2015-06-29



SAYKOREANFANFICTION PRODUCTION

.

.

.

INSIPIRED BY THE KOREAN TV SHOW ‘WE GOT MARRIED’

.

.

.

SCRIPT WRITER SLMNABIL

.

.

.

ART DIRECTOR JUNGLEELOVELY @POSTER CHANNEL

.

.

.

PROUDLY PRESENTS

.

.

.

WE GOT MARRIED

.

.

.

UNRECORDED CLIP

Menaikkan rating bukanlah segalanya.

Itu bohong.

Asal program yang ditayangkan mendidik dan berkualitas.

Itu juga bohong.

Setiap orang selalu memiliki alasan, tujuan, pencapaian masing-masing saat memproduksi sesuatu. Uang, popularitas, kekuasaan, bahkan politik. Mereka yang masih memiliki nurani, yang melakukannya karena mencintai pekerjaannya, dapat dihitung dengan jari.

Dan salah satunya, Park Chanyeol. Dia harus dikecualikan sebagai penganut opsi terakhir. Karena kenyataannya, ia memang memiliki tujuan –yang tak tersirat disatupun pilihan tersedia.



“Hyung! Kau menghubungi seorang gadis pagi buta seperti itu? Video call, baby? Romantis sekali,” goda Sehun.

“Berisik kau!” Chanyeol melayangkan bantal.

Pukul 21 tepat, saat acara televisi yang Chanyeol dan Sooyeon bintangi mengudara. Mungkin di suatu tempat di luar sana, Sooyeon sama sekali tidak peduli dan lebih memilih menenggelamkan dirinya di selimut yang hangat.

Tingkat antusiasme, nol persen.

Namun suasananya sama sekali berbeda di ruangan 9×13 meter ini, sembilan orang manusia bergender laki-laki tengah memusatkan seluruh atensinya pada layar persegi di depan sana.

Sesekali tertawa, sesekali mencibir, sesekali memprotes, adalah yang mereka lakukan selama tayangan berlangsung. Sedang sang pemilik acara lebih memilih mengacuhkannya dan menyibukkan diri dengan ponsel genggamnya.

“Tapi menurutku, galak dan arogan bisa menjadi pesona seorang gadis. Jujur saja, bukankah Penulis Kim keren sekali?”

Untuk yang satu ini Chanyeol sedikit terusik, membuatnya mencuri dengar dan mengantisipasi sahutan kalimat lain yang akan muncul dalam percakapan ini. Ia menajamkan pendengarannya.

“Tipeku sekali,” sahut Baekhyun. “Aku terkadang muak melihat orang-orang tersenyum di depan kamera, menjaga nama, membentuk pencitraan. Penulis Kim terlihat sama sekali tidak keberatan dijuluki cewek arogan.”

“Kalau begini ceritanya bisa-bisa Penulis Kim lebih populer daripada dirimu, Tuan Park,” timpal Suho sembari menepuk bahu Chanyeol.

Anehnya, Park Chanyeol tersenyum. Seperti idiot, lebar sekali.

Sehun beringsut ngeri. “Hei Hyung kalau reaksimu begitu, bisa-bisa hipotesisku soal kau yang tidak normal dapat melahirkan sebuah teori baru. Bahwa Park Chanyeol sedikit gila.”

“Kalian serius ‘kan? Sooyeon bisa dicintai bahkan dengan kepribadiannya yang seperti ini?”

“Memangnya bahagia berlebihan bisa memicu kegilaan ya? Kurasa dia serius soal Penulis Kim adalah mantan kekasihnya,” sahut Minseok. “Park Chanyeol kau mikir aneh ya? Biar kutebak, kau masih menyukainya.”

“Fakta jika Kim Sooyeon mantan kekasihku, tapi serius aku tidak menyukainya lagi. Kau ini kenapa sih Hyung? Terlalu sering menonton drama menjadikanmu suka menduga-duga?”

Kai ikut menimpali. “Kalaupun kau masih menyukai tidak apa-apa, Hyung. Kisah cinta selebriti dan mantan kekasihnya, bukankah itu keren?”

“Penulis Kim juga tidak menolak untuk menjadi pasanganmu. Bukankah itu semacam lampu hijau?”

“Eureka! Dia masih menyukaimu!”

“Skandal baru? Skandal baru?”

Begitulah kira-kira bagaimana pembicaraan semakin panas, mengganggu Chanyeol dengan kemungkinan cinta lama bersemi kembali.

“Bukankah terlalu serakah bersikap seperti itu? Masih untung Sooyeon mau bicara denganmu setelah apa yang kau lakukan terhadapnya.”

Dua kalimat yang sukses menciptakan gunung es di tengah-tengah mereka. Do Kyungsoo biasanya tidak peduli dengan sesuatu seperti ini, ia bahkan tidak sedekat itu dengan Chanyeol jika dibandingkan dengan yang lain. Apalagi dia lebih muda.

Namun, yang ini berbeda.

Chanyeol tidak berpikir soal Do Kyungsoo yang tiba-tiba menyemburnya dengan kalimat dingin seperti itu. Dari siapa, bagaimana, dan atas keyakinan apa pemuda itu memojokkannya. Ia memutar otak untuk hal yang lain. Bahwa apa yang dikatakan Kyungsoo ada benarnya juga.

“Karena itu aku ingin memperbaikinya. Menerima maaf dan berhubungan dengan baik dengan Sooyeon.”

Kyungsoo merangsek mendekat, meninggalkan kesan menegaskan dalam kata-katanya. “Dia-terlalu-rusak-untuk-kau-perbaiki.”



[2nd Episode]

PMS – Pre Marriage Syndrome



Selama ini bisa dikatakan marah-marah, berteriak, dan menyebalkan adalah kegemaran seorang Kim Sooyeon. Ia tidak tahu kapan harus meluapkan kemarahan, kenapa ia suka marah, dan kepada siapa seharusnya ia marah.

Namun akhirnya, setelah 23 tahun untuk pertama kalinya Sooyeon memiliki alasan kenapa dirinya harus kesal.

Park Chanyeol mengusik tidurnya, memintanya bertemu di shelter bus yang membuatnya menunggu, kepanasan, menghirup polusi, banyak debu, apalagi dengan ratusan pasang mata memperhatikan berkat tayangan semalam. Kim Sooyeon sudah menjadi bintang dalam semalam.

Sooyeon sudah berusaha menurunkan ‘mad-meter’ nya, dan usahanya gagal begitu pemuda jangkung mengendap masuk ke retinanya.

“Hei kau tidak membawa mobil?” tanya Sooyeon. “Aku berlama-lama dan kau tidak membawa mobil? Mau mati kau?”

Chanyeol mendecak. “Ucapanmu astaga, ucapanmu. Dasar mulut barbar.”

“Kau bahkan mengataiku sekarang, dan sialnya aku bersumpah untuk tidak marah hari ini.”

“Kenapa?”

“Berkatmu aku bermimpi gurita lagi, kesialanku sudah berakhir.”

Chanyeol mendelik. “Masih saja percaya tahayul. Kau itu terlanjur antik, tahu tidak?”

Rahang Sooyeon mengeras, ia melayangkan tatapan tajam pada pemuda jangkung di hadapannya. “Katakan saja mau kemana kita sekarang.”

Chanyeol melirik ke arah kamera di samping kanannya, bergantian dengan memendarkan pandangan ke sekitar. Terlalu banyak mata memperhatikan.

“Mempersiapkan pernikahan tentu saja. Kita tidak tinggal bersama sebelum menikah bukan?”

“Menikah apaan, itu ‘kan hanya formalitas,” sahut Sooyeon sembari mengambil langkah mendahului Chanyeol.

Tak butuh waktu lama bagi Chanyeol –tentu- untuk menyejajarkan diri dengan Sooyeon, berkat tungkainya yang semampai. Mereka menjadi pusat perhatian begitu didapati berjalan bersebelahan, membuat Sooyeon mau tak mau menutup wajah karenanya.

Ia masih serius soal mengkhianati prinsip hidupnya.

“Kau pikir ini pertunjukan pantomim?”

Sooyeon balas mendelik kesal.

“Ini tidak seperti orang-orang menonton dengan telepati, Nona Penulis.”

“Maumu apa sih? Aku marah, kau mengataiku barbar. Aku diam, kau menggangguku terus. Jadi kau mau aku melakukan apa?”

“Kau masih suka menggambar?”

“Peralihan topik yang aneh,” sahut Sooyeon mencibir. “Suka atau tidak, bukan urusanmu juga ‘kan?”

Chanyeol mendengus. “Bisa tidak jawab pertanyaanku saja? Tidak usah mendebat? Berisik tahu.”

“Hei, Park Chanyeol pagi-pagi seperti ini kau kenapa sih menyebalkan sekali? Sedang PMS?”

Tidak ada hukum yang mengharuskan dalam suatu interaksi untuk saling menimpali, jadi Chanyeol berpegang pada itu dan lebih memilih menarik Sooyeon menuju salah satu café yang tengah sepi pelanggan.

“Tidak ada yang bilang kau boleh menyentuhku!”

Tapi Chanyeol terlanjur melakukannya, dan Sooyeon diam saja daripada menghadapi kemungkinan pemuda ini akan menyalak.



Q : Sepertinya kau sedang kesal?

“Sooyeon itu seperti pemantik yang membuatku terbakar jika berdekat-dekatan dengannya. Aku kesal saja karena dia hobi sekali berdebat. Jadi untuk mencegah terjadinya kebakaran aku memutuskan untuk tidak memperpanjangnya.”

Q : Dengan membawanya cafe sepi? Untuk mempersiapkan pernikahan kalian?

“Gadis barbar itu tidak suka keramaian, benci jika perhatian terpusat padanya bukan begitu? Kentara sekali saat ia menutupi wajahnya saat berjalan bersamaku. Kalau aku membawanya ke tempat yang aneh-aneh, habislah.”

Q : Kau sedang berusaha mengerti dirinya.

“Aku berpikir bahwa setidaknya salah satu dari kami harus mengalah. Karena Sooyeon belum bisa melakukannya, jadi aku duluan saja.”



Aroma citrus menyeruak masuk ke rongga hidung begitu pintu terbuka sempurna. Interior vintage yang didasari cat biru menyambut kedatangan mereka. Dindingnya dihiasi lukisan-lukisan dengan lampu sorot yang menegaskan bahwa itu adalah objek unggulan dalam ruangan ini.

Chanyeol menyukainya, tidak ada alasan mengapa ia harus menolak atmosfer bersahabat semacam ini. Apalagi saat seorang pelayan menuntunnya ke salah satu meja dengan ramah.

“Kalau kau sesuka itu langsung pesan saja tempatnya,” kata Sooyeon.

Alis Chanyeol berjungkit. “Kau yakin dirimu seorang gadis?”

“Sayangnya iya.”

“Kalau begitu bersikaplah seperti gadis pada umumnya. Para gadis itu pemilih sekali, rela menjajahi seluruh toko di pusat perbelanjaan meski akhirnya pilihan jatuh ke toko pertama,” sahut Chanyeol.

“Aku sudah tahu para gadis memang begitu. Aku pintar dan tidak suka menghabiskan waktu, kau harus merasa beruntung Park Chanyeol.”

“Kau berbicara seolah kau ini bukan perempuan.”

“Memangnya perempuan harus sekali berkepribadian perempuan? Kau saja lelaki tetapi suka main boneka,” debat Sooyeon.

Wajah Chanyeol merah jambu. “Aku tidak suka main boneka.”

“Kau pikir aku tidak mengenalmu eh? Hadiah ulang tahunku yang ke 17 saja kau mengambilnya dari koleksimu ‘kan?”

Chanyeol menarik salah satu sudut bibirnya. “Wah wah Nona, kau bisa membeberkan semuanya jika seperti ini.”

Sooyeon mendadak salah tingkah dibuatnya. Dan merupakan kebiasannya main tangan jika ada yang menghadapakannya ke posisi tidak menguntungkan. Chanyeol sudah hafal betul, jadi ia segera melakukan gerakan defensif sebelum menjadi sasaran empuk.

“Cafe ini ada lantai duanya ‘kan? Bisa lihat-lihat sebentar?”

Dengan alibi licik seperti itu setidaknya Chanyeol bisa lepas dari kemungkinan Kim Sooyeon akan mengamuk. Melarikan diri, adalah kelebihan seorang Park Chanyeol sejak dulu.

Jauh berbeda dari kesan vintage yang ditinggalkan lantai pertama, bisa dikatakan kalau suasananya sama sekali berbeda di lantai dua. Yang sebelumnya didesain dengan lampu kuning remang-remang, ruangan yang lain dibuat lebih berani lagi dalam memunculkan cahaya.

Jendela besar-besar menjadi penerangan tersendiri yang menjadikan ruangan seakan serba putih. Mulai dari dinding, kursi dan meja, hiasan, semuanya di dominasi dengan warna putih. Kesannya sama sekali berbeda dengan lantai sebelumnya.

Chanyeol begitu terpukau sampai tidak menyadari kalau Sooyeon sudah berada di teritorial yang sama dengannya. Gadis itu berdiri tepat di samping tubuh jangkung Chanyeol lalu sengaja menyenggol bahunya.

“Kau cenderung mudah merasa puas ya?” katanya.

Chanyeol terperanjat. “Bisa tidak bilang-bilang kalau kau menyusulku? Kebiasaan burukmu bisa memicu jantungan tahu.”

“Dan kebiasaan burukmu berlama-lama bisa memicu perang tahu. Ayo cepat, pesan saja lalu pergi. Orang-orang mulai berdatangan.”

Chanyeol mengalihkan atensinya pada pelayan yang sedari tadi mengekorinya kemana-mana. “Dimana ruangan manajernya?”



Q : Chanyeol bilang kau tidak suka keramaian? Ternyata benar begitu?

“Aku menghindari orang-orang, mereka menakutkan. Tidak menutup kemungkinan kalau diantara mereka ada yang berniat mencelakaiku. Memang benar aku menutup diri dari dunia musik dan orang-orang di dalamnya, itu sudah disiarkan. Mungkin asumsi yang muncul bermacam-macam, jadi aku ingin berhati-hati saja.”

Q : Aku pikir kau mengkhawatirkan Chanyeol jika ia dikerumuni penggemar.

“Aku mengedepankan diriku daripada orang lain. Mungkin ini menjelaskan segalanya. Kami tidak berada dalam hubungan berhak saling mencemaskan, dan aku tidak ingin melanggar garis itu.”

Q : Bagaimana jika Chanyeol yang melanggarnya?

“Saat itu tiba aku akan angkat kaki.”



Kalau tidak ada makanan bukan pesta namanya. Perayaan memang selalu identik dengan santapan-santapan lezat yang bahkan membayangkannya saja membuat cacing di perut kita ribut sendiri.

Apalagi dalam sebuah perayaan pernikahan. Kue super tinggi, dessert, hidangan utama. Untuk yang seperti ini ada yang memaksakan datang bahkan berbekalkan amplop kosong. Yang terkadang tak sebanding dengan usaha mati-matian dalam persiapannya, termasuk hari ini.

“Jangan yang pedas-pedas, aku tidak suka.”

“Mau terkena penyakit diabetes makanan manis sebanyak itu?”

“Soda itu tidak baik untuk tubuhmu.”

“Aku tidak suka sayuran, pahit tahu tidak?”

“Itu makanan tinggi kalori, kau berusaha membuatku gemuk?”

Perempuan sudah ditakdirkan untuk cerewet, banyak bicara. Kebutuhan kata yang dikeluarkan per harinya mencapai angka dua puluh ribu. Hampir tiga kali lipat dari para lelaki yang hanya butuh mengeluarkan tujuh ribu kata.

Jadi bukan merupakan kesalahan apabila Sooyeon banyak protes dan mendebat, ia hanya tengah memenuhi kebutuhannya. Itu saja.

Namun, Chanyeol tidak cukup sabar menghadapinya.

“Kalau begitu selama 23 tahun ini apa yang kau konsumsi? Air? Angin? Pantas saja tubuhmu seperti rangka berjalan begitu,” balas Chanyeol ketus. “Pilih-pilih makanan itu tidak baik, Pemirsa.” Kali ini Chanyeol menghadap ke kamera.

Sooyeon merengut. “Meledek itu perbuatan tidak baik, Pemirsa,” katanya sembari melakukan hal serupa.

“Meledek itu boleh asal ditujukan pada orang yang sesuai, Pemirsa.”

“Niatnya meledek saja sudah salah, seharusnya kita tidak menghakimi orang lain seperti itu, Pe-Mir-Sa.”

Chanyeol melirik Sooyeon tidak peduli. “Dia sinting.”

“YA! LAKUKAN SESUKAMU! AKU MAU PULANG!”

Q : Sepertinya yang Chayeol katakan soal Love-Hate bisa dibenarkan?

“Love-Hate apaan! Dia itu menyebalkan sekali, seperti perempuan mau menstruasi saja. Mengatai orang lain sinting padahal dia sendiri yang sinting.”

“Hei Kim Sooyeon, aku dengar semuanya tahu!”

“Pergi sana! Pergi! Pergi!”



Bukan Chanyeol namanya kalau mau mengalah.

“Kau pikir kau mau kemana?”

Sooyeon menyentakkan lengan Chanyeol yang menarik pergelangan tangannya, sedang yang satunya menahan daun pintu agar tidak tertutup. Mereka bertahan dalam posisi itu setidaknya 60 detik lamanya, sampai Sooyeon menghentikannya sepihak.

“Pulang, sudah kubilang aku mau pulang. Kau tidak punya telinga? Pulang! Pu-“

Chanyeol memutar irisnya sebelum memotong pembicaraan Sooyeon saat dengan paksa ia memindahkan seluruh bobot gadis itu ke salah satu pundaknya. Bukannya ala-ala bridal style karena mereka akan menikah, ini lebih terlihat seperti paman jangkung menculik gadis kecil yang sedang mengamuk.

Sooyeon tidak henti-hentinya meracau sembari meninju-ninju punggung Park Chanyeol dan menendang udara. Di sisi lain pemuda itu santai saja mengambil langkah semaunya.

Secara tidak langsung penulis dari acara mereka kini tidak lain adalah Park Chanyeol. Ia mengarahkan Sooyeon secara penuh dan setiap hal yang mereka lakukan idenya berasal dari otak cemerlangnya.

Chanyeol menyadarinya tentu saja, karena rancangan story-line memang sudah ia bentuk sedemikian rupa. Ia tertawa sendiri mendengar ocehan Sooyeon soal revolusi acara. Gadis itu memang tidak takut mengatakan pendapatnya terang-terangan meski bisa membuat dirinya sendiri dimusuhi.

Jadi Chanyeol-lah yang merasa ia memiliki tanggung jawab untuk menyukseskan rencana-rencana Kim Sooyeon. Sudah sejak dulu setiap Sooyeon membuat kekacauan, ia lagi yang mendapat imbasnya.

“Aku tidak mau syuting denganmu lagi! Turunkan aku bodoh! Park Chanyeol awas kau!”

Sooyeon kira ancamannya berhasil karena Chanyeol berhenti lima langkah setelah ia mengatakan itu. Tapi mau tak mau ia harus menanggung malu menjadi pusat perhatian lagi dengan cara seperti ini, saat Chanyeol tanpa menghiraukan Sooyeon mengatakan, “Tolong potong klip ini.”

(…. kami memotongnya demi keselamatan bersama, karena Sooyeon mulai tak terkendali….)

Yang terpenting adalah bagaimana kau terlihat di hari bahagiamu. Calon mempelai biasanya menghabiskan berbulan-bulan untuk menemukan desain yang dirasanya cocok.

Dan jika benar mereka butuh waktu selama itu, artinya fitting kilat ini tidak termasuk dalam hari bahagianya Kim Sooyeon.

Ia membolak-balik singkat katalog gaun-gaun yang tersedia tanpa minat, padahal jika ditilik lagi semuanya adalah guratan karya tanpa cela. Gaun putih yang menutupi kaki jenjang, dengan desain tanpa lengan yang beberapanya diberi sentuhan lace.

Mungkin wanita lain akan berjingkrak dan tidak berhenti mengatakan betapa indah rancangan-rancangan tersebut. Demi apapun Sooyeon sama sekali tidak tertarik. Yah kecuali gaun paling nyentrik dari yang lainnya di halaman terakhir.

Sooyeon pikir pada akhirnya ia harus membuat pilihan, jadi kenapa tidak menentukannya saja sekarang?

“Ini,” katanya sembari mengacungkan telunjuknya.

Mata Chanyeol sontak membulat. “Dasar sinting! Kau mau menggali makammu sendiri huh?”r

Responnya tidak salah, sangat normal malah. Oke, siapa yang tidak terkejut jika Sooyeon memilih gaun hitam untum acara mereka? Toh ‘kan bukan hari berkabung seperti pemakaman.

“Kurasa kita sudah sepakat untuk tidak main ejek-ejekan lagi.”

“Ya tentu saja jika tidak ada yang perlu diejek. Kim Sooyeon selera fashionmu benar-benar parah.”

Sooyeon mendengus kesal, ia berdiri berancang-ancang untuk angkat kaki. Tapi sedetik kemudian ia duduk kembali.

“Hei! Justru seleramu yang buruk tahu! Ini tidak seperti kita mengadakan pesta di hotel atau semacamnya. Hanya cafe, dan kau ingin orang mengganggapku sinting dengan menggunakan gaun sepanjang itu?”

Chanyeol diam. Ada benarnya juga memang.

“Aku salah, kita pergi sekarang.”

Ia menggandeng lengan Sooyeon. Mungkin gadis itu tidak sadar saking senangnya karena pemuda jangkung itu mengaku kalah darinya, jadi ia membiarkan Chanyeol menuntunnya seperti itu sampai mereka berhenti di tepian jalan.

Langkah-langkahnya diisi dengan celotehan Kim Sooyeon yang terus saja memojokkan Park Chanyeol. Semakin menjadi-jadi karena lelaki itu tidak mendebatnya sama sekali. Ia baru berhenti saat refleksi sebuah benda bergerak jatuh tepat di retinanya. Mobil.

“Kau membiarkanku berjalan sejauh ini, dan ternyata kau membawa mobil?” tanya Sooyeon dingin namun ketus.

Chanyeol mengangguk tanpa bersalah.

“Sialan kau! Sini, biar kuhajar!”

Q : Kalian tetap bertengkar meski banyak yang melihat, bahkan sampai adu fisik.

“Aku benar-benar kesal saat itu, merasa dicurangi saja. Tolong maafkan aku atas ketidaksopananku.”

“Ajari dia tatakrama.”

“Park Chanyeol berhenti menguping!”



15 menit. Tidak, 10 mungkin? Atau 5? Kisaran waktu bertengkar mereka mungkin selama itu. Produser Lee bahkan sampai harus turun tangan sendiri untuk menyeret Kim Sooyeon agar dia berhenti. Perlu perjuangan sampai bisa di titik ini, dimana Sooyeon dan Chanyeol duduk bersebelahan di mobil tanpa main gulat-gulatan lagi.

Lagi-lagi momen perjalanan yang biasanya ramai dan diantisipasi diisi dengan kekosongan. Belum ada yang bisa diharapkan dari pasangan ini, karena nyatanya tidak ada yang mengucapkan satu patah katapun. Bahkan sampai mobil sudah memasuki pelataran rumah Kim Sooyeon dan gadis itu hendak keluar.

Tidak ada yang berpamitan. Chanyeol yang akan pergi. Atau Sooyeon yang akan masuk ke rumah. Membuat Produser Lee mau tak mau turun tangan lagi.

“Kejar dia ke dalam.”

Chanyeol tampak bingung. “Kalaupun aku masuk, apa yang harus kulakukan di dalam sana? ‘Kan sedang ada perang dingin.”

Produser Lee tidak bisa tidak frustasi. Ide-ide cemerlang sama sekali tidak melintas di benaknya sampai-sampai ia menjawab asal saja. “Buat kartu undangan!”

“Kenapa kami harus?”

Wanita itu tampaknya sudah tidak sabaran dan tak lagi menerima negosiasi. Ia membuka pintu mobil lalu menarik Chanyeol keluar tak sabaran. Yona mendorong pemuda itu paksa untuk masuk ke dalam dan menahan pintu agar Chanyeol tak bisa melarikan diri.

“Kalau begini terus hubungan kalian tidak akan ada kemajuan!”

Sooyeon sudah berganti pakaian saat Chanyeol masuk. Keributan sebising itu tentu saja memantul dengan mudah di rumahnya yang tak berpenghuni selain dirinya. Ia mengenakan kaos panjang pink polos dan celana piyama, mengikat rambutnya ke samping.

“Mau apa kau di dalam sini?” tanyanya ketus.

Sooyeon menangkap refleksi Produser Lee Yona di luar pintunya berkat jendela transparan besar-besar yang dibuatnya sebagai dinding. Sekarang ia tahu ini kerjaan wanita itu, jadi Sooyeon tidak banyak bicara.

“Baiklah, kita hentikan dulu pertengkarannya. Dia menyuruhmu melakukan apa?”

Chanyeol tampak salah tingkah. “Membuat kartu undangan,” ia tersenyum canggung. “Siapa yang mau kau undang?”

“Malaikat maut. Agar membawamu bersamanya saat ia kembali.”

Chanyeol tersenyum aneh lagi. “Tapi Malaikat Maut dan aku itu teman baik.”

Sooyeon hanya bisa geleng-geleng kepala karenanya. Apalagi melihat Chanyeol yang tampak tidak tahu harus melakukan apa itu, ia berjengit ngeri. “Hei, menyeramkan jika kau seperti itu tahu. Ada apa?”

Chanyeol menggaruk tengkuknya. “Aku tidak bercanda dan tidak ada niat apa-apa. Tapi sepertinya aku harus menginap disini malam ini.”

“Apa?!”

“Produser Lee Yona pergi dan membawa lari kunci mobilku.”

(…)

CUTTED CLIP

(Tolong sebarkan dengan hati-hati, ini rahasia. Produser Lee dan aku sepakat untuk menayangkannya karena kami pikir klip ini harus ditayangkan. Jangan ribut, atau Park Chanyeol bisa mengamuk.)

Tak terduga-duga Chanyeol membawa Sooyeon menuju toko peralatan seni rupa. Menurunkan dan memegangi lengannya sampai kaki-kakinya telah menapak kuat di atas ubin.

Sooyeon tidak dalam keadaan baik-baik saja secara fisik. Rambutnya amat berantakan, kacamata yang dikenakannya turun sampai di bawah lubang hidung, dan ia berkeringat.

“Sudah olahraga siangnya, Nona?” goda Chanyeol sembari bersilang lengan di depan dada.

“Aku bersumpah akan membunuhmu!” balas sang lawan bicara dengan tatapan berkilat-kilat sebelum memutar tubuh hendak meninggalkan tempatnya berpijak.

Tentu saja Chanyeol tidak tinggal diam, ia menarik pergelangan tangan Sooyeon lagi yang malah membuat atmosfer panas kian menebal.

“Kalau sekali lagi kau menyentuhku, aku akan-“

Chanyeol memotongnya lagi. “Pilih sesukamu. Aku tahu kau masih suka menggambar, jadi anggap ini kompensasi karena mempermalukanmu di depan umum seperti tadi. Dan tolong jangan kacaukan syutingnya.”

Sooyeon mendelik. “Ini namanya menyogok, bukan kompensasi.”

Ia bisa saja menolak dan pergi begitu saja, namun jika yang ditawarkan menyangkut hobinya rasanya sulit mengatakan tidak. Sooyeon melepas cengkraman Chanyeol di pergelangannya lalu memimpin jalan menuju rak-rak alat menggambar.

Chanyeol patuh sekali. Mengekori Sooyeon kemanapun gadis itu pergi tanpa banyak bicara. Tiba-tiba kelebatan pembicaraannya tadi malam dengan Kyungsoo menyarang di kepalanya. Chanyeol menatap Sooyeon hati-hati.

“Sooyeon.”

Yang merasa terpanggil menoleh dalam diam.

“Tidak jadi.”

Sooyeon mengalihkan atensinya lagi.

“Kim Sooyeon.”

Meski tak sabaran, gadis itu menoleh juga. Dengan wajah ketus kali ini.

“Kau mengenal D.O?”

Sooyeon tampak memutar otak, kemudian menggeleng. “Tidak pernah dengar. Siapa? Cewekmu?”

Rasanya seperti dilempari dengan bola tangan lalu dimutahkan ke luar angkasa. Chanyeol menilik ekspresi Sooyeon tak percaya, gadis itu tenang-tenang saja seperti memang tidak tahu.

“Kau punya televisi di rumah?”

Sooyeon mengangguk. “Untuk pajangan.”

“Kau tahu EXO?”

“Yang kutahu kau ada di sana, jadi aku tidak tertarik mencari tahunya. Teman kerjaku saja yang ribut menyukaimu,” sahut Sooyeon.

“Kalau begitu Do Kyungsoo? Kau kenal Do Kyungsoo?”

Sooyeon meraih barang terakhirnya kemudian memutar tubuh menghadap Chanyeol. “Tentu saja aku tahu.”

Keingintahuan Chanyeol muncul semakin kuat. Jika Sooyeon memang mengenal Kyungsoo kemungkinan besar apa yang pemuda itu katakan semalam memang benar, memang faktanya. Dan siapa tahu ia juga bisa mengorek informasi dari sumber berbeda.

“Sedekat apa kalian? Ah tidak, maksudku apa hubungan kalian?”

Sooyeon mengambil satu langkah mendekat. Jeda sejenak sebelum ia membuka mulut. “Ra-ha-si-a. Ayo cepat bayar, kita harus melanjutkan lagi.”

Dan gadis itu menghilang dari pandangannya.

“KIM SOOYEON!”



It’s been 8 days since the first episode, but the comments are still updating :) I dunno if a simple thanks can pay your love guys❤ but I hope so, thanks a lot

Buat kalian-kalian yang minta jangan lama-lama, sorry kalau tenggang 1 minggu lebih sehari ini termasuk lama :( tadinya mau di post kemarin malem, cuma ngertilah anak SMA lagi fakir kuota mah TT udah hotspot diem-diem, pinjem hp ayah, sampe jungkir balik juga da error akhirnya mah TT dosa meureun nya ngga bilang hehe (jangan ditiru)

Kedepannya InsyaAllah Nabil lagi coba konsisten update WGM per satu minggu, jamnya sih ngga tentu tapi setiap seminggu bakalan nabil post lanjutannya. Yah walaupun terakhir kali Nabil bilang episode 1 tanggal 16 jam 9, taunya yang keluar before filming, jam setengah 10 lagi TT

W mah gini orangnya men, biasa anak B udah dijadwalin gimanapun ceritanya tetep aja berantakan mah berantakan. Iya nggak B? Hehe

Semua komentar kalian Nabil baca, semuanya! Dan ada yang bilang kurang panjang juga ya? Aduuh normalnya kalian baca ff berapa word? Kasih tau dong biar semuanya puas bacanya :)

Kedua, interview. Ada yang bilang kurang panjang juga ya? Jadi nabil coba panjangin di episode ini, gimana?

Ketiga, penokohan. Ada yang bilang juga Sooyeon katanya terlalu arogan, galak blabla gitu? But sorry, buat yang satu ini karakter sepenuhnya Nabil yang bentuk jadi dimaklumi aja yaaa :)))

Keempat, genre. Ada selipan minta angst yaa? Mana hayo mana yang requestnya? Hehe. Angst nya ada kok dear, udah rada muncul disini ‘kan? Nantinya bakal rada banyak di episode-episode selanjutnya buat mengungkap (alay) kenapa Chanyeol sama Sooyeon putus, dan gimana ceritanya si bang DoKyung ikut-ikut. Tunggu aja tanggal mainnya yaaa :))

Pokoknya thanks deh buat semuanya. Kritik dan saran masih selalu terbuka kook :) Love you guysssss

With Love, Nam Joohyuk New Girlfriend HAHA

Filed under: Angst, comedy, friendship, romance Tagged: exo, OC, park chanyeol

Show more