2015-07-23

 

Presented by

A.S. Ruby

Maincast: Park Chanyeol & Jackson Dokjun Morrow || Other Cast: Solar Kim (OC) with the special appearance of EXO’s members || Genre: Marriage Life, Family, Fluff, a little of Comedy, etc || Rated: T/PG-15 || Length: Series

Disclaimer

The title is inspired by “Diary of a Wimpy Kid” written by Jeff Kinney, while the storyline is based on the reality show “The Return of Superman” that has got much attention from Korean public. I own nothing except the ideas and the poster—there’s no money-making here of course.

Read the previous parts

Prologue || First (Jealousy) || Second (Protective)

Ø

Specially presented for the little beloved kiddo Jackson Dokjun Morrow

Ø

Well, hari ini libur.

Jadi, ucapkanlah terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa lantaran memberikanku kesempatan juga keinginan untuk menulis diari tolol ini kembali!

Maksudku, hei, selama ini aku sudah lelah bekerja serta mengurusi para berandal kecilku yang seolah tak pernah kehabisan energi untuk menghancurkan apartemen—dan lihatlah, aku masih berbaik hati, bukan? Aku masih menulis, dan terus menulis.

Aku tidak tahu kenapa, tetapi biarkanlah aku mengambil konklusiku sendiri terhadap fenomena aneh yang satu ini, mengenai mengapa kau masih begitu antusias untuk membaca diariku.

Hipotesisku yang pertama berkata, mungkin karena aku tampan—ya, kan? Orang mana pun, terutama para gadis, tidak akan pernah menolak bila ditawari satu bacaan menarik yang ditulis oleh pria luar biasa tampan sepertiku, walaupun aku juga tahu betul ketampanan tidak seratus persen menjadi faktor penentu jumlah penyuka tulisanku. Tetapi, yah, aku memang tampan.

Sungguh, aku tidak bermaksud bersikap terlalu narsis di sini, tetapi aku juga yakin betul sekitar sembilan puluh sembilan koma sembilan persen orang di dunia mengakui aku ini tampan; bagaimana dengan nol koma satu persennya kalau begitu?

Anggap saja mereka sinting.

Hanya orang tidak waraslah yang tidak mengakui ketampananku; bahkan aku sedang mempertimbangkan untuk memberikan satu kacamata super bagi setiap orang yang mengataiku jelek (mata mereka sakit, sudah pasti). Selanjutnya, faktor apa lagi yang menjadi penunjang ceritaku ini? Apakah lantaran kau tertarik dengan anak-anakku yang tampan seperti ayahnya, huh?

Astaga, percayalah, walau cinta tak pernah mengenal usia, aku bersumpah anak-anakku tidak akan pernah menikahi wanita yang jauh lebih tua darinya!

Aku tahu ini kedengaran bodoh, tetapi aku tidak akan pernah rela apabila orang-orang mengira anak-anakku menikahi bibinya sendiri, camkan itu—dan jangan pernah tumbuhkan jiwa pelaku pedofilia di dalam jiwamu! Meski aku, ya, agak tolol, setidaknya aku tahu keberadaan para pengancam jiwa anak-anakku; apalagi menghadapi kenyataan bahwa mereka tampan seperti aku, ayah mereka.

Dan coba lihat, hal apa saja yang sudah kusampaikan sebelumnya?

Hm, biar aku perinci satu per satu: persahabatan dengan  Solar, jatuh cinta, menikahinya, kelahiran anak-anak kami, masa-masa awal membesarkan mereka—wah, aku tak pernah menyangka aku sudah sejauh ini! Astaga, bagaimana bisa seorang berandal sekolah seperti aku (yang paling malas menulis esai, berbanding terbalik dengan Solar yang luar biasa rajin) justru kini sudah menyelesaikan tiga bab diarinya?!

Luar biasa!

Impressive—eh, itu bahasa Inggrisnya, bukan?

Jadi, bagian mana lagi yang harus kusampaikan kepadamu? Karena sungguh, aku merasa kebingungan sekarang. Kusesali semua perkataanku yang lalu, kubilang aku punya segudang cerita untuk disampaikan, bukan? Namun kini, lihatlah—aku bahkan tidak tahu harus menyampaikan kisah apa lagi kepadamu! Skak mat, begitulah istilah di dalam catur, aku termakan omonganku sendiri.

Aku arogan? Oke, aku memang sedikit—atau memang—sangat arogan, kuakui itu.

Aku merasa tidak punya cukup banyak cerita menarik untuk disampaikan kepadamu, karena aku bingung, dan bingung membuatku tidak tahu menulis apa (ini berbelit-belit, dasar Park Chanyeol tolol). Aku tidak tahu harus menyampaikan apa lagi bukan dalam artian aku sudah mati, meninggalkan Solar serta anak-anakku, lalu terkubur dengan konyol di pemakaman, tertinggal sendirian sementara neraka menunggu dengan riang untuk melahap seorang pria brengsek sepertiku—aku masih hidup, oke.

Hanya saja aku bingung.

Pernahkah kau menghadapi masa itu? Ketika kau tidak tahu harus menyampaikan apa lagi padahal terdapat beribu hal berpusar di dalam kepalamu. Seperti sewaktu kau diharuskan mengerjakan tugas persamaan aljabar tingkat tinggi dan kau seolah tahu akan menjawabnya apa, tetapi kepalamu berhenti bekerja, terlalu enggan untuk dipakai berpikir. Nah, seperti itulah aku menganalogikan diriku sekarang!

“Bagaimana bisa kau tidak menjawabnya, Yeol?!”

“Soal itu terlalu sulit dipecahkan, Solar!”

“A—astaga…”

Aku tidak pernah lupa ketika hari itu, sehabis hasil ulangan matematika tahun ajaran pertama kami dibagikan, aku menjadi satu-satunya murid yang tidak lulus tes dengan hasil nol. Kuulangi, aku dapat nilai nol sementara semua murid lainnya memekik girang lantaran lulus ujian! Bukankah payah sekali?!

“Apa yang menyulitkanmu, huh? Kau hanya perlu mensubstitusikan angka ini dengan angka ini, kemudian masukkan nilai x, lalu kelola…”

“Dan kau mendapatkan hasilnya.” Belum selesai Solar menyelesaikan kalimatnya, menjelaskan padaku pedoman menyelesaikan soal matematika tolol tersebut, aku langsung menginterupsinya cepat. “Aku tahu mudah bagimu untuk menyelesaikannya, semenjak dulu kau selalu mendapat nilai tertinggi dalam bidang apa pun, bukan? Tapi dengar aku, Nona Solar Kim yang luar biasa jenius: aku bukan kau.”

“Aku bukan kau, oke?”

“Aku ini Park Chanyeol yang bodoh, si idiot yang tidak pernah berhasil menyelesaikan soal termudah di kelas sekalipun…”

“Bahkan Baekhyun bisa menjawabnya, Yeol…”

Solar hampir menangis tatkala kukatakan hal itu kepadanya. Maniknya memerah sementara wajahnya yang biasanya tampak cerah pelan-pelan memucat, jemarinya menggenggam tanganku erat, meski aku tahu bahunya tak henti-hentinya bergetar hebat. Sepenting itukah nilaiku untuknya? Apa urusannya? Tidakkah dia puas dengan nilai-nilainya sendiri yang selalu tertinggi sekelas, bahkan seangkatan?

Dulunya aku bertanya-tanya, sebelum kini menemukan jawabannya sendiri setelah menikahinya.

“Mungkin kau tidak peduli, Yeol…” dia terus menangis sesenggukan, sementara aku hanya menatapnya dalam diam. “T—tapi ini begitu penting bagiku, karena aku peduli, Yeol,”

“Aku peduli Park Chanyeol.”

Begitulah bagaimana Solar, ibu dari anak-anakku, begitu mempedulikanku semenjak kami masih bersekolah dulu. Bayangkan saja, orang mana yang hendak menangisi nilaimu yang rendah padahal nilainya sendiri amat sangat kelewat tinggi dibanding yang lain? Namun Solar melakukannya. Dia menangis karena nilaiku rendah, dan aku semakin memperparahnya dengan bersikap tak mau peduli—setidaknya, oke, sebelum dirinya menangis sementara aku tak pernah tega melihatnya seperti itu.

“Solar…”

“Jangan menangis lagi, kumohon…”

Itu permohonanku yang pertama kepadanya, kuucapkan ketika usiaku enam belas dan bahkan aku belum menaruh perasaan apa pun terhadapnya. Aku hanya tidak ingin dia menangis lagi sementara aku terus merasa tolol lantaran akulah alasannya—lalu, kau mungkin mampu menebaknya, lantaran hal itulah aku mendapat nilai terbaikku selama bersekolah; dan aku bersumpah, itu untuk mata pelajaran matematika!

Bayangkan saja betapa keras aku belajar setiap malam hanya untuk menyelesaikan soal remedialku dengan lancar. Aku nyaris tidak tidur, bahkan menyentuh video game-ku seperti malam-malam biasanya pun tidak; dan seorang Solar Kim-lah yang menjadi alasan aku melakukan hal itu.

Lalu, ketika hari itu guruku mengumumkan bahwa aku mendapatkan nilai sembilan—untuk yang pertama dan terakhir kalinya seumur hidupku, membuat sejumlah anak-anak di kelas nyaris pingsan saking tidak percayanya—Solar-lah orang yang pertama kalinya memelukku riang, tak peduli sebanyak apa pun jumlah pasang mata memandanginya terkejut. Berkali-kali dia membisikkan kalimat berisikan betapa bangganya dia kepadaku, Solar memelukku erat dengan kehangatan yang tiada tara, nyaris mencekikku dalam satu waktu; dan meski aku belum jatuh hati kepadanya, kuakui aku menyukainya.

Aku selalu menyukai pelukan yang diberikan Solar kepadaku, tidak peduli status kami apa. Entah sahabat atau justru pacar, istri, atau ibu dari anak-anakku, aku selalu mencintai pelukannya.

Solar tidak pernah malu berteman dengan seorang berandal sekolah sepertiku, yang kerap kabur dari sekolah dengan memanjat pagar, membakar seragam sekolahku sendiri di depan para guru sehingga penyakit stroke-nya kambuh di tempat, mengambil makanan di kafetaria sekolah sesuka hati tanpa membayar (belakangan aku baru tahu Solar selalu membayarkannya untukkku), tetapi dirinya masih menilaiku sebagai seorang pemuda yang baik. Solar memang terkadang aneh, dirinya yang jenius selalu sulit dibaca, setiap tindakannya penuh perhitungan, tetapi orang-orang menilainya ceroboh ketika memutuskan menikahiku di usia muda.

Solar memang abnormal, mungkin lantaran faktor yang satu itulah Tuhan memutuskan untuk mempersatukan kami: dua manusia aneh yang hidup pada dua kutub  berbeda.

Tapi tetap saja, aku mencintainya.

Perempuan itulah yang lebih dari satu dekade lamanya menjagaku, membimbingku, juga membuatku merasa terberkati oleh eksistensinya yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Solar dengan kehangatannya yang unik, sikapnya yang kejam tetapi penuh cinta, pelukannya yang menenangkan, bisikan lembutnya yang menggelitik telinga—dia perempuanku.

Malaikat cantik yang menyempurnakan segala ketidaksempurnaan di dunia.

Oke, cukup bagian romantisnya!

Ø

Aku ingat ketika terakhir kali melanjutkan diari ini, aku sudah sampai pada bagian kebersihan yang kupuja demi kesehatan anak-anakku.

Jangan sentuh kalau tidak higienis!

Berbulan-bulan lamanya aku menetapkan peraturan ini, membuat sejumlah orang menatapku aneh—bahkan Sehun kerap menatapku benci, aku bersumpah!—tetapi aku tidak peduli sama sekali. Bocah Oh Sehun itu hanya tidak pernah tahu betapa mengerikannya ancaman yang akan menghampiriku begitu menyadari tiga bayi kecilku terancam berbagai jenis penyakit yang berkubang di mana-mana; terutama di tangan anak jorok itu.

“Cuci tanganmu dengan antiseptik terlebih dahulu, Hun…”

“Aku tidak mau, Hyung,”

“Kalau begitu kau tidak boleh bermain dengan anak-anakku! Jangan sentuh mereka dengan tangan tololmu itu!”

“Astaga—Hyung…”

“Oh Sehun, cuci tanganmu!”

“Aku tidak memegang apa pun yang kotor, Hyung!”

“Aku tak ingin anak-anakku cacingan karena ulahmu, Oh Sehun! Lihat badanmu yang terus ceking seperti itu; kaupikir ke mana makananmu yang melimpah seperti gunung itu semua habis?! Para cacing menjijikkan di dalam perutmu sudah menghabiskannya!”

“A—apa?!”

Histeris; itulah satu kata paling tepat untuk menggambarkan keadaanku saat itu.

Aku masih ingat sewaktu kami memulai pertengkaran pada hari itu, tiada satu orang pun yang hendak mengalah terhadap satu sama lain, walaupun hakku sebagai ayah lebih besar tentu saja. Namun seorang bocah ingusan bernama Oh Sehun memang tidak tahu diri lantaran sentuhannya bisa saja mengancam jiwa anak-anakku (dia bocah paling berantakan dan teledor yang pernah kutemui, bahkan melebihi kebiasaanku dulu), namun bukan anak itu namanya jika dia tidak keras kepala.

“Oh Sehun…”

“Aku datang kemari untuk mengunjungi keponakan-keponakanku, Hyung! Kenapa kau kelewat menyebalkan hari ini, huh?!”

“CUCI TANGANMU, BODOH!!!”

“Astaga, Hyung…”

“Segeralah beranjak ke wastafel, cuci tanganmu dengan antiseptik sebersih-bersihnya, pastikan tidak ada satu pun kuman yang tertinggal, atau kau akan kubunuh saat ini juga. Kau dengar aku, Hun? Aku sedang tidak main-main; cuci tanganmu atau nyawamu sudah melayang sebelum tangan berandalmu itu menyentuh anak-anakku!”

“Dasar alien berlebihan!”

“CUCI TANGANMU!!!”

“Aku hanya ingin bermain dengan Myungsoo, Monggyu, dan  Junu sebentar! Jangan bertingkah berlebihan, aku bahkan tidak akan menyebar penyakit apa pun kepada keponakan-keponakanku, kau dengar itu?!”

“KAU BERANI MENYENTUH MEREKA—LANGKAHI MAYATKU DULU, OH SEHUN!”

Well, itu bukan kali pertama bagi kami untuk bertengkar.

Bahkan semenjak Sehun pertama kali muncul sebagai adik kelasku dulu pun dia sudah berani muncul bersama Jongin untuk berbuat onar di sekolah, mengusik hati sejumlah senior seperti Baekhyun serta Jongdae untuk segera menghajar mereka.

Tapi tenang, meski akulah berandal paling berandal di antara kelompok senior paling berandal di sekolah (aku raja para berandal, Bung!), akulah yang justru dengan baik hatinya mencegah tindakan peloncoan berlanjut terhadap dua bocah kurang ajar itu. Mereka hanya sedang mencari jati diri, pantas saja kalau mereka agak kelewatan seperti itu, aku mengajukan argumen tak berdasarku kepada Baekhyun dan Jongdae, dan keduanya pun sama sekali tidak menolak pendapatku—ingat, aku ini pemimpin para berandal sekolah.

Perbuatan junior terkadang memang salah dan kerap mengusik hati senior, tetapi senior yang baik tentu tidak akan menyiksa juniornya sendiri dengan kekerasan. Itu hal paling tolol yang pernah dilakukan dunia; kekerasan justru bersifat semakin merusak, bukan memperbaiki.

Semenjak dulu aku memang brengsek, tapi percayalah, bahkan manusia paling jelek di dunia pun punya sisi baiknya tersendiri! Itu pelajaran pertama yang bisa kusampaikan dalam diari tolol ini, dan kuharap kau bisa mencatatnya baik-baik di dalam kepalamu. Jangan menyiksa siapa pun, itu tidak baik bagi kesehatan.

Dan di sinilah kita tiba, di mana aku pada akhirnya memberitahukanmu perihal nama anak-anakku yang sudah kurahasiakan selama beberapa waktu. Myungsoo, Monggyu, dan Junu—bukankah nama-nama itu imut sekali?

Aku bersumpah bahwa aku ini pria sejati! Dan salah satu kata terlarang yang seharusnya tidak diucapkan seorang pria adalah kata itu—aku bahkan tidak mau menyebutkannya lagi. Tetapi mau bagaimana lagi? Mereka serta nama mereka memang kedengaran—er—imut.

Argh, aku mengucapkannya lagi!

Tetapi ingat, aku ini pria sejati, benar-benar pria sejati! Bukan seperti Zitao yang ahli dalam seni beladiri Wushu namun akan menangis apabila dilempari serangga atau diceritakan cerita hantu, bukan pula Sehun yang akan merengek jika tidak kutraktir bubble tea di toko favoritnya; aku ini pria sejati, camkan itu—yang tadi hanya ketidaksengajaan, kita sepakat, kan?

Lalu, ya, kau pasti tahu betul bahwa tiga berandal cilikku mewarisi sebagian besar ketampananku, sementara kuharap Solar akan memberikan kepintarannya kepada mereka.

Ketiganya menjadi hal paling indah sekaligus mengejutkan untukku, lantaran aku tak pernah berpikir akan menjadi ayah seumur hidupku. Aku menikmati waktu dengan banyak gadis, hobiku merayu banyak perempuan sebelum berkencan dengan Solar, tetapi kini mereka hadir di dalam rumahku, tiga bocah itu—kata dokter, mereka berasal dari genku serta Solar, bukankah benar-benar aneh sekaligus menakjubkan?

Nah, apabila kau berada di posisiku, kau juga pasti akan merasakan hal yang sama; bertanya-tanya kepada Tuhan perihal penciptaan tiga makhluk cilik paling mengagumkan di dunia yang hadir di dalam hidupku bersama Solar itu. Mereka punya wajah yang luar biasa sempurna, seperti ayahnya, tapi ada satu sisi paling ajaib yang tidak kumiliki dari diriku namun mereka memilikinya.

Yah, kau tahu apa maksudku? Sesuatu yang membuat hatiku merasakan kehangatan yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Sesuatu yang luar biasa indah; melihat wajah mereka yang tengah tidur lelap mengingatkanku akan malaikat.

Myungsoo, Monggyu, dan Junu membuatku percaya bahwa malaikat itu benar adanya.

“Lihat mereka, Sayang,”

Aku berbisik kepada Solar sewaktu mengamati tiga malaikat cilikku di malam hari, persis di pukul dua belas setelah ketiganya menangis, dan Solar baru saja selesai menyusui mereka setelah memberitahuku mereka lapar. “Bukankah mereka menakjubkan, hm?”

“Mereka selalu menakjubkan, Yeol.”

Lembut, Solar berbisik kepadaku perlahan, sementara jemariku mengaitkan milikku dengan miliknya.

“Aku tidak pernah membayangkan aku akan menjadi ibu secepat ini. Tidak pernah sekalipun terbenak di pikiranku untuk secepat ini menikahimu, dan kita akan punya tiga malaikat paling menakjubkan di dunia; lihatlah bagaimana mereka bergerak,”

“Ajaib.” Aku memotong perkataannya, lantas melingkarkan kedua lenganku di antara pinggangnya.

“Terima kasih sudah menjaga mereka selama sembilan bulan lamanya.”

Aku memulai.

“Kau adalah wanita paling hebat yang pernah kutemui. Seluruh semangat serta kerja kerasmu dalam meraih mimpi, kesetiaanmu menjadi sahabat juga pendamping hidupku, sekarang anak-anak kita. Kau hebat, Solar…”

“Tanpa kenal lelah menopang mereka yang tak pernah paham bahwa sesungguhnya tubuh ibu mereka sangatlah kecil untuk menampung  tiga bayi sekaligus,” aku tahu ucapanku terdengar agak konyol, terlebih ketika terdengar Solar yang terkekeh kecil kemudian memukul ringan dadaku. “Untuk Solar-ku, istriku serta ibu terbaik dari anak-anakku, terima kasih…”

Sudah tiga bulan lamanya kami tak sedekat ini; anak-anak benar-benar membuat kehidupan pernikahanku menjadi sangat berbeda. Agak gila di mataku, tetapi bukan dalam artian negatif bahwa aku membenci kehadiran mereka.

Sungguh,aku mencintai anak-anakku.

Tetapi aku juga seorang pria dewasa yang ingin selalu berada di dekat perempuan yang paling dicintainya di dunia, bukan hanya anak-anakkulah yang butuh kasih sayang—well, aku juga menginginkannya. Aku ingin dekat bersama perempuan yang satu ini, manusia paling cantik di dunia yang membuatku ragu apakah dirinya manusia biasa atau justru malaikat.

“Let me love you until the world ends.”

Sesungguhnya aku ini bukan tipe pria romantis—setidaknya di hadapan seorang Solar Kim yang luar biasa pintar. Walaupun dulunya aku penggoda kelas berat, merayu banyak gadis adalah hal yang kelewat biasa, tapi jelas berbeda jika wanita itu ialah Solar Kim; istriku, perempuanku. Aku payah dalam berkata-kata di hadapannya, dan aku masih tidak yakin kenapa kalimat itulah yang justru menguar untuk pertama kalinya.

“Aku mencintaimu, Solar.”

“Dan aku mencintaimu juga…”

Solar yang sedari tadi menenggelamkan wajahnya di dadaku kini mengangkat wajahnya, dua sudut bibirnya menarik senyum paling cantik yang pernah kutemui di dunia, dia lalu menyebutkan ujung namaku lembut, “Yeol.”

“Aku sangat mencintaimu.”

Ada waktu di mana aku menjadi si idiot Park Chanyeol yang selalu membuat geram semua orang. Banyak yang berpikir aku ini si ayah tolol yang tidak mampu mengurus anak-anaknya dengan baik, tak jarang pula orang-orang berkata semenjak dulu mereka sudah memprediksi bahwa aku tidak akan pernah menjadi kepala keluarga yang baik. Selalu Solar yang lebih pintar, Solar yang lebih bijaksana, semuanya tentang kelebihan Solar yang dahulu kian hari terus membuatku terpojok.

Namun, bukan Solar namanya jika dia tidak memahamiku.

Itulah salah satu alasan kecil mengapa hatiku akhirnya memilih sosok Solar sebagai tambatan hati, pelabuhan terakhirku setelah cukup lama mengarungi banyak hati.

Solar selalu berkata bahwa orang lain tidak pernah tahu tentang kami; betapa dia mencintaiku dengan seluruh kelebihan dan kekurangan yang kumiliki, serta betapa aku mencintai segala aspek dari dirinya pula. Semuanya akan baik-baik saja, Yeol, dengan tenang selalu kalimat itulah yang terurai dari bibirnya.

“Aku mencintaimu kemarin.”

Aku berbisik perlahan, kemudian mengecup puncak kepalanya, menikmati harum mint menyegarkan dari surai indahnya yang sewarna arang.

“Aku mencintaimu hari ini.”

Bibirku lalu menyentuh dahinya, kedua kelopak matanya yang tertutup, perlahan mencapai bagian ujung hidungnya.

“Aku mencintaimu esok hari.”

Ada jeda yang menspasikan kecupanku sejenak, sebelum aku kembali bergerak menyentuh sepasang pipinya; menikmati sensasi indah setiap kali kulitku dengan kulitnya bersentuhan. Aku tahu wajahnya terus memerah—dan aku selalu menyukai sosok Solar yang seperti itu, bersemu selayaknya seorang gadis kecil.

“Dan selamanya, aku akan tetap terus mencintaimu.”

Itulah satu waktu singkat di mana bibirku mendarat menyentuh kelembutannya yang tiada tara; lembut bibir seorang Solar Kim yang selalu, dan akan selalu, memabukkanku dan membuatku hilang akal. Sedetik, dua detik, tiga detik—kali ini sudah hampir satu menit lamanya dan kami masih menatap satu sama lain dalam diam layaknya sepasang kekasih yang baru pertama kalinya mengecup satu sama lain.

Konyol.

Tawaku pecah memperhatikan wajah Solar yang semakin merona di bawah remang-remang lampu kecil yang menerangi ranjang ketiga anak-anak kami. Kedua lenganku masih melingkar sempurna di antara pinggangnya, namun dia semakin menundukkan kepalanya rendah, tak berani menatapku sama sekali.

“Ayolah, Sayang, apa yang perlu kau takutkan dariku?”

Dia masih bergeming, masih terlalu bersemu merah untuk mengungkapkan kebenarannya.

Benar yang pernah dikatakan Solar kepadaku dulu, bahwa orang-orang tidak tahu tentang kami; mereka tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ada banyak sisi dari sang jenius Solar Kim yang tak pernah orang-orang ketahui—dan akulah satu-satunya manusia di planet Bumi yang mengetahui kebenarannya: bahwa Solar selalu bertingkah seperti ini apabila aku mengecup bibirnya.

Meskipun kami kini telah menikah bahkan dikaruniai tiga berandal kecil yang terus berkembang pesat di usia mereka yang kini menginjak tiga bulan, Solar masih tetaplah Solar yang sama. Solar yang semenjak dulu merupakan gadis kutu buku yang tak berpengalaman dalam dunia percintaan; Solar yang ahli dalam beladiri, tetapi masih terus menangis di hari tatkala aku melamarnya untuk menjadi pendamping hidupku.

Tak pernah terbayangkan sekalipun di dalam hidupku bahwa dialah yang akan berdiri di sini di sisiku, menjadi malaikat paling cantik yang terus membimbingku menjadi manusia yang lebih baik; menjadi ayah serta suami yang terbaik untuk keluarga kecilku yang masih tergolong seumur jagung namun begitu berharga bagiku.

“Aku mencintaimu,” harus berapa kali kukatakan ini agar Solar tahu betapa dalamnya perasaanku untuknya?

Tidak dapat kupungkiri, aku bahkan kembali mengingat bagaimana segalanya dapat bermula. Suatu hari paling luar biasa sewaktu Solar menganggukkan kepalanya kepadaku, menggenggam tanganku erat setelah aku memasangkan cincinku yang pertama untuknya di jari manisnya; dari gaji pertamaku.

“Aku tidak dapat menjanjikan banyak hal kepadamu. Aku tahu ada banyak pria hebat lainnya di sekelilingmu, para ilmuwan jenius dengan penghasilan tinggi yang mampu memberikanmu apa saja yang kau inginkan dalam sekejap waktu,” aku tersenyum kecil sembari terus menatapnya.

“Sementara inilah aku si tolol Park Chanyeol yang semenjak dulu menjadi seorang sahabat yang kerap menyusahkanmu—tapi aku bersumpah, Solar, dengan segenap hatiku yang paling dalam, aku mencintaimu.”

“Sangat mencintaimu—melebihi apa pun di dunia ini.”

“Tidak ada hidup yang terlalu menyenangkan dengan banyak harta, tetapi aku berjanji bahwa kita akan berjuang bersama-sama. Aku akan melakukan yang terbaik untukmu, juga untuk anak-anak kita suatu hari nanti,”

Berlatarkan pantai sebagai tempat favoritnya di dunia, aku memutuskan untuk bersimpuh di hadapan Solar Kim, kekasihku waktu itu, yang masih terus bergeming.

“Aku ingin kau menjadi pendamping hidupku untuk selama-lamanya, Solar…”

Aku dapat mendengarnya terisak menahan tangis, padahal aku tahu apabila di hari biasa, Solar jelas akan menganggapku kelewat bodoh mengatakan hal ini kepadanya. Namun waktu itu semuanya berbeda. Aku sedang tidak ingin bercanda, karena ini perihal perasaanku yang terdalam, untuk seorang gadis yang paling kuhargai di dunia.

“Sampai kita tua nanti, jadilah seorang wanita paling cantik yang mendampingi kakek tua payah sepertiku—Park Chanyeol yang bertambah tua dan semakin menyebalkan,” Solar semakin mengeratkan genggamannya kepadaku, “lantaran aku mencintaimu. Semenjak kemarin, hari ini, besok, dan seterusnya…”

“Bersediakah kau menikahiku, Solar?”

“Would you marry me, My Dear?”

“I—I do, Yeol.”

“I always do.”

Selalu terselip kisah indah di antara sepasang manusia yang memilih untuk menyatukan hatinya di dunia, bahkan oleh sepasang manusia paling abnormal sepertiku dan Solar. Semenjak dulu aku sudah sadar bahwa kami berbeda, terlalu berbeda sampai-sampai semua orang meragukan hubungan kami akan bertahan lama. Aku yang sembrono serta Solar yang penuh perhitungan—dan cintalah yang kembali membuktikan kekuatannya, menyatakan satu pepatah yang tak akan pernah patah sampai akhir waktu nanti: bahwa cinta takkan salah.

Kemarin aku mencintaimu, hari ini aku mencintaimu, dan besok pun aku masih akan mencintaimu.

Tololnya aku lantaran lupa bahwa aku baru saja menyatakan hal yang nyaris persis dengan kali pertama aku melamarnya!

Park Chanyeol memang pria paling tolol—terlalu tolol hingga melupakan hal paling penting ini di dunia; yang pertama perihal waktu kelahiran anak-anakku, lalu kalimat lamaranku, kemudian hal penting apa lagi yang akan kulupakan?

Ck, Park Chanyeol, seharusnya sejak dulu kau mendengarkan nasihat ibumu: jangan terlalu banyak mengkonsumsi mi instan! Sekarang lihat sendiri akibatnya, kapasitas otakku pasti semakin berkurang seiring dengan berjalannya waktu!

Jadi, satu pelajaran lain lagi yang dapat kau ambil dari diariku yang kelewat membosankan ini: jangan terlalu sering makan mi instan, atau otakmu akan terancam jadi sepertiku!

Tapi tunggu dulu, ada yang lain lagi!

Apakah selain menjadi sama tololnya denganku kau juga akan punya wajah indah selayaknya aku?

Ah, jangan terlalu berharap kalau begitu. Jika mimpimu sudah setinggi langit untuk memiliki wajah seindah milikku, sebaiknya kau siap-siap untuk jatuh dengan menyedihkan ke permukaan Bumi.

Maksudku, kau tentu tidak akan mendapatkan aspek bagus yang satu itu, karena aku memang sudah terlahir tampan semenjak lahir—jadi, mau bagaimana lagi? Makan mi instan tidak akan membuatmu seketika cantik, camkan itu!

Oke, berhenti berbasa-basi mengenai mi instan, kita bahkan hampir melupakan kenyataan bahwa pada bagian ini aku sedang berbincang bersama istriku, Solar Kim yang masih terus menundukkan kepalanya.

Masih banyak momen-momen paling dalam serta penuh barisan kalimat bermakna dalam yang akan kutebar di sini, mungkin aku sedang kerasukan arwah nenek-nenek pecinta opera sabun, tetapi aku sama sekali tidak bisa menahannya!

Kata-kata cheesy alias berlebihan bertebaran di mana-mana; kau mau keju gratis? Aku punya banyak! Mau mendengarankan rayuan-rayuan anehku yang kuucapkan secara tulus—bagaimana rayuan bisa tulus?! Aneh betul!—tetapi kau bisa mengetahuinya dengan semakin menilik ke bawah; keju bertebaran di mana-mana! Silakan membuat roti keju untuk sarapanmu besok!

Cheese, cheese, cheese—cheesy words are exploding around!

Astaga, kenapa aku semakin senang meracau  yang aneh-aneh?!

Well, kembali ke kondisi awal.

“Sayang…”

“Hm?”

“Maafkan aku,” aku merangkulnya erat, “aku melupakan sesuatu—aku lupa, aku tahu,”

“Tidak apa, Yeol.”

“Kau harus tahu bahwa aku masih terus mencintaimu, sebagaimana yang kujanjikan kepadamu sejak dulu.” Aku berbisik kepadanya, meresapi setiap kelembutan menenangkan yang menyentuh tubuhku dengan kehadiran Solar yang begitu hangat. “Aku mencintaimu, sesederhana itu.”

“Dan aku juga merindukanmu.”

“Yeol…”

“Aku merindukan Solar yang hanya merupakan Solar-ku, pendamping hidupku. Bukan Solar ibu dari ketiga malaikat kecilku, tetapi Solar yang akan terus mencurahkan sepanjang hidupnya untuk mencintaiku, Park Chanyeol yang idiot ini.”

Terkadang, selalu ada waktu di mana aku hendak berkata jujur; menyampaikan hasrat yang sudah lama terpendam, namun tak pernah mampu kuucapkan lantaran aku memahami kesibukan Solar.

Myungsoo, Monggyu, serta Junu memang sedang membutuhkan ibu mereka nyaris sepanjang waktu—namun, bolehkah aku meminjam eksistensi Solar Kim malam ini saja untukku? Bahkan sekarang tinggal beberapa jam lagi sebelum matahari terbit, dan ketiga anak-anakku akan kembali menyita perhatian ibu mereka.

Aku merindukannya; aku rindu kehangatan dari tubuhnya menyapa kulitku—er, ini kalimat dewasa.

Tetapi astaga, aku memang sedang berusaha jujur sekarang! Tidak ada yang kututup-tutupi, lantaran aku memang sedang sangat merindukannya sekarang; aku sangat, sangat, sangaaatttt merindukan Solar Kim-ku—dia perempuanku.

“Aku merindukanmu.”

“Yeol…”

“I need you. Now.”

Solar tentu tidak akan berpikir bahwa dialah satu-satunya yang bisa merayu dengan aksen luar negerinya yang kental—sekaligus seksi itu—bukan?

Lantaran aku juga sudah belajar banyak darinya, bermula dari awal kami bersahabat, berkencan, kemudian memutuskan menikah dan memilki anak seperti ini. Aku hafal betul setiap jengkal dari dirinya, meskipun Solar kerap membantah atau justru membungkam mendengarnya; dan pendengaranku dapat menangkap kata hatinya yang menyetujui pendapatku.

“Take it easy, Love…”

“I’ll be gentle as you wish…”

Aku tahu ini agak kedengaran mesum—atau terlalu mesum, astaga. Tetapi percayalah, aku ini seorang pria dewasa dan aku memiliki perempuan paling mengagumkan di dunia sebagai istriku, Bung! Apa lagi yang seharusnya kutunggu?

Solar pasti paham, meskipun dirinya terus menenggelamkan wajahnya di dadaku, aku tahu betul bahwa dia mengerti.

“Could you hear me, Love? It’ll be okay. I promise you this time…”

Kembali, aku mengecup puncak kepalanya, memohon seperti biasa setelah berkali-kali ditolak lantaran istriku yang terlalu fokus mengurusi bayi kecil kami yang baru lahir beberapa bulan lalu.

“Solar…”

“I won’t hurt you, I promise…”

“Sayang…”

Tapi sekali lagi, nasib baik sepertinya memang sedang tidak berpihak kepadaku.

Dunia agak terlalu kejam ketika kusadari bahwa Monggyu terbangun dari tidurnya, kemudian kembali menangis keras sembari menendang-nendangkan kaki kecilnya ke sana kemari—tidak sengaja menyentuh perut Junu yang berada di sisi kirinya, mengakibatkan putra paling mudaku terkejut, lalu ikut menangis keras—sementara Myungsoo, sebentar lagi dia pasti juga akan ikut menangis; tinggal menunggu waktu saja.

“Yeol, mereka menangis lagi! Kurasa kau berisik sekali!”

Shit.

Berkali-kali Solar memintaku untuk menghilangkan kebiasaanku mengutarakan kata-kata kasar, tetapi aku bersumpah, kali ini aku tidak bisa! Sama sekali tidak bisa!  Sebab dunia ini terlalu kejam, terlalu kejam bahkan dengan  membiarkanku terus nyaris menderita setiap hari—tidakkah anak-anakku sadar bahwa ayah mereka juga membutuhkan sang ibu?

Aku merindukan Solar-ku dan menginginkannya malam ini saja, namun mereka tidak rela.

Dasar anak-anak tidak tahu terima kasih! Mereka bahkan tidak akan lahir kalau saja aku tidak melakukan sesuatu terhadap ibu mereka! Dan hanya karena aku ingin melakukannya sekali lagi lantaran aku sangat merindukannya, melebihi apa pun di dunia, mereka mengamuk kepadaku? Takut akan punya adik baru? Aku bahkan belum merencanakannya ketika mereka masih sekecil ini—astaga…

Mereka mungkin tidak rela melihatku bahagia; anak-anak macam apa yang tidak senang melihat ayah mereka bahagia, huh? Baik Myungsoo, Monggyu, serta Junu tidak pernah sudi membagikan jatah bersama ibu mereka untukku, seorang Solar Kim sudah dicuri dari dekapanku oleh tiga berandal cilik luar biasa licik ini. Mungkin mereka tidak rela…

Atau bahkan tidak pernah rela melihatku bersenang-senang, walau sedikit saja.

Sesuai perkiraan, Myungsoo kali ini ikut menangis keras, ikut menambah kacau koor nyanyian tangis sumbang yang kini memenuhi apartemen. Andai saja aku boleh menangis, aku juga akan ikut menangisi nasibku yang tidak pernah beruntung; ini menyebalkan, sangat menyebalkan.

Sialan.

Myungsoo, Monggyu, dan Junu; ketiganya benar-benar berandal cilik!

Aku masih tak kuasa menahan rasa kesal, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa sementara Solar kini panik mengurusi ketiga bayi kami yang menangis keras. Aku rasa susu mereka belum cukup, Yeol, dia berkata seperti itu seperti malam-malam yang kami lalui sebelumnya—lalu jatahku bagaimana?!

Andai saja aku boleh berteriak tanpa harus menerima jurus pukulan Taekwondo darinya, aku tahu sudah seharusnya aku menuntut.

Argh, menyebalkan!

Dan tahukah kau, semenjak saat itulah aku secara bulat memutuskan menyebutkan ketiga anak-anakku sebagai berandal cilik. Myungsoo, Monggyu, dan Junu: ketiganya adalah berandal cilik licik yang merampas ibu mereka dari dekapan sang ayah yang luar biasa tampan, Park Chanyeol yang malang.

Tidak ada Solar yang berada di dalam dekapanku selama tiga bulan lamanya—argh, lebih baik aku mati saja.

Aku mau ‘jatahku’ kembali!

Lihat saja Solar Kim, aku akan menyerang dan ‘memborbardirmu’ suatu saat nanti tanpa sepengetahuan tiga setan cilik itu!

Semenjak saat itu, aku tidak pernah menyebutkan anak-anakku lagi sebagai malaikat. Mereka hanya tiga berandal sekaligus setan cilik licik yang mencuri Solar dariku—ketiga menculik satu-satunya malaikat yang berada di dalam kehidupanku dariku, lihat saja apa yang akan kuperbuat kepada ketiganya; Park Myungsoo, Park Monggyu, dan Park Junu.

Lihat saja.

Ø

Nyatanya, aku tidak melakukan apa-apa terhadap ketiga anakku; Solar yang terkadang bisa berubah menjadi sekejam monster membuatku harus berpikir dua kali—maafkan aku memanggilmu monster, Sayang. Tapi kau terkadang memang begitu—oh, ini rahasia kita bahwa aku menyebut istriku sendiri monster, oke?

Sebagian besar diri Solar memang memancarkan unsur baik hatinya seorang malaikat, namun jangan main-main dengannya jika sedang mengamuk; baiklah, cukup soal ini. Ayo beralih ke topik lain, sebab aku akan memberitahumu kisah aneh tentang bagaimana ketiga anak-anak kami akhirnya bernama—setelah sekian lama!

Jadi, pendek kata, dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untukku dan Solar untuk menyepakati hal ini, perihal nama anak-anak kami.

Aku sudah mengajukan banyak ide untuknya, tetapi tak jarang Solar menolak lantaran nama-nama itu tidak kedengaran pas di telinganya. Namun aku masih tetap berupaya memahaminya, aku masih  bersabar. Tetapi satu momen muncul dan membuatku paling sakit hati, ketika dia, Solar Kim istriku, dengan bersemangatnya berkata, “Kurasa kita harus menamai salah satu bayi kita dengan ‘Kyungsoo’, Yeol!”

Apa maksudnya?!

Well, sudah semenjak diariku yang lalu aku menyatakan kepadamu bahwa aku tidak boleh cemburu, sama sekali. Lantaran Kyungsoo sudah menetapkan hatinya kepada Byul, kakak iparku sendiri. Tetapi aku bingung dengan daya pikir istriku yang luar biasa jenius ini; dari sekian juta nama di jagad raya—haruskah Kyungsoo?!

“Sejumlah orang memilihkan nama anak-anak mereka berdasarkan orang-orang hebat. Kedua orangtuaku memberikan namaku serta kakakku berdasarkan antariksa…”

Aku tahu maksudnya. Aku paham betul dengan tujuan seorang Solar Kim menyatakan hal ini kepadaku; apa lagi kalau bukan berupaya memuji Kyungsoo secara tersirat, huh? Dia mengagumi sosok Kyungsoo yang baik hati, dia menyukai Kyungsoo yang jenius dan selalu serius dengan riset-riset fisika modern yang dikerjakannya, bahkan istriku sendiri mengagumi kemampuan memasak Kyungsoo yang, katanya, melebihi siapa pun!

Istriku bahkan lebih senang memuji seorang profesor muda pendek seperti Do Kyungsoo di hadapan rekan-rekannya dibandingkan membicarakanku; bukankah ini betul-betul parah?

Solar anggap aku ini siapa? Tetangga sebelah apartemen yang senang memutar lagu trot keras-keras di malam hari sampai ketiga anak kembar kami menangis?

Aku juga manusia, dan aku punya batasan dalam melakukan toleransi terhadap suatu hal. Tak masalah buatku jika Solar mengagumi seseorang, namun ini perihal seorang pria yang membuatnya selalu tersenyum tiap kali membicarakannya—ini tentang si pria cebol bermata besar yang kini membuat Solar-ku memaksaku untuk memberikan nama yang sama kepada putra pertama kami!

Kyungsoo memang tidak bersalah, tetapi dia membuatku semakin emosi entah kenapa. Aku tidak bisa menyukaimu sepenuhnya sebagai temanku, Kyungsoo, maafkan aku, andai aku dapat mengutarakannya secara jujur tanpa menyakiti hati siapa pun, tentu aku akan bilang seperti itu. Ya, ya, aku cemburu kepada kedekatan istriku bersama Kyungsoo—siapa yang tidak cemburu meski kau tetap berupaya bersikap biasa, huh?

Byul Noona, cepat-cepatlah kembali dari London sebelum aku mengiris mayat Kyungsoo menjadi puluhan ribu irisan!

Sepertinya aku punya bakat menjadi seorang psikopat, eh?

Oke, aku mulai membual, lupakan soal ini.

“Ayolah, Yeol. Semenjak dulu aku sudah sangat mengagumi Kyungsoo, dan kuharap anak-anak kita juga akan tumbuh menjadi sepertinya,”

Menjadi cebol maksudnya? Tidak akan.

“Bahkan Baekhyun memilih nama idola kesukaannya, bukan? Baekhyun memberi nama putri kecilnya bersama Ara dengan Taeyeon, Yeol…”

Nah, itu juga masalahnya!

Solar terlalu fokus terhadap pelajaran serta seluruh prestasi yang harus dikejarnya semasa sekolah dulu, dan dia sama sekali tidak memiliki satu idola pun yang disukai kecuali—mungkin—Albert Einstein, Thomas Alva Edison, Wright Bersaudara, dan siapa pun mereka yang namanya tidak kuketahui pasti. Setidaknya, oke, sebelum bencana nama Kyungsoo menyerang.

Sementara aku?

Well, kau pasti tahu, aku menghabiskan nyaris sepanjang hidupku dengan mengagumi diriku sendiri; aku tampan, aku menarik, tampangku sempurna!

Aku sudah berjumpa banyak gadis dari berbagai belahan di Kota Seoul, mulai dari yang manis bahkan sampai yang kelewat menyebalkan saking jalangnya—aku frontal, ya? Tetapi memang begitu kenyataannya, sejumlah wanita terkadang terlalu berlebihan dalam bertingkah laku sehingga menurunkan harkat serta martabat mereka sendiri, untungnya Solar-ku tidak begitu.

Andai saja kami memiliki anak perempuan, tentu aku punya banyak ide untuk disalurkan kepada Solar, tapi tidak untuk nama anak laki-laki.

Aku agak payah dalam urusan itu—ralat: betul-betul payah.

“Tapi tidak untuk nama Kyungsoo, Solar.”

Aku menggelengkan kepala, menolak ajuan idenya.

“Kyungsoo pasti senang!”

“Baekhyun akan menertawaiku, bahkan melebihi ketika aku menertawai nama anaknya, Byun Taeyeon. Byuntae…”

“Chanyeol!”

Seperti biasa, Solar akan memperingatiku untuk tidak menertawai nama putri Baekhyun seperti biasa. Meskipun dulunya Solar tak seberapa dekat dengan Baekhyun, kuakui dua tahun belakangan ini mereka semakin dekat—dalam konteks sahabat, tentu saja—dan bocah pendek itu, Byun Baekhyun, pun menjadi agak lebih dewasa dibanding sebelumnya. Jelas berbanding terbalik denganku yang masih bertingkah selayaknya anak-anak.

Byun Baekhyun dan Yoo Ara, mereka adalah pasangan lain yang telah menikah di antara perkumpulan persahabatanku.

Keduanya yang tak kalah abnormalnya denganku dan Solar, berupa perpaduan luar biasa aneh antara seorang berandal sekolah yang berubah menjadi seorang mahasiswa baik hati, namun berakhir secara ajaib dengan menikahi seorang roker kampus layaknya Ara yang bertingkah serampangan—Ara senang berteriak-teriak melalui microphone-nya, dan Baekhyun senang berteriak-teriak saat menyaksikan konser Girls’ Generation di televisi, sungguh perpaduan yang aneh.

Kemudian dari sana, lahirlah Byun Taeyeon kecil sebagai mahakarya pernikahan mereka yang luar biasa ganjil serta ajaib; siapa yang menyanyikan lagu rock di acara pernikahan? Yoon Ara namanya, dan kata Baekhyun, dia sangat mencintai perempuan itu—walaupun tetap saja bocah pendek itu memberi nama putrinya dengan idola kesukaannya, sebagai tanda cinta  menurut perkataannya.

Seorang roker seperti Ara mungkin lebih toleran terhadap pria dungu seperti Byun Baekhyun.

“Yeol, kau mau, kan?”

Kembali, Solar menawariku untuk bersepakat.

“Aku akan memberikanmu kesempatan untuk dua nama bayi kita yang lainnya…”

Kali ini, akulah yang memutar bola mataku, lantas memandang Solar agak tajam.

“Kau seolah ingin berkata bahwa kita membagi anak-anak kita menjadi dua bagian. Satu untukmu, dan dua untukku. Bukankah begitu, huh?”

Seketika, kali ini Solar-lah yang menghela napasnya perlahan, kemudian mengembuskannya cepat; penuh amarah.

“Park Chanyeol, apa yang ada di kepalamu?!”

“Aku tidak pernah berpikir seperti itu terhadap anak-anakku sendiri! Mereka tumbuh dan berkembang selama sembilan bulan lamanya di dalam rahimku, akulah yang sudah berjuang setengah mati untuk menyetir sendirian ketika hendak melahirkan sementara kau melupakanku hanya untuk menonton pertandingan bola—dan kau setega ini mengatakanku hal sekejam itu?!”

“Mereka anak-anakku, Yeol. Ketiga-tiganya, oke?”

“Dan mereka juga anak-anakku, Solar. Tidakkah kau tahu sejak dulu?”

Bersikap lembut kepadanya, itulah satu-satunya jurus ampuh yang bisa kugunakan untuk mencairkan amarah yang membara cepat di dalam hati seseorang seperti Solar Kim, istriku.

“Aku minta maaf kalau kata-kataku membuatmu sakit hati.”

Aku menyusupkan jari-jariku di antara celah jemarinya, menikmati kehangatan yang menjalari kulit Solar menuju kulitku. Lamat-lamat, aku lalu mengangkat tangannya, lantas mengecup satu per satu jemari Solar yang sedang kugenggam.

“Semenjak awal kita mengetahui keberadaan mereka di dalam perutmu, kita berdua sudah tahu bahwa mereka adalah anak-anak kita. Bukan anakmu atau pula anakku saja—tetapi anak-anak kita, darah daging kita. Aku tidak bermaksud untuk menyakiti perasaanmu, oke?”

“Kau percaya padaku, kan, Sayang?”

Aku memang bukan tipikal ayah yang hebat, namun aku bersumpah, jika berbicara mengenai seberapa besar aku mencintai anak-anakku, maka akan kukatakan bahwa aku mencintai mereka sebesar jagad raya ini.

Bagaimana mungkin aku tidak mencintai mereka?

Semerepotkan apa pun mereka, secengeng apa pun mereka, seberisik apa pun mereka, aku tetap mensyukuri kehadiran ketiganya di dalam pernikahanku bersama Solar. Lantaran untukku, kehadiran anak-anakku adalah hadiah terindah yang pernah diberikan oleh seorang Solar Kim untukku.

Well, meskipun aku juga bukan tipe pria yang suka membaca roman picisan (hei, siapa yang suka?!), namun aku pernah membaca satu hal: hadiah terbaik yang pernah diterima seorang anak ialah mendapati ayahnya mencintai sang ibu—sepenuh hati. Dan aku bersumpah seumur hidupku, aku akan melakukan hal tersebut, mencintai ibu mereka, hingga ujung napas terakhirku berembus.

Seperti itulah bagaimana kami pada akhirnya bersepakat mengakhiri pertengkaran kami; setelah nyaris satu bulan lamanya,dan bayi-bayi kami pun akhirnya punya nama untuk dipanggil.

Aku tetap tidak setuju dengan nama Kyungsoo, tapi Solar menyiasatinya dengan memberi nama putra tertua kami dengan ‘Myungsoo’. Dasar perempuan pintar.

Kurasa Solar agak terinspirasi dengan Baekhyun soal itu, karena nama Myungsoo jelas sama dengan Kim Myungsoo—L—personel Infinite yang, katanya, tampan itu—tapi tidak setampan aku. Walaupun yah, kembali lagi harus kuakui, ada banyak Myungsoo lainnya bertebaran di Korea Selatan.

Solar tidak pernah menaruh perhatiannya kepada dunia keartisan, tidak seperti Baekhyun yang masih terus jatuh cinta kepada Kim Taeyeon, idola sampai matinya itu, meskipun kini dia telah beranak dan beristri—dasar tidak tahu diri.

Jadi, bagaimana dengan nama kedua anak kami yang lain?

Aku memutuskan untuk memberi nama putra keduaku dengan Monggyu.

Sesungguhnya aku tidak punya alasan khusus untuk nama itu, kecuali lantaran nama itu terdengar cukup jarang didengar di masa kini. Mungkin salah satu alasan lainnya karena semenjak kecil aku selalu terobsesi untuk punya anak anjing dan memberinya nama Monggyu, tapi ibuku tidak mengizinkan karena aku alergi bulu dan debu, dan kali ini aku berhasil memberi nama Monggyu kepada anakku. Sekali lagi, ini anakku; bukan anak anjing. Jangan salah paham, oke.

Monggyu itu anakku, bukan anak anjing!

Tidak ada nama yang berhubungan dengan antariksa; tidak ada pula nama komet atau sejenisnya, karena itu tolol. Kelewat tolol bahkan.

Kemudian, setelah melewati sejumlah diskusi sengit (setelah dua saudaranya yang lain sudah diberi nama selama satu minggu lamanya), aku dan Solar memutuskan untuk bersepakat memberi nama putra termuda kami dengan Junu. Ya, Park Junu; bukankah kedengaran enak sekali di telinga?

Dari ketiga bayi kami—yang aku bersumpah punya wajah sangat mirip—Junu adalah yang termirip denganku.

Jika kukatakan seperti ini, itu artinya sangatlah mirip. Seperti kau yang pergi ke tempat fotokopi, lalu memasukkan kepalamu ke dalam mesin, kemudian mencetaknya dengan perbandingan beberapa tahun lebih muda, seperti itulah Junu terbentuk dengan wajah persis sepertiku. Ibuku bilang, wajah Junu persis dengan wajahku ketika bayi dulu, tetapi dalam ukuran lebih kecil mengingat dialah yang termuda di antara dua saudara kembarnya yang lain.

Sewaktu Junu pertama kali dilahirkan, aku takut dia tidak mampu bertahan hidup karena dokter sudah memberitahukanku dan Solar semua risikonya. Ditambah lagi dengan sikapku yang kelewat ceroboh dengan menonton pertandingan Real Madrid melawan Barcelona—tidakkah kau berpikir aku sudah mengancam jiwa Junu berkali-kali lipat dibanding risiko yang sebelumnya?

Aku beruntung karena Solar bersedia mengampuni dosa-dosaku yang kelewat idiot ini, kemudian membiarkanku berusaha menjadi ayah yang normal bagi mereka bertiga. Terima kasih juga kepada Tuhan sebab sudah menyelamatkan ketiga anakku dari ancaman kematian yang mengerikan.

Aku tahu aku ini kekanak-kanakkan. Aku bahkan, hell, sempat berpikir untuk memberikan anak-anakku kopi bercampur alkohol! Ayah tolol mana yang akan mengancam jiwa anak-anaknya sendiri dengan melakukan hal itu?!

Hm, maaf. Aku berkata kasar lagi.

Jujur saja, aku sedang berlatih untuk tidak banyak berkata kasar belakangan ini (untuk anak-anak kita, Yeol, begitu kata Solar), tapi harus kuakui, tidak semuanya berjalan sebaik apa yang kuharapkan.

Aku bukan tipe pria baik-baik semenjak remaja dulu, aku ini serampangan dan kelewat bengal; bahkan hei, pria baik-baik pun akan melontarkan kata-kata kasar jika mereka di luar kendali, bukan? Namun aku akan belajar, aku janji.

Sebenarnya aku tahu tidak banyak hal menarik yang bisa kusampaikan. Otakku sedang buntu sekarang, tapi sepertinya aku tidak hendak menghentikan cerita ini begitu cepat, tidak sampai bagian ini. Aku ingin memberikanmu satu cuplikan cerita, namun aku bersumpah, aku bingung harus memulai dari mana!

Haruskah aku menceritakan kisah ketika mereka masih enam bulan? Tapi, ugh, mereka bahkan hanya makan, tidur, minum, pipis, buang air besar—dan itu saja.

Mereka terkadang bisa jadi mesin tangis paling mengerikan dalam hidupku, membuatku sakit kepala dengan tangisan serta lolongan bagai serigala mereka yang kerap muncul di malam hari. Tidak jarang mereka membuatku terpaksa memasakkan sesuatu (yang jelas memasak makanan bayi yang lembek serta membuatku geli bukan keahlianku sama sekali), dan segalanya berakhir dengan ketiga anak-anakku yang memuntahkan makanan mereka; bubur bayi instan yang kubuat entah bagaimana caranya.

Tanpa memungkiri fakta aku menyayangi mereka, selalu ada waktu di mana mereka membuatku kerepotan; dan itu realitanya, bukan fiksi aneh yang kukarang belaka.

Tidak lupa pula dengan popok bayi yang kupasangkan terbalik, ataupun kejadian mengerikan ketika aku menggosokkan gigi mereka dengan pasta gigi orang dewasa milikku serta Solar. Mereka jelas benci rasa mint yang pedas, mendengar mereka berteriak-teriak kepedasan memberi kesan seolah akulah sang pembunuh berdarah dingin yang mengeksekusi mereka—ck, betul-betul parah.

Soal popok terbalik itu, kau tidak akan pernah membayangkan betapa payahnya aku sehingga—er—hasil buangan pencernaan perut mereka mengalir melewati paha, lantas mengotori lantai dalam sekejap waktu. Melihatnya, apalagi menciumi baunya memang agak menjijikkan bagiku (sebab siapa yang tidak jijik, huh?!), tapi tanggung jawab menjadi ayah membuatku harus mengatasi segala faktor yang meningkatkan skala kekanak-kanakanku yang kelewat parah.

“Hei Junu, jangan berlari, Nak!”

“APPA! APPA! APPA!!!”

Mereka bahkan masih berusia enam belas bulan ketika itu dan tidak banyak kosa kata yang bisa diucapkan kecuali memanggilku atau ibu mereka. Namun aku bersumpah, persis sewaktu mereka mulai mahir berlari, menggerakkan kaki-kaki kecil mereka kencang berusaha menghancurkan apartemen layaknya Usain Bolt—pelari terkencang di dunia—sudah menjadi kebiasaan tersendiri bagi mereka!

“Astaga, Monggyu!”

“APPA!!!”

“Myungsooo, jangan mulai juga, Nak!”

“YA AMPUN—PARK MYUNGSOO, PARK MONGGYU, PARK JUNU!!!”

“APPPAAAAA!!!!”

Solar sedang berada di Bucheon untuk keperluan universitas yang sangat mendesak, terlalu darurat sampai-sampai dirinya harus mengorbankan diri menjauh dari anak-anak kami yang pada waktu bersamaan terserang diare tanpa alasan yang jelas. Meskipun oke, walaupun Solar tidak tahu, itu semua sesungguhnya salahku.

Betul, salahku.

Jadi, sejak dulu aku memang tak pernah suka menghabiskan banyak waktu di dapur. Dan ketika usia mereka menginjak satu tahun empat bulan, aku pun memutuskan untuk memesan makanan instan untuk kusantap bersama mereka; ayam goreng tepung, spageti marinara, serta sejumlah makanan lainnya yang disebut sampah MSG oleh Solar, kemudian aku pun memberikan anak-anakku makanan tipe itu tanpa sepengetahuan istriku—hal paling tidak sehat serta menjijikkan, menurut pandangan Solar.

Akibatnya apa?

Kau pasti langsung tahu, mereka sakit karena ulahku—jangan lapor kepada Solar, atau aku akan dibunuhnya saat ini juga! Kau tidak mau diari ini berhenti, kan?

“Jaga mereka, Yeol. Aku akan kembali dalam tiga hari lagi—aku mencintaimu.”

Solar terlalu terburu-buru, bahkan hanya satu kalimat singkat itulah yang meluncur dari bibirnya ketika taksi menjemputnya di halaman luar apartemen. Satu kecupan selamat tinggal mendarat di bibirku, kemudian bergantian dengan Solar yang mengecup satu per satu pipi anak-anak kami sembari berkata, “Umma mencintaimu, Sayang.”

Solar selalu mengatakan yang sama, lantas pergi setelah merasa sudah melakukan hal yang cukup sebagai ucapan selamat tinggal. Dia akan kembali dalam tiga hari ke depan, aku terpaksa mengambil cuti selama tiga hari—dan aku tidak tahu bagaimana nasib apartemen akan berakhir tanpanya.

***

Tiga hari itu merupakan surga serta neraka bagiku. Kedengaran ambigukah?

Oke, jadi biar kujelaskan kepadamu tentang dua hal: kenapa kusebut surga serta neraka dalam waktu bersamaan.

Hal yang pertama: kusebut surga karena dalam tiga hari ke depan aku tidak akan mendengar omelan Solar yang biasanya mengomentari pola didikku terhadap anak-anak. Aku suka membiarkan mereka berlarian di apartemen, menyentuh barang ini dan barang itu dengan jangkauan tangan mungil mereka—dan Solar jelas tidak suka; dengan alasan keamanan.

Anak-anak kami juga sangat menyukai cokelat (terutama Monggyu, putra kedua kami, dia penggila cokelat mati-matian), namun Solar tidak terlalu sering membiarkan mereka makan cokelat dengan alasan kesehatan gigi. Namun, manusia mana yang bisa bertahan hidup seharian tanpa makan cokelat? Itu mengerikan sekali!

Oleh sebab itulah, aku kerap diam-diam memberi mereka sejumlah kue kecil dengan rasa cokelat di balik punggung Solar; Appa paham betul perasaan kalian, Nak.

Monggyu, lanjutkan kebiasaan makan cokelatmu! Tapi jangan lupa menggosok gigi—tiga kali sehari!

Hal kedua: mengurusi ketiga anakku, berandal cilikku, seorang diri benar-benar akan menyiksa—apalagi tanpa kehadiran Solar!

Kau tahu betapa payahnya aku ketika mereka baru lahir dulu, aku bahkan tidak lihai menggendong bayi dan memahami makanan apa yang sepantasnya dikonsumsi bayi, dan, er, bagaimana mungkin Solar membiarkanku menjaga mereka?!

“Karena aku percaya kepadamu.”

Kata-kata istriku membawa beban tersendiri bagiku, dan hal itu membuatku nyaris mati karena depresi! Oke, aku mulai berlebihan. Aku punya tiga hari penuh untuk dihabiskan bersama mereka dengan otoritasku sebagai ayah—bukankah penggunaan bahasaku keren? Otoritas, kedengaran jenius sekali!—dan segalanya akan berlangsung dengan menggila.

“Halo?”

“Ya? Ada apa, Yeol?”

Sebagai satu dari dua ayah yang terkumpul di dalam komplotan persahabatanku dengan kesebelas pria aneh lainnya—delapan pria sinting asal Korea, dengan aku termasuk di dalamnya, serta empat pria gila lainnya dari Cina—hari itu pun aku lantas memutuskan untuk menghubungi Baekhyun. Hari ini Sabtu dan perusahaan tidak beroperasi pada hari Sabtu; baik aku maupun Baekhyun punya waktu senggang, bukankah ide yang luar biasa sekali untuk berjalan-jalan bersama?

Ya. Kami pergi bersama.

Tapi bukan dalam artian berkencan, oke? Jangan salah sangka dulu!

Aku ini pria normal dengan istri serta ketiga anak-anak yang terus bergerak ke sana kemari seperti ulat bulu. Dan tentang Byun Baekhyun, walaupun banyak yang berkata dia dulu cantik (dan Baekhyun sering mengamuk kepada siapa pun soal ini), kuakui bahwa dia bahkan jauh lebih pantas disebut pria dalam segi mental dibandingkan aku.

Omong-omong, Taeyeon sudah besar! Usianya sudah menginjak dua tahun sekarang, dan aku yakin betul Baekhyun sedang sangat menikmati waktunya sebagai seorang ayah. Terlebih dia hanya punya seorang anak dan itu perempuan—bukan tiga bocah ulat kecil nakal seperti anak-anakku!

“Apakah kau punya waktu senggang hari ini?”

“Untuk apa? Ada yang ingin kaukatakan kepadaku? Kau ingin kita bertemu di tempat biasa? Jangan bilang kalau…”

Baekhyun menghentikan kalimatnya, lalu bergidik ngeri.

“Solar ingin menceraikanmu, Yeol? Astaga…”

Belum sempat aku mengutarakan maksudku, bocah sialan itu sudah memberondongku dengan perkiraan-perkiraan tololnya sendiri.

“Kau brengsek, Byun Baekhyun…”

“Diam kau!” Seketika, Baekhyun membentakku dari balik telepon, membuatku seketika tergagap sementara  perhatianku tertuju kepada ketiga berandal cilikku yang sedang mendorong mobil-mobilan mereka. “Aku tak mau membuat Taeyeon mendengar apa yang kaukatakan—aku mengaktifkan loudspeaker di telepon, oke?”

“Taeyeon dua tahun sekarang. Yang jelas, satu hal yang patut kauperhatikan adalah anakku sedang giat-giatnya belajar berbicara. Jangan perdengarkan dia bahasamu yang memuakkan itu…”

“Itu juga bahasamu, Byun Baekhyun,”

“Aku sedang menyuapinya, Park Chanyeol! Jangan membuat Taeyeon mengira ayahnya bukan pria baik-baik!”

Seperti biasa, Baekhyun mulai meneriakiku dari balik telepon. Heran betul aku padanya, tidak biasanya Baekhyun bersikap seperti ini; cerewet seperti ibu-ibu. Apakah dia kini rutin menggantikan Ara berbelanja di supermarket? Atau, oh astaga, dia terlalu sering bergaul dengan Solar yang menaruh perhatian berlebih terhadap perkembangan mental anak!

“Oke, oke,” aku menganggukkan kepalaku, meski tahu Baekhyun tidak dapat melihatnya. “Kau tahu hari ini Sabtu, kan…”

“Langsung ke poin utamanya saja, Chanyeol.”

Byun Baekhyun belakangan terlalu emosian; aneh.

“Astaga, kau kenapa? Sedang datang bulan?!”

“Ara sedang tidak di sini, dia pergi ke luar kota untuk reka—”

<

Show more