2015-11-20



Married by Tradition _ Chapter 1

Kim Jongin (EXO) – Lee Hyejin (OC)

Romance – Comedy – Sad – Campus Life – Marriage life – AU

kee-rhopy’s fanfiction

“Kau hanya perlu duduk dan menunggu di depan pintu.”

“….”

“Dan orang yang pertama kali membuka pintu adalah calon suamimu.”

Previous: Prologue

=

=

=

Happy Reading!

Hyejin melangkahkan kakinya lebar-lebar pagi ini, tepatnya setalah ia berhasil sampai di kampus. Bagaimana tidak? Park Chanyeol, yang tadi malam berhasil membuatnya dimarahi habis-habisan oleh kakek, mengejarnya sejak tadi. Yeah, laki-laki itu mengikuti Hyejin kemana-mana.

“Hyejin-ah, tolong maafkan aku. Sungguh aku tak bermaksud membuat kakekmu marah,” kata Chanyeol, entah ke berapa kalinya ia minta maaf pada Hyejin.

Hyejin yang masih berjalan di depan Chanyeol tak berniat sedikitpun untuk sekedar menoleh. Bukan karena ia tak mau memaafkan Chanyeol, namun lebih karena ia sudah mengatakan dengan jelas pada laki-laki tinggi itu kalau dirinya sudah memaafkannya secara cuma-cuma. Jelas tindakan Chanyeol yang mengikutinya kemana-mana membuat gadis itu kesal. Dan yang bisa gadis itu lakukakan hanyalah melanjutkan langkah dengan terburu-buru. Chanyeol akan tetap mengikutinya meskipun ia sudah mengatakan kata ‘ya’.

“Hyejin-ah…” panggil Chanyeol. “Mungkin aku bisa membantumu mencari pasangan.”

Kali ini Hyejin menghentikan langkah mendengar penuturan Chanyeol. Gadis itu membalikkan badan, menghadap Chanyeol seraya memandang laki-laki itu dengan kening berkerut samar. Ia ragu sekaligus khawatir jika harus menerima tawaran Chanyeol. “Tidak perlu, oppa. Aku sudah memaafkanmu…” ujar Hyejin dengan nada putus asa.

“Aku sungguh merasa bersalah, Hyejin-ah….”

“Bukankah sudah kubilang kalau aku memaafkanmu?” Hyejin memelas. Ia hanya tak habis pikir dengan kelakuan Chanyeol yang aneh. Mengikutinya dan selalu mengatakan kata maaf. Membuat rasa kesal sekaligus tak teganya keluar.

“Tapi aku benar-benar merasa bersalah kalau tak melakukan apa-apa untukmu,” Chanyeol membela diri.

Hyejin mengangguk-angguk mengerti. “Lalu?” bahkan ia tak tahu bagaimana cara menanggapi Chanyeol. “Aku tak bisa menerima tawaranmu, oppa. Karena sudah ada yang membantuku.”

“Bagaimana kalau makan siang nanti kutraktir kau makan?”

Hyejin menghembuskan napas. Kemudian mengangguk disertai dengan senyuman. Setidaknya ia harus memenuhi ajakan Chanyeol jika ingin terbebas dari laki-laki ini. Lagipula siapa yang bisa menolak ajakan makan gratis? Anggap saja sebagai keberuntungan.

===

“Jadi oppa takut karena hamster kakekku?!” Hyejin berusaha keras memperkecil suaranya meskipun terdengar aneh karena hampir saja ia berteriak. Selain karena kaget luar biasa, ada sesuatu yang ingin sekali ia tertawakan untuk saat ini. Bagaimana tidak?! Alasan gagalnya seorang Park Chanyeol hanyalah karena seekor hamster biasa. Bahkan hamster itu hanya duduk manis di dalam kandangnya yang super kecil. Ayolah! Seekor hamster tak akan membunuh manusia!

Chanyeol menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Merasa tak enak, namun rasa malu lebih mendominasi. Dalam hati ia mengutuk hamster kakek Hyejin yang telah membuatnya berlari terbirit-birit mengitari seluruh sudut ruangan kakek seperti orang gila. Baiklah! Seharusnya ia tak menyalahkan hamster itu. Binatang itu hanya duduk manis dan memandang Chanyeol yang kala itu sedang duduk di hadapan kakek. Bahkan tatapan matanya bisa dikatakan lucu dan menggemaskan. Namun salah besar jika Chanyeol akan menanggapi sikap si hamster dengan tingkah lucu. Justru laki-laki itu langsung panik saat tahu bahwa ada seekor hamster di belakang kakek Hyejin, terletak tepat di dalam sebuah kandang kecil di atas meja yang berada di belakang laki-laki tua itu. Keringatnya bercucuran dan akhirnya ia tak bisa menahan rasa takutnya. “Aku memang takut pada tikus. Dan hamster kakekmu mengingatkanku pada tikus yang menggigit kakiku saat umurku 9 tahun…”

Yang bisa Hyejin lakukan hanyalah membuka mulutnya. Terlalu tak percaya jika orang tinggi di hadapannya menakuti hewan yang bahkan bisa dibunuh dengan injakan kaki saja. Dipandanginya Chanyeol yang masih sibuk memasukkan sesendok nasi dengan pandangan heran seraya mengunyah makanan di dalam mulutnya.

“Tidak usah memandangiku seperti itu. Aku memang berbeda dari kebanyakan orang. Untuk itulah aku spesial,” ujar Chanyeol dengan mulut penuh.

Hyejin hampir saja menyemburkan setengah makanan yang ada di mulutnya jika saja tak ingat kalau mereka berdua tengah berada di tempat umum saat ini –kantin kampus. Ia hanya tak habis pikir kenapa Chanyeol malah mengeluarkan kalimat narsis.

“Lanjutkan makanmu! Aku mentraktirmu makan untuk mengenyangkan perut, bukan untuk disimpan di dalam mulut seperti itu.”

Hyejin langsung menutup mulut dan menelan sisa makanan di mulutnya. Detik berikutnya ia lebih memilih melanjutkan makan daripada memikirkan seorang Park Chanyeol yang takut pada hamster. Pantas saja laki-laki di hadapannya ini disebut sebagai orang aneh.

Drrrt… Drrrt…

Ponsel Hyejin bergetar. Gadis itu segera mengambil ponselnya di atas meja dan membaca pesan yang tertera. Dari Jongin.

From: Kim Jongin

Luhan hyung menunggumu di cafe Bibi Hwang. Pergilah ke sana!

Pesan yang cukup singkat. Namun sanggup membuat Hyejin langsung menaruh sendok di atas piring dan segera meminum air putih. Kentara sekali kalau ia terburu-buru.

“Kau mau kemana?” tanya Chanyeol heran.

“Oppa, aku harus pergi. Maaf aku tak menghabiskannya,” jawab Hyejin seraya mengambil tiga buku di atas meja dan menyampirkan tasnya pada bahu.

“Pergilah! Tidak apa-apa.”

Hyejin mengangguk dan segera melangkahkan kakinya ke arah samping. Namun belum sempat ia melangkah, ia merasakan sebuah bahu membenturnya dengan sangat keras hingga berhasil membuatnya hampir terjatuh jika saja ia tak segera memegangi meja di sampingnya. Gadis itu segera mengarahkan pandangannya pada orang yang baru saja membenturnya. Bermaksud untuk protes. Tapi mulutnya seolah terkunci ketika ia melihat siapa orang yang dengan sengaja membentur bahunya. Joo Riahn yang tak sendirian, ditemani oleh Wang Sekyung.

“Kau baik-baik saja?” tanya Chanyeol khawatir. “Seharusnya dia minta maaf padamu.” Chanyeol bangkit dari duduknya, bermaksud untuk mengejar Riahn yang serta merta tak berniat sedikitpun untuk minta maaf pada Hyejin. Menoleh saja tidak.

Hyejin menahan lengan Chanyeol. “Tidak usah oppa. Aku tidak apa-apa.”

“Tapi setidaknya dia harus minta maaf,” kata Chanyeol tak terima.

“Aku baik-baik saja.” Hyejin menegaskan.

“Tap–“

“Sudah kubilang aku baik-baik saja!” Hyejin berseru dan sukses membuat Chanyeol bungkam. “Aku pergi dulu.”

===

Untunglah.

Yeah, untung saja Hyejin menerima tawaran Jongin malam itu. Untung ia memilih pria yang tepat. Untung saja ia memilih Luhan.

Well, Luhan? Pria itu benar-benar idaman Hyejin. Otak cerdas dan bergudang-gudang bakat dimilikinya. Senyum menawan, mata bersinar dan tentu saja, wajah yang rupawan. Sopan dan menghargai setiap kata-kata yang dikatakan Hyejin. Bahkan Hyejin sudah lupa pada kejadian tak mengenakkan yang menimpanya di kantin kampus tadi. Berkat Luhan. Oh, bukankah Luhan adalah tipe pria yang selalu Hyejin impikan dari dulu? Ya, itu benar. Jadi tak ada kata ‘menyesal’ karena telah menerima tawaran Jongin yang sempat diragukannya itu.

Hyejin merasa sangat pas dengan Luhan. Bahkan gadis itu tak henti-hentinya tersenyum seraya memandangi Luhan yang saat ini berada di dalam satu Cafe yang sama dengannya dan tepat duduk di hadapannya. Namun sekali lagi, untunglah Hyejin masih memiliki tingkat kewarasan normal, hingga senyumannya tak terlalu terlihat mencolok untuk mengundang rasa heran Luhan.

“Jadi kau semester V?” Luhan bertanya, kemudian menyesap kopi yang dipesannya tadi.

Hyejin mengangguk.

“Kau tahu apa yang dikatakan Jongin saat memintaku melakukan kencan buta seperti ini?” Luhan bertanya lagi, kali ini disertai dengan senyuman yang berhasil membuat Hyejin lagi-lagi terpesona.

Hyejin meneguk ludahnya sendiri. Entah kenapa mendengar nama Jongin disebut membuatnya merasakan aura negatif. Bukannya berlebihan. Tapi mungkin saja Jongin mengatakan hal buruk tentang dirinya pada Luhan. Mengingat kelakuan menyebalkan Jongin padanya. Dan itu tentu saja akan memperburuk citra Hyejin di hadapan Luhan. “Memangnya apa yang Jongin katakan?” tanyanya hati-hati.

“Dia berkata bahwa ada gadis baik dan cantik yang bersedia kencan denganku.”

Hyejin tak serta merta gugup atau mengeluarkan ekspresi senang. Rasa herannya lebih mendominasi untuk saat ini. Ia masih belum bisa percaya. Jongin menyebutnya sebagai gadis baik dan… apa itu tadi? Cantik? Woah, yang benar saja! “Kau yakin Jongin mengatakan hal itu?” tanyanya ragu.

Luhan mengangguk. “Dia juga menambahkan kalau kau sedikit ketus.”

Oh, benar, kan? Harusnya Hyejin tak terlalu heran karena Jongin menambahkan kata ‘ketus’ di belakang kata ‘baik’ dan ‘cantik’. Gadis itu terlihat seperti mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kurasa Jongin salah dalam satu hal,” Luhan memandang Hyejin. “Kau tidak ketus.”

Hyejin tersenyum mendengar penuturan Luhan. Sekali lagi, untunglah perkataan ‘ketus’ dari Jongin tak memengaruhi citranya di depan Luhan. “Terimakasih….”

===

Well, hari-hari yang biasanya dilewati dengan ekspresi datar oleh Hyejin kini telah berubah. Gadis itu terlihat lebih cerah dari biasanya. Wajahnya bahkan selalu dihiasi oleh senyum menawan. Oh, sebenarnya siapa yang harus dijadikan kambing hitam dalam masalah ini? Yeah, tentu saja Luhan. Mari salahkan Luhan dalam masalah Hyejin. Mari salahkan Luhan karena sukses membuat Hyejin selalu menenteng poselnya kemana-mana lantaran menunggu pesan balasan dari laki-laki itu. Mari salahkan Luhan yang serta merta menaruh dan menempelkan gambaran wajahnya dalam benak Hyejin, entah dengan apa. Mungkin perekat terkuat sedunia hingga Hyejin bisa bertingkah aneh seperti ini.

“Aku yakin Luhan hyung adalah tipemu.”

Suara Jongin muncul lagi. Tentu saja dari balkon sebelah. Dan Hyejin tak menampilkan wajah kesal seperti biasa. Ia menoleh dan tersenyum ke arah Jongin. “Kau benar.”

“Baguslah kalau begitu. Aku ikut senang mendengarnya.” Jongin mengedikkan bahu. “Tapi kau tak melupakan janjimu, kan?”

“Janji?” Hyejin mengerutkan kening.

“Memenuhi permintaanku sebagai balas jasa karena telah memberikan Luhan hyung padamu. Kau lupa?”

“Oh, itu…” kerutan di kening Hyejin hilang dan digantikan dengan ekspresi datar. “Aku ingat. Apa yang kau inginkan?” tanya Hyejin langsung. Gadis itu yakin kalau Jongin akan mengucapkan permintaannya saat ini. Terlihat jelas dari wajah laki-laki itu.

Jongin menghembuskan napas. Sebenarnya ia sedikit enggan mengucapkan permintaannya sendiri pada Hyejin. Namun harus ia akui bahwa Hyejinlah orang yang paling tepat dalam hal ini. Orang yang paling tepat untuk membantunya tetap bebas. “Aku ingin kau menjadi tutorku…”

===

“HAHAHAHAAA…”

Jongin menggaruk kepalanya berkali-kali. Bukan karena kutu rambut –rambut Jongin bebas kutu– ataupun bercak penyakit kulit yang terasa gatal. Namun lebih pada suara Hyejin yang menertawakannya habis-habisan. Yeah, gadis yang kini tengah berada di teras rumahnya itu menertawainya. Lebih tepatnya menertawai alasan kenapa Jongin memintanya menjadi tutor. “Sudah kubilang jangan tertawa!”

“Tapi ini memang pantas ditertawakan, Kim Jongin!” Hyejin berseru. “Kupikir ayahmu mengizinkanmu tinggal sendirian dengan cuma-cuma. Ternyata tak lebih dari hasil rengekan. Hahahaa…” Hyejin memegangi perutnya. “Dan apa syaratnya tadi?”

“IP-ku harus di atas 3. Minimal menghasilkan nilai A di satu mata kuliah,” jawab Jongin pasrah. Ya, laki-laki itu pasrah ditertawai oleh Hyejin. Namun ia tak peduli, yang paling penting adalah mencapai IP di atas 3, menunjukkan pada ayahnya bahwa ia bisa meskipun tinggal sendirian dan jauh dari rumah. Karena kalau gagal, ayahnya tak akan membiarkannya tinggal sendirian di rumah sebesar ini.

“Memangnya berapa IP yang biasa kau hasilkan?” tanya Hyejin. Berusaha keras agar tak tertawa.

“Yang jelas tidak lebih bagus darimu. Aku terbiasa mendapat nilai C dan D di setiap mata kuliah,” jawab Jongin tenang.

Hyejin serta merta membulatkan matanya. Sangat terkejut karena nilai C baginya sudah terlalu buruk. Apalagi D?! Oh, sepertinya ia harus bekerja keras agar bisa membuat Jongin setidaknya meraih nilai B.

“Kau tak berencana untuk mengingkari janjimu, kan?” Jongin menatap Hyejin yang sedang memegangi kepalanya dengan ragu.

Hyejin menghembuskan napas. Kemudian memandang Jongin. “Ayo tingkatkan nilaimu! Mulai besok aku akan mencoba mengajarimu.”

Jongin tersenyum lega. Akhirnya satu masalah teratasi. Yeah, semoga saja berhasil dan membuatnya sembuh dari alergi belajar. Semoga.

===

Cklek!

Hyejin membuka pintu rumahnya dengan hati-hati. Setelah berhasil menutup pintu kembali, ia melangkah perlahan-lahan menuju tangga yang menghubungkan ruang tamu dengan kamarnya di lantai atas. Oh, salahkan Jongin yang memintanya untuk menceritakan pertemuannya dengan Luhan hingga ia harus masuk rumah dengan cara mengendap-endap lantaran terlalu malam. Bahkan lampu rumahnya telah mati. Sempat ada dalam pikirannya, ia harus menghubungi Saemi untuk membuka pintu depan. Namun untunglah! Pintunya tak dikunci hingga ia tak perlu mengajukan protes pada sepupunya itu.

“Kau dari mana saja, Lee Hyejin?!!”

Hyejin mematung saat suara kakek muncul disertai dengan lampu yang menyala tiba-tiba, tepat saat ia berhasil melangkahkan kakinya di tangga kedua. Jantungnya berdegup kencang. Ia tak pernah keluar malam sampai selarut ini karena ia tahu bahwa kakek tak menyukai hal itu. Tapi sekarang? Oh, harusnya ia tak membuat masalah mengingat kemarahan kakek karena kasus Chanyeol yang memorak-porandakan ruangan kakeknya belum juga reda.

Gadis itu membalik badan dan menunduk. Tak berani menatap wajah kakek yang tentunya diliputi rasa marah.

“Masuk ke ruanganku!!”

Hyejin menurut. Dilangkahkannya kaki menuju ruangan kakek. Entah apa yang akan terjadi padanya sebentar lagi, yang jelas bukanlah hal baik. Kakeknya adalah tipe laki-laki tua yang tegas dalam bertindak.

“Kau tahu apa arti dari foto-foto ini?” tanya kakek dengan nada tegas. Namun terdengar seperti menahan amarah.

Hyejin yang kala itu masih berdiri di ambang pintu, melangkah mendekati kakek. Tiba-tiba saja perasaannya berubah tak enak. Entah karena apa, ia tak tahu menahu tentang itu. Tangannya tergerak untuk mengambil beberapa foto yang ada di atas meja.

Mata Hyejin membulat. Foto pertama adalah foto dirinya dan Chanyeol yang sedang makan di kantin kampus. Foto kedua, Luhan dan dirinya yang tengah tertawa. Dan foto ketiga adalah fotonya dan Jongin tengah berbicara. Hey! Bahkan foto terakhir adalah foto yang baru saja diambil. Tepat di teras rumah Jongin. Oh, sebenarnya siapa yang berani mengambil foto-fotonya tanpa izin?

“Kau berubah, Hyejin!” kakek berseru.

“Kakek, ini teman-temanku.” Hyejin membela diri sementara dalam hati memberi penegasan kalau Luhan bukan hanya sekedar teman. “Aku hanya–“

“Hanya mencari pasangan dengan cara berkencan dengan tiga orang pria sekaligus dalam satu hari? Ini terlalu berlebihan, Hyejin! Aku tak pernah mengajarimu untuk berkencan dengan pria sampai seperti ini! Bahkan kau sampai rela pulang selarut ini hanya untuk berkencan!”

Hyejin menatap kakeknya cemas. “Kakek, kumohon percayalah padaku. Aku tidak ber–”

“Kau bahkan masih menemui laki-laki yang telah membuatku marah! Bukankah aku sudah melarangmu?!”

Hyejin tahu yang kakek maksud kali ini adalah Park Chanyeol. Dan ia tak tahu harus berkata apa lagi.

“Kakek tahu kalau dua orang ini hanya temanmu,” tangan kakek menunjuk foto Luhan dan Jongin. Nada suaranya terdengar melemah, “tapi dia, orang yang menyukaimu dan bahkan berani menemuiku untuk melamarmu, aku yakin dia bukan hanya temanmu, Lee Hyejin.”

Ingin rasanya Hyejin menangis saat ini. Selama ini kakek selalu menganggapnya sebagai anak penurut. Hingga ia tak perlu mengarang cerita bohong untuk mengelabuhi kakeknya. Jadi wajar saja kalau ia tak ahli mengelak. Bahkan untuk saat inipun ia tak tahu bagaimana cara menjelaskan semua kesalahpahaman ini pada kakek. “Ini salah paham, kakek….”

“Bahkan untuk menemui seorang teman laki-laki di atas jam 10 malam juga hal yang tak bisa dibenarkan!”

Hyejin bungkam. Ia sadar kalau menemui Jongin dan mengobrol sampai larut malam adalah salahnya. Oh, andai saja ia lebih memilih untuk mengobrol berhadapan di balkon dan tak pergi keluar rumah, ia pasti tak akan menghadapi situsi menjengkelkan ini. “Maafkan aku, kakek….”

“Tak ada jalan lain. Kau harus melakukan tradisi itu besok!” perkataan yang tegas dari kakek membuat Hyejin ingin protes, namun segera terhenti ketika kakek mengeluarkan suaranya lagi. “Jangan membantah!”

===

Hyejin serta merta membanting tubuhnya di atas kasur Saemi. Stres, depresi, frustasi dan sederet kata yang mendekati makna ‘gila’ mungkin cocok ditujukan untuknya. Sungguh! Ia benar-benar tak mungkin menjalankan tradisi kuno keluarga yang menurutnya terlalu mengada-ngada dan di luar nalar manusia.

“Kau hanya perlu duduk dan menunggu di depan pintu.”

“….”

“Dan orang yang pertama kali membuka pintu adalah calon suamimu.”

Oh God…! Hyejin bahkan selalu mengingat kalimat konyol kakek. Semua orang mungkin akan setuju dengan pendapat Hyejin bahwa tradisi yang akan dilaksanakan besok adalah tradisi paling konyol, paling gila, paling tak masuk akal, dan paling-paling yang lainnya –yeah, pokoknya yang berkonotasi buruk.

Ingin sekali rasanya Hyejin melenyapkan dirinya. Gadis itu tak bisa begitu saja menyerahkan hidup dan matinya pada tradisi ini. Berbagai pikiran aneh mulai bermunculan dalam benaknya. Ia mulai berpikir siapa saja orang yang terbiasa masuk rumahnya tanpa mengetuk pintu dan langsung masuk begitu saja. Ya, kemungkinan besar merekalah yang akan menjadi calon suaminya nanti.

Bagaimana kalau orang yang pertama kali membuka pintu adalah Kim Minseok, suami Hye Rin, kakak kandungnya? Bukankah Minseok selalu masuk rumah ini tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu? –masa Hyejin harus berbagi suami? OOOH, TIDAK!!!

Bagaimana kalau orang yang membuka pintu adalah teman kakek? Itu mungkin saja karena sebagian besar teman kakek masuk rumah ini tanpa permisi –masa Hyejin harus menghabiskan seluruh hidupnya dengan mendorong kursi roda suaminya? Ya, perlu diketahui bahwa semua teman kakek telah kehilangan fungsi kaki dan mengenakan kursi roda sebagai penyangga tubuh. Maklum, sudah sepuh. Dan jangan sampai itu terjadi. Hyejin tak mau menjadi ‘tua’ sebelum waktunya.

Atau yang lebih parah dari dua hal di atas! Bagaimana kalau yang membuka pintu adalah anjing atau kucing milik kakek? Bukan tidak mungkin bagi mereka berdua –anjing dan kucing kakek– punya akses tersendiri untuk membuka pintu tanpa permisi. Ya Tuhan…! Bisakah Kau mencegah hal itu? Hyejin tak mungkin berumah tangga dengan seekor HEWAN!!

“OH, YA AMPUNN…!” Saemi muncul dari balik kamar mandi dan mendapati Hyejin yang sedang terbaring dengan tidak elit di atas kasurnya. “Kau mengagetkanku, Hyejin!” serunya.

Hyejin yang semula menutup wajah, beralih mendudukkan dirinya di atas ranjang dan memandang Saemi dengan pandangan memelas. Membuat Saemi berpikir bahwa Hyejin mirip dengan Meong, kucing kakek yang menggemaskan.

“Perlu bantuan apa?” tanya Saemi sembari duduk di sebelah Hyejin. Menurutnya, Hyejin akan mampir ke kamarnya untuk berkonsultasi, seperti yang biasa sepupunya itu lakukan.

Hyejin tak serta merta menampakkan wajah bahagianya. Ia menunduk lesu. “Aku harus melakukan tradisi itu besok,” jawabnya pendek. Kentara sekali kalau ia putus asa.

“Lalu?” Saemi bertanya polos.

Hyejin menatap Saemi geram. “Ini bukan masalah mudah seperti membalik tangan, Yoo Saemi. Aku dalam masalah besar! Kata kakek aku hanya perlu menunggu dan duduk di depan pintu. Dan orang yang membuka pintu itulah calon suamiku,” Hyejin mengambil napas. “Kau tahu betapa khawatirnya aku? Bagaimana kalau Minseok oppa yang membukanya? Bagaimana kalau salah satu teman kakek datang dan membuka pintunya? Bagaimana kalau an–“

“Hyejin, stop it please! Aku tahu kau bingung sekaligus khawatir dengan masa depanmu. Tapi tenang saja, aku sudah memikirkannya matang-matang. Aku, punya, solusi, terbaik, untukmu,” Saemi berkata dengan penuh penekanan di setiap kalimat akhir. Wajahnya terlihat serius, tidak seperti biasanya.

“Kau…” Hyejin menatap Saemi ragu, “punya solusi terbaik untukku?” lanjutnya, masih dengan nada ragu yang kental. Tidak biasanya Saemi menemukan solusi secepat ini. Biasanya sepupunya itu akan ikut bingung jika berada dalam keadaan genting seperti ini. Tapi kali ini? Ah, sudahlah! Tak perlu dipikirkan karena menemukan solusi untuk saat ini adalah yang terpenting.

“Kirim pesan pada Luhan dan suruh dia datang besok untuk membuka pintu. Katakan padanya untuk tak usah membunyikan bel. Bagaimana?” Saemi memandang Hyejin dengan pasti. Gadis itu bahkan sudah mengepalkan tangannya.

Raut wajah ragu yang semula ditampakkan Hyejin mulai memudar dan  digantikan dengan ekspresi senang. “Yoo Saemi, tak kusangka kau sangat pintar kali ini.”

Saemi membusungkan dada. Bangga dengan apa yang telah ia usulkan. “Baguslah kalau kau menyetujui usulanku. Dengan begitu aku tak perlu merasa bersalah lagi karena menguntitmu seharian ini.”

Hyejin yang semula senang menghentikan ekspresi bahagianya, kemudian menoleh ke arah Saemi yang membetulkan letak bantal, bersiap untuk tidur. “JADI KAU YANG MENYERAHKAN FOTO-FOTO TAK BERSALAH ITU PADA KAKEK?!”

Saemi gelagapan. Habis sudah riwayatnya saat ini. “Maafkan aku, Hyejin-ah. Kakek mengancam tak akan memberiku uang bulanan tambahan jika aku tak melakukannya. Kau tahu kan, kalau uang kiriman orang tuaku akhir-akhir ini selalu berkurang? Jadi aku terpaksa melakukannya. Dan juga, bukankah kau sudah menemukan solusi yang paling tepat untuk masalahmu? Kurasa membahas masalah ini sudah tak ada gunanya lagi.”

Ingin rasanya Hyejin memukul kepala Saemi keras-keras saat ini. Bagaimana mungkin Saemi tega menguntit dan mengambil fotonya tanpa izin? Bahkan menyerahkan foto-foto itu pada kakek. Apalagi foto-foto itu diambil dengan pose yang membuatnya terlihat sedang menikmati waktu dengan kekasih. “Tapi tidakkah kau tahu kalau foto-foto itu keterlaluan? Kau mengambilnya dari sudut yang membuatku seolah-olah telah melakukan acara kencan paling romantis, Yoo Saemi! Bahkan bertemu dengan Luhan masih tidak bisa disebut sebagai kencan karena itu masih pertama kali!” seru Hyejin tak terima. Masih bisa diingatnya dengan jelas posenya yang terlihat bahagia dalam foto-foto itu.

“Kakek berjanji memberiku bonus jika menemukan suatu hal yang tak biasa.” Saemi mengeluarkan cengiran khasnya.

“Dasar matre!” Hyejin memukul kepala Saemi dengan bantal.

===

To: Luhan

Hmm, Luhan oppa, bisakah besok menjemputku? Aku sedang butuh bantuan.

Hyejin menarik napas dan menghembuskannya pelan seraya melangkahkan kakinya ke kiri dan ke kanan. Sesekali dilihatnya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 12 malam. Memang tidak sopan sih, mengirim pesan pada seseorang selarut ini dan berharap orang tersebut membalasnya secepat mungkin. Tapi tak ada pilihan lain. Hyejin harus meminta pada Luhan saat ini, karena kalau besok, ia yakin tak bisa melakukannya lantaran terlalu gugup.

20 detik berlalu sejak pesan itu terkirim. Dan masih belum juga ada jawaban. Membuat Hyejin menghela napas putus asa. Dalam hati ia berdoa semoga Luhan masih belum tidur dan segera membalas pesannya. Kalaupun sudah tidur, semoga Luhan cepat bangun dan membalas pesannya. Oh, harapan yang sangat tinggi.

30 detik.

40 detik.

Ya Tuhan… rasanya Hyejin ingin menangis saja. Ia harus mendapat kepastian malam ini juga. Setidaknya ia harus mendapat laki-laki yang tepat seperti Luhan meskipun dengan cara melakukan tradisi gila dan bodoh itu.

Hyejin mulai menghitung mundur dari angka 10. Kalau sampai Luhan tak juga membalas pesannya, ia akan menyerah saja. Ia akan menyerah dan menyerahkan hidupnya pada calon suami yang entah siapa.

“10…. 9…. 8….7…. 6…. 5….”

Oh, tidak! Bagaimana ini? Hyejin sudah menghitung sampai 5 dan belum juga ada balasan?!

“4…. 3…. 3½…. 2….”

“2 ¾…. 2 ½…. 2 ¼….”

Hyejin memejamkan matanya dan bersiap untuk mengucapkan angka satu sebelum…

Drrrt… drrtt…

Poselnya bergetar dan sukses membuat Hyejin menangis haru. Gadis itu segera mengambil poselnya di atas nakas dan memandang layarnya. Detik itu juga hatinya mencelos saat nama Kim Jongin-lah yang tertera, bukan nama Luhan.

From: Kim Jongin

Hyejin-ah, jam berapa kau bisa mengajariku besok?

Hyejin menggeram. Dengan berat hati ia membalas pesan Jongin.

To: Kim Jongin

Kenapa mengirimiku pesan? Ini sudah malam, bodoh!

Drrtt… drrtt…

From: Kim Jongin

Aku tahu kau belum tidur. Lampu kamarmu masih menyala.

Jadi jam berapa kau akan mengajariku?

Hyejin serta merta membalas pesan Jongin dengan geraman tertahan.

To: Kim Jongin

Aku kena masalah dan tak bisa mengajarimu besok. Aku akan mengajarimu lusa. Aku janji.

Jangan bertanya lagi!!

Hyejin melempar ponselnya ke atas kasur. Ia muak dan kesal pada semuanya untuk saat ini. Jadi jangan salahkan jika pesannya pada Jongin terkesan memandam amarah.

Ddrrrtt… drrrttt…

Hyejin hampir saja berteriak kalau saja bukan malam hari saat ponselnya kembali bergetar. Pasti dari Jongin. Maka dengan rasa kesal bercampur marah, gadis itu kembali memungut ponselnya. Namun matanya seketika itu juga berbinar bahagia tatkala di dapatinya nama Luhan tertera di layar ponsel.

From: Luhan

Jam berapa aku harus menjemputmu?

Cukup singkat, namun berhasil membuat Hyejin tersenyum lega. Ia berpikir sejenak. Tradisi konyol itu akan dilangsungsungkan tepat jam 7 pagi. Jadi setidaknya Luhan harus menjemputnya sekitar jam 7 lewat 15 menit.

To: Luhan

Maaf merepotkanmu. Tapi aku benar-benar bingung harus minta tolong pada siapa.

Datanglah jam 07.15, oppa. Kau tak perlu membunyikan bel. Kau hanya perlu membuka pintu rumahku dan langsung masuk saja. Aku sudah memberitahu kakek. Bagaimana? Kau bisa?

Hyejin segera menekan tombol ‘send’. Gadis itu berharap-harap cemas menunggu pesan balasan Luhan. Semoga Luhan bersedia menjemputnya. Semoga Luhan tak sibuk dan bisa menjemputnya.

Ddrrrtt… drrrtt…

From: Luhan

Baiklah. Jangan sungkan untuk meminta bantuan padaku.

Senang bisa bertemu lagi, Lee Hyejin. Sampai jumpa besok.

Akhirnya Hyejin bisa bernapas lega sekarang. Gadis itu beranjak menaiki ranjang, kemudian membetulkan letak selimut dan juga bantalnya. Diraihnya ponsel dan membalas pesan Luhan.

To: Luhan

Terimakasih, oppa.

Selamat malam dan sampai jumpa besok.

===

Hyejin tak mengerti kenapa ia bisa merasakan gugup luar biasa. Gadis itu bahkan menggembungkan pipinya beberapa kali sembari berjalan mondar-mandir ke arah kanan dan kiri. Entah senang atau panik karena Luhan-lah yang akan menjadi calon suaminya.

“Hyejin-ah, duduklah di sofa itu!” instruksi kakek jelas menunjukkan bahwa tradisi ini telah dimulai.

Hyejin bergerak mendekati sofa yang telah diatur sedemikian rupa letaknya untuk berada tepat di depan pintu utama. Gadis itu duduk dan berharap-harap cemas. Berharap dengan sangat agar Luhan bisa dengan cepat mengeluarkannya dari situasi ini.

Hyejin melirik jam tangannya. sepuluh menit lagi, Luhan akan membuka pintu di hadapannya. Ya, Hyejin hanya tinggal menunggu. Namun seekor nyamuk hinggap di lengan kiri Hyejin dan sukses membuat gadis itu menepuk lengannya hingga menimbulkan suara.

“Kau tidak boleh bersuara, Lee Hyejin!” sekali lagi seruan kakek muncul. Dan Hyejin tak tahu pasti dimana kakek kolotnya itu bersembunyi. Hingga yang bisa dilakukannya hanyalah diam meskipun ingin sekali mengeluaran suara. Yeah, tradisi ini mengharuskan Hyejin diam sampai si calon suami datang. Hyejin yang pada dasarnya adalah penurut hanya mengikuti saja.

Hyejin menghela napas. Sudah tujuh menit berlalu. Itu artinya Luhan akan membuka pintu delapan menit kemudian.

Hyejin berharap-harap cemas. Dalam hati ia memanjatan doa semoga Luhan datang tepat waktu –atau lebih bagus jika datang lebih awal– agar ia tak perlu berlama-lama membungkam mulutnya sendiri.

Satu menit kemudian.

Hyejin mulai bosan.

Tiga menit kemudian.

Hyejin menguap. Ia merasa kantuk mulai menyerangnya. Gadis itu memang tak suka menunggu seperti ini.

Dua menit kemudian.

Hyejin mencoba keras agar matanya tak terpejam. Namun gadis itu tak bisa menahan kepalanya untuk tak tertunduk.

Dua detik kemudian…

Cklek!

Suara pintu yang terbuka sukses membuat Hyejin mendongakkan kepala. Rasa kantuknya hilang seketika. Namun melihat bayangan seseorang yang berdiri di ambang pintu membuatnya terkejut luar biasa. Jantungnya berdegup sangat kencang. Napasnya memburu. Suhu tubuhnya mulai tak beraturan. Dan Hyejin benar-benar bingung untuk mengerti situasi yang tak terduga ini.

Seorang Kim Jongin, berdiri di ambang pintu dengan tangan yang masih menempel pada knop.

Oh, tidak! Apakan Kim Jongin yang akan menjadi calon suaminya?

Seketika itu juga dunia Hyejin menghitam. Gadis itu tak sadarkan diri.

“Hyejin-ah!”

===

TBC

Ok, karena ada yang udah baca chapter ini, biar aku jelasin kalo ff ni emang ff lama yang terbengkalai. Sempet ganti judul juga. Tapi berhubung mandeg Cuma sampe chapter 1 doang, aku publish di sini bermaksud untuk ngelanjutin. Pengen aja ngelanjutin ff ini. hehee

Terimakasih sudah membaca sampai akhir…

Salam

Kee-Rhopy^_^

Filed under: Uncategorized

Show more