan ku cinta dan kasih sayang yang berlimpah tapi mereka tidak pernah memperdulikan apa yang aku ingin kan, cinta dan kasih sayang mereka hanyalah sebatas formalitas sebagai orang tua. Entah apa yang terjadi, aku merasa cinta yang mereka berikan hanyalah semu.

Sekarang, apa itu cinta? Bagaimana aku bisa tau tentang cinta jika cinta yang selama ini aku rasakan hanya seperti bayangan saja? Bagaimana hubungan tentang cinta itu sendiri dengan kehidupan? Apakah kehidupan membawa cinta ataukah cinta yang membawa kehidupan? Aku tidak tahu. Terlalu sulit bagiku untuk menganalisis sebenarnya apa itu cinta. Kehidupan adalah cinta atau cinta adalah kehidupan?

Kupandang langit diatas sana, disana begitu banyak benda yang bersinar, salah satunya adalah bintang. Apakah kau tau ada bintang yang paling bersinar diantara bintang-bintang yang bersinar itu?

Sirius.

Bintang itu bernama Sirius, yang selalu ingin aku lihat tiap malam. Jujur saja, aku tidak bisa membedakan yang mana bintang dan yang mana satelit sehingga aku tidak tau apa yang kupandang selama ini adalah bintang Sirius atau hanya sebuah satelit. Tapi dalam hatiku yang paling dalam, aku selalu meyakini bahwa bintang yang aku lihat selama ini adalah bintang Sirius. Sirius yang indah bersinar paling terang diantara bintang-bintang yang lainnya, Sirius yang kusukai.

Langit yang cantik bertaburi bintang yang juga sangat cantik, begitu serasi terlukis diatas sana. Sungguh indah maha karya Tuhan, sudah dipastikan tidak ada yang menandingi-Nya. Mereka begitu indah dan serasi diatas sana, menyinari gelapnya malam di bumi. Mereka akan selalu indah, tidak seperti ku yang perlahan berubah menjadi buruk rupa.

“Hyena-ya” terdengar suara Eomma ditelingaku yang seketika membuat lamunanku buyar. Tidak ku sangka wanita itu ada di rumah hari ini, aku fikir ia masih berada dibelahan bumi sana yang tentunya jauh dariku.

“Hyena-ya, ayo makan malam!” terdengar suaranya lagi, kini aku sepenuhnya menolehkan wajahku ke arah pintu berfikir apa kah aku harus turun atau tidak. Menimbang apakah bertemu dengannya kali ini akan berakhir baik atau tidak. Namun setelah aku fikirkan akhirnya aku menuju keluar kamar, tepatnya ke ruang makan.

“Ne” jawabku singkat.

Aku melihatnya sedang menaruh mangkuk-mangkuk dan piring di meja makan, ku lihat juga kakakku sudah duduk rapih disana, memperhatikan Eomma yang masih sibuk mengatur meja makan.

“Chagi, kau harus makan yang banyak. Setelah itu minum obat, dan jangan lupa istirahat. Tutup jendelamu, jangan melihat bintang terus. Kau bisa masuk angin” ia mengatakan itu tanpa melihatku yang masih berdiri disekat pemisah ruang makan dan ruang keluarga.

Aku mendengus pelan, jika dilihat sekilas mata memang ia adalah ibu yang sempurna. Selalu menasihatiku, sayang padaku, memperdulikanku, dan hal baik lainnya. Tapi tidak, aku yang merasakannya, ia terlalu menjaga jarak denganku.

Apakah ada seorang ibu yang dengan sengaja pergi jauh dan pulang seminggu sekali hanya untuk pergi bekerja? Dia terlalu egois, aku membutuhkannya, tapi ia tidak pernah mengerti itu. Bukan hanya nasihatnya, bukan hanya kepeduliannya, tapi aku ingin ia juga hadir disisiku.

“Apakah kau sekarang sudah menjadi bisu?” ku dengar kakakku angkat bicara. Namanya Kim Joon Myun, seorang mahasiswa jurusan bisnis semester akhir, berumur 23 tahun dan 5 tahun diatasku.

“Tidak.” Jawabku singkat lalu berjalan kearah meja makan dan duduk tepat disampingnya. Meliriknya singkat dan kembali menatap kedepan. Kudengar ia mendengus pelan mendapat jawaban dariku, tapi aku tidak peduli.

“Kau boleh mengacuhkanku, tapi jangan pernah kau langgar kata-kataku. Aku tau kau masih sering melupakan jadwal obatmu. Jangan pernah main-main Kim Hyena, aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu.” aku mendengar Eomma berucap datar dari arah dapur, kalimat-kalimat yang sangat aku benci yang dengan mudahnya selalu ia ucapkan untuh menceramahiku.

“Aku bukan Hyena kecilmu, Eomma. Aku tau mana yang seharusnya aku lakukan dan mana yang seharusnya aku tidak lakukan. Sudah cukup, aku sudah dewasa. Jangan perlalukan aku seperti kau benar-benar peduli padaku.” ucapku dengan nada yang sedikit meninggi. Aku benar-benar tidak suka membicarakan hal ini, terlihat lemah dan tidak berdaya bukanlah aku, bukanlah Kim Hyena. Aku membenci segala hal pembicaraan mengenai obat, rumah sakit, dan segala bentuk ketidak berdayaan lainnya. Demi Tuhan, bisakah di dunia ini tidak ada hal yang seperti itu?

“Tapi Hyena, kau itu-”

“Apa? Aku lemah? Iya aku tau, tapi aku tidak selemah apa yang kau fikirkan. Aku masih bisa bertahan selama ini, bahkan aku masih bisa bernafas walaupun seumur hidupku ini aku menderita, walau kau tidak pernah datang setiap aku memohon kau datang. Walau Appa dan Eomma selalu pergi kesana-kemari tapi tidak pernah pergi kepadaku disaat aku membutuhkan kalian.” aku berdiri dengan kasar, kemudian berbalik kembali menuju kamar. Aku fikir ini akan berakhir baik, tapi nyatanya nihil. Pertemuanku dengannya akan selalu berakhir dengan aku yang pergi menjauh atau dia yang esoknya tak ku temui di dalam rumah ini.

****

Aku mendengar suara pintu yang terbuka dan tertutup, mataku terpejam tapi aku tidak tidur. Hanya ingin merasakan ketenangan untuk mengubur semua amarahku yang selalu terpendam. Hal yang selalu aku lakukan jika terjadi hal seperti tadi.

“Jangan seperti ini, dia hanya tidak ingin kau sakit.” aku mendengar suara Joon Myun Oppa dibelakangku, posisi ku saat ini memang memunggungi pintu.

Terdengar suara benda yang ditaruh diatas nakas disamping tempat tidurku, entahlah aku tidak tau mungkin nampan yang isinya makanan. Lalu kurasakan ia mengelus kepalaku, hal yang biasa ia lakukan dulu saat aku marah. Hal yang selalu ia lakukan ketika aku merasa sedih atau hal yang ia lakukan saat ia ingin meminta maaf. Aku tidak tau dari ketiga alasan tersebut mana alasan yang ia gunakan untuk mengelus kepalaku saat ini.

“Kami semua sayang padamu, jangan fikirkan hal lain. Kami berjuang seperti ini, untuk melihatmu sembuh, melihatmu bisa menjadi normal.” ucapnya yang membuatku langsung membuka mata. Normal? Memangnya selama ini aku kenapa? Aku bukan manusia normal? Atau aku gila, depresi atau apa? Hell, aku hanya sakit bukan berarti aku tidak normal.

“Kau baru saja mengatakan bahwa adikmu ini tidak normal” jawabku mengingatkan, tangannya terhenti mengusap kepalaku sesaat kemudian ia kembali melanjutkannya. “Aku tidak tau, tapi mana ada manusia normal yang dilarang untuk berlari.” jawabnya mencoba mencairkan suasana.

Aku sedikit tersenyum karena tiba-tiba terlintas diingatanku saat ia menggendongku di punggung untuk mengikuti lomba lari saat aku sekolah dasar dulu. Karena aku begitu ngotot untuk mengikuti lomba tersebut akhirnya dia mengizinkan dengan syarat aku harus digendong.

“Apa kau lelah?” tanyanya, entah maksud pertanyaan ini apa. Lelah dengan pertengkaranku dengan Eomma atau lelah dengan hidupku? Tapi dari kedua pertanyaan itu aku memang memiliki jawaban yang sama, “Ya” jawabku.

“Makanlah dulu, setelah itu minum obat. Appa akan pulang besok, tapi aku tidak yakin ia akan berada disini.” ia menepuk pundakku dua kali, kemudian pergi keluar dari kamar ini. Entah apa hal gila yang selalu membuatku tidak bisa membantahnya, Oppa adalah satu-satunya orang dirumahku yang selalu ada untukku. Ia begitu tegar, walau terkadang sangat menyebalkan. Jika marah ia akan mengucapkan kata-kata tajam, tapi setelah itu ia akan bersikap lembut bagaikan malaikat tanpa sayap.

Sejujurnya aku sangat menyayangi keluargaku yang aneh ini, Appa yang memiliki dunia sendiri bersama perusahaannya, Eomma yang menyibukkan diri menghadiri acara sosial tanpa ingat ada aku yang masih membutuhkannya, Oppa yang seperti memiliki dua kepribadian karena kadang dia terlihat begitu tempramental dan kadang terlihat seperti malaikat. Entah apa yang terjadi padaku, mungkin hal-hal seperti itu membuatku sangat sensitive. Merasa terabaikan, padahal aku membutuhkan perhatian khusus.

Aku menatap nampan berisi makanan dinakas samping tempat tidurku, kemudian mulai bangun dan memakannya perlahan. Menikmati kembali malam yang sunyi dikamar ini sendirian.

****

Pagi ini aku terbangun tanpa merasakan apa-apa, aku tidak bisa menggerakan tangan dan kakiku. Aku tidak tau apa yang terjadi, aku tidak pernah seperti ini. Biasanya aku terbangun dengan kepala yang sangat berat atau terbangun dengan darah di hidungku, tapi tidak sampai seperti ini. Aku hanya bisa menggerakan kepala dan mataku, bahkan untuk berbicarapun sulit.

Apa ini akan menjadi lebih sulit lagi? Atau lebih parah lagi? Entahlah aku tidak menginginkan keduanya. Hal yang paling kubenci adalah melihat darah dipagi hari, namun aku rasa sekarang yang paling ku benci telah berubah yaitu tidak bisa bergerak dipagi hari.

Aku masih bisa mendengar berbagai aktivitas diluaran sana, tidak ramai tapi aku tau bahwa dirumah ini masih ada orang. Tapi hey, tidakkah ada yang menyadari bahwa kamarku ini terlalu sunyi. Tidak kah ada yang menyadari biasanya aku sudah bangun jam segini? Tidak adakah yang bisa menyadari bahwa aku kesakitan saat ini?!

“Hyena-ya, kau sudah bangun?” kudengar Joon Myun Oppa berteriak diluar sana, aku ingin menjawab tapi aku sama sekali tidak bisa mengatakan apapun. Bahkan untuk mendorong gelas itu untuk jatuh saja aku tidak mampu.

Aku terdiam, mataku bergerak-gerak gelisah. Kepalaku mulai berdenyut, hal yang sering aku rasakan. Aku tau ini masih ringan, tapi seperti biasanya ini akan menjadi sangat mengganggu. Keringat dingin mulai membasahi dahiku, hal yang cukup sering terjadi jika keadaanku seperti ini.

Tuhan, siapapun tolong aku!

“Hyena-ya, gwaenchana? Apa kau sudah bangun?” kudengar suara Joon Myun Oppa lalu disusul dengan ketukan pintu, sepertinya ia sedang berdiri didepan pintu kamarku. Aku ingin sekali menyahutinya, tapi tak ada suara yang keluar sama sekali. Aku merasa benar-benar bisu sekarang.

Tuhan apa yang terjadi, kepalaku semakin berdenyut menyakitkan. Benar kan apa yang aku fikirkan tadi, dia selalu datang seenaknya merusak sistem kerja tubuhku lalu membuat rasa sakit yang ringan kemudah diakhiri dengan tajam. Apakah ini adil? Hidupku bagaikan tak berguna, hidupku hanya menyusahkan orang lain!

“Hyena!! Kim Hyena! Jawab aku” teriaknya lagi dari luar, mungkin ia sudah menyadari bahwa ada sesuatu yang terjadi padaku. Kemudian aku mendengar pintu terbuka. Aku sontak melirik kepadanya memberikan tatapan permohonan untuk menolongku. Wajahnya begitu panik, ia sempat terpaku melihatku. Aku tidak tau apakah ada sesuatu yang aneh?

Aku ingin mengucapkan Oppa tolong aku, tapi tidak bisa. Kesadaranku pun semakin menipis, wajahnya mulai terlihat menjadi banyak. Buram, semuanya buram. Tuhan ku mohon selamat kan aku. Doaku yang terakhir sebelum semuanya berubah menjadi gelap.

“Hyena!”

****

Aku tersadar tepat malam hari. Tersadar dengan terbaring di rumah sakit menjadi pilihan terakhirku. Jujur, ini diluar ekspetasiku, aku fikir aku hanya akan berakhir dirumah dengan selang infus ditanganku. Bukan seperti ini, tentu dengan infus tapi bertambah oksigen yang menutupi hidungku ini. Menyebalkan, ingin sekali aku melepasnya namun tanganku begitu terasa lemas.

“Hyena” kudengar suara Joon Myun Oppa memanggilku pelan, aku menoleh keasal suaranya. Ia sedang mengusap-usap mata kanannya, terlihat seperti bangun tidur, apa memang ia baru saja bangun?

Ia menghampiriku dengan seulas senyum yang sangat aku sukai, “Kau bangun?” tanyanya, kemudian ia menekan tombol yang berada disampingku. Aku hanya mengangguk lemah sebagai jawaban dari pertanyaan bodohnya itu. “Syukurlah,” desahnya lega.

“Oppa…” panggilku dengan suara yang cukup lemah, tapi aku bersyukur bahwa kini aku bisa mengeluarkan suaraku lagi.

“Shht..” ia menaruh telunjuk diatas bibirnya pertanda aku harus diam, “Diamlah, dokter akan memeriksamu sebentar lagi.” kemudian tak lama setelah ia berbicara seperti itu, masuklah dokter beserta susternya. Mereka memeriksa oksigenku, infusku, detak jantungku, dan mataku. Aku tidak tau apa yang sebenarnya mereka lakukan, jadilah aku hanya terdiam menunggu apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.

****

Aku berjalan dengan santai disepanjang koridor sekolah, sudah hampir seminggu aku tidak hadir, mungkin sudah banyak hal yang berubah disini atau mungkin tidak. Tapi sepanjang mata memandang tidak ada yang berbeda dari sini.

Beruntung kata dokter kemarin hanyalah salah satu serangan ringan yang terjadi padaku, aku fikir, sangat sialan dokter itu! Hal seperti itu dibilang serangan ringan, kemudian kata dia lagi, seharusnya aku menjalani pengobatan lebih serius bukan hanya obat sialan yang selalu aku konsumsi. Kemungkinan akan ada serangan lebih hebat dari yang kemarin jika aku tidak serius berobat, great!

“Hyena!” seseorang memanggilku dari kejauhan, namun aku masih bisa melihatnya dengan jelas. Seorang pria aneh yang belakangan ini selalu mengusik hidupku. Entah apa yang ia inginkan, playboy cap kapak itu berjalan kearahku dengan gaya sok cool nya dan membuat seluruh mata wanita memandanginya.

Aku memutar bola mataku, kemudian membalikan badan dan mulai berjalan kearah sebaliknya. Malas bertemu dengan orang aneh sepertinya. Namun semakin langkahku menjauh, semakin lantang pula suaranya memanggilku, benar-benar mengganggu.

“Hyena! Kim Hyena!!” suaranya semakin dekat, aku semakin mempercepat langkahku juga.

“Hey! Hey! Kim Hyena!” tiba-tiba ia muncul didepanku sambil mengangkat tangannya, meminta aku untuk berhenti. Dia terlihat ngos-ngosan, siapa suruh mengejarku.

Aku menatapnya sinis namun ia membalas tatapanku itu dengan senyuman, senyuman aneh khas playboy, jelas. “Astaga Hyena-ya, kenapa kau berjalan cepat sekali,” keluhnya dengan memasang wajah semelas-melasnya. Aku melipat tanganku, baiklah, hadapi orang ini sebentar kemudian aku bisa pergi. Baik Kim Hyena, sebentar saja.

Ekspresinya tak lama berubah, berganti kembali menjadi senyuman aneh itu. “Kau kemana saja Hye? Kau tidak masuk hampir seminggu, apa sesuatu terjadi padamu?” tanyanya terdengar sok khawatir ditelingaku. Asal kalian tau, pria sepertinya hanya akan memberikan perhatian kepadamu saat waktu tertentu saja. Setelah puas denganmu, ia akan segera beralih kepada wanita lain yang mungkin bisa saja lebih baik darimu atau mungkin lebih buruk darimu.

“Bukan urusanmu,” jawabku singkat. Ia menghela nafas, mungkin kecewa juga mendengar respond ku yang sedikit sekali ketika berbicara padanya. “Hye, apa kau ada acara malam ini?” ekspresinya kemudian berubah lagi menjadi ceria, astaga berapa banyak ekspresi yang ia punya?

“Tidak,” jawabku lagi, terlalu malas meladeni orang seperti dia. Playboy cap kapak dengan senyuman aneh dan sejuta kharismanya. Aku akui dia berkharisma, tapi oh dia benar-benar aneh, menyebalkan, terlalu over, terlalu percaya diri dan masih banyak lagi keburukan yang mungkin tidak ku ketahui.

Matanya berbinar cerah mendengar jawabanku, “Apa kau ingin pergi denganku?” tanyanya bersemangat sekali, rasanya membuatku ingin muntah saat itu juga. “Tidak, sudahlah, aku banyak urusan.” ucapku sebagai tanda akhir dari perbincangan konyol ini.

Aku berjalan meninggalkannya, kemudian terdengar lagi suaranya, “Tapi kau harus pergi dengan ku lain kali” namun aku hanya bergumam dan mungkin ia masih dapat mendengarnya.

****

“Hai, akhirnya setelah sekian lama, kau kembali!” Pekik seorang gadis heboh ketika aku baru saja mendudukan pantatku dikursi kelasku. Dia, teman semejaku, kurasa namanya Seungri, Sungri, Songri entahlah aku tidak terlalu mengingatnya, yang kutahu nama keluarganya adalah Choi.

Aku hanya tersenyum tipis mendengar kata-katanya, sangat tipis hingga rasanya mugkin dia tidak bisa melihat senyumanku. “Kau tahu, Chanyeol selalu mencarimu. Seharusnya kau merasa bangga karena ya, dia, pria pujaan satu sekolahan ini mencarimu. Kau tahu, kau sangat beruntung. Ah jujur saja, aku sudah menyukainya sejak aku satu sekolah dengannya saat junior high tapi aku sadar diri. Mungkin aku kurang tinggi, atau mungkin karena aku terlalu hitam ya? Atau…”

Ia mulai mengoceh lagi, entah siapa dan apa yang ia bicarakan aku tidak paham sama sekali. Terlebih, ia bicara tanpa jeda, membuatku pusing mendengar ocehannya. Aku melihatnya yang terus mengoceh, jika difikir-fikir, gadis ini selalu mencoba mengajakku berbicara sejak kami duduk bersama disini tapi respond ku sedikit sekali. Kadang aku merasa kasihan melihatnya seperti sedang berbicara dengan patung, bisa-bisa nanti ia dianggap gila. Oh, atau aku yang gila?

“Siapa Chanyeol?” tanyaku datar tanpa ada rasa penasaran sama sekali, hanya sebagai rasa simpati karena gadis ini selalu menjadi orang yang cukup baik dikelas ini.

Ia langsung terdiam, memandangku dengan pandangan tidak percaya. Kurasa sebentar lagi matanya akan keluar jika ia tidak segera berkedip, “H..Hey, k..kau tidak tau Chanyeol?” Entah mengapa aku merasa reaksi nya begitu berlebihan, lagipula siapa Chanyeol? Kurasa tidak ada yang penting tentangnya.

Aku mengangguk tak acuh, tidak benar-benar tertarik membahas seseorang yang bernama Chanyeol tersebut. “Kau. Adalah. Satu. Satunya. Gadis. Terbodoh. Yang. Ku. Kenal” ucapnya sambil menekankan setiap katanya. Aku memutar bola mataku, dikatai bodoh adalah pilihan terakhirku.

“Astaga, Hyena-ya! Kau tidak tau Chanyeol? Park Chanyeol?” Pekiknya heboh tak percaya, aku menggeleng dengan tampang polos, mungkin agak terlihat bodoh juga atau bingung? Ah entahlah.

“Astaga! Kim Hyena! Chanyeol itu adalah pria tertampan seangkatan ini! Kau benar-benar tidak tahu?” Yang menjadi pertanyaanku kali ini adalah mengapa aku harus tau tentang pria tertampan itu? Siapa dia? Apa dia penting untukku? Atau dia peduli padaku huh? Aku mengibas-ngibaskan tanganku kearah gadis yang sedang membungkuk didepan mejaku. “Aku tidak peduli, lupakan.”

“Astaga, Hyena, aku benar-benar ingin memakanmu hidup-hidup” Ia menggigit kelima jarinya sebagai peringatan bahwa ia akan memakanku hidup-hidup. Aku berjengit. Tidak, bukannya aku merasa takut. But, it’s really disgusting, right?

Tak lama terdengar suara bel masuk, yang membuat gadis itu terkesiap dan segera duduk disebelahku.

****

Rumah ini terasa sepi sekali, benar apa yang aku bilangkan? Wanita yang mengaku ibuku pergi dan tidak akan kembali dalam waktu dekat setelah pertengkaran terakhir kami. Ini bahkan sudah berlalu seminggu sejak aku keluar rumah sakit, tapi tidak ada yang menanyai kabarku. Baik wanita yang mengaku sebagai Eommaku atau pun pria itu.

Sejujurnya, aku sangat tidak mengerti apa yang membuat mereka menjadi seperti ini. Kami mengawali semuanya dengan keceriaan yang bahkan rasanya tidak ada suatu hal yang terjadi pada keluarga ini. Kami baik-baik saja.

Dulu, aku memiliki Appa yang akan pulang pukul 5 sore, lalu mempunyai Eomma yang setiap hari selalu memasakan makanan enak untuk kami, dan mempunyai Oppa yang selalu menjadi guardian angel-ku. Bukankah itu sempurna? Tapi mengapa rasanya kini begitu berbeda? Apa yang telah terjadi?

Mungkin sejak malam itu berubah. Saat aku berumur 7 tahun. Malam itu aku merintih kesakitan, tidak seperti biasanya, maksudku biasanya hanya demam dan seluruh tubuhku menggigil. Tapi ini berbeda. Rasanya begitu sakit. Setelah itu, yang ku tahu aku terbangun di ruangan putih khas rumah sakit dan bebauan aneh yang menusuk indra penciumanku.

Eomma menatapku iba, ia tidak tersenyum, tidak pula menyapaku hangat seperti biasanya. Ia hanya bisa menangis dan menangis. Aku bingung, disana hanya ada Eomma dan Oppa-ku yang duduk disofa. Tidak ada Appa. Aku tidak tahu kemana dia.

“Eomma, Appa eoddiga?” tanyaku serak, entah apa yang terjadi pada suaraku. Ia menggeleng, tatapannya begitu kecewa. Aku juga tidak tau sebenarnya ia kecewa kepada siapa, kepadaku atau Appa? Kemudian ia berbalik dan pergi meninggalkan ku dengan Joon Myun Oppa.

Mulai saat itu semuanya berubah, Appa yang jarang pulang, Eomma yang selalu menghindariku. Aku hanya sendiri, ya, sendirian. Meski ada Joon Myun Oppa yang menemaniku aku tetap merasa sendirian. Tidak ada satupun yang mau menjawab pertanyaanku, tidak ada. Mereka hanya diam membisu, tak ingin rasanya membocorkan sedikit rahasia yang mereka simpan.

Hingga suatu malam aku terbangun dari tidurku karena terdengar teriakan dari lantai 1, tidak biasanya seperti ini, walau 2 tahun setelah kejadian itu kami hidup dalam keterdiaman dan terlihat harmonis tapi belum pernah sampai berteriak marah seperti ini. Aku duduk diujung tangga teratas, mecoba mencari tau apa yang terjadi.

“Kau dulu begitu menyayanginya! Tapi kenapa kau sekarang berubah! Dia hanyalah anak kecil yang tidak tau apa-apa! Kau keterlaluan!” teriak ibuku, aku tidak bisa melihat apa yang sedang ia lakukan dan dengan siapa ia berbicara. Aku hanya bisa mendengarnya.

“Dia hanya sakit! Kenapa kau meninggalkannya?! Apa kau tega?! Ayah macam apa kau ini!” bentak ibuku lagi. Aku hanya terdiam saat itu, tidak mengatakan satu patah katapun, bahkan tidak menangis sama sekali. Mungkin, air mataku telah habis karna menangis selama 2 tahun terakhir.

“Apa kau bilang?! Kau ingin menyangkal hal itu hah?” kini terdengar suara berat dari seorang pria yang kutahu suara Appa. Oh, jadi mereka bertengkar?

“Kau tau! Dokter itu sudah jelas bilang bahwa diantara tulang sumsum kita tidak ada yang cocok dengannya! KAU TAU APA MAKSUDNYA ITU?!” ia berteriak, kali ini aku benar-benar terkejut. Bingung harus bersikap seperti apa, aku hanyalah anak kecil yang terkadang belum mengerti maksud tersirat dari beberapa kata. Apa? Tulang Sumsum? Apa itu? Dan dia siapa? Fikirku saat itu.

“Dan kau sudah jelas tau, surat itu mengatakan bahwa DIA BUKAN ANAKKU!! HYENA BUKAN ANAKKU!!!!” suaranya layaknya petir yang menyambar, hatiku begitu terasa sakit mendengarnya. Namaku disebut, pria itu bilang aku bukan anaknya. Setetes airmata membasahi pipiku, aku meremas dadaku, rasanya begitu sakit mendengarnya. Tuhan katakan padaku mereka hanya bercanda.

“Kalau dia bukan anakku, lantas BISA KAU JELASKAN BAGAIMANA BISA DIA BERADA DISINI SEKARANG?!” teriak pria itu lagi. Aku tetap bertahan, memutuskan mendengarkan hingga akhir. Entah mendapat kekuatan darimana, aku tetap duduk disini mendengarkan teriakan-teriakan mereka dengan air mata yang benar-benar telah membasahi pipiku. Aku sesegukan.

“AKU TIDAK TAHU! DEMI TUHAN AKU TIDAK TAHU!!!!” Eomma terdengar berusaha mengelak, suaranya terdengar parau. Mungkin ia menangis. Yang ku fikirkan sekarang, mengapa ia bilang tidak tau? Sedangkan aku berasal dari rahimnya? Sebenarnya permainan apa ini?

“Jangan mengelak, aku tahu kau dulu pernah kembali berhubungan dengan mantan kekasihmu kan?” kini suara Appa terdengar lebih rendah namun terdengar menyeramkan ditelingaku. Ia tertawa mengejek, mungkin mentertawakan kelakuan Eomma selama ini.

Tiba-tiba aku merasa telingaku tertutup, hasilnya hanya suara samar yang terdengar. “Jangan dengar, aku mohon.” bisik seseorang itu, Oppa ku. Guardian Angel.

Suaranya terdengar parau, mungkin sedih melihatku. Ia membimbing ku berjalan kearah kamarku, meski terdengar samar aku masih mendengar seruan-seruan mereka.

Ia menyuruhku berbaring diranjang single bed ku ini, menarik selimutku hingga leher. Aku menatapnya dengan airmata yang terus mengalir dan nafas yang sesegukan. Ia menatapku sedih, aku tau matanya itu menyiratkan rasa sayang yang sangat kepadaku.

“Apa yang Eomma dan Appa bicarakan? Apakah aku memang bukan anak-”

“Shht,” ia menaruh telunjuknya dibibirku, “Jangan fikirkan apapun, ini sudah malam. Kau tidurlah, Oppa akan disini bersamamu.” ia mengelus kepalaku hingga aku tertidur dengan airmata yang masih menganak sungai.

Mulai saat itu Kim Hyena berubah, aku berubah, menjadi diam, tidak ingin bertanya pada siapapun. Tidak meminta penjelasan apapun. Ini sudah jelas, aku tidak butuh penjelasan-penjelasan sialan yang mungkin akan menambah rasa sakit ini. Untuk pertama kalinya, aku sangat-sangat berterima kasih karna Tuhan telah mengirimkan penyakit ini untukku, itu pertanda aku tidak hidup lama.

Tapi sialnya, penyakit itu tetap ada hingga kini, ia menyakitkan tapi tidak membunuhku juga. Mengapa begitu lama sekali? Aku ingin segera pergi jauh, sesuai apa keinginan mereka. Atau tidakkah kalian sadari seharusnya aku memang tidak ada dan tidak pernah ada didunia ini? Mungkin tidak ada pertengkaran Appa dan Eomma, mungkin mereka masih bisa bersama hingga sekarang, mungkin Oppa ku akan hidup tenang, tidak perlu merasa sedih atau terbebani karna aku. Seharusnya aku memang tidak ada, tidak dilahirkan, bahkan seharusnya aku tidak perlu menjadi janin.

Sialan sekali. Apakah aku terlihat begitu menyedihkan sekarang?

“Kau baik-baik saja?” terasa sebuah tepukan mendarat dibahuku, aku menoleh, Oppa. Ia memandangku khawatir, menatapku intens mencoba meyakini bahwa aku baik-baik saja. Aku tersenyum tipis lalu mengangguk lemah sebagai jawaban dari pertanyaannya.

Ia menatapku lagi sebentar lalu mengangguk ragu, “Kurasa tidak ada makanan didapur, kau mau makan diluar?” tanyanya, ia duduk disampingku, diatas tempat tidurku. Suasana sunyi sangat terasa dikamar ini. Aku terdiam, menimbang-nimbang beberapa hal. Apakah akan baik-baik saja jika aku makan diluar malam ini?

“Bagaimana?” tanyanya lagi setelah kami berdua terdiam cukup lama, ia menatapku dari samping. Mungkin tidak apa-apa, Hyena semuanya akan baik-baik saja. Kau hanya makan lalu segera pulang. Akhirnya aku mengangguk.

****

To Be Continued

Annyeong haseyo, hai gak tau harus bilang apa cuma mau ngucapin terima kasih sama kalian kalian yang sudah mau merelakan waktu untuk membaca ff aku. Sebenernya ff ini udah lama kelar dan udah dalam proses posting di web aku, cuman berhubung web sepi banget jadi aku kirim kesini. Tapi tenang, nanti akan banyak perubahan, bahkan aku berniat ubah ending. Jadi selain beda orang beda ujungnya juga, meski awalnya sama. So, thank you sekali lagi, terima kasih juga untuk team Say Korean yang udah ngepost ff ini^^

Sincerely, Choi Sungrin

Filed under: Hurt, romance, Sadnes, Uncategorized Tagged: exo, Kim Joon Myeon, OC, park chanyeol

Show more