2015-07-18

Arlene’s present



0101

“Being in love, addiction, Amour obsessed.”

.

Main cast :

Oh Sehun – Ilana Kim – Kai Kim

.

Supported cast :

Luhan Müller – Alena Kim,

Kris Wu, Suho Kim, Kim Minseok,

and others.

.

Romance, Hurt/Comfort, Life, Family, Psychology, AU

.

PG

.

— Also follow my personal WP : http://arleenepark.wordpress.com —

Disclaimer : Big thanks to @WhitePingu95 for your briliant’s basic idea, Dear. Love yaa~ Well, I absolutely own the plot, but the cast or places is still belong to God, their agency, and their ownership. Walau ada bumbu real, cerita ini tetep terhitung fiktif karena berkembang sesuai imajinasiku sendiri.

Hope you’ll enjoy the story guys. Love youu^^

-0-

Previous chapter :

Amour Obsessed [1] | Addiction [2] | How it All Began [3] | Your Warm (Body) Heart [4] | Amore or Amour? [5] | Burned [6] | Sweet and Strained [7] | Hello, problem! [8] | Hurt Heart [9] | Keep Some Lies [10] | Early Separation [NOW]

“Takdir tak pernah melewatkan apa pun. Hanya perlu menunggu waktu hingga semua kembali pada tempatnya.”

Tubuh Sehun terasa makin kebas kala fokusnya menangkap kedatangan Minseok. Tangannya yang bergetar turun, berusaha menjauhkan mini recorder yang sebelumnya diangsurkan Luhan dari telinga untuk disembunyikan dalam pangkuan. Bersamaan dengan kegiatan kecilnya ini, Luhan berdiri. Menyambut kedatangan Minseok dengan cara yang lebih layak. Melengkungkan kedua bibirnya. Tersenyum, walau samar. Tak hanya pada Minseok, namun juga pada Kris yang sejak awal ikut mendampingi keponakannya tersebut.

Keempatnya bertemu-tatap dalam situasi yang sama sekali tidak menyenangkan. Di mana rasa bingung, tak percaya, pun kekecewaan bercampur menjadi satu. Melenyapkan kebahagiaan yang beberapa menit lalu membingkai mereka dalam suatu kenyamanan, lalu menggantinya dengan siksaan cambuk duniawi.

Masalah memang tak pernah ada habisnya.

“Apa yang terjadi?” Minseok mengambil beberapa langkah lebarnya. Membawa diri hingga ke hadapan Sehun, lalu membeku di sana. “Beritahu aku, Sehun. Ada apa sebenarnya? Apa firasatku akan Xiumin beberapa bulan terakhir ini benar?” Keterdiaman Sehun, membuat Minseok dengan serta merta mengalihkan fokusnya pada Luhan. Mengguncang tubuh yang bahkan keadaannya tak lebih baik dari Sehun –saat ini. “Katakan kebenarannya padaku, Luhan! Aku harus tahu. Apa Xiumin ada hubungannya dengan kematian Ayahku?”

“Minseok.” Entah sejak kapan, tahu-tahu Kris sudah berdiri di balik punggung Minseok. Menarik tubuh lelaki itu beberapa langkah ke belakang agar Luhan terbebas dari siksaannya. Ditenangkannya Minseok dengan beberapa remasan kuat di bahu. “Kita bicarakan, tapi tidak di sini. Kita harus cari tempat yang lebih aman agar Alena dan Ilana tidak mendengarnya. Okay?”

Minseok terdiam, begitu pun Sehun dan Luhan. Ketiganya memutuskan untuk mengekori Kris dalam kebisuan yang menyiksa. Mengerdilkan rasa percaya diri masing-masing dari mereka, terlebih Minseok. Pria itu kembali membenci dirinya sendiri, sama seperti dua tahun lalu –saat pertama kali ia memutuskan untuk angkat kaki dari kediaman yang menjadi saksi bisu betapa tidak menyenangkannya menjadi seorang Kim Minseok.

Kim Minseok, si anak laki-laki yang lambannya melebihi kedua adik perempuannya. Kim Minseok, si anak laki-laki yang seringkali merasa diabaikan karena rasa takutnya sendiri. Kim Minseok, pria payah yang tak pernah mampu melawan takdir atas segala kelemahannya saat kecil dulu. Kim Minseok, si kakak sulung yang lelah setiap kali sang Ayah membandingkan dirinya dengan kedua adiknya.

Dan karena semua itulah Xiumin ada … Hidup dalam diri Minseok, kemudian menghancurkan segalanya dengan tak tahu diri.

Alena tampak kikuk saat memasuki ruangan Ilana. Fokusnya masih saja berpendar, menilik kehampaan yang menyelimuti keduanya. Sepasang tungkainya terserat kaku menghampiri Ilana. Pikirannya menerawang, kemudian tenggelam dalam ingatan masa lalu. Memanjakannya dengan kekonyolan dua anak perempuan bermarga Kim yang kini telah tumbuh besar dengan pengasingan satu sama lain.

“Alena …” suara lemah Ilana terdengar mengejutkan. Membuat sang empunya nama lekas menoleh, walau pada akhirnya tetap bertahan dalam keheningan yang sama. “Alena Kim … Alena … Lena … Kakakku.” Lagi. Ilana menggumam dengan nada lirihnya.

“Ilana …” Alena membalas dengan sama pelannya.

“Alena …”

“Ilana …”

“Aku merindukanmu.” Dan Ilana memutuskan untuk benar-benar memulainya. Beruntung gadis ini belum merubah posisi duduknya sepeninggal Sehun, hingga kini dirinya dapat dengan mudah menjangkau kedua lengan sang Kakak yang terkulai di sisi tubuh. Menggenggamnya erat seolah takut akan kehilangan untuk yang kedua kali. “Maafkan aku.”

Alena mendudukkan diri di tepian ranjang Ilana. Membalas genggaman adiknya tersebut dengan kungkungan yang lebih hangat. Ia berkata, “ Aku jauh lebih merindukanmu. Pulanglah, Ilana. Kau dan Minseok … kembalilah ke rumah. Jangan biarkan aku kesepian lagi.”

“Maafkan aku.”

“Lana.” Alena menangkup kedua sisi wajah adiknya dengan penuh kelembutan. Memaksa agar sepasang manik violet milik Ilana kembali membalas tatapannya. “Bukan salahmu. Kau sama sekali tidak salah. Jadi, berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Akulah yang seharusnya meminta maaf karena tidak mencoba memahami perasaanmu saat itu, padahal jika aku ada di posisimu mungkin aku akan jauh lebih marah pada Dad,” ungkap wanita ini, tulus.

Ilana menggeleng. Gerakannya begitu bar-bar, seakan tak acuh pada rasa ngilu yang dapat menyiksa punggungnya sekali waktu. Hal ini tak pelak membuat Alena meringis, takut adiknya itu lepas kendali tanpa memikirkan kesehatannya. Dengan sigap, Alena pun merengkuh tubuh mungil Ilana ke dalam sebuah dekapan hangat. “Dad pasti mengerti mengapa kau tak langsung memaafkannya saat itu. Kau sudah terlampau kecewa karena Dad kembali mengingkari janjinya padamu, ‘kan? Padahal harusnya itu menjadi hari perayaan ulang tahunmu yang ke delapan belas,” imbuh Alena, masih dengan nadanya yang lembut dan menenangkan.

Kali ini Ilana ganti mengangguk. Pergerakannya jauh lebih tenang, meski wajahnya telah melesak jauh dalam pelukan Alena. Sengaja agar isakannya tersamarkan. Susah payah gadis ini membuka mulut, berharap kerongkongannya tak lagi menjerat sederet kata yang ingin ia muntahkan. “Seandainya aku tahu itu adalah terakhir kalinya aku bicara dengan Dad, aku akan langsung memaafkannya, Lena. Aku bersumpah, aku benar-benar … m-menyesal.”

“Aku mengerti. Aku mengerti. Aku mengerti. Aku mengerti.” Entah berapa kali kata yang sama ini meluncur dari bibir tipis Alena. Ditutup dengan tiga kata lain yang juga bernilai sakral. “Aku minta maaf.”

Ilana menarik diri dari kuasa Alena. Tangisnya telah terhenti bersamaan dengan ibu jarinya yang terangkat demi menghapus buliran kristal yang berkumpul di sudut mata sang kakak. Senyumnya terkembang, cukup lebar. Hatinya terasa lapang, terbebas dari beban masa lalu yang ia simpan dalam hati selama dua tahun terakhir. Mulai hari ini tak ada lagi masalah yang akan menganggu keluarganya. Setidaknya begitu, dalam bayangan Ilana.

Ilana mengartikan segalanya terlalu mentah.

“Setelah ini kita akan membuat keluarga yang bahagia. Kita buat dunia iri.”

Alena mengangguk. “Of course, we will.”

“Aah, ya—” Ilana terhenyak. Teringat sesuatu. “—aku ingin menanyakan sesuatu.”

“Apa?”

Napas berat Ilana tersuap ke udara. Satu sudut bibirnya melengkung ke atas, berusaha tersenyum manis, walau pada akhirnya yang terlihat justru sangatlah buruk. Detak jantungnya terasa abnormal selagi pusat syarafnya sibuk menggambarkan kuriositasnya dalam sususan kata. Sepasang fokusnya tampak kosong saat membalas tatapan tak mengerti Alena.

Butuh waktu bermenit-menit, hingga Ilana berhasil mengembalikan kembali kesadarannya yang tertelan rasa takut. Tak ingin membuat sang kakak menunggu lebih lama, gadis ini pun lekas melisankan rasa ingin tahunya. “Sehun dan Mr. Stein … mereka orang yang sama, ‘kan? Kau … mengenalnya, ‘kan?” Ilana kembali menampilkan senyum masamnya. Tanpa menunggu balasan dari Ilana, ia pun menambahkan, “Terimakasih sudah merahasiakannya dariku.”

“Maafkan aku, Lana. Ak—”

“Tidak,” Ilana menyela. “Aku serius berterimakasih padamu. Kau, Paman, kalian semua … teruslah berpura-pura. Aku juga akan melakukan hal yang sama. Paling tidak sampai perpisahan yang sebenarnya datang, aku ingin tetap bersama Sehun. Aku belum ingin membencinya, Lena. Aku … mencintainya. Aku mencintai si brengsek itu. Aku bahkan tetap mencintainya sekalipun aku tahu dia tak lebih dari seorang pembohong.”

“Ilana—”

“Jika sudah begini, aku harus bagaimana, Lena? Dia sudah terlalu jauh menyentuh hatiku, bahkan aku membiarkannya mengambil ciuman pertamaku.” Ilana kembali melesakkan diri ke dalam rengkuhan Alena untuk yang kedua kali. Berusaha menghindari hujaman hazel Alena yang mulai terasa menghakimi. “Semua percakapan Sehun bersama Paman. Aku tidak pernah ingin mendengarnya.”

“Karena takdir tak ingin kau terluka terlalu dalam seandainya perpisahan itu terjadi, Lana,” balas Alena sembari membelai lembut surai kecokelatan Ilana yang tergerai menutupi punggung. “Aku tahu Sehun juga mencintaimu. Seandainya saja kau tahu seberapa kuat dia meyakinkanku sore itu. Teriakannya, tangisannya … Dia sampai berlutut di hadapanku saat aku memintanya menjauhimu,” ungkap wanita ini kemudian. “Kalian sama-sama jatuh cinta, hanya saja kalian jatuh cinta pada orang yang salah, atau mungkin waktunya saja yang belum tepat.”



Keempat lelaki itu berkumpul di tengah pengapnya mobil. Mengunci rapat seluruh akses masuk dari dalam, bahkan sengaja menghidupkan mesin mobil agar tak satu pun manusia di luar sana yang dapat mencuri dengar percakapan mereka. Terasa berlebihan memang, namun mengingat apa yang hendak mereka bicarakan saat ini bukanlah sesuatu yang main-main, maka hal semacam ini pun dapat dihalalkan.

“Jadi, bagaimana?” Minseok memulai.

Alih-alih menjawab, Sehun justru menyodorkan mini recorder yang sejak tadi ia genggam ke tangan Minseok. Menekan tombol ‘play’, lalu mengeraskan volume-nya. Sengaja agar keempatnya dapat mendengarkan frekuensi yang digemakan benda mungil tersebut secara bersamaan.

Semuanya terdengar biasa saja di telinga Kris, sampai akhirnya …

“Minseok tidak salah. Xiumin saja yang brengsek dan tidak tahu diri …”

T-tunggu. Apa-apaan ini?

Secepat kilat, Kris mengambil alih benda dalam genggaman Minseok. Menekan tombol ‘pause’ yang sontak dihadiahi geraman marah oleh Minseok. “Aku ingin tahu kebenarannya, Paman. Kumohon jangan membuatku marah, atau si brengsek itu akan muncul,” ancam lelaki bermarga Kim tersebut, penuh penekanan.

“Tidak! Ini salah, pasti Kai berbohong—”

“Tidak, Mr. Wu. Kai … benar,” potong Luhan. Tangannya pun terangkat ke hadapan Kris, mencoba menunjukkan sebuah kartu memori berbungkus plastik yang ada dalam genggamannya saat ini. “Buktinya ada padaku. Aku sudah melihatnya dan Kai memang tidak berbohong.”

Tatapan keras Minseok tampak melunak. Mencoba memohon pada Kris melalui sepasang fokusnya dengan cara yang lebih lembut. Satu tangannya mencoba menjangkau bahu sang paman, meremasnya perlahan, mencoba menyalurkan pasokan kekuatannya yang bahkan tak lagi banyak tersimpan. Ia paksa pita suaranya bekerja di tengah kelu lidahnya. Menghasilkan beberapa kalimat yang terdengar sumbang setelah melewati bibirnya. “Jangan lakukan hal bodoh yang sama seperti yang Kai lakukan selama ini, Paman. Aku tak ingin terus hidup dalam kebohongan. Aku ingin segera mengenyahkan Xiumin yang memang seharusnya tak pernah ada. Aku yakin kau tidak ingin melihatku terus-menerus tersiksa, ‘kan?”

“Tapi—”

“Ini salah satu cara mengembalikan nama baik Dad. Kita harus rubah stigma masyarakat, kita yakinkan mereka bahwa Dad tak pernah mengakhiri hidupnya dengan cara sekonyol itu,” sergah Minseok. “Sudah enam bulan terakhir ini aku berkonsultasi dengan seorang psikolog. Dia selalu mengatakan tekadku belum terlalu kuat, karena itulah aku selalu gagal melenyapkan Xiumin dari ragaku. Dr. Letizia bilang aku membutuhkan satu alasan pasti kenapa aku harus membunuh Xiumin dan sekarang aku mendapatkannya, Paman.” Minseok tersenyum simpul. “Percayalah. keponakanmu ini akan baik-baik saja. Kau tidak mau aku hidup bersama rasa bersalah seumur hidupku, ‘kan? Meski bukan aku yang melakukannya, tapi tetap saja aku bertanggung jawab atas kematian ayahku sendiri.”

Sehun berdeham. Mencoba masuk ke dalam situasi hangat yang baru saja dibentuk Minseok. “Maaf, tapi sebenarnya … kalaupun bukti ini sampai ke tangan pihak kepolisian, Minseok akan mendapatkan keringanan. Kemungkinan besar mereka justru akan membantu proses penyembuhan Minseok. Sama seperti seorang pecandu narkoba yang dikirim ke pusat rehabilitasi,” pria ini menimpali. “Benar yang dikatakan Minseok, ini dapat mengembalikan nama baik Mr. Kim yang sempat tercoreng. Lagipula kau bisa memberikan jaminan untuk kebebasan bersyarat Minseok, Mr. Wu, atau kalau kau berminat kau bisa mengambil jalan damai sebagai hasil akhir kasus ini.”

“Lalu bagaimana dengan dua keponakanku yang lainnya? Mereka bisa terluka saat mengetahui kebenarannya?” Kris tetap dirundung dilema.

“Cepat atau lambat mereka harus mengetahuinya, Paman. Aku yakin kedua adikku adalah perempuan yang kuat.”

Kris membisu, membiarkan Minseok kembali bersuara.

“A-aku—” Minseok mulai gemetar. “—aku ingin melihat rekamannya, Lu. Aku ingin melihat bagaimana kejinya Xiumin sebelum bukti itu kuserahkan sendiri kepada pihak yang berwajib,” tutur Minseok sembari menengadahkan kedua tangannya yang bergetar.

“Minseok …” Sesungguhnya Kris memiliki banyak sekali hal untuk disampaikan, namun pasokan katanya selalu saja menguap bersama dengan karbondioksida yang ia suap ke udara. Kris benar-benar kehilangan kendali atas pita suaranya sendiri, karena itulah tak ada lagi yang mampu ia suarakan selain dua silabel yang membangun nama keponakannya.

“Kurasa akan lebih baik kalau kau tidak melihatnya, Minseok,” timpal Luhan ditutup dengan senyum masamnya yang mengandung beribu makna.

“Aku-harus-melihatnya-!”

“Tap—”

“Perlihatkan padaku, Luhan! Aku ingin segera menyelesaikan semuanya!”

Minseok tampak membeku di satu langkah pertamanya melewati pintu ruang rawat Ilana. Hatinya menghangat melihat pemandangan macam apa yang baru saja menyambut fokusnya. Menghadirkan seulas senyum yang ia kunci di bibir selama beberapa saat. Kebahagiaan kembali meliputi Minseok, menghapus segala kesepian yang acapkali mewarnai harinya selama dua tahun terakhir.

“Minseok,” Ilana lebih dulu bersuara. Sepasang iris ungunya berbinar, senang.

“Kemarilah, Minseok!” Alena menimpali. Sepasang kaki jenjangnya berayun menghampiri Minseok, menarik pria tersebut agar lekas berbaur bersama dirinya dan Ilana. “Aku dan Ilana membicarakan banyak hal sejak tadi, termasuk rencana liburan untuk merayakan keutuhan keluarga kita. Bagaimana menurutmu?” cicit Alena setibanya di tepian ranjang Ilana. Raut wajahnya tampak tak kalah bahagia.

Minseok tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Ide yang bagus,” kelakarnya dengan sepasang fokus yang mulai berkaca-kaca. “Kalian berliburlah.”

“Kau juga harus ikut! Ini adalah hari kemenangan kita bertiga,” sahut Ilana cepat.

“Aku tidak bisa.” Minseok ganti menggeleng, menyisakan lipatan heran pada kening kedua adik perempuannya. “Ada banyak hal yang harus kuselesaikan di sini,” imbuh pria bermarga Kim ini. Diacaknya puncak kepala Alena dan Ilana secara bergantian, lalu lagi-lagi tersenyum. “Maafkan aku, tapi sepertinya aku telah merusak kebahagiaan kalian, ya?” Minseok meracau. “Hey, kenapa diam saja? Jangan memb—”

“Kau kenapa, Minseok?” Alena menyela.

Minseok tersenyum kecut.

Ilana mencengkram ujung t-shirt yang dikenakan Minseok. “Apa ada yang salah?” tanya gadis ini, menyisipkan kuriositasnya dalam empat kata yang terdengar sumbang saat ia lafalkan. Mengiringi getaran kecil yang mengusik ketenangan jemarinya. “Apa yang ingin kau sampaikan pada kami sebenarnya? Kenapa tingkahmu begini? APA ADA SESUATU YANG SALAH? KAU MEMBUATKU TAKUT, MINSEOK!”

Jika Ilana baru saja meledak, maka Alena sebaliknya. Wanita itu justru tersenyum manis dengan satu tangan terulur, menggapai kelima jemari Minseok yang terkulai di sisi tubuh lalu menggenggamnya erat. Memenjarakan sepasang fokus kakaknya tersebut dalam hazel-nya yang berkaca-kaca. “Semua baik-baik saja, ‘kan? Iya ‘kan, Minseok?”

“Maafkan aku.”

“BERHENTI MEMINTA MAAF DAN JAWAB KAMI!” Ilana memperkuat cengkramannya seraya mendongak, berusaha mencari ketenangan dalam netra Minseok walau sia-sia. “Ada apa sebenarnya? Apa telah terjadi sesuatu yang salah? Kenapa kau tidak bisa ikut? Apa kau tidak bahagia bisa berkumpul bersama kami lagi? Aku tahu aku hanya seorang adik yang menyusahkan, tapi tak bisakah kau menerimaku? Aku me—”

“Kau ini bicara apa, sih?” potong Minseok seraya memukul pelan ubun-ubun adik bungsunya tersebut. “Tentu saja aku bahagia. Sangat-sangat bahagia,” tambahnya kemudian. “Aku justru takut kalianlah yang kecewa karena memiliki kakak sepertiku. Pria lemah yang telah menghancurkan kebahagiaan kalian selama bertahun-tahun. Maafkan aku. Aku menyayangi kalian tapi—”

“Min—”

“Kematian Dad … Semuanya salahku. Aku yang membunuhnya.”

Alena limbung. Kuasanya pada jemari Minseok pun terlepas begitu saja. Senyumnya redup digantikan raut penuh kekecewaan. Bukan pada Minseok, melainkan pada takdir yang tak henti memermainkan kebahagiaannya sejak kecil. Alena merasa kedua kakinya lemas hingga tak mampu lagi menopang bobot tubuhnya sendiri. Ia nyaris terjatuh menyapa dinginnya lantai, namun Luhan lebih dahulu muncul dan memeluknya dari belakang.

“Maafkan aku.” Dua kata yang sama kembali diluncurkan Minseok di tengah rasa kebas yang menyerang persendiannya. Sesungguhnya tadi ia ingin berlari menghampiri Alena, tapi kedua kakinya yang brengsek ini sama sekali tak mau diajak bekerja sama. Terlalu takut memikirkan kebencian yang mungkin saja tumbuh dalam hati kedua adiknya setelah ini, ditambah dengan keterdiaman Ilana.

Susah payah Minseok merangsek maju. Merengkuh tubuh mungil Ilana yang berubah kaku dalam posisi duduknya. Gadis itu hanya diam, tidak menangis, tidak pula membalas pelukan Minseok. Tatapannya terarah lurus pada ambang pintu, terpekur menatap sang Paman yang tengah menangis tanpa suara di sana. Alam bawah sadarnya merutuk, tak sudi menerima kenyataan bahwa semua penuturan Minseok benar adanya. Tentu saja, jika ini hanya lelucon mana mungkin Pamannya rela membuang air mata sebanyak itu? Lagipula ini memang bukan hal yang pantas untuk dijadikan bahan tertawaan. Tapi … kenapa harus Minseok?

Tiba-tiba saja Ilana menarik diri dari rengkuhan Minseok. Tawa sumbangnya berderai memecah keheningan. “Jadi kakakku adalah seorang pembunuh, begitu?”

“Tidak, Lana. Bukan Minseok—” sergah Luhan masih dengan tubuh rapuh Alena dalam pelukannya. “—tapi alter yang tumbuh dalam tubuh Minseok.”

“Xiu … Min?” Alena cepat tanggap, tubuhnya kembali tegak selagi kedua tangannya menjauhkan lengan besar Luhan dari pinggangnya. “Kalau begitu kau tidak salah, aku tahu kau tidak mungkin membunuh Dad,” ungkapnya setelah kembali ke sisi Minseok. “Kita anggap saja semuanya tak pernah terjadi dan kau bisa bebas berkumpul bersama kami. Aku yakin Dad pasti mengerti—”

“Tidak, Lena. Jangan ulangi kesalahan bodoh Kai dengan melindungiku. Kau tidak ingin aku terus hidup dalam bayang-bayang Xiumin, ‘kan? Bukankah ini dapat memerbaiki nama baik Dad yang sempat tercemar? Semuanya akan baik-baik saja, Lena. Aku akan segera kembali setelah selesai memertanggungjawabkan segalanya. Kau dan Ilana hanya perlu menjaga diri baik-baik hingga saatnya nanti kita bertemu lagi.”

“Ak-aku, ah, b-ba-bagaimana in-i?” Ilana tersenyum masam kala menatap kedua tangannya yang tak henti bergetar, mengiringi buliran kristal yang menodai pipi pualam Ilana dengan kelembaban penuh luka. Ia bersikeras menggerakkan salah satu tangannya untuk menangkup sisi wajah Xiumin, tak peduli meski pergerakannya ini justru memperparah gemetar pada tubuhnya. “Aduh, b-bag-bagaimana ini … ak-u i-ingin menyentuh-mu,” keluh Ilana di tengah isak tangisnya. “K-kena-pa ta-nganku ti-dak bisa berhen-ti bergetar?”

“Ilana—”

“Aku hanya ingin menyentuh Minseok, Lena … Tapi tangan sialanku ini tidak mau diajak bekerja sama,” sela Ilana, lalu mulai menggigit kedua ibu jarinya. Tak peduli meski Alena dan Minseok telah berusaha untuk menahannya. Bukannya melemah, gigitan Ilana pada jarinya justru menguat. Membuat jejak yang tertinggal di sana lebih dalam, hampir berdarah.

Sehun yang sedari tadi bertahan di ambang pintu tak kuasa menahan amarahnya. Secepat kilat ia berjalan, menyusul Kris yang sudah berjalan beberapa langkah di depan, lalu mendahuluinya menghampiri Ilana. Lupa pada niat awalnya untuk tidak ikut campur apa pun yang terjadi, karena untuk yang satu ini … Ilana sudah berlebihan. Pria mana yang tahan melihat gadis yang dicintainya melukai diri sendiri?

“Berhenti, Ilana!” ucap Sehun setibanya di dekat Ilana. “Kubilang berhenti!” ulang pria ini, namun Ilana tak kunjung mematuhinya. “BERHENTI, LANA!” teriak Sehun, disusul pendaratan telapak tangannya pada pipi Ilana. Bingo, gadis itu pun berhenti dan mendongak pada Sehun. Menyerang tatapan biru Sehun dengan violet-nya yang memerah. Secepat kilat, Sehun merengkuh tubuh rapuh di hadapannya. Memeluknya erat, diserang rasa bersalah. “Maafkan aku,” bisik Sehun tepat di daun telinga Ilana. Diabaikannya empat pasang mata yang tiga di antaranya tampak berkilat marah akibat ulahnya beberapa detik lalu. “Aku tidak bermaksud menyakitimu, aku tak tahu bagaimana caranya membuatmu berhenti.”

Isak tangis Ilana memarah dalam rengkuhan Sehun.

“Maafkan aku telah menyakiti Ilana,” ucap Sehun dengan fokusnya yang berpendar. Membalas satu per satu tatapan yang mengarah padanya. “Maaf,” ulangnya sebelum menjauhkan tubuh Ilana darinya. Memeriksa ibu jari Ilana yang mulai memerah dengan bekas gigitan yang tertinggal di permukaan kulitnya.

“Sehun …” lirih Ilana saat Sehun sibuk meniup luka pada ibu jarinya dengan sepasang manik birunya yang berkaca-kaca.

“Amore …” balas Sehun seraya menempelkan keningnya pada kening Ilana. “Jangan seperti ini. Kau tidak sadar? Dengan begini kau malah membuat Minseok semakin tertekan di tengah keberaniannya yang sebenarnya patut kau acungi jempol. Kau seharusnya membantu Minseok, menguatkannya, bukan menjadi lemah dan menyedihkan seperti ini,” tutur Sehun di tengah minimnya jarak. “Mana Ilana-ku yang kuat?”

“Kau benar. Sejak kapan aku jadi sepayah ini?” Ilana berpaling pada Minseok. Tersenyum tipis pada sosok yang kini tengah memeluk Alena. “Peluk aku juga, Minseok.”

Ketiga saudara itu pun tenggelam dalam satu pelukan erat Menyisakan rasa hangat yang mampu mengaburkan kemarahan Kris. Pria jangkung itu pun menghadiahkan seulas senyum manisnya untuk Sehun. Mengucapkan rasa terimakasihnya melalui tatapan mata.

“Jangan terlalu lama pergi dari kami.”

“Betul yang dikatakan Lena. Kau harus segera kembali, Minseok.”

“Ya. Percaya padaku, semuanya akan baik-baik saja setelah ini.”

Luhan melenguh panjang selepas menatap layar ponselnya. “Mr. Wu,” panggilnya pada pria bertubuh tinggi yang berjalan dua langkah di hadapannya. Membuat sang empunya lantas berhenti dan menolehkan kepala. Menunggu Luhan menyusulnya. “Sepertinya aku dan Sehun tidak bisa menemani kalian ke Kantor Polisi. Ada beberapa pekerjaan yang harus kami urus, termasuk menyerahkan hasil akhir dari kasus ini,” ungkap Luhan setelah keduanya berdiri berhadapan.

Kris tersenyum kemudian meremas perlahan bahu Luhan. “Ya. Tidak masalah. Aku bisa mengantar Minseok sendiri,” sahutnya tulus. “Sekali lagi terimakasih untuk bantuan kalian.”

Luhan balas tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. “Sudah tugas kami,” ucap pria ini seraya menggenggam jemari Kris yang bertengger di pundak kirinya. “Aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Minseok bisa bertahan sejauh ini, itu artinya dia pria yang tangguh. Soal Kai, kurasa setelah ini Polisi juga akan menyelidikinya atas tuduhan bersekongkol dengan seorang pembunuh, atau semacamnya. Aku mohon bantu dia, Mr. Wu. Sesungguhnya dia pria baik, hanya saja dia kehilangan arah.”

“Aku tahu itu. Aku bersalah padanya selama ini dan sebagai permohonan maafku, aku pasti akan membantunya dalam soal ini. Bagaimanapun dia telah tercatat sebagai keluarga kami sejak Suho mengambil alih hak asuhnya.” Kris menarik kembali tangannya dari bahu Luhan, lalu menoleh pada Sehun dan Minseok yang telah berjalan beberapa meter jauhnya –nyaris mencapai pekarangan rumah sakit. “Cepat panggil temanmu. Kurasa dia terlalu bersemangat menemani Minseok,” imbuhnya ditutup dengan gelak tawa. Tidak terlalu lepas, namun cukup terdengar ringan mengingat masalah macam apa yang dihadapinya hari ini.

“Sepertinya Sehun sedang meminta restu Minseok atas hubungannya dengan Ilana.”

Kris masih terkekeh. “Dia tidak tahu bahwa sejak awal Minseok sudah menyukainya. Well, Minseok sendiri yang mengatakannya padaku. Aku hanya tidak yakin semuanya akan baik-baik saja jika Williard tahu hal ini,” ucapnya lalu berdeham. “Sudahlah. Kau harus pergi, ‘kan?”

Luhan menggumam samar, lalu membalas senyum Kris yang berubah masam.

Alena mengarahkan kelembutan telapak tangannya pada sisi kanan wajah Ilana –sang adik yang kini tengah terbaring di ranjang dalam keadaan menghadapnya. Dua sudut bibirnya tertarik ke atas, berusaha meringankan beban pikirannya melalui seulas senyum. “Tidurlah, Lana. Tidurlah yang nyenyak dan saat kau terbangun nanti—” Alena menyapu permukaan wajah Ilana dengan telapak tangannya. “—kau akan melupakan semua mimpi burukmu di masa lalu.”

Ilana tersenyum. Digenggamnya telapak tangan Alena yang bertahan di pipinya. “Selama kita bersama, semuanya akan baik-baik saja, ‘kan?” tanya gadis ini yang lekas diamini oleh sang kakak dengan sebuah anggukkan kepala. “Oh, iya. Bagaimana keadaan Kai? Apa dia masih dirawat di sini? Aku merindukannya. Dia pasti kesepian sejak kemarin.” Kuriositas Ilana pun berubah haluan. Membawa kembali segumpal rindu yang sejak kemarin memenuhi dadanya hingga membuat kerja paru-parunya terganggu.

“Tadi pagi saat kutanya pada Suster, keadaannya sudah mulai membaik.”

Satu desahan lega Ilana terhembus ke udara. “Aku ingin bertemu dengannya, tapi aku masih sulit melupakan peristiwa kemarin, Lena,” ungkap gadis bungsu keluarga Kim ini dengan satu tangan menekan dada. “Bahkan sekarang aku ingin marah padanya. Dia telah menyembunyikan kebenaran tentang Minseok selama ini. Dia menyimpannya sendirian dan yang tidak kumengerti … dia masih juga menyewa para detektif untuk menyelidiki kasus kematian Dad padahal dia sendiri mengetahuinya.” Ilana memalingkan kedua fokus ungunya hingga ke langit-langit ruangan. “Tapi semarah apa pun aku saat ini, tetap saja aku merindukannya. Separah itukah keadaannya hingga dia tidak bisa menemuiku?”

Desahan yang sama diloloskan Alena dengan ragu. Bibirnya kembali melengkungkan seulas senyum tipis yang ia harapkan mampu memberikan ketenangan baru bagi Ilana. “Kau harus tahu, Lana. Saat kau pingsan dia masih mencoba membopongmu, padahal kondisinya sendiri tidak jauh lebih baik. Tubuhnya penuh memar tapi dia bersikeras menyelamatkanmu.”

“Dia begitu baik dan aku melukainya. Kenapa aku tidak bisa mencintai Kai saja?”

Tangan Alena yang bertengger di pipi Ilana kembali bergerak. Mengusap lembut permukaan wajah Ilana, lalu menjawab, “Cinta itu datangnya dari hati. Aku bahkan tak pernah meminta untuk jatuh cinta pada Luhan, tapi kau lihat sendiri, ‘kan? Aku tetap memilihnya meski tahu dia pernah menyakitimu.” Ia mengulum bibir dalam hitungan detik, kemudian menambahkan dengan nada yang sarat akan penyesalan, “Maafkan aku, Lana. Harusnya aku tidak jatuh cinta padanya.”

“Hey.” Ilana balas mengusap lembut pipi Alena. “It’s absolutely not your fault. Kau sendiri yang bilang cinta datangnya dari hati. Paling tidak nasibmu jauh lebih beruntung, Lena. Kau jatuh cinta pada Luhan, pria yang bisa menjadi takdirmu. Sementara aku? Aku jatuh cinta pada Sehun dan hatiku tetap memilihnya meski tahu cerita kami takkan berakhir bahagia.”

“Siapa bilang? Kalian tentu bisa bahagia jika kalian berusaha menggapai kebahagiaan itu,” sanggah Alena cepat, meski dalam hati meragu dengan kalimatnya sendiri.

Ilana terkekeh. “I’m not sure,” ucapnya diakhiri dengan sebuah lengkungan bibir yang kentara dipaksakan. “Kapan aku bisa keluar dari rumah sakit ini, Lena?”

“Kata Dokter, kalau besok keadaanmu stabil, lusa kau sudah bisa pulang,” jawab Alena. “Maka dari itu, cepatlah tidur dan lupakan semua mimpi burukmu. Ritz-Carlton sudah terlalu lama menunggu kita,” imbuhnya seraya mengedikkan bahu. “Kurasa semua akan berjalan lancar kalau kita menghajar Ayahnya Sehun bersama-sama.”

Ilana tertawa renyah, geli melihat semangat yang terpancar dari hazel kakaknya tersebut. “Ya-ya, Miss Kim. Kau memang seorang workaholic,” ledek Ilana pada akhirnya. Pikirannya melayang sampai akhirnya terantuk pada peristiwa yang terjadi sekitar satu jam lalu. Tawanya pun lenyap seketika. “Belum apa-apa, tapi aku sudah merindukan Minseok.”

“Ayo tidur!” tanpa menunggu balasan Ilana, Alena pun memejamkan matanya. Menjadikan empuknya tepian ranjang Ilana sebagai penopang kepalanya. Sengaja menyembunyikan fokus hazel-nya yang kabur, dihalangi lapisan kaca-kaca bening.

Ilana merangsek maju guna mengecup puncak kepala Alena. “Terimakasih untuk tetap kuat di hadapanku, Lena. Tapi kalau kau mulai lelah menghadapi dunia ini, datanglah padaku. Berbagilah segalanya denganku. Kesenangan, kesedihan, apa pun itu, karena aku juga akan melakukan hal yang sama mulai hari ini.” Ilana mendekatkan bibirnya pada salah satu daun telinga Alena hanya untuk berbisik, “Selamat tidur, Kakakku sayang.”

­

“Sepertinya Presiden sudah mulai mencurigaimu.”

Lima kata dengan tujuh belas silabel yang membangunnya tersebutlah yang menghantarkan Sehun kemari. Duduk diam seperti seorang tahanan di hadapan seorang pria berwajah dingin yang tengah sibuk menjatuhkan fokusnya pada layar monitor, sementara Sehun hanya diliriknya sesekali dengan tatapan menyelidik yang terlampau tajam. Meski begitu, Sehun tetap tenang dalam posisinya. Tak ada secuil pun ketakutan yang terpancar dari obsidiannya, karena sejak awal dirinya memang tidak melakukan kesalahan apa-apa.

Tunggu. Benarkah dirinya sama sekali tidak bersalah?

Ya. Tentu saja tidak.

Tidak, selain menyamarkan identitasnya. Tidak, selain memanfaatkan jabatan sang paman untuk mewujudkan mimpinya meski harus didasari banyak sekali kebohongan. Tidak, selain jatuh cinta pada Ilana di tengah segala kepalsuan yang menyelimutinya. Tidak, selain semua tindakan manipulasi yang membentengi hidupnya selama beberapa bulan terakhir. Ha-ha! Pada kenyataannya, Sehun memang telah berbuat banyak sekali kesalahan sejak awal kedatangannya ke Jerman. Jadi, haruskah Sehun menarik kembali kata-katanya?

“Well—” Suara berat dari pria yang kini duduk berhadapan dengan Sehun mulai terdengar. Menggema, mengisi kehampaan yang sejak awal melingkupi keduanya dengan fokus yang terarah penuh pada Sehun. “—apa tujuanmu masuk ke dalam organisasi ini sejak awal?”

“Karena aku memang memimpikannya sejak kecil.”

Pria tersebut tampak melirik layar komputer. Satu alisnya terangkat tinggi, seakan tak percaya dengan kebenaran yang baru saja diterimanya. “Mimpi seperti apa?” Ia memilih untuk kembali menyerang Sehun dengan pertanyaan baru.

“Aku penyuka komik Conan dan sejak dulu aku selalu berkhayal bisa menjadi seorang detektif hebat sepertinya,” jawab Sehun. Ritmenya terdengar teratur, melambangkan ketenangan yang luar biasa. “Jika kau ingin tahu bagaimana caraku menjadi seorang spionase lepas untuk organisasi ini, semuanya karena bantuan Mr. Wiseman.”

“Ah-ha.” Pria di hadapan Sehun mengangguk. Mata bulatnya tampak semakin besar kala menatap Sehun. Tak lama, ia pun menyeringai. “Kau tahu? Pengakuanmu ini bisa membuat Mr. Wiseman ikut terkena masalah,” ancamnya dengan nada yang terdengar hambar di telinga Sehun. “Kalian saling mengenal, atau …?”

“Dia Pamanku.” Kedua bahu Sehun terangkat, tak acuh. “Toh, kalaupun aku berusaha menutupinya, alat pendeteksi kebohongan ini tetap akan mengetahuinya, ‘kan? Lagipula Mr. Wiseman sendiri yang memintaku menjawab pertanyaanmu dengan jujur, tanpa terkecuali,” imbuhnya seraya melirik sosok Lay yang berdiri tak jauh dari keduanya. Di samping kiri Lay ada Luhan yang tengah bersandar pada sisi ruangan dengan wajah cemas. Hey, jangan bilang pria itu mengkhawatirkan Sehun. Itu sedikit menggelikan mengingat perdebatan tak penting yang selama ini mengisi kebersamaan keduanya.

“Ada pertanyaan lagi—” Sehun tertarik untuk melirik tanda pengenal yang dikenakan pria di hadapannya. “—Dyo?”

Pria yang baru saja diketahui Sehun bernama Dyo itu pun mengangguk jengah. “Apa kau punya tujuan buruk terhadap citra BND?”

“Ck. Tentu saja tidak. Apa gunanya?”

Sekali lagi, Dyo melirik layar monitor. Mendengus keras karena gelombang yang tampil pada layar datar di hadapannya tersebut sama sekali tak bergerak. Mungkinkah dirinya yang kurang teliti saat memasang alat pendeteksinya? Atau mungkin alat pendeteksinya sendiri yang tengah mengalami kerusakan? Tak kuasa menahan rasa penasarannya, membuat Dyo tergerak untuk memeriksa galvanor yang terpasang pada dua ujung jari Sehun.

Dyo memang cukup dekat dengan Luhan, namun tidak dengan Sehun. Sejak awal kedatangan Sehun, pria ini terlalu angkuh di mata Dyo.

“Kenapa?” Sehun mencibir. “Kau tidak percaya pada kejujuranku?” tanyanya sinis, membuat Dyo terpaksa menjauhkan tubuhnya dari Sehun. Memilih untuk menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. “Jadi, sampai kapan aku harus duduk diam di sini? Aku hanya ingin menyerahkan hasil penyelidikan dari kasus terakhirku kepada Tuan Gerhard Schindler, paling tidak sebagai penghormatan terakhirku kepada Presiden kita.”

“Mencariku, Mr. Stein?” Dan sosok tegap itu pun mencuat dari balik punggung Dyo. Sorot elangnya menyambar sepasang manik biru Sehun yang membulat sempurna. “Terkejut aku mengetahui identitas aslimu?” ujarnya lagi. “Kau pikir kau sedang bermain dengan siapa? Sejak awal aku sudah curiga dengan kemunculanmu di bawah tangan Wiseman, tapi kinerjamu yang bagus itu membuatku mengabaikan segalanya.”

Sehun berdiri, lalu membungkuk hormat ke arah Gerhard. Digumamkannya satu kata maaf dengan penuh penekanan.

“Beberapa hari yang lalu ada yang mencoba membobol website kami dan kau tahu siapa pelakunya? A—”

“Mr. Williard,” sela Sehun cepat. “Sekali lagi Saya minta maaf atas itu.”

Luhan merangsek maju, menyerahkan beberapa berkas yang disusunnya dalam waktu singkat bersama Sehun serta sebuah kartu memori terbungkus plastik bening yang menyimpan salinan dari keseluruhan bukti –berkenaan dengan hasil akhir kasus kematian Mr. Kim ke tangan Gerhard. “Kami sudah berhasil menyelesaikannya, Tuan,” tutur Luhan.

“Good job.” Tuan Gerhard kembali menatap Sehun. “Tugas terakhirmu telah selesai. Rasa percayaku padamu telah lenyap, jadi kau—”

“Aku mengerti, Tuan Gerhard. Aku memang sudah memutuskan untuk berhenti, tapi aku ingin meminta satu hal. Tolong jangan libatkan pamanku dalam hal ini. Aku tak ingin menghancurkan apa yang telah pamanku bangun dengan susah payah,” sela Sehun dengan raut memelas yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya.

Lay membawa langkah lebarnya ke sisi kanan Sehun. Secepat kilat ia menyahut, “Tidak. Mulai hari ini aku juga akan mengundurkan diriku, Tuan—”

“Paman?” Sehun memekik, tak ingin memberi kesempatan bagi Lay untuk merampungkan kalimat gilanya. “Tidak perlu begini. Aku tahu kau memimpikan ini semua jauh sebelum aku. Jangan asal bicara kalau tidak ingin menyesal.”

Seolah tuli, Lay sama sekali tidak mengindahkan penuturan Sehun. Ia lebih memilih melanjutkan kalimatnya yang tertunda. “Menjadi bagian dari BND adalah bagian paling menakjubkan dalam hidupku, tapi kemunculan Sehun telah menyadarkanku satu hal. Tidak seharusnya aku menghindar dari kenyataan dengan menjadikan mimpiku sebagai tameng untuk menghindari kebobrokan keluargaku sendiri.” Lay berjalan maju, lalu menyerahkan sebuah amplop yang sedari tadi ia sembunyikan di balik punggung ke dalam genggaman Gerhard. Menyempatkan diri untuk memberi penghormatan terakhirnya pada pria yang selama ini telah menjadi pimpinannya. “Terimakasih sudah menerimaku selama ini, Tuan,” tutupnya.

Tuan Gerhard balas tersenyum. “Itu hakmu Lay Wise—oh, maaf. Maksudku Lay Silverstein. Semoga kau tidak menyesali keputusanmu ini. Senang bisa bekerja sama denganmu.” Pria berusia 60 tahunan tersenyum pun mengulum bibirnya selama beberapa saat seraya memijat keningnya sendiri. Berusaha mengusir penat yang ada. “Ini pertama kalinya aku turun tangan langsung hanya untuk kehilangan dua rekan kerjaku yang hebat.”

Sehun dan Lay hanya mampu menanggapi ucapan Gerhard dengan anggukkan sopan dan seulas senyum canggung. Melihat hal tersebut, pria yang menjabat sebagai ketua BND tersebut pun beralih pada Luhan. “How about you, Mr. Müller? Apa kau juga berniat mengundurkan diri bersama dua rekanmu, huh?”

Luhan mengerjap. “Sa-Saya?” Sekelebat bayangan Alena pun tampak semakin nyata dalam pemikiran pria ini. Gelenyar itu ada, menghangatkan hati, namun mengusik kerja otaknya. Luhan pun termangu dengan bertopang pada dua kaki kurusnya, sesekali melirik Dyo yang tengah menatap penuh padanya lalu beralih pada Sehun. “S-Saya …”

“Kau gila, Paman!” maki Sehun setelah dirinya berhasil menapakkan kaki di pekarangan gedung BND. Tatapannya terarah lurus pada Lay yang tengah mendongak –menikmati keindahan gedung yang akan segera mereka tinggalkan. “Aku masih tidak habis pikir kau merelakan apa yang telah kau perjuangkan selama ini dengan mudahnya. Kau yakin akan kembali ke dunia setan itu? Aku bahkan tak pernah ingin kembali ke sana, jika kau mau tahu.”

Lay terkekeh lalu merangkul bahu Sehun dengan tangan kanannya. “Siapa bilang mudah? Tentu saja ini berat bagiku, Sehun. Tapi kupikir aku memang harus kembali ke sana sebelum kakakku menjadi orang gila sungguhan,” ungkap Lay, lalu mengedikkan bahu. “Omong-omong, kemarikan ponselmu. Saat kucoba kemarin GPS-mu mudah sekali dilacak dan aku yakin itu akan memudahkan usaha Williard dalam menemukanmu. Kita harus mencoba untuk membuatnya terkecoh. Aah, sudah lama aku tidak bermain dengan ayahmu yang brengsek itu,” tambahnya sembari mengacak puncak kepala Sehun.

“Kau yakin dengan keputusanmu ini, Paman?”

“Tentu saja. Kemarikan ponselmu dan pergilah. Aku tahu kau tak tahan berlama-lama meninggalkan kekasihmu itu, ‘kan?” goda Lay dengan kerlingan jahilnya.

Sehun mencibir, lalu berujar santai, “You know me so much well.” Ia keluarkan ponsel dari saku celana lalu memindahkannya ke dalam genggaman Lay. “Aku per—”

“Aku ikut,” suara Luhan terdengar menginterupsi. Pria berwajah China kental ini meringis menerima tatapan heran Sehun dan Lay yang terhunus padanya. Dengan kikuk ia pun menggaruk tengkuknya, tersenyum tipis, kemudian menggumam, “Tidak masalah ‘kan kalau penganggurannya bertambah satu orang lagi?”

“Luhan, kau …?”

Dua hari berlalu dan Ilana pun dinyatakan sembuh oleh pihak rumah sakit. Akhirnya, setelah kemarin menghabiskan satu hari penuhnya seperti seorang pesakitan yang terkunci di atas ranjang, Ilana akan segera kembali ke apartemennya sendiri. Yeah. Setelah menimbang dari segala sisi, juga melalui perdebatan yang cukup panjang dengan paman dan kakaknya, gadis ini memutuskan untuk tetap tinggal di apartemen hingga masa kuliahnya berakhir, mengingat jarak kampusnya yang terlalu jauh jika harus ditempuh dari kediaman keluarga besarnya.

“Kau mau ke mana, Lana?” Satu pertanyaan Alena sukses menghentikan langkah Ilana. Membuat gadis itu terpekur di dua langkah pertamanya dengan kepala tertunduk, asyik menatap ujung sneakers yang kini menjadi alas kakinya. “Lana? Aku bertanya padamu, kau mau ke mana? Kenapa langkahmu mengendap-endap seperti itu?” ulang Alena, gemas karena pertanyaan yang pertama kali ia lontarkan diabaikan begitu saja.

Ilana menoleh ragu, kemudian memerlihatkan cengiran khas-nya. “Aku merindukan Kai, Lena. Aku harus segera menemuinya, paling tidak sebelum aku pulang. Sudah tiga hari aku tidak bertemu dengannya. Aku ingin memastikan keadaannya, apakah dia sudah benar-benar membaik atau belum,” ungkap Ilana dengan sepasang fokusnya yang berubah sendu. “Sehun bilang kemarin Kai menerima surat panggilan dari kepolisian, tapi keadaannya masih belum memungkinkan untuk pergi. Itu artinya kondisi Kai belum bisa dikatakan baik.”

Alena menarik napas berat, lalu menghembusnya kasar. Menyuap pasokan karbondioksida yang dicipta alveolus-nya secara cuma-cuma melewati lubang hidung hingga mengudara. Kegiatan berbenahnya terhenti selagi ia sibuk membalas tatapan Ilana. Melengkungkan seulas senyum tipis di tengah rasa gusar yang menyelimuti adik bungsunya. “Kau begitu merindukannya, ya?” tanya wanita ini, retoris. Tanpa perlu Ilana menjawab pun, Alena sudah dapat menyimpulkan seberapa besar kerinduan yang ditahan adiknya selama ini. Ini wajar dan Alena memahaminya. Ilana memang telah menghabiskan hampir seluruh masa hidupnya bersama Kai. Terjebak dalam kubu ‘teman’ yang mungkin tak pernah diinginkan Kai, namun begitu berarti di mata Ilana.

“Pergilah.”

Ilana nyaris melompat dari tempatnya saat menerima restu dari sang kakak. Gadis ini pun mengangguk semangat, lalu memutar tubuh. Bersiap mengayunkan sepasang tungkainya saat sesuatu kembali mengganjal benaknya. Membuat Ilana lekas berputar dan menatap Alena yang kini mulai menatap bingung ke arahnya. “Um, jangan beritahu Sehun soal ini, ya?”

“Jangan beritahu aku soal apa?” Suara bariton Sehun menggema, menampar gendang telinga Ilana. Menyisakan rona merah yang menjalari hampir seluruh permukaan wajah gadisnya itu. Sejatinya Sehun memang selalu menikmati pemandangan semacam ini, ketika kekasihnya merona menerima perlakuannya, namun tidak untuk yang sekarang. “Ila—”

“Nope.” Sial! Ilana menjawabnya terlalu cepat dan janggal.

Langkah besar Sehun mulai terarah pasti menuju Ilana. Mengukir tiap jejak tak kasat matanya pada petakan keramik secara tergesa, sebelum akhirnya meraih pinggang ramping Ilana ke dalam kuasanya. Dikikisnya jarak yang ada selagi sorot tajamnya tenggelam dalam tatapan ungu Ilana. Alena yang tak kuasa dihadiahi pemandangan semacam ini pun lekas berbalik dan melanjutkan kembali kegiatan kecilnya yang tertunda. Memasukkan beberapa perlengkapan Ilana yang diambilnya dari atas nakas ke dalam tas kecilnya. “Ini masih di rumah sakit, Sehun!” umpat Alena, jengah.

Sehun melirik sosok –sok- sibuk Alena melalui ekor mata, lalu menyeringai. “Tidak ada yang bilang ini club malam, Lena,” balasnya santai. Sepasang manik Sehun kembali terarah penuh pada Ilana. “Jadi, apa yang sedang disembunyikan kekasihku ini, hm?”

Ilana menggigit bibir. Ragu. Sepertinya obat-obatan yang selama ini dikonsumsinya terlalu banyak meleburkan sisa keberanian yang ia miliki.

“Jangan menggigit bibirmu, Lana! Kau tahu akibatnya, ‘kan?”

Ilana memberengut kesal, walau pada akhirnya menjawab juga. “Aku ingin bertemu Kai.” Ia mendongak, membalas hujaman manik Sehun dengan tatapan yang lebih lembut. “Aku merindukannya, Sehun. Biarkan aku menjenguknya.” Ilana mulai merajuk. Namun nadanya tetap lugas, cukup untuk mengalahkan kerasnya Sehun.

“Aku antar.”

“Tapi nanti biarkan aku bicara berdua dengan Kai.”

Sehun mendengus tak suka. “Ya-ya-ya. Aku hanya mengantarmu sampai ke depan pintu ruang rawat si Kim itu, lalu aku akan meninggalkan kalian berdua. Berdua saja. Kau dan dia, ber-du-a. Puas, Nona Kim? Ugh, bahkan aku baru sadar marga kalian sama. Menyebalkan!” Kini ganti Sehun yang cemberut.

“Kau cemburu?”

“Tidak?”

Ilana mencibir. “Kau jelas cemburu.”

“Aku cemburu berarti aku memang mencintaimu. Wajar.”

“Dan kau pria pertama yang membuatku terkejut karena berani menampar

Show more