2015-08-03



Silent 6

Author : Rizki Amalia

Cast : Lee Donghae (Super Junior)

Lee Hyukjae (Super Junior)

Cho Kyuhyun (Super Junior)

Kim Hana (OC)

Genre : Romance, family, brothership, friendship

Rate : PG-15

Disclaimer : FF ini asli karyaku. Kalau pernah membacanya diblog lain, itu benar karena sudah pernah dipost diblogku sendiri. Hope u like it! Happy reading!!

***

Kita tidak akan tahu sakitnya digigit semut, sebelum semut itu menggigit atau kita sendiri yang menyerahkan diri. Kita tidak bisa mengatakan tak sanggup mendaki Everest hanya karena melihat puncaknya yang menjulang menyentuh awan. Kita tidak akan tahu sensasi bermain dengan Roller Coaster sebelum menaikinya. Lalu, kalau hanya urusan mendekati Kim Hana saja Lee Donghae menganggap itu sebuah kesulitan, bagaimana bisa maju?

Donghae sendiri baru mengakui itu. Ia kira, berdekatan dengan Hana bisa membuatnya mati muda. Kekhawatirannya menumpuk bahkan sebelum berani melangkah. Tapi ternyata, ia masih hidup, masih bernafas dengan normal, bahkan kini semangatnya menggebu-gebu. Dunia tak lagi terasa mengecilkannya, malah membuatnya tampak besar. Ah, kalau tahu semuanya tak sesulit yang dibayangkan, kenapa tak dari awal mendekati Hana? Kenapa justru Hana yang datang padanya? Menggelikan.

Sesaat setelah Hana pergi tadi, ia masih mencari-cari bukti kalau itu hanya ilusi. Tapi tak ada tanda yang mengarah kesana. Artinya, itu memang nyata! Ia dan Hana resmi berteman!

Perasaan senang yang berlebihan itu membuatnya tak perduli apa-apa. Ia diam, tidak bicara, tidak protes waktu harus berjejal dengan penonton di gedung saat kompetisi dimulai. Aneh, dan Kyuhyun menangkap gelagat tak wajar itu. Donghae seperti tidak sedang menikmati pertunjukan tari. Pandangannya tidak fokus.

Saat orang-orang harus menahan nafas saking kagumnya, Donghae malah tersenyum sambil menggelengkan kepala. Kyuhyun tahu, itu bukan reaksi untuk aksi para peserta. Saat penonton tak bertepuk tangan sama sekali, Donghae malah heboh sendiri lalu menyerukan,’Kau cantik sekali’ padahal yang tampil itu seorang pria. Dan ketika Hyukjae tampil pun, Donghae tidak merespon seperti seharusnya. Baru saat peserta terakhirlah, bola matanya terisi sesuatu, tidak kosong lagi. Hana!

Setelah itu, barulah Kyuhyun temukan jawabannya. Ternyata gara-gara gadis itu. Meski tak jelas kenapa, tepatnya ada peristiwa apa sepeninggalnya dari toilet, ia tak ingin begitu tahu apalagi bertanya.

“Nama finalis sudah ada ditanganku. Ada yang bisa menebak?”

Duo MC berbeda warna kulit muncul dan bicara lagi. Penonton menyerukan berbagai nama, tapi hanya beberapa yang dominan.

“Dari suara kalian dan dari apa yang sudah kita saksikan tadi, aku tak berlebihan kalau juri – juri memang perlu memeras keringat.”

Donghae memegang dadanya. Ia harap, ada nama Hana disana. Ah, tapi ia yakin Hana pasti lolos ke babak final minggu depan. Gadis itu tampil memukau. Pembukaannya elegan. Menari balet dengan balutan pakaian putih dan rambut disanggul. Lalu tak sampai satu menit selanjutnya, ia berubah total. Ia sobek pakaiannya dan menyisakan singlet hitam ketat, slayer biru diikat dilengan kiri dan memakai celana borju. Terakhir, ia lepas sanggulan dan rambutnya tergerai.

Mengingatnya, Donghae kembali tak mendengarkan apa yang dibicarakan orang-orang. Pikirannya melayang ke kejadian dua jam lalu saat Hana duduk dihadapannya, tertawa, mengatainya lucu, lalu menjulurkan tangan. Ia masih ingat benar rasanya saat mereka melakukan kontak fisik tersebut. Rasanya semua bunga berguguran padahal di cafe tidak mungkin ada tumbuhan selain yang ada di pot pojok ruangan. Darahnya seperti dipompa kuat-kuat dan tarikan nafasnya tertahan sesaat. Dan momen itu, tak sabar ingin ia rasakan lagi, ulangi lagi!

“Lee Hyukjae!!”

Apa? Hyukjae kenapa?

Donghae melongo, melirik kiri dan kanan dan semua orang tengah bertepuk tangan. Para gadis malah berteriak. Dan ketika matanya sampai ke atas panggung, matanya melebar.

Hyukjae dan Hana?

“Jadi, kita sudah ketahui siapa dua finalis yang akan beradu minggu depan untuk terbang ke New York. Mereka akan tampil dan….”

Donghae perlu menepuk pipinya dua kali untuk meyakinkan dirinya kalau ia tak salah dengar. Jadi, Hyukjae dan Hana adalah finalisnya?

Belum selesai sampai disitu, perasaannya mendadak tak nyaman kala Hyukjae menawarkan tangannya yang kemudian disambut Hana. Penonton bersorak lebih kencang. Tapi bagi Donghae, hal itu bukan berita baik. Mereka bersaing kembali, masih ada harapan bagi Hyukjae untuk mengalahkan Hana dan mereka akan resmi berteman. Mungkin terdengar jahat, tapi ia tak menampik bahwa nyaris seluruh bagian dirinya berdoa agar Hana yang jadi pemenang!

***

“Kalian tidak perlu memperlihatkan tampang terkejut begitu. Sudah dipastikan aku lolos, bukan?”

Donghae dan Kyuhyun berpandangan sejenak, mencibir dalam hati. Mereka yakin tampang mereka biasa saja ketika Hyukjae menghampiri mereka di halaman parkir. Pria ini kelewat percaya diri.

“Yeah, aku tidak terkejut,” sahut Kyuhyun sambil membuang pandangan ke arah lain. Matanya tertumbuk pada seorang gadis yang baru keluar dari salah satu ruangan. Sambil mengikat rambutnya, gadis itu tertawa bersama gadis lain disebelahnya.

“Kalau aku tak salah menebak, Hana akan kemari.”

Sontak Hyukjae dan Donghae berpaling ke kanan ̶ dimana mata Kyuhyun tertuju. Hyukjae tersenyum lalu memasukkan kedua tangannya di saku celana. Tepat saat itu Hana melihat ke arahnya, tersenyum meremehkan. Ah, senyum itu….

“Well, kita bertemu di final,” kata Hana saat sudah tiba dihadapan tiga pria itu.

“Dan kau harus bersiap memenuhi janjimu,” balas Hyukjae sambil mencondongkan tubuhnya sebentar.

Hana menahan tawa. “Aku tidak pernah ingkar janji. Tapi sayangnya aku malah takut kalau kau akan kecewa dengan hasil nanti.”

Donghae menatap keduanya dengan serius. Obrolan soal janji itu benar-benar membuat bunga-bunga disekitarnya layu. Apakah salah kalau ia berharap janji itu mereka lupakan? Atau setidaknya, Hyukjae kalah.

Belum juga puas ia melihat Hana, gadis itu sudah melangkah pergi diikuti oleh Elie yang sibuk menarik perhatian Hyukjae. Pada langkah ketiga, tanpa diharapkan Hana berbalik dan tersenyum padanya. Donghae tak tahu harus merespon bagaimana. Tapi….ia rasa saat ini bibirnya juga tersungging membalas senyum Hana. Sepertinya Hyukjae tak menyaksikan itu. Hm, setidaknya, ia punya nilai lebih dibanding Hyukjae yang masih berusaha menjadi teman Hana.

**

Silent

**

Diakhir bulan agustus, matahari tak setinggi biasanya. Orang-orang yang mengenakan pakaian lebih terbuka semacam singlet kurang terlihat lagi. Musim gugur memang semakin dekat dan Donghae tak begitu menyukainya. Ia bukan orang aneh. Semua orang pasti menyukai keindahan Korea di musim gugur. Katanya, itu adalah musim yang paling romantis. Bunga-bunga dan dedaunan berguguran seperti salju yang jauh lebih ringan, berubah warna dari hijau jadi kekuningan atau coklat. Daun-daun dari pepohonan seperti cemara atau maple akan berlomba menghiasi jalan. Semua pasangan seakan mendapat dukungan alam selama tiga bulan penuh. Donghae tahu, musim gugur itu menyenangkan. Tapi, ada satu bagian di musim gugur yang tak ia suka. Chuseok alias Thanksgiving day!

Pada hari itu, orang-orang akan berkumpul dengan keluarga. Kesibukan dilupakan sejenak dan sebuah keluarga menikmati waktu bersama, saling mengucapkan terima kasih terutama pada orang tua, lalu menikmati banyak hidangan. Donghae sendiri tak pernah melewatkan tradisi tersebut. Keluarga Kyuhyun selalu merayakannya. Tapi, bagaimanapun ia mencoba tenggelam didalam kehangatan keluarga kecil itu, rasanya tetap berbeda. Ia ingin seperti dulu, saat ia masih melihat Kakak dan Ayahnya akur, saat Ibunya masih ada. Mereka mengenakan hanbok bersama, menyantap makanan secara lesehan, lalu menghabiskan satu hari penuh dengan obrolan diselingi tawa. Kadang mereka mengunjungi berbagai festival musim gugur. Sayang, masa-masa itu hanya teringat sedikit dikepalanya. Saat itu ia masih sangat kecil. Justru karena itulah, ia ingin merasakannya lagi, karena ia yakin saat-saat itu sangatlah menyenangkan –sama seperti ketika keluarga berkumpul dihari natal.

Lalu tahun ini, akan jadi yang pertama kali ia lewati sendirian. Ia sudah berencana, jika nanti orang tua Kyuhyun memanggilnya, mengajaknya menginap –mungkin, ia akan menolak. Berbagai alasan sudah ia persiapkan. Dan yang paling masuk akal adalah ia sedang banyak tugas. Dengan begitu ‘Ayah’nya pasti akan menerima.

“Hah…” Ia menghelas nafas panjang, menghentikan sepedanya sejenak lalu memijit bahunya yang cukup pegal. Seperti biasa sepulang dari kedai yang terletak di Nowon, ia akan ke kampus menemui Hana. Ia sudah berniat untuk tak bersembunyi, toh Hana sudah mengenalnya. Tapi niat itu luntur saat ia sadar berapa tugas yang harus ia selesaikan malam ini juga. Maka ia hanya akan mampir sejenak, mengecek apakah Hana tetap latihan seperti kemarin-kemarin. Cukup dengan melihatnya, tenaganya yang sudah terkuras selama melayani pembeli di kedai akan datang lagi. Hana memang tak beda dengan pengisi batrai canggih yang tak perlu melakukan apa-apa untuk mengisi tenaganya. Ajaib.

Begitu tiba, ia mengacuhkan satpam yang sepertinya hendak mengejek lagi. Ia juga tak mengecek dulu apakah mobil Hana terparkir atau tidak. Tapi perasaannya tak pernah meleset. Ia sudah tiba didepan pintu aula yang sedikit terbuka. Dapat dilihatnya Hana tengah duduk di tengah ruangan –sendirian. Gadis itu meluruskan kaki, memijitnya pelan lalu mengelap keringat diwajah. Rambutnya yang hitam pekat dan nyaris menyentuh lantai ketika kepalanya didongakkan tampak berayun-ayun pelan. Kemudian rambut itu digelung hingga atas.

Donghae tersenyum. Tenaganya benar-benar kembali. Seperti disuntik cairan terlarang yang kata orang bisa menaikan emosi, juga semangat. Dan rasanya kalau sekarang ia harus mengayuh sepeda cepat-cepat ke rumah dan mengerjakan tugas, ia sanggup.

Kemudian pandangannya menyebar ke seluruh ruangan, ia menemukan tas gadis itu tapi tak ada botol minumannya. Biasanya, botol minuman itu tergeletak di dekat tas. Jadi ia tahu apa yang diminumnya. Hm, tak mau lama-lama berpikir, Donghae mengeluarkan botol minumnya lalu meletakkannya di dekat pintu. Cukup sampai disini. Ia harus segera pulang dan menuntaskan tugas lain setelah tugas meyakinkan minuman Hana terjaga selesai. Ia berbalik, mengayuh sepeda dengan perlahan agar tak menimbulkan suara dan kecurigaan Hana.

***

“Jadi, kau mau memberitahuku nomor ponselnya?”

Hyukjae tersenyum penuh kemenangan saat suara yang tampak gugup diseberang sana mengatakan ‘ya’.

“Bagus! Kirimkan ya,” Hyukjae memberi jeda lalu melanjutkannya dengan berbisik manja, “Elie…..”

Ia tutup ponselnya dan dimasukan ke dalam saku celana. Ia tengah berjalan di lorong menuju aula untuk melihat Hana, bukan untuk latihan.

Bukan hal sulit untuk mendapatkan nomor ponsel Elie. Lalu ia menelpon gadis itu dan mengatakan akan mentraktirnya makan kalau mau memberinya nomor handphone Hana. Ia tahu, kalau meminta secara langsung dengan orangnya, itu tindakan sia-sia. Hana pasti menolak. Sekarang, tinggal menunggu ponselnya berdenting tanda sms masuk dan ia bisa mengantongi nomor gadis itu.

Plung

Tak sengaja ia menjatuhkan sebuah botol minuman saat membuka pintu. Botol itu menggelinding dan berhenti tepat didepan seseorang. Matanya menatap pemilik kaki itu yang ternyata adalah Hana!

Ia baru akan menyapa gadis itu, tapi urung dilakukan setelah mendapati raut terkejut dari Hana. Ada apa? Wajahnya berubah semakin tampan? Atau justru terlihat seperti hantu?

“Kenapa kau menatapku begitu?”

Hana tak menjawab. Ia berdiri setelah memungut botol itu. Alis kanannya naik, kadang kedua alisnya berkerut menyatu lalu kembali normal. Itu membuat Hyukjae merasa perlu mengecek seluruh tubuhnya. Tapi tak ada yang tidak wajar, semua normal. Jadi, ia tunggu-tunggu apa yang terjadi selanjutnya hingga gadis itu tiba dihadapannya, menatapnya lekat-lekat.

“Jadi, ini ulahmu?” tanya Hana pelan sambil menunjukan botol air mineral ditangannya. Giliran alis Hyukjae yang berkerut. “Ha?”

“Ini ulahmu?” Hana mengulangi pertanyaannya dan Hyukjae sungguh tak mengerti.

“Jadi ini cara seorang Lee Hyukjae mendekati gadis? Kukira kau sangat blak-blakan, ternyata….”

Hyukjae menatap gadis itu lebih teliti. Apa sih yang dibicarakan?

“Tapi…aku berterima kasih atas ini,” imbuh Hana sambil mengangkat botol minum ditangannya. Hyukjae menatap botol itu dan Hana bergantian. Apa yang istimewa dengan botol itu? Maksudnya…apa yang sudah ia lakukan dengan minuman itu sampai Hana berterima kasih padanya? Begitu banyak pertanyaan dikepalanya, sampai tak ada satupun yang terlontar, hingga ia hanya diam seakan mengiyakan segala pernyataan Hana. Tak ada penyangkalan.

“Sejak kau rutin meletakkan minuman ini, aku jadi terbiasa dan….yah…aku terpaksa mengakui kalau aku akan menuruti nasehatmu dan mengurangi minum soda.”

Apalagi ini? Ia tak merasa pernah meletakkan minuman yang baru dijatuhkannya itu atau minuman apapun. Tapi kalau kesalahpahaman itu membuat Hana berterima kasih padanya, itu namanya rejeki yang pantang ditolak!

“Baguslah kalau kau suka.”

Hana tersenyum. Dan Hyukjae yakin tak salah mengartikan senyum itu. Bukan senyum cibiran yang meremehkan seperti lalu-lalu. Ini senyuman tulus tanda bendera perang diturunkan. Ah, siapapun yang meletakkan minuman itu, ia sangat berterima kasih.

Apalagi, ternyata efek salah paham itu berlanjut hingga hari-hari berikutnya. Hana tak lagi acuh, mau menanggapi apa yang ditanyakannya. Tidak menolak ketika ia mendekatinya. Memang tidak begitu saja menerima, tapi tak separah yang dulu.

Mereka mulai terlibat obrolan ringan seputar kegiatan masing-masing. Dari situ Hyukjae tahu kalau Hana hobi menonton film action, horor dan misteri. Kalau sedang konsentrasi memikirkan sesuatu, ia punya kebiasaan menggit jari. Hana sangat menggemari novel karya JK Rowling. Semua seri Harry Potter ada di rak bukunya. Dan…jika semua orang kira wanita itu menyukai warna hitam, ternyata tak sepenuhnya benar. Ia suka hitam dan putih. Pakaian, sepatu, mobil, handphone, tas memang warna hitam, tapi semua benda yang ada di kamarnya serba putih. Hyukjae tentu belum pernah masuk kesana, tapi Hana langsung yang cerita. See? Hana bahkan bisa sangat banyak bicara dan buka-bukaan soal dirinya. Jadi, apalagi yang belum diketahui Hyukjae?

“Kau punya acara malam ini?” tanya Hyukjae setelah menyedot jus melonnya dengan sedotan. Hana duduk dihadapannya. Bukannya mereka sedang minum bersama di cafe kampus. Hyukjae lah yang tiba-tiba duduk sambil membawa minumannya.

“Hyukjae….” Hana menutup bukunya, menatap Hyukjae dengan ‘ramah’. “Jangan berpikir terlalu jauh. Belum ada kesepakatan apa-apa.”

Gadis ini…Hyukjae bisa frustasi hanya karena ingin berteman dengannya. Tapi ia yakin, itu hanya tinggal menghitung jam, karena besok adalah babak final.

“Kukira kau sudah melupakan janji itu.”

Hana tak menggubris, kembali tenggelam dalam buku. Diacuhkan begini, Hyukjae sangat tidak suka. Kenapa Hana seperti Kyuhyun? Mereka sama-sama terlalu fokus kalau sudah membaca. Tapi satu point yang setidaknya perlu disyukuri. Hana tidak pergi. Hana juga tidak menyuruhnya menjauh. Artinya, ia diijinkan berada disini, menemani gadis itu menikmati waktu luangnya.

Ngomong-ngomong, soal kedekatannya dengan Hana, ia sama sekali belum membahasnya dengan Donghae apalagi Kyuhyun. Jika mereka tertangkap tengah mengobrol berdua, Hyukjae hanya tersenyum penuh misteri tanpa menjelaskan apa-apa. Ia senang melihat muka penasaran Donghae -juga raut acuh tapi sebenarnya mau tahu dari Kyuhyun.

“Apa aku sudah cerita kalau sahabatmu itu sudah menolongku? Atau mungkin, dia sudah lebih dulu cerita padamu?”

Hyukjae tersadar. Melipat kedua tangannya diatas meja sambil menatap Hana agak bingung. “Maksudmu? Kyuhyun? Atau Donghae?”

“Donghae.”

Hm? Apa yang sudah dilakukan Donghae pada Hana? Donghae tak pernah cerita apa-apa.

“Oh, aku kira kau tahu. Donghae yang menolongku malam itu. Memangnya kau tak melihat lebam diwajahnya?”

Tentu saja ia melihat. Itupun kalau bukan karena ia mengunjungi pria itu dikontrakan. Tapi, bukankah itu akibat perbuatan orang-orang yang ingin meram………pok? Oh, saat itu Hana juga mengalami hal serupa! Ini bukan masalah biasa. Ini bukan hal yang bisa disembunyikan darinya.

“Malam itu, saat aku diserang. Donghae datang menolongku. Dia sampai dipukuli, aku kira ia terluka parah. Kalau tidak ada dia, mungkin…..” Hana tak melanjutkan ceritanya. Rautnya yang semula biasa menjadi muram. Mungkin masih tak bisa ia lupakan bagian itu -ketika tiga pria sialan tersebut nyaris merenggut…..

“Ah, aku tak seharusnya mengingat. Lagipula aku baik-baik saja, dan itu berkat Donghae.” Cerita itu ditutup dengan seulas senyuman. Maaf, tapi Hyukjae tak menyukai cerita itu. Donghae tak cerita, Donghae malah mengarang kalau ia diserang tiba-tiba tanpa alasan. Oh, harusnya saat itu ia bisa merangkai kesamaan itu. Donghae dan Hana sama-sama tak masuk kuliah dengan alasan yang sama.

“Aku pergi.”

Untuk pertama kalinya sejak kedekatan mereka, Hyukjae meninggalkan Hana lebih dulu. Ia benar-benar butuh penjelasan dari Donghae. Ingin dengar cerita yang sama dari mulut Donghae. Mau tahu cerita versi Donghae. Namun, baru beberapa langkah, ia mendengar Hana berseru, “Kalau kau bertemu dengannya, katakan aku ingin bicara!”

Sial!

***

Brukk

Donghae terlonjak kaget saat Hyukjae mendaratkan tasnya di meja dengan kasar.

“Maaf, aku terlalu menggebu-gebu,” ujar Hyukjae santai lalu duduk disamping Donghae -tempat yang biasa digunakan Kyuhyun di kelas.

“Kelasmu belum dimulai?” Donghae coba bertanya, meski hawa yang dibawa Hyukjae kurang mengenakkan, seperti ia melakukan kesalahan.

“Belum,” sahut Hyukjae super singkat. Donghae enggan bertanya lagi meski ada satu pertanyaan dikepalanya akhir-akhir ini. Ia penasaran kenapa Hyukjae dan Hana tampak akrab padahal mereka sebelumnya kurang akur. Ia heran kenapa disaat ia punya waktu untuk mendekati Hana, ia malah mendapati gadis itu bersama Hyukjae. Janji untuk bicara lagi yang pernah dilontarkan Hana nyatanya belum terjadi. Satu minggu ini ia dibuat sulit untuk berkomunikasi lagi dengannya karena Hyukjae. Satu lagi, ketika melihat latihan gadis itu dimalam hari, tak ada lagi sesi ‘memberikan’ air mineral, karena Hana sendiri meminumnya, membawanya dari rumah. Padahal dua malam lalu, ia sudah bertekad untuk memberikan minuman itu secara langsung. Dengan begitu Hana langsung paham. Tapi menengok bahwa air yang dibawanya tak lagi dibutuhkan, ia kehilangan semangat.

“Kukira tak ada yang ditutupi dalam hubungan persahabatan.”

Donghae mengalihkan pandangan dari buku ke Hyukjae yang kini memainkan pulpen diatas meja.

“Kukira kita saling percaya.”

Donghae tak mengerti. Tapi tak mau menebak apa maksud Hyukjae yang terdengar seperti sindiran. Ia memang tak tahu kemana arah omongan ini. Mereka memang saling percaya, tak ada yang ditutupi. Kecuali…..

“Bisa kau ulang, kejadian yang kau alami beberapa waktu lalu?” Hyukjae menatapnya sengit, “Maksudku…saat kau diserang.”

Donghae mendesah, “Hyukjae, kita sudah membahasnya.”

“Dan itu kebenarannya?”

“Apa maksudmu?”

Hyukjae mengetukan pulpen dengan kuat, habis kesabarannya. “Hae, kalau tak ada apa-apa, kenapa kau harus menutupinya? Apa salahnya kau mengatakan kalau kau menolong Hana?”

A-pa? Donghae membeku. Ia ketahuan berbohong!

“Apa alasanmu?”

Pertanyaan itu terasa amat memaksa. Ia tak punya jawaban bagus, apalagi sebuah kejujuran. Waktu itu ia terlalu takut untuk cerita. Takut kalau Hyukjae curiga kenapa ia bisa tiba-tiba muncul, lalu nekat menolong orang padahal tak punya kemampuan membela diri.

“Aku….”

“Kau menyukainya!”

Skak mat!

Donghae meneguk ludahnya. Kenapa Hyukjae bisa begitu cepat menyimpulkan?

“Sejak awal aku membawamu ke tempat latihan, kau sudah menyukainya. Kau selalu menanyakannya kalau ia tak muncul saat latihan. Kau menolongnya dan tak cerita karena takut aku mencurigainya.”

Oh, semua benar! Kalau ini adalah sebuah kuis, maka Hyukjae akan mendapat poin sempurna. Sama sekali tak ada yang meleset. Tapi….tidak! Donghae tak mau mengakuinya.

“Demi Tuhan….” Ia menarik nafas sejenak. Bukan kemudahan baginya harus menyumpah membawa nama Tuhan padahal ia akan berbohong. “Semua yang kau katakan tidak benar! Aku tidak menyukainya.”

Debat itu sempat menjadi perhatian beberapa pasang mata dikelas. Intonasi masih naik dan belum mereda dari keduanya.

“Lalu alasan macam apa yang membuatmu berbohong? Sudah kubilang aku tak masalah kalau kau menyukainya. Itu hakmu! Tapi aku tak suka kau berbohong dan pura-pura tak tahu.”

“Tapi aku benar-benar tidak menyukainya!”

Kali ini beberapa orang memilih keluar. Tak enak mendengar obrolan sengit keduanya. Ada pula yang memasang earphone agar tak mendengar apa-apa.

“Aku tertarik padanya, hanya sebatas kemampuannya menari. Aku kagum, hanya itu. Lalu malam itu aku tak sengaja melintas dan melihatnya diserang. Menurutmu aku harus apa? Lari? Aku membantu sebisaku. Aku pikir itu bukan sesuatu yang penting. Aku memang terluka, tapi bukan masalah. Aku tidak berniat untuk pamer sebagai penolongnya, maka aku diam saja.”

Giliran Hyukjae yang terdiam cukup lama. Donghae sendiri tak sadar sudah mengucapkan beberapa kalimat panjang dengan begitu lancar. Padahal sebagian diantaranya merupakan kebohongan. Ia tak pernah pandai berbohong, tapi kali ini ia rasa perannya cukup meyakinkan. Terbukti saat Hyukjae tak menjawab apa-apa lalu beranjak dari duduknya. Sebelum melangkah, Hyukjae sempat berkata dengan pelan, “Aku harap kau jujur.”

Ia berlalu bersamaan dengan masuknya seorang dosen wanita yang tempo hari pernah digodanya. Tak seperti prediksi, dosen bertubuh tinggi dan berisi itu diacuhkan saja –bahkan tak ada sapaan sopan layaknya mahasiswa lain. Kyuhyun yang berpapasan dengannya pun tak dilirik.

“Hae, apa yang terjadi dengannya?”

****

Tak jelas apakah masalah itu sudah selesai atau belum. Tak ada komunikasi antara keduanya. Saat pulang, mereka tidak bertemu dan mengobrol sebentar seperti biasa dihalaman. Saat Donghae tiba dengan sepedanya, Hyukjae sudah pergi meninggalkan asap knalpot saja. Kalimat terakhir Hyukjae memang tidak punya arti kalau ia tak marah lagi pada Donghae. Tapi kalau diartikan masih marahpun harusnya tidak. Rasanya penegasan siang tadi sangat cukup untuk meredam amarah.

Sejak dulu, Hyukjae memang paling susah dibujuk kalau sudah merajuk seperti ini. Butuh berhari-hari untuk mengajaknya berdamai. Tapi itu dulu sekali. Saat mereka beranjak dewasa, sudah lama Hyukjae tak menunjukan kemarahan seperti tadi. Kalau mereka terlibat cekcok kecil, tak akan makan waktu lama. Sedang kali ini, sepertinya Hyukjae benar-benar tak suka. Tak perlu dipertanyakan kenapa. Hyukjae sangat benci kalau diantara mereka bertiga ada yang berbohong.

Padahal besok adalah final kompetisi. Kalau hubungan mereka seperti ini, apa bisa tetap datang dan mendukung. Ah, bukankah ia akan mendukung lawan Hyukjae untuk menang?

“Lee Donghae, dua meja disana berteriak menunggu pesanan!”

Ha? Donghae menunduk, menatap nampan berisi kimbab dan dakkochi yang harusnya sudah sampai dengan selamat dimeja pembeli. Segera ia bergerak cepat dan tersenyum ramah kepada dua pasangan yang rupanya sangat kesal karena lama menunggu.

“Maafkan saya,” ujarnya berkali-kali tapi tak mendapat respon dari pelanggan-pelanggan itu.

Kedai tempat ia bekerja menjual berbagai jajanan khas Korea. Hanya berupa tenda permanen dengan tiga meja dan delapan kursi. Ia memang hanyalah pelayan biasa disini, tapi terkadang, kalau bosnya sangat sibuk dengan dua tangannya, ia ikut membantu memasak. Awalnya ditolak mentah-mentah, takut ia akan meracuni pelanggan, tapi ia langsung memperlihatkan bukti kalau ia bisa.

Disini, ia berkerja dari sore hingga malam sekitar pukul delapan atau sembilan. Hanya karena wajah innocentnya ia bisa diterima bekerja dengan waktu demikian enak. Kalau ditempat lain, mana ada yang mau menerima. Lagipula jam kerjanya sesuai dengan upah yang diterima, tak banyak tapi sudah cukup untuk biaya sehari-hari.

Kedai ini tak pernah buka hingga larut layaknya kedai lain yang berjejer hingga ujung jalan. Pemiliknya beralasan, sudah cukup menyibukkan diri dari pagi buta hingga matahari digantikan bulan. Pria tinggi yang selalu menyemir rambutnya itu tak mau melewatkan waktu dimalam hari untuk berkumpul bersama istri dan cucu semata wayangnya di rumah. Hari sabtu libur dan dihari minggu berubah jadi kedai berjalan, berkeliling kota menggunakan mobil Van yang sudah dimodifikasi. Biasanya mereka berhenti di taman Seongnakwon atau Seodong untuk menarik pembeli. Luar biasa! Donghae begitu kagum dengannya. Pria itu sudah cukup tua, tapi giat bekerja demi menghidupi istri dan cucunya yang merupakan yatim piatu.

Ditengah kesibukannya mengelap meja yang baru ditinggal pembeli, suara seorang wanita terdengar menyerukan pesanan, “Tteokbokki!!!”

Refleks Donghae berbalik disertai segaris senyum ramahnya.”Selamat dat……”

“Kejutan!”

Donghae terkesiap, kehilangan kata-kata. Ia kucek mata lalu membenarkan letak kacamatanya. Siapa tahu penglihatannya bermasalah. Tapi….Tidak! Ia tidak salah lihat.

“Hana?”

“Aku kira kau melupakan wajahku.”

Donghae nyaris menjatuhkan gelas yang ada ditangannya. Langit gelap tahu-tahu terang seperti saat ia membuka jendela kamar dan menatap matahari pagi. Ia bisa mendengar kicau burung disekitar kontrakannya bernyanyi riang, suara musik dengan lagu romantis dari tetangga seberang yang selalu menyetel lagu-lagu Bryan Adams. Bahkan sekarang ia merasa santa clause sedang bermain piano dibelakangnya memainkan lagu favoritnya –The power of love milik Celine Dion. Selalu begini, selalu seperti ini. Semua jadi tak berjalan seperti seharusnya jika Hana didekatnya.

“Donghae?”

Donghae menggelengkan kepala saat Hana melambai-lambai didepan wajahnya. Ah, sejak kapan jarak mereka jadi sedekat ini?

“Hm, Hana, apa yang kau lakukan?”

Hana tersenyum lalu bersedekap, “Tentu saja menemuimu.”

***

“Kopi khas kedaiku. Dijamin kau akan ketagihan.”

Hana menyambut gelas kopi dari Donghae, menghirupnya sedikit, lalu membiarkan indera perasanya bekerja. Ternyata benar, kopinya enak dan menghangatkan.

Gadis itu merapatkan jaketnya yang agak kebesaran, juga memutar topi hitamnya kebelakang. Mereka duduk bersebelahan dikursi panjang depan kedai. Dengan alasan ada tamu penting, bos Donghae yang terlalu baik hati itu memberi ijin agar ia tak melayani pembeli dulu.

“Apa yang kau lakukan malam-malam disekitar sini?” Donghae memulai percakapan setelah berkali-kali meredam detak jantungnya. Bayangkan saja, ia dan Hana bukan lagi berhadapan seperti dulu. Sekarang bersebelahan dengan jarak 5 sentimeter.

“Sebenarnya aku sedang jalan-jalan, tak sengaja lewat dan melihatmu.”

“Oh,” Donghae bergumam kecewa. Ia kira memang benar Hana sengaja datang untuk menemuinya, mencari alamat tempat ia berkerja, ternyata tak sengaja.

“Hm, kau tidak membawa mobil?”

Hana meletakkan gelas kopinya ke samping, menatap Donghae, “Aku bersama Elie. Dia terlalu asyik kalau berbelanja di supermarket, persis seperti ibu-ibu yang bingung harus memasak apa untuk suaminya di rumah. Jadi aku tinggal saja,” paparnya dengan riang mengundang tawa kecil dari Donghae. Senyuman itu….semakin Hana tersenyum padanya seperti ini, semakin kuat ia menahan diri agar tak berteriak dan mengatakan bahwa ia ingin senyum itu hanya untuknya, bukan orang lain. Satu lagi yang ia rasakan jika Hana didekatnya. Ia merasa egois.

“Jadi kau bekerja disini?”

Donghae mengangguk pelan. Senang sekali Hana kini bertanya tentang dirinya.

“Kuliah di Seoungbuk, lalu kau bekerja di Nowon. Jadi beritahu aku kalau kau tidak tinggal di distrik Jung.”

Donghae tertawa. Hana ternyata punya selera humor yang lumayan. Andai saja gadis itu tahu kalau tempat tinggalnya adalah ditempat yang biasa ia datangi sore hari untuk menari.

“Tentu saja tidak. Kakiku pasti bengkak.” Donghae membayangkan dirinya yang tiap hari harus mengayuh sepeda dari rumahnya dikawasan Jung, lalu kuliah di KU, dan bekerja di Nowon. Ia pasti sudah gila kalau itu benar. Ia masih tinggal di kawasan Seongbuk meski jauh dari keramaian dan istilah elit. Kontrakannya hanya empat lantai. Semua dihuni oleh satu keluarga penuh. Banyak anak-anak ‘kreatif’ yang suka menjahilinya. Tali-tali jemuran menggantung dibalkon. Suara pertengkaran suami istri muda di lantai tiga selalu terdengar hampir setiap tengah malam. Akses untuk masuk pun sempit. Mobil tak bisa masuk kecuali mau keluar dengan berjalan mundur, itupun berpotensi menubruk deretan tong sampah disetiap depan rumah. Hanya Hana yang selalu nekat membawa mobil kesana.

Kesunyian pun menyelimuti mereka hingga beberapa menit. Hana terus menghirup kopinya hingga tandas. Sesekali membuang pandangan ke kanan dimana sekitar seratus meter lagi gedung-gedung apartemen Westin berdiri. Sedang Donghae tak pernah bosan. Berada didekat Hana ̶ dengan atau tanpa bicara apapun, ia pasti akan menikmati tiap detiknya.

“Aku jarang melihatmu akhir-akhir ini,” ujar Hana kembali membuka percakapan yang sempat hilang. Dalam hati Donghae sangat bangga karena ternyata Hana mencarinya.

“Apa kau begitu sibuk?”

Donghae mengangguk, “Ya, banyak tugas.”

“Tapi saat aku punya waktu luang, aku malah melihatmu bersama Hyukjae,” sambungnya dalam hati.

Kembali tak ada pembicaraan antara mereka. Donghae tak mau berpikir topik apa yang bagus untuk dibahas. Karena kalau diminta, banyak yang ingin ia tanyakan. Tentu saja ia ingin tahu segala hal tentang gadis itu. Apa hobinya, makanan favoritnya, kebiasaannya, lagu kesukaannya, alamat rumah, nomor ponsel dan ̶̶kenapa Hana menatapnya?

Donghae kembali merasakan darahnya berdesir. Ada sesuatu yang menggelitik dan membuatnya kehilangan kerja sama dengan anggota tubuh. Mungkin saat ini ia tak sedang bernafas. Tangannya tak bisa bergerak. Kepalanya tak mau berpaling. Kenapa….Hana terus menatapnya? Tatapan itu begitu dalam, hingga ia bisa dengan jelas menyelaminya, melihat ke dalam bola matanya yang hitam.

“Donghae….” Hana bersuara sangat pelan. Donghae benar-benar merasakan jantungnya heboh sekali didalam sana saat Hana mengangkat tangan lalu menyentuh kacamatanya. Oh, apa yang mau dilakukan gadis ini? Mau membunuhnya secara halus?

“Kau…”

Hana melepas kacamata tebal milik Donghae. Lantas tersenyum manis sekali. “Kacamatamu patah karena kejadian malam itu?” Hana menyentuh bagian kacamata Donghae yang diplester. Donghae tak menjawab, tepatnya tak bisa menjawab. Tubuhnya masih kaku.

“Dan…kenapa kau menyembunyikan wajah ini dibalik kacamata? Kau itu tampan.”

Hah! Donghae baru bisa menghembuskan nafasnya satu kali, itupun melalui perjuangan sulit. Sungguh, perkataan Hana nyaris mencabut nyawanya saat ini juga. Dia bilang Lee Donghae tampan?

“Hana…”

Donghae mengerjap berkali-kali. Ia suka kalau Hana mengatainya tampan. Tapi, ia lebih suka kalau Hana mengembalikan kacamatanya, karena sekarang…..

“Wajahmu jadi buram. Aku tak bisa melihat dengan jelas.”

Tawa Hana menyembur. Segera ia pasang kembali kacamata itu pada tempatnya.”Ya ampun, Donghae.”

Masih diselingi tawa renyahnya, ia berdiri sambil membalik topinya, menurunkan sedikit hingga matanya nyaris tertutup.

“Aku harus kembali ke supermarket. Elie bisa panik kalau aku tak ada.”

Sayang sekali. Apa tak bisa tinggal lebih lama? Donghae masih ingin menikmati kebersamaan mereka setidaknya beberapa menit lagi, tapi ia tak yakin untuk menahannya. Ia ingin membiarkan saja, tapi sebagian dalam dirinya tak rela. Sebelum ia mendapat keputusan, Hana terlanjur berbalik setelah melambai padanya.

“Sampai jumpa.”

Sementara tubuh itu kian mengecil, Donghae masih berkutat dengan dua pilihan, memanggilnya atau tidak. Tapi sebelum semua terlambat, mulutnya terbuka juga.

“Hana!!!”

Hana berbalik, menatapnya seakan bertanya ‘ada apa?’.

“Kau belum membayar kopinya!”

Entah pernyataan macam apa itu. Donghae langsung menyentil bibirnya yang ngelantur. Untungnya Hana malah tertawa dan menganggap itu gurauan.

“Bukankah itu gratis???” Hana balik berseru dan melangkah mundur. Donghae menikmati itu. Masih tak rela kalau pertemuan mereka habis sampai disini. Maka sebelum Hana berbalik, ia berteriak lagi.

“Bersemangat untuk besok! Hwating!”

Hana tertawa kecil lalu mengacungkan jempolnya. Sungguh malam yang indah.

**

Korea University, 10.00 am KST

Persis seperti minggu lalu, hari ini pun suasana kampus penuh sesak. Padahal kampus ini sudah sebesar sebuah kota, tapi banyaknya orang membuatnya sama saja dengan kawasan Myeondong. Seperti pasar yang sedang menggelar diskon besar-besaran hingga diburu pembeli.

Meski dua finalis sama-sama berasal dari Korea University, mahasiswa dari universitas lain tetap datang. Diluar dugaan, banyak pria yang mengaku ingin kembali melihat pertunjukan Kim Hana, beberapa mengaku bosan melihat Hyukjae terus-terusan jadi pemenang. Jadi penonton yang memenuhi gedung kali ini tampak adil. Perbandingan antara pria dan wanita adalah 50:50.

Bagi yang berkaki panjang seperti Kyuhyun, orang-orang terlihat bagai semut yang berhamburan karena dikejar tsunami kecil. Segerombolan orang –yang sepertinya ribuan, tampak berderet memasuki gedung tempat acara dimulai. Kampus ini memang punya gedung serbaguna berkapasitas seribu penonton. Berbeda dengan aula yang biasa digunakan Hyukjae dan Hana, tempat ini dipakai untuk acara-acara khusus yang melibatkan orang luar.

Saat masuk, yang orang temukan adalah ruangan luas ber-AC yang dicat biru laut. Pada bagian kiri dan kanan disuguhi foto-foto mahasiswa KU yang berhasil diberbagai perlombaan. Entah itu seni atau akademik. Didepan terdapat panggung lebar setinggi satu meter dengan tirai hitam menutupinya. Tiga baris terdepan, diisi kursi busa serba hitam yang empuk khusus tamu VIP. Sedang sisanya –yang berderet ke belakang merupakan kursi lipat biasa yang sama digunakan mahasiswa dikelas.

Puas memandangi seisi gedung yang mulai diserbu ‘semut-semut’ tadi, Kyuhyun berpaling dari jendela, memperhatikan Hyukjae yang berkaca pada cermin rias.

“Kau masih marah padanya?” Pertanyaan Kyuhyun menginterupsi kegiatan Hyukjae yang mengacak rambutnya. Tanpa berbalik, Hyukjae menjawab dengan sebuah sangkalan, “Aku tak pernah marah.”

Gurat tak percaya diperlihatkan Kyuhyun. Punggungnya bersandar gagah ke dinding lalu kedua tangan dilipat didepan dada. “Kalian tak saling bicara –maksudku kau menghindarinya.”

Hyukjae yang tampak gerah akhirnya berbalik juga, “Aku hanya tak suka dia berbohong.”

“Tapi dia sudah menjelaskan.”

“Dan aku tak percaya.”

Kyuhyun tak langsung menjawab, memandang Hyukjae dari ujung rambut hingga ujung sepatu kets belang-belangnya. “Kau kerap bicara soal kepercayaan dalam persahabatan kita, tapi kau tak percaya padanya.”

Hening….

Seperti terdampar ditengah gurun pasir tanpa apapun selain hamparan pasir halus yang panas, terpaan angin kencang yang memporak-porandakan rambutnya terasa menampar. Kemarin ia bicara soal kepercayaan, tapi ia tak mempercayai apa yang dikatakan Donghae. Ia mengenal pria itu sejak kecil, ia tahu bagus buruknya seorang Lee Donghae, ia tahu ,begitu tak pandainya Donghae mengarang cerita atau berbohong, lalu kenapa ia tak percaya?

“Sudah sadar?” sindir Kyuhyun sambil merapikan jaketnya. “Aku harus bergabung dengannya di kursi penonton, berjuanglah!”

Hyukjae termenung sesaat, memikirkan kebodohannya sejak kemarin yang mungkin lebih dilandaskan cemburu. Mungkin ia bisa berkelit dengan berkata tak masalah kalau Donghae menyukai Hana. Tapi mengetahui fakta soal jasa yang dilakukan Donghae terhadap Hana, ia harus jujur kalau ada rasa iri dan tak suka merasukinya. Kenapa harus Donghae dan bukan dia?

Ia sengaja tak ingin bertatap muka dengan Donghae seolah-olah ia orang paling sibuk di kampus. Bukan soal Donghae berbohong, melainkan tak terima karena bukan dirinyalah yang menyelamatkan Hana.

“Harusnya aku percaya padanya. Ia tak menyukai Hana. Dan harusnya aku tak munafik.”

Tiga kalimat itu ia gumamkan sebagai sebuah pembenaran bahkan sampai ia berada diatas panggung dan mencari wajah Donghae. Tak sulit, Donghae kali ini duduk dikursi paling depan bergabung dengan Kyuhyun dan tamu VIP lain. Ia kedipkan mata dan itu cukup sebagai ucapan maaf darinya saat ini.

**

Donghae segera paham arti kedipan nakal dari Hyukjae. Setelahnya, ia mulai mendengarkan basa-basi dari penyelenggara acara. Rupanya, pria tinggi atletis yang kini berpidato itu adalah mantan penari professional sebelum akhirnya pensiun dan aktif didunia pendidikan. Pantas saja.

Sebelum finalis pertama tampil, duo MC yang sama seperti minggu lalu berceloteh tanpa jeda. Kali ini si wanita mengenakan tshirt merah terang dengan bagian bolong dimana-mana, dipadu celana kain hitam aladin. Rambutnya digerai. Sedangkan si pria masih betah mengenakan singlet dan jeans. Kulitnya yang coklat tampak kontras dengan pakaian serba putihnya. Suara kasak-kusuk dari arah penonton hampir bersaing dengan suara mereka. Tak jelas lagi apa yang dibicarakan. Hanya bagian ujung kalimat yang samar-samar terdengar.

“……tidak sabar?”

“………….dukung?”

“……siap?”

Hanya seperti itu yang Donghae tangkap. Apalagi setelah itu tepuk tangan penonton menyesaki telinganya. Ditambah dengan seorang pria gempal disebelahnya. Pria itu tak henti mengunyah makanan, tapi tak mau kalah dengan penonton lain yang berteriak. Saat orang berteriak, ia akan berteriak paling kencang seolah tidak ada apapun didalam mulutnya. Alhasil, butir-butir roti dari mulutnya tersebar dengan indah.

Beda lagi dengan pria dibelakangnya yang mungkin…agak….ah, ia tak tahu bagaimana menggambarkan pria kurus langsing ini. Rambutnya agak melewati telinga dengan poni hampir menyentuh mata. Kedua tangannya meremas sapu tangan motif bunga-bunga bertuliskan Lee Hyukjae. Teriakannya melengking tinggi mengalahkan perempuan. Jadi…dia adalah……fans Hyukjae yang agak menyimpang.

Hiruk pikuk suasana membuatnya tak konsentrasi memperhatikan penampilan Hyukjae. Yang ia tahu, Hyukjae pasti tampil luar biasa. Jangan tanya detailnya. Karena banyak penghalang. Pria gendut disebelahnya terus menawarinya makanan, mulai dari roti isi sosis, burger, pizza, juga minuman segar berbagai rasa. Kalau tak ditanggapi, pria itu makin menjadi. Lalu pria dibelakangnya yang tiba-tiba meremas bahunya. Ia seperti bantal pelampiasan. Bukan cuma diremas, tapi dipukul, dicubit, kadang rambutnya dijambak.

Sampai Hyukjae menutup penampilannya dengan aksi akrobatik, barulah ia bisa bernafas lega karena pria disebelahnya berkata ingin buang air, dan pria dibelakangnya pingsan. Syukurlah.

Lalu tiba giliran Hana naik ke atas panggung. Konsentrasi Donghae pun kembali. Kini matanya memancarkan ketenangan air danau. Masing-masing ujung bibirnya tertarik secara otomatis, membentuk ukiran indah. Jadi sekarang, ia juga tak perhatikan bagaimana penampilan Hana. Apalagi kalau setelah ini ada yang bertanya pendapatnya, ia mungkin tak bisa menjawab. Karena yang terekam di memori dan bola matanya hanyalah gadis itu. Hanya pada senyumnya, tatapan matanya, ekspresi wajahnya, bukan pada apa yang dilakukannya.

“Jadi, hiapa yang au ukung?” tanya pria gendut tadi yang sudah kembali dengan mulut penuh makanan lagi. Seketika keindahan imajinasi Donghae buyar.

“Ak…”

“Ah, au sahahat Hyukhae, bukhan?” Pria itu memotong jawabannya, lalu menghirup jus apelnya. “Kau pasti mendukung sahabatmu,” tutupnya dengan kalimat yang jelas.

Donghae tak mau menanggapi. Sekarang saatnya konsentrasi lagi melihat battle antara Hyukjae dan Hana. Seperti yang diprediksi, pasti bagian ini yang paling seru. Apa yang dilakukan Hyukjae, maka Hana akan menirunya dengan persis malah lebih bagus. Kalau giliran Hana unjuk kebolehan, Hyukjae pun tanpa kesulitan membalas. Skor imbang. Ada banyak pula properti yang digunakan seperti tongkat, kursi, meja, juga stand mic yang membuat pertunjukan semakin menarik.

Kemudian tiba-tiba lantai panggung bagian tengah terbuka. Suara MC dari balik panggung mengatakan bahwa itu adalah trampoline persegi panjang berukuran 2×1 meter yang harus digunakan keduanya untuk berkreasi.

Donghae menahan nafas berkali-kali saat Hyukjae dan Hana menggunakan trampoline tersebut. Ia tidak punya kata-kata yang tepat. Intinya, mereka berdua luar biasa. Donghae sendiri sempat menekan telinga saat Hyukjae menanggalkan singlet hitam yang dikenakan lalu melemparnya ke penonton. Tubuhnya yang berkeringat dan dihiasi daging berbentuk kotak kecil itu membuat para gadis histeris. Tapi dalam hati, Donghae masih lebih mengagumi tubuhnya sendiri.

Battle masih tampak berimbang. Namun, mendekati akhir, semua tak lagi sama. Hana mendarat tidak sempurna dilantai setelah melompat dari trampoline dan mencoba gerakan yang dibuat Hyukjae. Ia salah langkah. Terduduk dilantai.

Donghae langsung berdiri. Mulutnya nyaris meneriakkan nama gadis itu. Matanya kini hanya terfokus pada Hana yang tak beranjak. Pandangan gadis itu kosong. Pasrah, tak juga bangun. Gadis itu termangu, tak berusaha membuat dirinya lebih baik dengan membiarkan Hyukjae menutup perlombaan itu.

Tidak! Donghae bisa merasakan orang-orang meneriakkan nama Hyukjae sangat kencang. Lalu bahunya ditubruk lautan manusia dibelakangnya. Tubuh gadis itu pun tenggelam, mulai tak terlihat ditelan serbuan penonton yang mengangkat tubuh Hyukjae ke udara.

Semua….tak berjalan seperti keinginannya. Tubuhnya lemas. Ia tahu, bukan Hana pemenangnya.

***

Masih ada yang ditakutinya. Masih ada yang mengganjal dan itu harus dituntaskan.

Kedua kakinya berpacu, tubuhnya menubruk banyak orang yang berjejal. Tak perduli kalau ia akan terlihat oleh Hyukjae ataupun Kyuhyun. Ia harus melakukan sesuatu.

“Kau tidak apa-apa?”

Ia tiba. Berhenti kemudian mengatur nafas didepan Hana yang tertunduk di kursi salah satu koridor kampus. Mencoba acuh pada Elie yang sepertinya shock berat melihat kedatangannya.

“Hana…”

Hana mendongak, tersenyum tapi dipaksa. Donghae segera mengambil posisi disampingnya. “Kakimu baik-baik saja?”

Dengan ekor matanya, Donghae tahu Elie berusaha menarik nafas saking kagetnya. Masa bodoh. Biarkan saja dia.

“Aku pernah terkilir, bahkan patah tulang saat menari, tenang saja.”

Donghae tak merasa itu jawaban jujur. “Katakan padaku bagian mana yang sakit? Atau kita ke rumah sakit sekarang? Siapa tahu terjadi sesuatu pada kakimu.” tanyanya beruntun, lupa siapa dirinya, tak sadar betapa nada bicaranya menyiratkan kekhawatiran tinggi.

“Donghae, yang benar saja… Aku masih bisa jalan dan tidak pincang.”

Hana tertawa pelan membuat Donghae perlu mengatur detak jantungnya. Hampir saja ia tak bisa mengontrol diri sampai bersikap berlebihan begini. Oke, ia harus tenang. Tarik nafas……keluarkan!

“New York adalah tujuanku. Banyak kompetisi yang ku ikuti tapi hanya kesempatan ini yang bisa membuatku kesana, membuatku mewujudkan impianku disana.”

Donghae diam saat Hana juga diam. Ia tak tahu pasti apakah Elie masih ada didekatnya. Tak tahu juga apakah saat ini tak ada dua sahabatnya yang menyaksikan. Yang ia tahu, Hana tengah menceritakan masalahnya. Dan artinya ia harus jadi pendengar yang baik.

“Tapi saat tinggal selangkah, aku malah mengacaukannya. Aku bodoh sekali.”

Donghae menggeleng meski Hana tak melihat. “Kau tidak mengacau. Tadi itu hanya……itu kecelakaan kecil yang biasa terjadi. Itu…”

“Intinya aku gagal.”

Hening….

Donghae menghela nafas lalu menyandarkan punggungnya ke dinding. Mungkin ia tak bisa melakukan apa-apa selain diam disini. Mungkin Hana bukan butuh penyangkalan tentang apa yang terjadi beberapa menit lalu. Gadis itu hanya butuh didengarkan, atau tepatnya…..ditemani. Tapi sungguh, ia tak tahu kalau hasrat Hana untuk menang sangat besar.

“Aku pergi.”

Saat suasana semakin sepi, barulah Donghae mendengar Elie pamit pada mereka. Gadis itu berjalan cepat-cepat seperti habis melihat hantu.

“Ini..”

Lalu sebuah kotak persegi panjang disodorkan padanya melalui tangan Hana. Hana tahu-tahu tersenyum sambil menggoyangkan kotak tersebut.

“Apa ini?”

“Mungkin suasana hatiku sedang tidak bagus. Tapi bukan alasan untukku melupakan ini lagi.”

Untuknya? Dengan ragu Donghae meraih kotak hitam itu. Kotak itu tidak memiliki sudut. Masing-masing ujungnya melengkung. Pada bagian tengah terdapat garis lurus berwarna keemasan yang fungsinya adalah bagian untuk membuka. Dari bentuknya, bisa ia tebak apa isinya.

“Sebenarnya semalam aku membeli ini, kebetulan bertemu denganmu. Tapi aku benar-benar lupa memberikannya.”

Donghae nyaris memekik saking senangnya. Kini Hana berusaha tersenyum dan memberi kode agar ia membuka kotak itu. Oh, membukanya seperti akan membuka grand prize terbesar hasil memenangkan undian, padahal ia tahu isinya.

“Maaf karena kejadian malam itu, kacamatamu patah,” lanjut Hana sembari menunggu Donghae selesai membuka pita putih yang mengikat kotak itu.

“Hana…”

Kotak itu sudah terbuka. Sesuai dugaan, sebuah kacamata baru berlensa bening tanpa bingkai bersinar menggoda. Ia angkat ke muka, memandang tiap senti bagian kacamata itu. Permukaan kacanya berkilat-kilat seakan memanggilnya untuk segera dipakai.

“Kau suka?”

Tentu saja! Mana mungkin ia bilang tidak kalau ini adalah pemberian Hana. Tanpa basa basi ia lepaskan kacamata tebal miliknya, digantikan yang baru.

“Bagaimana?”

Donghae mengerjap, melepas lalu kembali menumpu benda itu dihidung dan telinga. Setelah terbiasa, ia menoleh dengan senyum terbaiknya kepada Hana. “Aku suka sekali. Terima kasih.”

***TBC***

Filed under: Brothership, family, friendship, romance Tagged: cho kyuhyun, Lee Donghae

Show more