2015-06-01



Author : Bellecious0193

Poster : Lily21Lee

Genre : Romance, Married Life, Family

Length : Chaptered

Rate : PG17

Casts :

Kim Jongin

Jo Eun Hee

Wu Yi Fan aka Kris Wu

Lee Na Ra

Cho Kyuhyun

Oh Sehun

Etc

Previous Chapter
Teaser – Chapter 1 – Chapter 2 – Chapter 3 – Chapter 4 – Chapter 5 – Chapter 6 – Chapter 7 – Chapter 8 – Chapter 9 – Chapter 10

This will be a long chapter. Saran saya siapkan pop corn dan cola sebelum membaca chapter yang super panjang ini. Ada 43 halaman xD

Karena di chapter ini ada matured contents, jadi saya membuat 2 versi. Untuk yang masih di bawah umur silahkan baca CUT VERSION. Full Version dari chapter ini TIDAK AKAN SAYA SHARE disini. Karena, saya masih mempertimbangkan kebanyakan reader yang masih di bawah umur.

Bagi yang ingin membaca FULL VERSION-nya silahkan baca AUTHOR NOTE DI AKHIR FF INI. DAN SEKALI LAGI DON’T THOR ME! Saya 93 liner.

Happy reading.

“Aku berpikir bahwa aku mungkin saja membencinya, tapi seperti yang orang katakan bahwa hanya ada batas tipis antara kebencian dan cinta. Ditinggalkan selama berbulan-bulan olehnya membuatku merasakan satu hal. Rindu yang lambat laun menjadi candu. Dan jika rindu ini terlampau lama dibiarkan hingga berdebu, akankah dia mau kembali dan membersihkannya untukku? Membuat lembaran baru lagi dengan lebih banyak rindu. Aku pasti sudah kecanduan heroin bermerk Kim Jongin.” Jo Eun Hee

“Aku selalu berpikir bahwa dia membenciku. Bahwa dia tidak pernah menginginkanku seperti aku menginginkannya. Tapi aku adalah pribadi yang keras kepala. Aku akan membuatnya memiliki perasaan sama sepertiku. If I can’t get her nicely, I will get her badly. Sounds selfish, huh? But I don’t care. She is mine…forever mine.” Kim Jongin

Eun Hee mencengkeram kertas-kertas di tangannya. Emosi sudah menyelubungi dirinya. Kenapa dan kenapa dia tidak pernah berpikir betapa jahatnya Kim Jongin. Betapa pria itu terobsesi dengannya hingga memaksanya menikah. Sesuatu di tangannya merupakan salah satu bukti bahwa pria itu adalah pria jahat. Hari ini, sesuatu yang pasti sangat dirahasiakan Jongin akhirnya ditemukannya. Bahwa Jongin memang sudah merencanakannya sedari awal. Pria itu menggunakan segala cara termasuk merebut perusahaan keluarganya.

Eun Hee tidak bisa berpikir jernih atau mungkin dia tidak mau peduli. Yang jelas dia akan menunggu Jongin pulang dan mempertanyakan semuanya. Dia mungkin dalam kemungkinan terburuk akan meminta satu hal yang juga dibencinya. Perceraian.

Dengan langkah terburu-buru dia menuruni tangga rumahnya, mencari sosok Mirae yang tidak juga ditemukannya di setiap sudut mansion itu. Matanya menatap sosok lain di kolam renang yang terletak di tengah-tengah mansion. Bukan Mirae, bukan juga maid lainnya, melainkan Lee Na Ra. Selama beberapa menit gadis itu hanya terpaku di tempatnya, mencoba menerka alasan kenapa Na Ra ada di mansion Jongin menjelang tengah malam.

Tepat saat Eun Hee akan melangkah, Na Ra berbalik dan menatap tajam ke arahnya. Jenis tatapan yang akan membuat siapa saja terinitimidasi.

“Apa yang sedang kau lakukan, Miss Jo?” Tanya gadis itu saat jarak keduanya sudah cukup dekat.

“A..aku hanya-” Eun Hee kehilangan kemampuan verbalnya dan dia bahkan lupa bahwa seharusnya dialah yang menanyakan hal itu, bukannya Na Ra.

“Pergi tidur. Sekarang.” Ujar Na Ra lagi, dengan nada otoriternya seperti biasa. “Ini sudah hampir tengah malam, kau seharusnya sudah tidur. Ada sesuatu yang mengganggumu?” Suara gadis itu melembut, digantikan raut wajah khawatir.

“Tidak ada.”

“Good” Na Ra mengangguk lalu hendak meninggalkan Eun Hee saat secara refleks gadis itu mencekal pergelangan tangan Na Ra, membuat istri Kris Wu itu menghentikan langkahnya.

“Ada yang ingin aku bicarakan.” Susah payah Eun Hee mengatakannya. Satu hal yang begitu sulit baginya adalah berbicara secara santai dengan Na Ra, mungkin hampir mustahil baginya.

“Say it.”

“Apa yang kau lakukan di sini?”

“Memastikan semuanya baik-baik saja.” Jawab Na Ra singkat, tapi gadis itu menangkap sesuatu yang tidak beres pada Eun Hee terutama tentang cara gadis itu bicara padanya. “Dan kau punya pertanyaan lain. Katakan.” Itu sebuah pertanyaan yang justru menjadi sebuah pernyataan jika Na Ra yang mengatakannya.

Eun Hee mengigit pipi bagian dalamnya, mendadak begitu ragu dengan dirinya sendiri. Dia bahkan lupa jika dia sedang begitu marah. “Aku ingin bercerai dari Jongin.”

Na Ra terdiam sesaat lalu mendecakkan lidahnya, menganggap remeh ucapan Eun Hee. “Aku serius Na Ra-ssi, aku ingin menceraikan Kim Jongin.” Ulang Eun Hee menggebu-gebu.

“Itu bukan urusanku. Kau bisa meminta Mirae untuk mengurus perceraianmu, tapi aku rasa dia akan menolaknya. Well..bukan hanya Mirae tapi seluruh pengacara di Korea.”

“Apa maksudmu?”

“Kau belum mengerti juga ya? Bahkan ke neraka sekalipun Kim Jongin tidak akan melepaskanmu.” Gadis itu tersenyum penuh kemenangan mendapati Eun Hee yang langsung terdiam. “Seharusnya kau lebih memahaminya. Jongin bukan jenis pria yang akan membiarkanmu bahagia tanpanya. Dia akan memastikan kebahagiaanmu ada padanya saja. Aku rasa dia sudah berhasil kan?” Na Ra bertanya retoris lalu melepaskan cekalan tangan Eun Hee di pergelangan tangannya.

“Kenapa dia begitu egois?” Ujar Eun Hee hampir tidak terdengar karena kebenaran yang menghantamnya dengan telak.

“Egois kau bilang? Egoiskah jika Jongin mencoba menyelamatkan perusahaan ayahmu yang berada di ambang kebangkrutan?” Na Ra berbicara tanpa membalikkan badannya. Tapi tak perlu menjadi jenius untuk tahu bahwa gadis itu sedang menahan amarahnya. “Egoiskah jika dia memilih mengambil peran antagonis dalam skenario yang dibuatnya sendiri? Dia menjadi orang jahat di matamu, di mata semua orang soal kasus pengambilalihan Jo Enterprise. Tapi tidakkah kau berpikir ada berapa banyak orang yang sudah diselamatkannya?” Kali ini Na Ra membalikkan badannya, menatap Eun Hee penuh penghakiman. Lalu apa yang dikatakan Na Ra selanjutnya membuat gadis bermarga Jo itu semakin tidak berkutik. “Egoiskah jika dia menginginkan gadis yang dicintainya mati-matian untuk menjadi istrinya?”

Na Ra langsung meninggalkan kediaman Jongin setelah mengatakan hal-hal yang mungkin terdengar kejam. Tapi gadis itu punya perhatian berbeda. Dia, dengan caranya sendiri tengah berusaha meyakinkan Eun Hee untuk tidak kembali berpikir tentang sebuah perceraian yang menyiksa.

Eun Hee lagi-lagi memandangi punggung Na Ra yang kian menjauh. Dia tidak punya kemampuan mendebat, atau lebih tepatnya semua yang dikatakan Na Ra adalah kebenaran. Dan kebenaran itu membuatnya merasa begitu idiot.

**

Two weeks later

Manchester, UK

Kim Jongin memilih untuk terbang ke Inggris setelah berkonsultasi dengan Sehun di Paris. Pria itu masih belum siap untuk bertemu lagi dengan istrinya. Hasrat itu masih saja membuncah. Alih-alih padam, rindu itu semakin menggebu. Tapi ada hal lain yang menghalanginya. Sesuatu yang teramat dia benci, disorder-nya.

Pria itu memandang gedung-gedung di sekitarnya. Dia kini berada pada salah satu penthouse-nya di Manchester. Dia butuh sesuatu untuk menenangkan dirinya. Tapi apa yang dilakukannya tak lebih dari kesia-siaan semata. Sebab bayang-bayang Eun Hee terus saja memenuhi pikirannya.

Tangan pria itu kembali gemetaran saat kenangan buruk masa lalu menghantamnya tanpa jeda. Dia memegang kepalanya yang berdenyut nyeri. Dengan langkah terseok-seok dia berjalan ke arah nakas tempat tidurnya, mengambil beberapa kapsul dan menelannya cepat. Nafas yang memburu perlahan menjadi lebih teratur. Obat penenang itu memang bisa mengatasi kecemasannya untuk sementara. Tapi setelahnya kecemasan-kecemasan itu justru semakin merongrong, membuatnya benar-benar tidak bisa hidup dengan baik.

Pria itu meraih ponselnya, menatap wallpaper dimana ada foto Eun Hee yang tengah tersenyum di sana. Dia menekan tombol speed dial pada ponselnya, menunggu beberapa saat hingga sambungan internasional itu terhubung.

“Hyung…” Ujarnya serak.

“Jonginnie…kau dimana?” Tanya suara di seberang sana. Suara itu adalah jenis suara lembut yang menenangkan.

“Aku…entahlah. Apa Eun Hee baik-baik saja? Aku sangat mengkhawatirkannya.” Ada jeda panjang di antara mereka. “Donghae hyung…tolong pastikan bahwa Mirae menjaga Eun Hee dengan baik, aku-” suara pria itu tercekat di tenggorokannya, air mata itu dengan mudah menggenangi kedua pelupuk matanya. “Aku tidak tahu apa aku bisa menjaganya lagi seperti yang aku janjikan.” Jongin dengan susah payah menyelesaikan kalimatnya, meremas dadanya yang mendadak sesak.

“Kim Jongin, tenangkan dirimu. Semua akan baik-baik saja, ok? Mirae akan bekerja dengan baik. Kau cepatlah pulang. Kau tega sekali membiarkan istrimu tersiksa karena merindukanmu.” Donghae melontarkan candaanya, berusaha mencairkan suasana. Walaupun dia tahu benar bahwa penghiburan apapun tidak akan membantu.

Jongin tidak lagi mendengarkan Donghae, pria itu segera menekan tombol end call dan melempar ponselnya asal.

Dia beranjak ke kamar mandi, menyalakan shower, dan membiarkan tubuhnya basah karena air dingin itu. Dia bahkan sama sekali tidak melepas pakaiannya. Sensasi dingin itu dengan cepat menjalar ke sekujur tubuhnya, amat dingin, dan dia benar-benar berharap dinginnya air bisa membekukan otaknya sekaligus kesakitannya.

**

Eight Weeks Laters

Jongin’ Mansion, Seoul

Eun Hee tengah duduk dengan bosan di taman belakang mansion milik suaminya. Beberapa minggu lalu mungkin dia begitu terkagum-kagum dengan taman itu. Tapi semenjak kepergian Jongin, taman itu mendadak sama sekali tidak menarik. Gadis itu tahu bahwa sebenarnya semua tempat akan menarik jika saja Jongin ada di sisinya, menggenggam tangannya, dan menghujaninya dengan cinta yang tak pernah dibayangkan gadis itu sebelumnya.

Kemarahannya mendadak sirna. Mungkin kebenciannya masih ada, tapi rasa rindu yang memenuhi rongga dadanya benar-benar mengalahkan segala macam perasaan lain. Persetan dengan urusan perusahaan atau hak milik dan segalanya. Dia tidak akan mempermasalahkan hal itu lagi. Fakta bahwa Jongin mengambil alih perusahaan keluarganya diabaikan begitu saja. Jongin memang licik, tapi dia entah kenapa tidak keberatan dengan kelicikan pria itu. Perlakuan pria itu padanya sudah cukup membuktikan semuanya. Dia bukan seorang idiot yang tidak tahu apa-apa. Dia tahu bahwa Jongin mencintainya, amat dalam. Dan Kris benar, dia juga mencintai pria itu, amat sangat hingga nyaris sesak karena tak terungkapkan. Dia akan mengatakannya nanti, saat pria itu pulang.

“Kau ini suka sekali melamun ya?” Suara bass itu membuyarkan lamunannya. Udara di sekitarnya mendadak dipenuhi aroma pinus yang menyegarkan. Aroma khas seorang Cho Kyuhyun. Pria itu mengenakan jumper berwarna abu-abu dan celana jeans hitam. Terlihat jauh lebih muda dari usia yang sesungguhnya. “Hei..kau baik-baik saja?” Tanya pria itu khawatir mendapati raut wajah Eun Hee yang begitu pucat.

Eun Hee menggeleng cepat, menjawab jujur dengan sorot matanya. Pria itu mendudukkan diri di sebelah Eun Hee, menghembuskan napasnya dengan kasar.

“Kau tidak boleh stres. Itu tidak baik untuk janinmu, tahu. Ngomong-ngomong, Jongin menitipkan salamnya padamu. Dia-”

“Jongin menelfon? Apa yang dia katakan? Kapan dia akan pulang? Apa masih lama? Sekarang dimana dia?” Rentetan pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Eun Hee, kedua tangan gadis itu bahkan mencengkeram lengan Kyuhyun.

“Hei.. Santailah.” Ujar Kyuhyun menenangkan. Eun Hee segera melepas cengkeramannya di lengan Kyuhyun, menunduk sebagai bentuk permohonan maaf.

“Jongin sedang di Bordeaux, masih sibuk dengan urusan bisnisnya. Kau tahu lah dia tuan CEO yang menyebalkan, gila kerja, dan…aku yakin kau tidak mau mendengar makianku untuknya.” Kyuhyun tersenyum dan gadis itu untuk pertama kalinya juga ikut tersenyum. Dia jadi bertanya-tanya tentang seperti apa hubungan Jongin dan Kyuhyun, mengingat pria itu pernah menghajar habis-habisan suaminya. Setelahnya mereka berbaikan, bersikap seperti tidak pernah terjadi perkelahian berdarah itu.

“Senang mendengarnya baik-baik saja.” Ujar Eun Hee pada akhirnya.

“Aku kan tidak mengatakan apapun soal dia baik-baik saja, Mrs Kim.” Kyuhyun melontarkan candaannya seperti biasa, suatu hal yang sebenarnya amat jarang dilakukannya.

“Fakta bahwa dia begitu sibuk dengan pekerjaanya sudah mengindikasikan bahwa dia baik-baik saja, Mr Cho.”

“Daebak!” Kyuhyun menepuk kedua tangannya, membuat Eun Hee terkejut. “Kau memahaminya? Sebanyak itu? Jongin memang tidak salah memilih istri. Kau luar biasa!” Kyuhyun memuji Eun Hee, lebih menunjukkan sisi irinya karena adiknya berhasil mendapatkan istri yang begitu menyayanginya.

“Kau juga akan menemukan satu untuk dirimu. Yang jauh lebih pengertian dan akan menerimamu apa adanya.”

“Tidak-tidak, aku tidak akan menemukan yang seperti itu. Aku tidak mau hidup dengan gadis lain selain Na Ra.”

“Tapi Na Ra-ssi sudah – ”

“Menikah?” Tanya Kyuhyun retoris. “Aku tahu. Seluruh dunia juga tahu. Aku kan juga tidak mengatakan apapun soal merebut gadis itu. Percayalah, aku tidak akan melakukan hal rendahan semacam itu.”

“Kau menatap Na Ra seolah dia adalah duniamu. Dan tatapanmu bahkan begitu intens, memastikan bahwa tidak akan ada peluru yang menembus tubuhnya. Bagaimana kau bisa hidup dengan baik sementara kau melihatnya dengan orang lain? Kau bukan masokis kan?” Cecar gadis itu. Eun Hee menjadi cepat akrab dengan Kyuhyun. Sebelumnya dia tidak pernah mempunyai banyak kesempatan berbicara dengan pria itu karena Jongin selalu melarangnya.

“Itu memang benar, dia adalah duniaku. Dan hei..apa aku seburuk itu sampai kau menganggapku seorang masokis?” Eun Hee menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, merasa bersalah dengan kata-katanya pada Kyuhyun. “Keputusanku untuk hidup sendiri adalah hal yang mutlak. Anggap saja sebagai penebusan dosa.”

“Penebusan dosa?” Eun Hee mengernyitkan dahinya, menatap Kyuhyun dengan penuh pertanyaan.

“Penebusan dosaku pada Na Ra. Dan jika beruntung pada Jongin.” Suara pria itu merendah, kedua iris hitamnya memandang hampa udara di depannya. Selama beberapa saat, pria itu terlempar ke dunia dimana hanya dia yang mengetahuinya. Eun Hee seolah merasakan déjà vu. Dia pernah melihat ekspresi serupa pada Jongin. Ekspresi terluka dan tersiksa, seolah ada penderitaan tanpa akhir di balik kedua mata itu.

“Kau bisa menceritakannya padaku, Kyuhyun-ssi.”

“Ini bukan jenis cerita yang menyenangkan. Kau mungkin akan menceraikan Jongin setelah ini.” Eun Hee terkesiap, sepenuhnya tidak bisa menangkap maksud perkataan Kyuhyun. “Tapi kau tidak akan melakukannya kan? Aku tahu kalian tidak bisa hidup dengan baik jika tidak ada yang lain. Jadi, berbahagialah dengannya. Setidaknya hal itu bisa mengurangi rasa bersalahku, mengurangi hukumanku di neraka nanti.” Kyuhyun tersenyum getir. Dia tidak tahu apa yang dilakukannya saat ini. Jongin hanya memintanya untuk melihat keadaan Eun Hee dan bukannya duduk mengobrol dengan gadis itu. Tapi dia harus mengatakannya. Eun Hee adalah bagian terpenting dalam hidup Jongin. Dia harus tahu tentang apa yang menimpa adiknya itu.

“Sejujurnya aku memikirkan soal perceraian. Berkali-kali.” Ujar Eun Hee jujur.

“Aku tidak terkejut. Aku bahkan bertanya-tanya kenapa kau masih saja berada di sisinya, kecuali jika kau juga mencintainya. Mati-matian, mungkin?”

“Aku merindukannya.” Eun Hee akhirnya mengakui perasaannya, mengurangi beban yang bercokol di hatinya.

“Dia akan senang mendengar kau mengatakan hal ini.”

“Aku tidak yakin, mengingat Jongin tidak menghubungiku selama berminggu-minggu.” Gadis itu mengutarakan isi hatinya. Mirae mendadak begitu sibuk akhir-akhir ini. Dan dia tidak punya tempat untuk sekadar berbagi cerita. Rasa frustasi itu benar-benar menyiksanya. Satu jenis perasaan yang sebenarnya dia sendiri tidak tahu kenapa bisa begitu mengganggunya.

“Mungkin dia ingin menghubungimu.” Suara Kyuhyun kembali terdengar, mendistraksi atensinya pada pria itu. “Ada saat dimana dia pasti ingin segera menemuimu. Percayalah, dia sama tersiksanya denganmu. Ngomong-ngomong Eun Hee-ya, jika aku mengatakan bahwa Jongin tidak baik-baik saja, apa yang akan kau lakukan?” Eun Hee membelalakkan matanya, sekali lagi mencengkeram lengan pria itu.

“A-apa yang terjadi padanya? Aku mohon katakan, cepat katakan padaku!!” Eun Hee menanggalkan semua gengsinya. Perkataan Kyuhyun membuatnya diliputi kepanikan luar biasa. Jongin tidak baik-baik saja? Tapi kenapa?

“Dia menyembunyikan hal ini rapat-rapat. Tapi menurutku, kau sebagai salah satu bagian terpenting di hidupnya berhak tahu.” Ada gelanyar aneh di hatinya saat Kyuhyun mengatakan bahwa dia adalah yang terpenting dalam hidup Jongin. Rasa bahagia yang bercampur dengan perasaan-perasaan lainnya. “Mau mendengar sedikit ceritaku? Well..tidak sedikit, ini sebuah cerita yang panjang dan membosankan.”

“Apapun yang menyangkut Jongin, aku mohon beritahu aku. Selama ini aku adalah satu-satunya pihak yang tidak tahu apa-apa soal dirinya, sementara dia seolah sudah mengenalku seumur hidup. Itu amat sangat melukai harga diriku. Maksudku, dia suamiku kan? Bagaimana bisa aku tidak tahu apa-apa soal dirinya?” Gadis itu berujar dengan segala rasa frustasinya. Dia sudah lelah berpura-pura tidak peduli. Sebagian besar dirinya tentu ingin tahu banyak tentang pria yang sudah menguasai sebagian dirinya itu.

“Aku tidak heran jika Jongin tahu hampir semua hal tentangmu. Dia sudah mencintaimu selama delapan tahun yang menyiksa.”

Eun Hee mendecakkan lidahnya, mendadak kesal dengan segala rahasia yang disimpan Jongin darinya. “Kau tidak perlu sekesal itu. Kim Jongin jatuh cinta saja itu sudah sebuah keajaiban. Jadi, mengertilah. Dia memang seringkali bertindak di luar logika.”

“Aku tidak akan pernah memahaminya jika dia saja tidak pernah membuka dirinya padaku. Dia memang memperlakukanku dengan istimewa. Tapi dia selalu membangun tembok di antara kami.”

“Anxiety disorder..Semacam gangguan kecemasan. Hal itu sangat merubahnya.” Kyuhyun akhirnya mengatakan satu kalimat yang sukses membuat seluruh napas Eun Hee tercekat di tenggorokannya. “Dia menderita anxiety disorder selama 3 tahun ini. ” Lanjut Kyuhyun dengan ekspresi terluka. “Ini semua kesalahanku, ketololanku yang benar-benar tidak bisa dimaafkan. Kau bisa menyalahkanku nanti, membenciku juga mungkin.”

“Aku tidak akan membencimu, Kyuhyun-ssi.” Eun Hee menjawab cepat, tidak tahan dengan ekspresi bersalah pria itu.

“Kau terlalu cepat mengatakannya. Kau akan menyesalinya setelah ini, karena aku adalah penyebab anxiety disorder yang diderita Jongin.” Gadis itu sudah akan mengeluarkan kalimat pertanyaannya saat Kyuhyun dengan tatapan tajamnya memberikan isyarat agar Eun Hee tidak menyelanya. “Aku, Jongin, dan Na Ra tumbuh bersama. Jongin sudah seperti adik bagi kami, maknae yang paling kami sayangi. Sampai suatu saat, aku dan Na Ra menjadi sepasang kekasih. Tipikal hot young couple yang menggebu-gebu. Kami saling mencintai seolah tak ada hari esok.” Kyuhyun tersenyum mengingat masa-masa itu, masa dimana kebahagiaan selayaknya dunia yang bisa digenggamnya. “Tapi keserakahanku menghancurkan segalanya. Saat itu aku begitu terobsesi dengan pekerjaanku. Ayahku menuntutku untuk menjadi seorang ahli waris yang sempurna. Seorang CEO yang bisa diandalkan. Karena tuntutan itu, aku lambat laun berubah. Aku begitu disibukkan dengan pekerjaan hingga melupakan hubunganku dengan Na Ra. Gadis itu selalu mengatakan bahwa dia mengerti dengan kesibukanku. Tapi aku tahu, aku kelewat memahaminya. Sekalipun dia menyembunyikan perasaan kecewanya padaku, aku tahu bahwa dia sebenarnya begitu terluka. Aku tidak tahan dengan semuanya. Ekspresi terlukanya tiap kali bertemu denganku benar-benar menyiksa. Kau tidak akan pernah memahami jenis perasaan ini. Perasaan dimana kau melihat orang yang kau cintai terluka dan lebih buruknya kau sendiri yang menjadi penyebab luka itu.” Kyuhyun terdiam, menghela nafas dalam-dalam, mencari pasokan oksigen yang dirasanya semakin menipis.

“Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan padamu. Aku bukan seseorang yang pandai dengan kata-kata penghiburan.”

“Penghiburan seperti apapun tidak akan membantu, Mrs Kim. Tapi terima kasih, kau baik sekali.” Kyuhyun kembali terdiam, menatap lagi kehampaan di depannya. “Aku akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Na Ra. Kau tahu? Dia bahkan melepasku dengan senyuman, mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi tidak..dia tidak baik-baik saja. Aku seharusnya tahu itu. Setelah hubungan kami berakhir, Na Ra kembali ke Manhattan untuk tinggal bersama orang tuanya. Dia hanya tinggal sebentar di Manhattan lalu setelahnya kembali ke Marseille. Aku tahu dia tidak ingin tinggal di kedua kota itu, dia hanya menyukai Korea.”

“Jika dia begitu menyukai Korea, kenapa dia harus berpindah-pindah negara?” Eun Hee bertanya di antara cerita panjang Kyuhyun.

“Untuk menghindariku tentu saja. Dia memang terlihat baik-baik saja. Dia punya kemampuan untuk membuat ekspresi wajah bak Ice Queen yang tanpa cela. Dan aku benci melihat betapa terlalu sering ekspresi itu digunakannya. Hal itu membuatku semakin merasa bersalah. Dia berubah menjadi sosok yang jauh lebih dingin dan hampir tidak tersentuh.”

“Dia memang seperti itu, bahkan aku rasa Na Ra-ssi lebih mengerikan dari Jongin.” Eun Hee mengungkapkan kejujurannya, berbagi pendapat dengan Kyuhyun ternyata bisa semelegakan ini.

“Dia terlalu menyembunyikan banyak hal, termasuk kenyataan bahwa dia mengunjungi psikiater.”

“Mwo? Psikiater? Apa dia..maksudku Na Ra-ssi juga mengalami anxiety disorder?”

“Dia depresi, Mrs Kim. Awalnya dia mengkonsumsi banyak obat penenang untuk menyembuhkan depresinya. Aku benar-benar tidak pernah berpikir sejauh itu. Aku tidak tahu jika aku bisa seberharga itu untuk Na Ra. Sampai suatu saat Jongin mendatangiku, dia menghajarku juga. Percayalah.. dia bahkan lebih mengerikan dari monster manapun di dunia ini.”

“Aku pernah melihat Jongin yang seperti itu.” Eun Hee teringat bagaimana kejamnya Jongin saat menghukumnya, secara refleks dia memegang perutnya yang mulai menonjol, merasakan kehidupan di dalamnya.

“Dia memakiku dengan segala sumpah serapahnya. Aku masih mengingat dengan jelas peristiwa itu. Tapi dia tidak akan membunuhku. Jongin mengatakan bahwa aku akan terlalu beruntung jika dibunuh olehnya. Aku harus merasakan penderitaan seperti yang Na Ra rasakan. Jongin mencegahku bertemu Na Ra, memblokir segala akses yang bisa membuatku berhubungan dengan gadis itu. Dia berniat menyiksaku, membalaskan dendam Na Ra untukku. Dan dia berhasil, amat sangat berhasil sampai aku berpikir bahwa seharusnya Jongin membunuhku saja waktu itu.” Kyuhyun menundukkan wajahnya, kedua tangannya meremas rambut cokelatnya. Penyesalan itu akan berlangsung seumur hidupnya.

“Tapi semua itu sudah berlalu kan? Maksudku sekarang kalian sudah berbaikan.”

“Tidak, Eun Hee-ya…belum. Aku yang belum bisa memaafkan diriku. Jongin adalah saksi penderitaan dan depresi Na Ra selama bertahun-tahun. Aku tidak sanggup untuk menjelaskan seperti apa depresi yang dialami Na Ra-ku. Tapi karena peristiwa itu juga Jongin lambat laun mengalami anxiety disorder.”

“Tapi bagaimana bisa? Jongin adalah pribadi yang sangat kuat, cenderung menakutkan, dan penuh intimidasi.” Eun Hee masih berusaha menyela, dia masih belum bisa menerima apapun disorder yang dialami suaminya.

“Hanya karena dia sosok yang menurutmu kuat bukan berarti dia bisa imun terhadap segala hal. Sejak Na Ra mengalami depresi, dia selalu berpikiran bahwa kehilangan orang yang dicintai sama saja dengan mati. Pikiran itu lambat laun mendoktrinnya, membuatnya seperti sekarang ini.” Eun Hee merasakan sesak di dadanya. Dia tidak tahu jika Jongin pernah mengalami hal-hal seburuk itu di masa lalunya. Melihat orang yang disayanginya dalam depresi tentu bukan suatu hal yang mudah untuk ditanggung olehnya. “Apa kau tidak merasa aneh dengan sikapnya yang super posesif? Dia bahkan berniat menyingkirkan bayi kalian hanya karena anggapan bayi di dalam rahimmu akan menyakitimu.” Kyuhyun bertanya dengan ekspresi terlukanya, kedua mata pria itu menggelap karena kesedihan. Tapi kesedihan itu hanya berlangsung beberapa saat karena tiba-tiba saja wajah Kyuhyun berubah cerah. Pria itu bahkan tersenyum lebar, senyum yang bisa meluluhkan hati gadis-gadis di luar sana. Eun Hee jadi bertanya-tanya kenapa dokter tidak juga memberikan vonis bahwa pria itu mengidap D.I.D, melihat dari perubahan sifat pria itu yang sangat tiba-tiba.

“Hei my Ice Queen.” Kyuhyun berdiri dan menghampiri Na Ra yang sudah berdiri di ambang pintu di dekat taman itu. Eun Hee mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih jauh, dan alasan perubahan air muka Kyuhyun sudah terjawab. Alasan sederhana karena kehadiran Lee Na Ra.

“What are you doing here, Cho?” Tanya Na Ra, sebelah tangan gadis itu digunakannya untuk menekan dahi Kyuhyun agar tidak memeluknya.

“I should ask the same question to you.” Kyuhyun menjawab seraya mengerucutkan bibirnya kesal.

“Tidak bisa ya menjawab pertanyaanku dengan benar? Aku harus menemui Eun Hee, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”

“Tidak ada yang perlu dibicarakan, Ra-ya. Sebaiknya kita pulang saja.” Kyuhyun membujuk, tahu bahwa Eun Hee tidak begitu nyaman saat berbicara dengan Na Ra.

“Kita? Aku bisa pulang sendiri. Sekarang minggir, Cho Kyuhyun.” Kyuhyun mengangkat bahu seraya menarik paksa tangan Na Ra, mengajak gadis itu untuk segera meninggalkan kediaman Jongin. Sementara Eun Hee masih terpaku di tempatnya, menatap mantan pasangan kekasih itu dengan ekspresi tidak paham. Dan dia tidak mau bersusah payah untuk memahaminya. Karena sekarang seluruh atensinya hanya tertuju pada Kim Jongin. Pria yang kini berjarak ribuan mil darinya. Tidak tahukah dia bahwa merindukan seseorang bisa semenyiksa ini?

**

A week later

Eun Hee lagi-lagi berada di ruang kerja Jongin. Gadis itu seolah tanpa bosan berada di ruangan itu, menghirup sisa-sisa aroma maskulin Jongin. Aroma itu masih ada, sekalipun tersamarkan oleh aroma-aroma lain yang lebih baru. Pembicaraannya dengan Kyuhyun seminggu lalu masih terus terngiang di telinganya. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak bisa menghubungi Jongin, bertanya pada Na Ra pun tidak mungkin. Sementara Yoo Mirae, gadis itu seperti hilang ditelan bumi. Eun Hee benar-benar merasa sendirian.

Dia mendenguskan nafasnya kasar, ini bahkan sudah berbulan-bulan Jongin tidak pulang, meninggalkannya sendirian dengan hati berkecamuk karena rindu.

Semenjak kehamilannya, Eun Hee memang seperti terkena sindrom Jongin. Dia selalu saja merindukan suaminya itu, sesuatu yang selama ini tengah mati-matian disangkalnya.

Ketika rasa bosan itu melanda dia akan pergi ke kamar Jongin atau ke ruang kerjanya, sekadar melihat sekaligus berharap pada kemungkinan Jongin ada di salah satu ruangan itu.

Seperti saat ini misalnya, Eun Hee tengah duduk di kursi yang biasa Jongin gunakan saat bekerja. Didorong oleh naluri, dia membuka-buka laci meja kerja pria itu, melewatkan begitu saja map-map yang tidak dipahaminya. Arah pandangannya tertuju pada sebuah note book berwarna merah di laci terbawah meja itu. Eun Hee tidak tahu kenapa dia bisa begitu tertarik dengan note book yang sedikit berdebu itu. Dia mengambilnya dan mulai membuka halaman pertama. Ada satu tulisan Jongin dalam bahasa Prancis di sana.

“Pour ma belle Eun Hee, mon soleil.

Je sais, dans un moment tu vais ouvrer ce livre. Tu dois savoir que je t’aime. Je t’aime beaucoup a la folie. Pour toujours….”

(For my dear Eun Hee, my sun. I know that you will open this book one day. You have to know that I love you. I love you from the bottom of my heart. Forever…)

Eun Hee mengernyitkan dahinya, sepenuhnya tak paham dengan kalimat pembuka di note book itu. Eun Hee mengambil ponselnya, memilih aplikasi translator di sana dan dalam hitungan detik gadis itu tertegun. Kelewat senang dengan apa yang tertulis di sana. Dia jadi membayangkan seperti apa jika Kim Jongin yang mengatakan secara langsung padanya. Dan bayangan Jongin mengucapkan kalimat cinta membuatnya tersenyum, setengah mati menahan diri untuk tidak melompat-lompat karena terlalu senang.

Jantung gadis itu hampir saja melompat ke luar saat pintu ruang kerja Jongin menjeblak terbuka dan sosok pria yang mati-matian dirindukannya itu kini ada di depannya. Bukan sebuah mimpi alih-alih imajinasi. Kim Jongin yang begitu nyata, dengan kemeja putih favoritnya dan celana kain hitam yang membalut pas tubuhnya.

Saat Jongin berjalan mendekat ke arahnya, Eun Hee bisa melihat dengan jelas lingkaran hitam di bawah mata pria itu. Tubuhnya yang lebih kurus serta dagu pria itu yang sudah mulai ditumbuhi jambang menandakan bahwa Jongin sudah lama tidak melakukan shaving. Dia terlihat kacau walaupun masih sama saja menggiurkan seperti sebelum-sebelumnya. Masih sama tampannya.

“Maaf..aku tidak bermaksud lancang. Aku hanya..” Eun Hee tidak mampu melanjutkan perkataannya. Kemampuan verbalnya mengalami penurunan drastis, efek alami tubuhnya tiap kali berdekatan dengan Jongin.

Jongin tidak mengatakan apapun, dia berjalan semakin dekat hingga kini dia bisa dengan jelas melihat wajah Eun Hee. Masih sama cantiknya dan aroma gadis itu masih sememabukkan biasanya. Pria itu melirik ke arah note book yang tengah dibaca Eun Hee. Baru halaman pertama yang dia tuliskan dalam bahasa Prancis.

Jongin mengulurkan tangannya, menanti Eun Hee menyambut ulurannya dengan sabar. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya saat ini, dia kelewat bahagia, kelewat senang dengan pertemuan mereka. Saat pada akhirnya kedua tangan itu bertemu, keduanya merasakan getaran itu lagi. Getaran dimana mereka tahu bahwa mereka sudah jatuh cinta (lagi).

Jongin menarik Eun Hee ke dalam pelukannya, menenggelamkan kepalanya di surai panjang gadis itu. Dia berlama-lama di sana, seolah memperoleh oksigen untuknya bernapas. Pria itu lalu melepas pelukan mereka, mencium Eun Hee dalam-dalam di bibirnya dan dengan tergesa melesakkan lidah hangatnya. Jongin menjelajah rongga mulut Eun Hee dengan terburu-buru, menekan tengkuk gadis itu hingga Eun Hee mencengkram lengan Jongin. Gadis itu masih butuh bernapas tentu saja.

Pria itu melepaskan ciumannya, menatap tepat di manik mata Eun Hee. Sorot matanya penuh kerinduan sekaligus kesakitan. Dia mencium bibir itu sekali lagi.

“Pergi ke kamarku sekarang. Aku akan menyusulmu dalam 10 menit. Saat aku sampai di sana, pastikan bahwa kau sudah menanggalkan semua pakaianmu.” Eun Hee terkejut mendengar perkataan Jongin. Tahu akan hal itu, Jongin mengangkat dagu Eun Hee agar kedua mata mereka kembali sejajar. “Kim Eun Hee, you understand?” Ujarnya penuh penekanan. Seperti tersihir oleh daya magis yang luar biasa kuat, Eun Hee mengangguk dan buru-buru melepaskan diri dari pelukan Jongin. Dia tidak mau membuat pria itu menunggu lebih lama lagi.

**

Jongin memenuhi janjinya untuk menyusul Eun Hee 10 menit kemudian. Rahang pria itu mengeras saat melihat Eun Hee belum menanggalkan pakaiannya. Dia berjalan mendekat ke arah istrinya, mencoba menahan emosinya.

“Take off your clothes Mrs Kim. Now!”

Dan pergumulan itu berlangsung hingga menjelang pagi, sampai keduanya tertidur tanpa sehelai benangpun. Mereka saling memeluk, tak mau repot-repot bangkit untuk menyelimuti tubuh mereka. Dan dalam berbulan-bulan yang menyiksa pada akhirnya mereka bisa tidur dengan nyenyak, dengan merasakan detak jantung masing-masing.

**

7 am

Tidak seperti biasanya, kali ini Eun Hee bangun lebih awal. Dia merasakan hembusan nafas hangat di kepalanya, juga pelukan protektif yang membuatnya bisa tidur dengan nyenyak semalaman. Lalu yang dilihat oleh kedua matanya adalah wajah lelap Jongin yang berjarak begitu dekat dengannya. Dia menyentuhkan jari-jarinya di wajah tampan itu, mengagumi ciptaan Tuhan dalam wujud suaminya. Jika sedang tidak dalam kondisi terjaga dan marah-marah, Jongin nampak seperti patung hidup. Wajah tidurnya bak bayi tanpa dosa, benar-benar membuat Eun Hee tidak tahan untuk tidak mencium pipi pria itu.

Jongin menggeliat, merasakan sentuhan bibir Eun Hee di pipinya. Perlahan dia membuka matanya, refleks tersenyum mendapati Eun Hee yang tengah menatapnya penuh minat.

“Bonjour, Mrs Kim” (selamat pagi, Ny Kim)” ujar Jongin dengan suara serak. Alih-alih membuka mata dan bersiap untuk bekerja, pria itu justru kembali memejamkan matanya, mempererat pelukan protektifnya.

“Hei..bangun, Jong! Kau harus ke kantor.” Eun Hee mencoba melonggarkan pelukan pria itu, tapi Jongin yang keras kepala sama sekali tidak bergeming.

Dia sudah cukup menyiksa diri dengan menghindari Eun Hee selama berbulan-bulan.

“Kim Jongin!!” Pekik Eun Hee lagi membuat Jongin melepas pelukannya dan menatap Eun Hee lekat. Gadis itu menyesali perbuatannya saat itu juga karena Jongin segera menampilkan senyum miringnya yang mematikan.

“Perusahaan itu milikku, Eun Hee-ya. Aku direkturnya. Tidak perlu mengkhawatirkan pekerjaanku.”

“Dasar orang kaya!” Cibir Eun Hee tanpa sadar.

“Dan kau istri orang kaya.” Balas Jongin cepat, jari-jari pria itu sudah terulur merapikan surai Eun Hee. “Ngomong-ngomong Eun Hee-ya, aku belum puas dengan kegiatan kita semalam.”

“Mwo?”

Jongin tidak memberi waktu pada Eun Hee untuk mencerna ucapannya, karena detik berikutnya pria itu sudah mengurung Eun Hee dengan kedua lengannya. Dan mereka kembali menikmati percintaan panas mereka pagi itu. Kali ini tanpa terburu-buru, mereka melakukannya lambat-lambat dengan sempurna tanpa takut kehabisan waktu.

**

3 pm

“Hari ini jadwalmu bertemu dengan teman-temanmu kan?” Jongin berujar saat dia dan Eun Hee tengah menonton TV. Hal yang baru pertama mereka lakukan. Terlihat canggung tapi toh keduanya menikmati saat-saat itu. Saat dimana Jongin membaringkan kepalanya di atas pangkuan Eun Hee dan sesekali mencuri ciuman. Tayangan televisi benar-benar mereka abaikan.

“Eoh? Benarkah? Aku lupa.” Eun Hee menjawab asal karena atensinya benar-benar terdikstrasi pada pria itu. Dia bahkan menganggap hal-hal seperti bertemu teman-temannya tak lagi penting.

“Dia tidak pergi kemana-mana selama berminggu-minggu, Jonginnie.” Mirae yang entah muncul dari mana berbaur dengan mereka, meletakkan sepiring penuh buah-buahan yang sudah dipotong.

“Berhenti memanggilku dengan nama menjijikkan itu, Yoo Mirae-ssi!” Jongin mendesis, menatap sinis pada Mirae yang hari itu nampak cantik dengan dress di atas lutut berwarna hijau limau. Mirae hanya mengangkat bahu sebagai bentuk ketidakpedulian. “Tapi benar kau tidak kemana-mana, Eun Hee-ya? Bukankah aku sudah menyuruh John untuk mengantarkanmu kemanapun?”

“Kau ini belum paham juga ya? Dia merindukanmu setengah mati sampai dia tidak bisa melakukan apa-apa. Kau ini tidak peka sekali.” Mirae mendahului Eun Hee menjawab pertanyaan Jongin. Gadis itu menatap Mirae dengan tatapan “sialan kau” yang justru membuat Mirae terbahak.

“Benarkah? Kau merindukanku, sweetheart?” Jongin bangkit dari pangkuan Eun Hee, menatap Eun Hee berbinar. Dengan malu-malu Eun Hee menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Pria itu kelewat bahagia sampai dia pikir dia tidak bisa lebih bahagia dari ini. Eun Hee bahkan tidak mengatakan apapun tapi Jongin tidak peduli. Dia bukan orang yang peduli pada hal-hal remeh seperti ungkapan verbal. Dia mencium Eun Hee tepat di bibirnya, melumatnya dalam-dalam hingga hampir kehabisan napas.

Mirae mendecakkan lidahnya, mendadak kesal karena harus melihat tontonan tak senonoh di depan matanya.

“Yak! Yak! Pergi ke kamar jika ingin bercinta! Kalian ini menyebalkan sekali.” Mirae mengomel yang membuat Eun Hee melepaskan ciumannya dengan Jongin. Dia bahkan lupa jika Mirae ada disana. Jongin yang masih belum rela, justru menjatuhkan kepalanya di bahu gadis itu. Seperti biasa menghirup aroma khas Eun Hee, candunya.

“Sorry, aku tidak berniat untuk-”

“Makanya Miss Yoo kau segera menikah dengan Donghae hyung agar kau tahu seperti apa rasanya bercinta.” Jongin memotong kalimat Eun Hee mengangkat kepalanya dari bahu gadis itu dan berdiri. “Kau juga harus belajar memasak dengan baik.” Tambah Jongin lalu menarik Eun Hee ikut berdiri, menyeret gadis itu untuk keluar dari ruangannya.

Dan Yoo Mirae hanya bisa menahan diri untuk tidak melemparkan heelsnya ke kepala pria itu. Kim Jongin bisa semenyebalkan itu.

**

A Restaurant, Seoul

Eun Hee tidak menanyakan apapun saat Jongin dengan bar-bar menariknya ke luar dari rumah. Dia sudah belajar dari pengalamannya dulu, bahwa pria itu akan memberikan jawaban yang benar-benar menyebalkan jika dia bertanya. Mereka akhirnya sampai ke sebuah restoran Itali di Gangnam. Pilihan Jongin memang tak pernah biasa karena pria itu mengajak Eun Hee ke restoran Itali terbaik di Seoul.

“Masuklah lebih dulu.” Ujar pria itu pada Eun Hee.

“Kenapa tidak masuk bersama saja?”

“Ada sesuatu yang harus aku urus.” Jongin berbicara dengan nada otoriter yang anehnya juga dirindukan Eun Hee. Tapi gadis itu tidak membantah. Akan terlalu menyia-nyiakan waktunya dengan Jongin yang berharga jika mereka menghabiskannya dengan berdebat saja. Dia akhirnya mengalah dan segera turun dari mobil Jongin.

Gadis itu memasuki restoran dengan interior Eropa yang kental. Tapi baru saja dia akan membuka pintu masuk di sana seseorang menahannya.

“Maaf nona, Anda tidak bisa masuk ke restoran ini dengan pakaian kasual dan sandal.” Ujar pria berbalut tuxedo itu. Eun Hee mengernyit sebelum memandang penampilannya sendiri. Dia memang tidak sempat berganti pakaian dan hanya mengenakan celana jeans belel dan kaus oversized berwarna oranye, serta sebuah sandal rumahan.

“Tapi kenapa? Orang-orang kemari kan untuk makan bukan untuk sebuah fashion show.” Eun Hee mencoba membela diri, merasa terhina karena sudah ditatap remeh oleh pegawai restoran tersebut.

“Maaf nona, ini sudah menjadi peraturan di restoran kami.” Pria itu bersikeras membuat Eun Hee mengerucutkan bibirnya dan berniat pergi saja dari sana saat sebuah tangan dengan kehangatan yang familiar mencekalnya.

“Ada apa? Kenapa tidak masuk?” tanya Jongin dengan ekspresi tidak suka. Pria itu sudah membawa seikat lily putih di tangan kirinya.

“Orang itu melarangku masuk karena aku memakai pakaian kasual dan sandal rumahan. Kau tahu itu sangat konyol. Orang-orang datang kemari untuk makan, bukan untuk sebuah fashion show. Ini zaman modern kan? Kenapa restoran semewah ini masih saja menerapkan peraturan kuno semacam itu.” Eun Hee berbicara dalam satu tarikan napas tanpa merasa sesak. Jongin tertegun saat mendengar ucapan istrinya. Gadis itu belum pernah berbicara sebanyak itu padanya, dan yang paling penting gadis itu belum pernah terlihat sekesal ini.

Jongin menarik tangan Eun Hee kembali ke restoran itu.

“Mr Kim.” Pegawai itu terkejut saat melihat Jongin yang datang.

“Call your boss.” Ujar Jongin dingin seraya membaca name tag yang digunakan pegawai itu. Goo Ki Joon. Dia akan mengingatnya dengan baik.

“Ne?”

“Call your boss. Kau tidak tuli kan?”

Pegawai bernama Ki Joon itu dengan tergesa-gesa memasuki restoran, dan dia kembali dalam beberapa menit dengan seorang pria paruh baya yang nampaknya adalah manajer disana.

“Maaf Mr Kim, ada yang bisa saya bantu?” ujar pria paruh baya itu sopan.

“Aku akan membeli restoran ini sekarang juga.”

“Ne?”

“Kau sama tulinya ya? Aku bilang aku akan membeli restoran ini sekarang juga dan aku mau kau memecat pegawaimu ini. “ Tatapan Jongin berubah bengis saat dia menunjuk pada Ki Joon. Pria itu bahkan hanya menatap Ki Joon sekilas dengan ekspresi murka bercampur jijik. “Tidak ada yang boleh merendahkan istriku seperti yang pegawaimu lakukan. Eun Hee-ya, kita pulang saja. “ Jongin kembali menarik tangan Eun Hee kembali ke mobilnya, melempar asal sebuket lily yang sudah dibelinya. Rahang pria itu mengeras dan matanya berkilat marah. Dengan cepat dia mengambil ponselnya, menekan sebuah kontak di sana.

“John, kau urus pembelian restoran Itali di Gangnam dan pastikan seseorang bernama Goo Ki Joon di pecat.” Jongin mematikan ponselnya tanpa menunggu jawaban John dan Eun Hee terlalu takut menyela.

The cold-hearted Kim Jongin is back.

**

“Jong..” Eun Hee memanggil pria di sampingnya dengan ragu. Kilat amarah di kedua mata suaminya benar-benar mengerikan, seolah dia akan mencekik siapa saja yang akan memperburuk suasana hatinya. Pria itu hanya menggumam sebagai jawaban. Kim Jongin dengan segala amarahnya masih memperhatikan istrinya. Dan itu nyaris bisa disebut sebagai keajaiban.

“Kau tidak perlu melakukannya.” Ujar gadis itu lagi. Jongin menoleh ke arah Eun Hee dan segera memalingkan wajahnya lagi ke arah jalanan. Dia menggeram tertahan dengan kedua tangan mencengkeram kemudi.

“Tidak ada yang boleh merendahkan istriku.” Jongin menjawab singkat, penuh penekanan, dan tidak perlu menjadi jenius untuk tahu betapa pria itu mencintai istrinya. Eun Hee tidak mengatakan apa-apa lagi. Hatinya terlalu bahagia akan penuturan sederhana suaminya. Pria itu memang tidak pandai berkata-kata, juga sama sekali tidak berpengalaman soal cinta. Tapi setiap tindakan pria itu sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan betapa berharganya Jo Eun Hee. Gadis itu ingin menghabiskan sisa hidupnya bersama Jongin, bersama pria yang mencintainya dengan cara abnormal. Dan dia sama abnormalnya, dia tidak akan menyangkal hal itu.

3 days later

Jongin’ Mansion, Seoul

“Aku pulang.” Jongin baru saja pulang hari itu. Selusin maid langsung menyambutnya dengan hormat. Dia berjalan ke arah Eun Hee yang juga tengah memandang ke arahnya dari ruang tengah. Kemeja pria itu sudah kusut, dasi yang diikat rapi kini ditariknya dengan asal, sementara dua kancing teratas kemejanya dibiarkan terbuka. Jongin berjalan semakin dekat ke arah Eun Hee seraya menggulung lengan sikunya dan gadis itu hanya bisa meneguk susah payah salivanya. Sebisa mungkin tidak meneteskan liur.

Jongin memberikan kecupan ringan di kedua pipi Eun Hee, menarik gadis itu untuk duduk sementara dia meletakkan kepalanya di pangkuan istrinya. Tempat favoritnya, tempat dimana dia bisa berasa benar-benar pulang.

Pria itu memiringkan tubuhnya, menenggelamkan kepalanya di perut Eun Hee dan bernapas di sana. Pria itu mengernyit merasakan tonjolan di perut Eun Hee, tapi toh dia tidak berkomentar. Pria itu kelewat bahagia bisa bertemu lagi dengan istrinya, dan dia tidak akan membiarkan hal-hal remeh seperti ketidaknyamanannya merusak suasana itu.

“Kau lelah?” Tanya Eun Hee yang belum sepenuhnya tersadar karena terlalu terpesona.

“Hmm..” Gumam pria itu tanpa berpindah posisi. Eun Hee mengangguk paham, melarikan jari-jarinya di surai hitam suaminya.

Mirae yang tadinya sedang menemani Eun Hee menonton TV segera menyingkir. Kadar kedengkiannya bisa meningkat pada titik maksimum jika sudah melihat kemesraan pasangan itu. Dia lebih baik menghindari pemandangan yang berpotensi merusak matanya.

“Jong..sebaiknya kau bersihkan dirimu lalu kita bisa makan bersama. Apa yang ingin kau makan?”

Jongin bangkit dari posisinya, mendekatkan bibirnya di telinga Eun Hee seraya berbisik seduktif.

“I want to eat you.” Sontak kedua pipi Eun Hee merona merah. Ini bahkan masih sore hari dan Kim Jongin sudah menggodanya seperti ini. Jongin terkekeh mengusap pipi Eun Hee yang memanas. “Kau mudah sekali merona. Aku menyukainya. Dan ngomong-ngomong apa yang tidak aku sukai darimu?” Pria itu sedikit menjauhkan wajahnya, menatap lekat Eun Hee seperti biasa.

“Kau tahu? Kau perayu yang handal.”

“Benarkah? Aku bahkan sama sekali tidak berpengalaman soal cinta.”

“Untuk seseorang yang belum berpengalaman soal cinta, aksimu terbilang cukup bagus.” Jongin mengernyitkan dahinya mendengar perkataan Eun Hee, sementara gadis itu ingin sekali memukul mulutnya yang sudah sembarangan berbicara.

“Aksi?”

“Ya..aksi maksudku. Ah sudahlah..sebaiknya kau segera mandi, eoh?” Eun Hee bergumam tak jelas, mengatakan apa saja dengan salah tingkah. Gadis itu tak tahan dengan tatapan intens Jongin padanya.

“Cukup bagus, Kim Eun Hee?” Pria itu melontarkan smirk andalannya, berdiri dengan segera dari sana.

“Lemme show you how good I am. No no.. Lemme remind you how good I am.” Dan Jongin tidak membuang waktu lebih lama lagi untuk membuat Eun Hee berada dalam gendongannya. Orang-orang di sana buru-buru memalingkan wajah, kelewat malu untuk melihat apa yang dilakukan tuan mereka. Jongin dan Eun Hee benar-benar pasangan yang tidak pernah terpuaskan akan diri masing-masing.

**

Cahaya jingga membanjir di ufuk barat langit sore itu. Sementara cahaya matahari sore menelusup masuk ke kamar itu, memberikan efek panas sekaligus menyilaukan. Eun Hee terbangun, merasakan ranjang di sisi tempat tidurnya sudah kosong. Gadis itu buru-buru memunguti pakaiannya di lantai, memakainya dengan segera. Perutnya terasa tidak nyaman, efek Jongin yang “menerkamnya” tanpa jeda. Dia mengabaikan rasa tidak nyaman di perutnya saat mendengar gemericik suara air dari kamar mandi. Eun Hee memutuskan untuk membuka pintu kamar mandi dan segera meletakkan sebelah tangannya di depan mulut. Menahan teriakannya yang memalukan.

Kim Jongin tengah berdiri membelakanginya, dengan keran air yang mengucur deras membasahi tubuhnya. Punggung pria itu tidak tertutup apapun, pun begitu dengan bagian tubuhnya yang lain. Eun Hee sudah akan berbalik saat suara berat dan dalam itu memanggilnya, menahannya seperti orang tolol disana.

“Kau mau ke mana? Ke mari.” Jongin sudah membalikkan badannya, memanggil Eun Hee dengan lembut. Sementara gadis itu menggigit pipi bagian dalamnya, menunduk sedalam mungkin agar tidak melihat ke arah tubuh polos pria itu. Jongin justru semakin mendekat, menarik lengan gadis itu, dan sedikit mengangkat tubuhnya agar duduk di bath tub yang kering. Kim Jongin jelas tidak berbelas kasih pada Eun Hee. Tubuh polosnya saja sudah benar-benar membuat kinerja jantungnya seperti diremas dan dilepas lagi untuk berdetak dengan kencang. Dan sekarang pria itu menuntunnya untuk duduk berhadap-hadapan dengan tubuh saling menempel di atas bath tub.

“Aku ingin meminta sedikit bantuanmu.”

“B-bantuan?” Eun Hee berbicara dengan tergagap. Begitu pusing dengan efek yang ditimbulkan pria itu. Jongin terkekeh, terlalu sopan untuk tidak terbahak mendapati ekspresi berlebihan istrinya. Eun Hee masih saja menunduk begitu dalam, menghindari kontak mata dengannya. Kedua pipi gadis itu memerah dan gadis itu dengan ajaibnya terlihat begitu…cantik. Bahwa kegugupannya sama sekali tidak mengurangi kadar kecantikannya.

“Shaving, Mrs Kim.” Jongin mengambil alat cukurnya, menyerahkannya dengan segera pada Eun Hee.

Gadis itu menerimanya dengan tangan gemetaran, terutama saat mereka bersentuhan dan mengenai kulit tubuhnya yang tidak terbalut kain. Dia mengoleskan krim berbau mint itu di wajah Jongin, mulai mencukur dengan hati-hati, dan jantung yang benar-benar tidak mau diajak bekerjasama.

Jongin sama sekali tidak beranjak dari posisinya. Dia bahkan hampir tidak berkedip. Ditatapnya wajah Eun Hee lekat-lekat, seolah dia tidak akan pernah puas dengan wajah itu. Dan dalam berbulan-bulan yang menyiksa tanpa gadis itu, dia tidak ingin mengulanginya lagi. Dia tidak ingin berada di situasi menyiksa itu lagi.

“Jangan menatapku seperti itu, Jong.” Eun Hee berbicara seraya membilas wajah pria itu dengan air.

“Kenapa?”

“Kau membuatku…”

“Tidak nyaman? Risih atau?”

Eun Hee mendecakkan lidahnya, sedikit kesal dengan kata-kata sok tahu suaminya.

“Malu. Kau membuatku malu, tahu?” Eun Hee mencengkram perutnya yang mendadak terasa kram. Gadis itu meringis menahan sakit yang tiba-tiba datang. Jongin mengernyitkan dahinya dan cepat-cepat memakai jubah mandi tanpa mengatakan apapun lagi. Dia menggendong Eun Hee keluar dari kamar mandi, menidurkannya di ranjang mereka. Setelahnya dia mengganti pakaian Eun Hee, mengabaikan hasrat memuncaknya saat melihat tubuh polos gadis itu.

“Yoo Mirae.” Teriaknya setelah selesai memakaikan pakaian untuk Eun Hee. Gadis itu sama sekali tidak berkomentar karena saat ini perutnya terasa seperti ditusuk-tusuk.

Mirae datang dengan tergesa-gesa, dengan sebelah tangan memegang pakaian maid terkutuknya. Dia sudah berganti pakaian dengan stelan kerja resminya.

“Ada ap-”

“Panggil Kris hyung, Eun Hee sakit.” Desis Jongin tanpa mengalihkan pandangannya dari Eun Hee yang tengah meringis kesakitan. Sebelah tangan pria itu menggenggam tangan Eun Hee dan tangan yang lain mengusap pelan perut istrinya.

“Kris-ssi sedang di Kanada, jadi-”

“Panggil dokter lain.” Jongin memotong cepat perkataan Mirae. Pria itu sama sekali tidak berniat menyembunyikan kepanikannya yang meledak-ledak. Mirae sudah akan beranjak saat suara Jongin kembali menginterupsi langkahnya. “Dan pastikan dokternya adalah seorang perempuan.”

Jika saja Eun Hee tidak sedang sakit, Yoo Mirae akan dengan senang hati mencekik Kim Jongin. Dia bahkan rela dipecat setelah itu. Bekerja dengan pria seotoriter dan seposesif Jongin benar-benar menguji kesabaran sekaligus kewarasannya.

**

Seorang dokter muda nan cantik berada di mansion Jongin dua puluh menit kemudian. Dan selama dua puluh menit itu Mirae harus menerima teriakan dan sumpah serapah Jongin. Sedangkan Eun Hee hanya bisa berujar pasrah, jelas pria itu tidak bisa dibantah.

Dokter itu memilik rambut panjang yang indah dan memiliki badan tinggi menjulang bak model. Tidak seperti dokter kebanyakan, dokter muda itu mengenakan pakaian yang begitu fashionable, khas seorang fashionista. Hanya saja dia mengenakan sepatu kets, yang berbanding terbalik dengan dress yang dikenakannya.



“Bagaimana keadaannya?” Tanya Jongin saat dokter itu baru saja memegang tangan Eun Hee untuk memeriksa denyut nadinya.

“Jong..” Eun Hee berusaha memberitahu Jongin untuk tidak menganggu pekerjaan dokter itu. Tapi Kim Jongin yang keras kepala tentu tidak mau mendengarkan.

“It’s ok, Mrs Kim. Suami Anda pasti sangat mengkhawatirkan Anda.” Dokter muda itu berujar sopan, lalu mengeluarkan stetoskopnya serta beberapa peralatan lain.

“Bisa tidak cepat beritahu aku? Kau ini bekerja dengan lambat sekali, tahu.”

“Mr Kim, silahkan Anda keluar terlebih dahulu. Saya tidak bisa berkonsentrasi jika Anda terus mendesak saya.”

Di luar dugaan, dokter muda itu mengatakan kalimatnya dengan penuh penekanan, menatap nyalang pada Jongin. Sementara Mirae mengedipkan sebelah matanya pada Eun Hee seraya terkikik geli. Kim Jongin mengeraskan rahangnya, bersiap protes saat dokter itu berbicara lagi.

“Kau ingin perawatan terbaik untuk istrimu kan, Mr Kim? Jadi sebaiknya tenanglah. Aku akan melakukan tugasku dengan baik.”

Mirae tidak tahan untuk tidak mendekat ke arah Jongin, berbisik dari belakang bahu pria itu.

“Dia Lee Daeshi, lulusan Stanford juga seperti Kris. Aku suka dia.”

“Suka kepalamu! Dia menyebalkan sekali. Jika saja Eun Hee tidak sedang sakit, aku benar-benar ingin menjambak rambutnya.”

Mirae mendecakkan lidahnya mendengar jawaban khas Kim Jongin.

“Wah..kau mulai terdengar seperti psikopat.”

“Aku psikopat paling tampan kalau begitu.”

“Sesukamu lah.”

Daeshi menoleh pada kedua orang yang berbisik-bisik di belakangnya. Dan kedua orang itu kembali terdiam. Gadis itu menatap lagi Eun Hee kali ini dengan ekspresi lebih lembut.

“Kau harus banyak istirahat, Mrs Kim.” Ujarnya seraya membereskan peralatannya. Jongin segera menghambur ke arah Eun Hee, memegang tangan gadis itu lagi.

“Bagaimana keadaanya?” Pria itu bertanya tanpa mengalihkan tatapannya pada Eun Hee. Sejenak Daeshi tertegun pada cara Jongin menatap istrinya. Pria itu menatap Eun Hee dengan tatapan..memuja. Bahwa pria itu tidak akan keberatan untuk menyerahkan seluruh dunia pada gadis yang tengah dia genggam tangannya. Dan Lee Daeshi setengah mati menahan dengki.

“Miss Lee? Kau mendengarku?” Desis Jongin lagi, kali ini pria itu menatap wajah Daeshi sekilas. Lalu buru-buru menatap Eun Hee lagi.

“Errr..ya..ya.” Daeshi berdeham, mencoba menjernihkan suaranya. Dia tengah susah payah mencoba menemukan kembali pita suaranya yang seolah sempat hilang tadi. “Istri Anda baik-baik saja, Mr Kim. Hanya saja…” Daeshi menggantungkan kalimatnya sementara Jongin menunggu dengan tidak sabaran. “Well.. Kalian mungkin pasangan yang sedang di mabuk kepayang tapi sebaiknya intensitas hubungan suami istri agar dikurangi. Itu adalah penyebab Mrs Kim mengalami kram tadi. Saya yakin dr Wu sudah memperingatkan kalian sebelumnya. Jadi, sebaiknya kalian berhati-hati untuk tidak menyakiti calon bayi kalian.” Daeshi akhirnya dengan susah payah menyelesaikan kalimatnya. Berbicara dengan pemandangan yang membuatnya luar biasa iri tentu bukan hal mudah. Ketegasannya beberapa menit lalu menguap entah kemana, digantikan dirinya yang gugup. Tapi dia berusaha untuk professional, memberikan penjelasan sebagaimana mestinya.

“Lihat? Dia menyusahkanmu lagi kan?” Jongin menatap nanar Eun Hee, kedua mata pria itu menggelap seolah dia begitu marah.

“Aku baik-“

“Jangan pernah mengatakan kau baik-baik saja, Kim Eun Hee!”

“Well…sebaiknya intensitas pertengakaran kalian juga dikurangi. Ibu hamil yang stress akan berpengaruh pada cal-“

“Get out now!” Perkataan Daeshi dipotong cepat oleh Jongin. Pria itu mendadak menampakkan aura dinginnya yang mengerikan, Eun Hee menatap ngeri suaminya.

Mirae yang tanggap segera menarik Daeshi masuk. Tidak baik bila dokter cantik itu dilibatkan terlalu jauh pada kehidupan Eun Hee dan Jongin.

Daeshi menuruti tarikan tangan Mirae dan menutup pintu ruangan itu dengan cepat lalu menyumpah serapah sekenanya. Dia bosan bersikap manis sedari tadi, terutama di depan Jongin. Pria itu memang luar biasa tampan, terlihat tidak manusiawi tapi perubahaan mood-nya benar-benar membuat emosinya meledak-ledak.

“Damn it! Damn! Who is he? Bertindak seenaknya sendiri, menyebalkan sekali.” Umpatnya saat sudah berada di lantai bawah mansion Jongin. Mirae menepuk punggung Daeshi untuk menenangkan.

“Dia pemilik Kim Industries jika kau lupa. Asetnya ada di 32 negara di seluruh dunia. Perkebunan anggur, hotel, mall, jaringan telekomunikasi dan-“ Mirae menghentikan kalimatnya saat Daeshi hanya mengangakan mulutnya. Berbanding dengan keanggunannya beberapa saat lalu, kali ini gadis itu justru terlihat bodoh. Fakta bahwa Kim Jongin begitu tampan masih mengagetkannya dan sekarang Mirae menyebutkan asset-aset pria itu yang membuatnya hampir terkena serangan jantung ringan. Jongin memang sialan yang luar biasa tampan dan kaya raya, dia harus mengakui hal itu.

“Kau serius?” ujarnya hampir memekik.

“Dia bisa bersikap seenaknya karena memang dia sekaya itu Miss Lee, atau aku harus memanggilmu Mrs Oh ? “ Mirae mengerling jahil dan Daeshi segera merona mendapati panggilan Mirae untuknya. Gadis itu mengubah topik pembicaraan, menghindari obrolan soal Jongin yang juga membuat kepalanya nyeri.

“Aku dan Oh Sehun tidak ada hubungan apa-apa sungguh. Ya..maksudku.. aku memang tergila-gila dengannya tapi kau tahu kan? Dia itu pria dingin, menyebalkan, seenaknya sendiri, bodoh dan-“

“Luar biasa tampan dan mempesona sampai kau bahkan masih saja memilih sendiri karena masih menunggunya, geutji ? “

Daeshi mengangguk cepat sebagai jawaban. Tidak ada gunanya dia menyangkal ucapan calon kakak iparnya. Lee Daeshi adalah adik kandung Lee Donghae, kekasih Yoo Mirae. Dan Mirae kelewat mengenal Daeshi sampai gadis itu tak mampu menyembunyikan satu halpun darinya.

“Diam sajalah. Terlalu memalukan untuk membahas Oh Sehun, benar-benar melukai harga diriku. Tapi, ngomong-ngomong kenapa kau bisa betah sekali bekerja di sini? Kim Jongin itu seperti monster yang mengerikan. Sungguh! “

“Dia memang seperti itu. “ Mirae mengangkat bahu tak acuh sebagai jawaban. “Aku tidak bisa ke mana-mana. Kau tahulah Donghae oppa mu itu memaksaku untuk tetap bekerja di sini. Dia memintaku untuk memastikan kebahagiaan pasangan itu. “

“Kebahagiaanmu saja belum jelas kenapa memikirkan kebahagiaan orang lain ? “ Daeshi terkikik geli lalu berjalan meninggalkan Mirae sedangkan Mirae menahan diri untuk tidak memukul kepala calon adik iparnya.

“Yak Lee Daeshi ! Setidaknya aku punya Donghae. Cepat kejar Oh Sehun-mu itu, kecuali kau ingin menjadi perawan tua ! “ Teriak Mirae tanpa belas kasih. Daeshi sudah akan berbalik untuk balik mengumpat Mirae saat teriakan Jongin kembali terdengar. Yoo Mirae nampaknya harus kembali mengganti pakaiannya dengan pakaian maid terkutuk itu lagi.

**

Shouldice Hospital, Thornhill, Canada

Kris duduk dengan setumpuk dokumen mengenai pasien-pasien di meja kerjanya. Konsentrasinya benar-benar hilang saat dia baru saja mengetahui bahwa istrinya bertemu dengan Kyuhyun di rumah itu. Seorang teman mengatakan hal itu, dia tidak yakin dengan sebutan teman. Sebab saat ini saja dia sudah lupa siapa nama orang itu. Informasi yang didapatnya benar-benar membuat hatinya seperti ditusuk-tusuk. Bahwa dia -orang yang Kris lupakan namanya– melihat Na Ra tengah berbincang akrab dengan Kyuhyun, dan Kris Wu yang hanya seorang manusia biasa tentu saja merasa cemburu. Perasaan paling manusiawi yang sebenarnya amat sangat dibencinya. Dia terlihat begitu kekanakan saat cemburu, hal yang benar-benar melukai harga dirinya di depan Na Ra, orang yang hampir tidak pernah menunjukkan rasa cemburunya. Sialnya dia kini tengah berada di Thornhill yang jauhnya ribuan mil dari Seoul. Pria itu tidak bisa melakukan apa-apa sebagai bentuk kekesalan, dan dia membencinya. Lebih pada dirinya sendiri.

Jantung pria itu hampir saja melompat ke luar saat seseorang membuka pintu ruang kerjanya, tanpa mengetuk seperti biasa. Atau mungkin dia saja yang menulikan diri.

“Kau tidak bisa ya mengetuk pintu lebih dahulu?” Ujarnya kesal pada seorang pria berkulit putih bak porselen di depannya.

“Aku sudah mengetuk pintu, hyung. Lima kali dan kau tidak meresponnya.” Sehun mempoutkan bibirnya, meletakkan amplop berwarna cokelat di depan Kris dengan kesal. “Kau kenapa, hyung? Sedang bertengkar dengan noona?”

“Tidak.” Kris menjawab cepat, kelewat cepat hingga membuat Sehun menampilkan smirknya. Dia tahu betul bahwa pria di depannya tengah berbohong.

“Ya Tuhan, hyung. Harus berapa kali aku mengatakannya. Jika ini soal Cho Kyu-”

“Jangan sebut namanya!” Kris mendesis pelan, dengan rahang terkatup rapat. Pria itu bisa semarah ini jika sudah menyangkut Cho Kyuhyun. Sehun menutup mulutnya dengan segera, mendadak kesal karena dia selalu jadi sasaran kemarahan orang-orang. “Ya ya..baiklah maksudku pria itu. Kau ini posesif sekali. Noona tidak akan menceraikanmu karena mantan kekasihnya itu. Jika dia berniat kembali pada pria itu, dia tidak akan mau menikahimu. Kau pikir pria gila mana yang akan mengajak menikah gadis yang baru 48 hari dikenalnya? Kecuali jika gadis yang menerimamu sama gilanya.” Sehun tersenyum miring mengingat kisah dua sejoli itu. Senyum yang mengindikasikan betapa irinya dia.

“Shut up, Oh Sehun.”

“Why? Aku benar kan? Hyung, Na Ra noona memang seperti itu, kau tahulah..dia terlihat dingin, tidak berperasaan, dan kadang kau pasti bertanya-tanya dia itu manusia atau bukan?” Kris mengangguk sebagai jawaban, meletakkan semua dokumen kerjanya dan memberikan seluruh atensinya pada Sehun. “Tapi dia mencintaimu, hyung. Mati-matian. Aku bahkan tidak yakin jika cintanya pada Kyuhyun hyung ada seperempat bagian saja dari cintanya padamu.”

“Tapi dia bertemu dengannya kemarin malam, dan kau tidak tahu betapa perhatiannya Na Ra pada pria itu.” Sehun terkejut dengan nada bicara Kris yang berubah. Diam-diam psikiater muda itu tersenyum, merasa berhasil sudah membuat Kris mengatakan isi hatinya.

“Terserah kau saja, hyung. Kau kan juga tidak melihatnya. Jangan begitu saja percaya pada apa yang hanya kau dengar. Kau seharusnya lebih mempercayai i

Show more