2015-04-24

It’s Over

Kim Jongin/Kai & OC || Romance, Sad, Hurt || PG || Ficlet

IrnaCho, © 2015

***

Aku pun ingin merasakan kehidupan yang tenang tanpa ada rasa sakit yang terus menghantuiku. Dan merelakannya adalah satu-satunya cara yang bisa ku lakukan saat ini.

Note: Yang di cantumin tahun di atasnya itu berarti flashback yaa.. Happy reading!

Previous: Fisrt Love? It Hurts

Really Hurt

– 2005 –

Aku sedang memperhatikan pelajaran Han Seonsaengnim ketika Hyerin teman sebangku ku memintaku untuk menemaninya ke toilet. Aku hanya mengangguk mengiyakan. Kami langsung keluar kelas saat sudah mendapat ijin Han Seonsaeng.

Toilet saat itu cukup antri, jadi kami harus sedikit menunggu. Tidak jauh dari toilet wanita dan pria, aku melihat Jongin dan teman-temannya yang lain sedang berkumpul. Membolos seperti biasa. Aku sudah paham. Jadi aku tidak memusingkan hal itu, meski ada sedikit rasa jengkel dalam hatiku melihatnya membolos seperti saat ini.

Jongin menoleh ke arahku tepat saat aku sedang menatap ke arahnya. Dia tersenyum sangat manis dan tidak lama kemudian pria itu melemparkan ciuman jarak jauh. Aku memutar bola mataku malas lalu berpaling darinya yang mulai terkekeh seperti orang bodoh.

“Micheosso.” Cibirku.

Hyerin yang mendengar gumamanku menoleh dan menatapku heran. “Ada apa Jihyun-ah?”

Aku menggeleng sekilas.”Tidak ada. Hanya baru melihat orang gila dari kelas kita.” Hyerin hanya terkekeh saat mengerti apa yang ku maksud. Dia melihat ke arah dimana Jongin dan teman-teman bolosnya sedang berkumpul. Kemudian menggeleng singkat.

“Anak itu, kenapa dia tidak ada kapoknya? Bahkan seluruh guru sudah lelah dengan kelakuannya.”

“Kau mengharapkan dia berubah sama saja mengharapkan presiden Korea Utara berkunjung ke sekolah kita.” Kataku asal.

Sepuluh menit kemudian kami sudah menyelesaikan kegiatan kami di toilet. Waktu yang cukup lama untuk meninggalkan pelajaran. Aku baru saja akan menuruni anak tangga terakhir ketika kaki ku terpeleset karena lantai yang licin. Beruntung aku bisa menyeimbangkan tubuhku hingga tidak perlu takut mencium lantai yang kotor. Namun alangkah terkejutnya aku ketika aku mendongak di hadapanku berdiri Jongin dengan tangan yang sudah terentang siap menangkapku. Jarak kami cukup dekat saat itu. Hingga membuatku sempat terpaku beberapa detik lamanya.

“Ya! Hati-hati.” Ucapnya.

“E-eoh? Ne.” Jawabku kikuk.

Aku belum sempat mengumpulkan kesadaranku ketika tiba-tiba Hyerin menarik tanganku dari hadapan Jongin.

“Cepat, kita sudah terlalu lama meninggalkan kelas.” Katanya dengan tergesa. Aku hanya bisa mengangguk kaku dan mengikuti langkahnya yang menarikku menjauhi Jongin. Aku sempat menoleh ke belakang dan tidak menyangka jika Jongin masih memperhatikanku dengan senyum lebar yang tersungging di bibirnya. Dia kembali memberikan ciuman jarak jauhnya. Dan tidak ada yang bisa ku lakukan kali ini selain diam dan mengembalikan tatapanku lurus ke depan.

– 2006 –

Study tour. Hal yang paling di gemari para murid. Begitu pun aku dan teman-temanku. Kami menyambut rencana study tour ini dengan suka cita. Tapi seperti biasanya, dalam study tour bermain dan bersantai lebih mendominasi di banding mengerjakan tugas itu sendiri.

Namun study tour kali ini cukup menyebalkan untukku. Sahabatku, Hyerin. Dia tidak ikut dalam perjalanan ini. Entahlah, aku tidak bisa memastikan apa yang membuatnya tidak bisa mengikuti acara sekolah kali ini. Ini menyebalkan, tentu saja. Karena jika tidak ada Hyerin membuatku sedikit kebingungan. Pasalnya hanya Hyerin satu-satunya teman yang dekat denganku. Bukan berarti aku tidak dekat dengan yang lain, tapi hanya Hyerin yang membuatku nyaman. Jadi perjalanan kali ini bisa di bilang tidak terlalu menyenangkan untukku. Yeah, aku tidak begitu menikmatinya.

Berada di salah satu pemancingan, saat jam bebas. Semua memilih berjalan-jalan sendiri bersama teman-teman mereka. Bercanda ria atau sekedar mengobrol hal-hal yang tidak penting. Khusus untukku, aku memilih menjauhkan diri dari keramaian. Duduk di salah satu saung yang berjejer di tepi danau buatan. Aku hanya memandangi teman-teman lelaki ku memancing.

Salah satu temanku yang lain datang menghampiri ku. Park Yoomi. Bersama seorang teman ku yang lain dari kelas lain. Jung Daehyun.

“Apa yang kau lakukan disini sendirian?” Tanya Daehyun saat dia sudah menghempaskan tubuhnya di sampingku.

“Tidak ada.” Jawabku singkat.

Setelahnya kami hanya mengobrol ringan yang sesekali di selingi tawa karena lelucon yang di buat Daehyun. Tidak lama berselang tiba-tiba Jongin datang dengan gaya santainya seperti biasa. Seperti tidak punya dosa, dia menghempaskan tubuhnya tepat di antara aku dan Daehyun. Membuat pria bermarga Jung tersebut harus bergeser secara paksa.

“Ya! Kau datang-datang kenapa rusuh sekali? Tempat ini masih lega kenapa harus duduk disana. Ish!!” Kesal Daehyun. Tapi bukan Jongin namanya jika dia akan ciut hanya karena ucapan kesal dari Daehyun. Pria itu hanya mengangkat bahunya tak acuh. Lalu dengan santainya mengalungkan sebelah tangannya di pundakku.

“Aku hanya ingin duduk dekat Jihyun. Apa yang salah?” Tanyanya tak tahu diri. “Kalian yang harus pergi. Mengganggu orang pacaran saja.” Kata Jongin lagi. Benar-benar tak tahu malu. Aku hanya bisa geleng kepala akan sikapnya. Tidak berusaha mengelak meski yang di ucapkan Jongin tidaklah benar. Aku dan teman-temanku sudah biasa menghadapi sikapnya yang seperti ini. Bukan hal baru lagi. Begitu pun dengan Daehyun maupun Yoomi. Mereka sudah maklum. Bukan Jongin namanya jika tidak begini.

Karena sudah malas Daehyun pun akhirnya pergi. Tidak lama Daehyun pergi, menyusul Yoomi kemudian. Mungkin dia bosan. Entahlah. Setelah kepergian kedua teman kami tidak ada pembicaraan yang berlangsung di antara aku dan Jongin. Kami hanya duduk diam dalam kebisuan.

“Kenapa kau dekat sekali dengan Daehyun tadi?” Tanya Jongin tiba-tiba. Aku mengerutkan kening ku bingung. Menatapnya tak mengerti.

“Dekat bagaimana maksudmu?”

Jongin berdecak malas. “Duduk berdampingan, mendengarkan musik berdua, berbagi handsfree. Apa namanya jika bukan tidak dekat?”

Aku semakin bingung dengan ucapannya. Jongin terlalu berbelit-belit. Aku tidak mengerti. Ah tidak, hanya tidak ingin salah mengartikan lebih tepatnya. Maka dari itu bisakah Jongin langsung pada intinya saja?

“Sudahlah, lupakan.” Katanya akhirnya.

Aku mengerucutkan bibirku kesal. Tapi toh aku memilih diam, tidak lagi membalas kalimatnya.

Bosan dengan keheningan yang merjalela di antara kami, aku pun bangkit dan mulai berjalan seorang diri. Meninggalkan Jongin yang masih duduk disana seorang diri dengan pancingan di tangannya yang tidak berguna. Kenapa ku katakan tak berguna? Karena sejak tadi pria itu tak mendapatkan ikan satu pun. Dia hanya menarik ulur alat pancingnya, lalu berpindah-pindah tempat jika bosan. Entah sebenarnya dia bisa menggunakan alat itu atau tidak.

Aku melihat Taemin sedang memancing seorang diri ketika aku melewati salah satu saung tidak jauh dari tempatku tadi. Hanya berseberangan. Jadi aku bisa melihat Jongin dari sini. Taemin hanya menoleh dan tersenyum sekilas ke arahku sebelum kembali fokus pada pancingannyan. Tapi lagi-lagi Jongin kembali hadir dan dengan tidak sopannya mengusir Taemin begitu saja.

“Ya! Aku mau berduaan dengan Jihyun. Kau pindahlah.” Perintahnya seenak hati.

“Ck. Mengganggu saja.” Gerutu Taemin. Tapi pria itu tetap menuruti perintah Jongin dan pindah ke saung di sebelah kami.

Aku kembali berdiri dan menghampiri Taemin. Kembali meninggalkan Jongin. Tapi lagi-lagi dia datang dan melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Aku geleng-geleng kepala di buatnya. Benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikirannya.

– June 2006 –

Hari ini dimana pengumuman kelulusan akan keluar. Sudah sejak pagi kami datang ke sekolah meski pihak sekolah mengatakan jika pengumuman itu akan keluar siang nanti. Tapi seperti kompak, kami serentak datang pagi tanpa perjanjian. Menikmati waktu bebas sebelum pengumuman besar yang akan mengubah masa depan kami itu terdengar. Menikmati bermain bersama teman-teman karena mungkin saja setelah hari ini butuh waktu sangat lama untuk kami bisa bertemu lagi. Bercengkrama, tertawa lepas atau mengobrol ringan. Apa saja. Hitung-hitung melepas beban setelah menghadapi ujian beberapa hari lalu. Hingga tiba saatnya, ketika para guru menginterupsikan kami semua untuk berkumpul di tengah lapangan.

Panasnya terik matahari yang membakar kulit, atau peluh yang tak pernah berhenti menetes hingga membuat rambut serta seragam kami lembap, menimbulkan bau matahari yang tak sedap. Tak kami pedulikan. Selain amplop putih dalam genggaman kami.

Belum ada yang berani membukanya sebelum kepala sekolah memberikan perintah untuk membukanya. Kami duduk di tengah lapangan dengan matahari yang kini berada tepat di atas kepala. Di depan podium kepala sekolah masih memberikan petuah serta nasihat-nasihatnya khas seorang guru. Tentang masa depan kami kelak. Tentang keberhasilan kami yang tergantung dari diri kami sendiri. Sampai perintah itu keluar, dengan jantung yang berdebar serta berbagai pikiran buruk yang mulai menyergap masuk mengiringi jemari kami yang mulai merobek amplop penentu masa depan kami.

Lima detik setelah itu berbagai jeritan terdengar di seluruh penjuru sekolah. Hari itu, lapangan sekolah kami berubah menjadi lautan air mata serta jerit kebahagiaan. Aspal lapangan tempat kami bersimpuh menjadi saksi saat air mata kami jatuh dan membasahinya. Aku sendiri masih tidak percaya dengan semua yang terjadi. Tatapanku masih fokus pada kertas di genggamanku yang di permukaannya tertulis besar-besar tinta hitam “SELAMAT ANDA LULUS.”

Aku tidak mampu mengeluarkan suara sekecil apapun. Hanya air mataku yang menjawab segala kebahagiaan dan rasa syukurku. Perjuanganku selama tiga tahun tidak berakhir sia-sia. Kini, aku siap menghadapi hidup baru.

Di tengah jerit tangisan para siswa, semprotan air datang tiba-tiba membasahi tubuh kami. Jika ada yang berpikir itu perbuatan para siswa, jawabannya salah. Itu semua perbuatan para guru di sekolahku. Tentu mereka ikut merasakan kesenangan yang sama, atau bahkan mungkin melebihi rasa senang kami.

Pelukan serta ucapan selamat yang di barengi isak tangis terdengar dari setiap siswa. Saling mengucapkan selamat pada teman, baik satu kelas maupun tidak. Baik kenal maupun tidak. Isak tangis serta ucapan selamat itu belum berhenti hingga kami saling memasuki kelas masing-masing. Berbagi kebahagiaan pada teman satu kelas.

Aku baru memasuki kelasku ketika ada seseorang yang tiba-tiba menarik tanganku hingga membuatku berbalik untuk menatapnya. Di sana, berdiri Jongin dengan senyum bahagianya. Kejadian itu terlalu cepat hingga aku tidak menyadari jika aku sudah berada dalam rengkuhan kedua tangannya.

“Jangan lupakan aku ya.” Ucapnya pelan sebelum dia melepaskan kembali pelukannya dan berjalan menjauh menghampiri teman-temannya yang lain. Aku bahkan belum sempat mengucapkan apapun untuknya sampai sosok itu menghilang dari hadapanku. Aku hanya mampu menatap punggungnya yang semakin jauh dengan senyum tipis terukir di bibirku.

“Aku pasti akan merindukanmu, Jongin-ah.”

.

.

.

.

Melupakan seseorang yang masih kita cintai tidaklah mudah. Butuh proses. Butuh waktu. Tidak sebentar. Harus melalui berbagai fase kesulitan lebih dulu. Kerinduan yang menyesakan salah satunya. Meski aku sudah terbiasa dengan rasa sesak seperti ini, namun saat harus merasakannya kembali rasa frustasi itu tetap ada. Rasa sakit itu tetap nyata. Sakit yang tak tertahankan hingga ingin mati saja rasanya.

Kim Jongin. Satu nama itu sudah begitu melekat di otak dan lidahku. Rasanya lidahku sudah sangat terbiasa melafalkan namanya hingga saat aku berusaha untuk menghilangkan nama itu, ada rasa aneh menggeluti perasaanku. Tapi aku tidak ingin menyerah tentu saja. Tidak akan. Sudah cukup dia menyakiti ku segini parah. Tidak akan lagi ku biarkan dia menaburkan garam di atas lukaku yang entah kapan mengering. Sudah cukup. Aku lelah.

Aku ingin melupakannya. Benar-benar melupakannya. Bahkan jika aku bisa memilih, aku ingin kembali ke kehidupanku dari awal tanpa pernah ada kehadirannya. Sekali pun. Jika di tanya menyesal, ya, aku menyesal. Aku menyesal mengenalnya. Aku memilih untuk tidak mengenalnya sama sekali jika harus berakhir seperti ini. Mengenalnya sama dengan mengenalkan luka pada hatiku. Dia adalah luka pertama yang ku dapatkan dan luka tersakit yang pernah ku rasakan. Kim Jongin.

Waktu tidak pernah berjalan mundur, detik terus berputar. Aku harus bisa melepaskannya. Melupakan perasaan ini untuknya. Dan aku tidak pernah seyakin ini sebelumnya. Sebelum apa yang ku dengar dua hari lalu dari mulut sahabatku. Sahabat terdekatnya.

***

2 Days a go

Aku tidak pernah melihat Taemin gelisah seperti ini sebelumnya. Duduk diam dengan mata yang bergerak kesana kemari. Sudah lebih dari dua puluh menit dari saat kami memutuskan untuk memesan hot chocolate pada salah satu kedai tak jauh dari taman kota.

“Bicaralah! Kau membuatku khawatir.” Ucapku mulai tak sabar.

Taemin menatapku ragu. Kemudian menundukan pandangannya ke arah piring yang terdapat beberapa potongan kentang goreng di atasnya.

“Jihyun-ah…”

“Aku tahu kau ingin mengatakan soal Jongin. Katakanlah! Aku akan mendengarnya.”

Taemin masih menatapku ragu. Hingga beberapa saat kemudian dia mulai membuka suaranya.

“Tapi kau harus janji untuk tidak membencinya.”

“Katakanlah!”

“Janji dulu.” Taemin bersikeras. Aku memutar bola mataku malas.

“Yeah, janji.” Kataku tak acuh.

“Dan jangan katakan pada siapa pun tentang apa yang akan ku katakan padamu nanti.”

“Ya, Tuhan Taemin. Kau terlalu berbelit. Cepat katakan.” Ucapku mulai tidak sabar.

Taemin diam sesaat sebelum kembali bersuara yang di awali dengan deheman. “Begini…sebenarnya…” Taemin mengacak rambutnya frustasi. “Bagaimana cara aku mengatakannya?” Gumamnya.

Taemin menarik napasnya cukup panjang lalu menatapku serius. “Aku tidak tahu apa yang ku lakukan ini salah atau tidak. Tapi kau harus tahu. Jongin…” Taemin menjeda kalimatnya seolah sedang menunggu reaksi ku. “Sebenarnya kekasihnya bukan hanya kau saat kalian berpacaran saat itu. Kau menjadi gadis kesekian yang menjadi kekasihnya.” Ungkap Taemin akhirnya. Aku masih diam. Tidak menunjukan reaksi apapun. Wajahku tetap datar meski di dalam sana sesuatu seperti tengah menusuk-nusuk jantungku dari dalam. Sangat sakit.

“Lalu?” Tanyaku dengan suara yang begitu tenang.

“Kau tahu, saat kalian saling mengirim pesan, saat kau mengatakan padanya bagaimana perasaanmu selama ini padanya. Saat kau mengatakan padanya jika dia adalah cinta pertamamu?”

“Bagaimana kau…”

“Saat itu kami tengah berkumpul. Jongin memberitahukan isi pesanmu pada seluruh temannya dan membuatnya menjadi bahan lelucon.” Aku membulatkan mataku terkejut. Lidahku sempat kelu untuk beberapa saat.

“Kau…yakin?” Tanyaku terdengar sedikit ragu.

Taemin menghela napasnya. Menatapku lelah. “Menurutmu, bagaimana kami tahu jika Jongin adalah cinta pertamu? Apa selama ini kau pernah mengatakannya pada orang lain? Bahkan aku atau Ravi tidak pernah mengetahui bagaimana perasaanmu selama ini pada Jongin.”

“Apa…dia benar-benar melakukan hal itu?” Gumamku yang lebih pada diri sendiri. Namun cukup mampu masuk ke pendengaran Taemin.

“Aku tidak memaksamu untuk percaya padaku. Kau bisa memilih untuk percaya atau tidak. Itu hak mu. Aku hanya ingin mengatakan hal yang selama ini cukup menggangguku.”

“Tapi Taemin-ah, kenapa kau mengatakan hal ini padaku? Jongin adalah sahabatmu.”

Entah untuk keberapa kalinya Taemin menghela napas hari itu. “Jongin memang sahabatku, tapi kau juga temanku. Itu sebabnya ini cukup menggangguku beberapa hari ini. Aku bingung antara memberitahumu atau tidak. Posisiku serba salah. Maka dari itu, aku mohon setelah kau mengatahuinya jangan beritahu siapapun. Aku tidak ingin persahabatanku dengan Jongin berantakan karena masalah ini. Anggap saja aku tidak pernah mengatakan apapun padamu.” Taemin menatapku penuh harap.

Aku tersenyum tipis lalu mengangguk perlahan. “Aku mengerti.” Ucapku pelan. “Terima kasih Taemin-ah.”

Taemin mengusap wajahnya frustasi. “Kau tahu, ini hubungan kalian tapi aku yang ikut pusing. Ck.” Aku terkekeh melihatnya.

“Aku benar-benar berterima kasih padamu. Jika tidak ada kau mungkin sampai hari ini yang aku lakukan hanya menangis tidak jelas.”

Taemin mengacak pelan rambutku. “Itu salahmu. Kenapa kau tak mengatakan padaku jika kalian berpacaran, huh? Saat ku tanya, kau hanya jawab teman. Cih. Jika aku tahu dari awal, aku bisa mencegahmu hingga tidak sampai sejauh ini.”

Aku hanya tersenyum miris. Sadar, jika apa yang di ucapkan Taemin memang ada benarnya. Aku terlalu bodoh. Terlalu di butakan oleh perhatian semu yang di berikan Jongin.

Langit di luar cukup gelap, bisa ku tebak jika akan turun hujan sebentar lagi. Dan tidak perlu menunggu lama, karena setelah itu hujan benar-benar turun. Langit seolah mewakilkan suasana hatiku yang saat ini kelam. Awan hitam yang menggantung disana, ibarat kedua mataku yang kini menumpahkan air matanya hingga membasahi bumi. Hujan selalu indah dimataku meski suasana yang tercipta tidak pernah jauh dari kata sendu tiap kali tetesan air itu turun dengan langit gelapnya yang melatarbelakangi. Selalu membuat hati tenang. Dan hujan selalu bisa menyamarkan air mataku. Mungkin itu sebabnya aku sangat menyukai hujan.

“Kau melamun, Jihyun-ah?” Taemin memecah kesunyian di antara kami.

Aku tersenyum lantas menggeleng tanpa mengalihkan pandanganku dari jendela besar di sampingku yang menampakan aktifitas orang-orang di luar kafe.

“Aku hanya sedang berfikir, betapa bodohnya aku selama ini.” Ada jeda sebentar sebelum aku kembali melanjutkan kalimatku. “Aku bodoh, membiarkan Jongin mempermainkan ku setega itu. Dan, bagaimana mungkin? Sebenarnya dosa apa yang telah ku buat padanya hingga dia sekejam ini padaku?”

“Dari semua yang pernah ku ceritakan padamu, harusnya kau bisa mengambil kesimpulan. Jika dia masih sangat mencintai mantan kekasihnya. Jadi kesalahanmu disini adalah kebodohanmu sendiri.” Cibir Taemin. “Tapi yah, memang dasar Jongin brengsek. Aku pun sebagai sahabatnya mengakuinya.” Taemin membuang napasnya kasar. Seolah sedang melampiaskan kekesalannya pada sang sahabat yang baru saja dia sebut brengsek. “Sudahlah, lupakan dia. Kau bisa mendapatkan pria yang lebih baik darinya.”

***

Dua tahun. Waktu yang cukup lama, atau justru terbilang singkat untuk melupakan seseorang. Mungkin aku belum bisa sepenuhnya menghapus bayang-bayang Jongin dalam benakku. Tapi setidaknya hatiku mulai terbiasa kosong tanpa ada yang memiliki. Kesibukan ku kini cukup bermanfaat untuk mengalihkan perhatianku dari sosok Jongin. Sebelum hari itu tiba. Hari dimana tanpa sengaja aku berpapasan dengannya. Entah itu keberuntungan atau kesialan. Saat itu hanya aku yang melihatnya, bersama seorang gadis dalam genggamannya. Aku tersenyum melihatnya dari kejauhan. Aku tentu bertanya-tanya siapa gadis yang bersamanya. Beberapa hari kemudian, aku mendapati kenyataan. Melewati akun SNS-nya aku tahu siapa gadis itu. Dia kekasih Jongin yang baru. Aku tidak tahu sudah berapa lama mereka berpacaran. Dalam hati aku bersyukur, karena kini sudah ada seseorang yang mendampinginya. Dan berharap gadisnya yang saat ini bisa membantunya bangkit dari keterpurukannya akan masa lalu. Aku berharap seperti itu. Karena aku tahu bagaimana hancurnya Jongin saat itu. Saat seseorang yang sangat di cintainya justru menikah dengan orang lain. Kisah yang miris memang, layaknya drama murahan. Sepasang kekasih yang di paksa berpisah karena orang tua salah satu dari keduanya tidak menyukai hubungan mereka.

Berkali-kali aku memaki diriku yang amat sangat bodoh. Mungkin sakitnya Jongin saat itu kini di rasakan olehku ketika menerima fakta dia akan melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Mereka akan menikah. Aku senang. Tapi jauh di dalam sana ada sesuatu yang berontak ingin keluar. Tanpa sadar aku mulai menangis. Sisi egoisku bangkit. Aku mulai berpikir, kenapa harus orang lain? Kenapa bukan aku yang membuatnya melupakan masa lalunya? Kenapa Jongin tidak bisa sedikit saja melihat ketulusanku? Sekali lagi aku berpikir, kesalahan apa yang sudah ku lakukan padanya hingga dia berbuat setega ini padaku? Dia bahkan menikah tanpa ada pemberitahuan. Setidaknya katakan sesuatu padaku. Apa dia tidak merasa sudah melakukan hal yang cukup kejam padaku? Jangankan penjelasan akan sikapnya dulu, bahkan undangan untuk pernikahannya pun tidak sampai padaku. Jika bukan Taemin yang memberitahu ku, aku tidak akan tahu bahwa kini Jongin akan menikah. Menyedihkan bukan diriku ini? Lagi-lagi kata bodoh itu harus terlontar dari bibirku.

Tidak ada yang bisa ku lakukan selain meratapi nasibku saat ini. Menyesal pun percuma. Semuanya tidak akan kembali seperti semula. Dan membencinya pun percuma. Tidak akan merubah keadaan. Aku tertawa miris dalam hati. Membenci seseorang yang bahkan –mungkin- tidak menyadari apa kesalahannya. Sia-sia bukan? Aku memilih dewasa. Aku merelakannya. Aku mendoakan kebahagiaannya. Semoga hanya aku satu-satunya yang dia buat kecewa. Semoga kehidupannya menjadi lebih baik dan berharap gadisnya yang sekarang bisa mencintainya lebih tulus dari siapa pun. Aku percaya apa yang Tuhan berikan pasti yang terbaik untuk hambanya. Begitu pula apa yang Tuhan berikan untukku maupun Jongin. Mungkin hanya gadis itu yang bisa membuat hidupnya menjadi lebih baik. Dan untukku, mungkin belum waktunya aku menemukan seseorang yang tepat yang bisa mencintaiku dengan tulus. Ini semua hanya masalah waktu. Apa yang terjadi di belakang cukup untuk ku jadikan pelajaran. Untuk kesekaian kalinya aku mengatakan, aku menyerah. Jongin sudah bahagia dengan pilihannya. Dan tidak adil rasanya jika aku tidak ikut bahagia. Aku pun ingin merasakan kehidupan yang tenang tanpa ada rasa sakit yang terus menghantuiku. Dan merelakannya adalah satu-satunya cara yang bisa ku lakukan saat ini.

-FIN-

aku ga nyangka responnya lumayan bagus. bahkan yg ‘Really Hurt’ sempet masuk top pages meski no dua dari bawah. tp itu cukup prestasi yg bagus menurutku mengingat ff di SKF banyak yg lebih keren dari ini. ga nyangka juga ternyata kisah ini banyak yg di alami para readers. aku mau jawab beberapa pertanyaan kalian.

1. banyak yg bilang klo cerita ini bener2 kayak real life. beberapa jg ada yg nanya, apa ini kisah nyata? hahahaha aku jawab deh ya, ini emang real story.

2. aku mau bilang dgn berat hati, klo ini series terakhir. Jonginnya kan udah bahagia sama keluarga barunya, jadi Jihyun jg bakal nyari kebahagiaannya sendiri. karena hidup dia kan bukan hanya berpusat sama Jongin.

3. Terus banyak jg ternyata ya yg minta Jihyun sama Taemin aja. sekali lagi dgn berat hati aku bilang, ga bisa, mereka cuma sebatas sahabat. dan sekarang yg jadi Taemin udah punya pacar.

4. Aku ga bisa nyeritain dari sudut pandang Jongin. ya, aku tahu kalian pasti penasaran bgt sama perasaan Jongin sebenernya gimana ke JIhyun. tapi aku ga bisa, karena aku juga sama kayak kalian. sampe sekarang aku ga prnah tahu gmn perasaan Jongin ke Jihyun.

5. Maaf yg minta happy ending, karena ga semua kisah cinta berakhir dengan happy ending.

6. terakhir. Semoga dari cerita ini ada sesuatu yg bisa kalian petik. jangan mudah percaya sama mulut manis cowo, dan jangan berharap pada sesuatu yg ga pasti. yang penasaran sama perasaan jongin sebenernya, kalian mungkin bisa menerka-nerka sendiri. menurut kalian gimana perasaan jongin sebenernya? and then, sekali lagi makasih yg udah ngikutin sampe chapter ini (padahal mah ga banyak) makasih buat respon kalian.

Thank you yeoreobuuuun :) <3

Best Regards:

Ms. Wu

Filed under: Hurt, romance, Sadnes Tagged: exo, kai, kim jongin, Lee Taemin

Show more