2015-08-06



Silent 13

Author : Rizki Amalia

Cast : Lee Donghae (SJ)

Lee Hyukjae (SJ)

Cho Kyuhyun (SJ)

Kim Hana (OC)

Choi Siwon (SJ)

Sandara Lee (OC)

Genre ; Romance, family, friendship

Rate : pg-15

Disclaimer : FF ini asli karyaku. Kalau pernah membacanya diblog lain, itu benar karena sudah pernah dipost diblogku sendiri. Hope u like it! Happy reading!!

***Silent-chapter13***

Hyukjae menggembungkan pipi lantas meniupkan udaranya. Inilah saat-saat yang paling dinantikannya sejak kemarin selain bertemu Hana. Momen menegangkan inilah satu-satunya hal yang bisa membuatnya tidak tidur. Tapi ia yakin seribu persen usahanya akan berhasil dan berjalan sesuai rencana. Ia percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin terjadi. Dan sebuah batu paling keras di dunia pun bisa terkikis juga asal terus disirami air.

Kini ia sudah berdiri di depan pintu rumah Hana, menyiapkan diri untuk menekan bel. Setelah berhasil, pintu terbuka dan seorang pelayan mempersilahkannya masuk. Seperti yang diperkirakan, orang tua Hana ada di rumah dan harusnya Hana pun ada.

“Selamat malam, Paman, Bibi,” sapanya dengan sangat sopan pada orang tua Hana yang kebetulan tengah duduk sambil meminum teh. Tampak alis Kim Yun Jae mengerut seolah ia adalah tamu yang tidak diharapkan.

“Hana belum pulang.”

Mungkin itu bukan sambutan yang ia inginkan untuk didengar. Tapi bukan itu tujuan utama ia kemari. Mencari Hana berada dalam urutan kedua untuk hal yang ingin ia lakukan disini. Kalau tak di rumah, ia bisa mencarinya di tempat lain. Hana tak punya tempat yang sering dikunjungi. Jadi kemungkinannya adalah ia sedang bersama Elie. Setelah itu, barulah ia membawa Hana ke lokasi kejutan.

“Aku ingin bertemu dengan Paman dan Bibi.”

“Oh, aku harus istirahat.”

Rasanya ada jarum kecil yang ditusukkan ke dadanya ketika Ibu Hana seenaknya pergi dan naik ke kamar. Tinggalah ia dan Kim Yun Jae di ruang tamu.

“Aku boleh duduk?” tanyanya hati-hati. Kim Yun Jae tidak mengangguk atau menggeleng. Jadi ia anggap itu sebagai persetujuan.

Perlahan-lahan ia mengambil tempat tepat dihadapan Kim Yun Jae. Sebelum kembali buka mulut, ia sempatkan memandang ruangan tak begitu luas yang harusnya bisa membuat nyaman itu. Nuansa minimalis tapi berkelas ini dengan sangat pasti bisa membuatnya betah. Sayangnya, satu-satunya alasan kenapa ia masih akan berlama-lama disini adalah hal yang akan ia sampaikan, bukan karena hal lain.

“Aku baru tiba dari New York kemarin malam,” katanya sebagai permulaan. Kim Yun Jae tak memperlihatkan ekspresi ketertarikan, tapi itu tidak mempengaruhinya untuk tidak terus bicara. “Ada sebuah kompetisi besar disana. Kami dikumpulkan dari berbagai belahan dunia untuk suatu tujuan, menyajikan hiburan berkualitas dan memperlihatkan kreasi kami. Tidak pernah kusangka aku terpilih sebagai pemenangnya. Bukan sekedar trofi yang bisa ku perlihatkan pada orang, aku juga mendapat kesempatan untuk tampil di sebuah film tentang tari yang akan diproduksi tahun depan. Aku akan bekerja sama dengan orang-orang ternama. Aku akan-“

“Kau kemari hanya untuk bilang kau akan main film dan kau pikir aku bisa menerimamu untuk mengencani anakku?”

Hyukjae tersenyum tulus karena jawaban itu sudah ia perkirakan. “Bukan itu intinya.”

Untuk pertama kali sejak beberapa menit tadi, Kim Yun Jae menurunkan buku bacaannya dan menatap matanya.

“Aku kemari untuk memperlihatkan pada anda tentang apa yang aku sukai dan bagaimana hal itu memiliki kegunaan. Apapun jenisnya, sekalipun ini adalah hal yang anda pandang sebelah mata, tetap punya sisi positif dan bisa membuatku berdiri, membuatku dianggap oleh orang lain. Banyak hal yang kupejalari disana. Kami bukan sekedar kumpulan orang yang suka menari, kami melakukan pertunjukan hiburan untuk anak jalanan, kami mengumpulkan mereka, mengajari mereka. Lalu pertunjukan selanjutnya kami menyumbangkan seluruh hasil penjualan tiket untuk anak-anak tersebut. Aku juga sudah belajar tentang sekolah-sekolah seni yang ada disana. Jadi, segala bentuk tindakan yang dilakukan dengan niat baik pasti akan menghasilkan sesuatu yang baik pula.”

Kim Yun Jae tampak malas mendengarkan lebih lama. Ia hirup tehnya, berlagak tengah membersihkan serpihan debu dicelananya.

“Anda hampir benar, sehebat apapun mimpiku ini, mungkin tidak akan membuatku tampak setara dengan anda. Akupun sudah berpikir tidak mungkin selamanya aku menggantungkan hidup pada titik itu. Mungkin suatu saat aku akan bekerja di sebuah kantor surat kabar, menjadi penulis atau editornya. Atau mungkin aku akan menulis buku. Tapi mimpiku untuk menghibur orang dengan gerakanku, untuk menyatukan anak-anak yang menyukai seni, membuat tari menjadi pertunjukan utama, tidak akan luntur. Dan aku beruntung karena orang tuaku sangat mendukung.”

Pria dihadapannya itu tersenyum meledek. “Kau mau bilang kalau Hana tidak beruntung karena punya orang tua yang tidak mendukung mimpinya?”

Hyukjae menarik nafas untuk kesekian kalinya. Sepertinya belum ada satu kata pun yang bisa menyentuh hati Ayah Hana. “Aku tidak bilang begitu. Tapi aku harap hati anda terketuk dan bisa melihat bahwa dunia yang kami pilih adalah sesuatu yang benar. Apa salahnya? Kami tidak melakukan suatu dosa. Niat kami baik. Tidak akan ada pihak yang dirugikan karena-“

“Jelas orang tua seperti aku yang akan dirugikan oleh kalian.”

Hyukjae tak paham.

“Aku punya alasan yang tak perlu kuceritakan pada anak muda bodoh sepertimu. Yang perlu kau tahu, akubenci kehidupan seperti itu. Aku ingin anakku menuruti pilihanku, ia akan menjadi pengurus perusahaanku bersama suaminya kelak. Aku tak butuh siapapun untuk menghibur. Aku bisa saja memanggil artis manapun untuk datang dan menari-nari seperti badut kalau hanya untuk membuatku tertawa.”

Kim Yun Jae berdiri dari duduknya lalu menatap keadaan taman belakang rumahnya melalui jendela. “Carilah gadis lain. Hana takkan pernah ku ijinkan untuk memilihmu. Dia sudah punya masa depan yang kusiapkan dengan matang. Dan dia tidak akan pernah menari lagi.”

Hyukjae ikut berdiri. Kalau tidak mengingat Hana, ia mungkin sudah meledak-ledak. “Sebenarnya apa masalah anda? Apakah aku terlihat begitu menyedihkan untuk bersanding dengan Hana?”

Dengan cepat Kim Yun Jae membalik badan dan menatap tajam Hyukjae. “Sudah ku bilang kau tidak perlu tahu. Pilihannya adalah, lepaskan mimpimu itu, paksa Hana untuk berhenti juga dan silahkan kau ambil dia. Kalau kau tetap teguh pada pendirianmu, kau bahkan tidak akan sempat mengatakan selamat tinggal padanya.”

Hyukjae merasa seluruh persendiannya lemah. Lantai tempat ia berdiri runtuh hingga membawanya ke titik paling dalam bagian bumi. Ia bercampur dengan tanah, seakan-akan ia begitu rendah dan tidak bisa menggapai apa-apa yang ada di atas sana.

“Tidak ada pilihan lain?” tanyanya pasrah. Kim Yun Jae mengangkat bahu penuh kemenangan.

“Kumohon….” Hyukjae berusaha menenangkan dirinya dari letupan emosi. Ia harus tenang, tenang, berpikir dan coba lagi. “Tak bisakah anda melihatku sebagai seseorang yang mencintai putri anda? Seseorang yang juga sangat dicintai putri anda?”

Kim Yun Jae berjalan menghampiri Hyukjae lantas menepuk bahunya. “Cinta tidak akan cukup dalam membangun sebuah hubungan. Aku hidup lebih dari setengah abad dan kau mungkin akan melakukan hal yang sama ketika sudah seusiaku.”

Hyukjae tersenyum sinis. “Mungkin iya,” sahutnya. Tapi jujur, ia tidak berminat untuk menjadi kembaran Kim Yun Jae kalau sudah tua nanti. “Jika aku sudah tidak waras.”

Pembicaraan ini tampak takkan meredup. Masing-masing masih mempertahankan prinsipnya. Hyukjae belum mau kalah dan mulai tersulut emosinya, sedangkan Kim Yun Jae tidak begitu saja mau melepas anaknya.

“Hyukjae, ku akui kau cukup membuatku kagum. Kau sangat berani kemari dan berhadapan denganku. Tapi keberanian pun tidak cukup. Kau butuh lebih dari itu.”

“Ini tak adil.”

Kim Yun Jae tertawa hambar sambil memutari tubuh Hyukjae. Sejenak hanya keheningan yang ada. Tak ada suara.

“Hidup memang tak adil, anak muda. Kalau adil, gereja tidak akan penuh setiap harinya karena begitu banyak yang menangis meratapi jalan hidupnya.” Ia terus berputar lalu berhenti dibelakang Hyukjae. “Dengar. Menurutku kau terlalu percaya diri datang kemari. Kau tahu aku benci perubahan dan sampai kapanpun tidak akan ada yang berubah. Garis keturunan keluarga kami tidak akan membuka pintu untuk orang luar yang tidak bisa seperti kami. Aku ingin perusahaan keluarga berjalan dan dipimpin secara bergilir oleh keturunan selanjutnya.”

Tanpa sadar Hyukjae sudah mengepalkan kedua tangannya. Matanya terpejam dan berharap kesabarannya masih ada. Tapi tak ada yang tersisa. Ia tak tahan menghadapi dengan tenang lagi. Beginikah yang dirasakan Donghae dan kekasihnya sendiri ketika apa yang dinginkan ditolak mentah-mentah?

“Menyerahlah.”

Ia pikir, bagaimanapun juga tidak diperkenankan bagi seorang anak melawan kehendak orang tua. Kecuali kau punya alasan sangat kuat dan masuk akal kalau pemikiran orang tuamu salah. Begitu juga dengan Donghae. Ia yakin pilihan Ayahnya itu bukan suatu masalah. Jadi ia ikut mengotot bahkan memaksa agar Donghae mau saja melanjutkan kuliah meski sebenarnya Donghae sangat ingin ikut kursus memasak setiap hari.

“Berhenti karena dunia kalian berbeda.”

Alasan bodoh! Ia tak percaya itu. Hanya karena ia penggila seni ia punya hak untuk ditolak? Itu alasan paling tolol sekalipun ini menyangkut prinsip hidup!

Ia buka mata, menatap Kim Yun Jae dengan tajam. Ia tidak bisa menahannya lagi. Kesabarannya habis disini. Keyakinan yang ia pegang tak berlaku pada pria ini. “Aku rasa orang-orang seperti anda hanyalah orang sok tahu yang merasa bisa membahagiakan anaknya. Orang tua yang tidak bisa mengerti keinginan anaknya. Hanya orang tua yang ingin menjadikan anaknya sebagai robot yang selalu tunduk. Tidak berpikir apakah anaknya masih bisa tertawa dengan ulah anda. Membuat anaknya menjadi mesin bernafas dan tidak bisa me-“

PLAK

Dan tangan Kim Yun Jae baru saja hinggap di pipinya. Rasanya panas, sepanas hatinya saat ini. Oh, jadi ini cara seseorang yang katanya terpelajar jika sedang tersinggung?

Perlahan-lahan ia kembali menatap pria itu. “Dan pada akhirnya anda hanya bisa menggunakan tangan anda untuk menghentikan ucapan anak muda bodoh sepertiku yang kebetulan berkata benar.”

“Pergi!”

Hyukjae tersenyum pahit. Belum mau pergi tanpa menyelesaikan apa yang ia pendam sejak tadi. “Jika hidup hanya soal bagaimana menghasilkan uang sebanyak-banyaknya, dan bagaimana cara agar terlihat tinggi dimata orang, maka aku akan tunduk pada anda. Tapi sayang, aku dan anak anda bukan orang seperti itu. Aku…dan Hana….akan terus maju.”

Tak ingin berkata apa-apa lagi, ia segera berbalik dan melangkah perlahan menuju pintu. Ia baru tahu rasanya, ia baru benar-benar paham bagaimana menyakitkannya ditentang oleh orang tua.

“Aku juga ingin memberitahumu satu hal.” Suara Kim Yun Jae masih terdengar sebelum ia tiba didepan pintu.

“Beberapa hari lalu Hana mengajak laki-laki lain kemari. Aku rasa dia lebih pantas untuk anakku.”

Hyukjae meremas dadanya. Pria itu pasti hanya membual. Ia tidak boleh kalah. Maka ia berbalik dengan gaya seorang pria yang tidak takut apa-apa. “Benarkah? Kalau begitu katakan pada pria yang lebih pantas itu kalau aku akan merebutnya.”

**

Donghae mengidap amnesia sesaat. Lupa siapa dirinya dan lupa siapa Hana. Yang ia tahu, mereka adalah sepasang kekasih yang sedang menghabiskan sore hingga malam hari ini hanya berdua. Seperti pasangan muda yang tengah mabuk asmara, Donghae tak mau melepaskan tangan Hana –kecuali dalam beberapa situasi genting semacam panggilan alam. Hana pun berlakon selayaknya kekasih yang baik. Ia memainkan perannya tidak setengah-setengah dan tidak membuat Donghae kecewa. Seindah bulan di puncak musim gugur malam ini, ‘kencan’ mereka semakin sempurna.

“Sudah saatnya.”

Tapi Donghae tahu, pada akhirnya ia harus keluar dari mimpi dan menghadapi kenyataan. Tangan Hana akan terlepas sebentar lagi. Tinggal menunggu menit atau bahkan detik, Hana bukan lagi miliknya.

“Kau tahu apa yang biasa dilakukan sepasang kekasih sebelum mereka berpamitan pulang?”

Hana memainkan bola matanya seolah-olah sedang berpikir. “Hm, entahlah.”

Donghae pun menyunggingkan senyum terbaiknya, tidak mau melepas tangan Hana lalu maju satu langkah. “Jangan bergerak.”

Ia sungguh tidak ingin segera menuntaskan sandiwara ini. Tapi ia sudah berjanji dan terlalu banyak meminta meski Hana tak punya kewajiban untuk memenuhinya.

Jadi malam ini harus ditutup dengan sewajarnya. Dan yang ia tahu, inilah yang harus ia lakukan. Meski Hana tampak belum siap, ia tidak memberinya kesempatan untuk lari.

“Donghae…..”

“Pejamkan matamu.”

Semuanya terjadi begitu saja. Donghae kembali mengecup bibir ‘kekasihnya’ itu cukup lama. Membenamkan dirinya dalam lingkaran yang sebenarnya tak boleh ia masuki. Tapi akal sehatnya sudah tak tahu ada dimana. Salah dan benar jadi tidak terlihat bedanya hingga perasaan egoisnya menguasai. Ia tiba-tiba lupa cara untuk berhenti. Masih ingin tenggelam bersama kenikmatan yang ia buat sendiri.

Lembut menyapa bibirnya. Hangat terasa disekujur tubuhnya. Ia terlalu gila dan tidak bisa mengendalikan diri. Hingga menyadari bahwa ia hanya merasakannya seorang diri, ia temukan cara untuk tidak melanjutkannya.

“Hana….”

Dilihatnya Hana masih memejamkan mata dengan dua tetes air mata mengalir pelan melalui sudut matanya. Ia telah menyakiti ‘kekasihnya’. Hana menangis karena ulahnya.

“Hana, maafkan aku.” Segera kedua tangannya mengunci wajah Hana, menatapnya dalam-dalam dan sungguh-sungguh meminta maaf. Ia tidak akan pernah sanggup melihat ada lagi air mata dari gadis itu.

“Tolong, akhiri semuanya.” Hana meminta dengan sangat. Donghae tak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan seluruh kontak antara mereka selesai pada titik ini. Hana mundur, mengusap air matanya lalu tersenyum. “Aku harap kau segera mendapatkannya.” Kemudian ia masuk ke dalam mobil dan pergi.

Berakhir sudah. Ia merasa ditarik ke belakang, ditampar lalu diminta membuka mata lebih lebar. Dan yang dilihatnya pun berubah. Kenangan-kenangan singkat yang ia buat bersama Hana berputar-putar lalu menghilang. Perlahan-lahan senyumnya memudar. Kehangatan yang sejak sore menggelayutinya luntur. Kenyamanan yang tadi ia genggam tak lagi terasa. Indahnya hari ini tak tampak lagi. Ia sudah kembali ke dunia nyata. Hana bukan kekasihnya melainkan kekasih sahabatnya. Dan kencan itu sudah menutup buku.

Ini adalah satu titik dimana ia tak merasa punya siapa-siapa. Sekalipun itu adalah pikiran paling konyol bagi seorang lelaki, nyatanya ia merasa sendiri. Karena disaat seperti ini, tidak akan ada satu orangpun yang akan sekedar menepuk bahunya dan tersenyum padanya.

Setelah beberapa detik ia habiskan dengan menatap mobil Hana yang sebenarnya sudah tak ada, suara tepukan tangan terdengar dibalik tubuhnya, diikuti suara seseorang.“Luar biasa.”

Dan Ia kenal suara itu!

“Kau sungguh aktor yang hebat.”

Dengan satu gerakan cepat ia berbalik dan dengan cepat pula sebuah pukulan ia terima.

BUG

“Brengsek!”

Ia terjatuh. Rahangnya seakan bergeser saking kuatnya pukulan itu. Dia Hyukjae! Hyukjae yang memukulnya.

“Aku percaya padamu, brengsek!”

Donghae pasrah saat Hyukjae menarik kerah bajunya, mendekatkan wajah mereka yang berbeda bentuk. Ia sudah babak belur.

“Jadi ini yang kau lakukan selama aku tidak ada? Merebut Hana?”

BUG

Tak ada kesempatan bagi Donghae untuk membela diri. Hingga berkali-kali ia tersungkur, bangkit lagi, jatuh kembali, tak ada satu patah katapun yang ia katakan.

“Aku mempercayaimu!”

BUG

Donghae pasrah. Ia tak menghitung sudah berapa kali Hyukjae memukulnya. Sakit diwajahnya sampai tak lagi terasa. Ditambah dengan kacamatanya yang jatuh entah dimana, ia tak begitu dapat melihat wajah Hyukjae.

“KAU-”

Meski pandangannya mulai berantakan, ia masih bisa melihat bayangan Hyukjae yang siap mengangkat tangan dan memukulnya lagi. Tapi pada akhirnya tangan itu hanya memukul udara lantas didengarnya Hyukjae berteriak, “Argh!!!”

“Kau mencintainya! Kau mencintainya!” Tubuhnya dihempas sangat kuat sampai punggungnya nyeri. “Kau mencintainya dan kau berbohong padaku!”

Donghae hanya diam mendengarkan semuanya. Meringkuk sambil memegangi perut.

“Kau pembohong!”

Mungkin benar ia adalah pembohong, tapi ia tahu apa yang ada dipikiran Hyukjae tidak seluruhnya benar. Ia tidak sepicik itu dengan menghianati sahabat sendiri.

Sekarang, penghilatannya benar-benar tidak jelas, tenaganya hampir tidak ada untuk sekedar mengangkat kepala. Namun, ditengah sisa kesadarannya ia berusaha mengatakan sesuatu.

“Aku memang mencintainya.”

Ia masih tak mendengar apa-apa dari Hyukjae.

“Aku sangat mencintainya. Tapi aku hanya bisa diam memperhatikannya, menekan dadaku melihatnya bersamamu.”

Ia mengambil rehat sejenak sambil mengumpulkan kekuatan untuk bangun. Dengan tertatih dan beberapa kali mengaduh, ia hanya bisa duduk dan menyandarkan tubuhnya. Dari posisinya, dapat ia lihat siluet tubuh Hyukjae yang berdiri tak jauh darinya.

“Sedikitpun aku tidak pernah punya niat untuk merebutnya. Tapi kau tahu satu hal?” Masih dengan menahan sakit disekujur tubuhnya, ia tersenyum. “Menjauhinya tak semudah yang kubayangkan. Sekalipun aku sudah berjanji pada diri sendiri, nyatanya aku tidak bisa melupakannya. Begitu aku punya kesempatan untuk mengatakannya, aku candu. Aku tidak bisa melepasnya begitu saja.”

“DIAM KAU!”

Donghae tersenyum lagi. Senyum yang perlahan-lahan berubah jadi tawa. Tawa yang terasa pilu. Lalu Ia pukul dadanya, ia pukul juga aspal, memukul pagar rumah orang dibelakangnya. “Aku ingin memilikinya.”

Dilihatnya Hyukjae menjauh, mungkin enggan mendengar yang lebih dari ini. Tapi ia masih punya satu hal penting yang belum disampaikan. Ia berteriak, “TAPI HANA HANYA MENCINTAIMU. DIA HANYA MELIHATMU!”

Hyukjae bergeming. Kakinya tertahan untuk melangkah dan hanya diam.

“Dia memilihmu, bukan aku.”

Ia tidak yakin apakah dalam keadaan seperti ini Hyukjae mau mendengarnya, bisa tahu situasi sebenarnya, atau mungkin berbalik dan menolongnya. Ia tidak tahu. Tapi setelah beberapa menit mereka tak saling bicara, Hyukjae tak juga mendekatinya, ia hanya bisa pasrah ketika Hyukjae justru segera masuk ke dalam mobil dan pergi.

Sekarang tak perlu diragukan lagi, ia memang seorang diri. Keluarga, kawan, apalagi kekasih. Semuanya pergi.

***

“Aku tidak menyukainya.”

“Jika hanya untuk main-main, sebaiknya bukan dia orangnya.”

“Aku janji akan menjaga Hana selama kau tidak ada.”

“Menyerahlah.”

“Berhenti karena dunia kalian berbeda.”

“Beberapa hari lalu Hana membawa pria lain kemari. Aku rasa dia lebih pantas untuk anakku.”

“Brengsek!” Hyukjae memukul stir mobilnya dengan sangat keras. Ia pukul berkali-kali hingga tangannya memerah. Tapi percuma saja, dadanya masih panas dan untuk saat ini tidak ada apapun yang bisa memadamkan apinya. Ia marah. Ia kecewa. Ia merasa dibodohi. Dan sialnya oleh sahabat sendiri dan juga kekasihnya.

Ia sudah cukup sakit hati setelah bertemu dengan Kim Yun Jae. Ia kira semuanya akan kembali membaik begitu ia menemui Hana di rumah Elie dan berhasil membawanya ke kampus untuk kejutan yang sudah disiapkan. Tapi bukannya Hana yang terkejut, justru ia yang dibuat nyaris terkena serangan jantung. Hana tak ada di rumah Elie. Ia hubungi handphonenya tidak aktif. Lebih mengejutkan lagi waktu Elie mengatakan bahwa kemungkinan Hana tengah bersama Donghae karena hari ini Donghae pulang dari rumah sakit. Hingga mengalirlah cerita Elie soal musibah kebakaran itu.

Dan tebakan itu memang benar. Ia tiba lebih dulu hingga bisa melihat semuanya. Meski ia tak dengar. Tapi penglihatannya tidak mungkin salah. Ia lihat dengan sangat jelas apa yang dilakukan dua orang itu. Jadi itu yang ditafsirkan sebagai tindakan menjaga oleh Donghae?

Ia benci dirinya sendiri. Ia benci keadaan sialan ini. Ia benci pada semua yang terjadi hari ini.

Harusnya saat ini ia dan Hana sudah berdiri menatap kejutan yang ia siapkan. Harusnya malam ini jadi ajang mereka melepas rindu dan merayakannya. Dan harusnya….ia bukan diperlihatkan tontonan menarik seperti tadi.

“Argh!”

Ia injak rem. Gerbang kampusnya sudah terlihat dan ia kembali menyalakan mobil. Dengan kecepatan tinggi ia memasuki halaman parkir -tak perduli apa saja yang sudah ia tabrak.

Tak perlu menunggu lama, dengan mendaki satu persatu tangga darurat ia sampai pada atap gedung fakultas hukum di kampusnya. Ia hambur apapun yang sebelumnya tersaji diatas meja. Gelas berisi anggur, makanan lezat, lilin, taplak mejanya, semuanya kini tumpah dan hancur di lantai. Terakhir, ia hantam lantai dengan sekuat tenaga hingga tangannya memerah.

“Kim Hana, apa yang sedang kau lakukan saat ini?”

Ia berbalik menatap layar proyektor yang kini memperlihatkan hasil rekamannya selama hampir satu bulan di negeri orang. Dimulai dari kegiatannya dipagi hari sampai hal besar seperti jalannya kompetisi. Nyaris tak ada bagian yang ia lewatkan.

“Hana, apa kau sudah sarapan? Lihat! Aku hanya bisa membuat roti isi selai strawberry. Andai saja Donghae disini.”

Nama itu…ia benci mendengar nama itu!

“Perkenalkan, namanya George, dia teman sekamarku disini.”

“Kau lihat? Inilah tempat dimana kompetisi diselenggarakan nanti. Hoah!!! Tempat duduknya sangat banyak. Ini salah satu tempat yang sering digunakan artis terkenal untuk konser, termasuk Michael Jackson.”

“Hari ini adalah babak kedua. Doakan aku berhasil, ya!”

Video berdurasi 45 menit itu menampilkan banyak kegiatannya. Semua sudah ia rekam dan akan diperlihatkan pada Hana sebagai ganti hilangnya kontak antara mereka selama ini. Ia pikir ini akan menyenangkan ketika berhasil membuat Hana marah dan tertawa bersamaan.

Ada banyak hal yang ingin ditunjukannya pada Hana. Bagaimana ia dan peserta kompetisi menari untuk anak-anak jalanan, bagaimana mereka membuat suatu pertunjukan amal, mereka berkeliling ke tempat wisata. Bagaimana ceritanya ia masuk ke wahana rumah hantu lalu memaksa untuk membeli patung tengkorak raksasa yang ada di pintu masuk. Dan puncaknya ketika ia di nobatkan sebagai pemenang.

“Kim Hana, lihatlah ke bawah.”

Hyukjae terduduk di lantai. Ia bisa dengar musik mulai mengalun dari bawah sana. Ia tahu apa yang sedang terjadi. 60 orang teman-temannya bergabung dan merealisasikan apa yang seminggu ini mereka lakukan setiap malam. Lagu itu, tarian itu, lampu merah itu, dan kata cinta itu hanya berlalu tanpa penonton. Bayangannya yang semula indahpun sudah lenyap. Ia sudah lupa seperti apa harusnya kejutan itu terlihat. Meski sebelumnya ia sudah punya angan-angan tentang itu, kini ia tak ingat. Yang diingat hanya apa yang baru saja ia alami. Kim Yun Jae, Hana, dan Donghae.

Kejutannya sempurna. Ia sangat-sangat terkejut.

***

“Dia belum masuk kerja? Aku pikir kemarin dia sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit.”

Dara menatap Yesung dengan ragu. Yesung hanya menggeleng-geleng tanda bahwa ia berkata benar. Ia tidak tahu apa-apa. Handphone Donghae tidak bisa dihubungi. Dan memang sejak pagi ia tidak melihat batang hidung Donghae. Mungkin masih sakit.

Sebenarnya, kemarin Dara sudah ingin menjemput Donghae di rumah sakit kalau saja ia tak kalah cepat dengan gadis itu. Ia tidak mau mengingat namanya. Yang jelas, baru juga ia parkir mobil, gadis yang membuat Donghae mabuk itu sudah berjalan masuk. Tak lama gadis itu sudah keluar bersama Donghae.

“Ayah sudah bicara denganmu?”

Dara nyaris memekik saking kagetnya. Ia tak tahu sudah berapa lama Siwon berdiri di belakangnya.

“Aneh, dua kali kau terkejut mendengar suaraku. Bukankah biasanya kau sangat tahu keberadaanku sekalipun tak terlihat?”

Ini pertanyaan yang tak ia ketahui jawabannya. Tapi kalau ingin dijawab rasanya itu berlebihan. Ia hanya terkejut karena memikirkan orang lain. Hanya itu.

“Tidak apa-apa. Jadi apa yang tadi kau tanyakan?”

Mereka bicara sambil berjalan dari lorong dapur menuju ruangan depan. Siwon tak langsung menjawabnya. Pria itu tampak mengeluh dengan ekspresi kalau ia kecewa lagi karena ternyata Hana tak mendengarnya. Tapi seperti biasa, ia akan tersenyum dan bertanya sekali lagi dengan pelan, “Apa Ayah sudah bicara denganmu?”

Dara menaikkan alisnya. “Tentang apa?”

“Tentang pernikahan kita.”

Langkahnya terhenti. Pernikahan? Entah kenapa tiba-tiba kata itu terdengar asing baginya. Terasa tak wajar, seperti bukan hal sakral yang sudah mengikatnya dengan Siwon. Semalaman ia hanya memikirkan kejadian di apartemennya dan di rumah sakit. Dan tidak ada nama Siwon dalam daftar lamunan itu, juga tidak ada sedikitpun ia punya ingatan tentang pernikahan.

“Aku salah bicara?”

Dara menggeleng kemudian melanjutkan langkahnya. Hingga mereka tiba di salah satu meja dan duduk berhadapan, ia menjawab. “Maaf, aku hanya sedang tidak konsentrasi.”

“Karena terpikirkan seseorang yang tak kau lihat sejak kemarin?”

Jawaban cepat Siwon membuatnya terhentak. Ia meneguk ludah sendiri. Padahal, pertanyaan Siwon punya banyak arti. Siwon tak menyebut nama atau inisial. Hanya saja, kebetulan sekali itu sangat benar.

“Bukan itu. Aku hanya….” Ia berusaha memikirkan jawaban yang tepat. Aneh sekali. Biasanya ia begitu cekatan dalam berpikir. Untuk mengalihkan pembicaraan misalnya, atau untuk membual, ia punya bakat untuk itu.

“Aku hanya ingin bilang kalau pernikahan kita akan dipercepat.”

“A-pa?”

Siwon menindih telapak tangannya di atas meja. Belum juga ia berkata apa-apa, Siwon malah mendahului dengan memberikan berita ini. Pernikahan mereka dipercepat? Kenapa?

“Tahun depan, bulan depan, atau besok, apa bedanya? Toh, pada akhirnya kita memang akan menikah. Jadi aku pikir lebih cepat lebih baik.”

Tidak begitu. Dara cukup mengenal Siwon. Ia tahu jelek buruknya calon suaminya itu. Dan salah satu sifatnya adalah tidak suka terburu-buru. Ia suka mempertimbangkan banyal hal sebelum melangkah. Dan sebelumnya mereka sudah sepakat untuk menikah 4 bulan lagi, tepatnya pada 14 februari saat perayaan valentine. Siwon pasti punya alasan lain yang membuatnya mengubah rencana.

“Ada yang mengganggumu? Kita harus tetap pada rencana awal.”

Siwon melepas tangannya lalu membuang pandangan ke luar. Untuk kali ini, Dara tak bisa membaca apa yang sedang dipikirkan olehnya.

“Akhir-akhir ini aku dihantui ketakutan. Aku takut sekali sampai aku pikir aku tidak bisa melawannya.” Siwon menatapnya, tersenyum dengan lesung pipi yang membuatnya sangat tampan. Dara tak menampik, kalau salah satu daya pikat pria ini adalah fisik yang rupawan. Tapi untuk saat ini, ia…..

“Tapi aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan untuk menghentikannya.”

“Siwon, aku tak paham. Kau sendiri yang merencanakan semuanya. Kau sendiri yang bilang kalau jadwalmu tiga bulan ini sangat padat. Kau juga-“

“Sandara Lee!” Siwon menyebut namanya dengan sangat tegas. Ia seperti anak gadis yang tengah berhadapan dengan seorang Ayah otoriter. Ini tidak seperti Siwon yang ia kenal.

“Aku akan tetap menikahimu.”

Dara mulai kehilangan kontak dengan tubuhnya sendiri. Tadinya ia ingin menggelengkan kepala, tapi mulutnya malah bertanya, “Kapan?”

Dan jawaban Siwon membuatnya tak tahu harus melakukan apa. “Dua minggu lagi.”

***

Selama ia terlalu sibuk dengan urusan Donghae dua hari ini, ia lupa untuk menghubungi Hyukjae. Hana sampai lupa juga untuk mengabarkan padanya kalau Donghae masuk rumah sakit. Tapi kemudian ia pikir Kyuhyun pasti sudah melakukannya lebih dulu. Lagipula ia terlanjur malas melakukannya kalau ujung-ujungnya ia diacuhkan lagi. Namun, pagi ini ia dikejutkan dengan satu pesan masuk dari Hyukjae.

“Kau dimana? Kenapa tidak bisa dihubungi? Kau bersama Donghae?”

Ia baru menyalakan handphonenya. Dan pesan singkat itu cukup untuk membuat semangatnya menyala-nyala. Ia segera menekan tombol call. Mendengar nama sambung yang tak kunjung diangkat. Ia mencobanya sebanyak 7 kali, tetap tidak ada jawaban.

Yang ada dikepalanya adalah, sebenarnya ada apa dengan pria itu? Pergi dengan janji akan terus menghubunginya, menghilang cukup lama, lalu mengiriminya pesan seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

“Hana!”

Elie menubruknya. Tampak jelas itu disengaja. Dan sekarang sahabatnya itu memegang kedua bahunya, mengguncang-guncangnya sambil bertanya dengan heboh, “Bagaimana? Apakah berjalan romantis? Beritahu aku! Ceritakan padaku! Aku penasaran!”

“Apa yang kau bicarakan?”

Elie melepasnya, lalu menariknya untuk masuk ke dalam ruang kelas. “Jangan menyimpan berita baik itu sendirian. Aku mulai jengkel karena aku dengar dari beberapa gadis kalau semalam mereka sudah melakukan apa yang diminta Hyukjae. Aku tidak mengerti, saat aku bertanya malah tidak ada yang mau memberitahu. Kau tahu? Ini pertama kalinya aku tidak tahu apapun sementara orang terus membicarakannya.”

Hana tertarik mendengar nama Hyukjae dibawa – bawa. “Apa maksudmu?”

“Kim Hana! Kau sengaja ingin mengerjaiku? Katakan padaku, apa yang sudah Hyukjae lakukan semalam padamu!”

Hana tak sedang berakting. Ia betul-betul terkejut mendengarnya. Ini jelas ada hubungannya dengan pesan itu.

“Aku tidak bohong. Semalam aku bersama Dong-“ Mulutnya tertutup rapat. Sekarang ia malah mengingat kejadian semalam.

“Bersama Donghae? Aku sudah memberitahunya dan pasti dia menyusul kalian. Memangnya tidak bertemu?”

Hana membekap mulut. Hyukjae sudah pulang dan semalam menyusulnya? Lalu, apakah…..

“Kau tidak bertemu dengannya? Jadi kejutannya bagaimana? Kau juga belum tahu kalau dia sudah pulang dari New York dan bermaksud mengejutkanmu?”

Hana memakai tasnya sembarangan. Ia tinggalkan Elie dan berlari menuju aula dimana Hyukjae sering menghabiskan waktu disana. Sebenarnya ia tak mau menebak asal. Tapi kalau benar apa yang dikatakan Elie, maka kemungkinan besar Hyukjae melihatnya semalam. Melihat Donghae telah menciumnya.

Kakinya sudah lari lebih kencang dari sebelumnya. Ia sudah menaiki lift dan turun hingga lantai dasar. Sekarang tinggal berlari lagi dan tiba di depan aula.

Brak

Pintu sudah ia dorong kuat-kuat. Yang pertama dapat ia lihat hanyalah ruangan luas yang lengang. Hanya deretan kursi lipat yang disusun di pinggir. Baru setelah ia memperluas pandangannya, ia temukan seseorang ia cari itu tengah duduk memainkan bola basket di atas podium kecil.

“Lee Hyukjae!”

Derap langkahnya menggema. Dengan terengah-engah ia sudah ada dihadapan pria itu.

“Hey, playboy cap kaki monyet, apa yang sudah kau lakukan padaku?”

Hyukjae tak mengangkat muka, tidak menatapnya.

“Apa rencanamu? Kenapa kau seperti menghilang dan menghindariku?”

Hening.

Hana tak gentar. Ia tersenyum dan kembali berceloteh, “Kau benar-benar ingin kupanggang hidup-hidup set-“

Tiba-tiba saja Hyukjae berdiri lantas menyenggol bahunya. Sambil memantul-mantulkan bola basket, ia berjalan keluar.

“Hyukjae!”

Hana tidak malu kalau sekarang ia terlihat seperti gadis lain yang dulu gemar mengejar Hyukjae. Jika apa yang ada dikepalanya itu benar, maka solusinya adalah mereka harus bicara.

“Kau harus mendengarku.”

Hyukjae seperti tidak mendengar apa-apa. Hana tak tahan dan segera menarik tangannya. Dengan satu gerakan cepat ia mendaratkan ciumannya.

Persetan kalau ia tiba-tiba mempunyai nilai minus karena dengan percaya dirinya mencium Hyukjae dimuka umum. Masa bodoh kalau ia tampak memalukan. Ia tidak mau tahu. Yang ia tahu adalah hanya ini yang terlintas dikepalanya untuk menghentikan aksi bungkam Hyukjae.

“Kim Hana!”

Hyukjae mendorongnya cukup kuat. Mereka mulai bertatapan tapi dengan arti berbeda.

“Kau….kau sudah gila!”

Ya! Mungkin ia memang tidak waras. Tapi kenapa menghardiknya demikian kalau Hyukjae pun tahu apa alasannya begini? Ia bingung. Semuanya terlihat rumit. Ia rindu dan tentu ingin melepasnya dengan Hyukjae. Namun yang terjadi Hyukjae malah menjauhinya seakan-akan ia telah melakukan dosa besar. Apakah memang benar Hyukjae telah melihatnya dan Donghae semalam? Kalaupun iya, ia merasa tak pantas langsung dibenci tanpa diberi kesempatan bicara.

“Jadi kau melihatnya?” Hana berteriak lantang ketika Hyukjae sudah cukup jauh meninggalkannya. Hyukjae hanya berbalik sebentar dan berkata, “Aku melihatnya dengan penuh kesadaran. Dan aku tidak punya toleransi untuk hal itu.”

Hyukjae benar-benar pergi dan tak berbalik lagi. Hana kehilangan kata-kata dari mulutnya. Terlalu shock melihat pria itu bersikap dingin dan menghakiminya seolah-olah ia tersangka yang tidak punya apa-apa untuk membela diri.

Sekarang, satu-satunya orang yang bisa ia tanyai mungkin hanya Donghae. Mungkin saja semalam Hyukjae menemui Donghae lalu mereka terlibat pembicaraan tentang dirinya. Kalau benar lagi tebakannya, maka cara yang biasanya dilakukan laki-laki dalam keadaan seperti ini adalah….perkelahian.

Tapi belum sempat ia berjalan, seseorang sudah memegang pergelangan tangannya.

“Jangan menambah masalah.”

Ia palingkan muka. Kyuhyun sudah berdiri di sampingnya dengan tatapan seorang kakak yang kesal melihat kenalakan adiknya. Ia lepaskan pegangan itu tapi tak berhasil.

“Kau pikir dengan menemui Donghae masalahmu akan selesai?”

Geram, sekali lagi Hana berusaha melepasnya. Ia memang terbebas, tapi Kyuhyun lah yang melakukannya, bukan karena kekuatannya.

“Hyukjae sudah ceritakan semuanya padaku. Dan ia tidak sedang ingin bicara denganmu, apalagi dengan Donghae.”

Jadi benar, kalau Hyukjae melihatnya. Jadi benar, kalau Hyukjae salah mengartikan ciuman itu. Dan sekarang ia pasti merasa dikhianati.

“Aku mengenalnya. Dia hanya butuh waktu berpikir. Setelah beberapa hari aku yakin dia akan membuka telinga untuk mendengar penjelasanmu.”

Sebelum Kyuhyun berbalik dan meninggalkannya, Hana sempatkan bertanya, “Apa kau juga berpikiran sama dengan Hyukjae tentangku?”

Ia tunggu jawaban itu. Meski tak begitu berpengaruh pada apapun, ia hanya sekedar ingin tahu apakah masih ada orang yang percaya padanya.

“Aku?” Kyuhyun menunjuk dirinya. “Apa yang ditunjukan Hyukjae adalah reaksi yang sangat wajar. Tapi kalau kau tanya padaku, aku percaya padamu.”

*

*

To Be Continue

Filed under: family, friendship, romance Tagged: cho kyuhyun, Lee Donghae

Show more