2015-10-29



Kim Tales :

“Wildest Dream”

Oh Jaehee / OC || Kim Joonmyun / EXO Suho || Others

Marriage Life, Romance, Angst

PG || Chapters

Teaser || Part 1 || Part 2 || Part 3 || Part 4 || Part 5 || Part 6 || Part 7

In Correlation with  :

{Kim Tales} Deepest Memories — Teaser

© neez

Aku merindukanmu…

Akhirnya Jaehee menepati kata-katanya. Setelah Joonmyun membawanya pulang ke rumah, gadis itu mulai mau makan dan menuruti semua permintaan Joonmyun yang menyangkut kesehatannya dan bayinya, seperti meminum obat tepat waktu, suplemen ibu hamil, hingga meminum susu tanpa protes.

Tapi, hubungan keduanya tak kunjung membaik. Joonmyun tidak mengerti apa yang terjadi diantara mereka berdua, hingga rasanya tak ada kata yang saling mereka ucap kecuali itu penting sekali. Jaehee tidak bicara, jika tidak perlu. Joonmyun pun putus asa memancing percakapan dengan istrinya yang hanya memasang wajah datar, dan selalu memilih berdiam diri di rumah jika ia ada disana.

Satu-satunya kalimat yang Jaehee ucapkan kepadanya di pagi hari adalah, ”Sudah mau berangkat kerja?” selebihnya gadis itu tidak bicara apa pun lagi kecuali ditanya. Dan itu sudah berlangsung hingga dua bulan mereka di rumah. Untungnya, gadis itu masih mau diajak ke dokter untuk melakukan check up kandungan rutinnya.

Bayinya sehat, tapi kondisi ibunya tidak terlalu baik.

”Mungkin istrimu sedang mengidam sesuatu, Joonmyun-ah,” saran Luhan, ketika akhirnya Joonmyun sudah tidak tahan dan mencurahkan isi hatinya pada sahabat-sahabatnya di kantor; Luhan, Minseok, dan Kangjun.

Ketiganya, yang belum memiliki istri, tentu saja tidak begitu memahami apa yang tengah dialami oleh Joonmyun sekarang.

”Mengidam?”

”Eoh, biasanya jika seorang wanita yang mengandung, mereka cenderung akan mengidam sesuatu. Kadang-kadang ngidamnya pun aneh, seperti ingin makan sesuatu yang susah untuk dicari, atau tidak jarang juga jadi muak melihat wajah suaminya sendiri.” Jelas Luhan panjang lebar.

Kangjun mengangguk, ”Noona-ku di rumah juga begitu. Dia benci sekali melihat wajah Hyungbu-ku saat mengandung. Dan begitu lahir, anaknya mirip sekali dengan Hyungbu. Kata orangtua, itu semua faktor ngidam saat kehamilan.”

”Jinjja?” tanya Joonmyun.

Kangjun mengangguk, ”Mungkin saja Jaehee Noona sedang merasakan ngidam sehingga ia sedikit sebal pada Hyung tanpa alasan jelas. Nanti jika Jiji lahir, dia pasti mirip dengan Hyung, mirip sekali!”

”Entahlah, aku memiliki firasat jika Jaehee bersikap begini bukan karena faktor kehamilannya… tapi,” ia juga nampak tidak yakin. ”Dia belum pernah seperti ini sebelumnya, dan aku khawatir dengan sikapnya. Berat badannya juga seharusnya segera bertambah, ia terlalu kurus bagi ukuran orang hamil.”

”Tapi Jiji berat badannya baik?” tanya Minseok.

Joonmyun mengangguk, ”Dokter bilang nutrisi untuk bayinya cukup, tapi akan lebih baik jika Jaehee mau lebih banyak makan. Entahlah, aku masih berpikir kalau hal ini tidak ada hubungannya dengan kehamilannya…”

”Kenapa kau berpikir begitu?” tanya Luhan penasaran.

Bersandar pada kepala kursinya, Joonmyun mengernyit dan berusaha mengingat runtutan kejadian sejak hubungannya dan Jaehee menjadi dingin. ”Sebelum dia kram perut itu, hubungan kami baik-baik saja, kau tahu? Kami seperti suami-istri pada umumnya, yang selalu berbincang-bincang… mengobrol, dan bercanda. Lalu, setelah kami… ke dokter sore itu, Dokter Uhm bilang tekanan darahnya tinggi.”

”Mungkin Jaehee hanya stress,” Minseok mencoba menenangkan.

”Hyung, coba ingat… mungkin ada sesuatu yang membuat Noona jadi stress,” usul Kangjun.

Joonmyun mengernyit, ”Setahuku hari itu, aku hanya tidak bisa menjemputnya. Kau ingat kan, Kangjun-ah? Kau yang menjemput Jaehee hari itu, aku harus bertemu dengan perwakilan dari American Apparel.”

Deg!

Entah kenapa setelah menyebutkan masalah menjemput Jaehee, Kangjun jadi teringat kejadian hari itu. Ingatannya kemudian berputar pada Jaehee yang awalnya ceria dan terus tersenyum, menjadi berubah! Persis seperti yang di deskripsikan oleh Joonmyun. Semenjak kedatangannya ke kantor, Jaehee berubah!

Apakah jangan-jangan karena ucapan Park Chorong waktu itu? Batin Kangjun.

”Kangjun-ah, wae? Kenapa kau pucat begitu?” tanya Luhan heran melihat asistennya mendadak menjadi diam.

Kangjun menggelengkan kepalanya. Apa dia harus mengatakannya pada Joonmyun? Tapi bagaimana kalau bukan karena Chorong? Dia akan memfitnah Chorong jika ternyata sikap Jaehee berubah bukan karena kuasa hukum kantor mereka itu, kan?

*        *        *

”Dimana dasi merahku?” gumam Joonmyun sambil membongkar-bongkar isi lemarinya.

Jaehee yang tengah membereskan tempat tidur sedikit memekik. Hal itu tidak luput dari perhatian Joonmyun juga. Gadis itu buru-buru mengalihkan wajahnya dan kembali melipat selimut yang semalam ia dan Joonmyun gunakan untuk tidur.

”Kau melihat dasiku, Jaehee-ya?” tanya Joonmyun lembut, berharap dengan percakapan singkat, istrinya akan kembali seperti dahulu lagi. Ia tak akan lelah untuk mencoba.

”Se…sepertinya… aku lupa mengambilnya.” Jawab Jaehee gugup.

Joonmyun membalikkan tubuhnya, mengernyit. ”Mengambil? Mengambil darimana?” tanyanya heran.

Jaehee menghela napas. ”Aku kemarin mencuci namun sepertinya tumpukan cucian yang terakhir lupa kubawa ke atas. Kau tunggulah disini, aku akan ambil ke bawah sebentar…” Jaehee berjalan dengan kepayahan keluar dari dalam kamar. Tubuhnya yang kecil kini harus menopang perutnya yang sudah semakin membesar di usia tujuh bulan jalan delapan bulan kandungan.

”Anhi! Tidak perlu, Sayang, aku pakai dasi yang lain saja.” Joonmyun buru-buru berlari dan menahan tangan Jaehee yang hendak menarik handel pintu. “Gwenchana, aku akan pakai dasi yang lain.”

Dan Jaehee hanya diam saja, kemudian berjalan kembali ke dapur tanpa mengatakan apa pun pada suaminya yang menghela napas mendapati perlakuan dingin darinya.

”Berapa banyak yang kau cuci? Kenapa tidak pakai jasa Bibi Laundry lagi?” tanya Joonmyun penasaran sambil mengikuti Jaehee yang duduk di meja makan, menghadapi sarapan paginya yang dibuatkan oleh Joonmyun.

Jaehee menghela napas, ”Tidak perlu menggunakan jasa Bibi Laundry jika masih bisa dikerjakan sendiri.” Jawabnya dengan nada yang tetap datar, tanpa mau memandang Joonmyun sama sekali. Ia menarik mangkuk oatmeal-nya mendekat ke arahnya dan mulai menyuapkannya ke dalam mulutnya.

”Tapi, Sayang…” kata Joonmyun ragu-ragu. Ia tidak mau Jaehee marah lagi padanya, tetapi ia tidak bisa mengenyahkan pikiran mengerikan mengenai istrinya yang tengah berperut besar itu membawa pakaian-pakaian ke mesin cuci sewaan di bawah. Apartemen ini tidak memiliki lift, dan mereka tidak memiliki mesin cuci. ”Aku tidak mau kau jatuh saat membawa-bawa cucian itu…” tambah Joonmyun dengan nada khawatir.

Jaehee menjawab datar, ”Aku tidak akan jatuh.”

”Tapi bagaimana kalau kau jatuh?”

Kali ini, dua mata Jaehee barulah terangkat menatapnya. Tatapan itu dingin, dan kosong, ”Aku tidak akan jatuh!”

”Aku tidak mau terjadi sesuatu padamu, Jaehee-ya. Jebal, pahamilah itu…” pinta Joonmyun lirih.

”Tidak akan ada yang terjadi denganku.” Jaehee berdiri dan membawa mangkuknya ke tempat cuci piring. ”Pergilah ke kantor, tidak perlu mengkhawatirkanku.”

Joonmyun mendesah berat, berjalan ke dalam kamar untuk mengambil satu dasi baru dan mengenakannya. Berusaha mengenyahkan hatinya yang berdenyut-denyut nyeri atas perlakuan Jaehee kepadanya selama dua bulan terakhir. Ia berharap Jaehee hanya seperti ini di masa kehamilannya saja, karena ia benar-benar tidak ingin jika pernikahannya berlangsung seperti ini terus.

”Aku berangkat dulu, kalau ada apa-apa hubungi aku, oke?” pesannya pelan, meski tahu Jaehee takkan menjawab dengan antusias.

Benar saja, istrinya hanya mengangguk tanpa menatapnya lagi dan berjalan ke arah pintu untuk membukakannya bagi Joonmyun. Biasanya ia selalu mengecup dahi Jaehee jika hendak berangkat kerja, namun seperti biasa selama dua bulan ini, Jaehee akan menekuk wajahnya dan nampak enggan di dekati sehingga Joonmyun hanya bisa tersenyum kecil sebelum benar-benar meninggalkan unit apartemen mereka.

Menutup pintu apartemen setelah memastikan Joonmyun benar-benar pergi bekerja, Jaehee menyandarkan punggungnya pada pintu apartemen dan memejamkan matanya erat-erat. Ia tahu, tidak seharusnya ia menghukum Joonmyun atas semua yang menimpa dirinya. Joonmyun tidak bersalah, ia tidak tahu apa-apa.

Jaehee hanya tidak bisa lagi menatap suaminya tepat pada matanya, dan tidak mengingat semua ucapan keji yang kedua mertuanya katakan pada dirinya. Ia juga menjadi ingat pada gadis bernama Park Chorong yang sangat mencintai suaminya, dan hampir menikahi Joonmyun jika saja ia dan bayinya tidak muncul di dalam kehidupan mereka.

Jaehee kembali berjalan ke kamarnya dan membuka pintu lemarinya. Ia meraih amplop cokelat besar dan menatapnya lekat-lekat. Hatinya teriris-iris jika mengingat hari dimana harga dirinya benar-benar direndahkan, bahkan diinjak-injak oleh orangtua Joonmyun dan Park Chorong. Mereka bahkan memintanya untuk menceraikan Joonmyun, dan membiarkan Joonmyun hidup bahagia.

Selama ini, Jaehee tidak tahu apakah Joonmyun pernah bahagia dalam kehidupan pernikahan mereka yang singkat. Yang ia tahu, suaminya adalah pria yang tidak pernah mementingkan dirinya sendiri. Suaminya adalah pria yang akan meletakkan kepentingan orang lain diatas keinginannya sendiri.

Joonmyun berjuang sekuat tenaga untuk menyelamatkan perusahaannya yang sudah diambang kebangkrutan, dan untunglah sahabatnya yang berasal dari Cina datang dan membantunya di saat-saat terakhir. Dan jika dipikirkan, memang benar, semenjak pemberitaan kehamilannya terkuak ke media, perusahaan Joonmyun yang menjadi korban.

Joonmyun ingin menyelamatkan keduanya. Jaehee dan perusahaannya. Namun, Joonmyun sepertinya melupakan kebahagiaannya sendiri disaat memperjuangkan kedua hal tersebut. Joonmyun kurang tidur karena memastikan Jaehee tidur dengan nyenyak, dan segala kebutuhannya terpenuhi. Joonmyun juga kurang tidur karena harus mengerjakan seluruh pekerjaannya.

Bahkan sekarang pegawai-pegawainya pergi meninggalkannya, karena perusahaannya mengalami kerugian besar dan tidak dapat membayarkan bonus.

Apa yang Joonmyun dapat setelah menikah dengannya? Tidak ada kebahagiaan sama sekali, hanya ada kesusahan. Meski kedua orangtua Joonmyun dan Park Chorong menjelaskannya dengan cara yang kejam, tidak ada satu pun kesalahan dari kata-kata yang mereka ucapkan kepada Jaehee kecuali bahwa Jaehee hanya menjebak Joonmyun.

Jika bukan karena bayinya, ia takkan mungkin bertahan. Dia juga punya harga diri. Tapi, dalam kondisi seperti ini, dia tidak tahu harus lari kemana jika kedua orangtua Joonmyun memintanya meninggalkan Joonmyun sekarang juga. Dan tentu saja, jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia pun tidak mau pergi dari Joonmyun.

Panggil dia egois, tapi dia sudah mencintai Joonmyun. Pergolakan di dalam hatinya semakin lama semakin besar, apalagi melihat wajah Joonmyun yang selalu menjadi lebih sedih hari demi hari semenjak aksi diamnya di rumah sakit. Joonmyun tidak pantas menerima semua perlakuan ini darinya.

Percayalah, jika Joonmyun merasa sedih dengan perlakuannya, maka ia jauh lebih sedih memperlakukan pria sebaik Joonmyun seperti ini. Hanya saja ia benar-benar tidak mengerti lagi ia harus melakukan apa. Ia ingin Joonmyun kembali fokus dan menata perusahaannya dengan baik, dan tidak lagi memikirkan masalah Jaehee yang bisa membuat Joonmyun kembali kehilangan fokus, dan bisa-bisa kehilangan segalanya hanya karena Jaehee seorang!

”Aku harus mencuci lagi, dan pakaian Joonmyun belum kubawa dari bawah sekarang.” Gumam Jaehee sambil mengembalikan berkas perceraian yang diberikan oleh Chorong kepadanya dua bulan lalu. Berjalan ke kamar mandi, Jaehee meraih keranjang cucian yang belum berat, karena ia selalu mencuci setiap hari mengantisipasi agar ia tidak terlalu kesulitan membawa tumpukan pakaian tersebut dan membawanya keluar dari unit apartemen.

Beberapa orang pemuda melewatinya, dan sedikit menyenggolnya, membuat keranjang pakaiannya terjatuh.

”Oh, maaf, Nyonya… maaf,” dua pemuda itu buru-buru membereskan barang-barang mereka dan barang-barang Jaehee yang mereka jatuhkan.

Jaehee menerima keranjangnya sambil membungkuk.

”Maaf Nyonya,” sekali lagi pemuda itu membungkuk meminta maaf. ”Kami baru saja pindah di unit sebelah Nyonya.”

Jaehee menoleh ke unit di sebelah miliknya sendiri dan tersenyum kecut. ”Ah, keurae? Semoga kalian betah disini.” Ujarnya berbasa-basi.

”Ne, kamsahamnida. Maaf sekali lagi…”

”Gwenchanayo.” Jaehee membungkuk dan kembali membawa keranjang cuciannya menuju tangga dan perlahan-lahan membawa kakinya dengan hati-hati ke lantai dasar untuk mulai mencuci pakaiannya.

Beberapa tetangga unit apartemen yang sudah mengenalnya selama berbulan-bulan tinggal disini—kebetulan mereka juga tidak begitu tahu soal skandal dirinya dan Joonmyun di televisi, karena tentu saja, lingkungan tempat tinggalnya adalah lingkungan kelas menengah ke bawah yang mungkin saja menghabiskan waktu untuk menonton acara hiburan saja, tidak mengikuti perkembangan bisnis, menyapanya dengan ramah.

Satu hal yang Jaehee syukuri sejak tinggal disini bersama Joonmyun adalah tetangga-tetangganya tidak mengetahui apa yang terjadi di dunia bisnis diluar sana, meski Hana pernah bercerita bahwa beberapa tetangganya dulu sempat memandang rendah Hana karena memiliki anak tanpa suami, tetapi lambat laun menurut Hana, mereka mulai bisa menerima kehadiran Hana dan Taejun di lingkungan apartemen ini.

Memikirkan Taejun, Jaehee tersenyum kecil dan mengelus perutnya sendiri. Ia sudah bisa membayangkan jika Jiji nanti lahir, Jiji sudah pasti akan memiliki seorang teman, yaitu Taejun. Bocah lelaki itu juga selalu bersemangat setiap bertemu dengannya dan selalu bertanya kepadanya kapan Jiji akan lahir.

Ia jadi ingat Sehun. Ia berharap Taejun bisa menjadi seperti Sehun untuk Jiji seperti Sehun untuk dirinya. Meski Sehun lebih muda darinya, adiknya tergolong dewasa dan sangat menyayanginya seolah-olah Jaehee adalah adik, bukan si kakak.

Ah, dia merindukan Sehun. Mungkin jika ia tahu dimana Sehun berada sekarang, dia bisa menceritakan segala masalahnya, dan adiknya yang pintar itu bisa memberikannya solusi yang bahkan tak akan pernah terpikirkan oleh kepalanya sekalipun.

”Jaehee-ssi, apakah sudah selesai mencucinya?”

Jaehee tersadar dari lamunannya, seorang wanita muda seperti dirinya kini tengah menunggu giliran untuk mencuci pakaian, karena dari beberapa mesin yang disediakan di lantai dasar, semuanya sedang dipakai. Dan milik Jaehee sudah selesai.

”Ah ye, ini sudah selesai… maaf saya melamun.” Jaehee membungkuk dan buru-buru membuka tutup mesin cuci dan mengeluarkan pakaian-pakaian kering dari dalam cucian tersebut, menaruhnya dengan rapi di dalam keranjang pakaiannya yang sudah terisi dengan cucian kemarin yang lupa ia bawa.

Mengangkat pakaian sebanyak itu, Nyonya Kang, yang tadi bertanya mengenai mesin cuci bertanya dengan khawatir, “Apakah tidak apa-apa, Jaehee-ssi? Sebaiknya bawa saja sedikit-sedikit, itu terlalu banyak.”

”Gwenchana, ini tidak terlalu berat, Nyonya Kang,” jawab Jaehee sambil meraih keranjang tersebut ke dalam pelukannya dan tersenyum untuk menghalau kekhawatiran Nyonya Kang kepadanya. ”Saya kembali ke atas dulu, Nyonya Kang.”

”Ne. Hati-hati di tangga, Jaehee-ssi.” Pesannya.

Sejujurnya, ketika pertamakali Jaehee mengangkat tumpukan-tumpukan pakaian bersih yang baru selesai dicuci tersebut, beratnya tidaklah terlalu terasa. Namun lain cerita ketika akhirnya, ia harus membawa tumpukan pakaian-pakaian tersebut menaiki anak tangga, yang ia sendiri malas menghitungnya sampai di unitnya sendiri.

Menghapus peluh pada wajahnya, Jaehee meletakkan keranjang cuciannya pada satu anak tangga di atas tempatnya berpijak sekarang dan bersandar pada dinding. Ia merasa bahwa ia seharusnya mendengarkan Joonmyun. Dan kenapa semua perkataan Joonmyun sepertinya selalu menjadi kenyataan baginya? Berdecak, Jaehee kembali meraih keranjang cucian dan mulai menaiki tangga satu demi satu. Untungnya tak ada siapa pun yang berpapasan dengannya selama perjalanannya menuju unitnya di lantai empat.

Mengutuki sifat keras kepalanya sendiri, Jaehee meletakkan keranjang cucian tersebut di lantai dan merogoh kantung sweater yang ia kenakan untuk mengeluarkan kunci unit apartemennya. Baru saja ia memutar kunci, saat ia merasakan hentakan keras pada perutnya. ”Oh Tuhan!” pekiknya, satu tangan mencengkram perut buncitnya.

Jiji di dalam sana seolah-olah tengah mengerang kesakitan dan kini meronta-ronta.

”Ji-ya… Ji-ya… mianhae, mianhae… maafkan Eomma, Nak, iya Eomma salah… Sayang, jangan… AAHHH!” pekik Jaehee saat merasakan sentakan lain pada bagian perut bawahnya. Ia nyaris saja jatuh merosot ke lantai, dan pandangannya mengabur, menggelap.

Yang terakhir ia ingat ada beberapa orang pria berlari, dan salah satu diantaranya menangkap tubuhnya yang nyaris membentur lantai, sebelum pandangannya benar-benar berubah gelap, dan untuk ketiga kalinya dalam kurun waktu beberapa bulan saja, Jaehee kembali tidak sadarkan diri.

*        *        *

Sekali lagi, Jaehee terbangun dengan wangi steril pekat yang nyaris membuat perutnya bergolak dan hendak memuntahkan isi perutnya. Kali ini, mungkin karena usia kandungannya yang sudah memasuki usia dua puluh delapan minggu, ia tak lantas panik mencari-cari apakah Jiji masih ada di dalam sana atau tidak, karena sedetik berikutnya, Jaehee tak putus mengucap syukur pada Tuhan, bahwa ia masih bisa merasakan putri kecilnya bergerak di dalam rahimnya.

Dalam kunjungan terakhirnya dengan Dokter Uhm, beliau mengatakan bahwa semakin tua usia kandungan, maka semakin intens pula janin bergerak dan memberikan rangsangan pada si ibu. Jaehee mengelus perutnya penuh syukur dan meminta maaf pada bayinya karena ia terlalu sembrono hari ini.

”Aku harusnya mendengarkan Appa-mu,” bisiknya masih dengan suara serak. ”Kau pasti sangat kesal belakangan ini karena Eomma jahat sekali pada Appa, kan? Tapi, kau tahu kalau Eomma sangat mencintai Appa, kan? Kau yang paling tahu, Ji-ya…”

Jaehee memperhatikan interior rumah sakit yang nampak asing di matanya kini, dan ia mengernyit saat menyadari bahwa rumah sakit dimana ia dirawat kali ini adalah rumah sakit yang jauh lebih bagus dibandingkan rumah sakit tempat ia terakhir kali dibawa karena mengalami kontraksi.

Saat itu juga ia menyadari ada kepala yang tengah tertidur menelungkup di samping tempat tidurnya. Awalnya Jaehee mengira, pria itu adalah Joonmyun. Namun menilik profilnya, bahkan hanya dari warna rambutnya saja. Jelas pria disampingnya ini bukan Joonmyun.

Lalu siapa?

Tangan Jaehee terangkat menyentuh bahu pria tersebut, karena tentu saja ia tak berani menyentuh kepala laki-laki yang bukan suaminya sendiri. Dan si pemilik kepala berambut pirang madu tersebut akhirnya mendongakkan kepalanya, dan Jaehee nyaris menjerit saat melihat siapa yang tengah menatapnya dengan mata mengantuk.

”Noona, gwenchana?!”

”Sehun!!!” Jerit Jaehee.



”Ne, Noona… ini Sehun, ini Sehun…” Sehun tersenyum dengan air mata menggenangi kedua mata tajamnya. Dan Jaehee tersedak air matanya sendiri, nyaris tak sanggup bicara apa pun saat melihat, astaga… adiknya, ini adiknya, Oh Sehun yang sudah nyaris bertahun-tahun tidak ia temui, kini berada di sampingnya, selamat, utuh, tanpa kekurangan sesuatu apa pun. Sehun bahkan terlihat semakin dewasa, dan semakin tampan.

Dulu terakhir, yang ia ingat, Sehun hanya mengenakan jaket dan membawa tas ranselnya setelah diusir sang ayah dari rumah mereka. Tapi lihatlah kini, Oh Sehun bak model yang biasa berjalan di panggung-panggung peragaan busana. Tak hanya wajahnya yang semakin tegas dan tampan, rambutnya di cat pirang madu, dan pakaian yang ia kenakan pun terlihat mahal, sangat mahal.

”Kau darimana saja, Sehunnie?” isak Jaehee. ”Kenapa tidak pernah mengabariku?”

Sehun menghapus air mata di sudut-sudut mata kakak perempuannya itu dan membersit hidungnya. Ia juga sangat merindukan Jaehee, dan sejujurnya ia ingin sekali menghubungi dan memberitahu Jaehee tentang hidupnya selama ini.

”Mianhae, Noona… banyak sekali yang terjadi didalam hidupku selama beberapa tahun ini. Aku tidak mau membuat Noona khawatir dengan keadaanku. Aku berjanji pada diriku sendiri, segera setelah aku menjadi pria yang memiliki pekerjaan stabil, aku akan pulang dan mencari Noona… rupanya takdir mempertemukan kita di tempat lain. Noona sudah menikah sekarang…” dan Sehun menatap Jaehee dengan sorot penuh kebahagiaan dan kebanggaan. Ia ingat betul, dulu sekali saat mereka masih kecil, dan ia harus menemani sang kakak bermain boneka, kakaknya kerap kali bercerita mengenai impiannya untuk menikah dengan seorang pangeran.

Dan tentu saja seorang pangeran benar-benar mendapatkan cinta Noona-nya, pikir Sehun saat tadi ia bertemu dengan suami Noona-nya yang terlihat begitu cemas saat mendatangi rumah sakit dan meminta pada para perawat agar Noona-nya diberikan perhatian ekstra karena tengah mengandung. Suami Noona-nya juga terlihat sangat tampan, dewasa, dan tentu saja terlihat sangat mapan. Sekali lihat saja, Sehun sudah yakin bahwa Noona-nya berada di dalam kasih orang yang tepat.

”Aku… aku…”

”Sshhh, dan aku akan jadi Samcheon. Kyaaa…” dan Sehun kini nampak seperti adik kecilnya yang selalu bersemangat. Jaehee ingat terakhir kali melihat Sehun hyper seperti ini adalah ketika ia memiliki pekerjaan pertamanya saat masih sekolah dulu, ia berjanji akan mentraktir Sehun makan. ”Ahh halo, bayi kecil… ini aku Sehun Samcheon. Tumbuhlah jadi anak yang baik, oh iya apa dia laki-laki? Atau perempuan?”

Jaehee terkekeh, ”Perempuan.”

”Aaaahhhh, kau pasti sangat cantik seperti Noona. Tapi kau tidak boleh cengeng seperti Noona, oke? Kau harus jadi cool woman seperti Samcheon,” oceh Sehun. Sehun sendiri terkekeh di dalam hati, ia sudah lupa kapan terakhir kali ia bisa benar-benar menjadi dirinya sendiri setelah semua masalah yang terjadi di dalam hidupnya.

Jaehee menghela napas dalam-dalam, ”Keundae, Sehunnie… aku… Aboji…”

”Ah, Aboji. Apa kabarnya dengan Aboji? Mengapa dia tidak datang dengan Eommoni kesini? Aku yakin Hyungbu mengabarinya, benar?” tanya Sehun mendadak gugup. Dia tidak bisa membayangkan apa reaksi kedua orangtuanya yang sudah mengusirnya jika melihatnya disini mengunjungi sang kakak.

Dan ekspresi yang terpeta di wajah Jaehee membuat Sehun mengerutkan keningnya heran. Kakaknya itu menggelengkan kepalanya, dan sebutir air mata lolos dari sudut mata sang kakak. ”Aboji… Aboji mengusirku, Sehun.”

”Mwo?” tanya Sehun pelan, terkejut.

Jaehee mengangguk, wajahnya yang tadinya ceria berubah menjadi sendu kembali.

”Wae? A…boji  boleh saja mengusirku, karena aku… aku laki-laki! Aku harus bisa bertahan hidup sendiri di luar, tapi Noona… kenapa Aboji mengusir Noona?!” Sehun terlihat amat sangat terkejut, dan nyaris membayangkan sesuatu yang buruk pasti menimpa kakak perempuannya itu jika dibiarkan sendirian dijalan.

Jaehee mengusap matanya yang basah, ”Aku… aku… hamil, Sehun.”

”Ya, Noona, kau memang sedang hamil.”

”Dan karena aku hamil lah, Aboji mengusirku Sehun. Aku dan Joonmyun belum… belum menikah saat itu.”

Sehun terlihat sangat kaget, entah kenapa ada sedikit kegugupan terpancar dari sorot mata dan gestur tubuhnya. Ia kemudian tersenyum dan kembali menggenggam tangan kakaknya. ”Kita tahu Aboji seperti apa.”

Jaehee mengangguk, ”Dia bahkan tidak mendampingiku berjalan di altar. Tidak juga kau, Sehun-ah…”

”Maafkan aku, Noona,” ujar Sehun benar-benar menyesal. ”Aku tidak tahu kalau kau akan menikah. Andai saja aku tahu, aku pasti dengan senang hati akan mendampingimu untuk menikahi Hyungbu. Jinjja, maafkan aku… Noona.” Sehun menunduk, dia tidak bisa membayangkan kakaknya menikah tanpa siapa-siapa disisinya. Tak ada dirinya, tak ada ayahnya yang keras hati. Dia tidak akan pernah mengomentari perihal kehamilan diluar nikah yang dilakukan oleh kakaknya, dia tidak punya hak untuk mengomentari soal itu. Kakaknya sudah dewasa.

Jaehee mengelus kepala Sehun pelan dan mencoba tersenyum, meski pahit jika mengingat hari pernikahannya. ”Gwenchana, tapi… Sehun, kenapa kau bisa disini?” tanyanya baru ingat pertanyaan penting ini. ”Bagaimana kau bisa menemukanku? Apa kau bekerja di rumah sakit ini? Sehunnie, kau berhasil menjadi dokter?!” tanya Jaehee bersemangat.

Dulu sekali, Sehun pernah bilang padanya bahwa cita-cita pemuda itu adalah menjadi dokter. Dia bilang dia ingin membawa keluarganya jalan-jalan keluar negeri jika sudah berhasil menjadi dokter, dan katanya dia tidak perlu lagi mengkhawatirkan biaya untuk menikah. Meski Sehun adalah tipe yang malas belajar, Jaehee tahu adiknya itu adalah pria yang pandai.

”Aniyo, Noona… mana mungkin aku jadi dokter kalau biaya kuliah saja aku tak mampu,” desahnya. ”Noona, aku tadi mengunjungi beberapa temanku yang baru pindah di unit apartemen Noona, saat Noona hampir jatuh tadi di depan pintu unit Noona, aku langsung menahan Noona.”

Jaehee mengangguk-angguk, ”Oh,” dia mengingat beberapa pemuda yang tinggal di samping unit apartemennya yang menabraknya tadi pagi. ”Mereka temanmu, Sehunnie? Lalu, kau… apa yang kau lakukan sekarang? Kau sudah punya pekerjaan?”

Menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Sehun mengangguk. ”Tentu aku harus bekerja untuk menyambung hidup, Noona.”

”Keurae? Lalu kau kerja dimana?”

”Aku baru saja pindah bekerja… tapi…”

Tok. Tok. Tok.

Pintu ruang rawat Jaehee terbuka, dan muncullah Joonmyun dengan senyum canggung. Perasaan tidak enak kembali melanda Jaehee, mengingat kondisinya kini disebabkan oleh kecerobohannya sendiri.

”Hyungbu.” Sehun berdiri dan membungkuk dalam-dalam.

Joonmyun tersenyum pada Sehun, ”Sehun-ssi.” Sapanya.

”Apa Hyungbu sudah makan? Ini sudah jam makan siang… Noona, mau makan apa? Aku carikan makanan… Noona pasti tidak suka makanan rumah sakit, geuchi?” tebak Sehun ceria. Jaehee hanya meringis.

”Dia sedikit sekali makannya, Sehun,” kata Joonmyun melirik ke tempat tidur, kemudian ke arah Sehun lagi, ”Aku tidak tahu harus bagaimana lagi untuk membujuknya makan.”

”Aigoooo… akan kubelikan makanan favorit Noona, tapi Noona harus janji makan yang banyak. Aku pergi dulu…” Sehun buru-buru pergi keluar, dan sejujurnya Jaehee masih ingin Sehun berada disini, daripada meninggalkannya berdua dengan Joonmyun saja.

Kali ini dia benar-benar sudah melakukan salah besar!

”Gwenchana? Bagaimana perasaanmu sekarang?”

Selalu! Selalu dan selalu, dua pertanyaan itu yang ditanyakan Joonmyun kepadanya nyaris setiap hari. Dan mungkin inilah yang membuat Jaehee muak hingga membuang wajahnya dari pandangan Joonmyun. Tidak bisakah sekali saja Joonmyun marah padanya? Kecewa padanya? Kenapa Joonmyun harus memperlakukannya sebagai seorang putri, atau bagaikan porselen yang bisa retak dan pecah kapan saja?

Astaga, Joonmyun bisa melakukan hal yang lebih baik dan mendapatkan gadis yang jauh jauh jauh lebih hebat dibandingkan seorang Oh Jaehee. Dan semua perasaan itu sudah bertumpuk-tumpuk di dalam hati Jaehee. Dia lelah menjadi seorang gadis lemah, yang selalu harus dijaga, diberikan perhatian, dan diperlakukan bak seorang putri sementara tak ada satu titik pun dari semua itu yang bisa ia balaskan kepada Joonmyun!

”Apa yang kau lakukan disini?” tanya Jaehee dingin.

Untuk pertamakalinya, Jaehee mendengar Joonmyun tercekat. Pria itu kentara sekali terkejut dengan respon dingin yang tetap Jaehee layangkan padanya. Joonmyun padahal baru saja mendengar, bahkan melihat Jaehee tertawa-tawa dengan Sehun, dan mendadak gadis itu berubah dingin.

Ini bukan faktor kehamilan. Jaehee memang dingin padanya!!!

”Apa maksudmu dengan apa yang aku lakukakan disini?” tanya Joonmyun tajam.

”Ya apa yang kau lakukan disini?”

”Jaehee-ya!” seru Joonmyun tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. ”Aku disini tentu saja karena kau! Karena siapa lagi? Kau kira aku akan membuang waktuku dengan pergi mengunjungi orang tidak jelas disini? Tentu saja aku melihatmu, aku khawatir dengan keadaanmu, Oh Jaehee!”

Dan Jaehee balas berteriak, ”Kalau begitu berhenti! Berhenti peduli dengan keadaanku!”

”Mwo?!”

”Aku akan merasa lebih baik jika kau pergi dari sini, Joonmyun-ah.” Ujar Jaehee pelan.

Harus berapa lama lagi dia menahan rasa sakit oleh ucapan-ucapan dan kata-kata tajam dari istrinya? Batin Joonmyun. Semua perlakuan Jaehee kepadanya hanya membuatnya terus menerus berpikir kesalahan apa yang sudah ia buat hingga Jaehee membencinya seperti sekarang? Apa yang sudah ia perbuat sampai Jaehee berubah menjadi dingin seperti ini?

Jaehee memalingkan wajahnya, menahan air matanya yang sudah berdemo ingin segera turun ke pipinya. Tapi Jaehee menahannya dengan menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia harus terlihat angkuh, ia harus terlihat kejam. Agar Joonmyun akhirnya menyadari bahwa ia hanya membuang-buang waktunya disini untuk melihat wanita yang tidak tahu terima kasih.

”A…pa salahku padamu, Jaehee-ya?” tanya Joonmyun pelan. Suaranya bergetar, dan Jaehee tahu bahwa suaminya kini tengah menahan tangis.

Demi Tuhan, selama menikah dengan Joonmyun, tak pernah satu kali pun Jaehee melihat pria itu menangis. Tidak ketika ayahnya mengusir mereka dari unit apartemen Joonmyun yang mewah. Tidak juga saat para klien menuntut ganti rugi. Tidak pula ketika ia harus menghadapi cobaan yang bertubi-tubi dari semua pihak yang sepertinya menginginkan dirinya hancur.

Tapi hanya karena Jaehee bersikap dingin pada pria itu! Hanya itu yang kemudian dapat meruntuhkan pertahanannya, hingga harga dirinya sebagai laki-laki seolah bisa porak poranda saat itu juga.

Apa bagusnya dia sehingga Joonmyun bisa seperti ini karenanya? Tak tahukah Joonmyun dengan dia bersikap seperti ini, semakin membuat Jaehee membenci dirinya sendiri? Dengan begitu dia akan menyakiti pria itu terus menerus.

”Jadi kau lebih baik aku pergi dari sini?”

Jaehee mengangguk, tetap tidak mau memandang Joonmyun.

”Apa… apa kalau aku pergi, kau akan baik-baik saja? Kau tidak akan membenciku?” tanya Joonmyun.

Jaehee diam.

”Aku hanya merindukan istriku, Jaehee-ya. Aku hanya mengkhawatirkannya, maaf jika telah membuatmu kesal atau membenciku… aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.” Dan Joonmyun menggosok matanya keras sebelum berbalik dan meninggalkan Jaehee yang menangis sambil meringkuk.

*        *        *

”Aaaaaaa….”

Jaehee melahap potongan apel yang sudah Sehun kupaskan, dengan berantakan tentu saja, anak itu tidak pernah rapi dalam hal potong memotong. Mengunyah dalam diam, Jaehee masih saja terbayang-bayang dengan isakan tertahat Joonmyun karena perlakuannya tadi siang.

”Noona, kau kenapa?”

Jaehee tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya sebelum kembali menerima potongan apel ke dalam mulutnya dan mengunyahnya dalam diam. Sehun tahu bahwa kakaknya kini tengah memikirkan sesuatu. Tadi, begitu ia kembali membawakan makan siang, kakak iparnya sudah tidak ada dan Sehun melihat Jaehee menangis diam-diam. Kakak iparnya nampaknya bukanlah orang yang jahat, tapi Sehun heran apa yang membuat Jaehee menangis?

”Apa terjadi sesuatu, Noona?” tanya Sehun penasaran, ikut melahap apel yang ia potong. ”Kau tahu, tadi saat mendengarkan penjelasan Dokter mengenai kondisimu, aku kaget kalau ini bukan kali pertama kau dibawa ke rumah sakit. Apa kau sering stress, Noona?”

Jaehee tetap tidak menjawab.

Sehun mengembuskan napasnya kesal, ”Apa karena Hyungbu?” tanyanya curiga. ”Apa dia bukan suami yang baik?! Apa dia melakukan kekerasan dan menyakitimu, Noona? Beritahu padaku, apa yang dia lakukan…” Sehun mendadak berdiri dan sorot marah mulai terpancar pada kedua matanya.

Jaehee buru-buru menahan lengan Sehun kuat-kuat dan menggelengkan kepalanya, ”Andwae! Tidak, Sehun, bukan begitu… tidak sama sekali dia menyakitiku! Kau salah, kau salah…”

Dan Sehun tidak memperdulikan omongan kakaknya sama sekali dan benar-benar berniat mendatangi Joonmyun. Jaehee ingat dulu sekali ketika mereka masih kecil, dan ia menangis karena anak-anak lain meledeknya, Sehun akan naik pitam dan maju untuk menghajar anak-anak tersebut, dan membawa mereka ke hadapan Jaehee untuk minta maaf.

Adiknya bukanlah seorang pria yang sabar, dan membayangkan Sehun menghajar Joonmyun, padahal Joonmyun sama sekali tidak bersalah! Dialah yang bersalah, seharusnya dialah yang dihukum oleh Sehun, karena telah menyakiti hati malaikat Joonmyun.

”Noona tidak perlu takut, jika memang dia melakukan kekerasan pada Noona…”

”TIDAK! SEHUN DIA TIDAK JAHAT!” Jaehee mengisak dan memeluk lengan Sehun. ”Tak tahukah kau betapa bersyukurnya aku mendapatkan suami bak malaikat seperti dia? Aku sangat mencintainya Sehun, dia adalah malaikat penolong, dia adalah pelindungku.” Isak Jaehee dalam pelukan Sehun yang terpana.

Lalu jika bukan karena itu, kenapa Noona-nya menangis? Pikir Sehun heran.

”Tapi…”

”Tapi apa Noona?” tanya Sehun pelan sambil mengusap-usap lengan kakaknya yang masih memeluknya.

Jaehee menggeleng, ”Dia yang tidak beruntung mendapatkan gadis sepertiku. Tahukah kau Sehun, setelah menikah denganku, kesialan selalu menghampirinya? Kasihan dia, Sehun… dia kehilangan segala-galanya karena memilihku.”

”Ne?”

”Dia kehilangan orangtuanya. Perusahaannya nyaris bangkrut, dia kehilangan kliennya, dia juga kehilangan pegawainya… semuanya ia tinggalkan karena ia memilih bersama gadis sepertiku. Aku hanya membawa malapetaka di dalam hidupnya, Sehun. Dia bisa mendapatkan gadis yang lebih baik dariku… dia memilihku, karena aku mengandung anaknya. Dia berjuang untukku, sementara yang bisa aku lakukan hanyalah membuatnya menderita…”

”Anhi, Noona…” Sehun menggelengkan kepalanya dan melepaskan pelukan Jaehee, menangkup wajahnya ke dalam dua tangannya, menghapus air mata kakaknya dengan ibu jarinya. ”Dengarkan aku. Noona sama sekali bukan pembawa malapetaka… Noona bukan gadis seperti itu, Noona tidak boleh bilang begitu.”

”Tapi…”

”Aku paham mungkin banyak hal berat yang menimpa kalian… tapi, Noona, apa yang Hyungbu lakukan… itu adalah hal yang tepat. Itulah hal yang dilakukan oleh seorang pria bagi wanita yang ia cintai,” Sehun tersenyum pahit. ”Jika aku jadi Hyungbu… aku… aku tidak akan meninggalkanmu juga, Noona. Berjuanglah bersama Hyungbu, Noona… karena jika ia rela melewati semua yang kau bilang malapetaka… dia benar-benar mencintaimu.”

Dan tangis Jaehee semakin menjadi-jadi mendengarnya.

*        *        *

Joonmyun menutup pintu kamar rawat Jaehee perlahan-lahan dan mengusap matanya yang kembali memanas. Ia berjalan gontai ke arah kursi tunggu di depan ruang rawat dan mengatupkan kedua tangannya dengan usaha penuh untuk mengendalikan dirinya. Ia lelah menangis hari ini.

Hari ini ia bertingkah seperti wanita, banyak menangis. Tapi bagaimana mungkin kau tidak menangis jika wanita yang kau cintai nampaknya membencimu? Lalu disaat kau sedang mengkhawatirkannya yang membencimu, kau tahu bahwa gadis itu melakukannya hanya agar kau mendapatkan orang yang lebih baik darinya. Karena gadis itu merasa kau sudah terlalu banyak menderita karenanya.

Karena meski belum pernah terucap langsung padanya, Joonmyun tahu betapa Jaehee juga mencintainya. Jaehee ingin Joonmyun membencinya, Jaehee ingin Joonmyun meninggalkannya dan mencari kehidupan yang lebih baik, karena Jaehee merasa ia hanya membawa malapetaka bagi kehidupan Joonmyun.

Hati gadis itu sungguh baik, namun dengan cara yang salah. Apa Jaehee tidak bisa merasakan betapa sedihnya dia saat Jaehee terus menerus bersikap dingin dan mendorongnya menjauh. Bahkan ia hampir menangis di hadapan Jaehee tadi pagi.

Apa Jaehee masih belum juga sadar, bahwa ia justru akan menderita jika tidak bersama gadis itu? Bukankah Joonmyun sendiri sudah sering mengatakannya pada Jaehee, bahwa dia mencintai gadis itu.

Ya, Jaehee tahu, tapi Jaehee tidak merasa cintanya cukup untuk membahagiakan Joonmyun, bukan?

Joonmyun menggosok matanya lagi. KL sudah baik-baik saja sekarang, kegiatan operasional sudah berjalan dengan lancar, sebentar lagi hidup Joonmyun toh akan kembali seperti semula. Maka, Jaehee tidak perlu takut lagi. Joonmyun meyakinkan dirinya sendiri, sebentar lagi Jaehee tidak perlu takut lagi.

”Hyung, maaf aku tidak bisa menemani Noona…” suara Sehun membuat Joonmyun tersadar dari lamunannya.

Joonmyun buru-buru berdiri dan menarik napas dalam-dalam, ia berharap matanya tidak terlihat terlalu merah di hadapan adik iparnya. ”Gwenchana, Sehun-ah. Aku berterima kasih kau mau menemani Jaehee saat aku tidak ada… dia… terlihat sangat bahagia bersama denganku,” jawab Joonmyun.

Sehun tersenyum kecil. ”Kami sangat dekat.”

”Ne, Jaehee pernah bercerita padaku betapa dekatnya kalian… senang melihatnya bisa bertemu lagi denganmu.”

”Aku akan mengunjunginya, Hyung, tapi aku harus bekerja malam ini.”

Joonmyun mengangguk-angguk paham, ”Terima kasih sudah mau menemaninya, tak apa… aku akan menemaninya di rumah sakit malam ini.”

”Baiklah, kalau begitu aku pamit dulu.” Sehun membungkuk dan berjalan beberapa langkah sebelum berbalik dan tersenyum pada Joonmyun, ”Hyung, Noona-ku bukan wanita dengan banyak kata. Sejak kecil, ia selalu kesulitan mengekspresikan perasaannya dengan baik. Berbeda denganku… mungkin karena didikan ayah kami yang keras. Percayalah, Hyung, Noona-ku adalah wanita yang baik. Dia takkan mungkin sengaja menyakitimu…”

Joonmyun tersenyum kecil dan mengangguk, ”Aku tahu, aku tahu, Sehun-ah.”

Sehun tersenyum lega dan kembali berbalik sebelum berlari-lari kecil meninggalkan rumah sakit untuk bekerja. Sementara Joonmyun menggeser kecil pintu ruang rawat Jaehee dan mendapati istrinya sudah terlelap.

Dengan langkah pelan Joonmyun masuk ke dalam ruangan sambil menutup pintu dengan hati-hati. Ia melangkah mendekat ke tempat tidur dan meletakkan tas yang ia bawa dari rumah, berisi perlengkapannya serta perlengkapan Jaehee di lantai.

Hati-hati, diangkatnya sebelah tangannya untuk menyentuh puncak kepala Jaehee, dan dibelainya perlahan puncak kepala istrinya tersebut dan ia melihat ekspresi Jaehee yang tadinya sedikit tegang berubah jauh lebih rileks saat merasakan sentuhannya. Joonmyun tersenyum kecil, dan dengan kursi tunggu yang tadinya digunakan Sehun, Joonmyun memperhatikan ekspresi istrinya yang polos sekali saat tertidur.

Ia kembali mengingat mengapa ia jatuh cinta pada gadis itu. Dan apa yang Jaehee lakukan hari ini, kenyataan bahwa gadis itu melakukannya karena sangat mencintainya dan ingin dia bahagia, meski caranya bodoh, tentunya membuat perasaan Joonmyun tersentuh. Dari Sehun juga ia tahu, bahwa istrinya rupanya sejak kecil memang bukan wanita dengan banyak kata, dan selalu kesulitan untuk mengekspresikan dirinya, karena didikan ayahnya di rumah yang keras.

Rasa sedih dan sakit hati yang tadi sempat Joonmyun rasakan, sirna sudah, digantikan dengan rasa cinta, dan kebanggaan dalam dirinya sendiri karena memiliki istri yang sangat sangat berharga seperti Jaehee.

Tanpa sadar kantuk mulai menyerang Joonmyun, dan ia terlelap dengan wajah tepat menatap wajah polos istrinya. Begini saja, bagi Joonmyun, sudah merupakan kebahagiaan baginya dalam dua bulan ini.

*        *        *

Jaehee membuka kedua matanya, suara pengharum ruangan yang mengepul, suara tetesan cairan infus, bau pekat steril rumah sakit yang khas. Dan aroma parfum Joonmyun yang tidak pernah luput dari indra penciumannya. Mengedipkan matanya, memfokuskan pandangannya, ia melihat wajah tampan Joonmyun yang kelelahan berbaring di samping bantalnya.

Meski gurat-gurat kelelahan tampak disana, ada sebuah senyuman yang terlukis jelas pada wajah Joonmyun yang terlelap.

Mumpung Joonmyun tidur. Pikir Jaehee, maka ia mengulurkan tangannya dan diusapnya puncak kepala Joonmyun, ditelusupkannya jemarinya pada helai-helai rambut hitam Joonmyun yang lembut. Jaehee tersenyum kecil, mengagumi kesempurnaan suaminya. Yang kini hanya bisa ia nikmati saat pria itu terlelap.

Jaehee tersentak kaget, saat tangan Joonmyun menahan tangannya yang hendak beranjak dari puncak kepala Joonmyun. Kedua matanya membelalak lebar saat menyadari, Joonmyun tidak benar-benar tidur. Joonmyun tahu bahwa Jaehee memperhatikannya saat ia ’tidur’ dan bahkan melakukan skinship kecil padanya.

Joonmyun mengangkat wajahnya dan membuka kedua matanya yang terlihat lelah, meski begitu senyuman tidak lepas dari bibirnya. ”Kenapa terbangun?” tanyanya lembut. ”Apa kau membutuhkan sesuatu? Mau makan sesuatu?”

Entah untuk keberapa kalinya air mata meleleh di pipi Jaehee. Ia lelah melarikan diri dari perasaannya yang membuncah-buncah bagi suaminya. Ia membiarkan tangan Joonmyun menggenggam tangannya, dan tangan yang lain menghapus air matanya, bahkan membiaran Joonmyun mengecup dahinya dalam-dalam.

Ia merindukan semua gestur itu.

”Apakah kau tidak lelah menangis, Sayang? Sudah, jangan menangis lagi… nanti Sehun marah padaku,” ujar Joonmyun dengan bercanda.

”Apa kau tidak lelah?” tanya Jaehee serak setelah Joonmyun kembali duduk, dan meletakkan sebelah telapak tangan Jaehee pada pipinya, seperti kucing kecil yang ingin terus dibelai oleh pemiliknya.

Joonmyun menggeleng, ”Hanya mengantuk.”

”Anhi,” geleng Jaehee. ”Bukan itu. Apa kau tidak lelah kuperlakukan dengan dingin selama ini?” tanyanya cepat. ”Kenapa kau tidak juga pergi? Kenapa masih tetap disini? Kenapa tidak membenciku?”

Menghela napas dalam-dalam dan menyisir rambutnya dengan telapak tangan Joonmyun menggelengkan kepalanya. ”Bagaimana mungkin aku membencimu, Sayang? Cinta tidak akan berubah menjadi benci begitu saja, hanya karena alasan konyol.”

”Tapi aku sudah jahat padamu.”

Joonmyun menggeleng, “Kau tak pernah berbuat jahat padaku,” bisiknya sambil mengecup lengan dalam Jaehee dan mengusap pipi gadis itu dengan ibu jarinya, ”Kita hanya lelah dengan semua yang menimpa kita belakangan ini. Kau bisa lelah, aku bisa lelah…kita manusia, tentu saja kita sewaktu-waktu merasakannya.”

”Aku… aku merindukanmu.” Bisik Jaehee.

Joonmyun tersenyum kecil, ”Aku pun merindukanmu, aku juga merindukan Jiji…” Joonmyun menurunkan satu tangannya dari pipi Jaehee dan mengelus perut buncit gadis itu perlahan. ”Dalam dua bulan lagi, kita akan bertemu, Sayang.”

Jaehee terkekeh masih menghalau air mata yang tetap tidak mau menghilang.

”Jaehee-ya,” Joonmyun kembali menatap wajah Jaehee yang entah kenapa semakin cantik jika tertimpa cahaya temaram dari lampu rumah sakit. Wajahnya yang dihiasi air mata terlihat bersinar saat menatapnya.

Mendadak Joonmyun lupa ia ingin bicara apa. Entah untuk keberapakalinya Joonmyun terpesona, dan memejamkan matanya ia mendekatkan wajahnya pada wajah Jaehee yang sedikit terkesiap, namun toh akhirnya menyerah. Membiarkan Joonmyun melumat lembut bibirnya dan menyalurkan segala kerinduan yang mereka tahan selama dua bulan tidak saling berkomunikasi dengan baik.

Jaehee menyerah. Lari kemana pun, ia takkan bisa, karena hatinya sudah bukan miliknya lagi. Hatinya ada pada Joonmyun.

*        *        *

”Halo, Chorong~” sapa Luhan saat Chorong masuk ke dalam ruang rapat dan mengernyit. Luhan memutar matanya, apa gadis itu tidak bisa melakukan hal lain selain mengernyit dan mendengus, atau mengomel? Uh, kalau dia bukan kuasa hukum yang handal, atau teman baik keluarga Joonmyun, sudah dari dulu Luhan mau mencari kuasa hukum yang baru.

Chorong meletakkan map kulitnya di atas meja dan memandang berkeliling, ”Dimana Joonmyun?”

”Joonmyun ambil cuti untuk dua minggu.” Sahut Minseok, dan Luhan tersenyum geli melihat ekspresi Chorong berubah gelap saat mendengar bahwa Kim Joonmyun kini tengah mengambil cuti.

”Kenapa?” tanya Chorong sambil duduk dan membuka mapnya. ”Hari ini ada meeting dengan American Apparel, kukira dia tahu betapa pentingnya meeting ini. Mengingat kita sudah kesusahan mencari klien…” gumamnya.

Luhan berdecak, ”Kau tidak memandangku? Ada aku disini, Park Chorong-ssi. Aku bahkan sudah cuti nyaris satu tahun, dan kau tidak mengomel, eoh? Apa salahnya bagi Joonmyun hanya mengambil cuti dua minggu, aku bahkan ikhlas memberikannya cuti satu tahun hanya agar ia bisa menghabiskan waktu dengan istrinya.”

Chorong terkesiap, kertas-kertas yang ia bawa jatuh berantakan ke bawah. Dan Minseok nyaris tertawa geli karena ya ampun, apakah Chorong tidak bisa lebih menguasai diri? Joonmyun sudah beristri sekarang, kenapa masih saja berharap padanya? Jelas-jelas Joonmyun sudah tidak bisa menatap wanita lain kecuali Jaehee. Kalau memang Joonmyun tertarik pada Chorong, dia akan mendekati Chorong sejak dulu!

”Apa maksudmu? Dia… masih bersama istrinya?” tanya Chorong hati-hati.

Alis Luhan terangkat, “Masih bersama istrinya? Ya! Tentu saja dia masih bersama istrinya… Joonmyun bahkan mengambil libur hanya karena ingin menemani Jaehee di rumah.”

”Dwaesseo! Jadi bagaimana dengan American Apparel?!” tanya Chorong berusaha mengalihkan pembicaraan.

*        *        *

”Myeonie, ponselmu berbunyi.” Keluh Jaehee.

Joonmyun mengerang karena tidurnya terganggu, dan melepaskan pelukannya pada Jaehee, sambil mengecup bahu istrinya Joonmyun bangkit dan berjalan mendekati nakas tempat ia meletakkan ponselnya.

”Yeoboseyo.”

”Kau harus segera ke kantor, Joonmyun-ah!”

Alis Joonmyun mengerut, ”Wae?” tanyanya. ”Bukankah aku ambil cuti sampai dua minggu ke depan…”

”Kau harus segera ke kantor, ada masalah yang harus kita bereskan! Cepat!”

Joonmyun mengernyit dan mengembalikan ponselnya ke atas nakas. Tidak biasanya Minseok sepanik itu. Apa ada yang terjadi lagi? Joonmyun kembali ke kamar dan berbaring sambil meraih tubuh Jaehee dalam pelukannya, ”Sayang, aku ke kantor sebentar ya…”

Jaehee membuka kedua matanya yang masih mengantuk, ”Hmm? Wae?” tanyanya kecewa. Bukankah Joonmyun sudah berjanji ingin menghabiskan waktu di rumah untuk beristirahat selama dua minggu.

”Entahlah, Minseok menelepon. Katanya ada sesuatu yang gawat…”

”Oke.” Jaehee mengangguk dan memeluk guling sambil menatap Joonmyun dengan puppy eyes yang menggemaskan.

Joonmyun terkekeh dibuatnya, ”Aku janji tidak akan lama-lama, Sayang. Mau dibawakan apa, Eomma? Jiji?”

”Jiji mau susu pisang!”

”Oke, nanti Appa belikan susu pisang…” Joonmyun mengecup dahi kemudian hidung, dan terakhir bibir Jaehee sebelum meraih kunci mobil dan meninggalkan rumah dengan langkah tergesa-gesa. ”Kalau kau kesepian, main dengan Sehun saja, telepon dia, oke?” Jaehee hanya menggeleng dan terkekeh.

Jaehee menghela napas dan mengerucutkan bibirnya. Usia kandungannya sudah semakin tua, jalan tiga puluh dua minggu. Dan semenjak kejadian terakhir di rumah sakit, hubungan Jaehee dan Joonmyun kembali seperti semula, bahkan jauh lebih baik. Jika mengingat apa yang mereka berdua lakukan setelah Jaehee keluar dari rumah sakit, Jaehee jadi sering tersenyum sendiri. Meski mereka tidak pernah keluar rumah, dan hanya menghabiskan waktu untuk menonton televisi, dan makan bersama, hal itu sudah sangat manis di mata Jaehee, selama bersama Joonmyun.

Tok. Tok. Tok.

Jaehee mengangkat kepalanya. Apa Joonmyun kembali lagi? Pikirnya sambil beranjak dari tempat tidur dengan kepayahan. Tubuhnya yang mungil sering dinilai rapuh untuk menanggung perut sebesar ini.

”Jadi kalian masih belum bercerai?”

Jaehee memekik.

Chorong berjalan semakin mendekat ke arah Jaehee, sehingga Jaehee mau tak mau harus mundur tanpa melihat ke belakangnya.

”Bukankah sudah jelas apa yang diminta kedua orangtua Joonmyun?! Ceraikan dia! Dan kau malah menahannya di rumah?!”

Jaehee berusaha mencari-cari pegangan sementara Chorong bak singa buas yang lapar terus mendekat dan menyudutkannya.

”Ceraikan dia!!!” seru Chorong.

Jaehee menggeleng. ”Aku tidak akan menceraikan Joonmyun! Kau bilang kau lebih baik mati daripada kehilangan dia, kan?! Aku tidak bisa menyakitinya lebih jauh dengan… AAAHHHH! LEP…ASHHH!!!”

Mendorong tubuhnya ke belakang sehingga terantuk pada meja makan, dan bokong Jaehee menghantam lantai. ”AAHHH!!!”

”YA! Apa yang kau lakukan pada kakakku?!”

Chorong dengan panik menoleh ke belakang, kemudian pada Jaehee yang membelalak melihat aliran darah dan ketuban yang sudah menggenang pada kakinya. Sehun berlari menghampiri Chorong dan mencengkram kerah kemeja wanita itu.

”KAU! Apa yang kau lakukan pada…”

”AAHHHH…” rintihan Jaehee membuat Sehun melepaskan cengkramannya pada Chorong dan menghampiri Jaehee serta berjongkok di sampingnya.

Melihat aliran darah dan ketubah, kedua mata Sehun membelalak ngeri. ”Noona! Tunggu disini, aku akan panggil ambulans,” Sehun dengan panik mencari ponselnya, pada saat itu juga ia melihat Chorong sudah kabur dari dalam rumah Jaehee. ”YA! BRENGSEK! KEMBALI KAU KESINI, APA YANG KAU LAKUKAN PADA KAKAKKU?!”

”Sehun…” rintih Jaehee. “Jiji…” Jaehee mencengkram perutnya lagi. Dan menggelengkan kepalanya kuat-kuat sambil menangis. ”Jiji, jebal, bertahanlah… Jiji, Appa mau bertemu denganmu, Sayang… bertahanlah…”

*        *        *

Minseok mengernyit. ”Apa yang kau lakukan disini? Bukankah kau cuti?”

”Mwo?! Tadi kau yang memintaku datang…”

”Mwo?! Tidak, aku dan Luhan habis bertemu dengan perwakilan SM Entertainment… mana sempat meneleponmu…”

Joonmyun mengernyit heran. Baru ia mau kembali bicara, ponselnya berdering. Nama Sehun muncul pada layarnya. Ditempelkannya benda pipih itu di telinganya, “Eoh, Sehun-ah?”

”Hyung! Noona diserang seorang wanita! Noona pendarahan dan air ketubannya pecah! Ke rumah sakit sekarang!!!”

Dan ponsel tersebut lolos dari pegangan Joonmyun, sebelum hancur membentur lantai.

-TBC-

Deng. Deng. Deng.

Siap kena demo lagi, ya ampun part kemaren aku kena demo. Macam demo kenaikan BBM lol… ada yang bilang FF ini terlalu sinetron… duh, di dunia ini banyak yang lebih kayak sinetron daripada FF ini sayangkuh /ciumbasah LOL aku bingung jadinya, aku bikin FF itu selalu terinspirasi dari kenyataan yang pernah aku liat, tapi kalo aku bilang begitu katanya terlalu dibuat-buat pusing pala belbi~ maapin ya kalo emang kayak sinetron *deep bow* boleh bubar jalan kok bagi yang nggak suka FF ini dibuat sedih terus… soalnya aku kan nggak mungkin ngebocorin apa yang akan terjadi nanti di part-part selanjutnya, aku berharap kalian masih mau baca sampe kalian lihat di ujungnya apa yang terjadi sama mereka berdua setelah part-part nangis terus… tapi aku gak akan larang buat yang bosen sama nangis-nangisan untuk gak baca lagi… gapapa kok itu hak kalian ^^

Dan terima kasih sedalam-dalamnya untuk yang masih mau dibuat nangis sama aku huhuhu /bagi-bagitisugulung/ sabar ya dua part lagi selesai deh dibikin nangis sama ff ini hohoho… trus aku apdet cepet juga untuk kalian semua yang meski ff ini mendayu-dayu dan menguras emosi, kalian tetep masih mau baca hueee aku terhura *bow*

part ini nyaris 7000 words lho horeeeee, dan next part mungkin aku publish hari Kamis lagi, tapi kalo tangan gatel mungkin lebih cepet lagi, soalnya kalo Senin aku sering disuruh pergi jadi takut gak kekeja

Show more