2015-07-09



The 2nd Story of
Nymphae

the water lily

.

M A I N           C A S T

Kang Sohyun [Original Cast] | Park Jiyeon [T-ARA]

Oh Sehun and Kim Jongin (Kai) [EXO] |

.

PG-17 (contain a mature word) | Sad | School-life | Vignette (1.741 words)

.

SOUNDTRACK

Tiger JK – Reset (Feat. 진실 Of Mad Soul Child)

OST Who Are You – School 2015 Part 1

Wendy [Red Velvet] – Return (With 육지담)

OST Who Are You – School 2015 Part 7

.

1st STORY of NYMPHAE

.

“Tidak selalu bahagia ada kalahnya sang waktu berubah menjadi kesedihan. Seperti teratai, bunga cantiknya yang harus melayu termakan waktu.”

.

.

Story Begin



Bukankah ini semua terasa memuakkan?

Hari di mana ujian tengah semester diumumkan telah tiba. Di hari itulah para siswa seketika menyerbu sebuah kertas yang dilekatkan di dekat papan tulis. Tidak seperti pengumuman kemarin yang hanya menuliskan peringkat saja. Di kertas itu tinta di atasnya menggoreskan nama tiap siswa dengan peringkat dan nilai mereka dalam semua pelajaran.

Sialnya, disitu tertulis juga peringkat Jiyeon yang ‘ditukarkan’ dengan peringkatnya. Begitu pun dengan nilainya. Seperti cerita kemarin, berakhir dengan Sohyun beradu argumen dengan Guru Yang di dalam ruang guru. Yang diketahuinya bahwa nilainya tidak seburuk itu. Seingatnya, guru matematikanya, Jung seonsaengnim pernah mengumumkan bahwa Sohyun mendapatkan nilai terbaik kedua setelah Jeon Minju.

Ya Tuhan, ini membuatku makin membencinya.

Sekilas dari sudut matanya, ia dapat melihat bagaimana bahagianya gadis Park itu. Bagaimana ia menikmati kebahagiaan dengan menggunakan nilai dan hasil pemikiran orang lain. Bukannya menikmati kebahagiaan hasil jerih payahnya sendiri. Bukankah itu sama saja dengan menikmati hasil kebohongan?

Seharusnya gadis itu pergi ke casting sebuah drama daripada aktingnya itu sia-sia jika hanya digunakan untuk hal semacam ini.

Perlahan Sohyun melangkah mendekati Jiyeon, ditepuknya bahu gadis yang sedang bercengkrama dengan teman sekelas lainnya. Gadis Park itu menoleh ke arah Sohyun dengan sebelah alisnya yang terangkat, “Wae?”

“Bisakah kau menemuiku di rooftop? Ada sesuatu yang perlu aku bicarakan.” Sohyun mengatakan kalimat itu sambil menatap Jiyeon, mencoba untuk menyakinkan Jiyeon. Meyakinkan jika pembicaraan ini sangatlah penting baginya.

Jiyeon bersedekap, sejenak berpikir. Menimbang apakah dia mengiyakan permintaan Jiyeon atau tidak. “Sepertinya sekarang aku sedang tidak ada pekerjaan jadi aku bisa saja menemuimu di rooftop.” Jawabnya dengan mata yang memancarkan sebuah kepicikan.

Lalu gadis Park itu berbalik dan berjalan menjauhi Sohyun. Baru beberapa langkah Jiyeon kembali berbalik pada Sohyun, “Oh iya, rooftop gedung yang mana? Aku sarankan rooftop taman saja ya, aku sangat butuh udara segar. Arra?” tawar Jiyeon.

“Terserah kau saja.” Jawab Sohyun yang terkesan acuh tak acuh dengan penawaran yang Jiyeon lontarkan.  Gadis Kang itu berlalu kearah yang berbeda dengan Park. Meninggalkan banyangan yang makin lama terlihat makin jauh dan memudar. Bayangan dua gadis dengan kehidupan yang bahkan tidak bisa disetarakan. Terlalu sakit jika takdir mereka disandingkan.

.

.

.

Angin khas musim semi yang hangat dan bau matahari, kedua hal tersebutlah yang menyambut Sohyun saat gadis bersurai coklat tua itu sampai di atap. Angin yang berhembus dengan semilir dan cahaya hangat matahari seolah-olah mengingatkannya jika tidak semua yang ada di dunia ini perlu kita cemaskan.

Setidaknya aku harus menikmati ini.

Sohyun mendudukkan tubuhnya di salah satu bangku yang tersedia. Bangku yang menghadap ke arah lapangan olahraga. Terproyeksikan dengan sempurna di retinanya segerombolan anak laki-laki yang tanpa ragu bermain basket tanpa menggubris jika itu bukanlah jam olahraga mereka. Selain itu, juga ada beberapa anak perempuan yang saling berbagi makanan di bangku sudut lapangan. Bagaimana mereka tertawa saat menikmati bekal milik yang lain.

Setidaknya aku juga ingin merasakan itu. Sekali saja.

Pintu atap yang berderit membangunkan Sohyun dari ratapannya. Gadis bersurai hitam muncul dari balik pintu besi yang berderit itu. Suara debuman khas sepatu mahal yang beradu dengan lantai atap tertangkap di gendang telinga Sohyun. Dan wajah tersenyum Jiyeon yang sedang bersedekap ditangkap oleh irisnya.

“Wae? Apa yang ingin kau katakan, Sohyunie?” pertanyaan itu terlontar dari Jiyeon saat Sohyun baru saja bangun dari duduknya dan berjalan berusaha mengikis jaraknya dari Jiyeon.

“Sebenarnya apa maumu?”

“Hah? Mauku?” Tanya Jiyeon balik dengan jari telunjuk yang menunjuk dirinya sendiri. Serangai muncul diparas eloknya itu, “Mauku? Mauku sebenarnya mudah. Aku hanya ingin sahabatku, Kang Sohyun, selalu di bawahku. Hanya itu.”

Pupil mata Sohyun melebar mendegar serentetan kalimat yang terlotar dari mulut Jiyeon. Sebenarnya ia sudah menebaknya, tapi mendengarnya langsung dari seseorang yang sudah dekat denganmu sejak awal bersekolah disini ternyata lebih menyakitkan.  Ia tidak akan mengatakan jika rasa sakitnya seperti ada belati yang menghujam dadanya, hanya rasa sesak yang sesaat ia rasakan.

Sohyun mengangkat wajahnya pelan, gadis itu membalas tatapan mata milik Jiyeon. “Tepat seperti yang aku duga. Tapi… kenapa harus begini?” balas Sohyun

Decihan pelan keluar dari bibir Jiyeon, “Jujur aku sangat benci mengakui ini di depanmu dan dengan mulutku sendiri.” gadis itu memotong kalimatnya saat ia mengambil sebuah langkah untuk mendekati Sohyun.

“Karena kau terlalu kokoh untuk kurobohkan seorang diri. Juga… Karena Sehun hanya menatapmu. Dengar, aku tidak segigih dirimu, Kang Sohyun!” kalimat itu bernada dingin dan bertambah dingin saat Sohyun sadari Jiyeon sedang menatapnya lurus.

Sohyun tersenyum kecil saat mendengar alasan Jiyeon. Tidak habis pikir bagaimana Jiyeon harus berlaku serendah ini hanya untuk mengambil perhatian Sehun dan juga menempatkan dirinya di atasnya. Hal yang sebenarnya mudah dan juga tidak perlu serendah itu untuk berjuang.

“Itu semua hanya karena kau tidak mau berjuang, Ji.” Balas Sohyun yang juga menggunakan nada yang yang rendah. Tangan kanannya terangkat untuk menepuk bahu Jiyeon. Tidak sampai menyentuh bahunya, Jiyeon terlebih dahulu menangkapnya dan menghempaskan Sohyun ke lantai hijau atap.

Sesaat setelah menghempaskan Sohyun ke atas lantai atap, Jiyeon berbalik dan beranjak meninggalkan atap. Enggan berargumen dengan gadis Kang itu lagi.

Dihentikannya langkah kakinya itu, kepalanya menoleh ke arah Sohyun yang sedang menatapnya. “Ingat, jangan pernah kau menyentuhkan tangan lusuhmu itu ke tubuhku. Ingat juga bahwa kita sudah tidak berteman, Kang Sohyun.”

Kesabaran Sohyun sudah habis untuk meladeni Jiyeon. Dia bukanlah seorang gadis yang sangat sabar untuk menerjang kehidupan sekolahnya. Ada kalanya saat emosi itu meletus seperti gunung damai yang memuntahkan laharnya setelah puluhan bahkan ratusan kali tertidur. Teriakan itu lolos dari mulut Sohyun begitu saja.

“Park Jiyeon! Tidak perlu melakukan hal serendah ini untuk hal-hal yang kau inginkan! Ibumu tidak selalu ada untukmu, Park Jiyeon!” teriak Sohyun lantang ketika pintu atap berdebum keras. Jiyeon membantingnya dengan keras. Seolah suara teriakan Sohyun hanyalah angin lalu saja.

Park Jiyeon, kau hanya perlu yakin dengan dirimu sendiri.

Berhentilah untuk menjadi pihak yang selalu benar, Kang Sohyun. Berpikirlah, bukankah tempat ini terlalu bagus untukmu?



“Ya… Kembali berada di lima besar, huh?”

Kalimat yang sarat dengan nada ketus itu terdengar oleh Sehun saat pemuda itu sedang menikmati makan siangnya bersama Joohyuk, Nam Joohyuk.

Tanpa meminta ijin untuk bergabung pada Sehun maupun Joohyuk, Jongin meletakkan nampannya dengan kasar tepat di samping Joohyuk. Beberapa tetes kuah sup dan remahan makanannya tercecer ke sekitarnya termasuk ke lengan blazer Joohyuk. “Ya, Jongin-ah!” geram Joohyuk yang tidak terima lengan blazernya yang terkena kuah sup kepiting milik Jongin.

“Mian.” Lontar Jongin tanpa merasa ada sebuah kesalahan yang ia lakukan. Pemuda berkulit tan itu lantas menyendokkan sesendok nasi ke dalam mulutnya. Melihat sikap Jongin yang menurutnya sama sekali tidak sopan membuat Joohyuk ingin sekali melemparkan nampannya ke muka pemuda yang duduk sampingnya itu.

Sehun yang berada di seberang meja bisa melihat bagaimana Joohyuk yang kesal dengan perilaku Jongin hanya bisa berharap bahwa Joohyuk tidak melemparkan nampannya atau memukul Jongin. Pemuda Oh itu memberi isyarat dengan telapak tangan yang menghadap Joohyuk yang berharap pemuda Nam itu paham jika Sehun mengharapkan dirinya untuk bersabar. Lalu, dengusan nafas kesal pun keluar dari Joohyuk,

“Arraseo arraseo, Hun-ah.” Dan Joohyuk kembali melanjutkan acara makan siangnya setelah beberapa menit tertunda.

“Ya, Oh Sehun, kau belum menjawab pertanyaanku.” Setelah sekian lama memakan makan siangnya dalam keheningan, akhirnya keheningan yang diciptakan oleh ketiga pemuda itu pun terpecahkan dengan kalimat Jongin. Pemuda tan itu mengacungkan sumpitnya ke arah Sehun.

Sebentar Sehun membuang muka, “Eo, ada yang salah?” jawab Sehun dingin. Mendengar jawaban Sehun yang terdengar acuh itu Jongin tersenyum meremehkan.

“Bukankah anak pintar sepertimu harusnya berada di peringkat pertama, eoh?” lanjut Jongin saat melihat Sehun hanya menatapnya dingin.

“Sebentar, bukankah ayahmu itu akan kecewa jika anaknya tercinta tidak berada di peringkat pertama?” kalimat Jongin itu kembali menguar. Kalimat itu hanya diacuhkan begitu saja oleh si pendengar, Sehun maupun Joohyuk. Sehun terlalu malas untuk menanggapi ocehan dari Jongin.

Bagai mendapatkan sebuah topik baru, Jongin menjentikkan jarinya. Lalu,

“Ah ya, ngomong-ngomong tentang ayahmu. Apakah dia bahagia setelah menikah dengan perempuan itu? Siapa namanya? Shin.. Shin Nayoung? Ah ani, Shin Gayoung. Ya, Shin Gayoung! Bagaimana?” Jongin melontarkan kalimat itu penuh dengan provokasi. Senyum meremehkan itu kembali tergores di bibir tebal pemuda Kim dan semakin melebar.

Sehun mendengarnya. Dengan sangat jelas. Jongin mengungkit pembicaran tentang ayahnya. Topik yang sangat sensitif untuk dirinya. Sumpit yang sedang dipakainya untuk mengambil kimchi terhenti begitu saja tepat di atas kimchi yang ingin dia ambil. Tangannya mengerat menggenggam sumpit besi itu.

Melihat gelagat Sehun yang sedang menahan amarah Joohyuk berusaha untuk menenangkan sahabatnya itu barang sedikit, “Hun-ah.”

Kim Jongin kembali menyulut api. Ya Tuhan, batin Joohyuk saat mendengar Jongin menyebut kata ‘ayahmu’ pada Sehun. Bukankah semua orang di kelas bahkan di sekolah tahu jika kau berbicara dengan Sehun dengan tema yang mengandung kaitan dengan ayahnya, maka pemuda Oh itu mungkin saja bisa melayangkan sebuah bogem mentah ke mukamu.

Pemuda Nam itu lalu menoleh pada Jongin yang sedang menunggu jawaban dari Sehun. “Kim Jongin, keumanhae!” pinta Joohyuk pada Jongin. Nadanya dingin dan rendah.

“Nam Joohyuk, aku kan hanya bertanya pada sahabatmu ini saja dan seharusny-”

“Kim Jongin, berhenti bertanya tentang ayahku. Itu tidak ada urusannya denganmu.”

Sehun yang sedari tadi hanya diam mendengar ocehan Jongin memotong ucapan pemuda tan itu begitu saja. Dipotongnya ucapan Jongin dengan nada yang rendah dan tegas, tegas karena ada sebuah kemarahan di dalamnya. Sebuah keengganan untuk melanjutkan pembicaraan itu sebelum dirinya benar-benar termakan oleh omongan Jongin.

Jongin yang merasa Sehun mulai menanggapinya terlihat semakin senang untuk memprovokasi pemuda di depannya itu. “Ya… Oh Sehun enggan untuk membahas ayah yang telah meninggalkan ibunya. Wah~” kata Jongin sambil menggerak-gerakkan sumpitnya.

“KIM JONGIN! BERHENTI BICARA TENTANG AYAHKU!” seolah kehilangan kesabaran meladeni ucapan Jongin, Sehun menerjang Jongin yang duduk tepat di depannya tanpa peduli makanan yang ada di meja tumpah kesana-kemari. Jongin yang tentu saja tidak siap dengan serangan Sehun jatuh tersungkur bersama nampannya.

BUGH

Sebuah kepalan tangan milik Sehun menghantam pipinya. Dapat Jongin rasakan bagaimana pipinya berdenyut nyeri dan sudut bibirnya yang sepertinya robek. Tidak hanya sekali Sehun melayangkan bogemnya ke muka Jongin. Tidak ada perlawanan dari Jongin justru pemuda yang tersungkur itu hanya tertawa remeh pada Sehun.

Joohyuk yang sempat dihempaskan oleh Sehun saat berusaha melerai pertengkaran sobatnya itu kembali mencoba untuk menyudahi pertengkaran antara dua pemuda ini. Dengan berani Joohyuk mendekati dan merengkuh Sehun dengan dua lengannya dari belakang dan langsung menyeretnya menjauhi Jongin. Tidak mudah karena Sehun meronta dan coba untuk kembali menerjang Jongin.

“OH SEHUN! HENTIKAN!” bentakan dari Joohyuk juga diacuhkan oleh Sehun. Pemuda Oh itu kembali meronta untuk melepaskan diri dari kedua tangan Joohyuk yang menjerat erat pinggangnya.

“KIM JONGIN! DENGAR! IBUMU BAHKAN LEBIH RENDAH DARI SEORANG JALANG, KIM JONGIN!” teriak Sehun saat Joohyuk menyeretnya keluar dari kantin.

Jongin mendengarnya, bagaimana Oh Sehun menyebut ibunya lebih rendah dari seorang jalang. Jongin juga mengakuinya, Sehun tidak salah. Karena ibunya bernama Shin Gayoung. Dan ayah Sehun menikahi Shin Gayoung saat ibunya berjuang diambang kehidupan dan kematiannya.

END.

Bagaimana pendapat kalian tentang 2nd story ini? Makin nggak jelas pastinya :-D Entah nulis yang bagian Sehun-Jongin itu gampang banget, berkah Ramadhan kali ya? Abis nulisnya waktu siang-siang bolong yang panasnya naudzubillah itu sih! Joohyuk yang aku pakai disini itu Nam Joohyuk, mas-mas yang di music videonya AKMU sama Han Yian di School 2015. Maklumilah, kebetulan dia sama Sehun juga satu line ‘kan? Hahaha

Mungkin ini adalah last story dari Nymphae. Aku udah nggak tau nanti kalo mau dilanjutin gimana lagi ceritanya. Ini aja menurutku udah nggak menarik banget, apalagi waktu Sohyun-Jiyeon, monoton banget. Iya kan?

Ah ya, don’t forget to leave me some comments or critics. Thanks!

Ponorogo, 29 Juni 2015. 21:20 WIB

Regards,

lwtjung12

Filed under: AU, Hurt, Sadnes, school life Tagged: Jiyeon, kai, kim jongin, OC, oh sehun, Park Jiyeon, Sehun

Show more