2015-05-31



Requested by Queen

Ziajung’s storyline©

Cast: Kim Jong-In | Choi Jun-Hee

Genre: Romance, Drama, Hurt, Angst

—————————————

Chapter 1

Memangnya kenapa? Apa yang Jongin harapkan dari pertemuan ini?

***

[“Mworago? Kau gila, ya?!”

Angin panas di bulan September, yang menusuk kulit gadis berumur dua puluh tahun itu. semakin meresap sampai tulang ketika laki-laki di hadapannya berkata dengan nada yang ia benci. Tapi gadis itu hanya menunduk, melupakan tubuhnya yang tiba-tiba menggigil. Kedua tangannya menggenggam tali tas selempang yang ia bawa. Ia berharap setelah ini ada badai salju yang bisa sekalian membekukan tubuhnya ini.

“Ya, tanpa kau berkata seperti itu, aku tetap menjadi pacarmu!”

“Masalahnya bukan itu…” dengan suara yang seperti bisikkan, gadis itu akhirnya menjawab. “Aku hanya tidak bisa jika harus bertahan dengan keadaan seperti ini.”

“Bagaimana kau yakin itu karenaku?!”

Setelah mengucapkan kalimat yang manis, laki-laki ini kembali menyiramnya dengan air dingin. Meski tidak bermaksud begitu, ucapannya tadi sudah menggores hatinya sampai sisi terdalam. Bukankah itu namanya pelecehan?

“Kalau begitu, kita akhiri saja.”

“Ya, Choi Junhee.”

“Aku membencimu, Kim Jongin.”]

“Kim Jongin!”

“Hyeong!”

“Jongin Hyeong!”

Kim Jongin, laki-laki berusia 27 tahun itu, mengerjap saat merasakan pipinya ditampar sesuatu. Ia mengusap pipinya yang sakit dan menoleh. Laki-laki yang duduk di sebelahnya menatapnya jengkel dengan satu gulungan kerta di tangannya. Jongin sadar sekarang kalau dirinya sedang berada di dalam studio musik bersama seorang penyanyi-yang-sebentar-lagi-akan-debut. Tapi ia tidak bisa mengingat apa alasan pikirannya melayang ke masa lalu.

“Wae?” tanya Jongin.

Laki-laki itu mendesah. “Jadi bagaimana lirik laguku?”

Ah, benar! Ini gara-gara lirik lagu yang dibuat bocah ini. Entah dia yang terlalu jenius apa mempunyai indra keenam hingga bisa membaca masa lalu Jongin, lirik yang ditulis laki-laki ini untuk lagu debutnya seolah menggambarkan keadaannya sekarang. Penuh penyesalan dan tanda tanya.

Jongin membaca lirik itu lagi dengan sekilas. Ia takut jika terlalu mendalami, maka ia akan kembali memutar ingatannya. Di antara banyak mantan pacarnya, kenapa ia harus mengingat yang satu itu. Lagipula tidak ada yang spesial dalam hubungan mereka saat itu. Hanya… pacaran biasa, atas dasar rasa suka sama suka.

“Menurutku lumayan. Tapi coba perbaiki di bagian reff dan koda-nya. Kata-katanya kurang dalam.”

Sebenarnya lirik itu bagus-bagus saja, hanya saja memuji hasil karya seorang amatir macam Yoo Seungwoo ini—yang bahkan belum debut—bukanlah gaya Jongin. Umur Seungwoo menginjak 20 tahun ini. Waktu Jongin mengalami kejadian itu pun umurnya tidak jauh beda. Ia paham betul bagaimana penyampaian lirik ini, dan kata-katanya benar-benar gaya seorang laki-laki yang baru saja menikmati umur ke-20 nya.

Jongin yang dulu tidak pernah membayangkan kalau ia akan kembali mengingat kejadian itu. Lagipula gadis itu tiba-tiba menghilang, tanpa kabar apapun. Jongin kira pernyataan saat itu hanya karena gadis itu sedang dikuasai emosi atau sedang datang bulan. Ia pun tidak mempermasalahkan itu, dan tetap menjalani kehidupan sebagai Kim Jongin. Sampai saat ini.

“Begitu?” Yoo Seungwoo menyandarkan punggungnya ke kursi sambil melihat kembali lirik yang ia tulis. “Lalu harus bagaimana?”

“Pikirkan saja sendiri. Sudahlah, aku sangat lelah.”

Jongin bangun dari kursinya lalu memakai jaket. Tidak dipedulikan Seungwoo yang seolah tidak diterima karena sudah ia abaikan. Dengan bergumam tidak jelas, Jongin pun keluar dari studio itu.

Awal musim semi yang buruk bagi seorang produser musik macam Jongin. Saat-saat seperti ini, banyak penyanyi mendatanginya untuk meminta sebuah lagu atau hanya meminta pendapat. Biasanya penyanyi-penyanyi itu akan menyanyikan lagu cinta khas musim semi, tapi penyanyi-yang-akan-debut itu malah membuat lagu perpisahan yang menyedihkan. Sebab itulah Jongin merasa harinya ini sedikit suram.

Menjadi produser musik memang sebuah prestasi besar Jongin di umur yang bahkan belum menginjak 30. Awalnya ia adalah seorang trainee di sebuah agensi. Namun, agensi tersebut ditutup karena sang CEO menjadi tersangka pelecehan seksual kepada trainee dan beberapa artisnya. Jongin yang waktu itu putus harapan, langsung memutuskan untuk menenangkan diri dengan mendaftar wajib militer lebih awal.

Selama kurang lebih dua tahun itu Jongin merenungkan nasibnya. Ia tidak mungkin kembali bekerja sebagai pelayan kafe yang sesekali menggelar pertunjukkan di Hongdae sebagai street dancer. Segala bakatnya akan terbuang sia-sia. Setelah menyelesaikan tugasnya, Jongin pun kembali mendaftar sebagai trainee dengan harapan agensi tersebut menerimanya. Paling tidak sebagai salah satu dari back-dancer atau aktor—mungkin. Namun pada saat audisi, Jongin tidak diminta menari, malah menyanyi dengan sebuah gitar. Dan lagi-lagi Jongin ditolak.

Kemudian semua itu mengalir begitu saja. Berawal dari coba-coba membuat lagu, menyanyikannya di Hongdae, lalu seseorang menawarinya untuk bergabung pada sebuah rumah produksi sebagai songwriter. Dan sekarang, ini adalah tahun ketiga karir Jongin sebagai produser musik yang cukup terkenal di industri musik RnB dan ballad Korea.

Jongin mematikan alarm mobilnya sebelum membuka pintu mobil. Sebenarnya, tidak ada janji penting hari ini, hingga membuatnya harus repot-repot datang ke studio. Ia hanya merasa tidak enak pada Yoo Seungwoo. Bocah laki-laki itu sudah dianggap Jongin sebagai adiknya sendiri. Belum lagi ia akan debut nanti, dengan lagu buatannya sendiri. Sudah pasti Jongin harus mendukungnya. Setidaknya dengan memberikannya beberapa masukkan. Namun tiba-tiba mood-nya hilang begitu membaca lirik yang Seungwoo buat.

Jongin mulai menjalankan mobilnya. Ia harus berbelanja bahan makanan hari ini. Meski hidup sendiri, ibunya terkadang suka datang untuk inspeksi mendadak. Beliau akan berkeliling apartemen Jongin, mengoceh pada asisten rumah tangga Jongin—yang jelas-jelas tidak ada di sana, dan berakhir dengan memeriksa isi kulkas Jongin. Setelah sukses begini, ibu Jongin malah bertambah khawatir dengan kesehatan anaknya. Pikirnya, Jongin mungkin akan sibuk bekerja hingga lupa makan—atau malah kebanyakan makan junk food. Seperti ayah Jongin, sebelum akhirnya meninggal karena penyakit jantungnya.

Jongin memilih supermarket dekat gedung apartemennya karena ia sedang tidak ingin pergi kemana pun setelah ini. Setelah memarkirkan mobilnya, ia berjalan dengan malas ke dalam supermarket. Sosok Jongin kali ini lebih mirip disebut sebagai duda yang baru saja ditinggal kabur istrinya. Lihat saja. Di saat orang-orang datang bersama pasangan atau keluarganya, Jongin malah sendirian mendorong troli. Hah… bodohnya dia karena sudah datang ke supermarket di hari Minggu.

Jongin berjalan menuju rak bahan makanan kering. Ia memang bisa memasak, tapi tidak lebih baik dari omelet, bubur, dan pasta. Jadi ia memasukkan banyak jenis pasta ke troli-nya, lengkap dengan dua bungkus sausnya. Terkadang, jika malas sedang mendera tubuhnya, Jongin tidak mau repot-repot membuat saus pasta atau bahkan memanaskannya. Cukup dengan menuang saus pasta dingin itu ke atas pasta yang baru saja ditiriskan.

Setelah itu, Jongin mengambil beberapa seafood dan beberapa pak daging. Awalnya Jongin ingin melewati begitu saja bagian sayuran, namun ia tiba-tiba teringat omelan ibunya tentang pentingnya sayuran dan buah dan bla bla bla. Ia pun hanya memasukkan satu bungkus wortel, kentang, dan bayam ungu. Buah pun hanya sekilo apel merah, dua pak stroberi, pisang, dan anggur. Ia termasuk orang-orang yang anti dengan buah dan sayur. Anggap saja semua yang ia beli ini hanya sebagai pencitraan untuk ibunya.

“Stroberi? Biasanya kau selalu membeli yang mix-berries.”

Jongin mematung di depan pendingin berisi krim tawar. Tangannya yang sudah menggapai satu pak besar krim tawar, tidak bisa ditariknya kembali. Ia akui, mood-nya benar-benar buruk setelah bertemu dengan Seungwoo tadi. Bahkan sampai harus mengingat masa lalunya. Masalahnya, apa efek itu masih terjadi? Kenapa ia malah mendengar suara yang familiar itu sekarang?

“Eoh, arraseo. Satu untuk Yongmi, dan dua untukmu.”

Akhirnya, Jongin tidak tahan untuk tidak menoleh. Namun tepat saat itu, wanita yang berdiri tidak jauh darinya—yang Jongin yakini sebagai pemilik suara itu—sudah membalikkan tubuhnya. Wanita itu mendorong trolinya menjauh dari Jongin, dengan masih memunggungi Jongin. Punggung itu sepertinya tidak asing bagi Jongin. Hanya saja ia merasa tubuh itu terlihat sedikit kurus dan… tinggi. Ah! Efek high heels hitam itu ternyata. Rambutnya terlihat lebih pendek dari sosok yang sekarang Jongin bayangkan di otaknya.

Jongin kembali ke alam sadar ketika wanita itu berbelok dan menghilang di antara rak-rak. Ini semakin buruk! Ia tidak menyangka akan mengingat masa lalunya bertubi-tubi seperti ini. Bahkan sampai mengira wanita itu adalah seseorang dari masa lalunya—hanya karena mereka memiliki punggung dan suara yang sama. Sepertinya Jongin memang harus cepat-cepat pulang ke apartemennya, berendam di air hangat dengan aroma lavender, lalu minum coklat panas, sebelum akhirnya pergi tidur. Ya. Itu adalah rencana yang bagus.

Jongin pun menyelesaikan waktu berbelanjanya lebih cepat. Tidak ada waktu untuk melihat-lihat snack kesukaannya atau membeli soju untuk persediaan sebulan. Setelah mengambil deterjen dan pembersih kloset, ia pun segera menuju kasir. Semakin lama dia di sini, semakin banyak pula wanita yang akan dijadikannya sebagai sosok penggambaran masa lalunya. Oke, akan bagus kalau itu wanita lajang yang masih muda. Namun, itu juga akan menimbulkan masalah baru jika ternyata wanita itu datang bersama suaminya.

Kesialan Jongin bertambah saat melihat antrian di setiap kasir sangatlah panjang. Teriihat paling sedikit ada lima troli yang mengantri di setiap konter kasir. Jongin mendesah, tapi toh tetap mendorong trolinya ke salah satu barisan. Melihat seorang ibu yang berdiri di barisan depan membawa troli berisi penuh belanjaan, Jongin menggerutu dalam hati. Tidak bisakah ia mendapatkan harinya ini dengan mudah? Ia hanya ingin beristirahat di apartemennya.

Jongin menengadahkan lehernya untuk mendesah sekali lagi sekaligus meregangkan otot lehernya yang kaku. Matanya kemudian menatap sekitar, mencari sesuatu yang bisa membuatnya sedikit lebih baik. Paling tidak, keluar dari rasa bosan yang terus mengutuk ini. Dan, well, keberuntungan Jongin mulai kembali. Karena matanya menangkap seorang wanita yang tengah mengantri di barisan kasir, di sebelahnya.

Troli wanita itu penuh barang belanjaan, tapi entah kenapa Jongin tidak menggerutu. Wanita itu menggerakkan kakinya yang kelihatan mulai pegal karena mengenakan high heels lima senti. Rambut coklatnya jatuh indah di atas bahunya yang terbalut kemeja putih. Penampilan yang sangat biasa, namun bisa membuat Kim Jongin tidak mampu mengalihkan pandangannya.

Oke, bukan masalah itu. Karena alasan Jongin tidak berhenti menatap wanita itu adalah, wanita itu sangat mirip dengan mantan pacarnya. Jongin menyipitkan matanya, berharap bisa menemukan sesuatu yang ia cari. Tapi tepat Jongin menyipitkan matanya, wanita itu menoleh.

Jongin panik, dan cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Dua detik kemudian, Jongin kembali memutar kepalanya untuk melihat wanita itu, yang ternyata belum juga mengalihkan pandangannya dari Jongin. Sejenak, Jongin mengutuk dirinya. Mungkin dia akan dituduh sebagai orang mesum.

Wanita itu tersenyum, dan saat itu juga ketakutan Jongin akan dituduh sebagai orang mesum sirna. Ia tidak salah. Wanita itu memang orang yang dikenal dan mengenalnya.

“Choi Junhee.”

***

“Jadi… bagaimana kabarmu?”

“Hm, baik.”

Mungkin karena mereka sudah tidak bertemu selama hampir tujuh tahun, Jongin merasa sedikit gugup berbicara dengan wanita ini. Tidak seperti terakhir Jongin lihat, Choi Junhee yang sekarang jauh lebih dewasa dan… cantik. Oke, bukan berarti wajah wanita ini penuh keriput atau semacamnya. Hanya saja senyum yang Junhee berikan mempunyai aura yang berbeda.

Sekarang mereka tengah duduk di sebuah kafe, di sebelah supermarket. Jongin yang mengajaknya. Meski belum memikirkan motifnya, Jongin sangat ingin berbicara dengan Junhee lagi. Akhirnya, setelah Jongin selesai membayar (untung saja Jongin duluan yang selesai), laki-laki itu menunggu Junhee lalu mengajaknya minum kopi di kafe dengan alasan reuni.

“K-Kau tinggal di dekat sini?”

“Tidak. Aku baru saja membuka kedai jus di daerah sini. Jadi… ya… sekalian saja.”

Jongin hanya mengangguk. Alunan musik romantis di kafe ini membuat kadar gugupnya bertambah. Belum lagi dengan ucapan Junhee yang terdengar tenang itu. Junhee yang Jongin kenal dulu selalu bertingkah manis dan lembut padanya. Terlihat sekilas memang tidak tampak perbedaannya. Tapi Jongin benar-benar merasa jika Junhee berbeda.

“Oh, ya?”

Junhee mengangguk.

Melihat jawaban Junhee, Jongin tiba-tiba saja meneguk Latte-nya cepat-cepat. Ia tidak bisa lagi menahan perasaannya. Biasanya Jongin tidak begini, sekalipun ia bertemu dengan orang baru. Pekerjaannya yang membuat Jongin banyak berinteraksi dengan banyak orang, apalagi para artis. Keinginan yang berbeda harus ia penuhi, tapi tetap mempertahankan ciri khasnya. Sikap tenang dan cerdas selalu Jongin pegang, meski ia tidak bisa menamatkan sarjananya. Tapi sekarang, kenapa Jongin merasa dirinya ini bukanlah Kim Jongin yang seperti itu? Ia bagaikan seorang pecudang kelas teri.

“Bagaimana kabarmu?” kini giliran Junhee yang bertanya.

“Ya… beginilah. Aku bekerja sebagai produser musik sekarang.” Jongin menggaruk pipinya.

“Benarkah? Hebat sekali.”

Lalu hening. Junhee sesekali melirik ponselnya, entah mengecek kotak masuk pesan atau apalah itu. Sebenarnya, tadi Jongin berharap reaksi Junhee lebih dari ini. Masih ingat jelas bagaimana Junhee dulu selalu bereaksi berlebihan saat Jongin menggapai apa yang ia inginkan—termasuk saat Jongin memenangkan kompetisi street dance yang hadiahnya tidak seberapa. Sekarang hanya mata Junhee yang berbicara. Di dalam hati, Jongin bertanya-tanya apa yang terjadi pada wanita ini selama tujuh tahun ini.

“Ah, Jongin-ssi.”

“Ne!”

Jongin mengangkat kepalanya cepat—antara kaget karena Junhee memanggilnya setelah keheningan yang cukup lama, dan merasa ganjil karena suara itu memanggilnya dengan embel-embel ssi. Dan Jongin baru menyadari, kalau sedaritadi memang Junhee menggunakan bahasa formal padanya. Tidak ada ‘oppa’ atau paling tidak ucapan “aku merindukanmu”. Padahal, walaupun Junhee lebih tua lima bulan darinya, Jongin merasa tidak keberatan saat dia memanggil oppa.

“Aku harus segera pulang. Maaf tidak bisa mengobrol lebih lama lagi.” Junhee bangun dari kursinya dan membawa kantong belanjaan yang ada di kursi sebelahnya.

Jongin ikut berdiri. “Ah, tidak. Justru aku yang harus memintaa maaf karena sudah menahanmu.”

“An—“

Ponsel Junhee berbunyi. Wanita itu pun memberi tanda dengan sebelah tangannya agar Jongin menunggu. Junhee terlihat begitu kesulitan dengan satu tangan memegang ponsel sedangkan yang satunya menenteng banyak kantong plastik belanjaan. Jongin ingin menolong, tapi Junhee sudah meminta izin untuk segera pergi dari sana masih sambil menempelkan ponsel ke telinganya.

Jongin terus menatap punggung wanita itu sampai keluar dari kafe. Saat Junhee benar-benar tidak tertangkap matanya, Jongin seperti baru saja disiram air es. Ia merasa bodoh! Ya, bodoh, karena tidak meminta nomor ponsel atau kartu nama Junhee tadi. Ah… kalau begini sia-sia saja pertemuan mereka.

Lalu Jongin terdiam.

Memangnya kenapa? Apa yang Jongin harapkan dari pertemuan ini? Kenapa ia merasa begitu frustasi saat mengingat ia lupa meminta nomor ponsel Junhee?

Jongin memegang dadanya. Tidak mungkin kan perasaan itu muncul lagi?

***

“Jongin-a, kau yang mengurus lagu untuk comeback Cherry, ya?”

“Hm.”

“Wah, aku penasaran bagaimana sense seorang Kim Jongin dalam lagu-lagu penuh aegyo…”

Park Chanyeol langsung mengatupkan bibirnya saat mata Jongin mendelik penuh hujaman. Jus apel yang tengah ia minum rasanya tersangkut di kerongkongan dan yang sudah masuk ke perutnya pun bergejolak minta dikeluarkan. Laki-laki di depannya ini adalah juniornya—meski Chanyeol bekerja hanya sebagai salah satu staff produksi, tapi kenapa ia harus merasa takut?

Saat Jongin mengalihkan pandangannya ke arah kertas yang dipegangnya lagi, Chanyeol langsung menyedot jus apelnya cepat-cepat sampai berbunyi ‘sluurp’. Terus seperti itu sampai habis dan suara yang dihasilkan makhluk planet dimensi 3 itu semakin aneh. Jongin menghela nafas, lalu sekarang memaksakan diri untuk memutar kursinya. Ditatapnya Chanyeol dengan lelah namun memiliki makna seperti “aku ingin kau keluar sekarang juga atau kujadikan makanan ikan”.

Chanyeol menggerakkan matanya, masih dengan menyedot jus apel yang sudah abis itu. “Wae? Kau mau?”

“Apa yang kautawarkan?” Jongin memijit keningnya.

Chanyeol mengangkat gelas plastik jusnya, lalu nyengir sendiri saat tahu jusnya sudah habis. “Mian.”

“Sudahlah,” ucap Jongin pada akhirnya. Ya, setidaknya ia bisa berkonsentrasi sekarang karena Chanyeol tidak menghasilkan suara-suara aneh lagi. “Hyeong, apa Cherry sudah datang?”

“Oh, oh, aku lupa mengatakannya. Mereka akan telat beberapa menit karena presdir mereka ya… kau tahu… semacam inspeksi mendadak, dan mereka ketahuan.”

Jongin mendesah dan kembali memutar kursinya. Jongin bukan orang yang rewel dengan masalah ketepatan waktu. Entahlah, sejak semalam ia menjadi uring-uringan begini. Tidur pun tidak nyenyak. Semacam ada yang mengganggunya namun ia sendiri tidak tahu apa itu.

“Ya, kau kenapa? Mau kubelikan jus?”

“Terserah kau. Ah, sudahlah, bisakah kau keluar sekarang?”

Chanyeol mencibir tanpa suara tapi toh berdiri juga dari sofa merah di sana. Jongin memang selalu menjadi orang yang menyebalkan saat bad-mood. Dan orang atau apapun yang membuat Jongin seperti ini, benar-benar Chanyeol kutuk habis-habisan. Padahal Chanyeol sedang bahagia sekarang. Langit cerah—meski sedikit hawa dingin masih terasa, bangun dengan seorang gadis yang ia cintai di sebelahnya, sarapan enak, dan mendapat diskon di kedai jus yang baru dibuka—di dekat kantor ini. Tadinya Chanyeol ingin mengajak Jongin minum di sana. Anggap saja sebagai ucapan selamat karena mendapat projek besar dari girl-group yang baru debut beberapa bulan lalu itu. Biasanya kan Jongin selalu mendapat bagian lagu-lagu untuk solois atau boy-group dengan lagu manly dan lirik yang dalam. Mungkin saja Jongin butuh asupan semangat.

Tapi melihat Jongin seperti ini… Chanyeol berpikir, lebih baik ia mentraktir pacarnya daripada laki-laki ini.

“Arraseo, arraseo. Selamat bekerja, Produser Kim.”

Tak lama setelah Chanyeol keluar, pintu studio Jongin kembali terbuka. Seorang laki-laki dengan kacamata dan baju polo masuk sambil membawa sebuah tas dan beberapa kertas di tangannya. Jongin segera memutar kursinya lalu menghela nafas. Laki-laki itu membungkuk berkali-kali pada Jongin atas keterlambatannya sambil menahan pintu untuk lima orang gadis yang masuk secara bergantian. Kelima gadis itu dan laki-laki tadi berdiri di hadapan Jongin, sebelum akhirnya Jongin mempersilahkan mereka duduk di sofa merah itu.

“Geurae,” Jongin menghela nafas. Ia pun menggeser satu bundel kertas di meja, di hadapan kelima orang gadis yang duduk di sana. “Ini masih setengah jadi. Aku minta pendapat kalian.”

Jongin adalah produser yang selalu mengkombinasikan keinginannya dan klien. Ia tidak mau klien kecewa, juga tidak mau membuat dirinya tidak puas. Jadi, sebelum lagu itu memasuki tahap akhir dan rekaman, ia selalu menyuruh klien datang dan meminta pendapatnya. Asal tahu saja, Jongin tidak suka membahas hal pekerjaan selain di studionya.

Gadis yang berada di tengah, yang berambut pirang sendiri, mengambil bundelan itu dan membukanya lembar demi lembar. Wajah mereka terlihat penasaran dan kemudian berganti menjadi takjub dengan hasil kerja Jongin. Bukan hanya sebagai produser musik, Jongin juga dipercaya membuat konsep untuk MV-nya. ini termasuk salah satu projek besar Jongin. Untuk itu ia tidak mau mengecewakan.

“Sunbaenim, ini benar-benar keren!” ucap gadis yang duduk di sebelah kanan si Pirang. Kalau Jongin tidak salah ingat, namanya adalah Haru (well, biasanya Jongin malas untuk menghapal nama setiap anggota group yang menjadi kliennya. Karena ini adalah girl-group yang datang padanya, mau tidak mau ia harus mengecualikan).

“Aku suka konsepnya. Manis namun tidak berlebihan.” Si Pirang kini yang berkata.

Izzi (yang menurut Jongin memiliki nama panggung yang paling aneh), mengangguk setuju. “Ne! Wah… liriknya juga keren.”

Jongin tersenyum puas. Ia mengkombinasikan konsep imut penuh aegyo girl-group ini serta sentuhan maskulinnya. Liriknya berisi cerita tentang seorang gadis yang mengetahui kalau pacarnya adalah seorang playboy. Ada bagian menyentuh juga ada bagian penuh sarkastik yang menyindir laki-laki itu.

“Joha, kita akan memakainya. Dan Manajer-nim,” Jongin menoleh pada sang Manajer yang membungkuk untuk ikut melihat konsep lagu.

“N-Ne?” manajer itu langsung menegakkan tubuhnya.

“Hubungi presdir-mu. Aku ingin berbicara lebih lanjut tentang hal ini.”

“Y-Ya. Aku mengerti.”

“Sunbae, kenapa kau tidak membalas pesanku.”

Semua mata langsung tertuju pada gadis yang duduk di sofa paling kanan. Rambut gadis itu dicat merah marun, sangat kontras dengan wajahnya yang sangat putih. Di antara kelima gadis itu, Jongin akui, memang dia yang paling cantik. Itulah alasan kenapa Jongin mau-mau saja memberikan nomor ponselnya. Ia tidak menyangka kalau gadis itu akan mengiriminya puluhan pesan setiap hari, bahkan terkadang meneleponnya. Apa wajah cantik itu tidak cukup menarik perhatian para idol di luar sana, sampai-sampai dia meneror Jongin seperti ini.

“Aku sedang sibuk mengurusi album kalian. Apa kau tidak tahu?” jawab Jongin dingin.

“Tapi tetap saja…” Ahra memanyunkan bibirnya. “Setidaknya beritahu aku apa yang sedang kaulakukan.”

Kalau kujawab, kau tidak akan berhenti dengan menanyakan hal itu, kan? Jongin menjawab dalam hati. Ia tidak mungkin mengatakan itu, terlebih ada anggota lain dan manajernya di sini. Bisa-bisa imej Jongin rusak, dan mereka tidak jadi memakai jasanya. Jongin pun melirik manajer Cherry, seolah memintanya untuk menangani Ahra.

“Maafkan aku. Aku sudah mengatakan untuk jangan menggunakan ponsel, tapi mereka tetap menggunakannya secara sembunyi-sembunyi.” Ucap Manajer itu sambil membungkuk.

Sebenarnya bukan itu masalha Jongin. Mau mereka menggunakan ponsel 12 jam sehari pun bukan masalah Jongin. Ia hanya disuruh membuat lagu dan mengurus tetek bengeknya. Bukan mengurusi hal-hal seperti berapa kalori yang mereka makan setiap hari. Jongin hanya menghela nafas dan mengibaskan tangannya, menyuruh manajer itu berhenti bersikap seperti itu.

“Lebih baik kalian jaga imej kalian. Aku tidak tahu beberapa banyak mata yang mengawasi pendatang baru seperti kalian. Asal tahu saja, aku ini bukan sembarang produser.”

Sekali-kali Jongin ingin menyombongkan diri. Lagipula dia masih muda, tidak ada salahnya merasa populer di kalangan idol. Ada puluhan nama idol wanita di kontaknya, belum lagi beberapa model kenalannya. Anggota macam Ahra memang harus diperingatkan. Bukan karena mereka sudah menjadi idol—apalagi dengan wajah cantik begitu—membuat mereka bisa seenaknya menggoda para laki-laki. Mereka belum tahu saja kejamnya kata-kata netizen saat menghujat mereka nanti.

Ahra menundukkan wajahnya. Begitu juga dengan keempat anggota yang lain. Jujur saja, Ahra memang tertarik pada Jongin. Terlebih ia masih muda dan berbakat. Bukan masalah wajah yang tampan, Ahra sudah sering melihat sunbae-sunbae yang jauh lebih tampan di belakang panggung. Ia suka karisma Jongin. Dan tanpa sadar, itu membuatnya bertingkah berlebihan hanya untuk menarik perhatian Jongin.

“Kalian boleh keluar, aku harus menyelesaikan ini. Maaf karena sudah membuat kalian datang hanya karena masalah sepele.”

***

Meski udara sudah menghangat, Jongin masih tetap harus merapatkan jaketnya saat angin berhembus. Ia sengaja meninggalkan mobilnya di lapangan parkir kantor dan pulang dengan menaiki subway. Kepenatan di studio membuatnya ingin melepaskan aktivitasnya sejenak. Berjalan-jalan di pedestrian menuju stasiun subway sepertinya tidak buruk. Belum lagi ditemani jajaran pohon-yang-entah-apa-namanya-itu yang mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan musim semi.

Baru 100 meter Jongin melangkah, ia pun berhenti. Selintas ia ingat perkataan Chanyeol tentang kedai jus yang baru buka di dekat kantor. Ah, benar. Minum jus sambil berjalan-jalan terdengar bagus juga. Jongin memutar kepalanya, menatap sekeliling sambil mencari bentuk bangunan yang terlihat seperti kedai jus. Matanya pun menangkap sebuah papan yang terpajang di depan sebuah toko.

June’s Juice.

Jongin tersenyum lalu menyebrang jalan. Di setiap langkahnya, ia menimbang jus buah apa yang pantas dinikmati pada saat-saat seperti ini. Apel? Atau mungkin yang sedikit berat seperti alpukat?

Bunyi bel kecil di atas pintu berbunyi saat Jongin membuka pintunya. Kedai—atau mungkin Jongin sebut kafe—sangat minimalis namun nyaman. Ada beberapa kursi dan meja di dalam. Mungkin karena masih baru dan juga sudah hampir malam, kafe ini lumayan sepi. Hanya ada sepasang laki-laki dan wanita yang duduk berhadapan di sebuah meja dekat jendela.

“Eoseo ose—Jongin-ssi?”

Jongin, yang tengah memperhatikan interior kafe mungil ini, mengalihkan pandangan dan menatap wanita yang berdiri di belakang meja konter. Choi Junhee di sana, dengan sebuah celemek berwarna merah apel bertuliskan June’s Juice di balik kemeja biru laut yang ia kenakan. Rambut panjangnya ia kuncir ekor kuda, membuat wajahnya nampak jelas. Jongin tidak tahu bagaimana ekspresinya saat ini, tapi yang pasti sekarang ia sudah benar-benar berhadapan dengan Junhee di meja konter.

“Jadi… ini tokomu?”

“Ne.”

Jongin menunjuk ke arah pintu dengan mata masih fokus ke Junhee. “Studio tempatku bekerja tidak jauh dari sini.”

“Jinjjayo? Wah, kebetulan sekali.”

Jongin sendiri tidak tahu harus menyebut ini apa. Jujur saja ia senang bertemu dengan Junhee, tapi ia juga sedikit terganggu dengan reaksi tubuhnya. Ia tidak bisa menjadi Kim Jongin yang tenang, apalagi saat menghadapi klien yang bawelnya minta ampun. Di depan Junhee, Jongin memikirkan banyak hal namun tidak ada satu pun kata yang keluar. Mulutnya kaku dan wajahnya hanya bisa memasang sebuah senyuman. Ia hanya berharap Junhee tidak salah mengartikan ini.

“Oh, iya, kau mau minum sesuatu? Tenang saja, aku traktir kali ini.” Junhee memberikan sebuah wink pada Jongin, membuat darah laki-laki itu berdesir sampai otaknya.

“Baiklah. Guava Juice tanpa gula.”

“Tunggulah di sana. Aku akan membuatkan yang paling nikmat.”

Jongin tersenyum, lalu berjalan ke salah satu meja yang disediakan dengan sebelumnya mengambil selembar brosur yang terdapat di meja konter. Tiba-tiba ia ingin sekali membantu Junhee. Paling tidak dengan mempromosikan tempat ini. Ia pun akhirnya mengambil beberapa foto sudut-sudut kafe dan brosur yang diambilnya tadi, lalu meng-upload-nya ke akun SNS. Tidak lupa ia menuliskan kata-kata menarik dan penuh pujian atas tempat ini.

Pengikut SNS-nya memang tidak sebanyak akun resmi Cherry atau idol lainnya. Tapi respon tulisan atau foto yang Jongin terbitkan cukup bagus. Bahkan beberapa ada yang terang-terangan mengaku kagum pada Jongin.

Lima menit kemudian, Junhee datang dengan segelas Guava Juice dan dua iris cake—yang Jongin tebak itu Cheese Cake dan Red Velvet. Junhee sudah melepaskan celemek merah itu dan sekarang hanya memakai kemeja biru dengan bawahan celana jeans. Ia meletakkan semua itu di meja Jongin sebelum duduk di hadapan laki-laki itu. Kafe juga sudah sepi, jadi Junhee bisa sedikit tenang. Sebenarnya memang dari pagi kafe ini masih sepi, tapi ya… cukup bagus bagi pemula.

“Maaf, belum banyak menu yang kubuat. Cake itu juga aku beli di toko roti dekat sini.”

Jongin menggoyangkan sebelah tangannya. “Tidak, tidak. Justru aku yang meminta maaf karena kau jadi mentraktirku padahal ini hari pertamamu.”

Junhee tersenyum, ia pun menopangkan dagunya dengan sebelah tangan. “Bagaimana harimu?”

Detak jantung Jongin bekerja lebih cepat. Suasana seperti ini memang sangat mendukung. Junhee yang tersenyum, suasana hangat dengan alunan suara lembut Yoo Heeyeol, aroma Red Velvet yang bercampur dengan aroma Cheese Cake dan Guava Juice, serta ucapan Junhee yang membuat Jongin terbayang masa lalu. Mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang tidak pernah terpisah jarak dan waktu. Tanpa sadar, wajah Jongin mengeluarkan semburat merahnya, saat membayangkan hal itu benar-benar terjadi.

“Y-Ya… cukup baik. Aku menemui beberapa klienku hari ini.”

Jongin menyadari kalau kata-kata yang ia keluarkan sangat aneh, namun ia tidak bisa berbuat apapun. Mengatakan itu saja membuat Jongin harus menahan nafas. Ini gila! Ini jauh lebih gila dari tujuh tahun yang lalu. Dan Jongin tidak mengerti apa penyebabnya.

“Aku tidak tahu kau seterkenal itu.”

“Lumayan. Ngomong-ngomong jus buatanmu sangat enak.” Jongin mencoba untuk mencari topik baru. Ia tidak terlalu suka membicarakan pekerjaan selain di studio. Untungnya Junhee mengerti. Wanita itu tersenyum dengan rona merah di pipinya sambil mengucapkan terima kasih.

“Eomma!”

Suara cempreng itu terdengar bersamaan dengan dentingan kecil dari pintu. Junhee dan Jongin sama-sama menoleh. Lain dengan Junhee yang tersenyum lebar lalu bangun dari duduknya untuk meraih gadis kecil berambut pendek itu. Pipi gadis kecil itu merona merah—persis Junhee tadi, dan senyumnya itu membuat matanya hanya tinggal segaris. Saat Junhee memeluknya, gadis kecil itu langsung menggesekkan pipinya ke pipi Junhee.

“Aigu, aigu, bagaimana bimbelmu?”

Pertanyaan Junhee itu membuat Jongin tersadar. Ah… ternyata bukan hanya dirinya yang ditanya seperti itu. Ia sudah besar kepala. Junhee mungkin menanyakan hal itu pada semua orang yang ia kenal setiap kali memulai pembicaraan.

Gadis kecil itu menjauhkan pipinya. “Sangat hebat! Ryu Seonsaengnim sangat baik, ia juga menyuruhku berteman dengan semua teman yang ada di sana.”

Bunyi bel kecil kembali berbunyi. “Ya, Seyeon-a, kau melupakan tasmu!”

Seorang laki-laki dengan rambut dicat putih masuk dan mengulurkan sebuah tas punggung berwarna merah muda pada gadis kecil itu. Gadis kecil itu—yang bernama Seyeon—menoleh lalu memamerkan sederet giginya pada laki-laki itu. Laki-laki itu menghela nafas saat Seyeon mengambil tas itu. Jongin menelisik dari tempatnya. Apa hubungan dua orang ini dengan Junhee? Belum lagi sepertinya laki-laki ini orang kaya. Lihat saja pakaiannya yang begitu rapi dengan setelan jas formal walaupun wajahnya konyol.

“Oppa, mian, aku jadi merepotkanmu.”

“Gwaenchanha. Lagipula pekerjaanku tidak terlalu banyak.”

Jongin mulai merasa tidak dianggap. Kedua orang itu asik berbincang-bincang. Sesekali mereka juga melakukan skinship kecil, yang membuat Jongin menyuap cake-nya besar-besar sampai tersedak. Dan kemudian, gadis-kecil-bernama-Seyeon itu menatapnya. Mata bulat dengan lipatan ganda tipis itu menatap Jongin dengan tatapan menyelidik. Mulai dari rambut Jongin sampai tangan Jongin yang menggenggam gelas jus. Ia pun kemudian menarik-narik ujung kemeja Junhee.

“Eomma… dia siapa?”

Jongin merasa tiba-tiba perutnya bergejolak saat mendengar kata “eomma” dari mulut anak itu. Bukankah itu berarti anak ini adalah anak Junhee, dan itu sama artinya dengan Junhee yang sudah menikah. Jongin melirik laki-laki berambut putih itu dengan ujung matanya. Apa dia suami Junhee? Kenapa mereka terlihat cocok sekali?!

Junhee menoleh lalu tersenyum. Ia pun membungkuk untuk menyamakan tingginya dengan Seyeon. “Panggil saja dia Jongin Samchon.”

***

Kemarin, Jongin manganggap itu adalah hari tersialnya.

Setelah Junhee memperkenalkannya pada seorang anak-yang-memanggil-Junhee-dengan-sebutan-ibu, tiba0-tiba saja Jongin ingin muntah. Ia pun memohon izin di tengah pembicaraan sambil mengeluarkan uang dari dompetnya. Ia sama sekali lupa kalau Junhee mentraktirnya. Setelah itu ia keluar dari kafe tanpa menoleh ke belakang—ke arah keluarga bahagia itu, menyebrang jalan, kembali ke parkiran kantornya, lalu mengendari mobilnya dan pulang ke rumah. Hari sudah gelap. Pikir Jongin tidak ada gunanya lagi menikmati pohon-pohon yang mulai bersemi. Apalagi perutnya yang tengah bergejolak itu.

Dan sekarang ia merasa sangat bodoh mengingat hal itu. Apa yang mendasarinya untuk kabur dengan tidak sopan seperti itu? Memangnya ada yang salah jika Junhee bahagia? Ya… walaupun itu artinya bersama laki-laki lain.

Jongin menghabiskan waktunya lebih lama di studio, hari ini. Ia menyibukkan diri dengan pembuatan album Cherry sebagai pengalihan. Sekarang yang tersisa hanya proses rekaman dan pembuatan MV. Entah bekerja segila apa Jongin hari ini. Ia hanya ingat, ia bangun pukul lima pagi karena tidak bisa tidur, sarapan seadanya, dan pergi ke kantor mendahului siapapun—bahkan cleaning service.

Jongin juga meninggalkan mobilnya di parkir basement gedung apartemennya. Ia berangkat pagi-pagi dengan bus, dan berganti bus sebanyak dua kali. Jongin melirik jam tangannya, sudah pukul delapan malam. Ia mungkin lebih memilih subway daripada bus yang berdesak-desakkan. Oke, subway memang tidak lebih baik. Namun paling tidak, Jongin tidak harus berganti bus untuk sampai ke apartemennya.

Lagi-lagi Jongin harus melewati pedestrian dekat kafe Junhee. Lampunya masih menyala, mungkin belum tutup. Dengan pertimbangan berat, akhirnya Jongin menyebrang jalan juga. Ia berdiri di jendela kafe Junhee cukup lama, memperhatikan keadaan di dalam. Kafe sudah sepi, hanya Junhee, laki-laki berambut putih itu, dan Seyeon yang sibuk membersihkan gelas dan meja-meja. Junhee terus tertawa pada laki-laki itu. Junhee memiliki selera humor yang tinggi, jadi tidak heran jika ia mudah tertawa seperti itu. Namun rasanya ada yang aneh saat melihat Junhee tertawa bukan karenanya.

Jongin memberanikan diri untuk membuka pintu kafe itu.

“Maaf, tapi kami—eoh, Jongin-ssi.”

“Jongin Samchon!”

Jongin memaksakan senyum pada ketiga orang di sana. Seyeon tampak senang melihat kehadirannya. Ia mengangkat lap di tangannya tinggi-tinggi sambil melambaikannya pada Jongin. Laki-laki berambut putih itu hanya mengulaskan senyum tipis, dan memilih untuk melanjutkan pekerjaannya.

“Apa Samchon mau membantu juga seperti aku dan Hongki Samchon?”

Jongin mengeryitkan dahinya. “Siapa?”

Seyeon menunjuk Lee Hongki yang duduk di sebuah meja sambil mengelap gelas-gelas. “Hongki Samchon.”

Jadi, dia bukan ayah Seyeon?

“Jongin-ssi.”

Jongin menoleh. Junhee sekarang sudah ada di hadapannya. Tatapannya sendu dan kemudian wanita itu menghela nafas panjang.

“Bisa kita bicara?”

Tanpa bisa memikirkan apa yang akan Junhee katakan atau kenyataan buruk apa yang akan Jongin terima, laki-laki itu pun hanya mengangguk. Menyetujui permintaan Junhee.

–TBC-

————————————————–

Thanks for reading^^

Ps: maaf kalo judulnya gak mecing xD

See ya ^^고맙다

Regards: Ziajung (exoinjune.wordpress.com)

Filed under: Drama, Hurt, romance Tagged: juniel, kai

Show more