2015-05-21

Arlene’s present



0101

“Being in love, addiction, Amour obsessed.”

.

Main cast :

Oh Sehun – Ilana Kim – Kai Kim

.

Supported cast :

Luhan Müller – Alena Kim,

Kris Wu, Suho Kim, Kim Minseok,

and others.

.

Romance, Hurt/Comfort, Life, Psychology, AU

.

PG

.

— http://arleenepark.wordpress.com —

Disclaimer : Big thanks to @WhitePingu95 for your briliant’s basic idea, Dear. Love yaa~ Well, I absolutely own the plot, but the cast or places is still belong to God, their agency, and their ownership. Walau ada bumbu real, cerita ini tetep terhitung fiktif karena berkembang sesuai imajinasiku sendiri.

Hope you’ll enjoy the story guys. Love youu^^

wc : 5.220w

-0-

Previous chapter :

Amour Obsessed [1] | Addiction [2] | How it All Began [3] | Your Warm (Body) Heart [4] | Amore or Amour? [5] | Burned [NOW]

“Ketika emosi membakar jiwa, kelapangan hati pun memudar digantikan kungkungan sang labirin hitam.”

“Ka-Kai?” Ilana mengerjap sekali, membiarkan lapisan kaca-kaca bening yang sedari tadi menghalangi pandangannya meluruh bersama rasa sakit. Dadanya terasa sesak ditikam ketakutannya sendiri. Menyisakan kelembaban penuh luka yang tak terjamah mata telanjang manusia di kedua pipi pualamnya. Ini pertama kalinya Kai membuat Ilana menangis. Sejak awal gadis ini memang sudah menduga bahwa pengakuannya ini akan melukai hati sahabatnya tersebut, namun apa yang sekarang terjadi sungguhlah di luar ekspektasinya. Entah monster macam apa yang telah menguasai tubuh tegap di hadapannya. Yang jelas … “Kau bukan Kai. Kembalikan Kai-ku yang dulu.”

Kai tertawa sumbang mendengar rengekan Ilana. “Lalu seperti apa Kai-mu itu, hah?” balas pria ini dengan nada rendahnya. Manik cokelat Kai tampak semakin kelam. Cahayanya redup digantikan bara emosi yang kini membakar setiap engsel tubuhnya. “Seperti apa, Ilana?” desak Kai masih dengan nada yang sama. Tangannya mulai menghabisi penghias meja satu per satu. Melemparnya asal, lalu tergelak begitu melihat kepingannya yang berserakan di permukaan keramik. “Apa kurangnya aku selama ini? Kenapa begitu mudah untuknya, tapi tidak untukku?”

Ilana berdiri, hendak menghentikan pergerakan Kai dengan satu pelukannya. Namun secara tiba-tiba Sehun menarik pergelangannya. Mendorongnya kuat-kuat hingga melewati daun pintu, lalu berujar penuh emosi, “Tunggu di mobil!” Setelahnya, tanpa menunggu balasan apa pun dari kekasihnya, Sehun mengunci pintu. Menutup sepenuhnya akses masuk bagi Ilana. Pria ini nyaris melompat dari tempatnya ketika mendengar erangan frustasi Kai di balik punggungnya. Disusul bunyi pecahan kaca yang lebih memekakkan dari sebelumnya. Beruntung sekali ruangan yang keduanya huni sekarang dilapisi Healtywool. Tidak hanya berfungsi untuk meredam panas, tapi juga meredam suara yang tercipta dalam ruangan ini.

Sehun menoleh dan mendesis melihat betapa kacaunya Kai saat ini. Meja yang semula dihias begitu cantik kini tampak berantakan, bahkan nyaris hancur karena Kai baru saja mematahkan salah satu kaki mejanya. Belum lagi kursi yang bergeser paksa karena tendangan brutal Kai. Satu yang Sehun tahu saat ini hanyalah … Kai begitu terobsesi pada Ilana.

“Apa kau pikir dengan begini dapat merubah keadaan?” tanya Sehun retoris setibanya di tengah ruangan. Menyisakan jarak kurang dari satu meter dengan pria berkulit tan yang mungkin telah menyiapkan beribu makian khusus untuknya. “Jika kau benar-benar mencintai Ilana, tidak seharusnya kau seperti ini. Kau membuatnya takut, Kai.” Sehun melepaskan segala formalitas yang selama ini membatasinya dengan Kai karena dirinya sadar ini bukan lagi perbincangan sesama partner kerja seperti yang biasa keduanya lakukan.

Kai menoleh, mengambil dua langkah lebar sebelum akhirnya menyarangkan satu tangannya yang terkepal ke sisi kanan wajah Sehun. Gelak tawanya mengalun puas setelah melihat Sehun jatuh tersungkur di bawah kakinya. “Aku hanya meminta bantuanmu menyelidiki kasus kematian Suho Kim, bukannya memacari anaknya seperti ini, brengsek!” Kai kembali melayangkan beberapa tinjunya secara asal. Menyisakan cukup banyak luka lebam di wajah Sehun yang tampak semakin pucat karena menahan sakit. “Ini bahkan tidak ada apa-apanya dibanding rasa sakitku.” Terakhir, Kai mengalihkan pukulannya ke perut Sehun. Membuat lawannya tersebut terbatuk spontan dan memuntahkan cairan kental berwarna merah yang sebagian besar mendarat di kemeja putih Kai.

“Kenapa tidak melawan, hah?” Kai menepuk pipi kanan Sehun dengan tangannya yang terluka. Bercak darah mulai mengering di telapaknya tersebut.

Sehun tersenyum sinis sembari menyeka sudut bibirnya yang terluka. Susah payah pria ini menekan pasokan katanya keluar. “Aku masih menghargaimu. Kau telah menjaga Ilana-ku dengan baik selama ini,” ucapnya kemudian.

Sekali lagi, Kai menyarangkan tinjunya di perut Sehun. “DIA BUKAN MILIKMU!”

“TAPI DIA KEKASIHKU!”

“DIA MILIKKU!” Kai kalap. Ia bangkit dan menekankan dasar stiletto-nya ke perut Sehun. Tidak terlalu kuat, tapi lebih dari cukup untuk membuat pria di bawah kuasanya itu mengerang kesakitan. “Kenapa harus Ilana? Kenapa harus gadis yang kuinginkan selama ini?” Tubuh tegap Kai merosot menyapa dinginnya lantai. “Aku tidak bohong setiap kali aku mengatakan bahwa aku mencintainya. Dua puluh tahun lebih aku mengenalnya, berkorban untuknya, berusaha menjadi pria yang hebat di matanya.”

Sehun terperangah melihat tetes air mata yang tertahan di sudut mata Kai. Ia berniat untuk duduk, tapi perutnya masih terlalu sakit akibat ulah Kai beberapa detik lalu. Karena itulah dirinya hanya mampu diam terkapar sambil mendengarkan setiap penuturan Kai dengan khidmat.

“Sejak orangtuaku meninggal, Suho Kim mengambil alih hak asuhku lalu membawaku ke rumahnya. Saat itu Ilana-lah orang pertama yang mampu menerimaku. Kami terbiasa berbagi luka dan kebahagiaan sejak kecil.” Kai menatap Sehun lurus-lurus. “Kau tahu? Kata pertama yang kuhafal ketika les bahasa Perancis adalah Amour. Kata romantis yang langsung mengingatkanku pada Ilana. Dia yang usianya tiga tahun lebih muda dariku selalu marah tiap kali aku memanggilnya Amour. Dia bilang kami masih terlalu kecil untuk berpacaran, karena itulah aku menyimpannya selama bertahun-tahun.” Ia tertawa selama beberapa saat. “Tadi pagi aku kembali memanggilnya Amour untuk pertama kali dan … dia tertawa. Kupikir dia mulai menerimaku, tapi sialnya waktu memang tidak pernah memberiku kesempatan.”

“Aku mencintainya, Kai.”

“AKU JAUH LEBIH MENCINTAINYA, SIALAN!” umpat Kai. “Tak ada yang boleh merebutnya dariku. Tidak kau, tidak pula pria brengsek yang hampir menikahinya di luar pengawasanku!” Pria bermarga Kim ini tampak menerawang, mengingat masa lalu. Di mana Kris dengan seenak hatinya mengirim Kai terbang ke Indonesia demi mengurus salah satu hotel Ritz-Carlton di Ibukota negara yang kaya dengan hasil rempah-rempahnya tersebut. Menjadikan nilai saham perusahaan keluarga mereka sebagai alasan untuk memisahkannya jauh dari Ilana selama hampir satu tahun. Tahu-tahu ketika dirinya kembali ke Jerman, gadisnya itu sudah berubah menjadi sosok baru yang asing. Kai sendiri tidak pernah tahu pria macam apa yang telah menyakiti Ilana. Tak menampik, ia merasa hal tersebut adalah keberuntungannya. Paling tidak sampai setengah jam lalu, sebelum ia tahu Ilana-nya kembali menyerah pada pria lain dan bukan-pada-dirinya. “Apa kau sudah mendapat gambaran tentang pelaku pembunuhannya?”

Sehun terhenyak. Irisnya memicing kala membalas tatapan Kai. “Kenapa kau begitu yakin bahwa ini kasus pembunuhan?” serangnya cepat, penuh kecurigaan. Sadar bahwa Kai tak berniat menanggapi, Sehun pun kembali menambahkan, “Atau jangan-jangan kau sendiri sudah tahu kronologi kematian Mr. Kim yang sebenarnya?”

“Kalau iya kenapa? Mr. Kim memang dibunuh dan aku tahu benar itu.”

“Siapa pembunuhnya? Kalau kau tahu kenapa harus repot-repot meminta bantuan kami?”

Kai mendengus. “Kenapa aku harus repot-repot menjelaskannya padamu?”

“Aku akan melaporkan hal ini pada ketua tim-ku!” balas Sehun. Merasa dipermainkan membuatnya terbawa emosi rupanya.

“Terserah. Tapi apa kau tidak ingin menemukan kebenarannya? Kurasa kau akan terkejut setelah mengetahui kebenaran di balik kombinasi angka nol satu nol satu,” ucap Kai tenang sembari mengangkat kedua bahunya, lalu tak lama kemudian mencibir pasti ke arah Sehun. “Lakukan tugasmu dengan baik dan beri aku kesempatan untuk memiliki Ilana seutuhnya. Kurasa aku harus mengukir jejakku dengan cara yang lain, seperti mengambil mahkota kekasihmu itu misalnya.”

“Shit! Jaga ucapanmu, brengsek!” Entah mendapat kekuatan dari mana, Sehun yang terkapar pun bangkit berdiri dan menyerang Kai secara bertubi-tubi. Pria ini baru berhenti ketika mendengar Kai tertawa sumbang dalam siksaannya. Kediaman Sehun ini lantas dimanfaatkan Kai. Dibalasnya pukulan demi pukulan yang kini menyisakan beberapa luka lebam di wajahnya. Sama seperti sebelumnya, Kai mengakhiri aksi brutalnya dengan satu injakan di perut Sehun. “Loser! (Pecundang!)” maki Sehun di tengah fokusnya yang mulai mengabur.

“Ilana milikku dan selamanya akan tetap jadi milikku. Ingat itu baik-baik!” Kai lekas membawa langkah tergesanya menuju pintu keluar, membuka kunci, lalu terperangah begitu tahu raut cemas Ilana menjadi yang pertama menyapanya.

“Ada apa dengan wajahmu, Kai?” Ilana mencoba menyentuh lebam di wajah Kai dengan tangannya yang bergetar, namun urung begitu Kai memalingkan pandangannya ke arah lain.

“Kekasihmu terluka lebih parah dariku. Kau urus saja dia!” balas Kai ketus.

Dari tempatnya saat ini, Sehun mengiringi kepergian Kai melalui ekor mata. Satu tangannya tampak sibuk menyeka sudut bibirnya yang terluka, sementara tangannya yang lain sibuk menekan perutnya yang bergolak mual dan nyeri di saat bersamaan. Ia menggeleng kuat-kuat sembari terpejam ketika pening hebat melanda kepalanya. Susah payah pria ini memertahankan kesadarannya yang tersisa selagi pusat sarafnya bekerja. Mencoba mencari makna di balik sederet kalimat yang disuap Kai ke dalam indera pendengarnya, namun nihil. Satu-satunya yang dapat ia cerna dengan baik hanyalah langkah kaki Ilana yang terdengar semakin dekat.

“Se-Sehun.” Ilana menarik lembut kepala Sehun ke dalam pangkuannya. Jemari lentiknya merangkak perlahan, menelusuri memar dan luka yang menyamarkan ketampanan kekasihnya tersebut. “I’m so sorry. Harusnya tadi kau tidak mengusirku keluar agar aku dapat melerai kalian,” imbuh gadis ini.

Sehun memaksakan seulas senyum tipisnya. Dari nada suaranya saja, Sehun sudah tahu bahwa Ilana tengah berusaha menahan isakannya. Kedua matanya sudah memerah dan sedikit bengkak. Semakin memudahkan Sehun untuk menyadari fakta bahwa gadis itu tak hentinya menangis sedari tadi. “Jika aku membiarkanmu di sini, bisa-bisa wajahmu juga ikut memar seperti kami.”

“Tidak masalah. Sememar-memarnya wajahku tidak akan mampu menandingi rasa sakit di hati Kai. Aku melukainya, Sehun. Aku menyakitinya lagi. Seandainya bisa aku ingin sekali membalas perasaannya. Aku ingin … Sangat-sangat ingin … Tapi hatiku tidak mau diajak bekerja sama.”

“Jangan berkata begitu. Kumohon.” Sehun menyeka air mata yang berkumpul di sudut mata Ilana. “Itu menyakitiku, Ilana.”



Luhan menggeleng gemas melihat kegiatan Alena. Meski tidak melihat secara langsung –karena posisi Alena yang memunggunginya-, Luhan tetap dapat merasakan betapa kepayahannya wanita itu sekarang. Meski begitu, ia tetap bertahan di posisinya sembari bersedekap. Menunggu sang atasan menyelesaikan pekerjaannya tanpa berniat untuk membantu. Tadinya begitu, namun dorongan alamiah itu datang ketika netra Luhan menangkap kelimbungan tubuh Alena. Membuatnya menghampiri wanita tersebut dengan setengah berlari –tanpa sadar.

“Be careful, Miss Kim, (Hati-hati, Miss Kim,)” ucap Luhan tepat di atas daun telinga Alena. Posisinya kini berada di belakang Alena dengan satu tangan yang terangkat demi menahan sebuah kardus besar yang hampir jatuh dan menimpa tubuh wanita yang kini berada dalam rengkuhannya. Ya, satu tangan Luhan yang lain memang telah melingkari pinggang Alena. Menahan tubuh limbung gadis itu agar kembali tegap. “Bukankah di sini ada banyak karyawan lain yang bisa kau minta pertolongannya? Kau ini wanita, Lena.”

Tubuh Alena bergetar kala merasakan hembus napas Luhan yang menyapa sekitaran daun telinganya. Alena juga dapat merasakan betapa bidangnya dada Luhan yang kini menjadi sandarannya dalam jarak sedekat ini. Sekilas, keduanya tampak seperti sepasang kekasih, di mana sang pria tengah memeluk kekasihnya dari belakang. Manis sekali.

“I think I can do this by my self. (Kupikir aku bisa melakukannya sendiri.) Ini hanya kardus berisi barang-barang tidak terlalu penting yang baru saja kusortir. Para karyawan punya tugas lain yang lebih penting dibanding membantuku mengerjakan hal sepele begini,” sahut Alena sembari menjauhkan lengan Luhan dari tubuhnya. Seolah mengerti, Luhan pun mundur teratur menjauhi atasannya tersebut. “Thank you,” tambah Alena selepas memutar tubuh. Dibalasnya tatapan canggung Luhan dengan seulas senyum tipis.

“You’re welcome, stubborn lady, (Sama-sama, wanita keras kepala,)” balas Luhan dengan senyum mengejeknya. Satu tangan pria ini menelusup masuk ke dalam saku celana, sementara bahu kanannya bersandar pada sisi tembok. “Sebenarnya aku kemari mau meminta izin tidak masuk kerja. Ak—”

“Kenapa?” potong Alena, terlampau cepat. Sadar akan ekspresi terkejut yang ditunjukkan Luhan, Alena bergegas menambahkan penjelasannya. “Kau ‘kan masih baru, jadi aku tidak bisa memberimu izin terlalu lama.” Bohong. Bukan itu alasan Alena yang sesungguhnya. Wanita ini hanya tidak rela mendapati fakta bahwa dirinya tidak dapat melihat Luhan selama beberapa waktu ke depan. Oh, Tuhan! Ada apa dengan dirinya?

“Aah.” Luhan mengangguk paham. “Tidak akan lebih dari dua hari.”

“Memangnya kau mau ke mana?” tanya Alena, lagi.

Luhan terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab dengan nada jahilnya, “Melamar kekasihku. Aku sudah tidak sabar ingin segera menikah.” Alena kontan melongo yang sukses mengundang gelak tawa Luhan. “Aku hanya bercanda, Nona. Aku bahkan belum memiliki kekasih,” ralat Luhan di sela tawanya.

“Baguslah,” gumam Alena, spontan.

Kini ganti Luhan yang membulatkan mulutnya. Terkejut.

Alena yang terlambat menyadari kebodohannya pun merutuk dalam hati. Ingin menepuk mulut teledornya kuat-kuat, namun jelas hal tersebut tak mungkin ia lakukan di hadapan Luhan. Alena memutuskan untuk memamerkan cengiran jenakanya, kemudian memberi penjelasan yang setidaknya masuk akal. “Maksudku bagus itu … kau jadi bisa lebih fokus pada pekerjaanmu tanpa memikirkan masalah lain, apalagi hanya masalah percintaan.”

Luhan baru saja berniat menanggapi pernyataan Alena ketika fokusnya lebih dulu menangkap sebuah bungkusan kado yang tergeletak asal di atas meja –tak jauh dari keduanya. “Itu apa?” tanya pria ini. Benar-benar tak mengindahkan penjelasan Alena sebelumnya.

Alena mengikuti arah pandang Luhan. Senyum masam terkunci di bibirnya. Meski enggan, wanita ini merasa harus memberikan jawabannya. “Hari ini adikku ulang tahun. Tadinya itu hadiah untuknya, tapi kupikir—ah, sudahlah.”

Oh, gosh! Luhan baru ingat bahwa hari ini adalah hari ulangtahun Ilana dan tanpa dikomando turbulensinya pun bekerja, memutar sejumput ingatan manisnya bersama Ilana. Dulu … Di masa lalu.



Kai memacu Jeep-nya bak orang kesetanan. Lengangnya jalanan petang ini pun mempermudah kegilaannya. Sesekali ia menangis, kemudian tertawa. Tak lama dirinya terisak, lalu meneriakkan nama Ilana dengan nada pilunya. Berakhir dengan meningkatnya skala kilometer per jam yang ditunjukkan speedometer pada dashboard mobilnya.

Di tengah kegamangannya tersebut, Kai menoleh ke kursi penumpang yang ada di samping kirinya. Dengan satu senyum masam terkunci di bibir, ia mencoba meraih sebuah kotak beludru yang tergeletak asal di sana. Fokusnya teralih dan ia melupakan jalanan di hadapannya selama beberapa saat. Tak lama, karena dalam hitungan detik saja bumper bagian depan Jeep-nya sudah mencium kerasnya trotoar. Menghasilkan bunyi hantaman yang cukup memekakkan telinga mengingat Kai tengah memacu kuda besinya ini dalam kecepatan di atas rata-rata.

“Aw,” Kai mengerang kecil sembari mengangkat wajahnya. Sebuah luka baru terbentuk di dahinya selepas membentur kemudi. Beruntung sekali, ia masih selamat. Tak ada luka yang berarti karena ia masih memakai sabuk pengamannya. Tidak ada, kecuali luka di keningnya saat ini tentu saja.

“Damn!” maki pria berkulit tan tersebut sambil melepaskan lilitan sabuk pengamannya. Tangannya kembali menjangkau kotak beludru yang memang sudah menarik perhatiannya sejak beberapa detik lalu. Rupanya rasa sakit di hatinya telah lebih dari cukup untuk menyamarkan kesakitannya yang lain. Ia benar-benar tidak peduli pada telapak tangannya yang telah dipenuhi bercak darah, wajahnya yang sedikit memar, bahkan kini ditambah dengan luka robek di kulit dahinya.

“Kau akan menikah denganku, ‘kan?” Kai menggumam selepas membuka kotak merah kecil yang kini telah berpindah ke dalam genggamannya. “Kau hanya akan menjadi milikku, Lana! Kau … milikku!”

Tangan telaten Ilana terus bekerja. Mengoleskan obat merah pada luka di wajah Sehun, lalu mengompres beberapa memar yang membekas. Air mata masih belum jera menghujani kedua pipi Ilana yang memerah karena dua alasan. Lembab karena terlalu banyak menangis dan kedinginan karena suhu rendah yang dihadirkan sang winter.

Tepat di depannya, Sehun termangu. Pikiran dan hatinya berkhianat. Memenjarakannya dalam jeruji cemburu yang membuat pengap ulu hatinya. Ia tak rela melihat buliran kristal kekasihnya tersebut jatuh demi orang lain. “Apa reaksimu akan sama seperti ini ketika kau kehilangan aku?” Meski bukan sesuatu yang patut dibanggakan, tapi Sehun juga ingin Ilana menangis untuknya. Childish, right?

Ilana membeku. Tatapannya jatuh pada sepasang manik sewarna obsidian milik Sehun. “Jadi, kau berniat meninggalkanku juga?” ia balas bertanya. Suara soprannya masih bergetar meski tangisnya telah terhenti. “Jika kau meninggalkanku—” Ilana menurunkan tangannya dan mulai merapikan kotak obat yang sedikit berantakan karena ulahnya. “—maka aku akan benar-benar sendirian. Aku tidak bisa egois ‘kan dengan memaksa Kai tetap tinggal dan mendengar seluruh kesakitanku karena pria lain setelah aku menyakitinya berulang kali?”

“Bukan itu yang aku tanyakan, Ilana!”

Satu lenguhan panjang lolos dari bibir mungil Ilana. “Aku sudah bertekad untuk tidak menangisi pria yang menyia-nyiakanku, Sehun,” jawab gadis ini dengan tatapan sendunya yang menikam fokus pria di hadapannya. “Seandainya kau sudah berniat meninggalkanku sejak awal, kita akhiri saja semuanya. Aku tidak ingin ter—”

“Lupakan saja pertanyaanku yang tadi,” potong Sehun cepat. Diraihnya tubuh mungil Ilana. Membiarkan tangis kekasihnya itu kembali pecah dalam pelukannya. “Menangislah sepuasmu hari ini, tapi besok kau harus kembali tersenyum … untukku,” bisiknya lembut sebelum mencium puncak kepala Ilana.

“Kai …” Ilana kembali menggumamkan nama yang memenuhi kuriositasnya saat ini. “Dia juga terluka tadi. Aku tidak yakin dia mengobati lukanya. Dia harus segera mengobati luka di wajahnya agar tidak infeksi, ‘kan? Sehun … Bagaimana jika Kai benar-benar mengabaikan lukanya? Aku takut—” gadis ini menelan ludah, membasahi kerongkongannya yang tercekat. “Aku takut dia membenciku. Dia pasti membenciku, Sehun. Aku kehilangan Kai. Kenapa aku tidak bisa mencintainya saja?”

“Ilana …” Sehun mulai jengah mendengar racauan kekasihnya.

“Kalau aku mencintainya kalian takkan pernah berkelahi seperti ini. Ini salahku, Sehun. Salahku! Aku yang salah! Aku! Ak—”

“ILANA!” sentak Sehun. Kedua tangannya beralih mencengkram bahu Ilana, kemudian mendorong tubuh mungil itu menjauh. Diguncangnya tubuh mungil dalam kuasanya tersebut dengan sedikit kasar. “Apa kau menyesali hubungan kita, hah?” Sehun benar-benar tak suka mendengar kalimat demi kalimat yang dilontarkan Ilana dengan begitu mudahnya. Seolah hubungan keduanya yang belum lama terjalin bukanlah sesuatu yang patut dipertahankan.

“Bukan begitu maksudku—”

“Lalu apa? APA, ILANA?” Sehun kalap. “Kau terus saja mengatakan Kai-Kai-Kai. Kau pikir aku suka mendengarnya? Aku ini kekasihmu, Ilana! Ke-ka-sih-mu!” tekan pria ini. Menegaskan hubungan macam apa yang telah mengikat keduanya sejak pagi tadi. Sial! Belum genap dua puluh empat jam mereka berpacaran saja sudah sekacau ini.

“Kau tidak mengerti—”

“APA YANG TIDAK AKU MENGERTI, HAH?” sergah Sehun dengan segenap emosi yang menguasai. Menyerap habis seluruh keberanian gadis di hadapannya. Pria ini bergegas menurunkan nada suaranya begitu sadar bahwa Ilana-nya mulai ketakutan. “Apa yang dirasakan Kai sudah tidak layak lagi disebut cinta, Lana. Itu obsesi dan jelas sekali bahwa itu salah.”

“Aku tahu. Aku merasakannya.” Ilana tertunduk. “Dia sering membuatku ketakutan, tapi di sisi lain aku membutuhkannya. Dia begitu berarti untukku, Sehun. Dia sahabat terbaikku. Sudah kuanggap seperti kakakku sendiri,” gumam Ilana. Pelan. Sangat amat pelan.

Sehun tak tahu harus berbuat apa demi menenangkan kegelisahan Ilana. Dalam diam direngkuhnya lagi tubuh mungil gadisnya tersebut dan dipeluknya seerat mungkin. “Kau masih punya aku yang siap mendengar segala kesakitanmu, Sayang,” bisiknya halus.

“Kalau begitu jangan pernah tinggalkan aku.”

Keduanya terdiam. Saling menyalurkan kekuatan melalui sebuah pelukan hangat dalam waktu yang cukup lama, dan baru beranjak ketika matahari mulai kembali ke peraduannya. Ilana bersikeras mengambil alih kemudi karena mengkhawatirkan kondisi Sehun. Awalnya pria itu menolak, namun setelah melalui sedikit perdebatan terbentuklah satu keputusan.

Ilana hanya akan memegang kemudi sampai di apartemennya, lalu setelahnya Sehun akan kembali mengambil alih dan pulang ke apartemennya sendiri.

Sehun berjalan sedikit tertatih menuju apartemennya. Dahinya berkerut, menciptakan lipatan-lipatan yang cukup dalam begitu menyadari bahwa pintu apartemennya ini tidak lagi dalam keadaan terkunci. Atau jangan-jangan memang dirinya yang ceroboh dan lupa menguncinya saat berangkat kemarin? Didesak rasa ingin tahunya, Sehun pun lekas meraih kenop pintu. Memutarnya hingga pintu berayun terbuka, menampilkan sosok Luhan yang tengah menantinya sembari bersedekap. “Kenapa tidak bilang kau pulang malam ini?”

“Aku sudah menghubungimu, tapi nomermu sendiri yang tidak aktif,” jawab Luhan cepat. Irisnya memicing, memerhatikan penampilan Sehun. “Kau dari mana saja? Kenapa mukamu jadi hancur tak berbentuk begitu?” tanya pria ini lagi. Awalnya Luhan berniat menyambut kedatangan Sehun dengan sejuta penghinaannya, namun urung begitu melihat beberapa memar yang menghiasi tubuh rekan kerjanya ini. Kalimat-kalimat sindiran yang sudah disusunnya selama berjam-jam pun menguap tanpa jejak.

Sehun diam dan lebih memilih membawa langkah besarnya melewati Luhan, menuju kursi kayu yang menjadi pasangan meja kerjanya selama ini. Dikeluarkannya tiga keping memori yang terbungkus plastik bening dari saku kemejanya. Mengambil salah satu kepingnya untuk dihubungkan ke komputer menggunakan card reader.

Merasa diabaikan, Luhan pun mengulangi pertanyaannya dengan nada yang lebih menuntut ditambah satu kalimat baru sebagai penutupnya. “Aku bertanya padamu, Sehun!” Dengan cepat dihampirinya sosok –sok- sibuk Sehun yang tengah fokus menatap layar monitor. “Kau berkelahi? Dengan siapa? Apa ada hubungannya dengan Ilana?”

Sehun menoleh. Dibalasnya tatapan penuh intimidasi Luhan dengan malas. “Ya. Aku berkelahi dengan Kai Kim. Pria itu patut dicurigai, Lu. Dia … aneh,” ucap Sehun. Hampir saja ia memberitahu Luhan kebenaran bahwa Kai hanya memanfaatkan mereka untuk alasan yang dirinya sendiri pun tak tahu apa. Tapi tiba-tiba saja ia mengurungkan niatnya. Tak ingin bertindak gegabah, apalagi terjebak dalam alur yang diciptakan Kai selama ini.

“Kutanya sekali lagi. Apa ada hubungannya dengan Ilana?”

Satu dengusan keras disumbang Sehun ke udara. Punggungnya terkulai menyapa sandaran kursi, sementara bibirnya ia kulum kuat-kuat guna menahan emosi. Entah kenapa, ia mulai tidak suka Luhan mencampuri urusannya, terlebih mengenai Ilana –kekasihnya. Meski begitu, pria ini tetap memberikan penjelasan yang diinginkan Luhan. “Ya. Hari ini Ilana memberitahunya mengenai hubungan kami dan—”

“Hubungan … kami?” Luhan membeo, sebelum akhirnya tersadar. “Kalian sudah resmi berhubungan? Sejak kapan? Bagaimana bisa?”

“Kenapa aku harus memberitahumu?” balas Sehun –mangkel. Lelah diserang Luhan dengan pertanyaan-pertanyaan yang agaknya bersifat pribadi. “Satu yang jelas, kami berhubungan karena kami—ah, tidak. Tepatnya karena aku yang mencintainya lebih dulu. Aku belum tahu bagaimana perasaannya padaku saat ini, tapi yang jelas dia sudah resmi jadi milikku.” Sehun yang sadar bahwa Luhan telah bersiap untuk kembali menyerangnya pun lekas menambahkan, “Sekarang giliranku yang bertanya.” Sejenak, ia menghirup napas dalam, menunggu hingga rasa nyeri di perutnya lenyap. “Kenapa kau sebegini ingin tahunya?”

Luhan membeku mendengar pertanyaan terakhir Sehun. Fokusnya terpejam tak lagi berani membalas tatapan Sehun. Rahangnya terkatup rapat selagi otaknya berpikir. Menimang jawaban macam apa yang harus ia berikan saat ini. Jujur atau berbohong, mana yang harus dirinya lakukan?

“Karena aku pernah menjadi Xi Luhan,” jawaban ambigu ini terlontar begitu Luhan mendapatkan kembali nyalinya yang sempat menciut beberapa detik lalu.

“What the hell are you talking about? (Kau ini bicara apa sih?)”

“Apa Ilana sudah pernah membicarakan masa lalunya denganmu?” Luhan balas bertanya.

“Sedikit.” Sehun mencibir. Mencoba mengingat sederet kalimat yang pernah dijejalkan Ilana ke dalam gendang telinganya. “Dia pernah gagal menik—” Pria ini terhenti. Jantungnya berdetak melampaui batas normal begitu memikirkan satu praduga yang baru saja dicipta pusat syarafnya. Menyisakan satu kalimat rumpang yang tak ingin lagi ia selesaikan. “Lu.” Tangan kanan Sehun mencengkram kerah kemeja Luhan. Mulai membenci raut asing yang membingkai wajah pria di hadapannya tersebut. “Bukan kau ‘kan pria brengsek itu? Bukan kau ‘kan yang telah menyia-nyiakan kekasihku?”

Luhan diam.

“JAWAB AKU, LU!” desak Sehun, dan begitu Luhan menganggukkan kepalanya, ia pun melepaskan cengkramannya dalam sekali hentak. Sengaja membuat tubuh dalam kuasanya tadi tersungkur ke lantai. “Oh, shit! Takdir macam apa ini? Kau—” Sehun mengacak rambutnya, frustasi. “—kenapa harus kau, Luhan? Kenapa harus pria yang kukenal?”

Lagi-lagi Luhan terdiam.

“Kenapa Kai bisa tidak mengenalmu?” Sehun mencoba mengendalikan emosinya. Nada suaranya kembali normal meski tetap dibubuhi penekanan di tiap silabelnya.

Luhan mengela napas berat sesaat –sebelum memulai penjelasan panjangnya. “Kami bertemu sehari setelah Ilana kabur dari rumahnya. Kami seolah saling mengisi, hingga dalam hitungan Minggu aku memintanya menjadi … kekasihku.” Luhan berhenti sejenak. Tersenyum samar seolah menikmati raut cemburu yang ditunjukkan Sehun. “Hampir setiap hari Ilana bercerita tentang sahabatnya yang bernama Kai dan dari ceritanya tersebutlah aku tahu bahwa Kai sedang berada di—” Pria ini tampak berpikir, mencoba mengingat nama negara yang pernah disebutkan Ilana. “—Indo … nesia? Ah, ya. Indonesia.”

“Lalu rencana pernikahan … kalian?” Sehun mengutuk pertanyaan yang baru saja terlontar dari bibirnya ini. Menghadirkan rasa sesak dalam dadanya kala memikirkan fakta bahwa Ilana-nya pernah menjadi milik Luhan. Sehun-tidak-rela. Sungguh!

“Waktu itu kami hanya sepasang anak muda yang hidup jauh dari keluarga. Aku mengajaknya menikah begitu saja, tanpa sepengetahuan keluarga kami masing-masing.” Jiwa Luhan tertarik kembali ke masa lalu. Senyum masam terkunci selama beberapa saat di bibirnya. “Diam-diam aku ikut pelatihan menjadi agen rahasia. Menjadi anggota BND adalah mimpi terbesarku dan karena sebelumnya aku tercatat sebagai warga negara asing mereka mengharuskanku membuat identitas baru. Mereka juga memintaku memutuskan kontak dengan orang-orang dari masa laluku termasuk keluarga—”

“Aku tahu itu,” tukas Sehun. Ia hafal betul bagaimana sulitnya menjadi anggota tetap BND bagi mereka yang sebelumnya tidak tercatat sebagai warga negara asli Jerman. Ia tahu karena Pamannya juga mengalami hal yang sama. Lay –Pamannya itu, sampai rela mengubah kewarganegaraan serta nama aslinya demi mewujudkan impiannya menjadi anggota tetap badan intelijen yang namanya telah tersohor hingga ke negeri tetangga ini. Sehun bisa saja melakukan hal yang sama, tapi sayangnya ia belum segila itu. Terlebih mengingat betapa keras watak Ayahnya. “Jadi hanya karena hal ini kau meninggalkannya begitu saja?” gumam Sehun nyinyir. Satu sudut bibirnya yang terluka terangkat, membentuk sebuah senyum sinis –khusus untuk Luhan.

“Aku harap kau tidak mengulangi kesalahan yang sama sepertiku.”

“Aku tidak yakin,” gumam Sehun.

“Kau mencintainya, ‘kan?”

Sehun mengangguk mantap. “Tentu saja. Dia satu-satunya wanita yang mampu menyihirku dengan pesonanya, Lu. Dulu, aku tak pernah benar-benar serius menyukai wanita. Aku mendekati mereka hanya demi mengambil keuntungan dan sesekali … aku menikmati tubuh mereka sebagai bonus. Tadinya aku juga ingin melakukan hal yang sama—” Sehun terkekeh sumbang. “—mendekatinya hanya demi kelancaran penyelidikan. Tapi seperti yang kau lihat, aku justru lupa pada tujuan utamaku. Aku serius men—”

“Jika kau benar-benar mencintainya, kau tidak akan pernah menyakitinya, Sehun!”

“I hope so, but— (Aku juga berharap begitu, tapi—)”

“Kalau kau ragu berarti kau tak benar-benar mencintainya!”

Manik biru Sehun mulai menyala, dibakar emosinya sendiri. Ia benci dihakimi, terutama oleh Luhan. Pria yang bahkan tidak lebih baik darinya. Sedari tadi dirinya sudah mencoba untuk menjelaskan, tetapi Luhan terus saja menginterupsinya. Seolah sengaja tak memberinya kesempatan.

Kini, Sehun telah berada di puncak amarahnya. Setiap kata yang terlontar dari mulutnya terdengar bagaikan bom. Meledak dan penuh penekanan. “KAU TIDAK TAHU SIAPA AKU! KAU JUGA TIDAK TAHU BAGAIMANA MELELAHKANNYA HIDUPKU! TAPI BISA KUPASTIKAN AKU MENCINTAI ILANA LEBIH DARI KAU MENCINTAINYA DULU! AKU TAK PERNAH INGIN MENYAKITI ILANA SEPERTI YANG TELAH KAU LAKUKAN PADANYA DULU! KAU TIDAK TAHU APA-APA KARENA KAU HANYA SEPENGGAL DARI KISAH MASA LALU ILANA YANG SEHARUSNYA TIDAK PERNAH ADA, SIALAN!”

“Memang siapa kau sebenarnya?” desis Luhan. Keki mendengar serentetan makian yang dilayangkan Sehun padanya. Keduanya telah berdiri berhadapan dengan sorot mata yang saling menantang satu sama lain.

Sehun menyeringai, masih tenggelam dalam emosinya. “Kau ingin tahu siapa aku?” Pria ini maju selangkah, membiarkan Luhan menarik kasar kerah kemejanya seperti yang ia lakukan sebelumnya. “Aku Sehun, anak dari Williard Silverstein. Pemilik saham terbesar di Perusahaan Marriott International.”

Kuasa Luhan pada Sehun melemah hingga akhirnya terlepas sempurna. “Williard? Marriott?” Luhan tampak tak percaya. “Kau bercanda, hah?”

“Aku serius. Aku saksi nyata bagaimana Ayahku dengan rakusnya memonopoli pergerakan Ritz-Carlton. Aku tahu bagaimana brengseknya Ayahku yang telah memanfaatkan titik lemah Ritz-Carlton hanya demi keuntungannya sendiri. Aku ikut andil merusak mimpi Suho Kim, Ayah dari kekasihku saat ini.” Suara Sehun mulai melemah. Tubuh jangkungnya limbung selepas ia menutup kalimatnya. “Aku kabur dari rumah dan aku yakin tidak lama lagi orang suruhan Dad akan menemukanku. Menyeretku kembali ke dalam neraka itu.”

“Maaf. Aku tidak tahu—”

“Sudah kubilang kau itu tidak tahu apa-apa,” sela Sehun. “I swear that I really love her!(Aku bersumpah bahwa aku benar-benar mencintainya!) Aku tak pernah ingin menyakitinya, Lu. Aku membutuhkannya. Aku ingin selalu berada di sisinya.”

“Ck! Bukankah kau bilang dia bukan tipemu?”

“Jangan dibahas! Anggap saja aku tak pernah mengatakan kalimat laknat itu.” Sehun melenguh panjang, lalu menambahkan, “Aku tidak ingin melakukan hal yang sama sepertimu. Jika ada satu hal yang dapat kurubah dalam hidupku, aku tak ingin terlahir sebagai anak Williard.”

Keesokan harinya Sehun terbangun dengan rasa pegal di sekujur tubuh. Bahkan mandi air dingin pun masih belum cukup untuk membangkitkan semangatnya kembali. Susah payah pria ini menggerakkan tubuh, memaksa sepasang kaki panjangnya menghampiri Luhan yang telah jauh lebih dahulu duduk manis di meja kerja mereka. “Sudah dapat bukti baru?” tanya Sehun. Fokusnya ikut menatap ke titik yang sama seperti Luhan, namun tangan kanannya terulur ke arah yang lain. Menjangkau sebuah MacBook Apple berwarna putih yang terletak di sela rak buku.

“Belum,” jawab Luhan. Nada suaranya terdengar begitu lemah, benar-benar tak bersemangat.

Sehun mendesah kentara sebelum menjatuhkan pantatnya di kursi samping kanan Luhan. Sebuah card reader telah terpasang di salah satu port USB MacBook-nya. Dengan gesit ia pun meneruskan pekerjaan yang semalam tertunda. Memeriksa satu per satu video rekaman yang tersimpan dalam kartu memori CCTV dengan khidmat.

Hening menyelimuti Sehun dan Luhan. Cukup lama, hingga akhirnya.mereka memekik bersahutan. Disusul dengan dua nama berbeda yang keduanya lontarkan secara bersamaan.

Kai dan Kris ….

“Apa-apaan ini?” Sehun menggumam. Nada bicaranya berubah ketus. Ingatannya tertarik mundur, me-reka ulang kejadian yang kemarin ia lewatkan bersama Kai. Turbulensinya menggemakan sederet kalimat yang telah disuap Kai ke dalam gendang telinganya, memicu rasa curiga yang menuntut satu pembuktian. “Aku melihat Kai di salah satu rekaman CCTV, tertanggal tiga puluh November, pukul delapan malam lewat tiga belas menit.” Sehun menoleh enggan pada Luhan. “Bagaimana denganmu?”

Luhan mendesah berat, lalu menjawab, “Aku juga menemukan Kris di rekaman CCTV. Tanggalnya sama tapi selisih waktunya hampir satu jam dari rekaman yang kau sebutkan tadi. Pergerakannya agak sedikit mencurigakan, dia tampak tergesa menuju tangga darurat.” Pria berwajah China kental ini lantas membalas tatapan Sehun sebelum menambahkan, “Sejak awal aku bertemu Kris, dia sudah mencurigakan. Kemarin pun Kris tampak aneh ketika Kai datang mengunjunginya di Ritz-Carlton.”

Sehun menggeleng beberapa kali. Berusaha menyanggah pemikiran Luhan melalui gesture tubuhnya yang kentara. “Kris masih terikat saudara dengan Mr. Kim.”

“Memang kenapa?” Luhan tetap bersikeras dengan pendapatnya. Dimuntahkannya beberapa kalimat pendukung yang mungkin dapat membuat pertahanan Sehun melemah dan berbalik mendukungnya. “Uang bisa membuat semua orang buta, Sehun. Mungkin Kris ingin Ritz-Carlton jatuh ke tangannya—”

“Baru ‘mungkin’, ‘kan?” Sehun menyela dan membentuk tanda kutip menggunakan keempat jarinya. “Aku justru merasa Kai-lah yang ada hubungannya dengan semua ini.”

Luhan mencibir. Hembus napas kasarnya ia suap ke udara. “Jangan karena kau tidak menyukainya, lantas kau jadi menuduhnya macam-macam,” sindir pria bermarga Müller ini dengan nada yang penuh penekanan. “Kenapa kau mencurigainya? Memang dia punya motif yang kuat untuk membunuh Mr. Kim, hah?”

“Aku bukan menuduhnya sebagai seorang pembunuh—” ralat Sehun cepat, dihelanya satu napas panjang sebelum menambahkan, “—aku hanya merasa Kai ada kaitannya dengan kasus kematian Suho Kim. Begini saja. Aku ingin bertanya padamu.” Sehun berputar, mengubah posisi duduknya hingga menyamping –menghadap Luhan. “Apa kau sudah pernah memberitahunya mengenai kode nol satu nol satu, Lu?”

Sejenak, Luhan membatu. Mengingat-ingat, kemudian menggeleng pasti.

“Aku juga tidak,” Sehun kembali bersuara. “Tapi dia sudah tahu sebelum kita memberitahunya. Hebat, bukan?”

“Bisa saja dia sudah memeriksanya jauh sebelum kita, ‘kan?”

Memang sulit apabila dua pria yang sama keras kepalanya beradu argumen. Pada akhirnya hanya akan menemui titik buntu tanpa penyelesaian, kecuali jika salah satu dari mereka mengalah atau memiliki bukti yang jauh lebih kuat dibandingkan yang lainnya. Sayangnya, untuk saat ini posisi keduanya seimbang dan sama keras.

Sehun berdecak, disusul Luhan. Keduanya memutuskan untuk kembali fokus pada tugasnya masing-masing. Tampak tak ingin berdebat lebih jauh, apalagi sampai harus terbawa emosi seperti kemarin. Ah, kemarin … Sehun membatin. Ingatannya tertuju lamat-lamat pada Ilana. Membuatnya tak kuasa menahan buncahan rasa yang mendorongnya untuk segera menghubungi kekasihnya tersebut. Masih dengan fokus yang tertuju pada layar datar di hadapannya, tangan Sehun merangkak. Mencoba meraih ponsel yang sejak semalam ia abaikan. Ditekannya tombol speed dial 1 yang belum lama ini ia isi dengan nomer Ilana, dan begitu panggilan tersambung … “Guten morgen, Amore. Wie geht’s? (Selamat pagi, Sayang. Apa kabar?)”

Luhan menoleh. Haruskah sepagi ini? Ia mengeluh dalam hati. Enggan mencuri dengar lebih jauh, Luhan pun memutuskan untuk pergi ke dapur. Pria ini sedikit takut ketika menyadari segumpal rasa iri mulai menyumpal kelapangan hatinya, menghadirkan kembali penyesalan yang disimpannya selama satu tahun terakhir. Seandainya bisa, Luhan sangat ingin melakukan satu hal saat ini, yaitu … meminta maaf pada Ilana.

Kai meringis saat sengatan matahari pagi menyapa sebagian wajahnya yang dihiasi memar dan sedikit luka mengering. Langkah kakinya terukir cepat dan tergesa, ingin cepat mencari perlindungan di bawah atap Red Barn Coffee Roasters yang memang telah menjadi tujuan utamanya sejak semalam. Napas leganya pun terhembus begitu dirinya berhasil melewati pintu masuk. Iris cokelatnya berpendar, mencari sosok Minseok.

“Akhirnya kau datang juga.”

Kai menolehkan kepala menuju sumber suara. Sepasang maniknya memicing, memerhatikan penampilan pria yang baru saja memanggilnya. Rahangnya berubah keras begitu menyadari adanya perbedaan mencolok yang menyapa fokusnya. Celemek yang biasanya menutupi tubuh pria di hadapannya kini telah digantikan sebuah jaket kulit berwarna hitam. Cukup lama Kai termangu hingga kesadarannya kembali. Turbulensinya kontan bekerja, mendesak ingatan masa lalunya kembali ke permukaan. “Xiu … min? Bagaimana bisa kau ada di sini?”

– To Be Continued –

.

AUTHOR’S NOTE

Huaaa~ Sebenernya aku mau post ini hari Rabu kemarin, tapi ada aja halangannya. Udah niat fast update, 1 Minggu 2x nyatanya susah. Kalo gak akunya -sok- sibuk ya kecapean dan tidur lebih cepet. Kuharap kalian mengerti, aku juga punya kehidupan real yang sama menuntutnya buat dijalanin >_< Percaya gak? Aku bela2in ngetik ini malem2 padahal besok udah harus bangun pagi. Demi siapa? Kaliaaaan :* #eyaaaa (Kepostnya sih besok siang, sengaja aku kasih timer /? soalnya) hehe~

Sepertinya aku ngutang dulu soal kasus kematiannya SK. Aku pikir ulang keknya kecepetan kalo aku bongkar di chapter 6, jadi aku mundurin dikiiiit ke chapter 7. Sabar yaa, kan udah aku kasih clue dikit2, kalo kalian teliti pasti ngerti. Buat kalian siap2 aja yaaaa~ Kali aja bias kalian yang kukorbankan di sini (p.s : buat teman2, kakak2 dan adik2ku sekalian yang ngebiasin KaiKris, Tina a.k.a helloimsj, Kak Irnacho, Ebbah eonnie, Indah eonnie, dan Vikia yg bawelnya selalu bikin rindu, apa pun yang terjadi tetep akurin aku yaa). Dan buat kak Fika a.k.a Kak QuenssiLuhan yg kalo baca lompat2 buat nyari adegan Sehun-Ilana doang, maafin aku di sini part merekanya dikit T.T  Buat readers yg kemaren req scene Luhan-Alena tuh udah aku sempilin kaaan -dikit-. Karena emang di sini adegan manisnya dikit doang, kebanyakan yang ngamuk dan emosi. Aku gak ngerti kenapa jadinya begini T.T Padahal bikinnya udah sampe guling2 di pelukan Sehun as usually :v Mungkin efek galau gegara HP sempet error gatau kenapa *curcol* (p.s : buat Kak Putri yang kemaren nelepon aku, aaa doanya terkabul. Gak lama setelah telepon mati ponselku langsung error lho, Kak -_-) Well, ada yang penasaran sama scene terakhirnya Kai? Ada dong? What happened coba? :p

Buat semua readers yang udah ngikutin cerita ini dari awal, aku makasih banget lho. I really love you guys :* Makasih sebanyak-banyaknya karena udah berbaik hati dan sudi jadi moodbooster aku. Tiap nyolong2 cek notif dari kalian aku pasti kek orang gila senyum2 sendiri >_< Tapi maaf aku gak bisa sebut nama kalian satu per satu, maaf juga gak bisa balesin komen kalian satu per satu. Aku pengen banget bisa bales, tapi waktuku buat on sekarang makin … sedikit T.T Jadi kalo aku maksa bales takutnya gak sempet kebales semua dan malah jadi terkesan gak adil. Tapi kalo kalian kontek aku secara pribadi, aku pasti bales kok. Walau seringnya slow response dan entah ini penting atau enggak … tapi aku mau kasih tau kalo Line, BM, WA aku blm bisa dihub skrg ini. HP akunya mulai dari nol lagi dan aku males instal ini itunya, bawaan pengen tidur mulu masa kalo sampe rumah. Pelukan Sehun anget sih /?

Oh, ya. Aku udah pikirin cara main aku. Keputusan jg ada di tangan kalian, terserah mau masuk ke kubu aktif atau pasif. Aku gak maksa, tapi perlu dicatet, aku ini bukan author yang gak acuh sama siders. Aku hargain kok kalian yg silent karena berbagai alasan, tapi kalian yg silent jg harus hargain cara main aku ke depannya ya? :D

Dan … Sebelum bacotan ane makin gak jelas, aku tutup di sini~

BE A GOOD READER AND SEE YA ON THE NEXT CHAPTER

Sincerely,

Arlene P.♥

Filed under: AU, family, Hurt, Life, Psycho, Psychologic, romance Tagged: exo, kai, kris, Luhan, OC, Sehun, suho

Show more