2015-12-26



Genre : Romance & family

Length : Chaptered

Rating : G

Cast :

Byun Family

Huang Li Yin

other cameo

.

@ohnajla| chosangmi15

.

Sehun Family I

Sehun-Daena Teenage ver

Sehun Family II

Daehun-Ryeju

Se-Tae Series #1 & #2

Se-Tae (17/05/15)

Se-Tae New Series I

Se-Tae New Series II

Kai family

Suho & EXO story

Daehyun’s fanmeet

.

Suatu hari di rumah tingkat yang tenang, terdengarlah suara bel dengan nyaringnya. Sontak seluruh penghuni terbangun dan berlomba-lomba untuk membukakan pintu. Perlombaan ‘siapa cepat dia yang buka pintu’ dimenangkan oleh si kepala suku, Byun Baekhyun.

“Nuguseyo?” ucapnya begitu melihat layar monitor. Dahinya berkerut heran melihat wajah seorang gadis muda tengah menghiasi layar tersebut.

“Annyeonghaseyo, Huang Liyin ibnida.”

“Huang Liyin?” gumam Baekhyun. Ia tengah berpikir sampai-sampai tidak sadar kalau Daehyun sudah di dekatnya, ikut melihat wajah imut gadis itu.

“Oh?! Dia bukannya putri Zi Tao samchon?” matanya menatap sang ayah, sementara tangannya menunjuk layar monitor itu.

“Ssst, diam. Appa sedang berpikir. Huang Liyin… Huang… HUANG?! Yaa! dia bukannya anak Tao?”

Daehyun menyipitkan matanya melihat reaksi sang ayah yang terlambat. Tanpa banyak bicara dia langsung menekan tombol unlock di monitor itu.

“Appa lambat,” ejeknya sebelum beranjak menuju pintu untuk membantu Liyin kalau-kalau membawa bawaan berat.

“Yaa! neo jinjja! Ck, Tao juga apa-apaan sih? Dia sepertinya harus dinasehati,” pria itu bersungut-sungut kembali ke kamar. Mengambil ponsel yang dia letakkan sembarangan di meja rias Jung Ah lalu menghubungi kontak Tao. Cukup lama tersambungnya. Begitu tersambung dia mendapati suara serak Tao.

“Yaa! kenapa kau tidak mengabariku kalau anakmu akan datang ke rumah?” cecarnya langsung.

“Eung? Liyin sudah sampai? Baguslah.”

“Yaa! aish! Kau membiarkan anak sekecil itu ke Korea sendirian? Tega sekali kau ini. Dan lebih tega lagi kau-”

Baekhyun terkejut saat Jung Ah merebut ponsel dari tangannya. Wanita itu berlari ke kamar mandi lalu mengunci pintu dari dalam.

“Halo? Halo?”

“Ne, Tao Oppa. Ini aku, Jung Ah.”

“Jung Ah? oh.. annyeong Jung Ah.”

“Maafkan Baekhyun ya, Tao oppa. Dia memang suka begitu.”

“Eum. Gwaenchanha. Aku sudah tahu Baekhyun memang seperti itu.”

Jung Ah tersenyum, lalu tak lama kemudian ekspresinya berubah jadi penasaran. “Ah ya, kenapa Liyin datang ke Korea sendirian?”

“Oh itu, sebenarnya aku sudah mengirim pesan pada kalian tadi malam, kalau Liyin akan datang dan tinggal di rumah kalian. Dia bilang dia ingin melanjutkan kuliah di Korea. Jadi dari pada menyewa apartemen, akan lebih aman kalau dia tinggal di rumah kalian. Eum… kalian tidak keberatan kan?”

“Ah… tentu saja kami tidak keberatan, oppa. Di rumah kan isinya laki-laki semua, aku senang ada Liyin, jadi dia bisa membantu pekerjaan rumah.”

“Eum. Liyin anak yang baik. Tolong ya, jaga dia dengan baik.”

“Ne. Aku akan menjaganya dengan baik.”

“Untuk masalah biaya, aku yang mengurusnya. Aku hanya minta bantuan kalian untuk menjaganya. Terima kasih banyak, Jung Ah-ya. Salam untuk Baekhyun, Baehyun dan Baekah.”

“Ah… Daehyun, oppa, bukan Baehyun.”

“Ah ne. Daehyun maksudku. Sudah ya. annyeong.”

“Ne.”

KLIK

Jung Ah menggenggam ponsel itu sembari menghela napas. Sekarang yang harus dipikirkannya adalah…

“Kenapa oppa tidak mencoba membuka pintu?” gumamnya.

Dengan hati-hati dia membuka kunci, lalu memutar kenop pintu perlahan-lahan. Saat melongokkan kepalanya ke luar, dia dikejutkan dengan wajah Baekhyun yang tiba-tiba muncul. Baekhyun sejak tadi berdiri di samping pintu menguping pembicaraan Jung Ah dengan Tao di telepon.

“OMO! Oppa~” Jung Ah memukul lengan Baekhyun karena telah membuat jantungnya hampir copot. Baekhyun sendiri masih menampakkan wajah datarnya. Dia langsung merebut ponsel dari tangan Jung Ah.

“Aku paling tidak suka dengan keputusan sepihak. Coba pikir, kenapa harus ke rumah kita? Dia kan bisa mengirim Liyin ke rumah Chanyeol. Rumah Chanyeol jauh lebih luas dari rumah kita.”

“Oppa…” Jung Ah berniat menyentuh Baekhyun tapi Baekhyun melarangnya untuk mendekat.

“Dengarkan dulu, Jung. Ini tidak benar. Kau tahu sendiri kan bagaimana Tao itu? bagaimana kalau dia lupa mengirim uang? Nantinya kita juga yang berat. Menurutmu aku sanggup membiayai dua mahasiswa sekaligus? Biaya kuliah Daehyun sudah berat, Jung. Belum untuk prakteknya. Dan sekarang ditambah Liyin. Coba pikirkan.”

Baekhyun dalam mode serius dan benar-benar serius bagi Jung Ah. Wanita itu tertunduk, merasa bersalah karena mengambil keputusan sepihak. Dia tahu kalau Baekhyun sangat tidak suka dengan orang yang selalu mengambil keputusan secara sepihak. Dan sekarang dia telah melakukannya. Dia membuat Baekhyun menjadi tidak suka padanya.

“Mianhae oppa…”

Baekhyun berhenti mengutak-atik ponselnya. Dia terdiam memandangi puncak kepala Jung Ah.

“Ini memang salahku. Seharusnya aku merundingkannya dulu denganmu. Karena kupikir oppa tidak akan keberatan kalau aku yang bicara, maka dari itu aku mengiyakan permintaan Tao oppa begitu saja. Kalau ternyata oppa tidak setuju Liyin tinggal di sini, aku akan bicara pada Tao oppa. Mungkin dia bisa menyuruh Liyin ke rumah Chanyeol oppa atau ke rumah Xiumin oppa. Ka-kalau ternyata mereka juga tidak bisa, aku yang akan mencarikan tempat tinggal yang aman untuk dia.”

Baekhyun masih betah memandangnya. Dalam benaknya, dia sebenarnya tidak benar-benar marah pada Jung Ah. Dia hanya kesal karena Jung Ah menyepakati kemauan Tao begitu saja. Padahal dia selalu bilang pada Jung Ah, apapun yang terjadi semua harus dirundingkan bersama terlebih dulu. Melihat Jung Ah seperti ini, Baekhyun ikut merasa bersalah juga.

“Angkat kepalamu, Jung.”

Perlahan namun pasti wanita itu mengangkat kepalanya. Tatapan mereka saling bertemu. Jung Ah bisa melihat senyum di wajah Baekhyun meski sedikit.

“Ekspresimu jangan begitu, chagi. Senyum.”

Jung Ah hanya membiarkan Baekhyun menarik ujung bibirnya ke atas, tapi dia tidak tersenyum setelahnya. Pria itu sepertinya tahu kalau dia sedang merajuk. Dengan lembutnya Baekhyun membawa Jung Ah ke pelukannya yang hangat.

“Aku keterlaluan ya? maaf, aku tidak bermaksud begitu, chagi,” ucapnya tulus. Ia mengelus dan menghirup rambut hitam wanita itu.

Jung Ah sendiri belum mau balas memeluk Baekhyun. Dia asyik menumpahkan semua air mata yang tertahan dengan pundak Baekhyun sebagai penumpu kepalanya. Baekhyun baru sadar kalau Jung Ah menangis, ketika bahunya terasa basah.

“Aigoo… gadisku menangis..” ucapnya sembari mendorong pelan pundak Jung Ah agar ia bisa melihat wajah wanitanya. Ia tersenyum saat menyeka air mata yang ada di pipi Jung Ah. Hangat sekali cairan bening itu ketika tersentuh kulit tangannya.

“Chup chup chagi… usiamu berapa masih menangis?”

“Kau menakutiku..” ucap Jung Ah dengan suara serak. Baekhyun kembali tersenyum.

“Maaf. Aku minta maaf, eoh? Jung Ah memaafkan oppa kan?”

Jung Ah mengangguk pelan. Baekhyun pun mengusap keseluruhan wajah wanita itu dengan telapak tangannya. Setelah itu, diciumnya kening Jung Ah.

“Oke… sekarang kita keluar, ne? saatnya mengucapkan selamat datang pada keponakan.”

Jung Ah tidak menolak ketika Baekhyun menarik tangannya untuk keluar dari kamar mandi. Dia juga ikut saja saat Baekhyun mengajaknya ke ruang keluarga. Di sana mereka bertemu dengan Daehyun dan Liyin yang ternyata asyik mengobrol di depan televise yang menyala.

Di saat Baekhyun dan Jung Ah berada di kamar tadi…

Daehyun tersenyum ramah pada gadis yang sudah berdiri entah berapa lama di depan gerbang rumahnya. Pemuda itu membuka kunci gerbang lalu membukanya lebar-lebar. Ia maju dua langkah, kemudian membungkuk.

“Annyeonghaseyo, Byun Daehyun ibnida.”

“Ah, an-annyeong.. Huang Liyin ibnida.”

Daehyun mendekat untuk mengambil dua koper besar yang berada di sisi kanan dan kiri gadis itu. “Datang sendirian?”

Liyin mengangguk kaku. “Aku… datang… sendiri…”

Daehyun tersenyum lagi. “Bahasa Koreamu belum lancar, eum? Gwaenchanha, pakai bahasa Mandarin juga tidak apa-apa. Kaja.”

Daehyun menarik dua koper besar itu sendirian. Dia mengomando Liyin untuk mengikutinya masuk ke rumah. Liyin yang tahu diri, mengunci gerbang itu dulu sebelum membuntuti kemana Daehyun pergi.

Gadis itu berwah-wah ria saat mendapati pemandangan artistic rumah Baekhyun. Setelah melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal, Liyin makin terpesona melihat betapa nyaman dan bersihnya rumah milik samchon-nya ini. Warna catnya hanya didominasi oleh warna netral yaitu hitam dan putih. Luas lantai satu tidak seberapa. Membagi satu ruang itu untuk dua tempat yaitu ruang tamu dan tempat bersantai. Lampu yang dipakai adalah lampu dengan rangkaian parallel yang ukurannya jauh lebih kecil dari ukuran lampu rangkaian seri. Ada sebuah dinding yang dikhususkan untuk jendela dengan tirai putih tanpa motif.

“Kau ingin bertemu Baekah?” tanya Daehyun yang spontan membuat Liyin berhenti mengagumi interior rumahnya. Ia tidak sadar kalau Daehyun tengah memandanginya dari dekat tangga.

“Baekah?”

Daehyun tersenyum. “Eum, nae Dongsaeng.”

“A-ah.. Baekah.. dimana dia?” tanya Liyin berusaha untuk nampak penasaran. Sebenarnya dia tidak tahu siapa Baekah dan tidak begitu antusias untuk bertemu dengannya.

Namun Daehyun bisa menangkap maksud sebenarnya dari pertanyaan Liyin. “Aku tidak memaksamu, kalau memang belum mau bertemu ya tidak apa-apa. Mungkin… Baekah juga masih tidur.”

Liyin tersenyum kikuk, malu juga kalau kedok kita ketahuan oleh orang lain.

“Bagaimana kalau menonton televise? Kau pasti lelah,” ajak Daehyun sembari menunjuk ruangan yang sedang dibelakangi oleh Liyin. Gadis itu menoleh untuk melihat ruangan tersebut.

“Ah, kupikir itu kamar.”

“Aniya. Ini ruang televise. Kaja.”

Liyin hanya mengikuti kemana Daehyun pergi. Lagi-lagi dia dibuat terpesona oleh desain ruangannya. Jujur, dia adalah penyuka desain interior, cocok sekali dengan cita-citanya menjadi seorang desainer bidang interior rumah.

Dia duduk di sofa yang sama dengan Daehyun tapi membuat jarak cukup jauh. TV berlayar LCD itu sedang menampilkan acara music. Kedengaran menyenangkan memang bagi Daehyun, tapi untuk Liyin itu sangat membingungkan. Dia tidak bisa menangkap maksud yang jelas dari rapper. Karena itulah dia memilih untuk mengabaikan acara music itu.

Daehyun yang sadar kalau Liyin tidak berkonsentrasi ke TV, akhirnya berinisiatif membuat obrolan ringan. “Ekhem. Berapa lama perjalanan dari China ke Seoul?”

“Ne? oh… aaa.. itu… sekitar satu jam lebih.”

“Kau mengambil penerbangan awal? Sekarang masih jam lima pagi,” ujar Daehyun usai melirik jam dinding yang menempel pada dinding pembatas antara ruang tamu dengan ruang tengah.

“Baba bilang berangkat pagi jauh lebih baik. Tapi kalau ternyata mengganggu tidur, aku minta maaf.”

Daehyun tersenyum melihat kepolosan di wajah gadis itu. “Ternyata bahasa Korea mu lumayan lancar.”

Lagi-lagi Liyin menampakkan senyum kikuknya. “Gomawo.”

“Kau akan melanjutkan kuliah di sini?”

“Ne.”

“Kyunghee?”

“Ne,” balas Liyin singkat.

“Wah! Aku tidak menyangka kita akan berada di kampus yang sama. Aku mengambil kedokteran, kau sendiri?” saking senangnya mendengar kalau Liyin akan berada di satu universitas yang sama dengannya, tanpa sadar dia menggeser duduknya mendekati gadis itu.

“Eung… Desain interior.”

“Desain interior? Wah… nantinya kau akan seperti Hani gomo. Pantas tadi kulihat kau tertarik sekali dengan dekorasi rumah ini. bagaimana menurutmu? Bagus?”

Liyin mengangguk setuju. “Aku suka perpaduan warna di ruang depan. Kesan hitam putih membuat banyak orang ingin melihat lebih jauh tentang rumah ini.”

Daehyun menatap Liyin kagum. Jarang-jarang ada anak seusia mereka yang punya filosofi sedalam itu. “Benarkah? Wah… kau memang sudah ditakdirkan untuk menjadi seorang desainer interior. Eum.. tapi, kenapa kau memilih bersekolah di Korea? Di China tidak ada ya?”

Liyin menggeleng. “Bukannya tidak ada. Aku hanya ingin suasana baru. Udara di sini lebih bersih dari Qingdao. Dan aku memang suka Seoul.”

Daehyun tersenyum, lagi. “Lain kali kuajak jalan-jalan berkeliling Seoul.”

Mendadak wajah Liyin memerah, reflek ia menunduk. “A-ah ne..”

“Aigoo… akrab sekali kalian berdua.”

Mereka pun menoleh ke asal suara. Baekhyun datang bersama Jung Ah. Daehyun tampak cukup cemas melihat kedua mata ibunya yang bengkak.

“Eomma, kau baru menangis?” tanyanya sambil menggeser duduknya menjauhi Liyin. Appa dan eomma-nya duduk di sofa yang lain, menyamping televise.

“Eum, eomma-mu cengeng sekali,” ledek Baekhyun sambil merangkul sekaligus mencium pipi istrinya. Jung Ah tidak berkelit tapi ia mengerang. Keduanya sama-sama tidak sadar kalau diperhatikan secara kesal oleh Daehyun dan canggung oleh Liyin.

“Appa~ ada orang lain di sini,” peringat Daehyun ketika Baekhyun terus saja menjahili Jung Ah. Inilah yang membuat Daehyun kesal pada ayahnya, bermesraan tidak tahu situasi.

“Ah ye! Maaf Liyin-a, hehe. Oh ya, bagaimana perjalananmu? Menyenangkan? Tidak tersesat kan?” pria usia 42 itu beralih memandang keponakannya. Dia tersenyum lebar seperti biasa, ya biasanya Byun Baekhyun.

“Tidak wesamchon. Setiba di bandara, aku langsung menunjukkan alamat rumahmu pada sopir taxi.”

“Bagus. Jangan seperti baba-mu,” ucap Baekhyun sembari memperlihatkan telunjuknya.

“Ada apa dengan Tao samchon?” tanya Daehyun penasaran. Ia memandang Baekhyun dan Liyin secara bergantian.

“Itu tidak perlu dibahas. Kau mengambil penerbangan awal kan? Kenapa tidak istirahat di kamar? Aigoo.. Daehyun-a, kau tidak menunjukkan ruangannya? Haruskah appa yang melakukannya?” Baekhyun membuat nada suaranya menjadi setegas mungkin. Bahkan kalau dilihat lebih jelas, matanya melebar dua kali lipat dari biasanya. Daehyun sih tidak perlu takut diperlakukan seperti ini, toh ayahnya hanya berusaha kelihatan ‘galak’.

“Arraseo, aku yang akan mengantarnya. Kaja Liyin-a,” ajak Daehyun yang langsung bangkit dan berjalan menuju tangga.

Liyin membungkuk sopan pada orang tua Daehyun, lalu mengekor kemana Daehyun pergi. Mereka pergi ke lantai atas, di mana di sana penuh dengan pintu yang Liyin yakini sebagai kamar.

“Itu kamar appa eomma, itu kamar Baekah, ini kamarku. Dan kamarmu ada tepat di sebelah kamarku. Kau akan menempati kamar tamu, ukurannya memang lebih kecil dari yang lain sih, tapi kuharap kau betah,” celotehnya sembari membuka pintu sebuah ruangan yang ia katakan sebagai kamar baru Liyin. Begitu pintu terbuka, Daehyun mempersilahkan Liyin untuk masuk lebih dulu, lalu diikuti olehnya.

“Bagaimana? Kau suka?” tanyanya begitu di dalam. Daehyun meletakkan dua koper Liyin di dekat tepat tidur.

“Bagus,” puji Liyin singkat. Bukan karena dia sedang berbohong, tapi lebih karena dia sangat menyukai kamar ini. Matanya terus bergerak menyapu semua yang ada di kamar ini. Perpaduan yang unik antara warna hijau dengan putih gading membuat Liyin benar-benar terpesona. Apalagi penataan ruangannya tepat.

Tepat saat mereka saling menatap, Liyin merona oleh senyum Daehyun.

“Semoga kau suka, eoh? kalau ada apa-apa, kamarku ada di sebelah. Aku keluar, ne?”

Liyin hanya mengangguk. Daehyun pun berbalik lalu keluar dan menutup pintu. Sepeninggal pemuda itu, Liyin tersenyum tipis dan kembali menikmati keindahan visual di tempat yang ia pijak sekarang.

***

Pukul 6 pagi, kediaman keluarga Byun mulai terdengar berisik. Suara nyanyian Baekhyun berlomba-lomba dengan suara tumbukan alat-alat memasak. Belum ditambah dengan suara PSP milik Daehyun dan kartun dari televise. Semuanya berkumpul menjadi satu dan membuat tamu dari China merasa terganggu dari tidurnya.

“Maknae!! Cepat mandi!!” suara menggelegar Baekhyun dari lantai atas terdengar menggaung di lantai bawah. Baekah yang saat itu sedang asik menonton kartun, segera mematikan televise meski dengan wajah cemberut. Saat melewati kakaknya, mereka terlibat adu pukul sebentar hingga ia berhasil lolos dari tendangan maut Daehyun.

“Maknae!!!”

“Ne appa!” balas Baekah tidak kalah kerasnya. Dari dapur Jung Ah nampak geleng-geleng pelan.

“Selalu saja heboh,” gumam wanita itu seraya menabur garam ke dalam masakannya.

Daehyun sendiri masih asyik bermain PSP. Santai, kuliahnya masih akan dimulai dua minggu lagi. Selama itulah dia akan seperti seorang pengangguran.

Tak lama kemudian, langkah kaki Baekhyun terdengar tergesa-gesa menuruni tangga. Di tangan kiri pria itu sudah tersampir mantel hitam favoritnya dan sebuah tas berwarna hitam. Sementara tangan kanan dengan dibantu oleh tangan kiri sedang sibuk membenahi posisi dasi, kerah serta kancing lengannya. Ia meletakkan tas serta mantelnya di sofa kecil dekat Daehyun. Sambil berdiri dia memasukkan ujung bawah kemejanya ke dalam celana agar nampak lebih formal. Setelahnya ia memakai kaos kaki.

“Jung! Sarapan tiga menit, menata rambut dua menit, arraseo?!”

“Ne!” balas Jung Ah dari dapur. Begitu Baekhyun bergegas menuju meja makan, Jung Ah juga langsung melesat ke sana sambil membawa menu breakfast favorit Baekhyun. Ia sampai di meja makan dua detik lebih cepat dari Baekhyun. Ia membiarkan Baekhyun makan, sementara dirinya pergi ke kamar untuk mengambil gel rambut Baekhyun.

Begitu sampai di lantai bawah lagi, dia sudah mendapati Baekhyun yang hampir menyelesaikan sarapannya.

“Kunyah dengan baik,” peringatnya saat Baekhyun tersedak. Ia mewadahi air mineral ke dalam sebuah gelas yang langsung ia berikan pada Baekhyun. Setelah Baekhyun sudah tidak batuk-batuk lagi, ia pun berdiri di belakang pria itu untuk bersiap menata rambutnya.

“Oke, aku sudah selesai,” ucap Baekhyun sesaat setelah meletakkan sumpitnya di atas mangkuk kosong. Jung Ah langsung menata rambut Baekhyun dengan gel di tangannya. Ia melakukannya dengan cepat namun teliti hingga dua menit kemudian, rambut Baekhyun telah tertata rapi.

“Gomawo, chagi,” ujarnya sembari bangkit dan mencium dahi wanita itu. Ia tersenyum, lalu beranjak mendekati tas dan mantelnya.

“Yaa, jangnam, setelah maknae pergi sekolah, antar eomma ke rumah sakit,” perintah Baekhyun pada putra sulungnya sembari memakai mantel. Tanpa menunggu jawaban, pria itu langsung melesat ke garasi untuk mengambil mobil.

“Ne..” balas Daehyun malas. Ia pun mematikan PSP, merenggangkan tubuh sebentar lalu beranjak mendekati ibunya.

“Eomma.”

“Eum?” balas Jung Ah tanpa sedikit pun menoleh.

Si sulung mengejutkan ibunya dengan pelukan dari belakang. Bukannya minta maaf, dia malah tertawa seolah tak berdosa. Diperhatikannya bagaimana sang ibu mencuci alat makan yang tadi dipakai ayahnya. Lalu beralih memandang potret wajah ibunya dari sudut pandang itu. Ia tersenyum tipis melihat kecantikan ibunya.

“Waeyo?” tanya Jung Ah akhirnya. Ia sadar betul kalau Daehyun tengah memperhatikannya.

“Eomma yeppeo,” balas Daehyun jujur.

Wanita itu terkekeh kecil. “Eomma semakin tua, sayang.”

“Aniya… appa yang tua, eomma tidak.”

Jung Ah memberinya lirikan pura-pura kesal. “Awas ya kalau menjelek-jelekkan namjachingu eomma.”

Daehyun tersenyum geli. “Ah eomma~”

Jung Ah ikut tersenyum. “Jangan bicara seperti itu lagi, ne? eomma kan juga akan semakin tua, begitu juga Daehyun.”

“Ne, arraseo..”

Jung Ah yang gemas hanya sanggup menoel ujung hidung Daehyun dengan jarinya yang basah. “Anak baik.”

Daehyun pun tertawa lalu mencuri kecupan di pipi ibunya.

“Hyeong!!”

“Itu, maknae memanggilmu,” ujar Jung Ah sambil melepas paksa lengan Daehyun dari pinggangnya. Dengan enggan Daehyun menoleh.

“Wae?”

Anak kecil yang mirip dengannya itu berhenti ketika sudah ada di dekatnya. Tingginya masih jauh dari bahu Daehyun. Wajahnya seperti biasa sumringah dengan mata sipit yang selalu terlihat bercahaya.

“Antar aku sekolah.”

“Shireo!” balas Daehyun cepat.

“Ah hyeong~~” si kecil itu pun menggaet dan mengguncangkan lengannya. Terus merengek minta diantar dan Daehyun terus saja menolak.

“Aku tidak bisa, dongsaeng. Appa menyuruhku mengantar eomma. Kau kan biasa berangkat sendiri? kenapa sekarang minta diantar?” protes Daehyun ketika adiknya melepas tangannya dan membelakanginya.

“Sudahlah, antar saja maknae ke sekolah,” sahut Jung Ah tiba-tiba. Wanita itu mendekat ke arah mereka, menuntun Baekah untuk segera duduk dan makan sarapannya.

“Lalu eomma bagaimana?” tanya Daehyun sembari mengikuti keduanya. Dia duduk tepat di hadapan Baekah.

“Eomma berangkat sendiri juga bisa, sayang. Nanti eomma yang akan bicara ke appa,” jawab Jung Ah tenang. Dia sedang membagikan lauk pauk ke piring anak-anaknya. Wajahnya nampak lelah karena berada di dapur hampir selama 30 menit.

“Hm… baiklah. Setelah ini kuantar kau, maknae,” ujar Daehyun pada adiknya. Seketika wajah Baekah kembali bersinar.

“Ah ya, Liyin masih tidur kah? Tolong panggil dia, jangnam. Ajak sarapan bersama.”

“Siapa itu, eomma? Yeojachingu-nya hyung?” tanya Baekah dengan mata membola. Ia menatap ibunya penasaran sementara kakaknya sudah melesat ke lantai atas.

Jung Ah menggeleng. “Aniya, dia itu putri dari Tao samchon. Saat di Korea dia memang jarang bertemu kita, jadi kau dan kakakmu tidak mengenalnya seperti yang lain.”

“Ah… nuna? Dongsaeng?”

“Nuna,” balas Jung Ah cepat.

“Lien nuna tinggal di sini? Di kamar sebelah kamar hyung? Eomma jinjja?” Jung Ah menatap anak bungsunya tak mengerti. Dia hanya berpikir kenapa tiba-tiba Baekah jadi seperti ini? apa mungkin salah membiarkan gadis seusia hyung-nya tinggal satu atap dengan hyungnya?

“Waeyo?” tanya Jung Ah akhirnya.

Baekah hampir akan buka suara ketika suara langkah kaki dari tangga terdengar. Anak 11 tahun itu memperhatikan tangga dengan seksama, menunggu seorang gadis yang berjalan di belakang hyung-nya. Mulutnya mendadak berhenti mengunyah saat melihat tampang Huang Liyin.

“Yaa. Yaa. Yaa maknae!”

Baekah langsung memutar kepala pada hyungnya. “Ne?”

“Cepat habiskan, mau kuantar sekolah tidak?” sungut Daehyun. Ia kesal karena lauk di piring Baekah masih banyak sementara waktu sudah hampir menunjuk ke angka 6.30.

“Oh, Liyin-a, duduklah,” ucap Jung Ah sembari beringsut ke dapur mengambil nasi untuk Liyin.

Liyin sendiri duduk di sebelah Daehyun. Ia tersenyum saat bertemu tatap dengan Baekah. Baekah juga membalasnya dengan senyuman, senyum lebar seperti Byun appa.

Tak lama kemudian Jung Ah datang, ia meletakkan mangkuk kecil berisi nasi ke hadapan Liyin, tak lupa beserta sepasang sumpit. “Makanlah.”

“Gomawo, imo,” ucap Liyin canggung, Jung Ah membalasnya dengan senyum ramah.

Liyin pun memisahkan sepasang sumpit yang masih menempel satu sama lain itu. Di saat dia akan mengambil lauk, tanpa diduga Daehyun sudah lebih dulu meletakkan seiris daging ke atas mangkuknya.

“Jangan bilang kalau sedang diet, eoh? meskipun diet kau harus tetap sarapan,” ujarnya sebelum Liyin buka suara. Ia tersenyum melihat ekspresi gadis itu.

Ketika Daehyun kembali menyantap makanannya, Jung Ah mulai berbicara. “Liyin-a, setelah ini Daehyun akan pergi mengantar Baekah dan imo harus pergi ke rumah sakit. Tidak apa-apa kan di rumah sendirian? Jangan khawatir, Daehyun tidak akan lama. Setelah mengantar Baekah dia akan langsung pulang.”

“Oh? Ne, aku tidak apa-apa sendirian di rumah, imo,” balas Liyin sambil tersenyum. Ia juga tersenyum pada Baekah saat mereka saling pandang lagi.

“Kuliah kalian masih dimulai awal September kan? Kalau bosan di rumah kalian jalan-jalan saja. Ajak Liyin ke sungai Han atau tempat-tempat indah lainnya, biar dia lebih bersahabat dengan negara baru.”

Setelah selesai sarapan, Daehyun pergi mengantar Baekah ke sekolah, sementara Jung Ah siap-siap pergi. Sebelum mandi, wanita itu melarang Liyin untuk cuci piring. Namun Liyin terlalu keras kepala, sama seperti ayahnya. Jung Ah pun membiarkannya untuk cuci piring sementara dia bersiap-siap pergi ke rumah sakit.

“Liyin-a, baik-baik dengan Daehyun, eoh? jangan biarkan anak itu malas-malasan di depan televise. Kalau bisa ajak dia melakukan sesuatu atau jalan-jalan. Itu akan lebih baik daripada membiarkannya menjadi pria dengan perut pir.”

Liyin hanya menjawab “Ne” saat mendapat wejangan seperti itu. Ia mengantar Jung Ah sampai gerbang. Rupanya selama ini Jung Ah pergi ke rumah sakit menggunakan bus, bukan kendaraan pribadi. Setelah Jung Ah menghilang di persimpangan, Liyin pun berbalik untuk masuk ke rumah. Baru saja tangannya akan menyentuh gagang pintu, suara klakson sepeda motor tiba-tiba mengagetkannya. Gadis itu pun menoleh. Matanya menyipit mendapati pengendara motor BMW S1000RR sedang berhenti di depan gerbang rumah keluarga Byun. Pengendara motor itu memakai helm bermerek SHOEI dengan kaca hitam yang menutup bagian mata, jelas Liyin tidak menyadari kalau Daehyun lah yang ada di balik kaca hitam itu.

TIN! TIN!

Masih penasaran, Liyin pun bergegas menghampirinya.

“Joesonghammida, anda siapa?” tanyanya masih belum menyadari situasi.

Daehyun lekas membuka kaca helm-nya karena sudah kepanasan. “Ini aku. Tolong bukakan gerbangnya.”

“Oh? Daehyun-sshi! Ah keurae, tunggu sebentar,” gadis itu bergegas membukakan gerbang untuknya. Dan begitu Daehyun sudah membawa motornya masuk, ia mengunci kembali gerbang tersebut.

Mereka bertemu di ruang tamu, dimana Daehyun melihat Liyin sedang berdiri seperti orang kebingungan di sana. Daehyun berinisiatif menghampiri, lalu dia dikejutkan dengan Liyin yang tiba-tiba menoleh. Ah tidak, bukan hanya dia saja yang terkejut, tapi juga Liyin. Mereka terlibat acara saling menatap dengan canggung untuk beberapa saat, sampai akhirnya Daehyun memecahkan kecanggungan itu.

“Kenapa berdiri di sini? Tidak mandi? Mau jalan-jalan tidak setelah ini? atau besok saja?”

Liyin bingung harus menjawab dari mana. Ia memandang Daehyun dengan tidak focus karena dia sedang berpikir keras.

“Ah.. kurasa lebih baik besok saja. Kau kan baru datang,” ujar Daehyun setelah menyadari sesuatu. Mendadak merasa gerah, dia lekas melepas jaket kulit yang masih melekat di tubuhnya.

Liyin memperhatikan apa yang Daehyun lakukan lalu tiba-tiba dia mendapat ide. “Eum… Daehyun-sshi, pukul berapa nanti imo pulang?”

“Eomma? Ah.. eomma sebenarnya pulang tengah malam bersama appa, tapi eomma biasanya datang di sore hari untuk memasak. Wae?” akhirnya Daehyun penasaran juga dengan maksud pertanyaan barusan.

Namun bukan jawaban yang ia dapat, justru sebuah senyuman yang membuat kedua alisnya mengerut.

“Kalau begitu bisakah Daehyun-sshi menemaniku jalan-jalan?”

“Eodi?”

“Eum… pasar.”

“Ne?” selama hidupnya baru dua kali Daehyun pergi ke pasar. Pertama saat dia masih berusia satu tahun dan yang kedua adalah saat dia berusia tujuh tahun. Di kesempatan kedua itulah dia sempat berbuat onar. Saat mengunjungi kios ikan segar, secara tak sengaja dia menumpahkan satu bak dagangan berisi belut hidup. Karena tingkahnya itulah Baekhyun harus mengganti kerugian sebesar 25ribu won, padahal uang segitu rencananya akan digunakan untuk beli salmon. Walaupun Baekhyun tidak marah, tapi Daehyun tetap merasa bersalah. Semenjak hari itu, ia akan selalu menolak ikut ke pasar kalau Baekhyun atau Jung Ah mengajaknya berbelanja. Dia hanya takut kalau dia berbuat onar lagi.

“Bagaimana, Daehyun-sshi? Bisa kan?”

Dan sekarang yang mengajaknya bukan Baekhyun/Jung Ah, tapi Liyin. Dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan rasa keberatannya ini. Mau bercerita pun, gengsi. Kalau yang mengajak berbelanja semacam Sehun atau Kai samchon, dia pasti bisa meyakinkan dua orang itu kalau dia keberatan. Tapi kalau Liyin?

“S-sekarang?”

Liyin mengangguk. “Eum. Setelah kupikir-pikir, tidak sopan sepertinya kalau aku tidak membantu meringankan beban imo, secara aku adalah yeoja. Jadi, mulai sekarang aku lah yang akan memasak makan siang dan malam. Aku akan beritahu imo nanti.”

“Bukannya di kulkas masih ada banyak bahan?” Daehyun mencoba menggagalkan niat gadis itu setelah menyadari kehadiran kulkas yang setiap minggu selalu dipasok dengan bahan-bahan makanan baru oleh Jung Ah.

“Eung.. aku tidak terlalu mahir membuat menu makanan Korea. Kupikir akan lebih mudah kalau aku memasak makanan China. Kalian suka dengan makanan China kan?”

Daehyun menggangguk. “Lalu apa yang akan kau masak? Kau mencari ikan segar?”

Mata sipit Liyin pun berbinar, ia tersenyum dan mengangguk cepat. “Ne, aku butuh ikan segar. Untuk membuat sup wonton, aku butuh udang dan ikan. Kau tahu makanan itu kan? Itu sungguh enak sekali, Daehyun-sshi. Kau harus mencobanya.”

Diam-diam pemuda itu menelan ludah. Matilah aku.

“Apakah kau keberatan, Daehyun-sshi?” ekspresi bingung Daehyun barusan membuat Liyin berspekulasi bahwa Daehyun enggan mengantarnya.

“Ne? ah, tentu tidak Liyin-sshi. Kapan kita berangkat? Sekarang?” meskipun sebenarnya enggan, Daehyun tetap memaksakan diri. Ini hari pertamanya bertemu dengan Liyin dan dia tidak mau membuat gadis itu memiliki kesan buruk padanya. Bukankah pertemuan pertama, harus meninggalkan kesan yang baik?

“Sungguh?!” Daehyun terkejut melihat reaksi Liyin yang tak diduganya. “Ah tidak, jangan sekarang. Aku harus mandi dulu. Tolong tunggu sebentar, Daehyun-sshi.”

Daehyun hanya diam dengan heran melihat gadis itu berlari pergi. Ia menggendikkan bahu setelah punggungnya hilang dari pandangan.

Yah… itu sudah 11 tahun lalu, sekarang aku tidak akan ceroboh lagi.

**

Mereka sampai di pasar setelah 10 menit perjalanan menggunakan bus. Liyin menolak saat Daehyun menawarinya pergi dengan motor. Gadis itu bilang kalau ia ingin sekali menikmati bagaimana rasanya pergi ke suatu tempat menggunakan bus.

Menjelang siang begini keadaan pasar masih cukup ramai. Kalau pagi hari dipadati oleh para ibu, siangnya pasar ini dipadati oleh orang-orang dari restoran-restoran tertentu. Mereka membeli pasokan bahan makanan untuk restoran cepat saji yang selalu dibuka menjelang sore hari.

Liyin dan Daehyun pergi ke kios bahan bumbu. Disana Daehyun hanya memperhatikan bagaimana Liyin berbicara pada si penjual kios untuk memberinya bahan-bahan yang ia butuhkan. Logat yang dipakai gadis itu masih 90% China, Daehyun yakin pasti si penjual merasa sedikit aneh dengan logat yang Liyin pakai.

“Kamsahabnida,” ujar Liyin setelah menukar satu kantong plastic bahan bumbu dengan uang 10 ribu won. Ia pun mengajak Daehyun untuk pergi ke kios ikan laut.

“Annyeonghaseyo, annyeonghaseyo,” gumam gadis itu ketika mereka berdua melewati banyak orang. Daehyun sendiri hanya diam di sampingnya, sambil melihat kesana kemari.

Dan mereka sampai di kios itu. Daehyun terbelalak, ia perlahan memutar tubuhnya membelakangi kios itu karena penjualnya adalah penjual yang dulu. Walaupun sudah lama, Daehyun yakin kalau si penjual masih ingat wajahnya.

“Selamat datang agasshi. Silahkan dipilih,” ucap si penjual itu pada Liyin.

Pelan namun pasti, Daehyun mendekati kios yang ada tepat di hadapannya. Kios itu menjual berbagai jenis panganan dari ikan. Mulai dari sosis ikan, ikan presto sampai ikan kering siap masak. Tanpa sadar pemuda itu keasyikan sendiri mengamati makanan-makanan itu.

“Daehyun-sshi? Daehyun-sshi?”

“Kamsahabnida,” ucap Daehyun pada si penjual yang memberinya dua tusuk sosis ikan. Ia pun memutar dan mendapati wajah bingung Liyin. Sambil tersenyum ia langsung menghampiri gadis itu kemudian menyerahkan satu tusuk sosis ikan tepat di depan wajahnya. Liyin memperhatikan sosis itu dengan mata mengerjap lalu mengangkat kepalanya.

“Mencariku?”

Liyin menerima sosis tersebut. Tapi ia masih belum mau memakannya karena fokusnya sedang tertuju pada Daehyun. Pemuda itu malah asyik makan, sama sekali tidak sadar kalau tadi Liyin mencemaskan keberadaannya.

“Waeyo? Kau tidak suka?” tanya Daehyun begitu sadar tengah diperhatikan. Ia sedikit menunduk untuk menyamakan tinggi wajahnya dengan wajah Liyin.

“A-aniya. Eum.. aku sudah selesai,” ucap Liyin kaku. Ia pun mengangkat satu kantong plastic yang ia bawa dengan tangan kiri.

“Sini, aku saja yang bawa. Sekarang kita kemana?” Daehyun merebut kantong itu dari tangan Liyin lalu menarik tangannya untuk pergi dari sana. Begitu agak jauh dari kios ikan segar, Daehyun pun melepaskan genggamannya. Mereka berjalan beriringan menyusuri jalan tengah yang sengaja dibuat untuk dilalui oleh para pembeli.

“Aku masih butuh bahan-bahan lain, tapi kurasa harus dibeli di supermarket,” ujar Liyin, masih memegangi tusuk sosisnya.

“Supermarket? Kaja, ada supermarket di dekat sini. Eum, istirahat dulu atau bagaimana? Sosismu belum kau makan.”

Tanpa mendengar jawaban Liyin, Daehyun langsung mengajaknya untuk duduk di sebuah kursi yang berada di luar pasar. Ia membiarkan Liyin menikmati sosisnya, sementara ia sendiri asyik melihat orang-orang.

“Orang-orang sibuk sekali,” gumam pemuda itu. kepalanya tak henti menoleh ke kanan dan kiri mengikuti seberapa cepat orang-orang di depannya berjalan.

Liyin membuang tusuk sosisnya ke tempat sampah. Tanpa sepengetahuan Daehyun, ia membeli dua cup minuman dingin dimana salah satunya ia berikan pada pemuda itu.

“Apa ini?” tanya Daehyun bingung.

“Ice green tea,” jawab Liyin cepat, secepat Daehyun mengambil cup itu dari tangannya.

“Gomawo.”

Mereka pun terdiam. Menikmati ice green tea masing-masing sambil melihat orang yang lalu lalang.

Belum sampai habis minuman itu, mereka sudah memutuskan untuk segera ke supermarket. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di sana. Mereka hanya perlu berjalan sekitar 200 meter. sama halnya seperti di pasar, supermarket pun ramai oleh pengunjung.

Liyin seketika hilang dari pandangan Daehyun begitu mereka masuk ke sana. Daehyun sendiri tak ambil pusing, ia memutuskan untuk menunggu gadis itu di bagian snack, kalau-kalau ada snack yang bisa dimakan di rumah.

Anehnya, mereka bisa bertemu kembali saat Liyin tersasar ke bagian snack. Tapi beruntunglah, karena mereka bertemu itu mereka tidak harus mencari satu sama lain lagi. Lewat tengah hari, mereka memutuskan untuk kembali ke rumah.

Di dalam bus, Liyin pun mengeluarkan ponselnya. Ia berniat menelepon ibu Daehyun untuk mengabari bahwa wanita itu tidak perlu pulang ke rumah sore hari karena dia yang akan memasak. Tapi sebelum menekan tombol call, dia tiba-tiba merasa bahu kirinya makin berat. Ketika menoleh, betapa terkejutnya dia melihat Daehyun tertidur dengan kepala bersandar di bahunya.

Liyin berniat membangunkannya tapi wajah damai Daehyun membuatnya enggan melakukan. Alhasil, ia membiarkan Daehyun tetap dalam posisi seperti itu sementara dirinya menelepon Jung Ah.

“Oh begitu… jadi sekarang kau bersama Daehyun kan?”

Liyin mengangguk, namun ia tahu Jung Ah tak akan tahu. “Ne. Aku sekarang bersama Daehyun, imo.”

“Keurae, aku titip mereka padamu ya? sebelum tidur, pastikan semua pintu terkunci rapat. Aku dan samchon akan pulang tengah malam, kau tidak perlu menungguku.”

“Ne, imo.”

“Ya sudah, baik-baik di rumah. Annyeong.”

“Ne..”

KLIK

Liyin kembali mengantongi ponselnya. Ia melihat pemandangan kota Seoul dari balik kaca transparan bus. Lalu menoleh ke sebelah kirinya. Lamat-lamat mulai terdengar suara dengkuran. Gadis itu tersenyum. Matanya kembali ia alihkan ke luar kaca.

**

Sesampai di rumah, Daehyun melanjutkan tidurnya di kamar. Sementara Liyin sibuk sendiri di dapur, meracik sup wonton untuk makan siang dan malam Daehyun serta Baekah.

Gadis itu memakai apron milik Jung Ah yang selalu tergantung rapi di sebelah kulkas. Rambut yang semula terurai, kini ia ikat seluruhnya ke belakang hingga menampakkan lehernya yang jenjang.

Pertama, dia buat wonton-nya. Wonton adalah makanan yang berupa udang cincang yang dibungkus lembaran pangsit. Liyin pun menyincang udang yang tadi dibelinya secara kasar lalu ia masukkan ke dalam sebuah mangkuk yang sudah ia isi dengan bahan-bahan wonton, yaitu minyak wijen, kecap asin, garam, merica bubuk, irisan batang daun kucai, dan tepung maizena. Semua bahan itu ia aduk rata menggunakan sendok. Dan setelah semuanya tercampur jadilah isi dari wonton itu sendiri. Kemudian ia mewadahi satu sendok adonan itu ke tiap lembar pangsit, melipat ujung pangsit ke atas lalu menatanya di atas nampan.

Kedua, dia membuat kuah. Kuah sup wonton terdiri dari air, tulang ayam, tumis bawang putih, tumis jahe, bawang daun, daun seledri, merica yang telah dihaluskan, garam, kecap asin dan kecap ikan. Semua bahan-bahan itu direbus bersama dalam panci sampai mendidih.

Terakhir, mengukus wonton. Maksimal menunggu hingga 20 menit hingga matang. Dan begitu wontonnya matang, barulah dimasukkan ke dalam kuah. Dan jadilah sup wonton buatan Liyin.

Puas dengan hasilnya, gadis itu membawa sup itu ke meja makan. Ia membuat porsi hanya untuk mereka bertiga, dia, Daehyun dan Baekah.

Masih pukul 2 siang, usai membersihkan dapur, Liyin memutuskan untuk istirahat di depan televise. Lelah juga dia hari ini. Hari pertamanya datang ke Korea sekaligus hari pertama dia ke pasar bersama Daehyun, memasak makanan untuk mereka dan berdua saja di rumah.

Canggung?

Aneh?

Tentu saja, Liyin pun merasa begitu sebenarnya. Apalagi saat Daehyun tidur di bahunya. Liyin makin merasa canggung pada pemuda itu.

Bip bip! Bip bip!

Liyin buru-buru mengambil ponsel dari sakunya. Tertera sebuah nama yang tak asing baginya. Tanpa pikir panjang ia langsung menekan tombol hijau.

“Yoboseyo.”

“Ne.”

“Kenapa jawabanmu begitu? Kau kesal karena aku tidak menjemputmu di bandara?”

“Aniya. Aku hanya lelah hari ini.”

“Wae?”

“Aku baru selesai memasak.”

“Ah… kau tidak memasak untukku?”

“Aku hanya membuat porsi terbatas.”

“Yah… ya sudahlah. Sekarang kau ada di mana? Aku ingin sekali bertemu denganmu.”

“Aku tidak bisa hari ini, ge. Sudah kubilang aku lelah.”

“Yah… padahal aku ingin sekali bertemu denganmu. Tapi tak apalah, masih ada hari esok. Ya sudah kalau begitu, istirahatlah. Nanti kutelpon lagi.”

“Ne.”

“Liyin-a…”

“Ne?”

“… wo ai ni…”

-TBC

nb:

Jangnam : anak sulung

imo/gomo : bibi

samchon : paman

Filed under: family, general, Marriage Life, romance Tagged: Baekhyun, byun baekhyun, exo, OC, tao

Show more