Perfect Flaw
When the ego killing every promise …
– ♥ –
⌈ MAIN CAST ⌋
Sehun/Stein — Ilana — Chanyeol — Grace
– ♥ –
⌈ ANOTHER CAST ⌋
Kai — Tania — Williard — Christy/Ruth
also
Alena — Luhan
– ♥ –
⌈ Los Angeles, California, US ⌋
⌈ AU ¶ Multi-chaptered⌋
⌈ RATE : PG-17 ⌋
⌈ GENRE ⌋
Romance, Drama, Hurt/Comfort, Angst, Family, Friendship, Brothership
– ♥ –
⌈ DISCLAIMER ⌋
I ordinary own the plot and I’ve try my best to make this absurd story. So, don’t be siders or plagiators, please. Don’t forget to read the Author’s Note below.
– ♥ –
⌈ PREVIOUS PART ⌋
TEASER || MEET (AGAIN) [1] || GOT THEIR FEELING #A [2]
.
Arlene©2015 | DARKLENE
.
⌈ NOW PRESENT ► GOT THEIR FEELING #B⌋
.
.
.
Masing-masing peranan dalam naskah telah dijatuhkan. Masih tentang arogansi, rindu, dan luka yang disisakan masa lalu.
—Anonymous, Perfect Flaw
Chanyeol membasahi bibir—terhenyak menerima sambutan tidak bersahabat yang terlepas dalam dinginnya suara bariton Sehun. Terlebih, beberapa detik lalu netra kelamnya sudah lebih dahulu dikejutkan oleh keberadaan sosok jangkung Sehun yang terduduk dengan sorot lapar terhujam lurus pada Ilana Kim, gadis yang juga menjadi tujuannya saat ini. Beruntung, Chanyeol masih memiliki jiwa seniman yang terpendam dalam diri. Kembali berpretensi dengan menutupi keterkejutannya. Berperan dalam operanya sendiri dan tak lupa memasang raut datar yang membawanya duduk berhadapan dengan Sehun. Bertukar pandang meski tidak seperti biasa.
Tak ada lagi raut bersahabat, pun dengan aura persaudaraan yang biasanya menguar kental. Segalanya kini raib, terenggut pancaran tak terbaca yang bertemu di satu titik. Menolak kehangatan yang menawarkan diri untuk ikut ambil bagian di celah hampa udara.
Suasana tidak menyenangkan ini bertahan untuk waktu yang cukup lama. Menyerang Ilana dengan rasa jengah luar biasa usai menyadari betapa menyeramkannya tatapan para kaum hawa yang tersebar di sekeliling. Penuh iri—nyaris dengki, seolah siap untuk menerkamnya hidup-hidup karena mengusik pemandangan indah mereka. Hell yeah. Apa lagi kalau bukan karena dua cassanova yang baru saja menjerumuskannya ke dalam kubangan sepi? Dua pria yang sama-sama terikat dalam silsilah keluarga Silverstein dan—sialannya, sejak kemarin kedua pria ini memermainkan alam bawah sadar Ilana secara bergantian.
Ugh, damn it! Gadis ini mengumpat dalam hati. Merutuki mata nakalnya yang mulai bekerja. Menikmati ketampanan dua anak manusia yang duduk terpisah dengannya meski tetap mengitari meja yang sama. Dimulai dari Sehun yang mengenakan setelan Calvin Klein warna hitam lengkap dengan dasi yang tersimpul rapi melilit kerah kemeja, lalu bergilir pada tubuh jangkung atletis Chanyeol yang juga dibalut setelan formal—bedanya tanpa dasi dengan dua kancing teratasnya yang dibiarkan terbuka.
Lelah berkutat dengan jeruji hening, Ilana pun berdeham kecil guna membersihkan kerongkongannya dari sisa-sisa rasa gugup. Gadis ini sempat menggigit bibir tatkala atensi kedua lawan bicara teralih padanya. Mengundang tatapan seduktif Sehun yang menampar kesadaran. “Bisa kita mulai sekarang, Tuan Park?” tanyanya. Sungguh baik hati Dewi Fortuna yang telah melenyapkan getaran pada vokal gadis ini sehingga untaian silabelnya terlepas begitu tenang.
“Hei!” Sehun tampak memekik. “How about me, Ms. Kim?”
Chanyeol menarik jilidan kertas yang tergeletak asal di hadapan Ilana. Tak lama fokusnya pun sibuk bergulir, menelaah susunan kata yang tercetak dalam lembaran proposal. Bibirnya tak tinggal diam, merenggut tugas Ilana dalam memberi jawaban atas kalimat protes sang sepupu, “Kurasa bukan masalah besar kalau kita memulai rapatnya bertiga.” Ia lantas mendongak. Tahu bahwa sorot elang Sehun sudah kembali padanya. “Salahmu sendiri yang sulit dihubungi. Jadi, Paman beralih meneleponku dan terjadilah insiden ini.”
Desahan lolos dari bibir tipis Sehun, disusul dengan punggungnya yang melesak posesif pada sandaran kursi. Obsidiannya berkeliling selama beberapa saat. Membiarkan mata-mata genit para perempuan yang melingkupi—menjadi pengalih dari peraduan fokusnya dengan milik Chanyeol. Dan, sebelum ia memberi jawaban, tatapannya memutuskan untuk mencecar iris ungu sang pemilik hati. “Aku tadi sibuk.”
“Apa pun itu, bisakah kita mulai sekarang saja?” sahut Ilana dengan segaris senyum terpeta di bibir. “Hanya tersisa dua jam sebelum tiba waktu makan siang,” tambahnya selepas melirik Alexandre Christie di pergelangan.
Chanyeol tersenyum simpul. Kepalanya mengangguk sekali sebagai jawaban, sebelum akhirnya kembali berkutat dengan bacaan penting di tangan. Menekuni untaian mimpi yang Ilana sisipkan dalam kata dan mengilhaminya. Sikap Chanyeol yang begitu terjaga ini tak pelak membuat Sehun geram dan lekas menyusun amunisi. Berpindah tempat dengan menjatuhkan pantat di sofa panjang yang telah lebih dulu dihuni si gadis pencuri hati. “Tunjukkan padaku file-nya,” titah Sehun sembari menahan luapan emosi. Tubuhnya merangsek maju, mengikuti Ilana yang baru saja menggeser posisi laptop di atas meja ke hadapan Sehun.
“Bukankah Tuan Lay sudah mengirimkannya pada Anda via e-mail?” tanya Ilana sopan guna menjaga formalitas, setelah sebelumnya berhasil mengembalikan jarak. Bergeser hingga ke ujung dengan satu tangan bertengger di lengan sofa. “Dan, bisakah Anda menjaga jarak? Saya tidak ingin berita miring yang beredar di masyarakat semakin menjadi,” sambung gadis penyandang marga Kim ini sembari memalingkan fokus pada Chanyeol. Sengaja menelusuri pahatan yang tak kalah sempurna itu dalam diam. Mengais ingatan guna memahami arti déjà vu yang pernah diungkap pria itu tempo hari.
Meski pada akhirnya nihil karena tak ia temukan hal berarti dalam puing kenangan yang tersimpan. Menyisakan dirinya bersama kuriositas sialan yang menguras kesabaran.
Tanpa menyadari tatapan Ilana yang terhujam lurus padanya, Chanyeol meletakkan kembali proposal ke atas meja. Mendongakkan kepala, kemudian menyempatkan diri untuk mengulas senyum manis pada seorang pelayan yang tengah sibuk memenuhi meja mereka dengan berapa jenis makanan dan minuman atas perintah Kai beberapa menit lalu via telepon. “Thank you,” kata Chanyeol—mengiringi kepergian si pelayan yang setengah terbirit guna menyembunyikan semburat merah di pipi. Siapa yang tidak senang kalau disapa orang sekelas Park Chanyeol?
Belum sempat Ilana mewanti-wanti diri untuk segera mengenyahkan rasa ingin tahunya terhadap sosok Chanyeol, gadis ini sudah kembali dikejutkan oleh suara bass yang sama, “Sepertinya Anda melupakan sesuatu, Nona Kim.”
“Sesuatu?” Ilana membeo, menuntut penjelasan.
“Dalam proposal ini, Anda terlalu terpaku pada cita rasa makanan dan melupakan fakta bahwa ada satu poin lainnya yang juga tidak kalah penting,” kini ganti Sehun yang menimpali kuriositas Ilana. Sengaja menggunakan bahasa formal demi mengikuti alur yang diinginkan gadis pencuri hatinya tersebut walaupun dalam hatinya harus rela disiksa rasa jengah luar biasa. “Kenyamanan tidak hanya terpaku pada kelezatan makanan dan cara penyajiannya. Kita juga harus memertimbangkan aspek lain, seperti; memanjakan para pengunjung. Membuat mereka tertarik untuk datang kembali. Bahkan, membawa nama baik kita ke ruang lingkup yang lebih besar. Singkatnya, membiarkan kehebatan kita dikenal dari mulut ke mulut.”
Chanyeol mengangguk sekali. “Apa yang dikatakan Stein benar, Nona,” ungkapnya menyetujui. “Dimulai dari hal kecil saja.” Iris hitam Chanyeol berpendar cepat. “Bisakah aku pakai panggungnya sebentar?”
“Tentu saja. Tapi untuk apa, Tuan?”
Alih-alih menjawab, Chanyeol lantas bangkit dan berlalu ke arah panggung. Menyisakan Ilana bersama Sehun serta segala keingintahuan yang mendekam di dasar pikiran gadis cantik ini. Mengendap bersama debaran liar lantaran indera penciumannya terlalu banyak mengkonsumsi aroma maskulin Sehun yang kembali mendominasi tanpa perlu lagi berperang dengan white musk Chanyeol. “Akan lebih menyenangkan kalau Baekhyun juga ada di sini. Aku bersumpah, suara Baekhyun jauh lebih bagus.”
Ilana mengerutkan dahi. “Suara?” ia membeo dan benar saja. Ketika fokus Ilana kembali mencecar panggung, Chanyeol sudah duduk manis sembari memainkan gitar di atas pangkuan. Menebar senyum asimetris yang sukses mengundang pekikan tertahan para kaum hawa.
Iris Ilana berkeliling, mencoba memahami medan. Otaknya berpikir dua kali lipat lebih keras. Sibuk dengan beragam spekulasi yang memberatkan namun juga menyenangkan. Terlebih saat menangkap pancaran kagum yang dihadiahkan sekeliling hanya untuk Chanyeol. “Sepertinya aku mengerti maksudmu, Tuan Park,” gumamnya lirih dengan tatapan yang enggan berkhianat dari sosok jangkung di atas panggung sana. Ya. Nyanyian. Hiburan. Kenyamanan. Candu. Kunjungan berkala untuk mencari kepuasan. Banyaknya nominal yang masuk ke saldo mereka di penghujung cerita. Itulah yang ingin ditekankan Park Chanyeol padanya.
“Jaga pandanganmu, Sayang. Aku cemburu, tahu tidak?”
“Cemburu pada saudaramu sendiri? Itu konyol!” sindir Ilana tanpa mengubah pusat atensi. Iris ungu gadis ini masih enggan berkhianat, menunggu dengan sabar aksi Chanyeol selanjutnya. “Aku sudah cukup sabar menghadapimu, Stein. Aku terus mencoba untuk menghormatimu sebagai rekan kerja. Tidak bisakah kau melakukan hal yang sama dan berhenti menggangguku?” Sebentar, Ilana tolehkan kepala. Mengangkat dagunya tinggi-tinggi untuk menjangkau redupnya obsidian Sehun melalui arogansi. “Aku bukan benda mati tak berperasaan yang bisa kau miliki dan buang sesuka hati. Sejauh ini aku masih bisa mengingat dengan baik bagaimana kau mencampakkanku, Silverstein!”
Diserang rasa terkejut tak lantas membuat Sehun kehilangan kesadaran. Gerak refleksnya justru dengan aktif menangkup kedua sisi wajah Ilana, mengambil sikap agar gadis itu tak mampu berpaling. “Aku tahu kau terluka. Maka dari itu, aku ingin memerbaiki apa yang pernah kuhancurkan, La. Aku takkan menyerah sampai kau sudi menerimaku lagi.”
“Kalau aku tidak mau bagaimana, huh?” tantang Ilana.
Sehun menggeleng keras. “You will,” tegasnya kemudian. “Aku tidak bodoh, La. Aku kenal Chanyeol sejak kecil. Dia tertarik padamu, tapi yang si bodoh itu lakukan sejak tadi hanyalah berpura-pura. Sebenarnya ini menguntungkan bagiku walaupun tetap saja kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan.”
Ilana menggigit bibir. Mengundang tatapan Sehun untuk merangkak turun dan berakhir di sana. Berlama-lama, sebelum akhirnya membebaskan kuasa hingga kedua tangan terhempas ke pangkuan. “Satu yang harus kau tahu.” Sorot elang Sehun kembali sesaat—setelah Ilana melarikan pandangan ke arah panggung. Membiarkan Sehun menggoda daun telinga Ilana dengan baritonnya. “Aku akan lakukan apa saja untuk membuatmu kembali. Melawan semua rintangan yang ada termasuk ayah dan saudaraku sendiri.”
If I was boyfriend, I’d never let you go.
I can take you places you ain’t never been before.
Baby take a chance or you’ll never ever know.
I got money in my hands that I’d really like to blow.
Chanyeol berhasil merampungkan bait pertama dari lagu Boyfriend milik Justin Bieber bersamaan dengan terhentinya kerja vokal Sehun. Tatapan penuh kelembutan pun pria ini arahkan lurus kepada Ilana. Membuat gadis yang ditatap mematung seusai menyadari adanya dua tatapan berbeda yang menikam tubuh mungilnya tanpa distraksi.
What kind of situation is this?
Masih kurang setengah jam sebelum jam makan siang tiba dan Kai sudah melakukan tindak korupsinya untuk kesekian kali. Kembali menjadikan kedai kopi yang berseberangan dengan UCLA Medical Center sebagai tempat peristirahatan, ditemani secangkir kopi yang masih mengepulkan asap hangat. Menguarkan aroma manis nan lembut yang menggoda penciuman meski tidak lebih dari cukup untuk mengalihkan pusat atensinya. Enggan berpaling barang satu detik pun dari pintu utama bangunan rumah sakit besar yang menjadi salah satu kebanggaan Los Angeles.
Bukan hal sulit bagi Kai untuk mencari tahu keberadaan Tania sejak pertemuan keduanya tiga hari lalu. Pria ini hanya perlu mengeluarkan sejumlah uang, lalu duduk manis di balik tameng yang menyamarkan buncahan rindu. Membiarkan benda bernominal itu menjalankan tugasnya melalui sekumpulan manusia yang Kai sewa sebagai mata-mata lepas. Sedikit mengingatkan pria Kim ini pada pertemuan pertamanya dengan Sehun dan Luhan. Awal dari kisahnya dalam melepaskan Ilana.
Kai pernah membunuh cintanya sekali dan ia tak ingin hal tersebut terulang untuk kedua kali. Terlebih jika disebabkan oleh kebodohannya sendiri. Pria berkulit tan ini telah bertekad untuk tidak menyerah pada takdir. Akan ia lakukan apa pun yang sekiranya dapat memertahankan keberadaan Tania dalam lembar kisah hidupnya.
“Tania? Kau tidak bekerja hari ini?”
Punggung Kai terasa kaku dalam posisinya. Dibekukan waktu selepas mendengar suara asing yang telah menyerukan nama cintanya. Belum lagi suara sopran yang tak lama kemudian menimpali, meyakinkan pria ini bahwa asanya telah begitu dekat.
Kai terlonjak saat mencoba menolehkan kepala dan nyaris menjumpai sepasang fokus cantik Tania. Rasa takut akan tertangkap basah pun mendorongnya untuk lekas bersembunyi. Tetap menajamkan pendengaran dengan irisnya yang sesekali mencuri lihat di balik taplak meja yang menjuntai. Tipis namun cukup membantu untuk menyembunyikan tubuh tegapnya yang kini membungkuk di kolong meja.
Konyol? Memang.
“Aku dapat izin dari rumah sakit untuk mengunjungi rumah salah satu pasienku. Dia hampir saja melancarkan aksi bunuh diri. Dan kau tahu apa alasannya?” Kai hampir memekik kegirangan saat mendengar suara menggebu Tania yang dihantarkan udara. Tubuhnya merangsek beberapa senti ke depan. Berharap tindakan kecilnya ini mampu memerjelas kalimat-kalimat yang siap diucapkan gadis pemilik rindunya tersebut.
“Cinta. Sesuatu yang pernah membuatku menangis seperti orang bodoh selama berbulan-bulan.” Sial! Untaian silabel Tania selanjutnya terasa menyesakkan begitu menyentuh sistem impuls Kai. Mengingatkan pria ini pada kebodohannya di masa lalu.
Kai baru akan melanjutkan pengintaiannya saat merasakan tekanan di bahu. Memaksanya untuk berkhianat, sebelum akhirnya terbelalak begitu menemukan salah seorang pelayan yang tengah menyambut irisnya dengan pandangan heran. “Apa yang Anda lakukan di bawah sana, Tuan?” orang tersebut bertanya dengan nada rendahnya. Sengaja menjaga kesopanan meski yang dilakukan Kai saat ini terlempar jauh dari normal.
“Aku?” Kai mengerjap. “I-itu … tadi bolpoinku jatuh.”
Pelayan tersebut membulatkan bibir selagi kepalanya mengangguk paham. Tak lama tubuh kurusnya ikut membungkuk—membantu Kai dengan pencarian palsunya. Sadar bahwa hal ini mulai mencuri perhatian sekeliling, Kai pun lekas melancarkan amunisi. “Aku bisa sendiri. Kau lanjutkan saja pekerjaanmu,” ucap pria Kim ini. Berharap si pelayan akan mengerti dan lekas berlalu. Namun sial, alih-alih berhenti, sosok berseragam itu justru bersikukuh membantu.
“Aku bisa mencarinya sendiri,” tegas Kai sekali lagi.
“Membantu tamu juga bagian dari pekerjaan saya.”
“Tidak per—”
“Maaf. Tapi bisa beritahu saya bentuk bolpoinnya seperti apa?” tanya pelayan berjenis kelamin pria itu setengah menyela. Tak disadarinya wajah memerah Kai karena terlalu sibuk menelanjangi petakan keramik yang menjadi alas. Benar-benar berniat membantu dengan tulus hati tanpa menyadari adanya bahaya yang siap menyambut. Tahu-tahu saat kepalanya menoleh, tubuh tegap Kai sudah kembali menjulang—keluar dari persembunyian. Mencecarnya penuh amarah seraya berkacak pinggang.
“Sudah kubilang, aku bisa melakukannya sendiri!”
“Tuan? Anda baik-baik saja? Apakah bolpoin itu berharga—”
Kai menggeram. Memutus cicitan tak penting si pelayan. “Tidak ada bolpoin yang jatuh. Sekarang pergilah sebelum aku membunuhmu, sialan!” hardiknya yang kontan membuat lawannya berlalu terbirit-birit. Menyisakannya sendiri di tengah lautan manusia yang sibuk menjadikannya pusat perhatian. Menghempaskan pria ini ke titik normal setelah terlepas dari bara emosi yang membutakan. Dan, saat kesadaran Kai kembali utuh, segalanya terasa tak lagi berguna. Terlambat untuk mengelak karena suara sopran yang menyiksanya dengan rindu itu sudah lebih dulu menyapa.
“Mr. Kim?”
Senyum kikuk pun diukir Kai di bibir. “Oh? Ha-hai, Tania!”
Geraman halus berulangkali diloloskan Sehun. Dorongan dari letupan amarah yang berkecamuk dalam hati. Wujud nyata ketidaksukaan pemuda ini paska melihat kedekatan antara si gadis pemilik hati dengan sosok lain yang sama berarti baginya. Tampak asyik terlibat diskusi asing yang membuat Sehun terpaksa merelakan diri menjadi satu-satunya yang dikucilkan lantaran Ilana masih enggan melibatkannya secara aktif.
Bisa dihitung dengan jari kebaikan hati Ilana menanggapi masukan yang dilancarkan Sehun sekembalinya Chanyeol ke tengah-tengah mereka. Kalimat balasan Ilana untuk segala pemaparan Sehun pun tak pernah lebih dari; Ya, tidak, atau ide bagus. Tak menampik, pengabaian ini melukai Sehun. Mengundang sejuta makian yang menodai pusat syaraf, lalu terpenjara untuk kurun waktu yang lama karena situasi yang enggan memberi peluang untuk meledakkannya begitu saja. Selain harus menjaga sikap di hadapan pengunjung yang lain, Sehun juga tak ingin terlihat kian buruk di mata Ilana hanya karena dibutakan rasa cemburu. Ew.
Entah Sehun yang terlalu bodoh atau Chanyeol yang terhitung cerdas. Setidaknya pria yang dengan bangga menyematkan marga Park dalam akta kelahirannya ini lebih cepat memahami medan. Mengulum senyum di ujung bibir tatkala menangkap kerlingan ekor mata nakal Ilana yang sesekali tertuju pada Sehun. Chanyeol pun tahu bahwa bentuk perhatian yang diberi gadis Kim itu padanya semata ada untuk memanas-manasi Sehun. Yeah, satu fakta yang kembali menyakiti ketulusannya namun ia kesampingkan.
Cukup lama ketiganya bertahan dalam pretensi hingga Chanyeol kembali menjadi yang pertama. Membebaskan diri dari rasa jengah yang tercipta melalui dehaman kecil pencuri atensi. Sekali lagi menjadi pusat perhatian meski dalam ruang lingkup yang lebih kecil dari sebelumnya. Untuk saat ini, memang hanya perhatian Ilana dan Sehun-lah yang Chanyeol butuhkan. “Bagaimana jika dekorasi dan uji kelayakan menu baru, Anda diskusikan dengan Stein saja, Nona Kim?” kata Chanyeol—bermaksud memberi saran sekaligus jalan. Memilih untuk kembali pada rencana awal dengan mengalah seperti yang sudah-sudah.
Sedikit memuakkan memang. Tapi apa lagi yang mampu dirinya lakukan selain ini? Kesempatan pun belum terbuka lebar baginya. Jadi, seandainya ia bersikeras merenggut Ilana dari kepemilikan Sehun, sudah bisa dipastikan kekalahan akan menjadi satu-satunya cindera mata perjuangan.
Ilana sendiri tampak membeliakkan mata usai mendengarkan penuturan Chanyeol. Serupa dengan Sehun yang mulai mengeraskan rahang. Sama-sama menunjukkan penolakan yang diperkuat oleh kalimat penanda jengah Sehun, “Tidak. Ini tugasmu. Paman juga sudah memercayakannya padamu, Chan.” Merasa belum cukup, pria ini pun kembali angkat suara selagi irisnya sibuk mengungkung pergerakan Ilana dan segala pengabaiannya. Asyik berkutat dengan laptop seolah-olah ucapan Sehun tak lebih dari angin lalu. “Biarkan aku tetap seperti ini. Berada di tengah-tengah kalian dan menjaganya dari jarak jauh sampai orang itu mau belajar untuk menghargai keberadaanku lagi. Aku akan terus membuatnya menerimaku bagaimana pun caranya. Egois memang, tapi dia perlu tahu bahwa segala tentangnya masih yang terpenting bagiku.”
Ilana menggigit bibir. Berusaha mengendalikan debaran liar yang menyambangi kerja jantung. Irisnya melengkungkan sabit. Memamerkan senyum palsu sesaat-setelah mendongakkan kepala dan bersirobok dengan netra gelap Chanyeol. “Saya usahakan untuk mengirim dekorasi barunya sesegera mungkin. Paling lambat nanti malam supaya planning kita besok berjalan dengan lancar,” ucapnya tenang. Bukan gadis ini tidak mendengar apa yang diucapkan Sehun sebelumnya. Ia hanya tidak ingin mudah terbuai susunan kata.
Setelah memastikan perubahan pada lembaran word-nya tersimpan. Ilana bergegas mematikan laptop. Memasukkan benda elektroniknya yang cukup krusial tersebut ke dalam tas channel cokelat kesayangan, untuk kemudian melirik penunjuk waktu yang melingkari pergelangan sebagai distraksi. “Sudah tiba waktunya makan siang. Kalau begitu saya pergi dulu. Sampai bertemu besok dan—”
“Mau menghindariku sampai kapan, La?” potong Sehun. Tubuh jangkungnya bangkit berdiri mendahului Ilana masih dengan rahang yang mengeras seperti sebelumnya. “Banyak hal yang harus kita selesaikan, tapi sebelumnya ada sesuatu yang ingin kubicarakan berdua dengan Chanyeol. Kau jangan ke mana-mana. Hanya duduk yang manis dan habiskan makananmu selagi menungguku kembali,” sambung Sehun. “Kau hanya akan meninggalkan tempat ini bersamaku.”
Ilana tidak menyahut. Tatapannya terasa kosong saat membalas kungkungan obsidian Sehun yang berkobar penuh intimidasi. Kediamannya ini lantas dimanfaatkan Chanyeol untuk menarik diri melalui pengantar kata. “Kalau begitu saya permisi. Selamat makan dan senang bisa bertemu dengan Anda lagi, Nona Kim.” Alih-alih menjabat tangan, Chanyeol lebih memilih untuk memainkan puncak surai Ilana. Tindakan kecil yang telah lebih dari cukup untuk membuat dua penonton terdekat terkejut.
Namun, bukan Sehun namanya jika tak mampu mengendalikan emosi. Tanpa meledak, pria ini justru menyembunyikan kepalan tangannya di saku celana. Kembali berbicara dengan iris yang terarah lurus pada pintu keluar restoran. “Kuantar kau ke parkiran.” Setelahnya pria itu pun melangkah pergi.
Ilana mematung, tak mampu bergerak. Violetnya berubah sendu begitu merasakan sisa-sisa emosi yang terselip dalam kalimat Sehun. Pikiran gadis ini mulai sibuk merutuki siasat yang tak berjalan sesuai rencana. Kenapa mereka jadi terlihat seperti sepasang remaja yang baru memadu kasih kemarin sore? Satu marah yang lain pun ikut marah, bahkan meledak lebih parah. Salahkah Ilana jika berharap Sehun akan rela menurunkan sedikit saja arogansinya? Sejak awal pria itu datang kemari—yang dilakukannya hanyalah memamerkan seberapa berpengaruh kuasa yang ia miliki saat ini. Seolah ingin menekankan betapa kontrasnya status sosial mereka dilihat dari Perusahaan IHG yang tercatat sebagai jaringan perhotelan terbesar di dunia, sementara Kimpton hanyalah satu dari sederet nama yang mendedikasikan diri sebagai anak perusahaannya.
Ilana butuh diperjuangkan namun yang dilakukan pria itu hanyalah memanfaatkan kuasa dan itu membuat Ilana muak. Ilana butuh ketulusan, bukan arogansi apalagi diintimidasi.
“Nona Kim?” suara bass Chanyeol menyentak kesadaran Ilana. Menarik sang empunya nama dari jerat khayalan kecilnya. Tak ada sahutan karena pada dasarnya Ilana sudah memutuskan untuk menunggu kelanjutan kalimat Chanyeol. “Kau tidak akan tahu seberapa besar pengaruhmu sampai bisa membuat orang lain tergila-gila. Tapi aku berani jamin, rasanya sungguh sangat menyiksa. Aku paham betul betapa sulitnya hadapi itu semua.” Chanyeol tersenyum tipis menyadari bahwa dirinya telah berhasil melenyapkan batasan formal yang sejak tadi menghalangi. “Semua tidak selalu sama dengan apa yang kau harapkan, Nona.”
Ilana mengernyit. “Pardon me?”
“Nope,” balas Chanyeol singkat dengan bibir yang sibuk mengukir senyum. “I have to go now. See you tomorrow, Ms. Kim.”
Seketika Ilana merasa bodoh di tengah kesendirian. Tak ada satu pun makna dalam kalimat Chanyeol yang mampu dicerna pusat syarafnya. Semua terdengar begitu ambigu sama halnya dengan perasaan gadis ini—dara bermarga Kim yang menutup kepergian Chanyeol dengan melahap beberapa potong Tenderloin Steak. Sengaja untuk mengganjal perut sebelum nantinya mengingkari titah Sehun.
“Kau sungguh menyebalkan, Sehun!” makinya pelan sembari menusukkan ujung garpunya pada potongan daging yang tersisa di atas piring.
Wal-Mart Stores, Inc. Perusahaan ritel Amerika Serikat yang sebagian besar sahamnya dimiliki secara turun-temurun oleh keluarga Walton. Perusahaan yang mengoperasikan jaringan department store ini sempat dicatat Majalah Fortune sebagai perusahaan publik terbesar di dunia berdasarkan pendapatan. Tak hanya itu, Walton Family sendiri telah berhasil menduduki posisi pertama dalam Majalah Forbes sebagai keluarga terkaya di dunia.
Memiliki banyak prestasi tak lantas menjadikan anggota keluarga Walton menjadi manusia angkuh tak berperasaan. Sebaliknya, masing-masing dari mereka justru dikenal masyarakat luas sebagai pribadi yang dermawan karena kerap menyumbangkan sebagian besar pendapatan yang masuk untuk kegiatan sosial.
Christy Ruth Walton salah satunya. Paska meninggalnya sang suami, John T. Walton, dalam sebuah kecelakaan pesawat, wanita ini terlatih menjadi pribadi yang kritis dan penuh tanggung jawab. Mengambil alih tugas sang mendiang suami untuk mengurus beberapa aset Walmart yang menjadi haknya beserta Perusahaan First Solar yang merupakan usaha sampingan—namun bernilai besar—John semasa hidup. Belum lagi putri semata wayang dari pernikahan mereka yang harus Christy besarkan seorang diri. Menjadikan Chrity sebagai seorang ibu yang terobsesi memenuhi kebahagiaan anak tunggalnya—Grace Walton.
Dan karena itulah pertemuan ini berlangsung. Di mana Williard harus memenuhi undangan Christy guna meluruskan kesalahpahaman yang ada. Merelakan belasan jam waktunya untuk melakukan penerbangan pribadi ke Bentonville agar tak sampai kehilangan relasi penting akibat perbuatan konyol Sehun di pesta pernikahan Alena tempo hari.
“Stein mencintai gadis itu ‘kan, Will?”
Terpanggil, Williard pun mendongakkan wajah. Berkhianat dari bacaannya yang memuat perselingkuhan Sehun sebagai berita utama. “Mereka dulunya memang sepasang kekasih, tapi kurasa itu bukan masalah besar, Ruth.” Sudah sejak lama Williard terbiasa memanggil Christy dengan nama tengahnya. Selain lebih singkat, silabel itu terasa jauh lebih nyaman bagi lidah pria paruh baya ini. “Grace akan tetap menjadi masa depan Stein.”
“Merusak kebahagiaan orang lain bukan kebiasaanku, Will. Kau sendiri tahu itu,” timpal Christy dengan pundak terangkat tegang. “Sebelum semuanya berjalan terlalu jauh, lebih baik kita hentikan dari sekarang. Aku yakin John akan tetap menganggapmu sahabatnya sekalipun kita tidak bisa memenuhi perjanjian kalian. Seandainya keuntungan menjadi hal terbesar yang kau kejar saat ini, kita tetap bisa melakukan perjanjian bisnis yang ada tanpa harus memaksakan kehendak pada anak-anak kita.”
“Bukan itu duduk permasalahannya, Ruth.”
Christy mengernyit bingung. Meski usianya terpaut dua puluh tahun lebih tua dibanding Williard, tak banyak perbedaan yang terlihat. Wajah wanita ini bahkan masih terlihat cantik meski diwarnai sedikit lipatan di permukaan kulit tanda menua. “Lalu apa? Aku tak ingin memaksakan kehendak jika nantinya malah membuat putriku tidak bahagia.”
“Aku tetap harus memenuhi janjiku pada John. Lagi pula kebersamaan Stein dengan gadis Kim itu melukaiku, Ruth. Aku takkan bisa merelakan mereka bersama,” sahut Williard. Dilemparnya begitu saja koran harian pemberian Christy beberapa saat lalu ke atas meja. “Stein anakku dan aku tahu apa yang terbaik baginya. Putrimu juga tak pernah menolak perjodohan ini, ‘kan?” sambung pria tampan yang telah menginjak kepala empat tersebut.
“Grace tidak mungkin menolak permintaan orang tuanya. Kalau bukan karena mendiang ayahnya yang menginginkan ini, pasti dia sudah memutuskan segalanya dari jauh-jauh hari,” tukas Christy. Belum ingin kalah ataupun mengalah. “Apa kau yakin bahwa semua akan baik-baik saja jika kita tetap memaksakan perjodohan ini, Will?”
“Ya!” tegas Williard. “Takkan ada yang berubah hanya karena berita murahan itu, Ruth. Sebenarnya aku kemari untuk mengundangmu dan Grace menghadiri jamuan makan malam. Hanya kau, aku, istriku, dan anak-anak kita.”
“You’re so selfish.”
Williard mendengus namun tetap mengamini, “Yes, I am.”
Kurang dari lima menit Sehun habiskan dalam diam. Membiarkan Chanyeol membaca garis wajahnya yang kentara emosi tanpa berkomentar. Sesekali obsidiannya terpejam, sebelum akhirnya lenguhan panjang nan beratnya tersuap ke udara. “Your acting was so terrible,” akhirnya Sehun membuka percakapan. Mencecar iris hitam Chanyeol dengan kilatan emosi. “You really like my girl. I can read it through the way you look at her.”
Chanyeol menarik sudut kanan bibirnya sembari mengedikkan bahu. Tak lama pria ini pun melangkah keluar elevator. Mendahului Sehun setelah pintu angkutan transportasi vertikal itu bergeser terbuka dengan sendirinya. Kedua kaki kurusnya mulai asyik mengukir jejak tak kasat mata selagi fokusnya sibuk menelanjangi kuda besi andalan yang terparkir dalam radius kurang dari lima meter.
“Kita sama-sama pria, Chanyeol,” sekali lagi Sehun bersuara. Menghentikan pergerakan Chanyeol menggunakan satu tangannya yang bertengger di bahu kanan pria itu. “Jangan jadi pengecut, terlebih saat bersamaku! Kau menyukai gadisku, ‘kan?”
Chanyeol menggeram samar, kemudian menyingkirkan tangan Sehun yang menghambatnya secara perlahan. Sebagai ganti, ia lekas mengulurkan tangan. Menepuk dua kali bahu sang kakak sepupu yang kentara menegang. Aku menyukainya atau tidak, itu bukan masalah penting, Stein. Selama kau bisa menjaganya dengan baik maka aku juga akan tetap seperti ini,” ucap Chanyeol, mencoba mengakui perasaannya meski tidak secara gamblang. “She’s still love you.”
“Apa yang membuatmu menyukai Ilana?”
Senyum manis meninggalkan ketampanan Chanyeol tak lama setelah Sehun berhasil merampungkan kalimat. “Karena dia Ilana.” Hanya tiga kata. Singkat dan sederhana namun tidak dengan efek yang ditimbulkan. Rindu itu kembali menyiksa palung hati Chanyeol. Melancarkan beragam penghinaan yang meregas habis kesabaran.
“Unfortunately, this is not as simple as you think. Ini juga bukan sesuatu yang menyenangkan untuk kau ketahui,” tambah Chanyeol setelah menyadari keterdiaman Sehun. “Ilana memang sudah terlanjur memiliki semua pengharapanku, tapi persaudaraan kita tetap jauh lebih penting. Selagi kau bisa menunjukkan bahwa kau tidak akan melukainya seperti dulu, aku takkan pernah menjadi penghalang langkahmu, Stein.” Chanyeol memutar tubuh hingga membelakangi Sehun. Bibirnya kembali membuka setelah merasakan pergerakan Sehun yang begitu gelisah di balik punggung. “Lebih baik kau temui dia sekarang. Mengantarku kemari sama saja membuang waktumu. Kau sudah membuatnya menunggu terlalu lama, bodoh!”
Sehun mendesah berat. Sebelum membawa langkah tergesanya kembali menuju elevator, ia sempatkan diri untuk memuntahkan beberapa silabel penuh penekanan sebagai penutup, “I’ll keep your words, Chan. Thanks.” Tanpa pernah tahu bahwa Chanyeol berbalik menatap kepergiannya dengan sorot terluka. Akankah kau mengalah jika aku menjelaskan seberapa penting Ilana bagiku?—dan untuk kesekian kali, pertanyaan yang sama pun tertahan di kerongkongan. Membentuk pusaran lara yang menyita hampir seluruh kebahagiaan Chanyeol.
Setelah saling bertukar sapa dan menanyakan kabar satu sama lain—yang membuat teman Tania langsung pamit undur diri, tak ada lagi yang memulai percakapan. Terkunci sepi tak ubahnya sepasang tunawicara yang dipertemukan takdir. Jika Kai asyik memandangi wajah cantik yang tengah merona di hadapannya, Tania justru harus mati-matian menghalau diri agar tidak membalas tatapan pria Kim tersebut. Menjadikan kedua alas kakinya sebagai pelampiasan.
“Where have you been?”
Tania tersentak mendengar suara berat Kai. Ragu-ragu kepalanya mendongak, sebelum akhirnya menjadi kian tersipu saat irisnya bertemu dengan cokelat gelap milik Kai yang selalu terlihat memesona. Tanpa sedikit pun niat untuk menimpali, gadis manis ini lebih memilih untuk menjadi pendengar yang baik. “You disappeared and it’s driving me—” Kai tampak terhenyak paska menyadari mulut nakalnya yang berucap terlalu jauh. Namun, bukannya berhenti, pria ini justru merampungkannya meski dengan nada yang teramat lirih, “—crazy.”
Kekehan kecil Tania terdengar. “Really?” godanya senada dengan kedua pipi pualam yang kembali diwarnai semburat jingga. Tak ia acuhkan rasa malu yang kembali menggerogoti. Berusaha menutupinya dengan lengkungan senyum yang ia kunci di bibir. “Aku ikut pertukaran pelajar dan tersesat di sini. Aku tidak bisa pulang, ah, tidak.” Tania menggeleng dua kali. “Aku sendiri yang tidak mau pulang apalagi menemuimu. Terlalu memalukan. Tingkahku yang selalu mencecarmu seperti gadis murahan. Yeah, aku terus memikirkannya selama tiga bulan masa pertukaranku di sini,” aku gadis ini—setengah meralat.
“Aku memang pengecut, maka dari itu aku kabur.”
Kai menandaskan kopinya yang sudah dingin. Netranya berkeliling—menghindari sorot rapuh Tania. Menikmati pemandangan sekitar secara acak. Meski begitu, bibir tebalnya tetap membuka guna menimpali kalimat bernada frustasi gadis di hadapannya tersebut, “If you’re a coward, then how about me? I never dared to express my feelings. I wanna speak it loud, but the one that I can do is only hiding.”
Tatapan Kai kembali pada Tania. Melembut hingga membuat objek yang ditatap terlena seketika. “Jangan pernah berpikir untuk pergi lagi, Tan. Aku bisa gila sungguhan jika harus kehilanganmu untuk kedua kali,” Kai kembali berujar. “Aku merindukan bekal makanan yang selalu kau letakkan diam-diam di meja kerjaku. Aku merindukan cengiran bodohmu yang selalu menghantuiku di setiap penjuru kampus. Kau benar-benar penguntit kurang ajar yang sudah mencuri hatiku, lalu pergi begitu saja.”
Tania mengerjap lucu. Jantungnya bekerja dua kali lipat lebih liar. Membawa aliran darahnya ke kepala lalu meledak tanpa tanggung-tanggung. Membakar sang empunya tubuh dalam lautan rasa malu. “Are you drunk?” tanya Tania. Polos, nyaris konyol.
“Maybe,” jawab Kai seraya mengangkat bahu. Senyumnya lepas seiring dengan jari telunjuknya yang terulur menggoda pipi semerah tomat milik Tania. “Rasanya sudah lama tidak melihatmu begini. I miss you like crazy, I swear. Bisakah kita kembali mengulanginya?” pria ini kembali meracau. “Jika aku memiliki waktu senggang bolehkah aku membawamu kembali ke Berlin? Mengulang semua kebiasaanmu yang kurindukan, lalu memerbaiki semuanya?”
“Berlin?”
Kai mengangguk. “Aku ingin melamarmu di sana,” jawab pria ini yang sukses membuat Tania tersedak di sesapan pertama teh panasnya. “Aku tidak akan terburu-buru. Maksudku aku ingin membuatmu memaafkan seluruh kebodohanku di masa lalu, baru setelahnya menguncimu untuk menjadi milikku seutuhnya. Sudah cukup aku menjadi penguntit selama tiga hari ini. Kurasa sebelum pulang aku harus berterimakasih pada pelayan yang tadi.”
“Jadi, kau benar-benar membuntutiku selama tiga hari terakhir?” Tania membeliak, kemudian memukul lengan Kai yang terjangkau karena hanya terkulai bebas di atas meja. “Pantas saja aku merasa tidak enak hati belakangan ini,” keluh gadis Kang ini pada akhirnya. “Kenapa tidak langsung menyapaku, huh? Takut, ya?”
Kalimat terakhir Tania yang bermaksud menggoda nyatanya disahuti dengan serius oleh Kai. “Ya. Aku sangat takut kalau kau pergi lagi begitu aku muncul. Aku takut kau membenciku, Tania. Aku tak ingin kehilangan gadis yang kucintai lagi.”
“Kurasa Anda benar-benar sedang mabuk, Tuan Kim.”
“Terserah apa katamu, Nyonya Kim,” sahut Kai, lalu setelahnya merasa geli sendiri akibat rona merah yang kian membakar wajah cantik Tania. “Kapan-kapan aku ajak kau bertemu Ilana. Dia juga merindukanmu. Tapi untuk sekarang aku hanya ingin menghabiskan waktu luangku bersamamu. Hanya kau dan aku.”
Napas lega Sehun terhembus begitu irisnya berhasil menangkap tubuh mungil Ilana di pelataran hotel. Langkahnya pun terarah pasti menghampiri sosok cantik tersebut. Mengikis spasi nyata yang menghalangi demi merengkuh gadis pencuri hati. Satu-satunya alasan di balik segala makian yang mewarnai perjalanan Sehun kemari. Agaknya tak rela paska menemukan Ilana yang tak lagi berada di kursinya setiba Sehun di restoran beberapa menit lalu.
“I catch you, Amore,” bisiknya begitu berhasil membawa Ilana ke dalam pelukan. Tanpa aba-aba, ia gunakan tangannya untuk memutar tubuh mungil itu agar lekas berhadapan. Memertemukan kening keduanya, kemudian tersenyum penuh kemenangan. “Where are you going, huh? Kubilang tunggu sampai aku kembali,” ucapnya dengan ujung hidungnya yang sibuk menggoda milik Ilana. “Baru setelahnya kau boleh pergi.”
Seakan hanya menggoda Ilana dengan pasokan kata tak pernah membuatnya merasa cukup, Sehun semakin merangsek maju dan menghembuskan napas panasnya ke sekitaran tengkuk Ilana. Membuat gadis cantik itu menggeliat dalam rengkuhan tanpa menyadari bahaya yang timbul setelahnya—mengingat tak ada lagi spasi berarti yang menghalangi keduanya saat ini. “Take it easy, girl. You’ll be save with me. Kau hanya perlu membawaku bersamamu ke mana pun kau pergi,” tambahnya setelah melepaskan geraman halus penanda gairah yang meluap. Sungguh berbanding terbalik dengan nada yang terakhir ia gunakan sebelum mengantarkan Chanyeol menuju tempat parkir.
“In your dream!” balas Ilana ketus dengan tubuh yang melancarkan beragam pemberontakan meski tahu tenaganya takkan pernah sepadan dengan Sehun. Tanpa kenal lelah, gadis Kim ini terus menekan bagian depan tubuh Sehun agar menjauh namun yang terjadi justru jemari lentik gadis ini terlena. Kepayahan untuk tidak terpesona pada dada bidang serta perut kotak-kotak Sehun yang terasa begitu nyata walau terhalang kemeja putih—tipis, sementara jas hitamnya sudah tidak dikancingkan lagi. Ilana tahu bahwa dirinya baru saja terbuai gelora akibat sihiran rindu. Mendorongnya untuk menyentuh setiap inci tubuh Sehun lebih jauh and it’s feels so bitchy.
“Dream? Then don’t let me awake.”
Berbanding terbalik dengan isi hati, Ilana meloloskan geraman sebalnya. Melemparkan berbagai makian, berharap Sehun mengalah dan melepaskannya. “Go away from me, Stein! Biarkan aku menghubungi Kai dan memintanya menjemputku. Kalau begini terus, kau bisa membuat kebersamaan kita terlihat makin mencolok setelah berita murahan yang beredar di masyarakat. Kau pasti sudah membaca koran, ‘kan?” Ilana meracau—masih dengan anggota tubuh yang sibuk membentuk perlawanan. “Let me go. I beg you,” tutup Ilana di tengah rasa frustasinya akan kekalahan.
“Stop moving, La! You tease me too much,” balas Sehun sembari menggegatkan kuasa. Membuat tubuh Ilana yang mulai terhalang jarak kembali menempel sempurna padanya. “I swear that I really wanna kiss you right now, but I won’t do that until you accept my apologies,” bisik pria ini dengan suara serak lantaran terbakar tendensinya sendiri. “Let’s go together!”
Ilana membeliak saat Sehun membawanya masuk ke dalam sebuah taksi. Benar-benar tidak memberinya kesempatan untuk berontak karena semua terjadi begitu cepat. Membuat Ilana mengumpat ketika kesadaran kembali menampar kelemahannya. Satu-satunya yang mampu gadis ini lakukan hanyalah memuntahkan pertanyaan yang terdengar seumpama makian di telinga Sehun, “Kau pikir mau membawaku ke mana, hah? Bukankah mobilmu masih tertinggal di parkiran?”
“Masa bodoh dengan mobilku!” Sehun tersenyum. “I’ll take you wherever you wanna go.”
Decakan sebal diloloskan Ilana untuk kesekian kali. Otaknya bekerja dua kali lipat lebih tajam. Mengumpulkan seragam premis yang nantinya ia harapkan dapat menjadi satu konklusi tepat sasaran. Cukup lama Ilana berpikir dan berspekulasi, sebelum akhirnya menjadikan satu tempat krusialnya sebagai putusan akhir. “Penthouse.”
“Wow. Langsung membawaku ke penthouse? Tidak ingin ke kantor dulu?” tanya Sehun di balik seringai seduktifnya. “Kau nakal juga ter—”
“Jangan berpikir macam-macam!” sela Ilana kian ketus. Tangannya terlipat angkuh di depan dada, sementara fokusnya berpaling menembus kaca jendela. Menolak pandangan Sehun yang tampak menyebalkan setiap kali menyambut violetnya. “Kalau aku membawamu ke kantor itu sama saja bunuh diri. Aku tidak ingin membuat seisi kantor heboh karena melihatku datang bersamamu. Nanti bukannya bekerja, karyawanku malah jadi penggosip. Dan lagi, kenapa kau ini senang sekali membuatku berada di posisi yang sulit, Stein? Berhentilah. Semuanya membuatku lelah.”
“Bohong!” tukas Sehun. Tak ada lagi nada humor dalam silabelnya. Semua lenyap digantikan rahang yang kembali mengeras. Tatapannya berpaling ke depan hanya demi menyebutkan alamat Hotel Wilshire—di mana penthouse yang menjadi hunian Ilana berada.
“Kau jelas tahu bahwa kau merindukanku, La,” kata Sehun setelah selesai dengan distraksi kecilnya. “Dan kau juga tahu bahwa aku jauh lebih merindukanmu,” sambungnya, kali ini dengan volume yang lebih pelan. Nyaris hilang ditelan udara. “Masa bodoh dengan apa yang dipikirkan orang lain. Aku hanya ingin membuatmu kembali padaku. Jadi milikku.”
“Mulutmu bicara begitu, tapi yang kau lakukan jauh berbeda dengan apa yang kuharapkan sebagai bukti,” sahut Ilana. Tatapannya kembali terarah lurus pada Sehun. “Kau egois dan selalu melakukan apa yang kau inginkan sekehendak hatimu. Termasuk meninggalkanku dengan alasan tak ingin ayahmu melukaiku. Kau pikir itu akan membuatku tersanjung?” Ilana tersenyum sinis. “Tidak-sama-sekali, Stein! Kau malah terlihat seperti seorang pecundang di mataku.”
Ilana mendesah lega. Akhirnya kekecewaan yang ia pendam selama setahun terakhir terlepas juga. “Aku memang merindukanmu, tapi bukan untuk kembali padamu. Pada kenyataannya rasa sayang yang kumiliki sekarang tidak lebih besar dari kebencian yang kau tumbuhkan dalam hatiku.”
“Sudah puas?” balas Sehun setelah memberikan jeda beberapa detik. “Kau pikir dengan menghinaku seperti ini, aku akan langsung menyerah? Tidak-sama-sekali, I-la-na!” Tanpa aliansi Sehun mencuri pelafalan vokal yang Ilana gunakan sebelumnya. “Aku memang pecundang di masa lalu dan semua orang berkesempatan untuk berubah menjadi yang lebih baik. Kau hanya perlu percaya, La. Percaya bahwa aku bisa menjadi Orion yang rela melakukan apa saja demi meraih Andromeda. Bahkan, ketika Leo datang menghadang, Orion akan terus berjuang membawa Andromeda ke dalam pelukannya.”
Belum fasih Ilana mengilhami perumpamaan yang Sehun buat berdasarkan rasi bintang—kesukaannya, tubuh mungil gadis ini sudah tertarik ke dalam rengkuhan sepihak. Disusul lengan kekar Sehun yang melingkari bahu Ilana untuk membuat posisi keduanya kembali rapat. “Permisi,” panggil Sehun tergesa pada sang supir taksi yang ia ketahui sibuk mencuri pandang ke arah mereka sedari tadi. “Kau tahu siapa aku, ‘kan?”
Supir tersebut tersentak namun akhirnya mengangguk juga. “A-Anda … Sehun Silverstein, bukan?” Yang beritanya sedang marak dibahas di media massa—sambung pria paruh baya berseragam ini dalam hati.
Sehun tampak sumringah, kemudian balas menganggukkan kepala. “Betul sekali,” sambutnya bersemangat. Tangan yang semula bertengger di bahu, kini naik hingga ke puncak kepala gadisnya. Tak lama, ia pun menambahkan. Memuntahkan untaian kata yang berhasil membuat violet Ilana membulat sempurna. “Dan yang di sampingku ini namanya Ilana Kim. Gadis yang digosipkan sebagai selingkuhanku. Well, dia benar-benar selingkuhan yang manis. Dia juga cantik, bukan?”
“Kau gila, Stein!”
.
.
.
.
– To be continued –
.
.
⌈ BONUS PART ⌋
.
Pont des Arts atau dikenal juga dengan Passerelle des Arts. Jembatan khusus pejalan kaki yang menghubungkan Institute de France dan Louvre Museum. Jembatan metal ini dibangun antara tahun 1981-1984 menggantikan jembatan lama yang sudah rusak. Memiliki panjang 155 m dan lebar 11 m.
Terletak di antara dua landmark Paris, Pont des Arts menjadi salah satu jembatan paling terkenal di Perancis. Tak sedikit yang percaya pada ‘tradisi gembok cinta’ yang berlaku di tempat ini. Sebagian besar pengunjung yang datang pun agaknya yakin bahwa cinta mereka akan abadi jika menuliskan nama atau inisial mereka bersama pasangan di gembok, menguncinya di pagar, lalu membuang kuncinya ke sungai.
Dan, Alena menjadi salah satu gadis polos yang tersentuh mitos tersebut. Mengorbankan Luhan yang terpaksa mengalah demi memenuhi keinginan sang istri. “Setelah ini mau ke mana lagi, Sayang?” tanya pria tampan ini setelah keduanya berhasil melemparkan kunci logam dalam genggaman bersama-sama. “Sepertinya aku sudah tidak sabar untuk mengunjungi Le mur des je t’aime,” sambungnya bersemangat.
“Aah, aku juga ingin ke sana, Lu,” sambut Alena tak kalah bersemangat. Bayangan akan dirinya yang berhasil berdiri di depan Le mur des ‘je t’aime saja sudah membuatnya terlena dalam letupan rasa bahagia. Tembok cinta—hasil karya seniman Fréderic Baron dan Claire Kito ini terletak di daerah Abbesses, Montmarte. Dibuat dari 511 papan lempengan, 311 kata je t’aime dari 250 bahasa di dunia. Menakjubkan, bukan?
“Tiba-tiba aku berharap Sehun akan membawa Ilana berlibur ke Paris. Kau sendiri tahu kalau hubungan mereka perlu penyegar. Melihat adikku murung dan menutup diri dari cinta itu rasanya memuakkan. Sungguh.” Alena mengetuk dagu dengan jari. Memasang tampang berpikir sebelum akhirnya melayangkan satu kecupan lembut seringan bulu pada material basah Luhan. “Karena selama berada di sini rasa cintaku menjadi berkali-kali lipat lebih besar untukmu. Harusnya itu juga berlaku bagi Ilana, terlebih Sehun bisa melakukan hal-hal yang jauh lebih gila untuk adikku itu.”
“Apa itu artinya suamimu ini tidak lebih hebat dari Sehun?”
Alena membeliak sebelum menggelengkan kepala secara bar-bar. Sadar bahwa dirinya salah bicara, cepat-cepat wanita ini ber