2015-09-19



Title : In a Little While

Author/twitter : nialstr/-

Cast : Kim Jong In, Oh Sera (OC), Oh Sehun, Kim Joonmyeon

Genre : Fluff, Romance

Rating : T

Length : Oneshoot

Disclaimer : “This fic and plot of story’s absoluty mine. But casts are belonging to their self and family. Im here for express myself through writing and making readers happy, so i dont wanna deal with plagiators. Thankyou :D”

***

‘That’s why you need to tell me something, anything..’

.

.

***

Seoul, January 17

“Aku benar-benar harus masuk Juilliard..” bibir plump itu bergumam untuk kesekian kalinya. Di tangannya tergenggam selembar kertas artikel yang terlihat begitu lusuh karena terlalu sering dilipat, dibuka lagi kemudian dibaca ulang.

Namun lelaki yang duduk di sampingnya hanya mengangkat bahu acuh.

“Juilliard? Kau?” Tangannya menunjuk pada si gadis yang tidak henti-hentinya membahas tentang sekolah seni. Sebulan yang lalu gadis itu bicara menggebu-gebu tentang Seoul Institute of Art dan sekarang setelah membaca artikel seni di koran pagi dalam sekejap tujuannya sudah berubah menjadi Juilliard.

Gadis itu melepas kacamatanya dan mendengus tak senang. “Apa? Memangnya tidak boleh?”

“Jangan bercanda. Disitu bukan tempat untuk orang sepertimu.” Sahut namja tadi dengan santainya.

Sialan.

Jika saja tempat ini bukan sekolah, umpatan itu pasti sudah dikeluarkannya dari tadi.

“Ya! Kim Jong In!”

.

.

Lima detik berlalu, dan si pemilik nama samasekali tidak merespon.

Tsk, lihatlah itu. Setelah ia berdiri dari tempat duduknya dan berteriak seperti tadi, Jong In bahkan samasekali tidak menoleh kearahnya.

Memangnya ia apa? Lalat terbang yang begitu saja dihiraukan?

“Sera, Jong In, sudahlah. Kalau kalian ribut terus nanti para guru akan berdatangan kesini.” Seru Chanyeol si ketua kelas.

Sebenarnya Chanyeol sendiri sudah bosan melerai Jong In dan Sera yang terus meributkan hal-hal kecil hampir setiap hari. Bisa gila dirinya jika setiap hari dua orang itu selalu membuat keributan. Lagipula ruang guru terletak tepat di sebelah kelasnya. Suara ribut sekecil apapun itu pasti akan terdengar dari sana.

Sera menghela nafasnya kasar. Ia kesal, tetapi dirinya tetap mencoba untuk mengalah.

Bukannya baik hati, tapi pada dasarnya memang tidak mungkin si gelap Jong In ini mau mengalah duluan.

Chanyeol menggelengkan kepalanya melihat dua orang yang katanya bertetangga itu. Ia berbalik badan menghadap Jong In yang duduk tepat di belakangnya. “Jong In, kenapa sih kau senang sekali merusak mood Sera? Tidak ada salahnya kau bersikap baik sekali-kali.” Keluh Chanyeol sembari sesekali melirik Sera. Gadis itu kini membenamkan wajahnya pada tangannya yang tersilang di atas meja.

Jong In menguap malas. Tangannya masih sibuk mengukir goresan sebuah gurat wajah pada buku sketsanya. Ia samasekali tidak tertarik untuk balas menatap si ketua kelas. Lagipula pertanyaan itu sudah diajukan puluhan, ah tidak, mungkin seluruh teman sekelasnya bahkan sudah menanyakan pertanyaan yang sama padanya ratusan kali.

Chanyeol mencibir. Ia biasa diacuhkan begitu, apalagi oleh si maniak sketsa wajah yang satu ini. Sedikit penasaran, Chanyeol mengangkat sedikit wajahnya agar ia bisa melihat lebih jelas apa yang sedang digambar oleh Jong In.

“Whoaa, Jong In. Ini bagus sekali. Mungkin jika Van Gogh melihat ini, ia akan berfikir kau itu cucunya.” Chanyeol mengambil paksa buku sketsa itu dan berdecak kagum.

Siapa sangka Kim Jong In yang terkenal dingin dan jarang bicara ternyata mampu membuat sketsa wajah yang begitu indah hanya dengan mengandalkan imajinasinya semata.

“Hei, kurasa kau bisa menemani Sera ke Juilliard!” Sambar Chanyeol lagi dengan wajah riang.

Jong In memutar bola matanya mendengar penuturan Chanyeol yang terkesan begitu apa adanya. “Enak saja. Aku tidak berniat menemaninya ke Juilliard.” Gumamnya sambil meraih buku sketsanya kembali dan membersihkan sisa penghapus karet disana. Lagipula memangnya sejak kapan Van Gogh memiliki cucu berkebangsaan Korea Selatan?

Chanyeol mengeluarkan senyum tiga jari miliknya. Tangannya menyerahkan selembar tissue pada Jong In agar namja itu membersihkan tangannya yang kotor karena grafit. ‘Setidaknya Jong In tidak membuat kulitnya sendiri tampak jauh lebih hitam.’ Begitulah pikirnya.

“Sayang sekali. Padahal dengan bakat lukismu itu kau pasti mudah diterima di sekolah seni manapun. Menurutku Juilliard adalah pilihan yang tepat. Kau sungguh tidak ingin kesana?”

Jong In tertawa tertahan.

“Chanyeol, di Juilliard hanya ada tiga jurusan utama. Tari, drama dan musik. Hanya itu. Tidak ada seni lukis disana.”

Chanyeol bagai tersedak liurnya sendiri. Untuk sepersekian detik lamanya ia tidak bergerak lalu ia tertawa canggung. “Benarkah? Kukira bidang seni lukis pasti ada di semua sekolah seni.” Ungkapnya jujur.

“Tidak dengan Juilliard. Tetapi tetap kau tidak boleh meremehkan sekolah itu. Ujian masuknya setara dengan usahamu untuk selamat setelah terjun dari atas Namsan Tower. Su-lit.” Jawab Sehun, memberi penekanan penuh pada dua suku kata terakhir.

Chanyeol mengibaskan tangannya. “Oh, ayolah. Sekolah di luar negeri memang tidak semudah membalikkan telapak tanganmu.” Kilahnya.

Jong In melempar tissue bekasnya hingga mengenai wajah Chanyeol. Siapa juga yang mengatakan sekolah itu mudah? Seolah membalikkan telapak tangan? Apa-apaan itu. Jadi maksudnya mencari nilai A dari guru killer yang kolot setengah mati itu mudah?

Coba katakan itu lagi dan Jong In bisa pastikan Chanyeol tidak akan hidup sampai besok pagi.

“Memang sulit, Chanyeol. Dan kau tahu? jika kau menyerah untuk bisa masuk Seoul Institute of Art, maka sesungguhnya kau tidak pantas menginjakkan kakimu di Juilliard.”

Chanyeol mengerutkan keningnya dan menatap Sera. Tentu saja ia sadar Jong In mengatakannya keras-keras agar Sera mendengarnya. Tetapi sepertinya gadis itu tidak menunjukkan tanda-tanda kalau ia mendengar apa yang baru saja diucapkan Jong In. Atau bisa jadi ia pura-pura tidak dengar.

“Psst, jangan begitu. Bagaimana kalau Sera mendengarmu?” Chanyeol memelankan suaranya. Sepertinya jahat sekali kalau Jong In sampai mengatakan hal ini langsung pada Sera karena sepertinya Sera memang benar-benar menutup telinganya. Tidak secara harfiah, tentu saja.

Mendengar itu Jong In hanya tersenyum tipis. Ia tahu Chanyeol samasekali tak menyadari tujuannya. Tapi setidaknya ia sudah melakukan hal yang benar.

“Tidak mendengar pun tidak apa-apa. Sebentar lagi juga ia akan mengerti..”

***

Sera masuk ke dapur dengan langkah lebar-lebar melewati kakaknya yang menatapnya heran dari ruang televisi. Wajahnya tertekuk sedemikian rupa. Setuju untuk bersekolah di sekolah menengah yang sama dengan Jong In adalah sungguh kesalahan terburuknya. Ia pikir karena Jong In adalah siswa yang cerdas, maka ia bisa meminta bantuan Jong In dalam masalah pelajaran yang paling tidak bisa dikuasainya. Matematika.

Tapi lihat apa yang terjadi sekarang.

Bukan bantuan, tapi justru kegilaan dan depresi mental yang diberikan oleh namja berkulit gelap itu setiap harinya.

Si Jong In itu benar-benar..

“Sera-ya, kenapa kau pulang dengan tampang ku— Ya!! Jangan ambil itu! Tidak bisakah kau lihat label nama Oh Sehun di botol jus itu? YAA, Oh Sera!”

Sehun terburu-buru berlari menuju dapur melihat adiknya yang tengah menenggak sebotol jus jeruk dari dalam rak refrigerator. Sehun bahkan belum meminumnya setetes pun.

“Ah, benar-benar anak ini..” Sehun mendesah muram menatap botol jusnya yang kosong tak bersisa. Lihat saja nanti, tidak akan ada jatah menonton konser boysgroup ECO, EXO atau siapalah itu di televisi.

Sera melempar botol jus yang telah kosong ke keranjang sampah di samping kanannya. Ia berkacak pinggang menghadap Sehun. “Jangan minta aku untuk membelikanmu gantinya. Kau bisa minta pada si hitam temanmu itu.”

Sehun mengerjap berulang kali. Si hitam? Maksudnya Jong In? Sejak kapan Jong In punya panggilan kesayangan semacam itu? Panggilan sayang khas anak muda memang menggelikan, pikirnya.

“Kenapa aku harus memintanya pada Jong In?” Tanya Sehun.

Sera memilih untuk tidak menjawab dan hanya menatap sang kakak sekilas. Sampai-sampai Sehun tidak yakin apakah barusan Sera benar menatapnya atau tidak.

Merasa pertanyaannya diabaikan, Sehun mengikuti Sera berjalan menaiki tangga. “Kenapa harus Jong In? Kalian bertengkar lagi?” Ulang Sehun.

Sera mempertahankan konsistensinya untuk tetap bungkam. Lagipula dipikirnya itu adalah pertanyaan retorik. Tidak dijawab pun seharusnya Sehun sudah bisa menebak jawabannya.

Sementara itu Sehun masih sibuk berkutat dengan pikirannya. Dalam hatinya ia bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Sera dan Jong In. Entah sejak kapan hubungan mereka menjadi begini buruk. Sepertinya dulu semuanya baik-baik saja. Maksudnya, mereka memang tidak terlalu dekat. Tapi setidaknya mereka masih bertukar senyum dan sapa setiap hari. Tidak seperti sekarang ini.

“Yang benar saja, ‘masa kalian tidak pernah berhenti bertengkar?”

Sera melirik tajam pada Sehun. Jika Sehun sampai mengajukan pertanyaan itu lagi, maka ia akan.. akan..

“Ya Tuhan, tatapanmu.. baiklah, baiklah. Kalian bertengkar. Harusnya aku tahu..” Sehun mengibaskan tangannya kesamping. Ia tidak ingin dikutuk melajang seumur hidup oleh adiknya sendiri, seperti yang terjadi tempo hari ketika mereka berebut remote TV.

Sera merengut menatap sang kakak yang sedari tadi membombardirnya dengan pertanyaan retorik yang terlalu bodoh untuk dijawab.

“Oppa, Jong In itu sudah membuat otakku mendidih! Mengapa sikapnya begitu buruk padaku?! Ia bilang aku tidak pantas di Juilliard! Tidakkah kau tahu betapa menjengkelkan saat orang lain berusaha menjatuhkan impianmu?!!” Sera menarik baju lengan panjang yang dikenakan Sehun dan mengguncangnya kuat-kuat. Kekesalan yang sudah ditahannya selama sembilan jam di sekolah akhirnya bisa juga diluapkannya.

“YAAA! Sera!! Aku bisa jatuh dari tangga kalau begini! Memangnya kau mau kakakmu yang tampan ini gegar otak lalu kemudian hilang ingatan?!”

Sera memajukan bibirnya kesal dan melepas cengkraman tangannya pada baju Sehun. “Lalu aku harus bagaimana? Sekarang semangatku jadi benar-benar turun.”

“Salahmu sendiri mudah terpengaruh omongan orang lain.” Ujar Sehun sembari menggeleng sok bijak. Tangannya sibuk membenarkan bajunya yang acak-acakan karena ulah Sera. Jika bisa Sehun ingin sekali mengabadikan dirinya sendiri saat ini agar ayahnya tahu bagaimana kelakuan anak bungsunya ketika sang ayah bertugas dan  tidak sedang di rumah.

“Tapi ngomong-ngomong soal Juilliard, sepertinya dulu Junmyeon hyung pernah mengatakan sesuatu padaku soal itu..”

“Suho oppa? Benarkah? Bukankah ia akan masuk ke sekolah bisnis? Kenapa ia malah membahas Juilliard denganmu?”

Sehun menghela nafasnya. “Mana aku tahu. Kau kira aku ini peramal yang bisa mengetahui apa saja? Menebak hasil akhir pertandingan sepak bola saja aku tidak sanggup.” Sehun bergumam, mengingat bagaimana ia selalu kalah bertaruh dengan Jong In dan Baekhyun, tetangga sebelah.

“Ah sudahlah. Oppa samasekali tidak membantu.” Sera bedecak malas. Bertanya pada Sehun benar-benar tidak ada gunanya.

Sehun tertawa hambar dibilang begitu oleh adiknya sendiri. “Setidaknya kau sudah melampiaskan amarahmu padaku kan. Lagipula bukan salahku jika aku tidak bisa mengerti soal investasi yang dibicarakan Joonmyeonnie hyung.”

“Investasi?” Mata Sera berbinar memandang Sehun. “Kenapa tidak kau katakan dari tadi Oppa? Ah, luar biasa. Terimakasih sekali kakakku yang tampan.” Pekik Sera kesenangan. Ia cepat-cepat berlari menaiki anak tangga ke kamarnya setelah memeluk  Sehun erat-erat.

Sementara yang dipeluk masih berdiri kebingungan di tengah tangga.

“Bukankah tadi ia bilang aku samasekali tidak membantu?”

***

Sera duduk di kursi putar dan sesekali bergerak menggoyangkan kakinya. Kursi ini benar-benar empuk dan terasa nyaman. Tidak seperti kursi yang ada di rumahnya. Sampai-sampai Sera curiga kursi yang tengah didudukinya ini terbuat dari beludru, sutera atau material mahal lainnya.

Ia tersenyum-senyum sendiri. Ternyata menjadi orang kaya itu menyenangkan.

“Nah, Sera-yah, aku selesai sekarang. Mana pekerjaan rumahmu yang ingin ditanyakan padaku?”

Sera mendongak mendengar namanya disebut.

“Apakah benar sudah selesai? Ah, maksudku aku masih bisa menunggu jika pekerjaan Suho oppa memang belum selesai..”

Namja yang dipanggil Suho itu tersenyum dan memberi isyarat agar Sera pindah ke sofa tunggal diseberangnya.

Nama aslinya Kim Joonmyeon. Tapi Sera lebih senang memanggilnya Suho. Selain karena Suho yang artinya ‘guardian’, juga karena nama Joonmyeon terlalu sulit untuk diucapkan dan selalu membuat lidahnya kram.

Lagipula si pemilik nama tidak keberatan dipanggil begitu. Dan satu lagi. Percaya atau tidak Suho adalah kakak Jong In.

Kim Joonmyeon dan Kim Jong In.

Mereka berdua memiliki personality yang sepenuhnya berkebalikan. Ketika Jong In terkenal dengan kulit gelapnya yang  terlihat seksi menurut persepsi kebanyakan orang, Suho justru memiliki kulit putih seperti susu.

Jika sifat Jong In itu dingin, jarang bicara dan menyebalkan, maka Suho dikenal sebagai orang yang ramah, mudah bersosialisasi dan selalu tersenyum.

Sera yakin sekali jika teman-teman sekelasnya mengenal Suho sebagai kakak Jong In, mereka pasti akan meyakini Suho dan Jong In sebagai perwujudan nyata malaikat dan iblis.

Sera memperhatikan Suho yang tengah membolak-balik buku tugasnya.

“Apakah aku mengganggu pekerjaanmu?” Tanya Sera dengan suara lirih.

Ia memang sengaja datang menemui Suho dengan tujuan tersembunyi. Tetapi mengganggu pekerjaan seseorang benar-benar bukan gayanya.

Suho tersenyum lagi. Senyum komersil ala sales mesin cuci canggih dengan harga terjangkau, kalau kata Sehun.

“Tidak. Aku sudah selesai dengan berkas-berkas itu sejak satu jam yang lalu. Aku hanya mengecek kelengkapannya saja.” Jawab Suho masih dengan senyum yang sama. “Ah, persamaan lingkaran?” Tanyanya sambil menunjuk pada halaman buku Sera yang dilingkari.

Sera mengangguk. “Bagaimana?”

“Hmm.” Suho tampak mengusap dagunya sebentar. “Entahlah, sudah tiga tahun berlalu sejak aku mempelajari ini. Tapi sepertinya aku punya buku yang dapat membantu.” Suho bangkit dari duduknya dan menelusuri rak buku dengan teiti sementara Sera menanti dengan sabar.

Sekitar sepuluh menit kemudian Suho kembali dengan membawa buku yang dicarinya. Buku saku matematika untuk sekolah menengah atas. Sera mengerutkan keningnya heran.

“Sebenarnya aku membeli ini untuk Jong In. Tapi sepertinya dia tidak suka.” Ujar Suho seakan bisa membaca seluruh pikiran Sera.

Sera ber-oh pelan. Benar-benar adik yang tidak tahu terimakasih. Seharusnya Jong In senang bisa memiliki kakak yang baik hati dan perhatian seperti Suho. Sehun saja tidak pernah membelikannya apapun.

“Sera-yah, kenapa kau tidak minta ajarkan Jong In saja? Kupikir kalian sekelas. Aku juga tidak terlalu ahli dalam soal perhitungan. Kau tahu? Matematika bukanlah sahabatku.” Gurau Suho sembari tertawa.

Sera ikut tertawa. Ia hampir saja menyahut bahwa pada kasusnya, justru Jong In lah yang bukan sahabatnya. Namun tidak mungkin ia mengatakan hal seperti itu.

Ia tahu Suho pasti hanya sedang merendah. Bagaimanapun Suho adalah pewaris utama perusahaan keluarganya. Jadi ia harus pandai berbisnis, menghitung profit dan sebagainya yang berarti Suho juga pintar dalam matematika. Tidak lama lagi Suho bahkan akan berkuliah di Harvard dan mengambil konsenterasi bisnis.

Mana mungkin Harvard mau menerima Suho jika namja itu tidak pandai?

Sera terkekeh dalam hati. Terkadang ia bangga pada pemikirannya yang sederhana namun cukup logis.

“Eh.. Jong In ya..” Sera tersadar dari lamunannya dan tertawa canggung saat menyadari Suho sedang menatapnya. “err.. hubunganku dengannya tidak begitu baik..”

Suho tampak terkejut. “Benarkah? Tapi kupikir Jong In..”

“Ya?”

“Ah tidak. Tidak ada.” Suho menggeleng. “Lalu bagaimana dengan Sehun? Jangan katakan kalau hubungan kalian juga tidak baik.”

Sera tertawa kecil. “Tidak. Kami baik-baik saja. Tapi Sehun oppa tidak bisa dipercaya dalam hal pelajaran.” Jawabnya jujur.

“Kalian kakak beradik yang lucu.” Ujar Suho dengan senyum tertahan. Kemudian ia menghela nafasnya. “Andai aku dan Jong In bisa seperti kalian. Sejak kecil kami tidak terlalu akrab karena kami sering tinggal berjauhan. Sekeras apapun usahaku untuk mencoba lebih dekat dengannya, tetap saja Jong In terkesan menjaga jarak denganku.”

Sera bergumam. Alis matanya berkerut samar. Ia memang jarang melihat Suho dan Jong In bersama. Tapi ia tidak pernah mengira bahwa hubungan keduanya ternyata seburuk itu. Meskipun terkesan ditutupi, tetap saja Sera mampu mendengar nada sedih dari ucapan Suho barusan.

Suho tersenyum meminta maaf. “Maaf, tiba-tiba aku berubah melankolis. Bagaimana kalau kau hitung dulu gradien dan pusatnya pada soal nomor tiga?” Tanyanya.

Suho hanya berusaha mengalihkan pembicaraan dan Sera tahu itu. Ia masih cukup tahu diri untuk tidak bertanya lebih jauh mengenai hubungan kakak beradik beda sifat itu. Akhirnya Sera hanya bisa mengangguk patuh dan sibuk menghitung angka-angka koordinat.

“Oh ya, Sera-yah, bukankah ujian akhir sudah dekat? Apa kau sudah memutuskan kemana tujuanmu selanjutnya?”

Mata Sera seketika berkilat-kilat senang. Bagus sekali! Pertanyaan inilah yang ia tunggu dari tadi.

“Aku ingin melanjutkan sekolahku di Juilliard.” Jawab Sera mantap. Sera yakin sekali setelah ia menjawab begitu Suho akan bercerita mengenai investasi perusahaan keluarganya, lalu setelah itu namja angelic itu akan membantunya masuk ke Juilliard. Bukankah itu pemikiran yang bagus?

“Juilliard?” Tanya Suho memastikan.

Sera mengangguk. “Tetapi sepertinya sulit untuk kesana. Meskipun aku tidak tahu apakah mereka menerima pendaftar dengan kemampuan tari ballet, setidaknya yang aku tahu gerakan dasarnya dengan tari kontemporer hampir sama. Aku ingin melanjutkan impian mendiang ibuku untuk menjadi penari kontemporer.”

Suho menopang dagu dengan sebelah tangannya. Ia tersenyum getir. Lucu rasanya. Ia mengetahui sekolah yang akan dituju oleh Sera disaat adiknya sendiri menolak untuk memberitahunya ke universitas mana ia akan pergi.

Suho mengalihkan tatapannya pada Sera dan tertawa ketika melihat betapa semangatnya gadis itu. Ia mengangkat bahu ringan.

“Yang harus kau lakukan hanyalah berusaha. Percaya pada dirimu sendiri bahwa kau bisa melanjutkan impianmu untuk bersekolah disana..”

***

“Kau memberitahu Sera soal investasi perusahaan appa di Juilliard?!”

Sehun menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Yah.. Aku samasekali tidak tahu kalau aku tidak boleh memberitahunya.” Jawabnya sembari mengangkat kedua tangannya di depan dada sebagai bentuk pertahanan diri. Siapa tahu Jong In tiba-tiba mengamuk dan membabi buta menyerangnya.

Oke, abaikan pemikiran Sehun. Itu berlebihan.

Jong In mengacak rambutnya frustasi. “Bukan masalah boleh atau tidak. Tapi—“

Kalimat Jong In yang belum selesai itu mendadak terputus. Keduanya menoleh serentak mendengar suara decitan halus pertanda pintu yang dibuka.

Oh, tidak lupa dengan seorang Oh Sera yang berdiri disana dengan tampang kusut layaknya beruang betina yang gagal berhibernasi di musim dingin.

“Eh.. Selamat datang di rumah, adikku tercinta~” Sehun tertawa dibuat-buat. Melihat wajah adiknya yang kusut seperti itu dua kali sehari bukanlah pertanda baik.

Wajah Sera yang masam berubah menjadi dua kali lipat lebih buruk ketika melihat Jong In duduk di sebelah Sehun dengan stick game di tangannya.

Melihat Jong In membuatnya teringat lagi pada Suho.

Berusaha dan percaya diri katanya.

Mudah sekali dia mengatakan itu. Ternyata kelemahan Kim Joonmyeon yang terkenal tampan dengan senyum komersilnya itu hanya satu.

Ia bukan tipe lelaki yang peka. Dan karena itulah rencana Sera gagal total.

“Kukira kau sangat ingin diterima di Juilliard. Tapi kerjamu hanya bersantai, berjalan-jalan dan tidak melakukan apa-apa. Ke Seoul Institute of Art saja kau menyerah.” Ujar Jong In sarkastik ketika Sera melangkah melewatinya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Aku bebas melakukan apa yang ingin kulakukan. Itu bukan urusanmu.”

Sera mengepal tangannya erat. Sudah habis kesabarannya menghadapi Jong In yang selalu bersikap begini. Sera sendiri bahkan tak tahu apa salahnya pada namja berkulit tan itu.

Jong In tersenyum tipis. “Jangan bercanda. Kau berniat untuk masuk ke sekolah tinggi yang bergelar sebagai konservatori tari terbesar di dunia. Kau kira mudah menginjakkan kaki disana?”

‘Konservatori tari terbesar di dunia’

Rasanya beban Sera menjadi lebih berat mendengar kata-kata itu. Namun hati kecilnya sedikit membenarkan apa yang dikatakan Jong In.

Benarkah ia bisa diterima di Juilliard tanpa bantuan keluarga Suho?

Jika Jong In yang merupakan putra bungsu keluarga Kim saja menolak, maka tak mungkin Suho akan membantunya dengan menggunakan jabatannya..

Apakah ini artinya ia bahkan sudah gagal sebelum memulai?

Sera melihat Jong In tengah menatapnya dengan tersenyum menyebalkan. Seakan namja itu bisa mengetahui segala sesuatu yang sedang dipikirkannya, dan hal itu membuat Sera semakin merasa buruk.

Sera memutuskan untuk mengabaikan tatapan itu, karena memang hanya itulah yang bisa dilakukannya. Tepat sebelum melangkah meninggalkan ruang tengah, ia berbalik. Matanya menatap Jong In tajam.

“Aku memang belum cukup berusaha dan melakukan apapun. Tapi satu hal yang perlu kau tahu.” Sera menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Tidak seperti katamu di sekolah tadi, aku tidak menyerah. Aku hanya mengganti tujuanku ke yang menurutku lebih baik..”

***

Seoul, March 22

Sera mematut bayangan dirinya pada kaca yang dipasang di seluruh tembok ruangan. Wajah lelah itu terlihat basah oleh keringat.

Berulangkali ia berpikir bahwa latihan ini tidak ada apa-apanya. Bahwa semua keringatnya ini nantinya akan terbayar.

Gadis itu meraih mp3 playernya. Ia menyalakan musik dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang latihan tari di rumahnya.

Ayahnya membuatkan ruangan ini khusus untuk mendiang ibunya. Setelah ibunya tidak ada, maka sekarang hanya ialah yang memakai ruangan ini. Dan karena perkataan Jong In tempo hari, ia menjadi lebih sering menghabiskan waktunya disini daripada di kamarnya sendiri. Ia bahkan selalu kesini tepat setelah pulang sekolah. Barulah ketika Sehun memanggil untuk makan malam, ia akan menyudahi latihannya.

Ia tak pernah bertemu lagi dengan Suho. Kemarin lusa namja itu sudah berangkat ke Harvard. Sebelum berangkat pun Suho masih sempat berpamitan kerumahnya. Benar-benar sopan santun yang baik.

Sedangkan Jong In.. Entahlah.

Ia hanya bertemu dengan Jong In di lingkungan sekolah karena mereka memang sekelas. Jong In kini tak pernah lagi mengganggu mimpinya yang sedikit banyak membuat Sera merasa kehilangan. Mungkin karena ujian universitas memang sudah dekat, dan semuanya sibuk mempersiapkan diri.

Jong In tak pernah lagi bermain game bersama Sehun. Sera sendiri juga tak pernah menyengajakan diri untuk bertamu ke kediaman Kim.

Kaki jenjangnya yang dibalut indah oleh sepatu tutu itu mulai bergerak. Sera menekuk satu kakinya, menjadikan satunya sebagai poros dan mulai berputar.

Ia melakukannya tepat sebanyak 32 putaran dan diakhiri dengan lompatan panjang kesamping ala ballerina umumnya.

Biar saja. Dalam hatinya Sera sudah bertekad untuk menunjukkan pada semuanya. Ayahnya, Ibunya, Sehun. Bahkan Jong In.

Sera akan menunjukkan pada semuanya bahwa ia bisa.

.

.

Di sisi lain Jong In tersenyum dari balik pintu. Alunan musik klasik yang didengarnya dari lantai bawah secara naluriah mengundang rasa penasarannya.

Tadinya Jong In bermaksud untuk menemui Sehun karena ia sudah berjanji akan menemani namja itu pergi ke game store. Tapi bukannya pergi mencari Sehun, Jong In malah menemukan Sera lebih dulu.

Dan disinilah Jong In sekarang. Berdiri terpekur memperhatikan Sera yang seorang diri melatih kemampuannya.

Ia sungguh tidak berbohong ketika ia mengakui bahwa apa yang Sera lakukan tadi adalah 32 fouettés en tournant paling indah yang pernah ia lihat. Sera juga mengakhirinya dengan grand jeté yang sempurna.

Gerakan berputar yang Sera lakukan sebanyak tiga puluh dua kali itu memperlihatkan keahliannya sebagai seorang ballerina dengan menunjukkan kekuatan, keahlian teknik dan stamina.

Lagi, Jong In tersenyum.

“Nanti pasti kau akan mengerti..”

***

Harvard, June 7

Suho memijat pelipisnya tatkala ayahnya datang dan meletakkan setumpuk paper manajemen bisnis di mejanya. Melihat anak sulungnya itu Tuan Kim hanya tersenyum.

“Bukankah berbisnis itu menyebalkan?” Tuan Kim tertawa memandang rupa Suho yang tengah menatapnya suntuk. Lelaki yang usianya sudah melebihi setengah abad itu menyilangkan tangan dan berjalan mengitari meja. “Apakah kau betah di apartemen barumu ini? Butuh sesuatu?”

Tuan Kim mengusap dagunya. Kelihatannya semua sudah lengkap. Mungkin ia tidak perlu membeli furniture lain untuk Suho, kecuali jika anaknya itu meminta.

Suho menggeleng. “Tidak. Appa sudah cukup membantu. Sekarang biarkan aku yang menyelesaikan ini sendiri.”

Tuan Kim tersenyum. “Bagus. Itu baru anakku.” Ujarnya bangga.

Pasangan ayah dan anak itu sama-sama terdiam setelah jawaban singkat Tuan Kim. Suho sibuk dengan kumpulan papernya dan Tuan Kim sibuk memeriksa apartemen yang disewanya untuk Suho.

“Apakah adikmu menghubungimu?” Tanya Tuan Kim membuka pembicaraan. Dirinya tentu mulai merasa tidak nyaman dengan adanya keheningan diantara ia dan putranya sendiri.

Suho menatap ayahnya dengan enggan. “Apakah appa marah?”

Dahi Tuan Kim berkerut sekilas mendengar Suho yang justru balik bertanya. Terlebih pertanyaan Suho sungguh tidak relevan dengan jawaban pertanyaannya.

“Tidak. Tentu saja tidak. Appa tahu ini keputusannya. Biarkan ia yang memilih jalan hidupnya sendiri.” Jawab Tuan Kim.

Jong In memang menolak bisnis, konsenterasi pendidikan yang sudah dipilihkan Tuan Kim. Tapi tentu saja hal itu tak membuat Tuan Kim berbalik marah pada putranya sendiri.

Tuan Kim memandang Suho dan sebersit rasa bersalah seketika muncul di hatinya. “Sejujurnya jika kau menolak untuk melanjutkan studi bisnismu disini, akupun tidak akan marah ataupun melarangmu. Appa tahu kau sangat ingin pergi ke sekolah vokal dan menjadi penyanyi.”

Suho menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Impian itu sudah lama, tapi memang benar.

Ia tertawa. Namun matanya masih terarah pada lembaran kertas di meja belajarnya. “Dulu eomma bilang kita tidak akan bisa makan jika ‘Perusahaan Kim’ berubah nama menjadi ‘Studio Vokal Kim’.” Jawabnya lirih. “Aku tahu appa tidak memaksa. Namun sejak saat itu, aku telah mengubah pilihanku menjadi sesuai dengan keinginanmu.”

Tuan Kim tersenyum meminta maaf. “Ini aneh. Appa merasa lega dan bersalah disaat yang sama. Tapi, terimakasih. Appa selalu berdoa untuk kebahagiaanmu, apapun pilihan yang kau pilih.”

Suho bangkit dari kursinya dan berjalan menghampiri sang ayah.

“Gomawo appa..”

Tuan Kim tersenyum dan menepuk bahu Suho. Ah, rasanya baru kemarin ia menggendong Suho dan Jong In bergantian sepulang kerja.

Suho kini sudah dewasa. Jong In juga. Tanpa disadarinya dua putranya kini bukan lagi anak kecil yang hanya bisa bermanja, merengek atau bahkan berebut mainan berdua.

Tuan Kim tersenyum lagi. Itu artinya ia juga sudah semakin bertambah tua.

“Ah, bukankah putri keluarga Oh yang sekelas dengan Jong In itu memutuskan untuk ke Juilliard? Lalu bagaimana hasil ujian seleksi masuknya?” Tanya tuan Kim tiba-tiba.

Seketika itu Suho langsung teringat percakapannya dengan Jong In sebelum ia berangkat ke Harvard.



Flashback

“Jangan membantunya untuk pergi ke Juilliard.”

Suho secara otomatis langsung menoleh menatap Jong In yang berdiri di depan pintu kamarnya. Dahinya berkerut bingung.

Bagaimana tidak? Ia sedang sibuk menata baju kedalam kopernya ketika adiknya ini tiba-tiba muncul di depan pintu kamar, tanpa mengucapkan salam dan tiba-tiba berkata dengan wajah datar, ‘jangan membantunya ke Juilliard’.

“Aku bicara soal Sera..” Katanya lagi. Jong In memutar bola matanya malas ketika ia dengan baik bisa membaca kebingungan di wajah kakaknya.

“Oh itu..” Suho bergumam. “Aku bahkan tidak mengatakan apapun padanya.”

Jong In tampak menggerutu. Terlihat lucu di mata Suho, sebenarnya. “Meskipun kau tidak mengatakan apapun, pasti kau punya pikiran untuk membantunya kan? Seperti yang appa lakukan, membantunya masuk ke SMU dan menempatkannya di kelas yang sama denganku.”

“Lalu kenapa kau tidak mau aku membantu Sera agar ia bisa diterima sekolah yang diinginkannya?” Suho menatap Jong In. Ia tahu Jong In tidak mungkin meminta tanpa alasan yang logis. Selama ini yang ia tahu Jong In selalu mengedepankan logika diatas segalanya. Ia menaikkan sebelah alis matanya ketika Jong In balas memandangnya. “Apa alasanmu?”

Jong In menghela nafas. Minggu besok sudah memasuki masa penerimaan di Juilliard. Gadis itu pasti sudah berada disana sekarang.

Tanpa disangka bibir itu kemudian menyunggingkan senyum, membuat Suho hanya bisa menyimpan rasa penasarannya.

“Aku tidak punya alasan yang khusus..” Gumam Jong In sembari mengangkat bahu. “Bahkan bisa dibilang alasanku sederhana. Sangat sederhana..”



Flashback end

Suho tersenyum. Tanpa dijelaskan pun ia sudah bisa menebak alasan apa yang dimiliki adiknya itu.

“Tidak apa-apa appa. Jong In dan Sera.. Kurasa mereka berdua akan baik-baik saja..”

***

Sehun memandang pintu kamar Sera dengan gusar. Sudah empat hari berlalu sejak Sera gagal ujian masuk Juilliard dan mengurung diri di kamarnya.

Ya, ia tidak sedang bercanda. Sera gagal.

Tentu saja Sehun tidak lupa bagaimana wajah Sera ketika ia menjemput adiknya itu di Bandara Incheon. Sejak kedatangan pesawatnya hingga perjalanan menuju rumah, Sera bahkan tidak mengatakan apapun. Dengan sikapnya yang seperti itu Sehun langsung dapat menyimpulkan bahwa Sera tidak berhasil dalam ujian masuk.

Setelah sampai di rumah, Sera langsung masuk ke kamar dan tidak keluar kecuali untuk ke kamar mandi dan makan malam. Itupun sangat jarang..

Berulangkali Sehun mencoba membujuk ayahnya agar pulang ke Korea. Siapa tahu dengan cara itu Sera tidak akan mengurung diri di kamarnya lagi.

Tetapi masalahnya adalah ayahnya tidak bisa pulang dalam waktu dekat.

Jika begini terus Sehun bisa terancam mati kelaparan. Atau mungkin keracunan karena ia terlalu banyak mengkonsumsi ramyeon. Tak seperti Sera, Sehun tak bisa memasak.

“Sera-yah? Ayolah, buka pintunya.” Sehun mengetuk pintu kayu itu tepat tiga kali. Tidak ada jawaban selama beberapa detik di awal. Tapi akhirnya pintu itu terbuka ketika Sehun hampir pergi dari sana dan hendak menuruni tangga. Ia dengan perasaan lega langsung melangkahkan kakinya kedalam kamar dengan dominasi warna ungu muda itu. Ternyata wajah adiknya tidak seburuk kemarin saat terakhir kali Sera turun untuk makan malam.

“Apa kau merasa lebih baik?” Tanya Sehun setelah Sera mengambil posisi duduk di pinggir tempat tidur. Ia meletakkan sebuah buku catatan yang dibawanya di meja nakas samping tempat tidur.

Sera mengangkat bahu. “Kurasa.”

“Kau harus keluar. Lihat lingkaran hitam di matamu itu. Jelek sekali. Lagipula sampai kapan kau mau terus berdiam diri disini? Ujar Sehun sambil membuka tirai jendela. “Kau bahkan tidak membiarkan sinar matahari untuk masuk.” Keluh Sehun dramatis.

Mata Sera menyipit ,berusaha menyesuaikan perubahan cahaya yang tiba-tiba karena ulah kakaknya yang berisik itu.

“Aku hanya berpikir kemana tujuanku selanjutnya setelah aku gagal. Aku bahkan terlalu malu untuk melihatmu, oppa. Aku sudah membual tentang bagaimana aku akan berhasil. Tapi lihat apa yang terjadi sekarang..”

Sehun mengulum senyum. “Aku tidak pernah melihat sisimu yang seperti ini. Tapi dengar, aku tidak peduli dengan semua yang kau katakan tadi. Menang atau kalah, berhasil atau tidak, bagaimanapun kau tetap adikku.”

Sera memandang Sehun tak percaya. Ia bersumpah selama ia hidup delapan belas tahun di dunia ini, belum pernah ia mendengar Sehun bicara seperti itu. Kakaknya itu sukses membuatnya merasa terharu.

“Oppa, gomawo..”

Sehun mengangguk. “Ah, aku hampir lupa. Ini untukmu.” Sehun meraih buku yang tadi diletakkannya di meja nakas dan memberikannya pada Sera.

“Apa ini?”

“Dari Jong In.”

Sera menatap sang kakak tak yakin. Demi Tuhan, kenapa nama itu selalu saja merusak momen bahagianya?

Tapi mau tak mau tangannya tetap menerima buku itu.  Ia tak memiliki petunjuk apapun mengenai benda ini. Mengapa tiba-tiba Jong In memberinya sebuah buku catatan? Apa namja itu mau ia menulis diary setiap hari semenjak kegagalannya? Atau apa?

Ia menatap Sehun dengan pandangan bertanya.

“Kau harus buka buku itu sendiri. Dan.. Ah, lupakan. Sekarang turun, basuh wajahmu dan buatkan aku makan siang..”

***

Sehun memandang sekilas pada buku catatan yang masih terbungkus apik dengan simpul pita ungu muda itu, warna kesukaan Sera. Ini sudah melebihi batas dua puluh empat jam semenjak Sera menerima buku itu. Tetapi Sehun samasekali tidak habis pikir mengapa adiknya membawa buku itu kemanapun ia pergi, tetapi menolak untuk membuka dan membaca isinya.

“Mau sampai kapan kau mengacuhkan buku pemberian Jong In?” Sehun yang tak tahan segera meraih buku itu dan mengangkatnya tepat di atas kepala. Dapat dilihatnya Sera yang memandangnya enggan dari balik pantry.

Sera mengedik bahunya. “Aku tidak ada waktu untuk membacanya.” Katanya nyaris dengan ekspresi datar.

Sehun mendengus frustasi. Klise.

Rasanya ingin sekali ia membuka buku itu sekarang, naik ke atas meja lalu membacanya keras-keras di hadapan Sera seolah ia sedang berorasi. Tapi Sera sendirilah yang harus membuka dan membacanya.

Tentu saja Sehun juga sudah mencuri-curi kesempatan untuk melihat isi bukunya. Tetapi setelah membacanya, Sehun berkesimpulan bahwa Sera memang harus membaca sendiri tulisan Jong In di dalam buku catatan itu.

“Ah, menyebalkan. Tidak terasa sudah tanggal empat belas. Kenapa waktu cepat sekali berlalu jika kita tidak melakukan apapun?” Gumam Sehun. Entah bagaimana sekarang ia sudah berdiri tepat di depan kalender dengan tulisan 14 Juni yang diketik besar-besar. Sementara Sera hanya melongo menatap sang kakak. Dari buku pemberian Jong In, sekarang ia malah membahas tanggal yang jelas-jelas tidak ada hubungannya.

Tapi biarlah, Sera sudah biasa meladeni sifat Sehun yang seperti ini.

Sera menghela nafas dan mengambil tempat di sebelah Sehun setelah merebut remote TV dan mengganti channelnya.

“Berarti appa pulang enam hari lagi. Kurasa ia akan menghajarku karena aku gagal ke perguruan tinggi.”

“Dan aku berani bertaruh pada seluruh hidupku kalau appa tidak akan tega melakukan itu. Pemikiranmu saja berlebihan..” Sehun mengetuk dahi Sera dengan telunjuknya, tanpa sadar kalau terkadang ia sendiri punya pemikiran yang sama berlebihannya.

Sera tersenyum. Merasa berterimakasih karena akhir-akhir ini Sehun sudah berusaha untuk membuatnya merasa lebih baik.

“Lalu apa rencanamu?

“Entahlah. Kupikir aku akan bekerja dan mendaftar di tahun berikutnya. Bagaimana?”

“Tidak buruk.” Sehun menatap langit-langit, mencoba berpikir. “Atau kau mau kudaftarkan ke universitas yang lain? Kurasa ada yang masih menerima pendaftaran. Tapi kurasa itu bukan universitas dengan kualitas yang baik..”

“Aku tahu. Karena itu aku memilih untuk menunggu saja tahun depan.” Ujarnya sembari tersenyum manis. “Tidak apa-apa. Sungguh.” Katanya lagi ketika mendapat tatapan tak yakin dari Sehun.

Sehun hanya bisa mengangguk. Apapun keputusan Sera, Sehun akan menerimanya selama itu baik. Tapi bagian tersulitnya adalah meyakinkan sang ayah.

Tapi yah, tidak apa-apa. Sehun pasti akan membantu Sera bicara pada ayah mereka nanti.

Dua kakak beradik itu semakin larut dalam pikiran mereka sendiri. Untuk beberapa saat yang terdengar hanyalah suara televisi, atau teriakan heboh Sehun yang serius menonton panggung music bank. Saudaranya yang berjarak tiga tahun lebih tua itu berseru heboh tentang bagaimana Hyuna bisa begitu seksi, outfit Girls Day yang begitu menawan sampai kehebohannya yang tidak penting mengenai kaus kaki Junhyung yang panjang sebelah pada penampilan ‘Good Luck’.

Sera sendiri tampak tak fokus meskipun ia yang mengganti chanel televisinya. Persetanlah, tak ada boysgroup favoritnya pada penampilan hari ini.

Alih-alih menonton televisi, Sera justru melirik buku catatan pemberian Jong In berulangkali. Sera sungguh merasa dilema. Haruskah ia membuka itu dan membacanya? Dahi itu mengerut samar, berfikir keras seakan ia sedang berperang dengan bagian dirinya yang lain.

Di satu sisi Sera begitu membenci Jong In karena ia yang lebih dulu memulai perang ini. Jong In yang selalu tampak tak menyukainya.

‘Karena perkataan sesungguhnya adalah sebuah doa’. Sera akan meyakini kalimat itu seratus persen mulai dari sekarang. Teringat olehnya Jong In yang terus berkoar-koar,meremehkan usahanya pergi ke Juilliard. Dan semua terjadi begitu saja. Ia memang gagal. Logikanya menyalahkan Jong In dan semua perkataannya atas itu.

Tapi di sisi lain, Jong In adalah temannya meskipun itu dulu sekali. Meskipun enggan mengakuinya, tapi Sera memang merasa kesepian karena Jong In tak pernah lagi mengganggunya di sekolah. Setelah liburan ia bahkan tak pernah bertemu dengan namja itu lagi.

Terkadang Sera sengaja lewat di depan pekarangan rumah Jong In. Tapi yang ditemuinya selalu Kang ahjussi, supir yang bekerja disana. Sera hanya bisa menyapa Kang ahjussi tanpa berani bertanya lebih.

Setiap Sera turun dari kamarnya ke lantai bawah, yang selalu ditatapnya adalah game console di rak bawah televisi. Ketika ia melihat Sehun bermain sendiri, entah mengapa otaknya secara otomatis merangkai bayangan Jong In yang tengah duduk di sebelah Sehun, lengkap dengan stick game dan senyum menyebalkannya itu.

“Kau memikirkannya kan?” Ujar Sehun tiba-tiba. “Bukalah buku itu sebelum kau mati penasaran.”

Suara Sehun praktis membuat lamunan Sera buyar. Sera menerima buku catatan yang disodorkan Sehun padanya. Ia melepas simpul pita pada buku itu dengan jantung yang berdegup kencang. Ia menebak-nebak apa isi buku itu sebenarnya.

Sera membuka satu halaman depan. Hanya ada nama Jong In di sudut kanan atas. Buku ini miliknya.

Lembar selanjutnya dan selanjutnya lagi ternyata hanya tertempel foto tanpa satupun tulisan disana. Foto pertama adalah foto Jong In yang tersenyum kearah kamera. Sera mengusap foto itu. Sudah lama sekali sejak ia melihat senyum Jong In yang tulus seperti ini. Lalu foto selanjutnya adalah foto ruangan kelas mereka di sekolah, kemudian foto Sehun yang membelakangi kamera karena asik dengan video game.

Jantung Sera berdesir hangat. Di lembar selanjutnya ada potret dirinya. Duduk di kelas dan berkacak pinggang. Wajahnya tampak kesal di foto itu. Kemudian fotonya lagi. Kali ini tersenyum dan tertawa dengan teman sekelasnya. Pada lembaran lain terdapat fotonya yang terlihat sedang memandang jendela dan juga fotonya bersama Sehun yang sedang merawat tanaman di halaman rumah.

Sera membalik halaman selanjutnya. Lidahnya terasa kelu melihat apa yang ada di lembaran kertas tipis itu. Fotonya dalam balutan baju tutu dengan posisi arabesque on pointe. Di pinggir foto itu tertempel secarik kertas lain yang dilipat rapi. Kejutan lain dari Jong In. Sera membacanya.

.

Hai.

Ketika kau membaca ini, aku tak tahu apakah kita masih bisa bertemu lagi atau tidak. Maaf aku tak mengatakan apapun sebelumnya.

Kurasa tidak apa-apa. Karena aku yakin sekarang kau sudah sangat-sangat membenciku. Tapi setidaknya aku ingin mengungkap rahasiaku padamu sebelum aku terpisah denganmu.

Apa kau penasaran mengapa aku selalu bersikap begitu buruk padamu?

Akan kuberitahu.

Sederhana. Karena hidupmu selalu berjalan sesuai dengan apa yang kau inginkan meskipun kau tidak berusaha sendiri. Seperti bagaimana kau masuk ke sekolah menengah dan ditempatkan di kelas yang sama denganku berkat bantuan appa. Aku tidak iri. Samasekali. Aku hanya ingin kau sedikit berusaha.

Kau tahu, aku bukanlah anak kandung. Jadi pemikiranku telah dewasa sebelum waktunya.

Sera seketika terkesiap. Ia menatap Sehun yang ikut membaca surat itu. Sehun terlihat begitu santai.

Sementara Sehun balas memandang Sera yang terlihat meminta penjelasan darinya.

“Apa? Kau belum tahu?”

“Jadi kau tahu soal ini?!” Tanya Sera dengan intonasi yang meninggi. Sehun tak menjawabnya. Terbayang di benaknya Jong In dan Suho yang memang tidak memiliki satupun kesamaan, terutama dilihat dari fitur fisik. Kalau dipikir lagi, keluarga Kim memang pindah ke sebelah rumahnya ketika ia menginjak bangku sekolah menengah pertama. Wajar kalau ia tak mengetahui fakta mengejutkan ini. Tapi kenapa Sehun tahu lebih banyak darinya?

Sera menarik nafas panjang dan mencoba membaca surat itu lagi. Mencoba mencari tahu alasan mengapa Jong In begitu berahasia.

.

Aku sudah berjuang bahkan ketika kau masih sibuk bermain. Kau tidak tahu bagaimana rasanya menggantungkan hidup pada orang-orang yang bahkan tak memiliki ikatan darah denganmu. Aku benci dirimu yang mengeluh, karena kau punya nasib lebih baik dariku.

Aku hanya si yatim beruntung yang diangkat anak oleh Tuan Kim, ayahku. Aku hanya si beruntung yang bisa memiliki kakak berhati malaikat seperti Joonmyeon hyung. Aku selalu berusaha keras menjauhinya karena tak ingin membuatnya repot demi mengurus adik yang seharusnya tak dimilikinya.

Oh Sera.

Melihat betapa baik orang-orang memperlakukanmu, kau butuh seseorang untuk menggagalkanmu. Dan kuputuskan orang itu adalah aku. Mungkin kau tak akan mengerti betapa sulit aku mencoba bertahan agar aku terlihat menyebalkan di matamu.

Sera-yah, kau tak bisa selamanya bergantung pada orang lain. Sesekali kau harus membiarkan kegagalan memberimu pelajaran berharga. Pelajaran yang tak akan kau dapatkan dua kali. Ada saatnya ketika kau harus berjuang untuk hidupmu sendiri.

Aku melakukan ini bukan karena aku membencimu.

Seringkali aku menanamkan pemikiran bahwa sebentar lagi kau pasti akan mengerti.

Sebentar lagi kau akan mengerti.

Sebentar lagi kau akan mengerti.

Tapi aku salah. Pada akhirnya kau tak kunjung mengerti,

Bahwa aku mencintaimu dengan cara yang berbeda..

.

Sera seketika merasakan sesak memenuhi rongga dadanya. Membaca ini membuatnya sadar bahwa selama ini ia telah berpikiran skeptis tentang Jong In. Ia salah memandang Jong In dengan sebelah mata.

.

Aku tidak menyesal mengatakannya secara tak langsung. Aku senang dan cukup lega.

Setidaknya sekarang kau mengerti yang sebenarnya.

Aku akan pergi ke Jepang dengan penerbangan tanggal 14 nanti. Aku akan melanjutkan ke sekolah seni disana. Sebelum saat itu aku tak akan mencoba menemuimu atau membiarkanmu menemuiku. Saat aku pergi kejarlah impianmu dengan cara lain. Kau memang gagal dalam pilihanmu di Juilliard. Tapi kau tidak boleh membiarkan masa lalu mencuri masa depanmu. Tidak selamanya apa yang kau pilih menjadi pilihan yang benar.

Belajarlah dengan pengalaman ini.

Aku mencintaimu.

-Kim Jong In

.

Sera melemaskan punggungnya ke sandaran sofa. Jong In mencintainya, dan Sera tidak mengerti harus bereaksi seperti apa. Kebenciannya pada Jong In menguar tak bersisa, menyisakan sebersit rindu dalam hati gadis itu.

“Jong In menepati perkataannya. Meskipun belum saatnya ia pergi, tapi sulit sekali menghubunginya. Ia bahkan tak ada di rumahnya. Pelayan disana tak ada yang tahu kemana ia pergi.” Gumam Sehun.

Mendadak Sera teringat pada sesuatu. Ia bangkit dengan tergesa dan berdiri terpaku di depan kalender. Tanggal 14..

Sehun berdeham. Tangannya memperlihatkan layar smartphone yang berisi pesan singkat . “Appa mengirim pesan. Ia baru saja menelepon Kim Ahjussi, dan katanya Jong In sedang di bandara menunggu penerbangan pukul empat.”

Dengan satu kalimat itu Sera segera berlari ke kamar untuk mengambil tasnya dan melesat pergi tanpa mengucap salam. Sekarang pukul tiga. Seharusnya belum terlambat..

Setelah Sera menghilang dari balik pintu, Sehun tersenyum simpul. “Ah, dua orang itu. Ternyata sulit sekali menyatukan mereka.”

***

Sera berlari diantara orang-orang dengan koper besar di tangan. Sudut matanya sibuk mencari figur tegap Jong In yang sudah lama dikenalnya.

Kemungkinannya satu banding seratus, tapi dengan keberuntungan luar biasa Sera menemukannya. Ia menemukan Jong In yang mengenakan jaket cokelat tanpa membawa koper atau barang bawaan apapun.

Namja itu disana, duduk pada kursi di salah satu bagian bandara yang lengang. Ia tahu itu. Ia tahu bahwa Jong In tipikal orang yang penyendiri.

Postur itu..

Sera tak salah lagi. Itu Jong In. Ya, Jong In-nya.

Langkah Sera terdengar kencang menderap pada lantai. Ia berhenti tepat di depan Jong In yang ternyata tengah menunduk memainkan handphone. Nafasnya terengah.

Jong In yang melihat sepasang kaki wanita tepat di hadapannya lantas mendongak. Wajah itu terlihat begitu terkejut melihat Sera yang tiba-tiba sudah ada di hadapannya.

Jong In berdiri.

“Apa yang kau lakukan disini?”

“Kau!” Sera menunjuk Jong In dengan telunjuknya. “Kenapa kau tidak mengatakan apapun padaku? Setidaknya jelaskan langsung padaku sebelum kau pergi!” gadis itu memandang Jong In dengan tatapan menuntut.

“Sehun sudah memberikanmu bukunya?” Tanya Jong In, lebih mengarah pada nada tak percaya daripada penasaran.

Sera berusaha merancang kata-kata di pikirannya untuk menjawab. Tapi lidahnya bagai tak mau mendengar. Ia justru terisak.

“Kukira kau bersikap buruk karena membenciku. Sampai dengan kemarin pun aku masih bisa mengutukmu, karena kupikir kaulah penyebab kegagalanku. Tapi sekarang aku tak tahu lagi..” Kalimat itu terputus-putus karena Sera mengatakannya sembari sesekali terisak. Jong In tersenyum. Ia mengeluarkan sebelah tangan dari saku jaketnya dan mengacak rambut Sera.

“Anak bodoh. Jangan menangis. Bukankah aku sudah bilang aku melakukan itu karena aku mencintaimu?” Ujarnya lembut. Ia membuka kedua tangannya lebar-lebar dan merengkuh Sera dalam pelukannya.

“Aku benar-benar merindukanmu selama kau menghilang, pabbo!” Bisik Sera pelan

“Kalau begitu jangan menangis lagi.” Jong In menepuk-nepuk puncak kepala Sera, berharap Sera bisa tenang. “Lihat, sekarang aku di hadapanmu. Berhentilah menangis. Coba lihat mata sembap itu, jadi terlihat tidak cantik.” Guraunya. Berharap selera humornya yang tidak seberapa itu mampu membuat Sera setidaknya tersenyum dan menghentikan tangisnya.

Tiba-tiba Jong In melangkah mundur karena Sera mendorong dadanya hingga pelukan keduanya terlepas. “Ayo pulang.”

“Huh?” Jong In menatap Sera bingung. Gadis itu akhirnya memang menghapus air matanya. Tapi apa maksudnya ‘ayo pulang’?

Sera menggamit lengan Sehun dengan tangannya sendiri yang terlihat sedikit gemetar. “Aku mau kau membatalkan penerbanganmu ke Jepang sore ini. Kumohon..”

Jong In terlihat bingung. Tapi ia mengangguk. “Baiklah. Tapi..”

“Tapi?”

“Tapi aku tidak berangkat ke Jepang hari ini..”

Kali ini Sera yang terlihat bingung. “Tapi Appa mendengar dari Kim Ahjussi kalau kau sedang di bandara, menunggu penerbangan pukul empat.”

“Memang.”

“Lalu?” Sera semakin dibuat tak mengerti. Apakah ia terlalu lama mengurung diri di kamar sampai ia berubah linglung?

Jong In menatap jam tangannya sekilas. “Aku menunggu appa yang nanti pulang setelah menjenguk Joonmyeon hyung. Di jadwal, pesawatnya akan landing jam empat.”

“Jadi bukan kau yang pergi?”

Jong In menggeleng.

“Tapi bukankah penerbanganmu tanggal empat belas? Hari ini?” Sera mencoba mengingat. “Kalender di rumahku bertanggal empat belas..”

Mendengar itu lantas Jong In tertawa geli. Ia meletakkan tangannya di kedua bahu Sera. “Sera, sekarang masih tanggal dua belas. Cek ponselmu.”

Sera masih terlihat kesulitan memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Namun ia menurut dan membuka kunci ponselnya. Jong In benar. Ini dua belas Juni.

“Sekalut itukah kau sampai tidak sempat mengecek tanggal di ponselmu lebih dulu?” Tanya Jong In sambil berusaha keras menahan tawanya.

Sera memijat pelipis. Ia yakin sekali kalender tadi adalah ulah Sehun. Jika nanti ia pulang, ia sungguh akan merebus kakaknya itu hidup-hidup.

Namun yang dikatakan Jong In memang benar. Dirinya tadi benar-benar takut Jong In sudah pergi dan meninggalkannya lebih dulu.

Ia mendongak menatap Jong In.

“Aku hanya takut kau pergi.”

“Mulai sekarang tidak akan pernah. Aku janji.” Jong In mengulurkan jari kelingkingnya. Sera tertawa dan menyambutnya.

“Berjanjilah kau tak akan pernah berahasia lagi padaku. Dan berhentilah menutup diri pada sekitarmu. Asal kau tahu saja, ayahmu dan Suho oppa sudah berusaha keras membuatmu bahagia. Kau tidak boleh bersikap seperti dulu lagi..”

Jong In tersenyum. Ia kembali meraih Sera kedalam pelukannya. Tangannya refleks mengusap rambut panjang gadis itu. “Aku tahu, aku tahu..” Ujarnya sembari tertawa.

***

Hari itu mungkin adalah hari terpanjang dalam hidup Sera maupun Jong In. Setelah menyelesaikan semuanya dengan Jong In, Sera menemani namja itu di bandara untuk menjemput Tuan Kim dan Suho.

Ya, setelah melalui perdebatan yang panjang dengan isterinya, Tuan Kim akhirnya membatalkan studi Suho di Harvard. Sama seperti Jong In, Tuan Kim ingin agar anak-anaknya memilih hidup mereka sendiri. Dengan adanya keputusan itu, maka bulan depan Suho akan memulai semuanya dari awal. Ia akan menlanjutkan studinya di Seoul Institute of Art guna mendalami seni vokal dan musik. Sementara Jong In menjadi freelancer di perusahaan desain grafis untuk membiayai sendiri kuliahnya tahun depan, Sera akhirnya juga memilih sendiri jalannya dengan menjadi pengajar tari untuk anak-anak sekolah dasar dan remaja tingkat atas.

Adakalanya pengorbanan memang dibutuhkan untuk segala sesuatu yang kita inginkan. Adakalanya kegagalan bukan akhir dari segalanya, melainkan awal dari semua perjalanan. Adakalanya kegagalan tidak selalu memberimu air mata dan kesedihan, namun juga semangat dan kemauan untuk bertahan. Adakalanya ketulusan tidak selalu tersirat dalam sikap dan gurat ekspresi wajah.

Dan adakalanya cinta tak selamanya diperlihatkan dengan seikat mawar dan sajak-sajak puitis.

Jong In tahu persis cintanya tak seindah seperti yang diceritakan di dongeng pengantar tidur, dimana pangeran selalu menjadi ksatria untuk sang putri.

Tapi berakhir bahagia selamanya menurutnya sudah merupakan penutup kisah yang sempurna.

Toh sang putri sudah mengerti, bahwa pangerannya mencintainya dengan cara yang berbeda.

END

Epilog

.

Sera sepenuhnya benar mengenai perkiraannya tentang oknum dibalik penipuan kalender.

Tentu saja. Siapa lagi kalau bukan Oh Sehun?

“Kalau tidak begitu aku yakin kalian tidak akan bisa bersama sampai akhir. Katakan terimakasih apa susahnya ‘sih..”

Itu jawaban Sehun ketika Sera mengintrogasinya sepulang dari bandara. Jong In baru menyusul setelah mengantar appa dan hyungnya pulang kerumah. Lagipula rumah mereka bertetangga.

Sera mendecak menatap Sehun yang masih berkacak pinggang dengan bibir mengerucut sok imut lantaran tak ada satupun dari Sera dan Jong In yang mengatakan terimakasih padanya.

Menurut Jong In, harusnya buku itu diberikan pada Sera setelah keberangkatannya ke Jepang. Bukan malah sebelumnya.

Sera juga tidak tahu kapan Sehun merobek lembar tanggal dua belas dan tiga belas di kalender. Terkadang Sera lupa bahwa saat ini kakaknya itu tengah menggeluti sekolah akting.

“Tapi Jong In, aku tidak tahu kalau kau bisa seromantis itu pada adikku. Tidak seperti di sekolah menengah pertama dulu..”

Kalimat Sehun itu sukses membuat Jong In tersedak minumannya.

“Memang kenapa dengan waktu itu?” Tanya Sera penasaran.

Sehun menjentikkan jarinya. Ia berbalik dan mengeluarkan sesuatu dari balik bantal sofa. “Ini. Ini adalah surat cinta yang dibuat Jong In untukmu semenjak di sekolah menengah pertama.” Ujar Sehun sambil memperlihatkan sekantung penuh berisi surat.

Jong In melempar senyum manis pada Sera. Entah darimana Sehun bisa mendapatkan semua aib memalukan itu.“Ehm, sebentar. Aku ada urusan penting dengan kakakmu. YAA! OH SEHUN! KEMARI KAU!!”

Pada detik berikutnya terjadi kejar-kejaran seru antara Sehun dan Jong In. Sera hanya tertawa melihat kelakuan dua orang bodoh yang amat disayanginya itu. Tangannya meraih sebuah surat yang sepertinya sengaja dijatuhkan oleh Sehun.

Dan hari itu diakhiri dengan Sera yang sakit perut karena tertawa terbahak-bahak membaca kalimat pujangga ala anak SMP di surat cinta milik Jong In.

***

Halo! Hai! Annyeonghaseyo! Ohayou~

Ini percobaan pertama kirim fanfic untuk jadi cerita freelancer. Sebenarnya cerita ini sudah pernah dipost di wordpress teman dengan judul yang sama. Tapi mungkin yang satu ini versi remake dengan sedikit perubahan. Semoga ceritanya tidak mengecewakan ^^

Maaf juga karena sepertinya length cerita ini agak berlebihan untuk ukuran sebuah fanfiction oneshoot. Tak apa, yang penting langsung selesai (?) ahaha.

Disini author samasekali tidak memiliki twitter karena sepertinya ter-hack,  dan juga wp/blog pribadi *payah* jadi mungkin agak sulit untuk dikontak (aih, terlalu percaya diri). Tapi untuk yang berminat dan masih sudi (?) bisa via ask.fm saja biar aman, https://ask.fm/nialestari_

J Yang penting dengan maksud baik dan tanpa pertanyaan spam J

Untuk via email/akun facebook, mari menyusul di kemudian hari ahaha *plak*

Sekali lagi terimakasih. Jadilah readers yang baik dan tinggalkan jejak di kolom review J Gamsahamnidaaa~

(And thankyou for saykoreanfanfiction dengan kumpulan fanfict lainnya yang gres sekali J )

Filed under: fluff, romance Tagged: Jongin, kim joonmyeon, Sehun

Show more