2015-10-27



That One Person, You

Author : cloverqua (@cloverqua) // Main Cast : Oh Sehun, Kang Nara (OC)

Support Cast : Jung Hana (OC), Kim Jongin and others

Genre : AU, Romance, School Life // Rating : PG 15 // Length : Chaptered

2015©cloverqua

(https://dreamin92.wordpress.com/)

Poster by : SMH @ HSG

Previous : 1 // 2 // 3 // 4 // 5

“Aku menyukaimu.”

Dua kata itu meluncur bebas dari bibir Sehun. Ya, akhirnya lelaki itu mengakui perasaannya pada Nara. Tak ada lagi keraguan dalam benak Sehun untuk mengambil langkah yang terbilang berani. Mengingat ia dan Nara mulai menjalani kedekatan beberapa hari terakhir, itu pun diwarnai dengan pertengkaran konyol yang terselip moment manis di sana.

Soal perasaan Sehun terhadap Nara bisa dibilang sudah lama. Seperti halnya Jongin, lelaki itu sudah menyukai Nara sejak kelas 1. Ia kerap mendatangi kelas Jongin, di mana sahabatnya itu satu kelas dengan Nara. Saat itulah, Sehun mulai—bahkan sering memperhatikan Nara, meski keduanya tak pernah bertegur sapa.

Kenapa Sehun menyukai Nara? Sederhana saja.

Nara satu-satunya gadis yang tidak memperlihatkan ketertarikan pada Sehun. Sangat berbeda dengan para gadis di sekolah mereka yang begitu menggilai sosok lelaki bermarga Oh itu. Meski beberapa kali berada dalam situasi yang tidak tepat—sebut saja ketika Sehun menolak gadis yang mengaku suka padanya—Nara tetap cuek.

Tapi entah sejak kapan, Sehun bisa merasakan perubahan pada gadis bermarga Kang itu. Mungkin setelah Sehun mengaku ada gadis yang disukainya, tiba-tiba saja mereka bisa dekat seperti sekarang.

Kembali lagi pada keadaan Nara dan Sehun.

Dua orang itu belum bergerak sama sekali. Masih bertahan di posisi masing-masing, di mana tangan Sehun masih melingkar di pinggang ramping Nara. Terlepas dari pengakuannya yang membuat gadis itu menatap dengan ekspresi sulit diartikan. Kaget sekaligus bingung.

Tapi hati Nara tak bisa berbohong. Terselip perasaan senang begitu mendengar pengakuan lelaki itu.

“Aku bersungguh-sungguh, Nara,” Sehun menyunggingkan bibirnya. “Aku—”

“OMO! APA YANG KALIAN BERDUA LAKUKAN?!”

Suara itu terdengar sangat keras, membuat Nara dan Sehun menoleh kompak. Menyadari kehadiran orang lain, pelukan mereka terlepas. Keduanya lekas kembali ke posisi semula. Berdiri berdampingan dengan wajah memerah. Sora dan kekasihnya—Choi Minho, sepertinya berhasil membuat dua remaja itu kehilangan muka. Seperti pencuri yang tertangkap basah melakukan aksinya.

“Apa yang kalian berdua lakukan?” Sora memicingkan matanya. “Kenapa sampai basah kuyup seperti itu?”

Nara dan Sehun saling memandang.

“Ka-kami hanya sedikit bermain saja, eonni,” Nara melirik Sehun. Meminta bantuan lelaki itu menjelaskan keadaan yang sebenarnya.

“I-iya, noona. Aku membantu Nara menyiram tanaman. Lalu kami bermain air untuk menghilangkan penat karena lelah mengerjakan tugas kelompok,” sahut Sehun dengan cepat tanpa jeda. Selanjutnya lelaki itu mengatur napasnya karena barusan berbicara seperti kereta yang melaju cepat.

“Lalu yang kulihat tadi?” Sora memasang wajah polos. Namun di balik itu terselip seringaian khas miliknya.

“Itu—” kali ini Sehun yang tidak bisa menjawab. Niat awal memang ingin menolong Nara, karena gadis itu nyaris jatuh setelah terpeleset. Tapi selanjutnya ia mempertahankan posisi mereka cukup lama, bahkan berakhir dengan pengakuan cintanya pada Nara. Dalam hati Sehun mengumpat kesal. Belum sempat mendengar jawaban Nara, Sora dan Minho terlanjur datang.

“Sehun hanya menolongku karena tadi aku nyaris jatuh,” Nara menyambung ucapan Sehun. “Aku terpeleset karena menginjak selang air.”

Sora mengangguk paham. Seolah menerima jawaban Nara dan Sehun. Namun dalam hati ia bersorak senang melihat dua remaja di depannya tampak menggemaskan. Saling membuang muka dengan rona memerah di wajah masing-masing.

“Baiklah jika memang seperti itu,” Sora melirik Minho. Lelaki itu tersenyum geli, sudah hapal dengan kebiasaan Sora yang gemar menggoda adiknya. Terlebih lagi jika berhubungan dengan hal percintaan.

“Cepat ganti pakaian kalian! Nanti bisa masuk angin,” titah Sora. “Sehun, kau bisa meminjam kaos Minho.”

Minho mengernyit, “Memangnya aku membawa pakaian ganti?”

“Kau lupa? Seminggu yang lalu kau menginap di rumahku untuk mengerjakan tugas dari Dosen Lee,” Sora berbisik. “Kaosmu masih tertinggal di lemari pakaianku.”

“Ah, benar juga,” Minho terkikik. Keduanya menatap Nara dan Sehun yang masih berdiri canggung. Dua remaja itu hanya menurut tanpa memberikan protes.

.

Nara baru saja selesai mengganti pakaian. Sekarang ia sedang mengusap rambutnya yang masih basah dengan handuk. Ia mematut dirinya di depan cermin kamar. Tanpa sadar pikirannya kembali menerawang. Dua kata itu terus terngiang, bahkan melekat kuat dalam ingatannya.

‘Aku menyukaimu.’

Wajah Nara memerah. Hawa panas kian terasa setiap kali mengingat pengakuan Sehun beberapa waktu lalu. Ralat, tepatnya 1 jam yang lalu.

Nara terus merutuki kebodohannya yang entah beberapa kali sudah melamunkan Sehun. Tapi, sejujurnya ia sendiri tak bisa mengelak bahwa ada perasaan menggelitik dalam dirinya setelah pengakuan itu. Seperti ada kupu-kupu yang beterbangan dalam perutnya. Sangat menggelitik, hingga tanpa sadar bibir gadis itu terus mengumbar senyum.

Setelah berhasil mengendalikan diri, Nara melangkah keluar dari kamar. Ia mengamati sekeliling dengan tujuan mencari keberadaan Sehun.

Langkah kaki Nara sudah berhenti di ruang tengah. Bola matanya menatap lurus pada meja yang ia gunakan bersama Sehun ketika mengerjakan tugas kelompok. Tersisa beberapa buku dan peralatan sekolah miliknya. Sementara milik Sehun sudah tidak ada. Mungkin lelaki itu sudah membereskannya. Lalu, di mana keberadaan Sehun sekarang?

Saat Nara berbalik, tiba-tiba saja sosok yang sedari tadi ia cari sudah berdiri tepat di belakangnya.

“Astaga! Kau mengagetkanku!” pekik Nara dengan suara tertahan. Bibir gadis itu mengerucut, namun pandangan matanya tetap mengarah pada Sehun yang sudah berganti penampilan. Sehun kini mengenakan ­t-shirt milik Minho. T-shirt warna abu-abu itu sangat pas di badannya.

“Mana kakakmu? Aku harus pulang,” tanya Sehun memecah keheningan. “Sebaiknya kita lanjutkan besok. Kau pasti lelah.”

“Baiklah,” Nara mengangguk setuju.

Nara yang berjalan di depan Sehun, menoleh ke belakang ketika tangan lelaki itu tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangan kanannya.

“Soal ucapanku tadi … aku bersungguh-sungguh,” Sehun kembali memperlihatkan wajah seriusnya. “Tapi tenang saja. Aku tidak akan memaksamu untuk memberikan jawaban secepatnya. Aku akan menunggu.”

Mata Nara mengerjap lembut. Kadang ia merasa bahwa sekarang sedang berada di alam mimpi. Oh, ayolah. Apakah kalian percaya begitu saja jika seorang Oh Sehun dengan predikat siswa populer di Incheon High School, menyatakan cinta pada Kang Nara—gadis tomboy yang hanya dikenal sebagai atlet basket sekolah mereka?

Tidak percaya, ‘kan? Nara saja tidak mempercayainya. Tapi semua sudah terjadi dan itu benar-benar nyata.

“Ngg … Sehun?” Nara meringis lebar, kemudian menunjuk tangan lelaki itu yang masih mencengkeram pergelangan tangan kanannya.

“Oh, maaf.” Sehun melepaskan cengkeraman tangannya dari Nara. Ia mengusap tengkuknya, lalu memasang senyum bodoh di wajah. Sementara Nara hanya menunduk, tentunya dengan wajah merah padam. Reaksi Sehun tak pelak membuat Nara gagal mengendalikan debaran jantungnya.

“Nara!”

Nara mengangkat kepala ketika mendengar suara lain yang memanggilnya. Gadis itu menatap Sora heran. Ekspresi wajah Sora didominasi kepanikan. “Ada apa, eonni?” tanyanya bingung.

Sora masih mengatur napas. Bahunya naik turun, membuat Nara dan Sehun saling memandang dengan dahi berkedut.

“Tenanglah,” bisik Minho seraya mengusap lembut punggung Sora. Sikapnya itu mengundang rasa penasaran dua remaja di depan mereka.

Sora mengangguk, lalu menatap Nara dan Sehun yang masih terdiam dengan tampang polos mereka.

“Taehyun-ahjussi baru saja memberitahuku,” pancaran mata Sora perlahan meredup. Napasnya tertahan sejenak, “Appa masuk rumah sakit.”

Tubuh Nara seketika menegang. Ia berdiri mematung dengan tatapan kosong.

Sora melirik Minho. Ia tahu sang adik sangat shock mendengar kondisi ayah mereka—termasuk dirinya sendiri. Matanya beralih menatap Sehun yang turut terkejut dengan kabar yang baru saja ia sampaikan. Ya, bagaimanapun lelaki itu sudah bertemu dengan ayah mereka tadi pagi—tanpa sepengetahuan Sora. Sehun masih ingat jika Tn. Junho tampak sehat sebelumnya. Kenapa mendadak dikabarkan masuk ke rumah sakit?

“Kita harus ke—”

“Di rumah sakit mana, noona?” potong Sehun.

“Rumah Sakit Seoul,” jawab Sora singkat.

Sehun menghela napas. “Baiklah, kita ke sana sekarang. Biar aku yang mengantar kalian ke sana. Kita bisa pergi menaiki mobilku.”

“Kau yakin?” Minho memastikan tawaran Sehun.

Sehun mengangguk, lalu melirik Nara sekilas. Hatinya mencelos melihat bagaimana kondisi gadis itu. Wajah muram dengan bahu yang bergetar. Tak diragukan lagi, Nara benar-benar shock dengan kabar tentang ayahnya. Sehun menggenggam erat tangan Nara, lalu berbisik lembut di telinga gadis itu. “Ayahmu pasti baik-baik saja. Percayalah.”

Nara mendongak. Ia mengangguk pelan, lantas membiarkan Sehun menariknya—pergi menyusul Sora dan Minho yang sudah lebih dulu keluar. Ketika lelaki itu menggandengnya, Nara kembali menunduk. Sebisa mungkin ia tak ingin memperlihatkan kesedihannya di hadapan semua orang—khususnya Sehun.

//

“Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan, Tuan Junho menderita asam lambung,” suara berat dari dokter bernama Park Jungsoo itu membuat kelima orang di depannya menatap dengan beragam ekspresi.

“Apakah itu berbahaya?” tanya Sora.

“Pada umumnya penyakit ini sering disepelekan oleh sebagian orang. Padahal penyakit ini termasuk dalam penyakit kronis yang bila tidak segera ditangani maka akan dapat menyebabkan berbagai macam gangguan kesehatan, yang berujung kematian,” jelas Dokter Jungsoo.

Sontak saja penjelasan dokter itu membuat semua orang tercengang.

“Kalian jangan khawatir, penyakit ini bisa dicegah. Asalkan Tuan Junho memperhatikan asupan makanan, khususnya yang dapat memicu penyakit asam lambung. Selain itu, hindari stress dan merokok,” lanjut Dokter Jungsoo.

Kali ini penjelasan Dokter Jungsoo sedikit melegakan, khususnya bagi Sora dan Nara. Mereka tahu persis jika sang ayah bukan perokok. Artinya kondisi ayah mereka kali ini hanya dipicu pola makan yang tidak teratur, dan kurangnya istirahat. Mengingat belakangan ini ayah mereka kerap melakukan perjalanan dinas ke luar kota.

“Saya sarankan agar Tuan Junho menjalani perawatan selama 2 hari di rumah sakit,” Dokter Jungsoo tersenyum. “Beliau harus beristirahat total dari semua kegiatannya.”

Sora mengangguk, “Baik, kami mengerti. Terima kasih atas bantuan Anda, Dokter Jungsoo.”

“Sama-sama. Kalau begitu, kami permisi dulu,” Dokter Jungsoo undur diri dari hadapan semua orang.

Sora menghela napas lega, kemudian melirik Tn. Taehyun yang juga bereaksi sama. “Ahjussi, terima kasih sudah membawa appa ke sini.”

Tn. Taehyun mengangguk, kemudian memberikan pelukan hangat untuk Sora dan Nara secara bergantian. “Kurasa appa kalian terlalu kelelahan bekerja. Aku yakin kebiasaannya yang sering melalaikan jam makan masih tetap sama.”

Sora dan Nara mengangguk kompak.

“Besok aku akan datang lagi ke sini untuk menjenguk ayah kalian,” lanjut Tn. Taehyun. “Kalian berdua harus menjaganya baik-baik. Sejak ibu kalian meninggal, hanya kalian berdua yang dimiliki Junho.”

“Ne, ahjussi. Sekali lagi terima kasih,” balas Sora. Bersama Minho, keduanya mengantar Tn. Taehyun keluar dari rumah sakit. Sementara Nara dan Sehun menunggu Tn. Junho di ruang inapnya. Pria paruh baya itu masih belum sadar dengan selang infus yang terpasang di tangan kanan.

Sehun tidak mengatakan apapun karena Nara terus diam sejak mereka tiba di rumah sakit. Matanya mengawasi gerak-gerik Nara yang sedang duduk di samping ranjang Tn. Junho. Sesaat wajahnya memancarkan kelegaan yang luar biasa, namun gurat kesedihan masih tetap terlihat.

Mata Sehun nyaris tak berkedip ketika melihat cairan bening kembali menggenangi mata Nara. Namun gadis itu buru-buru mengusapnya, seperti tak ingin memperlihatkan kesedihannya di hadapan siapapun. Tapi Nara melewatkan seseorang. Sehun sedari tadi melihat kesedihan dari sorot mata Nara.

.

“Aku dan Minho akan menjaga appa di sini,” Sora terdiam sejenak. “Ngg … sebenarnya aku tidak tega jika membiarkanmu tinggal sendirian di rumah.”

“Aku bisa menginap di rumah Hana, eonni,” Nara tersenyum, lalu mengeluarkan ponselnya.

“Benar juga. Coba kau hubungi dia,” sahut Sora. Selagi Nara mencoba menghubungi Hana, Sora menyandarkan kepalanya di bahu Minho yang masih memeluknya. Sementara Sehun hanya berdiri sambil bersandar pada dinding dekat pintu.

“Bagaimana?” Sora bertanya saat melihat wajah kusut Nara.

“Ponselnya tidak aktif.”

Sora tampak berpikir keras untuk mencari jalan lain. Ia tidak mau sang adik tinggal sendirian di rumah, selagi dirinya menunggu ayah mereka di rumah sakit. Sora tahu persis apa yang ditakuti Nara—sendirian di rumah.

“Ngg … bagaimana jika Nara menginap di rumahku?”

Suara Sehun membuat semua orang menoleh kaget ke arahnya. Nara tampak ragu, sementara Sora dan Minho saling memandang dengan wajah cerah mereka.

“Ide bagus!”

Nara melempari tatapan tajam pada Sora. Ia baru ingin memberikan penolakan, namun sang kakak justru lebih cepat darinya.

“Tapi, eonni—”

“Sehun sudah berbaik hati padamu. Kau mau menolaknya?”

Nara melongo melihat Sora memasang puppy eyes. Dalam hati ia mengumpat kesal. Sejak kapan kakaknya itu berpihak pada Sehun?

“Baiklah,” suara itu terdengar pelan. Sangat pelan. Sampai-sampai semua orang memandang lekat ke arah Nara. Sadar menjadi pusat perhatian, Nara kembali mengeluarkan tatapan tajamnya. Sora dan Minho tertawa kecil, sementara Sehun—di balik aksi diamnya muncul senyuman lebar.

//

Sesuai kesepakatan, Nara menginap di rumah Sehun. Hanya untuk malam ini saja. Begitulah penekanan yang diucapkan Nara sebelum pulang mengambil beberapa pakaian ganti milik Sora dan Tn. Junho.

Kini Nara sudah berada di dalam mobil yang dikemudikan Sehun. Gadis itu sudah membawa tas yang berisi pakaian ganti—tepatnya seragam sekolah. Juga peralatan sekolah lainnya seperti buku pelajaran.

Tak ada yang memulai obrolan selama perjalanan menuju rumah Sehun. Nara memilih memperhatikan jalanan yang mereka lewati dari balik kaca mobil, sementara Sehun fokus mengemudi.

Sebenarnya beberapa kali Sehun melirik ke arah Nara. Ia kembali teringat bagaimana wajah sedih Nara ketika duduk di samping ranjang Tn. Junho.

Sebuah ide tercetus begitu saja dalam kepala Sehun. Lelaki itu urung melajukan mobilnya menuju rumah. Ia justru berencana mengajak gadis itu pergi ke suatu tempat. Tempat yang mungkin bisa mengembalikan suasana hati Nara.

Nara menyadari ada yang tidak asing dengan jalanan yang mereka lalui. Gadis itu menoleh, mengamati raut wajah Sehun yang masih fokus mengemudi.

“Kita mau ke mana?” tanya Nara memecah keheningan.

Sehun melirik sekilas, lalu tersenyum. “Tempat di mana kau bisa meluapkan emosimu,” jawabnya santai. Tak peduli dengan sorot mata bingung Nara, Sehun kian menambah kecepatan laju mobilnya.

Perlahan mobil itu memasuki area parkir yang sangat luas. Bola mata Nara membulat sempurna. Di depannya terbentang sungai yang berhias lampu kota yang cantik sepanjang jembatan di atasnya. Sungai Han.

“Kenapa kau mengajakku ke sini?”

“Sudah kubilang kau butuh tempat untuk meluapkan emosimu,” jawab Sehun tetap sama. Tangannya melepas seat belt, kemudian membuka pintu mobil. Ia menoleh sejenak ke arah Nara yang bergeming di posisinya. “Ayo.”

Suara Sehun mengembalikan Nara ke alam sadarnya. Gadis itu segera keluar dari mobil, menyusul Sehun yang lebih dulu berada di luar.

Tanpa dikomando, Sehun menarik tangan Nara, menuntun gadis itu mendekat ke tepi Sungai Han. Begitu sampai di lokasi, mereka disuguhi pemandangan malam yang begitu indah. Aliran sungai yang begitu tenang, serta pantulan cahaya lampu di sepanjang jembatan yang berada di atas sungai.

Mata Nara nyaris tak berkedip. Ia terlalu mengagumi pemandangan di depannya.

“Sudah lama sekali aku tidak ke sini,” ucapnya dengan decak kagum yang tak pernah berhenti.

Sehun menoleh dengan seulas senyum, “Kau suka?”

Nara mengangguk. Ia tak menoleh sedikit pun pada Sehun, karena matanya terlanjur jatuh hati pada pemandangan di depan mereka.

“Aku biasa ke sini untuk sekedar menenangkan pikiran,” Sehun memulai percakapan seriusnya dengan Nara. “Atau sekedar meluapkan emosiku jika sedang ada masalah.”

Perlahan tapi pasti, pandangan Nara telah sepenuhnya tertuju pada Sehun. Agaknya gadis itu sudah mengerti alasan Sehun mengajaknya ke Sungai Han.

“Kau bisa mengeluarkannya,” ucap Sehun kemudian.

“Apa?”

Sehun terdiam sejenak, kemudian menghela napas berat. “Air matamu. Kau tidak perlu lagi menahannya.”

DEG!

Bola mata Nara membulat sempurna. Ia mengalihkan wajahnya, membuang tatapannya dari Sehun. Napas Nara memburu, seiring matanya yang terpejam. Raut wajahnya kini berganti dengan gurat kesedihan.

Sehun tertegun. Cairan bening itu kembali menggenangi mata Nara.

“Ck, kenapa kau harus mengingatkannya?” suara Nara mulai bergetar. “Padahal aku sudah susah payah—”

Kalimat Nara tertahan. Ia menggigit bibir bawahnya, membiarkan air mata itu perlahan turun mengaliri pipi. Isak tangis mulai terdengar. Kini di depan Sehun bukan lagi sosok Nara yang tomboy dan ceria, dengan berbagai tingkah polos, namun tetap penuh emosi ketika Sehun melakukan kejahilan terhadapnya. Nara yang sekarang berada di depan Sehun adalah sosok gadis yang tampak rapuh ketika menangis.

Hati Sehun teriris melihat kondisi Nara. Dorongan untuk merengkuh gadis itu dalam dekapannya begitu kuat. Sampai ia tak menyadari pergerakan kakinya yang sudah melangkah ke sisi Nara. Gadis itu masih menunduk sembari mengusap kedua matanya. Berusaha keras menghentikan laju air mata yang kian mengalir deras.

Tangan Sehun terarah ke punggung Nara. Saat ia mengusap lembut punggung Nara, isakan tangis gadis itu semakin menjadi. Sehun lantas mendekap Nara begitu erat, membenamkan wajah gadis, membiarkan t-shirt yang ia kenakan basah karena air mata Nara. Setelah mengusap punggung Nara dengan lembut, Sehun beralih membelai kepalanya.

Nara tidak mengatakan apapun, karena bibirnya sedari tadi hanya mengeluarkan isakan tangis yang semakin menjadi. Satu hal yang dirasakan Nara, ia merasa nyaman dan tenang ketika lelaki itu mendekapnya.

//

Ny. Seohee hendak berteriak mengeluarkan teguran kepada Sehun, karena putranya itu pulang terlambat. Namun kedatangan Sehun bersama seorang gadis membuatnya urung melakukannya. Ny. Seohee memandangi dengan teliti sosok gadis yang berada dalam gendongan Sehun ala bridal style. Mata gadis itu terpejam—sepertinya tertidur. Bisa dilihat dari gelagatnya yang tampak nyaman dengan kepala yang bertumpu pada dada bidang Sehun.

“Dia siapa?”

“Sebentar, eomma,” potong Sehun seraya meringis. “Aku harus membaringkannya dulu.”

Ny. Seohee mengangguk, lantas berjalan di depan Sehun. Tujuan mereka adalah sebuah kamar milik kakak perempuan Sehun—Oh Jieun, yang saat ini sedang menyelesaikan kuliahnya di Amerika.

Sehun kembali lagi ke mobilnya, bermaksud mengambil barang milik Nara yang masih tertinggal. Ketika masuk ke kamar Jieun, ia melihat sang ibu masih menunggu di kamar. Ny. Seohee menarik selimut sampai menutupi dada Nara. Wajah polos Nara, tanpa sadar mendorong ibu Sehun untuk mengusap lembut kepala gadis itu.

Sehun mengulas senyum melihat lengkungan sempurna di wajah Nara.

“Sudah puas memandanginya?”

“Eh?” Sehun terkesiap kaget. Ternyata tatapan Ny. Seohee sudah tertuju padanya. Ia hanya meringis lebar, lalu melangkah keluar mendahului sang ibu yang masih duduk di tepi ranjang.

Ruang makan menjadi pilihan Sehun untuk melarikan diri. Tangannya bergerak cepat membuka kulkas untuk mengambil botol minuman dingin. Sehun lantas menenggaknya sampai air di dalam botol habis setengah.

Merasa jauh lebih tenang setelah menikmati minumannya, Sehun mengembalikan botol tersebut ke dalam kulkas. Begitu pintu kulkas ditutup, Sehun melonjak kaget ketika mengetahui sang ibu sudah berdiri tepat di sebelahnya. Ia menatap ibunya horor karena menghadiahi sorot mata menyelidik untuknya.

“Siapa gadis itu?” Ny. Seohee melipat kedua tangan di depan dada.

“Teman sekelasku, eomma,” jawab Sehun seadanya. “Bukankah tadi pagi aku sudah minta izin untuk mengerjakan tugas kelompok di rumah temanku?”

“Izin?” Ny. Seohee memutar bola matanya. “Ah, jadi gadis itu orangnya? Gadis yang kau sukai itu?”

Kenapa eomma justru lebih mengingat status Nara sebagai gadis yang kusukai? Sial!—Sehun membatin frustasi.

“Lalu, apa yang terjadi dengannya? Kenapa pulang bersamamu dalam kondisi tidur?”

“Dia akan menginap di rumah kita,” Sehun menghela napas panjang. “Ayahnya masuk rumah sakit dan kakaknya harus menemani ayah mereka. Kakaknya khawatir jika dia sendirian di rumah. Sebenarnya dia sudah menghubungi Hana—teman sekelas kami juga, tapi tidak berhasil. Karena itu aku mengajaknya ke sini. Tidak apa-apa, ‘kan?”

Ny. Seohee tersenyum. Ia melihat sinar mata Sehun yang sangat cerah ketika membicarakan gadis yang disukainya itu. “Oh iya, siapa nama gadis itu?”

“Kang Nara,” Sehun membalas senyum ibunya. “Sudah ya, eomma. Aku ingin tidur.”

Ny. Seohee mengangguk. Memandangi punggung Sehun sampai menghilang dari jangkauan penglihatannya. Ia berjalan menuju kamarnya, menyusul sang suami yang sudah lebih dulu tidur. Sesaat Ny. Seohee menepuk pelan keningnya karena melupakan sesuatu.

“Aigo, aku lupa memberitahu Sehun jika besok sepupunya akan datang.”

.

.

.

.

.

Kamar itu terasa hangat ketika cahaya matahari memaksa masuk melalui celah jendela. Ditambah suara kicauan burung, kegiatan tidur Nara sedikit terusik. Ia tampak menggeliat di balik selimut. Sedikit berguling di atas ranjang empuk yang begitu nyaman. Perlahan mata itu terbuka, membuatnya langsung disuguhi suasana kamar yang cantik dan rapi. Kedua alis Nara bertaut. Berbagai pertanyaan segera saja menyergap kepalanya.

Lama terdiam dengan dahi berkedut, lalu bola matanya melebar. Berbagai peristiwa yang terjadi kemarin kembali berputar dalam memori Nara. Saat itu juga, kepala Nara tertunduk. Tangannya menangkup wajah, dan ia bisa merasakan pipinya memanas.

Kebersamaan dengan Sehun ketika mengerjakan tugas kelompok, bermain air di taman belakang rumah, pengakuan cinta Sehun, kabar ayahnya yang tiba-tiba masuk ke rumah sakit, Sehun yang mengajaknya ke Sungai Han, dan di sana ia menangis dalam pelukan lelaki itu. Semua tergambar jelas dalam memori Nara. Terakhir yang diingat, setelah masuk ke dalam mobil Sehun, ia merasakan kantuk yang luar biasa. Setelah itu, Nara sama sekali tidak mengingat apapun sampai ia membuka mata sekarang. Mengetahui dirinya sudah berada di sebuah kamar yang sangat asing baginya.

KLEK!

Pintu itu terbuka secara perlahan. Memperlihatkan sosok wanita yang muncul dari balik pintu. Nara menoleh dan hanya mengerjap lembut ketika melihat sosok wanita itu melempar senyuman hangat untuknya.

“Kau sudah bangun?”

Nara belum menjawab. Wajahnya masih dipenuhi tanda tanya besar sekaligus canggung karena tak mengenal sosok di depannya itu.

“Ah, kau pasti bingung,” wanita itu tertawa kecil. “Namaku Seohee. Aku ibu Sehun.”

Bola mata Nara membulat sempurna. Ia refleks turun dari ranjang, lalu membungkuk hormat. “Ma-maaf atas sikapku yang tidak sopan ini, ahjumma.”

“Aigo, kau tidak perlu merasa bersalah seperti itu, Nara,” Ny. Seohee tertawa lagi. Ia gemas melihat reaksi Nara yang begitu polos seperti anak kecil.

“Eh?”

“Sehun sudah menceritakan semuanya,” Ny. Seohee berjalan mendekati Nara. “Semalam kau datang bersama Sehun dalam kondisi tidur. Pasti kau sangat kelelahan. Kudengar ayahmu masuk rumah sakit dan kakakmu harus menemaninya. Karena khawatir kau sendirian di rumah, Sehun mengajakmu menginap di sini.”

“Ngg … itu—”

“Aku tahu kau sudah mencoba menghubungi temanmu. Tapi ponsel temanmu tidak aktif,” Ny. Seohee kembali tertawa. “Sehun sudah menceritakannya dengan detail. Jadi, kau tidak perlu merasa sungkan atau bersalah.”

Nara terdiam selama beberapa detik. Sepertinya masih mencoba mencerna semua penjelasan yang dipaparkan Ny. Seohee.

“Kau tahu, belum pernah aku melihat Sehun begitu memperhatikan seseorang seperti itu. Semalam dia yang menggendongmu ke sini, bahkan membawakan barang-barangmu dari dalam mobil,” Ny. Seohee mengeluarkan seringaiannya. Hal itu membuat Nara yakin jika wanita itu memang ibu Sehun. Seringaian mereka sama.

“Kau pasti gadis yang istimewa bagi Sehun,” ucap Ny. Seohee diakhiri lengkungan senyum yang begitu sempurna.

Wajah memerah Nara membuat Ny. Seohee gemas dan semakin ingin menggodanya. Ia ingin tahu, sejauh mana hubungan gadis itu dengan putranya. Hanya sekedar teman sekelas? Atau sudah memasuki tahap sebagai pasangan kekasih?

“Sebentar lagi waktunya sarapan. Sebaiknya kau bersiap-siap,” ucap Ny. Seohee. Kali ini mengusap lembut bahu Nara. “Kami akan menunggumu di ruang makan.”

Nara mengangguk, “Terima kasih, ahjumma.”

//

Sehun menghentikan kegiatan sarapannya setelah Nara datang ke ruang makan. Ia tersenyum lega melihat wajah segar gadis itu. Nara terlihat rapi, sama sepertinya yang sudah berseragam sekolah. Tapi ada yang berbeda. Nara tak lagi menata rambutnya ala ponytail. Gadis itu sengaja membiarkan rambutnya terurai, dengan hiasan bando berwarna putih di kepala. Tentu saja penampilan yang sedikit berubah itu membuat Nara tampak lebih feminim.

“Selamat pagi, Nara. Apa semalam tidurmu nyenyak?”

Secara mengejutkan Tn. Seungjae justru lebih dulu menyambut kedatangan Nara. Membuat dua remaja di ruang makan itu saling memandang.

Tn. Seungjae tersenyum. “Aku Oh Seungjae. Ayah Sehun.”

Reaksi yang tidak jauh berbeda ketika Nara melihat ibu Sehun. Secara spontan membungkuk di depan Tn. Seungjae. Ia bahkan mengatakan hal yang sama ketika bertemu Ny. Seohee.

“Benar ‘kan yang kukatakan?” Ny. Seohee berbisik. “Dia gadis yang menarik.”

Tn. Seungjae mengangguk setuju. Bersama sang istri, keduanya melirik kompak ke arah Sehun. Mereka memamerkan seringaian khas yang membuat Sehun buru-buru memalingkan wajah. Membuang tatapan dari orang tuanya.

“Duduklah,” titah Sehun seraya mengedikkan dagu ke arah kursi di sebelahnya. Nara meletakkan sejenak tas ranselnya, sebelum menarik kursi di sebelah Sehun. Lalu menikmati sarapan bersama keluarga Sehun.

Kecanggungan yang tergambar jelas antara Sehun dan Nara, tentu membuat pasangan suami istri itu terheran. Padahal mereka sudah berharap bisa melihat kedekatan dua remaja itu. Terlebih setelah pengakuan Sehun yang sedang menyukai teman sekelasnya yang tidak lain adalah Nara. Oh, jangan heran jika Tn. Seungjae sudah tahu gadis yang disukai Sehun adalah Nara. Tadi pagi setelah bangun tidur, Ny. Seohee bertingkah seperti reporter berita. Tanpa ragu menceritakan semua yang terjadi semalam.

“Apa semalam terjadi sesuatu antara kalian berdua?”

“Uhuk!” Nara tersedak karena pertanyaan polos yang keluar dari mulut Tn. Seungjae. Sehun menutup wajahnya karena malu, sementara Ny. Seohee langsung menyikut lengan suaminya sembari menghadiahi tatapan tajam.

“Kau tidak apa-apa?” Sehun abaikan sejenak perasaan malunya. Lelaki itu menyodorkan segelas air putih untuk Nara yang terlihat kesulitan menelan makanan. Ia mengusap lembut punggung Nara, seraya membisikkan sesuatu.

“Cepat habiskan sarapanmu agar kita bisa segera berangkat,” bisik Sehun dengan penekanan.

Nara mengangguk pelan, sangat paham dengan maksud ucapan Sehun. Jika mereka terlalu lama di hadapan orang tua Sehun, entah pertanyaan apa lagi yang akan dilontarkan pasangan suami istri itu.

“Kami sudah selesai,” Sehun melirik sekilas pada peralatan makan Nara yang sudah diletakkan di atas meja. “Kami berangkat.”

Nara ikut berdiri dari kursinya, kemudian membungkuk hormat kepada orang tua Sehun.

“Terima kasih untuk sarapannya, ahjussi, ahjumma,” Nara tersenyum. “Semoga hari kalian menyenangkan.”

Belum sempat orang tua Sehun memberi respon, sang putra justru lebih dulu menarik Nara dari hadapan mereka. Kini hanya tertinggal Tn. Seungjae dan Ny. Seohee di ruang makan.

“Ish, gara-gara kau mengatakan hal itu, mereka jadi buru-buru berangkat ke sekolah,” Ny. Seohee mendengus kesal. “Padahal aku masih ingin menikmati sarapan lebih lama bersama Nara.”

“Tapi kita bisa melihat interaksi mereka berdua, ‘kan?” Tn. Seungjae melakukan pembelaan. “Kau tidak lihat bagaimana sikap Sehun ketika Nara tersedak?”

Ny. Seohee terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar. “Benar juga.”

Tn. Seungjae mencubit gemas pipi istrinya. “Kalau begitu, kau bisa menikmati sarapan bersama dengan Nara lain waktu. Mungkin jika gadis itu sudah resmi berhubungan dengan Sehun. Bersabarlah.”

Selanjutnya hanya terdengar kekehan pelan dari Ny. Seohee.

“Astaga!”

Tn. Seungjae kaget mendengar teriakan istrinya yang begitu histeris. “Ada apa, yeobo?”

“Lagi-lagi aku lupa memberitahu Sehun jika sepupunya akan datang hari ini,” Ny. Seohee meringis lebar yang hanya disambut dengusan kesal dari suaminya.

//

Nara memandangi layar ponselnya begitu mendapat pesan dari Sora. Kabar kondisi ayah mereka yang sudah membaik, tentu sangat melegakan bagi Nara. Dalam hati, Nara tak henti mengucap syukur kepada Tuhan karena telah mengabulkan doanya. Memberikan kesembuhan atas penyakit yang menyerang ayah mereka.

DRRT!

Nama Sora muncul lagi di layar ponsel Nara. Ia melirik Sehun sekilas yang ternyata juga sedang memandanginya. Buru-buru jemari tangan Nara menyentuh tombol warna hijau. Menjawab panggilan masuk dari kakaknya.

“Yeoboseyo,” sapa Nara.

“Apa kau sudah berangkat ke sekolah?”

“Ne, eonni. Bagaimana kondisi appa? Apakah appa sudah sarapan?”

“Kau tidak perlu khawatir. Sekarang appa sedang menikmati sarapannya. Oh iya, appa bilang appa sangat merindukanmu.”

Nara tertawa kecil. “Baiklah, sepulang sekolah aku akan pergi ke rumah sakit.”

“Bagus. Kau bisa menggantikanku selagi aku pulang mengambil pakaian ganti untuk appa.”

“Ne, eonni.”

“Ngomong-ngomong, semalam tidak terjadi sesuatu ‘kan antara kalian berdua?”

Pipi Nara memanas. Ia tak habis pikir dengan semua orang yang mengira terjadi sesuatu antara dirinya dengan Sehun. Ayolah, memangnya apa yang akan mereka lakukan? Kenapa semua orang berpikir yang tidak-tidak seperti itu? Dasar piktor!

“Tentu saja tidak, eonni,” Nara sedikit menggeram. Ia menghela napas panjang, lalu kembali melirik Sehun. Sepertinya lelaki itu mendengar obrolannya dengan Sora. Mengingat bagaimana senyuman itu terukir di wajah tampannya.

“Sudah ya, eonni. Nanti kuhubungi lagi,” Nara memutus obrolannya dengan Sora lantaran tak ingin kakaknya itu kembali mencecari pertanyaan-pertanyaan yang menurutnya konyol. Nara menggerutu kesal. Sejak Sora memergokinya bersama Sehun di taman belakang rumah, gadis itu sepertinya tak ingin melewatkan kesempatan sedikit pun untuk menggodanya.

“Bagaimana kondisi ayahmu?”

“Oh,” suara lembut Sehun membuyarkan lamunan Nara. “Sudah membaik.”

“Syukurlah. Aku senang mendengarnya,” bibir Sehun melengkung ke atas. Diam-diam Nara memperhatikan dan itu membuat pipinya merona.

“Ngomong-ngomong, soal ucapanmu kemarin—” Nara menggigit bibir bawahnya. Ia ragu apakah sekarang waktu yang tepat untuk membahas pengakuan cinta Sehun padanya kemarin. Jawaban apa yang harus ia berikan? Nara masih dilanda kebingungan yang membuat kepalanya rasanya mau pecah.

“Kau tidak perlu menjawabnya sekarang jika belum siap,” Sehun menoleh. “Aku sudah bilang akan menunggunya dengan sabar.”

Sabar? Dari ucapannya kenapa seolah dia sangat yakin aku akan menerima pengakuannya kemarin?

Nara mengangguk, “Baiklah, jika itu maumu.”

Sehun menoleh, kembali memandangi Nara tanpa sepengetahuan gadis itu. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya sedari tadi.

“Ngg … tumben kau tidak mengikat rambutmu?” suara Sehun terdengar lirih, namun tetap saja terdengar oleh Nara. Gadis itu sedikit menunduk, sembari memainkan jarinya untuk menghilangkan rasa gugup.

“Euhm … terlihat aneh ya?”

Sehun mengatupkan bibirnya rapat. Reaksi Nara benar-benar menggemaskan. Hampir saja ia kehabisan pasokan oksigen karena sisi feminim Nara yang belum pernah dilihatnya. Benar-benar berbeda dengan keseharian Nara yang terkesan tomboy.

“Ti-tidak, kau cocok sekali berpenampilan seperti itu,” Sehun berdeham pelan. “Terlihat cantik.”

Wajah Sehun memerah sekarang. Sementara Nara juga bereaksi sama, tapi lebih bisa mengendalikannya. Ia justru tersenyum ke arah Sehun, meski lelaki itu terus menatap ke depan karena fokus menyetir.

“Terima kasih,” dan balasan Nara membuat jantung Sehun bergejolak. Ia mengeratkan pegangannya pada kemudi mobil dengan sudut bibir yang tertarik membentuk lengkungan senyum.

//

Hana memandangi Nara dengan tatapan menyelidik. Gadis itu memangku kepalanya dengan punggung tangan. Saat ini ia tengah berdua saja dengan Nara di ruang kelas, menunggu pergantian jam pelajaran selanjutnya. Sementara teman-teman sekelasnya sudah menghilang entah ke mana. Mengingat jam pelajaran pertama kosong lantaran guru yang mengajar tidak masuk karena sakit.

“Matamu bisa sakit jika kau menatapku seperti itu,” Nara meletakkan kembali botol minuman milik Hana, lalu terkikik sembari mengusap wajah sahabatnya itu.

“Biar saja,” bibir Hana mengerucut. “Aku akan terus seperti ini sampai kau menjelaskan semuanya.”

“Soal apa?” Nara sengaja berlagak bodoh. Sejujurnya ia tahu arah pembicaraan mereka. Pasti soal keberangkatannya bersama Sehun tadi pagi. Dan sekarang seisi sekolah benar-benar menganggap ia dan Sehun menjalin sebuah hubungan.

Hana melipat kedua tangannya, menatap Nara dengan wajah kesalnya. “Kenapa kau bisa berangkat bersama Sehun?” tanyanya gemas.

Nara meringis. Ia memang tak punya pilihan menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada Hana. Toh itu lebih baik daripada Hana terus menerus memandanginya dengan sorot mata yang begitu menakutkan. Seperti polisi yang sedang menginterogasi pelaku kejahatan.

“Baiklah,” Nara menarik napas panjang, lalu mulai menceritakan semuanya pada Hana. Gadis bermarga Jung itu mengangguk, bersiap memasang telinganya untuk apapun yang akan keluar dari mulut Nara.

Semua dijelaskan Nara tanpa ada yang terlewat. Di antara serangkaian kejadian yang dialami Nara dan Sehun kemarin, tentu yang membuat Hana tercengang adalah pengakuan Sehun yang menyukai Nara, sekaligus keputusan Sora yang menyuruh Nara menginap di rumah lelaki itu.

“Jadi semalam kau menginap di—mpphh!” Hana berusaha keras melepaskan tangan Nara yang membekap mulutnya.

“Jangan keras-keras!” Nara melotot. Lalu melirik sekeliling. “Bagaimana kalau ada yang mendengar?”

Hana terkekeh lalu memperlihatkan v-sign dengan jarinya.

“Maaf. Semalam ponselku mati,” Hana mengusap tengkuknya sembari meringis lebar. Benar-benar lebar sampai memperlihatkan deretan giginya yang berjejer rapi.

“Saat aku mengisi daya baterainya, aku lupa menyalakannya lagi,” lanjutnya. Nara mencibir kebiasaan pelupa Hana. Dan ia melampiaskannya pada minuman Hana yang kembali diteguknya.

“Lalu, jawaban apa yang kau berikan pada Sehun?

Hampir saja Nara tersedak karena Hana tiba-tiba mengganti topik pembicaraan.

“Aku … belum memberikan jawaban,” lirih Nara seraya menunduk.

“APA?” Hana berteriak dan langsung mendapat tatapan tajam dari Nara. “Kenapa belum menjawabnya?”

“Aku masih belum tahu bagaimana perasaanku pada Sehun,” Nara menggaruk kepalanya. meski tidak terasa gatal. Gadis itu meniup poninya, lalu menutup wajahnya dengan tangan. “Kau masih belum tahu?” Hana tersenyum geli. “Tidak ada yang perlu diragukan. Dia menyukaimu dan kau juga menyukainya.”

“Aku tidak pernah mengatakan jika aku menyukainya,” elak Nara.

“Ck, apa kau tidak sadar? Gesture-mu selalu memperlihatkan bahwa kau menyukainya,” Hana menggelengkan kepala. “Kau selalu berada di dalam situasi ketika Sehun menolak para gadis yang mengaku suka padanya. Sejak itu, kau mulai memperhatikan Sehun meski dengan alasan ingin tahu kenapa dia menolak mereka.”

“Setelah Sehun mengatakan ada gadis yang dia sukai, kau semakin penasaran dengannya. Lalu kedekatan Sehun dan Minyoung, kau selalu memandangi mereka dengan tatapan tidak suka,” Hana benar-benar mirip seperti pakar dalam urusan percintaan. Nara sampai dibuat tercengang karenanya.

“Kalau kau masih belum yakin, masih ada cara sederhana untuk meyakinkan perasaanmu pada Sehun,” Hana tersenyum lebar.

“Benarkah?” Nara mata berbinar. “Cara yang seperti apa?”

“Jika jantungmu berdebar tidak karuan ketika sedang bersama Sehun, atau kau merasa gugup sekaligus senang ketika ia memberikan perhatian padamu, maka sudah jelas. Kau menyukai lelaki itu,” jawab Hana dengan senyum penuh kemenangan.

Mata Nara mengerjap lembut, namun rona merah yang menghiasi wajahnya dinilai cukup membuat Hana puas dengan reaksinya.

//

“Kau sudah mengatakannya pada Nara?”

“Ya.”

“Lalu apa jawabannya?”

“Dia belum memberikan jawaban.”

Jongin nyaris menjatuhkan beberapa kardus yang sedang dibawanya menuju gudang sekolah. Terlalu kaget dengan reaksi Sehun yang tampak santai ketika membahas pengakuan cintanya pada Nara.

“Kau sungguh-sungguh menyukainya?”

“Tentu saja,” Sehun menjawab tegas. Kaki kanannya mulai mendorong pintu gudang yang sudah berada di depan mereka. Bersama Jongin, saat ini mereka sedang membantu salah satu guru untuk menaruh barang-barang tak terpakai dari ruang musik ke dalam gudang sekolah.

“Lalu kenapa kau bisa sesantai itu ketika Nara belum memberikan jawaban?” Jongin mulai menurunkan kardus-kardus yang dibawanya.

“Aku sudah bilang padanya kalau aku tidak keberatan menunggu. Tidak memaksanya untuk terburu-buru memberikan jawaban,” Sehun merapikan susunan kardus agar tidak jatuh. “Aku akan bersabar menunggunya.”

Jongin mencibir, lalu tertawa pelan. “Dari jawabanmu, kau seolah yakin Nara akan menerimanya.”

Sehun menyeringai, “Tentu saja. Keyakinanku tidak pernah salah, Kim Jongin. Aku sudah mengamati sikapnya ketika sedang bersamaku. Aku yakin dia akan menerimanya.”

“Ya ya ya, semoga saja itu benar,” Jongin menepuk-nepuk kedua tangannya karena tidak sengaja terkena debu. “Ngomong-ngomong … kau sudah memperjelas perasaanmu terhadap Minyoung?”

“Belum. Tapi secepatnya aku akan memberitahu Minyoung,” jawab Sehun.

“Tentu. Kau harus secepatnya mengakui perasaanmu yang sebenarnya. Kalau kau hanya menganggap Minyoung teman, tidak lebih. Sekedar menghormati pertemanan ibu kalian,” Jongin menepuk pundah Sehun.

“Aku tahu,” Sehun mendesah kesal, lalu terdiam sejenak dengan tatapan kosong.

Selesai menjalankan tugas, Sehun dan Jongin keluar dari gudang. Bergegas menuju kelasnya karena sebentar lagi jam pelajaran selanjutnya akan dimulai.

Tanpa mereka sedari, sosok gadis yang tengah bersembunyi di dekat gudang muncul. Ia mendengarkan semua obrolan dua lelaki itu. Hatinya terluka, tapi ia tak akan menyerah begitu saja untuk mendapatkan lelaki yang sangat disukainya—Oh Sehun.

//

Sepulang sekolah, Nara berencana pergi ke rumah sakit untuk menengok ayahnya. Padahal baru tidak bertemu selama 1 hari, tapi Nara sudah sangat merindukan ayahnya. Biasanya ketika Tn. Junho sedang dinas ke luar kota karena pekerjaannya sebagai pengajar di salah satu universitas ternama di Incheon, Nara masih bisa menahan kerinduan kepada ayahnya. Tapi untuk kali ini pengecualian. Rasa rindu itu lebih besar karena ia khawatir dengan kondisi kesehatan ayahnya tersebut.

Nara memainkan kakinya dengan menendang-nendang kerikil kecil di tanah. Ia berdiri di sebelah mobil Sehun, menunggu lelaki itu yang sedang menemui salah satu guru.

Beberapa siswa yang tidak sengaja melihatnya sedikit berbisik. Nara sadar, ia sekarang pasti terlihat seperti seorang gadis yang sedang menunggu kekasihnya. Masa bodoh dengan pandangan orang lain. Ia menunggu Sehun karena lelaki itu sudah berjanji akan mengantarnya ke rumah sakit untuk menemui ayahnya sepulang sekolah.

“Kenapa lama sekali?” gumamnya kesal. Hampir 25 menit, tapi Sehun belum terlihat.

Bosan menunggu, Nara memutuskan untuk masuk kembali ke dalam gedung sekolah. Berjalan menuju ruang guru untuk menyusul Sehun.

Suasana ruang guru yang sepi membuat Nara terheran. Ia memandangi sekeliling, mencoba mencari keberadaan Sehun tapi ia justru mendapati Guru Han baru saja keluar dari ruangan sambil menenteng beberapa map. “Nara-ssi, kau belum pulang?” tanyanya dengan tatapan heran.

Nara menggeleng pelan, “Aku mencari Sehun, seosaengnim.”

“Sehun? Dia tidak ada di sini,” jawab Guru Han setelah memeriksa sekitarnya.

“Bukankah tadi seosaengnim yang memanggil Sehun ke sini?” tanya Nara ragu-ragu.

Dahi Guru Han berkerut, “Aku tidak pernah memanggilnya.”

“Apa?” napas Nara sedikit tertahan.

Guru Han mengangguk, “Mungkin kau salah informasi.”

Nara tidak merespon. Ia terlalu kaget mendengar pengakuan mengejutkan dari Guru Han. Wanita itu berjalan meninggalkan Nara seorang diri di depan ruang guru. Gadis itu masih berdiri mematung. Jika Sehun tidak ada di sini, lalu di mana?

“Ada yang tidak beres,” gumamnya lalu berjalan cepat menyisiri area gedung sekolah. Ia memeriksa ruang kelas yang dilaluinya, yaitu ruang kelas siswa tingkat 2. Tidak ada Sehun di sana. Nara kemudian berjalan menuju ruang laboratorium dan ruang musik. Sehun juga tidak ada.

“Aish, sebenarnya dia di mana?!” Nara menggeram frrustasi. Ia berlari menuju tangga untuk turun ke lantai 1. Tanpa sengaja ia berpapasan dengan Jongin yang terlihat turun dari lantai 3 di atasnya.

“Nara?” Jongin menautkan kedua alisnya karena melihat wajah kacau Nara.

“Kebetulan sekali,” Nara tersenyum lega. “Apa kau melihat Sehun?”

“Sehun? Aku juga sedang mencarinya,” Jongin membulatkan matanya. “Kata Minji tadi dia pergi ke ruang aula.”

Mendengar jawaban itu, Nara langsung berlari menuju aula sekolah yang terletak di lantai 1. Entah kenapa ada perasaan tak enak dalam hati Nara. Kontan saja reaksi Nara membuat Jongin bingung. Tanpa bertanya ia berlari menyusul Nara yang sudah menghilang dari pandangannya.

BLAM!

Pintu ruang aula itu terhempas begitu saja ketika Nara mendorongnya dengan keras. Nara mengatur napasnya yang tidak beraturan, sembari menelusuri seluruh sudut ruangan untuk mencari keberadaan Sehun. Sampai akhirnya ia melihat sosok lelaki yang sedang dicarinya itu sedang bersama—Minyoung?

Apa yang mereka lakukan?—batin Nara frustasi. Ia bersiap memanggil lelaki itu, namun pemandangan selanjutnya membuatnya tercengang.

Entah apa yang sedang dibicarakan Sehun dan Minyoung, gadis bermarga Park itu tiba-tiba sedikit berjinjit. Mengalungkan kedua lengannya pada leher Sehun, lalu dengan santainya mencium bibir lelaki itu.

“Apa yang kau lakukan?!” itu suara Sehun. Ia mendorong keras tubuh Minyoung agar menjauh darinya. Tangan Sehun mengusap bibirnya dengan kasar, seolah ingin menghapus ciuman yang dilakukan Minyoung. Dengan luapan emosi, Sehun berjalan ke arah pintu keluar aula. Tapi baru beberapa langkah, Sehun sudah berhenti ketika melihat sosok gadis dari kejauhan yang menatapnya dengan wajah kecewa.

“Nara?”

Jongin yang baru saja tiba di ruang aula, semakin bingung ketika mendapati suasana tegang dalam ruangan tersebut. “Ada apa ini?” tanyanya. Ia memandangi Nara dan Sehun secara bergantian, lalu melirik Minyoung yang berdiri beberapa jengkal di belakang Sehun.

Nara berjalan mundur. Sehun sontak mempercepat langkah kakinya sebelum gadis itu keluar dari ruang aula.

“Nara, aku bisa jelaskan,” suara Sehun terdengar lirih. Dalam hitungan detik Nara sudah berbalik dan berlari keluar dari ruang aula.

“NARA!”

Jongin menatap bingung dengan adegan layaknya drama yang baru saja dilihatnya. Nara berlari keluar sementara Sehun mengejarnya. Selanjutnya Minyoung seperti ingin ikut dalam drama tersebut—lari menyusul Sehun tapi berhasil dicegah oleh Jongin.

“Lepaskan tanganmu, Kim Jongin!”

Jongin tidak merespon, namun ia justru mencengkeram kuat lengan Minyoung hingga gadis itu merintih kesakitan.

“Apa yang sudah kau lakukan pada mereka?”

“Aku hanya ingin mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku!” jawab Minyoung lantang.

“Cih, milikmu?” Jongin menatap tajam. “Dengar ya, jika terjadi sesuatu antara mereka berdua, kau akan berhadapan denganku, Park Minyoung.”

Setelah mengatakannya, Jongin langsung berlari keluar dari ruang aula sekolah. Meninggalkan Minyoung yang tampak menyedihkan dengan bercucuran air mata.

//

“NARA!”

Sehun berteriak memanggil Nara yang terus berlari menghindarinya. Lelaki itu cukup kewalahan mengingat Nara yang seorang atlet basket dan memiliki kemampuan berlari yang tidak main-main. Tapi, tetap saja Nara seorang gadis. Terlebih dalam kondisi sedang dikuasai emosi yang tidak stabil. Bisa dipastikan Sehun akan berhasil mengejarnya.

“LEPASKAN AKU!”

Sehun abaikan amukan Nara. Lelaki itu menyeret Nara ke belakang gedung sekolah. Ia butuh waktu berdua dengan Nara, menjelaskan kesalahpahaman yang sengaja dibuat Minyoung. Cih, mengingat nama gadis itu wajah Sehun terasa panas. Seperti terbakar emosi yang siap meledak kapan saja.

“Dengar—” Sehun menarik napas dalam-dalam. “—kau salah paham. Tadi itu bukan seperti yang kau bayangkan. Aku—”

“Omong kosong!” teriakan Nara semakin menjadi. “Aku tidak percaya dengan ucapanmu. Kau bilang ada urusan dengan Guru Han. Tapi nyatanya kau sedang bermesraan dengan Minyoung.”

“Astaga, Nara!” Sehun mendongak sembari mengepalkan tangannya. “Ini semua ulah Minyoung. Dia sengaja memanggilku dengan mengatasnamakan Guru Han.”

Nara memalingkan wajahnya, membuang tatapannya dari Sehun.

“Dia menyatakan cintanya lagi padaku, tapi langsung kutolak!” Sehun menggenggam tangan Nara. “Karena aku hanya menyukaimu.”

Jujur saja jantung Nara berdebar mendengar jawaban Sehun, tapi bayangan kejadian ketika Sehun dan Minyoung berciuman, membuat hati Nara terbakar. Nara menepis tangan Sehun dengan kilatan amarah di matanya.

“Kau masih berani mengatakan jika kau menyukaiku?” Nara menggeram. “Jelas-jelas tadi kalian berciuman!”

“Dia yang menciumku secara tiba-tiba, Nara. Aku tidak sempat menghindar,” Sehun mengacak-acak rambutnya. Harus berkata apa untuk meyakinkan gadis keras kepala seperti Nara. “Satu-satunya gadis yang kusukai adalah kau. Percayalah.”

“Aku tidak percaya!” Nara berteriak frustasi.

“Baik.” Sehun menarik napas panjang. “Jika kau tidak percaya, aku akan membuktikannya. Ini kulakukan atas kemauanku sendiri, sesuai dengan isi hatiku yang sebenarnya.”

Sehun meremas bahu Nara, sedikit menundukkan kepala hingga wajah keduanya sangat dekat. Dalam hitungan detik, bibir Sehun sudah menempel tepat di bibir Nara.

Nara terkejut ketika merasakan sentuhan bibir Sehun. Tatapannya kembali kosong ketika memori saat Sehun dan Minyoung berputar di kepalanya. Tapi perlakuan Sehun yang begitu lembut ini, seolah mampu meluruhkan semua emosinya. Perlahan mata Nara ikut terpejam. Ia akhirnya larut dalam ciuman itu.

Perlahan Sehun menjauhkan wajahnya dari Nara, memberi kesempatan gadis itu untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Begitu juga dirinya. Napas mereka sama-sama terengah-engah. Nara memilih dada Sehun sebagai objek pandangannya, tak ingin melihat wajah lelaki itu karena malu.

“Sekarang … apa kau sudah percaya padaku?”

“Masih belum,” Nara menggeleng pelan. Ia pejamkan matanya sejenak, kemudian mendongak. Beradu tatapan dengan Sehun dalam jarak yang begitu dekat. Dorongan itu tiba-tiba muncul dalam diri Nara. Kedua tangannya berpegangan pada bahu Sehun, sedikit berjinjit kemudian mendaratkan sebuah ciuman lagi di bibir Sehun. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Nara yang mencium bibir Sehun.

Sehun nyaris tak berkedip melihat tingkah berani Nara. Terlebih saat gadis itu membisikkan sesuatu yang begitu lembut namun terselip ketegasan, “Anggap aku menghapus ciuman Minyoung di bibirmu.”

“Eh?” belum sempat Sehun meminta kejelasan, Nara sudah berbalik. Dari gelagatnya, Nara sudah tidak marah, tapi terlalu malu untuk berhadapan dengan Sehun.

Sehun tak ingin melewatkan kesempatan untuk memperjelas status hubungan mereka. Ia berlari menghampiri Nara yang sedikit mempercepat langkah kakinya. Dalam hitungan detik, tangan kekar Sehun memeluk erat tubuh Nara. Tubuh gadis itu sempat terhuyung ke depan karena dorongan Sehun dari belakang. Ia sandarkan dagunya di atas bahu kanan Nara, memiringkan kepalanya sembari berbisik lembut di telinga Nara.

“Kau marah karena kau cemburu, hm?” Sehun terkekeh ringan. “Artinya, apa kau juga mempunyai perasaan yang sama denganku?”

Nara tidak menjawab. Gadis itu terlalu sibuk mengontrol debaran jantungnya yang semakin tak terkendali karena back-hug yang dilakukan Sehun.

“Nara?”

“Ngg … bisakah kau berjanji padaku?” Nara berdeham pelan. “Bisakah kau berjanji bahwa kau tidak akan pernah pergi dari sisiku? Jika kau bisa menyanggupinya, aku akan menerima cintamu. Seperti halnya perasaanku padamu yang juga menyukaimu, Oh Sehun.”

Sehun tersenyum. Kedua tangannya memegang bahu Nara, lalu memposisikan gadis itu agar mereka saling berhadapan. Jemarinya menuntun wajah Nara agar mau menatapnya.

“Aku berjanji. Aku akan selalu berada di sisimu,” balas Sehun meyakinkan. Nara bisa melihatnya dari sorot mata Sehun, tidak ada kebohongan di sana.

Tanpa ragu, Nara menghambur ke dalam pelukan Sehun. Pikiran logisnya mengatakan jika hubungan ini terlalu cepat diresmikan, tapi hati Nara tidak bisa menahannya untuk segera menerima cinta Sehun. Ia terlanjur jatuh dalam pesona seorang Oh Sehun yang tak terkalahkan.

Well, mulai hari ini Sehun dan Nara telah resmi menjadi sepasang kekasih. Selamat!

//

Incheon International Airport

Pesawat dengan keberangkatan asal Beijing baru saja mendarat dengan mulus di landasan Bandara Internasional Incheon. Semua orang terlihat memenuhi pintu kedatangan bandara. Wajah mereka tampak antusias, tak sabar untuk segera bertemu dengan kerabat mereka yang menjadi penumpang pesawat tersebut.

Sosok wanita usia 40an terlihat berdiri di salah satu kerumunan orang yang berdiri di dekat pintu kedatangan. Sama seperti yang lain, raut antusias mendominasi wajahnya.

Beberapa orang mulai melewati pintu kedatangan. Salah satu dari mereka, tampak sosok laki-laki berambut pirang dengan kacamata hitam yang bertengger manis di atas hidungnya. Tangannya mendorong troli yang berisi beberapa barang miliknya. Ia edarkan pandangan ke sekeliling, berusaha mencari orang yang ia yakini sudah menunggu kedatangannya.

“XI LUHAN!”

Mendengar namanya dipanggil, lelaki itu sedikit menurunkan posisi kacamatanya. Ia melihat seseorang yang melambaikan tangan untuknya.

“Eommoni!” lelaki bernama Luhan itu mempercepat langkah kaki dan dorongannya pada troli. Keluar melewati pembatas antara area pengunjung dan penumpang. Menghampiri wanita itu yang juga berjalan ke arahnya. Luhan melepas kacamatanya lalu tersenyum. Ia memeluk wanita itu dengan hangat dan penuh kerinduan.

“Selamat datang, Luhannie!” jemari wanita itu mengusap lembut wajah Luhan. “Aigo, 5 tahun tidak bertemu, wajahmu sekarang semakin tampan saja.”

Luhan terkekeh, lalu memeluk lagi wanita di depannya itu, “Aku sangat merindukanmu, eommoni.”

“Ck, kebiasaanmu memanggil adik ipar ibumu sendiri tidak pernah berubah.”

Luhan terkekeh lagi. Ia melirik seorang pria yang sepertinya bertugas sebagai supir pribadi mereka.

“Sehun tidak ikut menjemput?”

Sehun? Apa yang dimaksud Luhan adalah Oh Sehun? Jawabannya ya. Lalu kenapa ia mengenal lelaki itu? Tentu saja karena Luhan adalah sepupu Sehun. Ibu Luhan adalah kakak dari ayah Sehun. Dan wanita yang menjemput kedatangannya di Korea itu adalah ibu Sehun—Go Seohee. Marga Xi yang digunakan namanya tentu saja dari sang ayah, yang notabene adalah pria berkewarganegaraan China. Bisa dibilang Luhan memiliki darah campuran China dan Korea.

Kenapa Luhan memanggil bibinya sendiri dengan sebutan eommoni? Sebab Luhan pernah tinggal bersama keluarga Sehun selama 5 tahun, sewaktu usianya 8 tahun. Ia lebih nyaman memanggil paman dan bibinya dengan panggilan abeoji dan eommoni. Sementara ia lebih sering memanggil orang tuanya sendiri dalam bahasa China.

“Dia masih di sekolah,” Ny. Seohee mulai masuk ke dalam mobil, diikuti Luhan yang segera duduk di sebelahnya. Mereka masih menunggu sang supir yang sedang memasukkan barang Luhan ke dalam bagasi mobil.

“Aku terkejut mendengar keputusanmu yang ingin melanjutkan pendidikan di sini. Padahal kau sendiri sudah kelas 3 SMA. Apa tidak masalah jika kau pindah ketika sudah memasuki pertengahan semester pertama?” tanya Ny. Seohee.

“Tidak masalah, eommoni,” Luhan mengusap lembut tangan Ny. Seohee. “Bukankah aku ini sangat jenius? Aku yakin dengan mudah bisa mengikuti pelajaran di sekolah baruku nanti.”

Ny. Seohee tertawa kecil, lalu mencubit gemas pipi Luhan.

“Ngomong-ngomong, aku jadi satu sekolah dengan Sehun, ‘kan?” tanya Luhan memastikan.

Ny. Seohee mengangguk, “Kami sudah mengurus semuanya. Lusa kau bisa memulai hari pertama sekolahmu.”

“Yey, terima kasih, eommoni!” seperti anak kecil, Luhan mengalungkan lengannya di leher Ny. Seohee. Mendadak pandangannya teralih ke arah luar jendela mobil.

“Woah, aku benar-benar merindukan suasana di sini,” Luhan menatap takjub suasana jalanan yang mereka lalui. Menampilkan berbagai bangunan yang berjejer dengan banyak orang yang berlalu lalang di sekitarnya. “Ternyata sudah banyak yang berubah ya?”

“Itu sudah pasti,” Ny. Seohee tersenyum remeh. “Kau sudah pergi selama 5 tahun. Kau pikir masih ada yang tetap sama?”

Luhan terdiam. Tanpa Ny. Seohee sadari, sorot mata Luhan berubah sendu.

“Ya, eommoni benar. Semua sudah banyak yang berubah. Tapi tidak dengan hatiku,” lirih Luhan. Sepertinya Ny. Seohee tidak mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Luhan. Ia tampak sibuk menerima telepon dari suaminya.

Luhan kembali memandangi jalanan dari balik kaca jendela mobil. Ia terpikir dengan rencananya yang memutuskan untuk kembali ke Korea. Keputusan itu diambil bukan semta-mata karena ia ingin melanjutkan pendidikannya di tanah kelahiran sang ibu.

Ada sebuah hutang yang mengharuskannya bertemu seseorang. Seseorang di masa lalu yang sangat berarti bagi Luhan, tapi ia terlanjur pergi di saat orang itu sangat membutuhkannya.

-TO BE CONTINUED-

A/N : Seneng bisa update lagi kelanjutan FF ini :D

Soal kemunculan Luhan, pasti udah bisa nebak posisinya di sini sebagai siapa (selain sepupu Sehun pastinya, wkwkwk). Dan untuk Minyoung, dia belum kapok. Intinya, masih bakalan ada kejadian tak mengenakkan yang dibuat sama Minyoung. Kira-kira apa ya? Tunggu aja di part selanjutnya ;)

Thanks for reading <3

Filed under: AU, romance, school life Tagged: Kai EXO

Show more