2015-07-26

MOON THAT EMBRACE OUR LOVE [III]

2015 © SANGHEERA

Cast :: Cheon Sera (Original Character), Luhan as Xiao Luhan and Xiao Luxien, Byun Baekhyun of EXO || Support Cast :: Hwang Shiina (OC), Kim Seukhye Ulzzang, Kim Jinhwan of iKON, Zhou Yumin (Vic Zhou) as Xiao Yumin, Ren of NU’EST as Liu Ren, Choi Seunghyun (T.O.P) of BIGBANG, Kim Yoojung (OC), and many more || Genre :: Campus Life, Romance, Fantasy, Comedy, Family, Fluff || Lenght :: Multi Chapter || Rating :: PG 17+

Read this first :: [0] PROLOG, [I] Man From the Moon, [II] Unbroken Red String







[III] Old Man Under The Moonlight







PEOPLE SAY THAT RED IS THE COLOR OF FATE, RIGHT?

— Zen Wistaria, Akagami no Shirayukihime —







“Dengar ini, Cheon Sera,”desis Luhan. Sera menahan napas, penuh antisipasi dengan apa yang akan Luhan ucapkan. “Mulai sekarang kau harusnya memperlakukan aku dengan baik. Karena mungkin, seumur hidupmu, kau tak akan bisa lepas dariku.”

Mata Sera membulat. Terkejut mendengar kata-kata Luhan yang bernada ancaman itu.

“Kau pernah mendengar istilah benang merah takdir?”tanya Luhan melanjutkan ucapannya. Pemuda itu nampak puas melihat wajah kebingungan Sera. Gadis ini tidak tahu apa-apa, kasihan sekali.

“Benang merah takdir?”beo Sera. Istilah itu begitu familiar. Tapi rasa-rasanya tidak mungkin mitos itu benar-benar ada. Mitos tentang benang merah magis yang mengikat jari kelingking seseorang dengan…

“Tidak mungkin!!”tolak Sera spontan ketika menyadari arti benang merah itu.

Luhan tersenyum, tangannya menyandar nyaman pada pembatas rak buku yang terbuat dari kayu. Tubuhnya yang agak membungkuk ke arah Sera membuat wajahnya berada begitu dekat dengan wajah gadis itu. Hujan masih menderas di luar, bahkan sekarang petir pun mulai ikut berpartisipasi. Kilat menyambar dan membuat ruang tempat Sera dan Luhan berada sejenak terang benderang. Sedetik kemudian, suara gemuruhmya membuat Sera menjengit kaget. Ia menyumpah dalam hati sebelum kemudian fokusnya kembali pada Luhan. “Kenapa tidak mungkin?”tanya Luhan, menuntut jawaban Sera.

“Aku tidak mengenalmu!”argumen Sera yang pertama. Argumen yang lemah karena semua orang pasti berawal dari saling tak mengenal baru kemudian berproses menjadi mengenal. Untuk itu dengan cepat Sera melontarkan argumen kedua. “Aku tidak mempunyai perasaan apapun padamu!”Lagi-lagi bukan argumen yang kuat. Kenyataannya tidak banyak pasangan yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Cinta pun butuh proses. “Aku sudah memiliki Baekhyun!!”tandas Sera tegas. Kali ini Sera tak mau memikirkan seberapa kuat argumennya karena baginya itu adalah argumen terkuat yang tak akan mampu Luhan goyahkan.

Sera mencintai Baekhyun, begitu pula sebaliknya. Sudah lebih dari 3 tahun mereka berpacaran. Selama ini cinta mereka tak pernah tergoyahkan. Bahkan beberapa kali keluarga Baekhyun menyinggung tentang pernikahan mereka yang PASTI akan diselenggarakan setelah Baekhyun dan Sera selesai kuliah. Semua orang sudah merestui mereka. Semua orang di Bijarim menyukai pasangan Baekhyun-Sera.

Sialan sekali Luhan! Berani-beraninya lelaki yang baru Sera temui semalam itu mengklaim dirinya sebagai jodoh Sera!! Hanya karena kelingking mereka diikat oleh benang magis yang berwarna merah, bukan berarti itu ‘benang merah takdir’ bukan?

“Kenapa kau yakin sekali bahwa Baekhyun adalah jodohmu? Apa buktinya?”tantang Luhan.

“Buktinya…” Sera tergagap. Tidak menyangka Luhan tidak begitu saja menyerah mendengar jawaban Sera. Dan ia lebih terkejut lagi karena tidak memiliki jawaban atas pertanyaan Luhan itu. “…buktinya…”

“Mungkin Baekhyun adalah pacar pertamamu, karena itu kau menganggap dia adalah jodohmu. Kalian saling mencintai dan tidak terpisahkan. Naif sekali,”Luhan tersenyum mengejek. “Kuberi tahu ya? Aku ini sudah berkali-kali pacaran. Ketika kau punya pacar pertama, kemungkinan besar kau akan punya pacar yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Yumin-gege, kakakku, dulu pernah berpacaran dengan seorang gadis saat SMP, mereka bertahan hingga 7 tahun lamanya. Tapi saat pertengahan kuliah, Yumin-ge dan pacarnya itu putus. Dan sekarang, gadis itu sudah menikah dengan pria lain.”

Sera menggertakkan giginya. “Kau pikir aku akan termakan ucapanmu itu, Xiao Luhan!”

“Iya…”jawab Luhan ringan, tanpa dosa.

“Cih, jangan mimpi!! Aku tidak peduli dengan orang lain, tapi aku yakin aku dan Baekhyun akan terus bersama selamanya. Aku akan membuktikan kalau ucapanmu salah. Bahwa benang ini tidak berarti apapun selain kutukan! Aku akan memutusnya dan membuatmu kembali ke Beijing. Lalu aku akan menikah dengan Baekhyun!!”tekad Sera, berapi-api. Ia benci pada Luhan karena meragukan kekuatan cintanya dengan Baekhyun. Siapa Luhan? Ia bahkan tidak tahu apa-apa tentang Sera dan Baekhyun. Tentang apa yang telah Baekhyun lakukan selama ini untuk Sera. Luhan tidak tahu apa-apa!! Dia tak berhak bicara seenaknya seperti itu!!!

Luhan menjauh, melepaskan Sera dari kungkungan tubuhnya. “Wah, menarik sekali. Memangnya kau bisa?”tanya Luhan sangsi.

“Tentu saja!! Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin!!”jawab Sera yakin.

“Kalau benang ini benar-benar benang merah jodoh bagaimana?”

“Sudah ku bilang kan? Aku akan memutusnya apapun yang terjadi, lalu aku akan ikat benang merah milikku dengan benang merah milik Baekhyun!”

Luhan bersedekap. Tubuhnya kini menyandar santai di rak buku yang ada di belakang tubuhnya. “Jadi, kau juga berniat memutus benang merah yang mengikat Baekhyun dengan jodohnya?”katanya, tanpa emosi.

Sera terdiam mendengar ucapan Luhan. Jika Sera terlihat gusar dengan situasi ini, Luhan justru terlihat menikmatinya. Ia tertarik melihat tekad Sera. Sepertinya ini akan jadi tontonan seru. Lumayan lah untuk mengisi waktunya yang selama ini begitu membosankan.

“Kau tidak mungkin memaksa menjadikan Baekhyun jodohmu tanpa menyingkirkan dulu jodoh Baekhyun bukan?”kejar Luhan. “Yaaak, Cheon Sera, apa kau pernah mendengar ungkapan ini? Jika cintamu sangat penting, berarti cinta milik orang lain juga sama pentingnya. Apa kau akan bersikap egois dengan membuat benang merah milik gadis lain putus, bahkan tanpa tahu penyebabnya?”

“Geurae!”Mata Sera berkaca-kaca saat menjawabnya. Mau tak mau ia mengakui logika Luhan membuatnya goyah. “Aku tidak peduli meski akan menyakiti orang lain, aku tidak akan pernah melepaskan Baekhyun.”

Seringai puas terbit di wajah Luhan. Pemuda itu kembali mendekat dan meletakkan telapak tangannya di puncak kepala Sera. Wajahnya mensejajari wajah Sera. “Kita lihat seberapa keras usahamu menemukan cara untuk memutus benang merah ini. Kau tahu kan percuma memutusnya dengan pisau atau bahkan dengan membakarnya…”

“Pasti ada caranya. Pasti!”

“Bagus!”Luhan mengusap kepala Sera, membuat rambut di puncak kepala Sera sedikit berantakan. “Baguslah kau berbeda dengan gadis lain yang langsung menempel padaku karena ketampananku. Entah apa yang salah dengan matamu itu, tapi aku bersyukur karenanya.”

“Hah?”Sera ternganga, jijik dengan kata-kata Luhan yang penuh muatan kenarsisan itu.

“Aku tidak suka terikat dengan gadis manapun, jadi kuharap kau cepat menemukan cara untuk memutus benang ini.”

“Kalau begitu kau juga harus membantu, Luhan-ssi!”

Luhan mengibaskan tangannya. “Aku akan lakukan apa yang aku bisa.”

“Yak!”Sera buru-buru menahan tangan Luhan yang hendak melangkah menjauh. “Apa maksudmu? Kau juga harus berusaha.”

“Arasseo…”sahut Luhan cepat, tidak ada kesan serius di nada suaranya.

“Dan kau juga harus melakukan sesuatu untuk membayar sewa rumah dan makanan selama kau tinggal di rumahku.”

“Mwo?”kaget Luhan.

“Di dunia ini tidak ada yang gratis, Xiao Luhan!”

“Okay. Okay. Itu bukan masalah, aku akan membayarmu 2 kali lipat setelah kau bisa memutus benang ini dan aku bisa pulang ke Beijing.”

“Apa?? Memangnya aku bodoh membiarkanmu pergi begitu saja sebelum membayar. Kau juga harus menemukan pekerjaan. Setidaknya kau harus membeli baju untuk dirimu sendiri.”

“Kau tidak mau meminjamiku baju lagi?”

“Kalau kau mau memakai kemeja lama ayahku—”

“Ok! Deal!!”putus Luhan begitu saja sambil melepaskan tangan Sera di lengannya dan melangkah menjauh dengan gaya cueknya yang menyebalkan.

“Yak! Xiao Luhan!!”

“APA?!”balas Luhan tak kalah galak sambil memutar tubuhnya. “Cepat jalan, gadis cerewet! Kau harus bekerja bukan? Aku akan mengikutimu berkeliling perpustakaan, jadi cepat pakai kaki pendekmu itu, sebelum aku berubah pikiran!”

Urat marah Sera berdenyut. Brengsek!! Luhan benar-benar pria brengsek berlidah ular super menyebalkan yang amat sangat menyusahkan!! Dan dia bilang Sera berjodoh dengannya?? Jangan bercanda!! Lebih baik Sera terjun ke lautan magma daripada terikat seumur hidup dengan pria menjijikkan seperti Luhan!!







Sera termangu, matanya menerawang ke kejauhan. Di dalam bangunan bercat putih yang nampak benderang di antara rerimbunan pohon di sana, ada Baekhyun. Itu adalah gedung Fakultas Ekonomi tempat Baekhyun dan kawan-kawan organisasinya menyiapkan bazaar dan acara ulang tahun fakultas. Gedung itu berada di utara kampus dan berjarak kira-kira 100 meter dari tempat Sera berada. Jika saja kondisinya tidak ‘begini’, Sera pasti sudah menyusul Baekhyun. Mengobrol sebentar sebelum pulang, atau bahkan mungkin berbagi sedikit ciuman.

Tapi…

Kepala Sera berputar ke arah pemuda yang sedang sibuk berjongkok sambil membenarkan tali sepatunya yang lepas. Siulan santai pemuda itu membuat Sera ingin menimpuk kepalanya dengan sepatu!

Aish! Gara-gara pria brengsek sialan itu, Sera jadi tidak bisa bertemu dengan pacarnya! Sial! Sial! Sial!!

“Baekhyun lama-lama bisa curiga jika menyadari Luhan selalu ada setiap kali dia bertemu denganku. Aku juga tidak ingin ada teman Baekhyun yang melihat Luhan. Untuk saat ini, mumpung Baekhyun juga sedang sibuk, aku harus rela meminimalisir pertemuan kami berdua. Jangan dekat-dekat Gedung Ekonomi dan jangan biarkan Baekhyun datang ke rumah!”pikir gadis berambut hitam panjang itu.

Sera mengelus dadanya, merasa nelangsa. Ia harus bersabar, karena jika Baekhyun tahu ia pasti akan terkejut sekali dan mungkin akan marah. Mana mungkin Baekhyun tidak marah melihat pacarnya tinggal satu rumah dengan pria lain, bukan? Membayangkannya saja Sera sudah merasa ngeri. Tipe ceria dan manis seperti Baekhyun, akan seram sekali ketika marah. “Demi Baekhyun, aku harus segera memutus benang merah sialan ini,”batin Sera lagi, sambil menatap penuh tekad ke arah Gedung Ekonomi. Berharap keberadaan Baekhyun disana akan lebih mengobarkan semangatnya.

“Mwohae (sedang apa)?”tanya Luhan sambil—dengan kurang ajarnya—menonyor kepala Sera hingga membuat gadis itu limbung. “Kkaja!”

“YAK!”jerit Sera tak terima. Luhan terus saja melangkah santai meninggalkan Sera, tak merasa bersalah sama sekali. Sera tak percaya, padahal Sera tadi dengan ikhlas menunggu Luhan yang sedang membenarkan tali sepatunya, dan sekarang pemuda itu malah berjalan meninggalkannya. Dasar kaki jerapah!! Jangan jalan terlalu cepat!! Kau tidak bisa menjauh lebih dari 7 meter, bodoh!!

“Apa kau tidak bawa payung?”tanya Luhan, tanpa menoleh.

Sera yang berusaha berjalan cepat di belakangnya menjawab ketus. “Hujannya tidak deras, hanya gerimis!”

“Gerimis pun bisa membuatmu sakit.”

“Apa sekarang kau sedang mencemaskanku?”

“Tidak. Kalau kau sakit, aku yang repot nanti. Aku tidak mau tertular!”

Sera ternganga. Manusia setengah setan menyebalkan!!

Perjalanan di bus, terasa begitu singkat karena Sera tertidur. Rasanya ia lelah sekali hari ini, mungkin bukan lelah secara fisik tapi lebih ke lelah secara batin. Guncangan halus bus sukses meninabobokannya.

Sedangkan Luhan, ia memilih menikmati pemandangan Jeju di malam hari. Kota Jeju tidak sepadat kota Beijing. Udaranya juga lebih bersih. Apalagi Kota Gyorae tempat Sera tinggal ini berlokasi di kaki Gunung Halla, jadi udaranya begitu sejuk dan berubah menjadi dingin menggigit ketika habis hujan seperti ini.

“Hatchi!!”Luhan bersin tepat ketika ia turun dari bus.

“Jangan sampai sakit, nanti aku bisa repot. Aku tidak mau tertular, ara?!”ejek Sera yang berdiri di halte. Puas sekali karena bisa membalas Luhan.

Luhan mencebikkan bibir, ingin sekali menjitak kepala Sera, tapi urung ia lakukan karena tiba-tiba angin berhembus kencang dan membuatnya menggigil kedinginan. Luhan mendekap tubuhnya, menggerutu dalam hati.

Huh, gadis cerewet itu tidak ada manis-manisnya sama sekali! Coba Sera berdandan lebih feminim dan memperbaiki cara jalannya yang seperti ayam itu, mungkin dia akan nampak sedikit lebih cantik. Tubuhnya kurus, tidak montok berisi seperti badan Hyuna—mantan pacar Luhan yang punya tubuh paling seksi—, dadanya itu pasti hanya cup-A atau paling banter cup-B. Dan kemeja kebesarannya itu benar-benar membuatnya nampak seperti orang-orangan sawah.

Kurus, tidak berlemak dan memakai kemeja setipis itu, apa ia tidak merasa dingin, eh?

“Hatchi!!”

Tuh…

“Tidak lucu kalau kita berdua sakit,”ujar Luhan sambil berjalan menjajari langkah Sera dan menggamit lengannya. “Lebih baik kita panaskan tubuh kita…”

“Eh?”

Sera terlambat bereaksi. Terlambat mencerna maksud kata-kata Luhan. Saat tiba-tiba Luhan sudah menarik tangannya begitu saja. Melangkah cepat, setengah berlari dan berlari….

Kaki Sera yang tak sepanjang kaki Luhan kepayahan mengikuti. Terseok-seok. Gadis itu memekik, menyumpah-nyumpah saat Luhan terus saja berlari tanpa mempedulikannya. Pemuda China itu justru tertawa, berpikir bahwa angin yang diterjangnya terasa begitu menyenangkan. Di kanan-kiri mereka adalah sawah yang menghijau. Lampu-lampu jalan berpenerang seadanya, suara jangkrik yang berpadu dengan suara katak, gemericik air, dan tubuh yang semakin menghangat seiring dengan laju kaki dan detak jantung. Sungguh menyenangkan!

“YAK! XIAO LUHAN!!”jerit Sera. Napasnya sudah mulai terengah.

“Wae? Percepat larimu, Cheon Sera! Kau lambat sekali!!”

“Kau yang terlalu cepat, bodoh!!”Sera terbatuk kecil. “Dasar kaki jerapah!!”

“Hahaha…” Bukannya membalas omelan Sera, Luhan justru tertawa. Lepas. Ia menolehkan wajahnya sembari berkata dengan penuh semangat, “Ayo!! Sekencang apapun aku berlari, aku tidak akan melepaskan tanganmu, jadi kau tidak akan tertinggal, Cheonse!”

Cheonse—Cheon Sera sejenak terhenyak ketika melihat wajah dan tawa Luhan. Kemana pria setengah setan yang ia benci tadi? Saat ini pemilik punggung yang berlari di depannya seolah berubah menjadi malaikat yang sedang ingin terbang bebas. Benang merah yang ada di kelingkingnya berpendar. Lebih dari itu, genggaman Luhan di pergelangan tangannya terasa hangat. Genggaman itu lebih nyata dan entah kenapa tak bisa Sera tepis.

“Chak-chakkaman! Aku tidak kuat. Berhenti—hh—berhenti menarikku, Lu!”

“Hei, kau ini tidak pernah olahraga ya? Cuma segini saja masa—eh?”Luhan menghentikan langkahnya dan segera berbalik menghadap Sera yang nampak begitu kepayahan sambil memegangi dadanya. “Yak! Cheon Sera, kau baik-baik saja?”

Napas Sera nampak berat.

“Apa kau sakit? Hei, jawab aku!”

Sera meringis, sambil mendongakkan kepalanya pelan. Matanya nampak sayu, ia mendesis kesakitan sebelum bilang…

“Dasar bodoh!!”umpatnya sambil sekuat tenaga menendang kaki Luhan, tepat mengenai tulang kering yang langsung membuat Luhan memekik kesakitan dan terlompat-lompat sambil memegangi kakinya.

“YAISH!!”bentak Luhan, tangannya tak henti mengusap-usap bekas tendangan Sera.

“Hhhh… aku capek sekali,”keluh Sera sambil duduk menjeplak di pinggir jalan. Pantatnya ia taruh begitu saja di jalan aspal yang masih setengah basah. Kakinya ia selonjorkan ke depan, ke atas rerumputan. Tubuhnya menghadap ke perkebunan warga. Di kejauhan sana, Gunung Halla bagai raksasa hitam pekat. Tidak ada bintang malam ini. Semua sepenuhnya tertutup mendung. Pukul 21.30 di Desa Bijarim, jalanan sudah sangat lengang.

“Kenapa malah duduk disini?”tanya Luhan.

“Time out! Istirahat sebentar!”ujar Sera masih terengah. “Lagipula, apa-apaan kau mengajak orang berlari malam-malam begini? Kurang kerjaan!”

“Itu untuk membakar lemak, ara? Supaya kita tidak kedinginan, dan tidak terserang flu,”jawab Luhan sembari mengambil posisi duduk di samping Sera.

“Memangnya tak ada cara lain apa?”Sera menghirup napas banyak-banyak, lalu berusaha meredakan kecepatan napasnya agar kembali normal. “Kakiku pegal, baka (‘bodoh’ dalam bahasa Jepang)!”

“Tentu saja ada cara yang lain…”jawab Luhan.

Sera menoleh, hendak bertanya, “Ap—?”

Tapi belum selesai kata tanyanya terucap, Luhan tiba-tiba menarik tubuhnya dan mendekap tubuh Sera. Membuat Sera membeku seketika di pelukan Luhan. Wajahnya bisa merasakan panasnya dada pria itu meski tertutup kemeja, dan hal itu serta merta membuat pipinya memanas.

“Dengan saling berpelukan, mengalirkan panas tubuh ke tubuh lainnya. Ini sangat manjur untuk menghangatkan tubuh…”kata Luhan di dekat kepala Sera.

“AISH!!” Kedua tangan Sera mendorong tubuh Luhan sekuat tenaga, hingga dekapan Luhan terlepas dan Luhan jatuh ke belakang. “Byuntae!”umpat Sera sambil menendang sepenuh hati kaki Luhan.

“Aku bukan byuntae!”sahut Luhan tak terima sambil membenarkan posisi duduknya. “Kau tadi kan tanya apa ada cara yang lain atau tidak. Karena itu aku menunjukkan cara yang setauku paling praktis. Tidak butuh alat apapun, hanya butuh panas tubuh.”

“Tetap saja! Kau cari-cari kesempatan!”

“Apanya? Memangnya aku senang memelukmu? Dada rata seperti itu…”

“YAK!!!”Tangan Sera melayang, hendak memukul Luhan. Tapi Luhan lebih sigap.

“Hap!”serunya sambil menangkap tangan Sera. Sera melotot, satu tangannya yang masih bebas segera ia layangkan ke kepala Luhan, tapi…

“Hap. Kau tidak bisa memukulku lagi, Cheonse.”

Grrrr… Sera semakin geram. Sayangnya kaki Sera tertekuk—posisi bersimpuh—saat hendak memukul Luhan, jelas dengan posisi seperti itu ia tidak bisa melayangkan tendangannya pada Luhan seperti tadi. Tak pantang menyerah Sera mencoba untuk menarik tangannya, tapi Luhan juga kekeuh memegangi tangan Sera.

Oh, bukan Sera namanya kalau gadis itu tidak banyak akal.

Duk!

“AW!!”

“Auw, ittaii~ (‘sakit’ dalam bahasa Jepang)!”

Luhan dan Sera kompak memekik kesakitan. Luhan mengelus-elus keningnya dengan cepat, berusaha meredakan nyeri yang menyengat disana. Sedangkan Sera tak kalah gusarnya dengan Luhan, sibuk memegangi kepalanya yang berdenyut menyakitkan.

“Apa kau bodoh, hah?!”umpat Luhan kesal. Sambil terus mengusap keningnya.

Ya, ya, Sera barusan—entah dapat wangsit darimana—karena tidak bisa memukul Luhan dengan tangan, akhirnya memilih memukul jidat Luhan dengan sundulan kepalanya.

Keputusan yang akhirnya Sera sesali karena bukan hanya Luhan, ia pun ikut kesakitan, ckckck…

“Duh, ternyata rasanya sakit sekali…”pikir Sera. Padahal kalau di film action, aktor yang melakukannya tidak pernah nampak kesakitan. Apa ia telah ditipu, eh?

“Kau lahir di sini?”tanya Luhan tiba-tiba, entah mencomot topik pembicaraan dari mana. Mata bening pemuda itu kini menatap ke arah bulan purnama yang mulai nampak dari sekat-sekat mendung yang mulai menyingkir.

“Tidak,”jawab Sera sambil menggeleng pelan. Mata gadis itu juga sedang menatap objek yang sama. “Aku lahir di pulau Imja, pulau yang ratusan kali lipat lebih kecil dan lebih sepi daripada Jeju. 5 tahun lalu aku pindah ke sini bersama appa.”

“Lalu dimana appa-mu sekarang? Kalian tinggal terpisah?”

“Hum!”Sera mengangguk mantap. “Sekarang appa sudah tinggal bersama Tuhan di surga.”

“Ah, maaf…”lirih Luhan, ia menyesal menanyakan hal itu pada Sera.

“Gwaenchanayo, appa sudah pergi sejak 3 tahun lalu, jadi aku sudah terbiasa.”

“Lalu ibumu?”tanyanya lagi. Sejak kapan Luhan penasaran dengan hidup orang lain? Entahlah. Luhan pikir, untuk beberapa hari ke depan ia akan tinggal di tempat Sera, jadi tidak ada salahnya untuk mencari tahu sedikit tentang gadis ini, bukan? Paling tidak Luhan harus memastikan Sera bukan psikopat yang akan diam-diam membunuhnya saat Luhan sedang terlelap. Oh, baiklah, sepertinya ia terlalu berlebihan.

“Aku tidak punya ibu,”jawab Sera cepat.

“Eh?”Luhan menoleh. Itu bukan jawaban wajar yang Luhan harapkan.

“Aku tidak punya Ibu,”ulang Sera sambil ikut menolehkan kepalanya ke arah Luhan. Mereka saling bertatapan. Wajah Sera begitu tenang tanpa emosi. Sedangkan Luhan nampak bingung dengan kerutan di antara alisnya.

“Kau lahir dari perut ayahmu?”tanya Luhan, terdengar bodoh.

“Begitulah,”jawab Sera, cuek, tak kalah bodohnya.

Sedetik-dua detik, Luhan masih mencoba membaca ekspresi Sera. Tapi tak ada apapun disana. Sera tak bohong, tapi jawabannya tadi tentu juga tidak sepenuhnya benar. Entah apa yang terjadi pada gadis itu di masa lalu, Sera pasti sangat membenci ibunya.

“Bagaimana dengan keluargamu? Ayah? Ibu? Kakak? Adik?” Gantian Sera yang kini bertanya.

“Ayah…”jawab Luhan. Ia terdiam sejenak. “Dan dua orang ibu.”

“Wow!”seru Sera, matanya membulat.

“Kakak tiri, bibi dan saudara sepupu…”Lagi-lagi Luhan berhenti sejenak. Mendung telah sepenuhnya tersingkap, sehingga bulan bisa dengan leluasa memancarkan cahayanya. Tangan Luhan tanpa sadar menyentuh liontin di balik kemejanya. “…lalu, dulu, aku juga punya saudara kembar.”

“Oooh…”gumam Sera. Kepalanya terangguk-angguk. “…dulu.”

Luhan kembali menoleh pada Sera, menarik perhatian gadis itu untuk ikut menoleh ke arahnya. Luhan menunjukkan smirknya sembari berkata penuh misteri. “5 tahun lalu aku membunuhnya…”

Mata Sera membulat. Terkejut dengan pernyataan Luhan. “Kau meledekku ya? Kau pikir aku akan percaya, huh?”

“Kenapa tidak?”Luhan menelengkan kepalanya ke samping. “Memangnya aku tidak pantas menjadi pembunuh? Kupikir wajahku cukup kejam!”

“Aighooo… babo! Dengan kepribadian menjengkelkanmu, kau memang cocok menjadi psikopat berdarah dingin. Tapi, melihat dirimu yang nampak begitu khawatir saat aku—yang bukan siapa-siapamu—‘pura-pura’ kesakitan, aku tahu kau tidak akan sanggup melukai siapapun apalagi keluargamu sendiri.”

“Aku tidak pernah khawatir padamu!”bantah Luhan, wajahnya entah kenapa terasa panas.

“Sudahlah, aku juga tidak butuh pengakuanmu!”Sera mengibaskan tangannya di depan wajah. Memandang remeh Luhan yang terlalu enggan menunjukkan perasaannya yang jelas-jelas terlihat. “Jika kau benar-benar membunuh saudara kembarmu, aku yakin itu pun bukan karena kau sengaja. Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri dan menganggap dirimu jahat. Kau tidak seperti itu! Orang yang dikutuk terikat padaku seperti ini…”Sera menggenggam benang merah yang tergulung diantara mereka. “…tidak mungkin orang yang jahat. Tuhan tak sekejam itu hingga Dia tega mengirimkan orang jahat ke padaku. Oh! Ada mobil!!”

Mengabaikan Luhan yang terdiam mendengar kata-katanya, Sera bangkit hendak menghentikan mobil yang nampak di kejauhan. Tapi tiba-tiba tangannya ditahan oleh Luhan. Sera menundukkan kepalanya, ke arah Luhan yang masih duduk di aspal jalan.

“Tahu apa kau tentang hidupku?!”desis Luhan. Wajahnya gelap, matanya berkilat penuh emosi.

Ditatap seperti itu oleh Luhan, anehnya tidak membuat Sera merasa takut. Ia justru merasa iba. “Aku memang tidak tahu apa-apa. Aku bahkan baru mengenalmu kurang dari 24 jam. Jadi wajar jika aku mungkin salah menilaimu bukan? Kalau benar begitu, anggap saja aku sial. Tapi sampai akhir aku akan tetap dengan pendapatku tentang dirimu. Kau bukan orang jahat dan aku akan mempercayai itu. Oke?”Sera tersenyum. “Dan hentikan wajah meranamu itu, Xiao Luhan. Ck, kau nampak jelek sekali!”

Sera melepas genggaman Luhan di tangannya dengan halus. Lalu gadis itu berlari ke tengah jalan dan melambai untuk menghentikan sebuah mobil pick up warna biru yang berjalan ke arahnya. Manik mata Luhan tak lepas dari sosok gadis itu. Mengikuti setiap pergerakannya, ekspresi wajahnya dan bagaimana cara ia bicara. Sera bukan gadis yang istimewa. Ia hanya satu dari jutaan gadis biasa-biasa saja di dunia ini.

Tapi lihatlah, kenapa hanya dengan kalimat asalnya Luhan menjadi merasa begitu lega? Dadanya terasa lapang. Dan liontin yang ada di lehernya sudah tidak terasa begitu memberati lagi seperti sebelumnya. Sudah berapa ratus kali Seunghyun menasehatinya untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Luxien. Sudah berapa ribu kali ia bertengkar dengan Baba-nya hanya demi menuntaskan rasa frustasinya selama ini. Sudah berapa juta kali dadanya sakit setiap kali ia tidak bisa tidur di malam hari. Tapi tak pernah Luhan merasa sedamai ini.

Hembusan angin kembali menggelitik saraf di kulit Luhan. Membawa segarnya udara malam, bau hujan dan menggerakkan rambut indah gadis yang kelingkingnya terikat oleh benang merah itu. Sera tertawa bersama dengan sopir pick up—yang sepertinya adalah tetangga dekatnya—dan ibu-ibu paruh baya di kursi penumpang. Wajah ramah gadis itu seperti memancarkan cahaya, kontras dengan mata tajamnya yang teguh. Tanpa sadar seulas senyum pun ikut terukir di bibir Luhan.

“Lu… ayo! Kita menumpang mobil Jung-ahjussi!”kata Sera sambil menggamit tangan Luhan dan menariknya, menggenggam pergelangan tangan pria itu erat.

“Naik pick up?”tanya Luhan tak percaya ketika Sera membawanya ke belakang mobil, ke bagian bak terbuka. “Di belakang?!”Luhan nyaris berteriak histeris.

“Iya!”jawab Sera ringan, tak sadar dengan nada tak suka yang Luhan lontarkan. Oh man, Luhan terbiasa naik Limosine, Ferarri dan mobil-mobil mewah sejenisya, lalu sekarang gadis desa ini mengajaknya naik di mobil bak terbuka? Bersama dengan karung-karung sayur busuk yang tidak layak jual? Yang benar saja!!

“Maaf ya! Mungkin di belakang baunya agak tidak enak, hahaha…”seru sang sopir. Luhan otomatis mendelik kesal mendengar kata-katanya.

“Ini lebih baik daripada berjalan kaki kan?”ujar Sera saat ia dan Luhan sudah berada di atas mobil. “Tenang saja, aku bilang kalau kau adalah saudara sepupuku yang berasal dari Seoul jadi paman dan bibi tidak curiga,”jelas Sera saat melihat wajah Luhan yang nampak tegang. Bukan itu! Luhan berpegangan pada pinggir bak pick up dengan wajah tegang dan tubuh kaku bukan karena takut dicurigai oleh paman dan bibi Jung itu, tapi ia takut terjengkang ke belakang saat mobil pick up ini melaju.

Sera berseru senang, abai sama sekali dengan perasaan Luhan. “Ayo jalan, ahjussi!”

Mobil menggerung saat mesinnya dinyalakan. Asap putih mengepul bergulung-gulung dari knalpotnya, membuat Luhan terbatuk. Mobil pick up biru itu tersentak pelan sebelum mulai berjalan. Pelan menyusuri jalanan di desa Bijarim. Membawa Sera yang tertawa senang dan Luhan yang bersungut-sungut dengan rambut berantakan di terpa angin.







Baekhyun menguap lebar-lebar. Badannya terasa remuk luar biasa setelah seharian ini mondar-mandir mengurus banyak hal untuk persiapan acara ulang tahun fakultasnya. Ia bertugas sebagai ketua penyelenggara yang berarti bertanggung jawab penuh memastikan acara berjalan lancar. Banyak hal yang harus di cek. Termasuk laporan dana yang masuk dari sponsor. Hwang Shiina, sahabatnya, yang bertugas menjadi bendahara, menatapnya simpati.

“Tidur sajalah!”katanya. “Dua hari ini kau hanya tidur sebentar sekali. Pulang sana dan tidur dengan nyenyak!”

“Aku tidur disini, hari ini. Sudah pukul 10, tanggung jika harus pulang dan besok harus kembali ke sini pagi-pagi. Kau sudah mengerjakan tugas dari Kim Sangjin-gyosungnim? Aaah, aku belum menulis satu huruf pun untuk tugas makalahnya.”

“Mau menyontek punyaku?”tanya Shiina sambil menopangkan dagunya di kedua tangan dan mengedip pada Baekhyun.

Senyuman lebar terbit di bibir Baekhyun. “Boleh?”

“Tidak.” Shiina menjulurkan lidah, mengejek.

“Ish!”Jari-jari Baekhyun dengan cepat menghadiahi sentilan ke dahi Shiina. Hadiah karena Shiina telah sukses membuatnya gemas.

“Yak! Iiisssh. Pulang sana! Ini bahkan belum hari H acara, tapi wajahmu sudah seperti orang mau mati. Kau bisa mengecek laporan itu di bus.”

“Shireoyo, Shiina.”Baekhyun kembali mengarahkan tatapannya ke deretan angka-angka yang ada di tangannya. “Kau menginap disini kan malam ini? Untuk menemani Sanghee.”

“Ne,”jawab Shiina. “Pekerjaan Sanghee harus selesai malam ini. Aku juga berencana untuk sekalian mengerjakan tugas kelompok dengannya. Tugas dari Lee Inyoung-gyosungnim.”

“Geurae, karena itu aku harus tidur lagi disini malam ini. Aku tidak mau dipukul paman karena membiarkanmu menginap sendirian di kampus.”Baekhyun menoleh pada Shiina. Mencubit kedua sisi pipi tembam sahabat sekaligus tetangganya sejak bayi itu. “Pekerjaan utamaku malam ini justru adalah menjagamu, hime-sama (tuan putri).”

“Ish!”Shiina menepis tangan Baekhyun, lalu menekan-nekan pipinya yang terasa ngilu. “Aku tidak butuh penjagaanmu, aro? Aku bisa menjaga diriku sendiri. Lagipula aku tidur disini bersama teman-teman, tidak sendirian.”

“Tetap saja, sebagian besar teman-teman kita adalah laki-laki. Bisa apa kau kalau sudah berhadapan dengan tenaga lelaki. Kau juga kenapa memakai celana pendek seperti itu? Sengaja mengundang eh? Ganti dengan celana panjang!”

“Heol! Menyebalkan. Kenapa semakin tua kau semakin terdengar seperti Appa, Baek? Aku bukan anak perempuanmu, oke?”

“Kau sahabatku. Sahabatku tersayang…”Baekhyun mengusap puncak kepala Shiina. Membuat jantung gadis itu berdebar. Shiina mengeluh dalam hati. Kapan ia bisa menata hatinya jika Baekhyun terus memperlakukannya seperti ini? Laki-laki bodoh itu, sudah tanpa sadar menjebak Shiina dalam friend zone yang menyesakkan. Membiarkan gadis itu jatuh cinta sendirian dan diam-diam.

“Kalau aku appa-mu, aku pasti sudah memukul bokongmu sekarang dan menyeretmu pulang, hime-sama,”lanjut Baekhyun yang dibalas Shiina dengan dengusan sebal.

Handphone Baekhyun yang berada di atas meja bergetar. Baekhyun mengambilnya dan membaca apa yang terpampang di layar. Sebuah pesan. Yang serta merta membuat senyum Baekhyun terbit.

“Dari Sera?”

Baekhyun mengangguk, sambil dengan cepat mengetik sebuah balasan. “Aku merindukannya.”

Dan aku merindukan kata-kata itu diucapkan olehmu untukku, Baek, batin Shiina perih.

“Dia tidak mampir hari ini?”

“Tadi pekerjaannya di perpustakaan selesai agak terlambat. Aku menyuruhnya segera pulang agar tidak kemalaman sampai di rumah. Kau tahu sendiri jarak dari halte ke rumahnya cukup jauh. Dan aku tidak bisa mengantarnya pulang. Syukurlah, dia sudah sampai di rumah, katanya ia bertemu dengan Kim ahjussi di jalan. Pedagang sayur itu. Sera menumpang pick up-nya,”jelas Baekhyun, bahkan tanpa Shiina minta. Cerita sesederhana itu, hal sekecil itu, tidak penting tapi terkait tentang Sera—pacarnya, sudah mampu membuat Baekhyun kembali riang. Wajah lelahnya mendadak berubah lebih cerah.

“Kau sangat menyukainya, ya?”tanya Shiina yang langsung ia sesali. Sialan, ia sudah menabur garam ke lukanya sendiri.

“Ani,”jawab Baekhyun. “Aku mencintainya. Sangat.”

Shiina tersenyum. Senyum yang muncul karena tertular senyum Baekhyun. Meski ada kegetiran disana. Sudah sejak lama—lama sekali—Shiina menaruh hati pada pria yang begitu penyayang itu. Tapi Shiina tak cukup beruntung karena pada akhirnya Baekhyun jatuh cinta pada gadis yang baru pindah ke Bijarim bersama ayahnya. Shiina bahkan masih ingat bagaimana wajah terpesona Baekhyun saat melihat Sera pertama kali di halte bus, 5 tahun lalu. Meski telah merebut cinta Baekhyun, tapi Shiina tak pernah bisa membenci Sera. Shiina justru sangat sayang pada gadis malang itu. Dan rasa sayangnya itu lah yang membuat hatinya semakin pedih.

“Aku akan mencarikanmu kopi,”ujar Shiina sambil beranjak pergi. Meninggalkan Baekhyun yang telah asyik dengan ponselnya. Berkirim pesan dengan gadis yang telah merebut hati Baekhyun sekaligus merenggut harapan Shiina.







Benang merah magis yang mengikat Sera dan Luhan begitu unik. Ketat, tidak bisa dipotong, tidak bisa dibakar, tidak bisa dihancurkan, intinya tidak bisa putus meski dengan cara sekeras apapun. Lebih anehnya lagi—yang sungguh tidak bisa diterima oleh akal—benang merah itu tembus jika melewati benda dan manusia lainnya. Manusia lain bisa dengan mudah melewatinya tanpa takut tersandung. Sera dan Luhan juga bisa dengan mudah melepas dan memakai pakaian mereka tanpa takut tersangkut. Mereka juga bisa bergerak kemanapun bahkan jika harus berpisah ruangan karena benang merah itu dapat menembus dinding.

Fleksibel, tapi begitu mengikat ketat.

Alkisah di zaman pemerintahan Kaisar Tang Taizong di China, seorang pria bernama Wei Gu akan melangsungkan pernikahan dengan putri seorang mantan pejabat istana bernama Pan Fang. Wei Gu yang telah gagal menikah berkali-kali sangat yakin bahwa rencana pernikahannya kali ini akan berhasil. Wei Gu yang tak sabar menunggu hari pernikahan, pergi ke kuil pagi-pagi buta. Disana ia bertemu dengan kakek tua yang membawa sebuah tas dan sedang membaca buku di bawah sinar bulan. Wei Gu penasaran dengan apa yang sedang dibaca kakek tua itu, maka ia bertanya padanya. “Buku apa yang sedang anda baca tuan?”

“Ini buku tentang pernikahan. Aku hanya perlu menggunakan benang merah dalam tas ini untuk mengikat dua orang dan mereka akan berjodoh untuk menikah.”

“Utkijima…”gumam Sera. “Ini semua hanya dongeng, benar kan?”tanya Sera sambil berbalik ke arah Luhan yang sedang tiduran di sofa sambil membaca komik jepang milik Sera. Selesai makan malam, Sera berinisiatif mencari informasi tentang benang merah takdir di internet. “Lagipula aku tidak pernah bertemu dengan kakek tua yang membaca buku di bawah sinar bulan? Tiba-tiba saja benang merah ini sudah di jari. Aigho, sejak awal cerita saja sudah aneh, kakek-kakek yang membaca di bawah sinar bulan? Apa matanya tidak sakit, eh?”

“Jangan bicara kurang ajar seperti itu pada dewa kalau tidak mau dikutuk.”

“Kau percaya pada cerita klasik macam ini?”

“Kau lupa kalau aku orang China?”

Oh, benar… mitologi, cerita-cerita kuno seperti ini, kebanyakan berasal dari China. Orang-orang jaman dulu memang hebat. Imajinasi mereka luar biasa.

Sera melanjutkan membaca.

Wei Gu yang penasaran, bertanya siapakah istrinya di masa depan nanti. Apakah gadis yang akan dinikahinya besok, Pan Fang putri dari pejabat istana itu? Ternyata jawabannya ‘bukan’. Lelaki tua itu menunjukkan siapa gadis yang terikat benang merah dengan Wei Gu. Sang calon istrinya nanti. Dia adalah seorang gadis cilik berusia 3 tahun yang memiliki seorang wanita tua yang salah satu matanya buta. Keduanya nampak sangat kotor dan jelek.

“Kau akan menikah dengannya saat gadis itu berusia 17 tahun,”jelas sang lelaki tua.

Wei Gu marah, tidak terima memiliki jodoh yang miskin dan jelek seperti itu.

Wei Gu bertanya dengan marah, “Bolehkah saya membunuhnya?” Orang tua itu menjawab, “Gadis ini ditakdirkan untuk menjadi sangat kaya dan menikmati anugerah kehidupan bersama dengan kamu. Bagaimana kamu bisa membunuhnya?” Lalu orang tua itu menghilang.

Mengabaikan ucapan sang pria tua, Wei Gu pulang ke rumah dan mulai mengasahnya. Lalu ia mengutus seseorang untuk membunuh gadis cilik itu.

Sera menghela napas panjang. Manik mata gadis itu terus menelusuri tiap-tiap kata sampai cerita tentang Wei Gu berakhir. Apa yang terjadi selanjutnya setelah Wei Gu mengutus seorang pembunuh bayaran itu telah membuatnya kecewa. Akhir yang tidak ia inginkan. Tidak ketika ia memiliki harapan yang sama seperti Wei Gu.

“Apa ini artinya meskipun aku mencoba membunuhmu, kemungkinan besar aku akan gagal dan benang merah ini akan tetap mengikatku denganmu, begitu?”simpul Sera. Luhan mengangguk, tanpa mengalihkan tatapannya dari komik yang ia baca.

“Yak! Apa kau tidak terlalu santai?”tegur Sera yang mulai jengah dengan sikap Luhan. “Apa kau mau terus-terusan terikat seperti ini, huh?”

“Hei, apa kau percaya lelaki tua di bawah sinar bulan itu ada?”Luhan balik bertanya. Ia meletakkan komiknya dan membenarkan posisi duduknya. Kali ini ia duduk dengan benar di kursi, tubuhnya agak condong pada Sera yang duduk di lantai.

Sera menatap Luhan lama sebelum menjawab. “Yah… itu hanya mitos kan? Walaupun aku percaya keajaiban, tapi soal kakek tua yang bertugas mengikat benang merah takdir, sepertinya tunggu dulu, aku harus mencari buktinya.”

“Ini.”Luhan mengangkat kelima jarinya, menunjukkan benang merah yang mengikat kelingking. “Apa ini bukan bukti?”

Sera menelan ludah.

“Sampai kapan kau mau lari dari kenyataan, Cheon Sera,”ujar Luhan dengan nada setengah mengejek. “Di China, para pengantar di upacara perkawinan disebut ‘laki-laki tua di bawah sinar bulan’, kau mengerti apa alasannya kan kenapa mereka disebut begitu?”

“Ya…”Sera memalingkan wajahnya.

“Dan kau tahu apa yang membuat ini semakin aneh?”

“Apa?”tanya Sera, matanya kembali menatap Luhan. Penasaran.

“Saat benang merah ini muncul, bukankah kita sama-sama sedang berada di bawah sinar bulan purnama? Kita bahkan sedang sama-sama menatapnya bukan?”

Mata Sera membulat. Bibirnya ternganga. Sukses terperangah. “Kau benar, jadi bulan itu… oh, mungkin jika kita kembali bersama-sama melihat bulan purnama. Semuanya akan kembali seperti semula? Kau bisa kembali ke China, Lu!”

“Tidak. Itu tidak akan terjadi.”

“Waeyo?”

“Kita sudah melakukannya tadi. Saat duduk di pinggir jalan. Aku sedang menatap bulan purnama dan kau juga. Tapi tidak ada yang terjadi.”

Bahu Sera melorot. Cahaya harapan yang sekilas nampak tadi, kini padam. Gelap gulita lagi.

“Seandainya kita bisa menemui ‘pria tua di bawah sinar bulan’ itu, mungkin kita bisa memohon padanya untuk memutus benang merah ini.”

Luhan melirik Sera. “Jadi kau percaya kalau benang merah ini benang merah takdir, bukan benang merah kutukan?”

“Jika itu takdir bersamamu, itu sama artinya dengan kutukan bagiku!”

Luhan melotot. Tidak terima. “Wae? Apa aku seburuk itu?”

“Eo! Coba lihat. Baru sehari kau menumpang di rumahku, kau sudah pandai sekali bersikap seperti tuan rumah. Apa kau tidak punya rasa canggung sedikitpun?”

“Rumahmu memang berada jauh dari standar layak kuhuni. Jujur, aku cukup terkejut dengan daya adaptasiku yang luar biasa ini. Ternyata aku bisa juga menolerir banyak hal.”

“Apa kau ini chaebol? Orang kaya? Gayamu sok sekali, aighooo…”

“Eo. Apa tidak terlihat dari tampangku? Aku jelas berada di atas levelmu, Cheonse.”

“Berhenti memanggilku Cheonse!”

“Aku memanggil siapapun dengan nama yang aku suka. Wae? Apa kau mau kupanggil ‘kaki ayam’?”

“Mwoya? Jangan memanggilku dengan nama aneh, Xiao Luhan! Ish, apa kau tidak mencemaskan orang tuamu. Mereka pasti sekarang kebingungan mencarimu.”

“Tidak. Aku malah ragu mereka sadar aku hilang dari rumah. Aah, tapi Seunghyun mungkin sadar, dan melapor pada Baba. Tapi aku tak peduli.”

“Geurae, geurae. Khas drama korea. Kau pangeran bermasalah rupanya.”

“Ne…”Luhan menyunggingkan senyum miringnya. “Keren bukan?”

Sera mencibir. “Keren apanya? Tukang mengeluh, sombong, tidak mandiri, cerewet–”

“Geumanhae…”desis Luhan.

“Narsis, childish, kasar, dimana dari bagian dirimu yang keren huh?”

“Yak!”Luhan mendekatkan wajahnya pada Sera. Mereka berdua saling menatap tajam. Tak ada yang mau mengalah. “Di Beijing, banyak yang antri hanya demi bisa kusapa, ara? Apa kau tahu betapa populernya aku disana? Tidak ada gadis yang tak bisa kudapatkan. Tentu saja. Aku kaya, pintar, selera fashionku tinggi, dan yang jelas aku punya wajah yang tampan. Josimhaera~! Aku tidak mau bertanggung jawab jika kau jatuh cinta padaku.”

“Hah…”Sera tertawa hambar. “Tingkat kenarsisanmu itu luar biasa, Xiao Luhan. Membuatku ingin muntah. Jika kau memang sebegitu kerennya, telpon orang tua kayamu itu. Mereka pasti punya banyak cara untuk memutus tali merah ini kan? Mereka pasti punya cukup banyak uang untuk bisa menemukan ‘pria tua di bawah sinar bulan’ itu. Dari referensi drama-drama korea, aku yakin orang tuamu tidak akan suka jika tau anaknya tinggal di gubuk menyedihkan milikku ini. Mereka pasti akan melakukan segala cara untuk memisahkan kita bukan? Ah, lagipula aku tidak mau menjadi cinderella, aku tidak suka berurusan dengan pangeran sepertimu.”

Sera beranjak, sesampainya di ujung tangga langkahnya terhenti. “Josimhaera, pangeran-lah yang lebih dulu jatuh cinta pada cinderella. Jika itu terjadi, kau tahu kan berapa prosentase dirimu ku tolak? 100%!”

Luhan menoleh ke arah Sera, matanya berkilat marah. Harga dirinya terluka oleh ucapan Sera. Gadis itu benar-benar pintar bicara. Dan sekarang ia begitu berani membalas tatapan Luhan, untuk membuktikan bahwa ia tidak takut pada pria itu.

Tatapan Luhan beralih pada benang merah di kelingkingnya ketika Sera telah melangkah menaiki tangga. “Benang merah sialan!”desis Luhan.







Bulan bertahta dengan indah malam ini. Awan hitam yang sebelumnya bagai tirai kelam yang menutupi cahayanya, kini telah menyingsing pergi. Membiarkan sang penguasa malam memenuhi keajaibannya kini.

Baekhyun menutup sambungan teleponnya. Ia tersenyum sambil memandangi layar handphone yang menunjukkan gambar wallpaper dirinya dan Sera. Beberapa saat yang lalu, ia baru saja berbicara dengan Sera. Rutinitas malam hari yang selalu membuatnya senang saat melakukannya. Berbicara dengan Sera, mendengar cerita gadis itu tentang apa saja, dan sesekali menyanyikan lullaby untuk gadis itu. Setelah yakin bahwa Sera telah tertidur di seberang sana, Baekhyun baru mematikan sambungan teleponnya.

Angin berhembus cukup kencang. Merontokkan dedaunan yang telah menguning di musim gugur. Baekhyun yang sedang ada di lantai tiga gedung fakultasnya, memandangi sang bulan yang mengintip dari balik dedaunan. Masa-masa purnama hendak berlalu, bulan itu tak sepenuhnya bundar.

“Mwohae?”Shiina yang datang dari arah kamar mandi menghampiri Baekhyun. Di lehernya tersampir handuk kecil. “Habis menelepon Sera?”

Baekhyun mengangguk. “Kkaja!”ajaknya sambil merangkul bahu Shiina akrab dan mendorong gadis itu pelan. Mereka harus kembali ke kantor sekretariat untuk tidur disana bersama teman-teman organisasi yang lain.

Seperti yang Baekhyun duga, Sera telah terlelap. Tangannya yang menggenggam handphone terkulai di atas kasur. Napasnya naik turun dengan teratur. Sementara di lantai bawah, Luhan masih belum mampu melelapkan dirinya. Matanya nyalang menatap langit-langit. Bagaimanalah ia bisa tidur jika di kamar atas Sera sibuk berbincang dengan pacarnya lewat telepon. Luhan tak berniat menguping, suara Sera terdengar begitu jelas karena ruangan rumah yang terlalu kecil.

Tapi saat suara gadis itu tak terdengar lagi, Luhan justru merasa kecewa. Aneh. Suasana sepi ini justru membuatnya tak nyaman.

“Apa dia sudah tidur?”gumam Luhan pada dirinya sendiri. Tentu saja tak ada jawaban.

Luhan menghela napas panjang. Lebih baik aku tidur, pikirnya sebelum kemudian memejamkan mata. Beberapa saat kemudian, ia telah jatuh tertidur berselimutkan selimut Hey! Say! JUMP yang hangat.

Saat itulah, terjadi keajaiban. Di bawah sinar bulan yang menembus masuk melalui kaca jendela yang tak tertutup, benang merah yang mengikat Luhan dan Sera bersinar dalam gelap. Merah berkilau seperti ruby. Benang merah itu bergerak pelan. Menyusut masuk ke dalam jari Luhan dan Sera. Membuat panjangnya berkurang.

Setiap malam, setengah meter.







Suasana pagi itu bahkan lebih canggung daripada pagi sebelumnya. Luhan tak bicara selama sarapan, dan Sera sama sekali tak berminat mengajaknya bercakap. Pertengkaran semalam sepertinya masih membekas.

Ini hari kedua, dan benang merah itu masih mengikat.

Kali ini Luhan meminjam baju lama mendiang ayah Sera untuk pergi ke kampus. Kemeja usang dengan motif kotak-kotak dan kaos oblong. Sera kemudian sibuk memilihkan celana jeans ayahnya untuk Luhan. Tubuh Ayah Sera tidak gemuk, bahkan cenderung kurus dan tinggi. Cukup memakai ikat pinggang, sepertinya akan cukup untuk Luhan pakai.

Baru saja Sera berbalik untuk menyerahkan celana jeans biru terbaik ayahnya pada Luhan, gadis itu memekik kaget melihat Luhan sudah bertelanjang dada di belakangnya. Reflek Sera melemparkan celana di tangannya ke tubuh Luhan.

“Mwohaneungoya?!”tanya Sera setengah menjerit.

Luhan mendengus geli melihat reaksi Sera yang menurutnya berlebihan. “Aku hanya sedang ganti baju, memangnya kau pikir aku sedang apa?”

<span style="c

Show more