2015-09-23



Author: Primrose Deen

Title: Eternal Sunshine for Fiona: Hope

Cast: Cho Kyuhyun, Fiona Hutcherson

Genre: Romance, Angst

Rating: Teenager

Length: Chapter

P.s. Saya sedang berada di masa produktif untuk menulis dan merevisi Eternal Sunshine for Fiona ini. Hahaha. Kritik, saran, dan kesan kalian sangat saya tunggu! Happy reading!

Eternal Sunshine for Fiona: How I Met You, Not Your Mother

Eternal Sunshine for Fiona: Coming Back

Eternal Sunshine for Fiona: Four-Leaf Clover

***

“Harapan itu selalu ada, Fi, sekecil apa pun itu, kau harus tetap percaya.” – Cho Kyuhyun

***

“Sudah pernah ke amusement park?” Kyuhyun tiba-tiba membuka pembicaraan ketika derap sneakers kami mendominasi suasana di belokan menuju apartemen tempat tinggalku di Swanston Street, Carlton.

“Sudah. Saat di Korea, aku suka pergi ke Lotte World dan Wonderland.” Senyumku mengembang seketika saat ingatan-ingatan mengenai betapa menyenangkannya pergi ke amusement park. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Yang penting hanyalah memilih permainan mana yang harus didahulukan untuk dicoba. “Tapi setelah pindah ke Melbourne, aku belum pernah pergi. Luna Park di Melbourne tidak buka sampai malam.”

“Kau ingin pergi ke sana?”

“Tentu saja. Siapa yang tidak ingin pergi ke amusement park?” Aku menghela napas. Dari anak kecil hingga orang dewasa, semuanya menikmati amusement park. Tak terkecuali aku. “Tapi kan tidak mungkin bagiku untuk pergi ke sana.”

Tiba-tiba aku merasakan pipiku dicubit dengan cukup keras oleh jemari panjang Kyuhyun.

“Apa-apaan sih?” protesku dalam keadaan pipiku masih dicubit. Bahkan cubitannya semakin keras ketika nada bicaraku meninggi. Cubitan itu membuat suaraku terdengar aneh.

“Kenapa tidak mungkin untuk pergi selama ada Cho Kyuhyun di sini?” Kyuhyun melepaskan cubitannya. Bibirnya mencebik lucu.

“Memangnya kau bisa melakukan apa?” Aku menaik-naikkan daguku, menantangnya.

Kyuhyun mendengus kecil. “Besok malam kau hanya perlu untuk berdandan cantik. Aku akan menjemputmu, lalu lihat apa yang bisa Cho Kyuhyun lakukan.”

“Tapi besok aku kan harus….”

“Apa? Siaran? Aku tahu besok kau libur.”

Tampaknya Kyuhyun terlalu cerdik untuk kubohongi.

“Baiklah, baiklah.” Aku mengangkat kedua tanganku dengan malas.

Tawanya berderai, namun aku belum bisa meleburkan tawaku bersamanya. Kejadian hari ini masih terlalu jelas dalam ingatanku. Luka ini masih menganga lebar, menimbulkan rasa sakit yang hebat setiap kali siluet ingatan itu terlintas.

Pikiranku terlalu buram untuk memikirkan apa yang harus kulakukan selanjutnya dan bagaimana hubunganku dengan Siwon Oppa setelah ini. Yang jelas, pastinya kecanggungan akan hadir di antara kami. Pembicaraan kami tidak akan sebebas dulu. Kami tidak akan tertawa bersama selepas sebelumnya. Bukan tidak mungkin jika tidak lama lagi, jarak di antara kami akan semakin merenggang, hingga akhirnya aku akan kehilangan dia untuk selamanya. Kami akan menjadi orang asing bagi satu sama lain, karena keduanya enggan untuk bersinggungan kembali. Salah satu pihak takut untuk menyakiti dan pihak yang lain takut untuk tersakiti.

Mengenai rasa penyesalan… anehnya, aku tidak merasa menyesal sama sekali. Seujung jari pun aku tidak merasakan kehadiran rasa penyesalan itu. Walaupun kuakui, aku merasa kecewa, sedih, dan hatiku begitu sakit, tetapi dibandingkan menyesal, mungkin aku lebih cenderung merasa lega. Lega karena perasaan yang telah bertahun-tahun kupendam akhirnya dapat kuutarakan sepenuhnya pada Siwon Oppa. Beban berat ini akhirnya terangkat, namun rasa sakit karena terlalu lama menyangga beban itu masih tertinggal. Tapi… bukankah rasa sakit yang demikian ini hanya bersifat sementara? Kudengar waktu bisa menyembuhkannya, dan hal yang perlu kulakukan hanyalah bersabar menunggu.

Kuharap begitu.

***

Ada kalanya, aku ingin sekali pergi ke pantai ketika fajar menghantarkan terbitnya matahari dan baru kembali ketika waktu makan malam tiba. Aku ingin menyambut matahari ketika matanya terbuka memandang cakrawala. Aku ingin berlarian di bibir pantai, membiarkan butiran pasir lembut itu berlarian di sela-sela jari kakiku, lalu membangun istana pasir lengkap dengan gerbang depan yang tinggi dan menara-menara pengintai. Minum air kelapa muda sambil berjemur di bawah sinar matahari saat musim panas tampaknya menyenangkan. Jika tidak, pastinya berjemur tidak akan menjadi agenda wajib bagi kebanyakan turis ketika pergi ke pantai. Bermain voli pantai di bawah terik matahari sampai keringat bercucuran yang diakhiri dengan tawa karena saking asyiknya membuatku sangat penasaran bagaimana rasanya. Oh iya, aku ingin tahu sekuat apa silau sinar matahari sampai-sampai orang-orang memerlukan kacamata hitam ketika berpergian ke pantai.

Aku terkadang bertanya-tanya. Sebenarnya, matahari itu jahat atau baik? Jika matahari jahat, kenapa banyak orang yang sangat antusias menyapanya ketika terbit di pagi hari dan terbenam di sore hari? Kenapa mereka pergi bekerja ketika siang hari? Kenapa mereka memerlukan matahari untuk mengeringkan pakaian mereka? Kalaupun baik, kenapa mereka sering menghindarinya? Mengeluh ketika terlalu lama berada di bawah sinar matahari? Dan pada akhirnya memilih untuk memasang pendingin di ruang kerja dan kendaraan mereka.

Sayangnya, aku tidak diberi kesempatan untuk mengenal matahari secara langsung.

Aku hanya bisa tahu segala cerita tentang matahari melalui penuturan Dad dan Mom ketika aku menanyakan bagaimanakah rasanya hidup di siang hari ketika matahari bersinar. Selain itu, aku juga tahu cerita tentang matahari melalui tulisan-tulisan yang kubaca sekilas di internet. Hal yang dapat kusimpulkan dari sumber-sumber yang kuketahui mengenai matahari adalah matahari bisa bersifat baik atau jahat kepada kita, tergantung sikap kita sendiri. Ini sulit kupahami. Sebagai satu di antara orang yang tak pernah mengenal matahari secara langsung, kesimpulan tersebut sulit kupahami. Yang kutahu adalah matahari tak pernah sekali pun beramah tamah kepadaku.

Xeroderma pigmentosum. Penyakit genetik ini masih terdengar asing di telinga kebanyakan orang, termasuk Dad dan Mom ketika dokter yang memeriksaku mengatakan demikian. Dad dan Mom juga baru mengetahui bahwa masing-masing dalam gen mereka terdapat Xeroderma pigmentosum yang tentunya akan menurun padaku sebagai penyakit. Belum lama setelah itu, barulah Dad dan Mom mengetahui bahwa kakek dari Dad mengidap penyakit yang sama, sedangkan ibu dari Mom menurunkan gen pembawa yang bersifat resesif.

Aku tidak ingat dengan jelas bagaimana kejadian di hari itu. Pagi itu, aku baru selesai dimandikan oleh Mom, lalu berlari keluar rumah menyusul Dad yang sedang mengecat kursi kecil yang ia buat sendiri untukku. Tiba-tiba aku merasakan kesakitan yang luar biasa pada sekujur tubuhku. Kulitku terasa panas dan lama-kelamaan berubah menjadi hitam. Tak hanya sekujur tubuhku, kedua mataku juga merasakan sakit yang tak kalah menyiksanya. Berjarak beberapa langkah dari Dad, aku terjatuh, kemudian menangis dan mengerang sekeras-kerasnya.

Dad langsung melempar kuas catnya sembarangan dan berlari ke arahku.

“Ada apa, Fi? Kenapa? Apa yang sakit?” Pertanyaan Dad padaku terhenti setelah melihat sekujur tubuhku menghitam. “Astaga!”

“Sakit, Dad….” Aku menggumam di sela-sela tangisku.

Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi.

Saat bangun, aku sudah terbaring di ruang yang penuh dengan perawat-perawat bermasker dan berbaju biru, lengkap dengan penutup kepala berwarna sama. Aku tidak melihat Mom dan Dad di mana pun, hingga akhirnya seorang perawat menyadari bahwa aku sudah terbangun dari tidur yang sudah entah berapa lama. Lalu datanglah dokter, barulah kedua orangtuaku. Aku melihat Mom menangis tak henti-hentinya di ujung tempat tidurku. Kedua pundaknya terguncang-guncang karena isakan tangis yang entah sejak kapan pecahnya. Sedangkan Dad, ia hanya duduk di samping tempat tidurku dengan kepala menunduk.

“Dad….” Aku menggerak-gerakkan tanganku, berusaha membuat sinyal apabila suaraku tidak cukup keras untuk sampai ke indera pendengarannya.

“Fi, jangan banyak bergerak.” Dad menggenggam tanganku dengan kedua tangannya yang besar dan kasar. Suaranya terdengar lebih berat dan rendah daripada biasanya.

“Fi, bagaimana tidurmu? Nyenyak?” Mom menghapus bekas lelehan air matanya yang belum kering. Lingkaran hitam yang cukup besar terlukis di bawah kedua mata indahnya.

Itu adalah pertama kalinya aku melihat Mom menangis.

Aku kehilangan kesadaran selama tiga hari. Selama tiga hari tersebut, Dad dan Mom mengambil cuti dari pekerjaannya demi menjagaku di rumah sakit. Bukannya tak memiliki kesibukan lain, tapi Dad dan Mom terlalu khawatir untuk meninggalkanku barang sedetik pun di rumah sakit.

Waktu itu, aku berusia sekitar tiga tahun. Bercak-bercak mulai muncul di bagian bawah dari kakiku, punggung, dan sekitar leher. Mom tidak pernah menjawab setiap kali aku bertanya kenapa ada bercak-bercak aneh pada tubuhku. Ia hanya langsung mengalihkan topik pembicaraan dan memberiku permen jeli. Saat itu, aku masih terlalu muda untuk mengejar jawaban dari Mom, karena permen jeli terlihat lebih menarik untukku.

Rasa penasaran mulai membesar ketika Dad mulai memasang lampu remang-remang sebagai penerangan utama di sudut-sudut rumah kami. Kamarku memiliki pencahayaan paling minim. Selain itu, Dad mulai melarangku bermain di luar ketika siang hari. Ia selalu mengunci semua pintu serta jendela yang ada di rumah ketika matahari mulai terbit, dan baru membukanya lagi ketika senja sudah undur diri. Saat itulah Dad dan Mom mengajakku jalan-jalan keluar. Ke taman kota, ke mall, ke restoran yang menjual makanan enak, atau hanya sekadar duduk-duduk di taman belakang rumah.

“Kenapa aku hanya boleh keluar ketika malam hari, Dad?”

“Karena Fi tidak boleh main di siang hari.”

“Kenapa tidak?”

“Sinar matahari terlalu panas, Fi. Bukankah malam seperti ini lebih asyik? Tidak panas, ada bulan, ada bintang, ada lampu-lampu kota yang kau sukai itu.”

“Tapi teman-temanku bermain ketika siang hari, Dad. Jika aku bermain pada malam hari, aku tidak bisa bermain dengan mereka.”

Dad mengusap-usap kepalaku dengan lembut. “Mulai sekarang, Dad dan Mom adalah teman bermain Fi. Teman-teman yang lain tidak suka lampu-lampu kota seperti Fi, sedangkan Dad dan Mom suka.”

Pernah suatu hari, aku diam-diam menyelinap keluar dari rumah ketika siang hari. Saat itu teman-temanku menungguku di luar. Karena salah satu jendela tidak dalam keadaan terkunci, aku pun nekat keluar rumah melalui jendela tersebut.

Lalu, apa yang terjadi?

Mata dan kulitku terasa terbakar ketika matahari mengenai sekujur tubuhku. Dan lagi-lagi, kulitku langsung berubah menjadi hitam hampir secara merata.

Teman-temanku yang melihat langsung kejadian tersebut langsung melempariku dengan tatapan jijik, seakan-akan aku adalah makhluk paling hina dan menjijikkan yang pernah mereka lihat.

“Yuck! Fiona menjadi monster!”

“Lihat kulit Fiona! Dia berubah menjadi berkulit hitam seperti simpanse!”

“Aku tidak ingin bermain denganmu lagi! Melihatmu saja aku jijik!”

Dan merekapun berlarian meninggalkan aku yang terbaring kesakitan.

“Dad…. Mom…. Sakit….”

Setelah itu, aku tidak mengingat apa-apa lagi.

Sejak saat itulah, aku disebut-sebut sebagai monster.

Homeschooling dianggap sebagai langkah tepat bagiku untuk tetap mendapatkan pendidikan yang layak. Guru-guru privat yang kompeten di bidangnya setiap hari Senin sampai Jumat datang ke rumahku untuk mengajarkanku hal-hal baru.

“Bukankah lebih menyenangkan jika sekolah di rumah? Fi bisa belajar sambil makan permen. Jika di sekolah seperti teman-teman yang lain, Fi tidak boleh makan di kelas.” Itu kata Dad ketika ‘kelas’ hari pertamaku selesai. Kali ini, aku sependapat dengan Dad. Daripada harus terus-menerus dipanggil ‘monster’ oleh teman-temanku, bersembunyi di rumah jauh lebih baik. Aku yakin, Dad dan Mom lebih tahu apa yang kubutuhkan. Mulai hari itu, aku menuruti semua perkataan Dad dan Mom.

“Xeroderma pigmentosum (XP) adalah sebuah penyakit genetik yang ditandai dengan tingginya tingkat sensitivitas karena sinar matahari sehingga menyebabkan perkembangan kanker kulit pada usia dini. XP merupakan kelainan yang langka terjadi. Hal ini dapat ditandai dengan tingginya kepekaan terhadap cahaya, perubahan pigmen, penuaan kulit secara dini, dan perkembangan tumor ganas.

Penderita XP sangat sensitif terhadap radiasi ultraviolet (UV). Paparan sinar matahari dapat menyebabkan kulit terbakar. Kulit penderita XP sangat kering dan sangat rentan terserang kanker kulit serta melanoma. Selain itu, mata penderita juga sangat sensitif pada cahaya, sehingga rentan terserang kanker mata,” ujar seorang dokter yang menangani penyakitku sejak kecil.

Omong-omong, aku baru mendapatkan dan memahami penjelasan itu ketika aku menginjak usia lima belas tahun.

***

“Ayo kita buat perjanjian.” Kyuhyun tiba-tiba berceletuk di tengah-tengah derap langkah kami yang berbaur dengan langkah orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar kami.

“Perjanjian apa?”

“Jika aku bisa membuatmu terkesan, maka kau harus menuruti keinginanku. Tapi jika tidak, maka aku yang akan menuruti keinginanmu.” Seringainya tak menghilang sejak ia mencetuskan ajakannya tadi.

Kupikir ini bukan sesuatu yang sulit. Karena sampai sekarang, Kyuhyun belum juga membawaku hingga ke level yang bisa disebut ‘terkesan’.

“Oke. Call!”

Jari kami bertaut diam-diam di antara bahu-bahu tinggi orang-orang, seakan-akan takut jika ketahuan.

“By the way, mulai dari sini, aku akan menutup matamu.”

“Kenapa? Ada apa memangnya?”

Kyuhyun langsung memasang penutup mata yang diikatkan ke belakang kepalaku.

“Ini adalah salah satu cara agar aku memenangkan perjanjian itu.” Dia terkekeh.

Hei, lihat saja. Apa sih yang bisa kau lakukan di negara orang?

Aku merasakan tanganku digenggam begitu erat, dan perlahan-lahan ia memimpin langkahku. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah… hingga langkah kelima puluh tiga, barulah dia memintaku untuk berhenti.

“Nah, sekarang aku akan membuka penutup matamu,” Kyuhyun melanjutkan,“berdoa saja semoga kau tidak terkena serangan jantung karena terlalu terkejut dan terkagum-kagum dengan apa yang bisa seroang Cho Kyuhyun lakukan.”

Satu.

Dua.

Tiga.

Aku membuka mataku dan cahaya berwarna-warni berpendar di berbagai sudut entrance dari Luna Park, amusement park di Melbourne. Gerbang pintu masuk ke Luna Park ini menyerupai wajah manusia, lengkap dengan sepasang alis, sepasang mata, hidung, dan mulut sebagai pintu masuknya. Di kedua sisinya terdapat pilar tinggi bergaya kerajaan Aladdin dari negeri dongeng. Pilar-pilar itu memiliki tiga warna dominan; kuning, biru, dan merah. Tapi karena malam ini didominasi oleh lampu-lampu kuning yang cerah, semua warna tampak berbaur dengan begitu indahnya.

“Wah….”

Sialan, kenapa aku harus berdecak kagum sekarang? Ini belum ada sepuluh detik!

Kyuhyun melirikku sekilas seraya tersenyum lebar. “Ini belum apa-apa.”

Ia menarik tanganku dan menuntunku masuk ke Luna Park. Ketika kami sampai di dalam, seketika seluruh penjuru di Luna Park pun bermandian lampu-lampu terang dan semua wahana permainan langsung beroperasi. Biasanya, aku hanya bisa melihat momen seperti ini di drama-drama romantis. Dan sekarang, aku menjadi gadis yang sangat beruntung karena diberi kesempatan untuk menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri.

Luna Park adalah amusement park yang cukup terkenal di Australia. Amusement park yang terletak di St. Kilda ini memiliki berbagai macam wahana permainan yang sangat menarik; TwinDragon, Sky Rider, Ghost Train, Arabian Merry, Coney Island Top Drop, Enterprise, Carousel, Pharaohs Curse, The Power Surge, The Great Scenic Railway, dan masih banyak lagi.

“Which one do you want to ride?”

“Maybe…The Great Scenic Railway? Aku sering melihat permainan semacam itu di televisi, tapi tak pernah mendapatkan kesempatan untuk mencobanya setelah pindah ke Melbourne.” Aku bersungut-sungut.

“You will get that chance tonight, Fiona.” Lagi, dia menarikku ke arah pintu masuk ke The Great Scenic Railway.

“Tapi, kurasa kurang asyik jika hanya teriakan kita yang terdengar di tempat ini.”

“Begitukah?”

“Iya, amusement park kan tampak menyenangkan ketika berbaur dengan banyak orang….”

Tiba-tiba sekitar seratus orang memasuki Luna Park. Tanpa aba-aba, orang-orang itu masuk ke pintu The Great Scenic Railway dan menaikinya.

Aku yang tak bisa mengatakan sepatah kata pun setelah melihat orang-orang yang entah datang dari mana itu, hanya bisa menatap Kyuhyun yang memamerkan seringai jahil penuh kemenangan seraya menaik-turunkan kedua alisnya. Dia tersenyum penuh kemenangan. “Tolong jangan lupakan jika aku memiliki banyak penggemar di sini.”

The Great Scenic Railway pun mulai beroperasi. Teriakanku tenggelam bersama teriakan orang-orang yang ikut menaikinya. Samar-samar, aku juga bisa mendengarkan teriakan Kyuhyun. Walaupun tidak berteriak sekeras aku, tapi bisa kulihat bahwa ia memejamkan matanya berkali-kali. Apakah dia sedang berpura-pura untuk terlihat tidak takut? Aku terkekeh dalam hati.

Setelah mencoba hampir semua permainan yang ada di sini, akhirnya aku dan Kyuhyun memutuskan untuk duduk di salah satu tempat duduk yang tersedia di samping Carousel. Ia memberiku sebotol air mineral yang segelnya sudah ia buka terlebih dahulu, lalu langsung menenggak air mineral miliknya sendiri.

“Sejak kecil, aku suka amusement park,” Kyuhyun berceletuk tentang dirinya. Ini pertama kalinya Kyuhyun menceritakan dirinya selain tentang album terbarunya dan betapa banyaknya penggemar yang ia miliki di berbagai negara. “Kata orang, amusement park adalah impian semua anak-anak. Sedangkan bagiku, amusement park adalah tempat di mana aku bisa merasakan kebahagiaan secara utuh; binar-binar lampu yang berwarna-warni, permen kapas yang manis dan meleleh di mulut, ketinggian saat naik bianglala, dan yang terpenting adalah ayah, ibu, dan Ara noona¾kakak perempuanku.” Kyuhyun mendongak, memandangi langit malam yang tiba-tiba cerah. Padahal sesaat yang lalu, mendung masih menggantung. Sorot matanya meredup. “Tapi, tidak kusangka, malam itu akan menjadi malam terakhir aku pergi ke amusement parkbersama mereka.”

Aku masih diam, menunggu tuturan ceritanya.

“Mobil kami menabrak pembatas jalan karena ada kendaraan di depan kami yang tiba-tiba banting setir ke arah kami.” Kyuhyun mengembuskan napas pelan. “Malam ini adalah tepat tiga belas tahun setelah kejadian nahas itu.”

Entah mendapat dorongan dari mana, tanganku perlahan-lahan terangkat ke belakang punggungnya, hendak mendaratkannya di sana. Tapi dengan buru-buru aku menurunkan kembali tanganku saat aku menyadari apa yang hampir saja kulakukan.

“Saat aku terbangun, Ara noona duduk di samping tempat tidurku dengan kepala diperban dan luka memar di sudut matanya. Jantungku semakin tak keruan ketika melihatnya terisak-isak sambil menggenggam tanganku erat-erat. Ia tak mengatakan apa pun selain terus menangis.” Mata Kyuhyun berkaca-kaca. Suaranya terdengar sedikit serak sebelum akhirnya ia berdeham singkat. “Baru setelah itu aku tahu, ayah dan ibuku tidak selamat dalam kecelakaan itu. Setelah mendengar kabar tersebut, aku kehilangan suaraku karena guncangan hebat yang membuat diriku mengalami trauma. Selama berhari-hari, aku menolak untuk makan. Kalau pun makan, hanya satu sampai dua sendok saja.

Dan, aku pernah mencoba untuk mengakhiri hidupku dengan meminum banyak pil tidur sekaligus. Setelah itu, Ara noona menangisiku berjam-jam, membuat hatiku semakin hancur. Saat itulah aku sadar bahwa aku terlalu egois. Aku hanya memikirkan diriku sendiri, terlalu takut menghadapi hari esok tanpa ayah dan ibu. Padahal ada kakakku yang harus kulindungi dan kubahagiakan.” Kyuhyun memfokuskan pandangannya padaku. “Ah, kau pasti bertanya-tanya bagaimana aku bisa mendapatkan suaraku lagi, bahkan bisa menjadi penyanyi keren seperti sekarang ini.”

Alisku bertaut bersamaan dengan mulutku yang sedikit terbuka setelah mendengar kalimatnya barusan. Orang ini, masih saja sempat mengatakan hal-hal semacam ini di tengah-tengah ceritanya yang serius, benar-benar merusak suasana.

Dia hanya tertawa. Kyuhyun punya tawa yang menyenangkan. Tanpa entakan napas yang membuatnya seperti orang yang kehabisan oksigen karena dicekik. Deretan giginya yang rapi tampak jelas, pipinya yang agak chubby tertarik ke atas sehingga menimbulkan kesan sipit pada matanya.

“Aku mengikuti segala macam terapi untuk mengatasi traumaku dan menjalani perawatan yang bisa kulakukan untuk mengembalikan suaraku. Untungnya, ada sepasang suami-istri yang bersedia mengangkat aku dan Ara noona sebagai anaknya tanpa menuntut untuk mengganti nama depan kami dengan nama depan mereka. Mereka adalah sahabat baik ayah dan ibuku, yang ternyata juga teman bisnis orangtua Siwon Hyung. Mereka salah satu investor di perusahaan ayahnya.”

Nama itu lagi. Sesuatu berdenyut di dadaku, membangunkan kembali rasa nyeri yang tinggal di sana entah sampai kapan.

“Harapan itu selalu ada, Fi, sekecil apa pun itu, kau harus tetap percaya. Kau tidak boleh terlalu egois. Pikirkan ayah dan ibumu. Mereka terus memberikan kekuatan mereka kepadamu.Jadi, tidak seharusnya kau menyerah begitu mudah.”

Seperti sihir, begitu tiba-tiba dan efeknya terasa nyata, semangat Kyuhyun mengalir padaku. Kata-katanya terukir jelas di otakku. Aku tak menimpali apa pun, selain memandangnya dengan bibir terkatup.

“Jadi, bagaimana?”

“Bagaimana apanya?” Aku tak mengerti arahpembicaraannya.

Kyuhyun mendengus. “Perjanjiannya.”

“Baiklah. Cho Kyuhyun telah berhasil membuat Fiona Hutcherson terkesan. Aku mengaku kalah.”

Kyuhyun langsung melipat tangannya di depan dada seraya menyeringai menang dan mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jadi, kau harus menuruti keinginanku, kan?”

“Ya, perjanjiannya sih seperti itu.” Aku menenggak air mineralku dengan sedikit kesal.

Kyuhyun terdiam beberapa saat sembari mengetuk-ngetukkan ujung jarinya di dagu.Dan aku, hanya bisa menunggu permintaannya. Berbagai tebakan muncul di kepalaku; jangan-jangan dia akan memintaku untuk menari di depan Luna Park? Atau membelikannya barang paling mahal yang dijual di toko-toko sepanjang Bourke Street? Menjadi tour guide-nya selama di Melbourne? Yang paling buruk adalah apakah jangan-jangan dia akan memintaku mengatakan hal-hal konyol saat aku siaran? Oh… benar-benar buruk. Untuk memikirkannya saja sudah membuatku mual.

“Lupakan Siwon Hyung.”

***

TO BE CONTINUED

***

You can find my other fanfics on:

http://primrosedeen.wordpress.com

Filed under: Angst, romance Tagged: cho kyuhyun

Show more