2015-10-01



Sehun’Bee

Main Cast :
Sehun – Hanna – Myungsoo – Bomi

.♥.

Chanyeol – Kyungsoo – Jungkook – Taehyung – Hanbin – Dong Hyuk  – Zelo – Daehyun – Yong Guk

and Other.

.♥.

Genre :
AU – Angst – Romance –  Sadnes – Family – Friendship – Action – Tragedy – Adult

.♥.

Rating : PG-17

Multi-Chaptered

.♥.

Disclaimer : Semua alur cerita milik saya. Don’t be plagiator and silent readers

Personal Blog : https://sehunbee.wordpress.com

.♥.

Header Title by popowiii | SHINING VIRUS  and Poster by Sehun’s Lovey Dovey Dunia Akhirat —Arlene P. || DARKLENE

.♥.

PROLOG – The Reason [1] – Brother [2]

.♥.

Who are you? [NOW]

Hanna memeluk violin di tengah kerumunan mata asing. Tubuhnya terseret mundur hingga menyentuh tembok berwarna merah bata. Chanyeol berlari dengan langkah panjang setelah turun dari bus. Matanya berpendar ke segala sisi mencari gadis dengan wajah lugu. Sehun hanya berdiri menatap langit London dengan kacamata hitam di atas hidung bangir. Sneakers-nya mulai membuat bunyi tegas di bumi asing setelah paru-parunya puas menghirup udara baru.

Semuanya terjadi dalam satu waktu.

Chanyeol dengan tubuh jangkungnya kelimpungan mencari adik tersayang. Lengkap, dengan umpatan demi umpatan yang tak henti terbuang percuma, “Bodoh! Bodoh! Bodoh!” matanya mulai berair takut kehilangan. Hanna di mana kau, sayang? Batinnya menjerit frustasi. Hanna-nya menghilang di tempat semula. Chanyeol berteriak, namun tak ada yang menyahut. Kaki panjangnya kembali mengambil langkah lebar dengan kepala yang bergerak gelisah mencari fokus.

Di tempatnya, Hanna menahan tangis dengan tubuh yang mulai merosot turun. Tak menyangka, Chanyeol—kakak tercinta—meninggalkannya di tanah asing. Sedihnya, tak ada tongkat petunjuk arah yang bisa Hanna gunakan di sini selain pegangan tangan seseorang. Sayangnya, tak ada orang yang sudi memberikan uluran tangan kepadanya. Di sini, tak ada yang bisa Hanna lakukan selain diam menundukkan kepala.

Kanan dan kiri menjadi dua sisi yang Sehun lihat secara berganti setelah keluar dari kawasan bandara. Arah Timur pun di pilihnya untuk melanjutkan langkah. Mobilnya baru akan dikirim tiga hari dari hari ini sehingga Sehun harus rela menggapai penginapan dengan bus. Pertokoan khas Inggris pun dilihatnya di sepanjang jalan setapak. Lumayan. Sehun cukup menikmati pemandangan yang tak jauh beda dari Distrik Columbia tersebut. Tak beda karena Amerika dan Eropa memiliki kesamaan arsitektur -mengingat- Inggris pernah menginjakkan kaki di Amerika pada masa perang dulu dan Amerigo Vespucci—orang yang memberi nama benua Amerika— berasal dari Italia.

Entah apa yang Chanyeol pikirkan sampai mengambil jalan lurus ke arah Barat. Dan tanpa disadarinya, orang yang dicari telah terlewatkan begitu saja lantaran posisi murung sang adik yang mengasing jauh di pinggiran. Pria jangkung itu terus berlari tanpa sadar bahkan tanpa memedulikan makian orang yang disakiti bahu. Namun, sikap masa bodohnya harus berakhir peduli saat bahunya menabrak seseorang dengan begitu keras.

Bugh.

Sehun membuka kacamata hitamnya kasar hingga manik elangnya menghardik pria jangkung yang menyakiti dada bidangnya. Si pria hanya menatapnya sendu dengan mata basah sempurna. “Maaf, aku tidak sengaja. Aku sedang mencari adikku!” katanya sebelum berlalu.

Sehun tertegun, tak jadi marah. Pria itu terlihat kacau di matanya dan kata adik berhasil menyentuh hatinya. Jungkook. Belum apa-apa Sehun sudah teringat bahkan begitu merindukan sosok adik kecilnya itu. Tak apa, hanya dua Minggu. Batinnya menguatkan lantas mencoba untuk menghiraukan. Sehun kembali berjalan, menyusuri jarak.

Di dekat tembok, depan toko. Hanna membuka kotak violinnya, lantas bangkit dengan biola tanpa baju di tangan. Tak ada cara lain untuk mengundang perhatian Chanyeol selain permainannya. Gadis lugu itu mencoba untuk mengesampingkan pikiran buruknya bahwa Chanyeol sengaja meninggalkannya di sini. Hanna yakin ini semua karena ulah nakalnya yang tidak mendengarkan semua intruksi Chanyeol dengan baik sehingga membuatnya harus tertinggal.

Komposisi nada The Reason karya Hoobastank pun Hanna pilih. Hanya itu lagu berbahasa Inggris yang Hanna mengerti dan hafal lantaran selalu Chanyeol nyanyikan setiap kali bermain gitar. Matanya lantas terpejam saat tangannya mulai menggesek memainkan intro. Orang-orang di sana tanpa sadar melirik tertarik untuk memerhatikan.

I’m not a perfect person

Sehun menghentikan langkah. Atensinya tertarik pada kerumunan kecil di pinggir jalan. Rasa ingin tahunya lantas mendorong untuk ikut menghampiri. Seorang gadis dengan hoodie merah bermain biola pun dilihatnya di tengah-tengah kerumunan.

There’s many things I wish I didn’t do

Sehun tertegun dalam hanyut di baris kedua. Suara gadis itu begitu indah menyatu dengan gesekan violin. Wajahnya mungil seperti bayi dengan rona merah di pipi dan matanya terpejam seolah begitu menikmati permainan biolanya sendiri.

But I countinue learning

Sehun semakin hanyut bahkan terjerembab ke dalam pesona lain.

I never meant to do those things to you

And so I have to say before I go

Wajah gadis itu mengingatkannya pada seseorang.

That I just want you to know

I’ve found out a reason for me

To change who I used to be

A reason to start over new

And the reason is you

Bomi. Gadis itu begitu mirip dengannya. Matanya yang terlihat indah kala terpejam, bibir mungilnya yang bergerak menggemaskan kala berucap, pipinya yang memerah terkena sinar matahari, dan kulitnya yang bersinar tanpa cacat.

I’m sorry that I hurt you

It’s something I must live with everyday

And all the pain I put you through

I wish that I could take it all away

And be the one who catches all your tears

Hanna menangis bersamaan dengan kata ‘tears’ yang terucap. Gadis itu mencoba untuk membayangkan wajah Chanyeol yang bahkan tak pernah ia lihat. Hati kecilnya bahkan tak bosan berharap Chanyeol akan datang dan menghapus air matanya.

Sehun sendiri hanya berdiri kaku tak bedanya tiang lampu jalanan. Semua alunan kata yang terucap dari bibir mungil sang violinis seolah menjadi alkohol pengering luka. Ia merasa itu merupakan ungkapan hati Bomi untuknya yang ditinggal saat terpuruk.

That’s why I need you to hear

I’ve found out a reason for me

To change who I used to be

A reason to start over new

And the reason is you

And the reason is you

And the reason is you

Sehun mendadak limbung, beruntung tak sampai jatuh. Hatinya sakit, namun terasa sejuk seolah terobati. Mata elangnya masih mengunci sang violinis yang baru saja menyelesaikan lagunya itu. Dan perlahan tapi pasti, Sehun melihat mata bulatnya terbuka hingga keindahan hazelnya berkilat. Bola mata itu menatap kosong tanpa fokus ke depan, namun tepat menghujam manik elangnya. Lagi-lagi, Sehun hanyut dalam pesona yang tidak ia mengerti.

Prok. Prok. Prok.

Hanna tersentak saat mendengar tepuk tangan untuknya. Wajahnya bergerak gelisah hingga Sehun mengerutkan alis. Ada yang aneh, namun Sehun mencoba untuk tak peduli. Gadis itu hanya musisi jalanan, itu yang Sehun tahu. Ia lantas merogoh uang dalam saku, kemudian mengikuti apa yang orang lain lakukan dengan menaruhnya di kotak biola gadis itu.

Dalam jarak tak lebih dari satu meter, Sehun sempatkan diri untuk kembali melihat wajah itu. Terdiam sesaat dengan kalut yang tidak ia mengerti sebelum sadar dan berlalu melanjutkan langkah. Bus merah menyala pun dinaikinya dengan pikiran yang masih berada di tempat sang violinis. Sehun bersumpah, tidak akan pernah melupakan wajahnya. Tidak … sampai lingkaran takdir mengambil peran.



Myungsoo masih diam di tempat dengan kedua tangan bersembunyi di dalam saku celana. Perhatiannya masih berada pada satu titik di tempat yang sama. Entah bagaimana, tapi seorang musisi jalanan telah berhasil menarik rasa ingin tahunya lebih dalam hingga Yixing yang berdiri di sampingnya mengernyit heran. Permainan gadis itu telah usai satu menit lalu, namun Myungsoo tak kunjung beranjak seolah masih ada alunan musik di sana. Itu yang membuat Yixing tak mengerti, meski ia sendiri begitu menyukai permainannya.

“Dia buta.”

“Apa?” kali ini, Yixing menaikkan sebelah alis.

“Gadis itu buta,” ulang Myungsoo tanpa mengalihkan matanya dari gerak-gerik si musisi. Terlihat sekali gadis itu kebingungan dengan keadaan sekeliling yang ramai, namun bola matanya tak fokus pada orang-orang di sana.

Yixing sedikit membuka mulut dengan anggukan kecil. Buta tapi bisa bermain dengan sempurna. Hebat. Tak heran, musiknya mampu menarik perhatian mereka yang kebetulan sedang lewat mencari café. “Tuhan memang adil, ya!” katanya sambil lalu mengikuti langkah Myungsoo. “Gadis normal belum tentu bisa melakukan apa yang gadis buta itu lakukan,” Yixing melirik sekilas wajah tanpa ekspresi di sampingnya. “—menarik perhatian seorang konduktor.” sambungnya, menggoda.

Myungsoo berkedip sebelum membalas lirikan nakal Yixing. “Jangan melimpahkan apa yang kau rasakan padaku,” balasnya. Tawa pun didengar sebagai jawaban. Myungsoo tahu, Yixing juga tak berkedip saat melihat permainan gadis itu.

“Aku menyukai caranya menikmati musik,” aku Yixing. Melihat bagaimana cara gadis itu larut dalam permainan yang diciptakan oleh tangan dan mulutnya sendiri memang sukses membuat Yixing ikut hanyut.

“Memang seperti itu caranya melihat.” Myungsoo mengedarkan pandangan ke sekeliling—mencari tempat kosong untuk duduk.

Yixing membenarkan. Seseorang tanpa pengelihatan memang mengandalkan indera pendengar dan peraba untuk melihat dan menikmati apa yang terjadi. Dan gadis buta itu menikmati musiknya tanpa melihat per satuan wajah yang dibuat kagum olehnya, melainkan dari apa yang telah ia ciptakan. Itu merupakan kepuasan sejati seorang musisi, di mana mereka bermain untuk dinikmati bukan untuk dikagumi apalagi dibanggakan. Bukankah itu tujuan sebuah karya diciptakan? Ya, Tuhan, Yixing merasa melihat dirinya dalam sosok gadis itu.

Dan hal itulah yang tidak pernah Yixing lihat dari sang konduktor di depannya. Myungsoo mencari kepuasan dari apa yang dilihatnya bukan dari apa yang diciptakannya. Yixing sadar, komposer dan konduktor memang kedua sisi yang berbeda.

“Jika gadis itu salah satu peserta, bisakah kau mengambilnya untukku?” Yixing bertanya setelah membuka buku menu.

“Jangan bercanda, dia buta. Yang kulihat, gadis itu nyaman dengan dunianya. Dia tidak akan sudi mengikuti audisi. Lagi pula, menjadi musisi jalanan tidaklah buruk untuk seorang gadis sepertinya.” Myungsoo menjawab santai, namun mendapat reaksi keras dari Yixing.

“Kata-katamu kasar. Begitu merendahkan. Beethoven tuli, kau ingat? Namun Beliau mampu menciptakan karya luar biasa … Kau tahu kenapa? Karena kelayakan tidak memandang seseorang dari kekurangan, tapi kelebihan. Dan yang kulihat, gadis itu layak menjadi musisi di atas panggung megah, bukan di pinggiran jalan London.”

Myungsoo berkedip sekali. Sedikit tertampar akan kata-kata temannya itu. Sedikit heran pula, apa yang Yixing lihat dan tidak ia lihat dari kemampuan gadis itu? Otaknya lantas memutar kilas balik atas apa yang dilihatnya tadi. Suara yang indah, wajah cantik, kemampuan bermain biola meski buta, dan tentunya kemampuan membaca tanda nada dalam kondisi seperti itu. Hanya itu!

Ah, tidak … Hoobastank-The Reason yang dinyanyikan gadis itu memiliki instrumen yang tercipta dari suara gitar, bukan biola. Dan gadis itu menciptakan instrumennya sendiri dari apa yang pernah ia dengar dan mengulangnya dengan apa yang ia bisa. Seperti itukah? Bisa saja ‘kan gadis itu belajar dari seseorang yang sudah menguasai teknik meng-cover lagu dengan biola. Itu hal biasa, tapi Yixing begitu menginginkannya.

“Jangan melibatkan cinta untuk masalah ini, Yixing!” Itu kesimpulan, Myungsoo.

“Aku tidak sedang jatuh cinta. Tunanganku ada di China.” Yixing mengingatkan. Myungsoo lagi-lagi terdiam hingga keheningan lahir selama tiga menit pertama.

“Aku tidak tahu apa yang kau lihat dari gadis itu, tapi aku akan melakukan apa yang kau minta hanya jika gadis itu mengikuti audisi.” Final. Myungsoo mengalah. Lagi pula, Yixing bukanlah musisi sembarangan. Pasti ada sesuatu yang ingin ia lakukan pada bakat musisi jalanan itu.

“Aku akan membuatnya mengikuti audisi, jika memang dia bukan salah satu finalis,” katanya, yakin. Senyum bahkan terbentuk di bibir penuh Yixing hingga lesung pipinya terlihat.

“Baiklah, terserah kau saja!” Myungsoo mengambil secangkir Arabika di meja. Menyesapnya pelan sambil menikmati aromanya. Sore itu pun mereka isi dengan obrolan santai seputar dunia musisi dan lelaki.

Kyungsoo mendongak, menatap langit gelap gulita. Mimiknya ambigu antara bingung dan tak percaya. Mulutnya hendak berucap, namun urung saat Zelo yang berdiri di sampingnya mendahului.

“Manchester United. Aku tak menyangka bisa begitu dekat dengan mereka.” Zelo menyeka air di pipi. Hidungnya kembang-kempis menahan haru.

Jungkook menoleh, kemudian tersentak. Pipinya berkedut, kakinya mengambil langkah menjauh ke samping. Si gigi kelinci malu kala melihat air mata haru di pipi Zelo. Itu terlihat berlebihan seperti seorang wanita pecinta drama. Jungkook tidak mau mengakuinya teman. Tidak mau! Zelo cengeng hanya karena berada di negara yang sama dengan grup pesepak bola favoritnya. Ck, memalukan!

“Aku juga!”

Eh?

Jungkook kembali tersentak saat sadar di sisi lain tubuhnya ada Dong Hyuk. Temannya yang satu itu juga sama saja, memalukan! Jungkook menyesal menyetujui permohonan mereka untuk ikut bersama. Sementara, Kyungsoo hanya bisa menggeleng pelan sambil lalu dengan kruk di tangan. Kelakuan anak SMA memang ajaib. Pikirnya tanpa memedulikan langkah cepat anak-anak yang menyusul.

“Kita mau ke mana, Hyung?” Jungkook bertanya dengan mata berpendar. Kyungsoo mendelik, sebal.

“Seharusnya, aku yang bertanya seperti itu! Kau yang memaksaku untuk mengantarmu menyusul Sehun,” timpal Kyungsoo. Ia sempat terkejut saat Jungkook pulang lebih awal dari sekolah dan berkata ingin menyusul Sehun ke London. Rupanya, adik tak sedarahnya itu tahu Sehun akan pergi ke London hari ini sehingga saat tiba di sekolah bersama Sehun, Jungkook langsung pulang kembali bersama kedua temannya.

Saat itu, Jungkook mengancam akan mengakhiri hidup dengan melompat ke sungai jika Kyungsoo tak mau menuruti keinginannya. Dan aksi sok nekatnya itu membuahkan hasil dalam waktu singkat karena kepanikan Kyungsoo sendiri. Katakan saja, Kyungsoo terlampau polos sampai masuk ke dalam tipu daya anak SMA dan percaya Jungkook akan mati jika melompat ke sungai sedalam lutut orang dewasa.

“Jadi, Hyung juga tidak tahu Sehun Hyung ada di mana?” Jungkook pucat pasi.

“Sudah kukatakan sejak di rumah, Kookie. Kau saja yang keras kepala sampai mencari dukungan teman segala!” Kyungsoo menarik napas. Ia kesal setiap kali mengingat aksi tiga sekawan itu. Sedikit heran juga, mengapa mereka bisa begitu kompak untuk masalah ini. Bahkan, saat Jungkook berada di tepi sungai, kedua temannya dengan semangat membara justru berteriak, “LOMPAT SAJA, KOOKIE! LOMPAT! JANGAN TAKUT, KAMI DI SINI MENDUKUNGMU …!!” Tidakkah ada kejanggalan di sana? Wajah mereka bahkan begitu riang dengan tangan mengepal ke udara.

Ah, sudahlah! Yang harus Kyungsoo lakukan sekarang hanyalah mencoba untuk tetap tenang sebagai satu-satunya pria dewasa di sini. Ia lantas bertanya pada seseorang yang berada tak jauh dari jalan raya, menanyakan di mana letak halte dan penginapan terdekat. Kyungsoo berharap bisa menemukan Sehun dengan cepat agar bisa kembali dengan cepat pula. Hanya itu do’a yang tak henti Kyungsoo panjatkan semenjak melangkah keluar rumah dengan kaki kanan. Untuk sementara ini, ponsel Sehun tak bisa dihubungi sehingga mereka buta arah dan semoga pria itu bisa memakluminya nanti.

“Lalu bagaimana?” Dong Hyuk bertanya saat Kyungsoo selesai bertanya.

“Kita cari tempat istirahat dulu. Setelah itu, hubungi Sehun dan pulang.” Terdengar ringan, namun sepertinya tidak akan semudah itu. Kyungsoo hanya menguatkan diri di tengah tanggung jawab besarnya menjaga Jungkook dan kedua temannya.

“Jadi, kita tidak akan ke Manchester?” Zelo terlihat kecewa.

“Kita kemari untuk mencari pembalap, bukan pemain sepak bola. Kau tidak lupa, ‘kan?” Dong Hyuk mengingatkan dengan nada lugunya yang khas. Bagi Dong Hyuk, berada di satu negara dengan pemain pesepak bola favoritnya saja sudah lebih dari cukup. Lagi pula, melihat mereka secara langsung itu tidak akan jelas dan hanya sebentar, lebih baik menonton aksi mereka di depan televisi. Itu lebih hemat dan tak menambah beban ekonomi negara. Pikirnya, terlalu jauh.

Mereka terus berjalan mengikuti Kyungsoo yang sudah mendapat arahan dari orang yang ditemuinya. Arah Timur mereka pilih demi mencapai halte terdekat. Jungkook merasa tak asing akan pemandangan yang ada karena semuanya tak jauh beda dengan Distrik Columbia. Pun dengan kedua temannya, mereka hanya asyik mengamati wajah-wajah baru di sana. Sampai pada akhirnya, Dong Hyuk menghentikan langkah di depan sebuah toko kue dengan hiasan mengundang air liur. Temboknya berwarna merah bata dengan arsitektur tak kalah manis dari kue hias di dalamnya.

Namun, bukan itu yang menjadi perhatian Dong Hyuk. Seorang gadis ber-hoodie merahlah yang mengunci peredarannya pada satu tempat. Batinnya tersentuh, melihat wajah malang yang tak bisa dibilang buruk itu. Si gadis duduk bersila dengan violin dalam pelukan, wajahnya merah diterpa dinginnya angin malam. Dan Dong Hyuk tahu gadis itu tidak sedang baik-baik saja saat menyadari ada air mata di pipinya.

Entah ada dorongan darimana, Dong Hyuk datang menghampiri lantas mengambil tempat di depan gadis itu. Sang gadis jelas tersentak saat menyadari ada hawa asing di dekatnya. Namun, Dong Hyuk buru-buru menenangkan dengan kekehan khas. “Aku bukan orang jahat, Nona. Maaf membuatmu terkejut!”

“Nugussimikka? Eh, who you? Ah, ani, who are you?” Gadis itu kelimpungan membenarkan kosa katanya. Ia tak mengerti bahasa Inggris, hanya sedikit yang ia bisa. Bahasa Korea yang sempat diucapkan pun langsung diralat lantaran sadar tengah berada di Inggris.

“Hanggukesso hasemikka? (Kamu dari Korea?)” Dong Hyuk berbinar menemukan orang Korea di negeri asing. Teman-temannya yang sudah berjalan amat jauh pun dilupakan. Sayang, gelengan kepala dilihatnya sebagai jawaban.

“Rusia!” katanya, mengoreksi.

“Huh?” Dong Hyuk mengerjap, sedikit bingung akan apa yang didengarnya. Wajahnya jelas Asia, bicaranya pun menggunakan bahasa Korea, tapi mengaku dari Rusia. Kejanggalan pun dilihat Dong Hyuk dari gerak-gerik gadis itu juga pergerakan bola matanya yang tak fokus. Tangan Dong Hyuk lantas melambai di depan wajahnya untuk memastikan.

Astaga, dia buta. Batinnya, sedikit tak percaya.

“Why are you sitting here?”

Hanna berkedip. Why berarti kenapa, you itu kamu, dan sit itu duduk. Hanna membatin mengartikan satu per satu kata yang dimengertinya. Pria itu menanyakan, kenapa aku duduk di sini? Aah, Hanna mengangguk. Tidak sulit. Dengan kepercayaan diri penuh, Hanna menjawab dengan menggunakan bahasa Korea lantaran tak bisa menyusun kalimat dalam bahasa Inggris. “Aku bersama Oppa, tapi aku tertinggal dan tidak tahu Oppa di mana sekarang. Di sini, aku menunggu Oppa datang menjemput. Kau siapa? Bukan orang jahat, ‘kan? Ibu melarangku untuk berbicara dengan orang asing apalagi jahat,” jawabnya, tanpa sadar sedang berbicara dengan orang asing.

“Namaku Kim Dong Hyuk. Aku anak SMA dan bukan orang jahat. Jadi, kau tertinggal dan tersesat?”

“Aku sudah mengatakannya tadi, kenapa bertanya lagi?”

Oh, iya! Dong Hyuk lantas meralat pertanyaannya, “Namamu siapa?”

“Hanna.”

“Tak ada nama marga?” Sungguh, itu pertanyaan yang jauh dari kata penting. Namun, Dong Hyuk tetaplah Dong Hyuk. Ia bahkan sudah duduk bersila di depan gadis yang baru dikenalnya itu, tanpa memedulikan pekikan teman-temannya yang sudah berada di halte yang berjarak cukup jauh dari tempatnya berada saat ini.

“Dong Hyuk di mana? Di mana Dong Hyuk?” Dua kalimat pertanyaan dengan kata yang sama, namun dengan susunan yang berbeda terlontar dari Zelo. Mimiknya panik bukan main dengan gerakan gelisah mencari si pemilik nama.

“Astaga! Di mana bocah itu?” Kyungsoo yang juga baru menyadari adanya kekurangan dalam kelompok jelajahnya, tak kalah panik. Matanya membulat sempurna sampai burung hantu pun merasa iri melihatnya. Ketiganya seketika berputar-putar di satu titik seperti gangsing demi memastikan bahwa benar Dong Hyuk tak ada.

“Hyung, Dong Hyuk benar hilang! Bagaimana ini? Nanti Ibunya mencari! Aku harus menjelaskan apa?” Jungkook tak kalah panik. Kyungsoo mengambil ancang-ancang untuk kembali menelusuri jalanan yang tadi mereka lewati. Mencoba untuk tak menghiraukan pertanyaan Jungkook yang membuatnya semakin panik. Kyungsoo juga tak mau dimarahi Ibu Dong Hyuk jika Dong Hyuk sampai hilang di negeri asing.

“Tapi, Ibu Dong Hyuk ada di Korea. Beliau tidak akan tahu, Dong Hyuk menghilang bersama kita.” Zelo menyusul langkah kaki kakak beradik tak sedarah itu seolah mengerti apa yang keduanya cemaskan.

Benar juga! Jungkook menghentikan langkah, namun tidak dengan Kyungsoo. “Kita pura-pura tidak tahu saja.”

“Tapi, kita harus tetap mencarinya.” Lain tadi, lain kini—itulah Zelo. Jungkook bahkan sudah dilewatinya begitu saja. “Dong Hyuk teman kita sekarang, jika terjadi sesuatu yang buruk padanya, maka kau yang harus disalahkan.”

Jungkook mengejar cepat langkah kaki Zelo. “Mengapa harus aku? Ini tanggung jawab bersama.”

“Karena kau yang sudah menyetujui permohonan kami untuk ikut kemari!”

“YAK!” Jungkook tak terima.

“Diamlah! Fokus mencari, siapa tahu Dong Hyuk tertinggal.” Kyungsoo menengahi dari jarak lima meter di depan keduanya. Jalannya cepat layaknya pria normal, Jungkook dan Zelo pun kewalahan mengejarnya. Namun terhenti saat orang yang dicari terlihat asyik mengobrol dengan seorang wanita. Tak ayal, hal itu membuat tubuh Kyungsoo tertabrak hingga hampir tersungkur oleh Jungkook yang tak sadar akan keberadaannya.

“Dong Hyuk apa yang sedang kau lakukan? Kau membuat kami panik, tahu!” Zelo tak segan menjawil telinga sang tersangka. Dong Hyuk mengaduh hingga sadar telah melupakan teman-temannya. Wajah-wajah bak cicak kelaparan pun dilihat sampai nyali Dong Hyuk menciut merdu.

“Maafkan aku … aku hanya ingin menyapa Hanna,” katanya, menjelaskan. Ketiganya kompak menatap pemilik nama yang dimaksud.

Cantik.

Zelo menjadi orang pertama yang mengulurkan tangan mengajak berkenalan. Sayang, keramahannya tak disambut baik lantaran ketidaktahuan gadis itu. Dong Hyuk lantas memberi isyarat tanpa berucap sehingga Zelo sadar gadis itu buta. Jungkook sendiri hanya terpaku seolah lupa cara bergerak. Wajahnya memerah saat jantungnya terus memompa cepat. Jungkook … menyukai gadis itu.

Terpejam, namun tidak tidur. Kilas balik, namun tidak sedang bermimpi. Apa yang terjadi sore tadi begitu mengganggu sampai terus terbayang. Sehun tak nyaman, hatinya gundah gulana. Tak jarang tubuhnya bergerak gusar seolah ranjang hotel terbuat dari semen. Sehun tak bisa tenang di saat pikirnya mengukir nama Bomi, namun wajah gadis itu yang muncul. Astaga! Sehun tak mengerti dengan apa yang terjadi pada dirinya.

Selimut pun disingkap begitu saja. Duduk bersandar pada kepala ranjang menjadi pilihan saat posisi tidur tak lagi membantu. Ponsel yang sebelumnya mati kehabisan baterai segera dihidupkan kembali setelah yakin telah terisi penuh oleh daya. Bermain game, Sehun rasa tidak buruk untuk sekedar mengalihkan gundahnya. Namun, sebuah pesan singkat masuk sebelum Sehun sempat membuka aplikasi lain.

From : Kyungsoo

Aku dalam perjalanan menuju London, menemani adikmu yang begitu keras kepala. Katakan, di mana alamatmu sekarang!?

Mata elang itu membulat seolah ingin mengalahkan diameter mata koala. Selimut yang masih menutupi kaki segera disingkapnya lantas berdiri dengan ponsel menempel di telinga. Angkat! Angkat! Angkat! Sehun panik saat nada sambungnya tak kunjung berganti suara.

Sementara, Kyungsoo terlihat sibuk berbagi tawa di tengah perjalanan bersama keempat orang lain. Hanna, satu-satunya gadis di sana terlihat sama sekali tak canggung. Hidup di rumah asuh telah menjadikannya tipikal yang mudah bergaul. Persamaan bahasa di negeri asing pun menjadi salah satu alasan mengapa Hanna nyaman bersama mereka. Bahkan, Hanna mengikuti ajakan keempat pria asing itu untuk ikut bersama lantaran mereka berjanji akan membantu Hanna untuk menemukan Chanyeol, besok.

Namun, wajah Hanna berubah pasi saat sadar telah berada di halte. Tubuhnya kaku di tempat sampai membuat keempat pria di sana menaikkan alis bingung.

“Hanna … ayo, naik! Busnya menunggu,” ajak, Jungkook. Gelengan kepala pun dilihat sebagai jawaban.

“A-aku … tidak bisa. Kalian pergi saja, aku akan menunggu Oppa di sini.” Ketakutan terlihat jelas pada mimik muka Hanna. Kejadian 17 tahun lalu begitu dalam mengukir kenangan sampai tak kunjung lekang oleh waktu. Seperti sebuah relief pada bangunan bersejarah, kenangan buruk itu abadi beserta gambarannya.

Dan Hanna tak ingin kembali mengulang dengan berada di dalam tubuh mobil. Semuanya akan terasa semakin nyata, di mana ada mobil besar di samping dan di belakang mobil Ayah, benturan hingga terguling, dan ledakan dengan api merah menyala. Terakhir, deru mobil Paman yang menjauh meninggalkan Hanna di Moskow. Tidak! Tidak! Tidak! Hanna tidak mau mengulang. Kepalanya menggeleng keras, kakinya melangkah mundur hingga jatuh terduduk.

“Hanna ada apa?” Kyungsoo refleks meraih tubuh gadis itu sampai membiarkan kruknya jatuh. Ia panik, namun wajah ketakutan Hanna membuat nalurinya bergerak untuk menenangkan. Sementara, Jungkook dan kedua temannya bingung bukan kepalang. Mereka hanya saling tatap tak mengerti sampai rela membiarkan bus terakhir untuk malam ini pergi.

Tak lama, saku celana Jungkook bergetar. Sebuah panggilan masuk rupanya. Ia lantas merogoh saku demi melihat siapa yang sudah mengganggu. “My Spiderman,” gumamnya pelan, membaca ID caller. Matanya lantas berbinar dengan pekikan riang, “Hyung!”

“Kau di mana sekarang?”

“Aku di London—“

“Di mana posisimu?”

“Halte bus dekat bandara—“

“Tunggu di sana. Jangan ke mana-mana!”

Sambungan terputus setelah kata-kata Jungkook tak henti dipotong oleh suara panik di seberang sana. Kedipan lucu pun tercipta di mata bulat Jungkook dengan ponsel sebagai fokusnya. Senyumnya menyusul saat sadar tak mendengar nada penuh amarah dari Sehun. Ah, pria gagah itu memang baik dan penyabar. Bahkan, Jungkook bisa menghitung berapa kali dalam setahun Sehun marah padanya.

“Hanna! Hanna! Hanna!” Kyungsoo panik saat melihat mata terpejam gadis itu. Jungkook yang semula larut dalam keterkaguman akan sosok Sehun pun sadar. “Dia pingsan, bagaimana ini?” Kyungsoo memberitahu.

Hanna hanya sarapan sebelum berangkat ke London. Dan saat di pesawat, ia dan Chanyeol tidur hingga pesawat hampir mendarat. Kini, sudah lewat dari jam sepuluh malam … perut Hanna kosong belum diisi dan kenangan buruk yang kembali begitu menguras energi. Tak ayal, tubuh itu kehilangan kesadaran lantaran lemas tak bertenaga.

Sampai dua puluh menit berlalu, Hanna tak kunjung sadarkan diri. Sehun tiba dengan taksi lengkap dengan keringat dingin. Mulutnya yang hendak mengeluarkan omelan khas, urung. Matanya terlanjur menangkap sesosok gadis di dalam dekapan Kyungsoo.

“Sehun, syukurlah kau datang. Bantu kami!” Kyungsoo yang melihat keberadaannya lantas meminta. Tanpa memedulikan keadaan mereka yang sesungguhnya tengah terdampar di negeri asing.

Chanyeol yakin tak salah tempat karena menurut informasi yang didapat dari mulut ke mulut inilah tempatnya. “Ada seorang violinis di depan toko kue dekat persimpangan jalan tak jauh dari halte bus.” Kurang lebih seperti itu yang Chanyeol dengar dari bibi berambut putih dengan coat biru tua. Itu pula yang membawanya lekas berlari seperti orang kesetanan dari sebelah Barat bandara. Namun, Chanyeol tak menemukan adiknya di sini.

“Hanna … Hanna … HANNA …?!!” Chanyeol memanggil dan diakhiri dengan teriakan nyaris putus asa. Ia kembali berlari ke arah halte, siapa tahu Hanna berjalan ke sana. Namun, asanya kembali tak wujud. Halte kosong di tengah jarum jam yang sudah menunjukan pukul sebelas malam. Chanyeol sadar terlalu lama mencari di area luar bandara setelah sebelumnya berkeliling di area pertokoan. Ia sama sekali tak sadar Hanna berada tak jauh dari tempat terakhir ia meninggalkannya. Dan ketika Hanna benar-benar jauh, barulah Chanyeol kembali untuk mencarinya di tempat yang sama.

Apa yang bisa Chanyeol lakukan sekarang? Air matanya sudah jatuh tak bisa ditahan. Wajahnya menunduk dengan anak rambut nakal yang jatuh menirai sisi wajah. Kesalahan terus ia tunjukkan pada diri sendiri dengan penyesalan sebagai buahnya. Adik kecilnya yang selama 17 tahun ia jaga dengan penuh kasih sayang, kini menghilang karena ulah cerobohnya sendiri.

Jika tahu akan seperti ini, Chanyeol tidak akan memaksa Hanna untuk ikut audisi. Jika tahu akan seperti ini, Chanyeol akan lebih memprioritaskan mimpinya untuk membuat Hanna normal kembali. Jika tahu akan seperti ini, Hanna tidak akan menghilang. Argh! Chanyeol meraung lelah menyalahkan diri sendiri. Tubuhnya terduduk lemas di kursi tunggu halte kosong tak berpenghuni, tanpa tahu ada Hanna di tempat yang sama tiga puluh menit lalu.

“This’s my fault. I’m so sorry!”

Deg.

Suara.

Wanita.

Jam sebelas malam.

Di halte sepi.

Tangis Chanyeol terhenti seketika. Wajahnya diangkat dalam tempo lambat. Jantungnya berdebar sebelum menemukan wanita berambut hitam panjang dengan tatanan bergelombang. Beruntung, mulutnya tak memekik sehingga image lelaki jantan kebanggaannya tak ternoda.

“Kau …,” Chanyeol menelan ludah. “—yang tadi bukan?”

“Hm. Namaku Maudy Ayunda. Aku memerhatikanmu dan mengikutimu sedari tadi sehingga aku tahu, kau kehilangan adikmu karenaku.” Gadis itu menunduk. Ia ikut turun saat Chanyeol turun dari bus. Lalu, karena ingin tahu apa yang terjadi pada mimik khawatir penuh ketakutan lelaki itu, Maudy putuskan untuk mengikuti sampai tak sadar telah larut malam. Padahal, Chanyeol sudah meminta maaf padanya setelah insiden salah tarik tersebut. “Jika aku tidak mengambil celah kosong di antara kalian, mungkin kau tidak akan salah menarik orang. Maafkan aku!”

Chanyeol menghapus air matanya, berbenah sesaat agar terlihat baik-baik saja, sebelum menggeleng pelan dengan senyum tipisnya. “Tidak. Itu bukan salahmu. Aku yang ceroboh,” Chanyeol berdiri lantas mengulurkan tangan. “Namaku Park Chanyeol. Ini pertama kalinya aku datang ke Inggris. Keadaan yang ramai tadi membuatku lengah.”

Maudy membalas uluran tangan hangat pria itu. “Hm, adikmu pasti masih berada di sekitar sini, jangan khawatir! Aku rasa, dia hanya tidak tahu harus ke mana.”

“Tapi, adikku tuna netra …,” aku Chanyeol dengan senyum yang dipaksakan sembari memberi isyarat pada gadis berkulit langsat itu untuk duduk. Sayang, reaksi Maudy terlalu berlebihan sampai diam membatu. “Dia ingin menjadi seorang violinis. Aku membawanya kemari untuk ikut audisi, tapi aku malah meninggalkannya di tempat asing.” Chanyeol menunduk.

Maudy mengambil tempat di sampingnya lantas memberikan sedikit kekuatan dengan mengelus bahu lebar pria itu. “Aku akan membantumu untuk mencarinya, tapi sebelum itu, kau harus mencari penginapan untuk mengistirahatkan tubuhmu. Besok, kita bisa melanjutkan pencarian.”

“Tidak, terima kasih. Kau pulanglah, jangan membuat Ibumu khawatir. Ini bukan kesalahanmu dan aku tidak menyalahkanmu, tenang saja!” tolak Chanyeol, halus.

“Aku tinggal di asrama. Orangtuaku berada di Indonesia. Aku salah satu mahasiswi Oxford. Dan ini sudah terlalu larut untuk pulang, pintu asrama tidak akan terbuka untukku,” terang Maudy. Ikut menyuarakan masalahnya yang sampai lupa waktu mengikuti pria ini.

“Pantas warna kulitmu sangat khas—“

“Ya, hanya Indonesia yang memiliki gen kulit putih langsat. Kau dari mana? Korea?” potong Maudy dilanjut bertanya.

“Aku lahir di Korea Selatan, tapi saat usia 8 tahun, aku pindah ke Moskow.”

“Oh, begitu … Lalu, siapa nama adikmu?”

“Namanya Hanna. Wajahnya perpaduan Eropa dan Asia, hasil dari gen kakek-neneknya dulu. Dia sangat cantik, aku khawatir ada orang jahat yang mengincarnya saat ini.”

Maudy tahu itu. Ia sempat melirik gadis yang berdiri di sampingnya saat melihat aksesoris sebelum Chanyeol menariknya menjauh. “Tenanglah! Aku yakin, adikmu itu pasti tengah berlindung di suatu tempat. Karena sangat tidak mungkin ada orang yang tega membiarkannya sendirian. Terlebih, seorang bibi yang terakhir kau tanya mengatakan Hanna berada di depan toko kue.”

“Semoga saja. Itu lebih baik daripada Hanna tidur di luar.”

Sehun tanpa ragu melepas hoodie seorang gadis yang tertidur lelap di atas ranjangnya. Dua kancing teratas kemeja gadis itu juga dibukanya tanpa ada niat melakukan hal gila. Peluh yang membintik di kening gadis itu pun hanya diusap menggunakan tangan, meski sedikit lancang saat tangannya turun ke leher untuk melakukan hal yang sama.

Jam yang menempel di dinding sudah menunjukkan pukul 5.00 pagi. Semalaman penuh Sehun tak tidur setelah mengurus dua kamar hotel lain untuk Kyungsoo, Jungkook dan kedua temannya. Sehun tak bisa tidur bukan karena ranjangnya dipakai gadis yang ia tahu bernama Hanna. Di sini, ada dua ranjang di mana ranjang yang lainnya akan digunakan Hanbin saat tiba nanti. Dan Sehun bisa menggunakan ranjang itu jika ia mau. Sayang, perasaannya terlalu kacau untuk dibawa tidur sampai lebih memilih memerhatikan gadis itu.

Sementara, Hanna dalam tidurnya sibuk memutar kilas balik. Di mana, ada ratusan penonton yang membuatnya tenggelam dalam lautan manusia. Hanna kecil harus berdiri demi melihat pertunjukan orkestra legendaris favoritnya, Berlin Philharmonic. Sementara, Ayah dan Ibu tak henti terkekeh melihat antusiasnya menyaksikan ratusan tanda nada yang dimainkan oleh mereka yang berada di atas panggung megah.

Semuanya terasa begitu menyenangkan bahkan lebih dari sekedar rasa itu. Ini mengagumkan! Hanna akan berdiri di sana, menjadi salah satu violinis dalam sebuah grup orkestra. Memakai gaun hitam indah dengan tatanan rambut seperti sarang burung. Dan memainkan biolanya dengan porsi istimewa hingga penonton bertepuk tangan puas.

Hanna terus membayangkan bahkan sampai mobil sang Ayah melaju di tengah jalan Berlin. Violin dalam pelukan pun menambah imajinasi khas anak-anaknya, namun sebuah mini-truk yang berjalan di samping mobil sang Ayah membuat Hanna memberengut sebal. Berikutnya, Hanna melihat lampu berwarna hijau di depan dengan sebuah mobil yang berjalan elok melewatinya.

Tapi, Ayah justru menginjak rem kaki sebelum berhasil melewati tiang dengan lampu warna-warni itu. Benturan demi benturan pun Hanna rasa hingga mobil sang Ayah kembali melaju dengan kemudi tak terkendali sampai membentang di tengah jalan. Selanjutnya, mimpi buruk itu mengambil peran hingga semuanya kembali terulang. Ledakan bising dan kobaran api besar di persimpangan jalan Tiergartenstrasse pun mengakhiri mimpinya. Dan saat itulah …

“Tidak!”

Hanna terbangun. Sehun tersentak saat selimut yang menutupi setengah tubuh gadis itu tersingkap. Napasnya terengah dengan peluh membasahi kulit sampai Sehun tak sadar menggumamkan namanya. “Hanna?”

Belum sampai satu detik, reaksi asing sudah didapat sampai Sehun tersentak untuk kedua kalinya. “Oppa,” balas Hanna setelah tanpa ragu menenggelamkan wajahnya pada perpotongan leher pria yang dianggapnya Oppa itu.

“….” Sehun kelu dalam kaku.

“Hanna mimpi buruk lagi,” adunya, menghiraukan aroma maskulin yang berbeda dari sang Kakak. Namun, Hanna membuka mata setelah cukup lama pelukannya tak kunjung dibalas. Wajahnya lantas menjauh perlahan hingga cuping hidungnya menyentuh lembut dagu lancip pria itu.

Mata mereka beradu, namun hanya Hanna yang tidak melihat betapa teduh manik hitam di depannya. Detik jam berdetak dan berlalu mereka lalui dengan menutup mulut. Hembusan napas dengan aroma yang berbeda mendorong Hanna untuk menyentuh ukiran wajah pria itu.

Dan untuk pertama kalinya, Sehun tak menolak sentuhan wanita. Matanya bahkan terpejam saat jemari lentik itu mengabsen satu per satu lekuk wajahnya. Ia tahu, gadis di depannya itu tidaklah normal setelah adiknya memberitahu semalam. Hal itu membuat hatinya sakit tanpa alasan pasti. Sayang, kenyamanan sentuhan itu tak bertahan lama saat jemari lentiknya menjauh. Mimik ambigu antara bingung dan takut pun Sehun lihat dari wajah blasteran gadis itu.

“Who are you?”

.

.

.

To Be Countinued

.

.

.

Author’s Note

Pertama, maaf untuk segala kekurangan dan keterlambatannya.

Kedua, ada yang ingin aku beritahukan. UNWRITTEN, FF duet bareng Arlene P DIHIATUSIN dulu karena membuat FF itu bener-bener harus fokus dan kami ga bisa selama masih punya tanggungan FF lain.

Ketiga, terima kasih buat kalian semua yang masih mau baca dan comment di FF ini.

Kalau boleh tanya, Kalian kalau comment ikhlas, ‘kan? Aku ga mau maksa lagi, kesadaran masing-masing aja…lagian udah ada peraturan di SKF juga, masa bodoh buat mereka yang biasa melanggar aturan. Orang dengan kebiasaan seperti itu memang selalu kebawa ke mana pun bahkan dunia maya. Teman-teman sekalian yang sudah aku hafal namanya jangan seperti itu ya. Inget, disiplin dan konsisten itu harus dijadikan kebiasaan.

Aku sayang kalian!

Oh, iya, ini Maudy Ayunda

Gapapa donk kalau Chanyeol punya temen orang Indonesia? Gak akan aku apa-apain kok, tenang aja! Cuma kebetulan Maudy aslinya emang kuliah di Oxford, jadi sekalian ajalah suruh maen di FF ini. *apabae

ya udah, byee…!!!

Regards,

Sehun’Bee

Filed under: Action, Adult, Angst, AU, family, friendship, romance, Sadnes, tragedy Tagged: Do Kyung Soo, OC, oh sehun, park chanyeol

Show more