2015-04-18

Arlene’s present



0101

“Being in love, addiction –Amour obsessed”

.

Main cast :

Oh Sehun – Ilana Kim – Kai Kim

.

Supported cast :

Luhan Müller – Alena Kim,

and others.

.

Romance, Hurt/Comfort, Life, Psychology, AU

.

PG

.

First Note : Liat tanggal karena ini alurnya mundur. Scene pertama 2016, tapi mulai dari yang ke dua dan selanjutnya dimulai dari tahun 2014. Dan FF ini ada aturannya lho (detailnya aku jelasin di A/N paling bawah), jadi buat yang berniat jadi siders pikir ulang dulu ya … Karena ke depannya kalian sendiri yang bakal susah kalo sewaktu-waktu FF ini ber-password di beberapa chapter. Dan jangan kaget ya liat karakter Sehun di sini, ini semata karena tragedi Tante Mikerr kemaren. Sehun gak polos lagi dududuh~

Disclaimer : Big thanks to @WhitePingu95 for your briliant’s basic idea, Dear. Love yaa~ Well, I absolutely own the plot, but the cast or places is still belong to God, their agency, and their ownership.

Hope you’ll enjoy the story guys^^

-0-

.

.

“Keduanya bertemu, lalu bermain dengan masa. Membiarkan semua opera yang dulu mereka lakoni terputar kembali tak ubahnya reel film dalam kerja turbulensi. Ini bukan tentang memulai, namun mengulang apa yang pernah terjadi.”

.



Siapa yang tidak tahu Midtown Manhattan? Salah satu bagian dari New York –kota kecil padat penduduk yang identik dengan gedung-gedung pencakar langit, kemajuan teknologi, serta mayoritas penduduknya yang gila. Mereka gila akan kesuksesan, mereka gila akan kemajuan zaman, mereka gila akan kemenangan, dan masih banyak kegilaan lainnya yang berhubungan dengan pesatnya peradaban dunia. Perlu diketahui, hanya mereka yang benar-benar tangguhlah yang mampu bertahan hingga akhir di kota metropolitan ini.

Dan malam ini, terhitung tanggal 21 Mei 2016, di salah satu pencakar langit tersebut tercipta keramaian yang tak biasa. Satu lantai penuh Empire State Building telah disewa demi kelangsungan sebuah acara.

Di tengah keramaian tersebut, seorang pria tampak membatu dengan manik sewarna obsidiannya yang terhujam lurus ke arah panggung. Wajahnya memerah, bukan karena satu gelas wine yang telah ditenggaknya, melainkan karena sesosok gadis yang tengah berdiri dengan penuh percaya diri di atas podium, beberapa meter jauhnya dari tempat yang ia pijak saat ini.

Gadis itu –gadis masa lalunya. Gadis yang kini tengah berbicara di depan berpuluh-puluh pasang mata. Gadis yang selalu berhasil mengunci kuriositas-nya tanpa sadar sejak pertama kali mereka bertemu. Gadis yang belum sempat ia miliki, namun telah ia tinggalkan. Dan sialnya, gadis itu baru saja membalas hujaman maniknya. Mereka bertemu-tatap cukup lama, hingga tanpa sadar pria ini pun tergerak mengendurkan lilitan dasi pada kerah kemeja yang ia kenakan. Berusaha mencari kelapangan yang beberapa detik lalu lenyap dari daftar kepemilikannya.

“Enjoy the party— (Selamat menikmati pestanya—)” Pria itu menghela napas, menunggu sang gadis mengakhiri kalimatnya. “—and I’m so happy to know that I can see you again, Mr. Stein. (—dan aku sangat senang bisa bertemu denganmu lagi, Mr. Stein.)” Lalu, seperti yang telah ia duga, gadis itu menunjuknya secara formal. Menjadikannya pusat perhatian para tamu undangan tanpa permisi.

Selang beberapa detik, ingatan pria ini mulai sibuk bergulat dengan masa. Menghitung mundur setiap keping kenangan yang muncul ke permukaan. Satu sudut bibirnya terangkat memancarkan keangkuhan yang sempurna, sebelum akhirnya bergumam lirih, “Nice to meet you too, Ilana Kim.” Sengaja ia mengucapkannya begitu pelan. Membiarkannya tertelan angin agar tak satu pun orang dapat mendengarnya.

Dia –Mr. Stein, terlalu asyik menerawang. Jauh, kembali ke masa lalu.

-oOo-

27 November 2014.

Di suatu ruangan besar dengan sekat pembatas yang berdiri kokoh membangun setiap sisinya, di mana jarak antara lantai dan langit-langit nyaris mencapai lima meter, ribuan manusia itu berkumpul. Ada yang membaur, ada pula yang membuat kubunya masing-masing. Ada yang berbisik demi berbincang satu dengan lainnya, ada pula yang memutuskan untuk diam dan memusatkan perhatian pada satu titik. Namun, hanya ada dua yang sibuk berdebat. Sepasang pria mencolok karena pakaian yang mereka kenakan berbeda dengan para penghuni lain di ruangan ini. Jika yang lainnya terbalut oleh setelan mahal, bahkan beberapa mahasiswa masih ada yang enggan menanggalkan seragam wisudanya, mereka justru menggunakan skinny jeans yang bolong di bagian lutut dilengkapi atasan T-shirt belel dengan jaket yang melindungi bagian luar.

“Idiot.” Salah satu dari mereka mendengus. Sepasang obsidiannya memang terpaku ke arah panggung –di mana seorang pria tengah melancarkan pidatonya, namun pikirannya justru menerawang. Sibuk menciptakan umpatan demi umpatan yang mampu menggambarkan kekesalannya saat ini. “Hanya kita satu-satunya yang salah kostum di sini, Tuan Müller. Tidakkah kau malu?” Lagi-lagi kalimat bernada sinis terbawa hembusan angin, masih dari pria yang sama. Oh Sehun. Pria blasteran Amerika-Korea yang kini lebih bangga menyematkan marga sang Ibu pada namanya. Secara fisik, Sehun sangat amat layak untuk dibilang tampan –oh, bahkan nyaris sempurna. Berhidung mancung, berkulit putih, memiliki sepasang alis cokelat tebal sarat akan ketegasan, serta tubuh yang proporsional. Oh, ya. Jangan lupakan sepasang manik biru sewarna obsidiannya yang selalu berhasil membuai gadis-gadis lapar di luaran sana. Sayang, beberapa sifatnya justru tak patut untuk dibanggakan. Untuk ukuran manusia, Sehun terlalu angkuh dan suka sekali berbicara semaunya. Tak pernah ambil pusing sekalipun kalimat yang ia muntahkan telah menyinggung banyak pihak. Dan Luhan, -pria di sampingnya- yang merasa kesialan hidupnya bertambah semenjak kemunculan Sehun secara ajaib di apartemennya, sudah pernah merasakan segala ke-minus-an tersebut. Meski ya … Hyde and Jekyll tetap berlaku di sini. Seburuk-buruknya seorang Oh Sehun, dia tetap memiliki sisi baik di balik sisi buruknya yang terlihat. Satu-satunya sisi yang ia tunjukkan hanya pada orang yang benar-benar layak.

“Berhentilah mengeluh. Setidaknya kita memiliki wajah yang sama-sama tampan.” Pada akhirnya Luhan merespon. Satu sudut bibirnya melengkung ke atas, berbangga hati. Luhan memang tak kalah tampan dari Sehun. Pria blasteran Jerman-China bermarga Müller ini selalu percaya diri dengan kondisi fisik yang dianugerahkan padanya. Hidungnya mancung, kulitnya pun putih. Hanya saja bentuk wajah serta tekstur kulitnya yang lembut sering diolok ‘mirip wanita’ oleh Sehun.

Sehun bergerak gusar di kursinya. Menatap pria yang menjadi alasan utamanya dan Luhan datang kemari, lalu mendengus sekali lagi. Ia menepuk bahu Luhan sebelum akhirnya berujar, “Aku bosan. Aku ingin keluar sebentar, mencari udara segar. Kabari aku jika Kai Kim itu telah selesai dengan ceramahnya.”

“Jangan macam-macam!” larang Luhan. “Kita harus menyembunyikan identitas kita di sini!” imbuh Luhan, kali ini dengan nada berbisik.

Kelima jemari Sehun terkibas di udara. “Baiklah. Aku hanya ingin ke toilet. Kau tak ingin aku mengompol di sini dan mempermalukanmu, ‘kan?” Lalu, tanpa mengindahkan ekspresi kesal yang ditampakkan Luhan, Sehun pun membawa langkah lebarnya menuju pintu keluar.

Sepanjang perjalanannya, manik Sehun asyik berpendar. Menikmati apa saja yang terjangkau fokusnya. Pria ini memicing saat menemukan sebuah papan tergantung di salah satu sisi tembok yang ia lewati. Sederet huruf tercetak besar-besar di atasnya, tepat di bawah sebuah bingkai foto yang berisi gambar kampus ini. Pusat saraf Sehun pun bekerja, mengingat sejumlah hafalan yang bisa dibawanya ke permukaan.



Universitas Humboldt Berlin atau dalam bahasa Jerman aslinya: Jerman Humboldt-Universität zu Berlin. Universitas ini merupakan yang tertua di Berlin. Didirikan pada tahun 1810 sebagai Universitas Berlin atau Universität zu Berlin oleh tokoh reformasi pendidikan dan bahasawan liberal Prussia, Wilhelm von Humboldt, yang model universitasnya sangat memengaruhi universitas-universitas lain di Eropa dan Dunia Barat. Sejak 1828 universitas ini dikenal dengan nama Friedrich-Wilhelms-Universität, setelah itu menjadi Universität unter den Linden. Pada 1949, diubah lagi menjadi Humboldt-Universität demi menghargai kedua-dua pendirinya, Wilhelm dan saudara laki-lakinya, seorang naturalis bernama Alexander von Humboldt.

Jangan tanya bagaimana Sehun dapat mengetahui semuanya. Tentu saja ini wajar mengingat bagaimana kedua orangtuanya menjejali Sehun dengan berbagai macam buku Sejarah sejak kecil. Jika anak lain membaca buku berwarna sebagai perdana, maka Sehun –mungkin- akan menjadi satu-satunya yang terpaksa menjadikan buku setebal 325 halaman sebagai buku yang pertama ia baca. Menyedihkan? Aah … Tidak perlu mengasihani kehidupannya karena Sehun memang tidak suka dikasihani. Toh, dirinya tengah merasa bebas untuk saat ini, meski tak pernah tahu kapan semua ini akan berakhir.

“Aw!” Sebuah pekikan memecah kesunyian secara tak terduga, mengiringi limbungnya tubuh Sehun yang nyaris membentur sisi tembok ketika seseorang menubruknya di kelokan lorong. Tanpa ampun, pria ini pun menghujamkan manik birunya lurus-lurus pada sang oknum. Sialnya, itu-seorang-gadis. “Kau tidak punya mata ya?” maki Sehun ketika sang gadis menggumamkan kata ‘ma’ yang mungkin akan diakhiri ‘af’. Yeah, Maaf. Satu kata yang lazim terlontar di saat seperti ini.

Gadis yang semula merasa bersalah, kini mengubah mimik wajahnya. Tak kalah sinis, ia pun menyahuti makian Sehun, “Aku tidak sengaja, Tuan. Lagipula kenapa kau tak mengindar, hah? Kau-‘kan-punya-mata!”

Sehun membelalak tak percaya. Berani sekali gadis ini. Pikirnya berang. Satu seringai terbentuk di bibir Sehun kala maniknya menangkap lipatan kain yang dibawa gadis di hadapannya. “Kau mahasiswa juga? Aku yakin kau lulus dengan IPK rendah. Kau terlalu sibuk mengurusi penampilan daripada otak,” ucap Sehun dingin lalu menggelengkan kepala –sok- bijak. “Karaktermu terbaca sekali ya? Aku jadi prihatin pada gadis-gadis sepertimu. Kenapa kalian suka sekali memamerkan tubuh? Lihatlah! Belahan bajumu itu terlalu rendah sementara ukuran dadamu itu tidak mendukung untuk dipamerkan dan … hey, bagaimana mungkin kau menggunakan baju kurang bahan begini ke acara resmi kampusmu?”

“WHAT?” Gadis itu memekik sambil bergerak menutupi bagian dadanya yang ter-ekspos. Merasa perbincangan ini telah menyimpang dari tema, bahkan melewati batas wajar, ia pun memutar bola matanya sebal. Pada akhirnya gadis itu memutuskan untuk lekas berlalu, tentu saja setelah menggumamkan satu kata maaf dengan berat hati. “Crazy!” menjadi satu dengusan terakhir yang sempat tertangkap indera pendengar Sehun sebelum gadis itu menghilang dari hadapannya.

Manik sewarna obsidian Sehun tertarik untuk mengikuti kepergian gadis tersebut. Setelah tahu ke mana tujuannya, pria ini pun memutar tubuh, kembali ke ruangan yang semula ingin ia tinggalkan. Suasana hatinya yang buruk kini kian memburuk dan ia memerlukan Luhan sebagai pelampiasannya.

-oOo-

Sebuah lengan menghalangi Sehun, membuat langkah kakinya terhenti di empat langkah yang tersisa. Sedikit enggan ia menolehkan kepala, sekadar mencari tahu siapa yang baru saja menghambat tujuannya. Tak lama seulas senyum meremehkan terkunci di bibir Sehun. Nyalinya tak menciut sedikit pun saat fokusnya menjumpai sesosok pria gempal berseragam hitam. Ternyata hanya petugas keamanan.

“Minggirlah!” perintah Sehun datar. Meski kesal, ia tak menggunakan penekanan apa pun dalam kalimatnya. Tak ingin membuang waktunya lebih lama, Sehun pun lekas menepis lengan yang melintang di depan dadanya. Namun belum genap selangkah ia ambil, lengan yang sama kembali menghadangnya. “Singkirkan lenganmu, Pak Tua! Kau menghalangi jalanku.”

Tanpa mengindahkan umpatan Sehun, pria gempal tadi bertanya, “Ada urusan apa?”

“Aku ada urusan dengan Tuan Kai Kim. Puas? Jadi, minggirlah.” Merasa usahanya tak menuai hasil memuaskan, Sehun pun melayangkan satu makian pada Luhan dalam hati. Di menit-menit terakhir pria itu justru pergi meninggalkannya dengan alasan super sial: panggilan alam. “Don’t you believe what I’ve say? (Tidakkah kau percaya pada apa yang kukatakan?)” tanya Sehun luar biasa kesal begitu tahu pria gempal tadi hanya balas menatapnya penuh selidik tanpa sedikit pun berniat menurunkan tangannya.

Baiklah, Sehun mencoba untuk mengerti. Salahnya juga berpenampilan begini di tengah acara resmi. Tapi tunggu, jika ada yang harus disalahkan, maka itu adalah Kai sendiri. Dia sama sekali tak menjelaskan acara macam apa yang akan mempertemukan mereka.

Cepat, Sehun menoleh ke arah Kai. Berharap bahwa pria berkulit tan itu dapat menolongnya. Mulutnya membuka, ingin bersuara namun urung. Lagi-lagi pria ini mengumpat ketika obsidiannya disuguhi sebuah pemandangan picisan. Kai Kim, pria yang hendak ia hampiri kini tengah memeluk pinggang seorang gadis dengan begitu bahagia. Tidak tanggung-tanggung, Sehun dihadapkan pada satu fakta menyebalkan, di mana gadis tersebut adalah salah satu oknum yang merusak suasana hatinya hari ini. Gadis minim, begitu Sehun menjulukinya. Kenapa? Karena hampir semua yang menjadi ciri khas gadis itu memang terhitung minim. Mulai dari tinggi badan, berat badan, bahkan pakaian yang dikenakan gadis itu. Minus, ukuran mata dan hidungnya. Untuk yang satu ini Sehun mengakui bahwa gadis tersebut memiliki ukuran mata yang cukup besar seperti boneka juga bentuk hidung yang tertarik sempurna ke atas. Sebenarnya gadis itu layak untuk disebut mungil, imut, dan lain sebagainya. Namun Sehun terlalu malas untuk memuji gadis yang telah merusak harinya.

Terlalu asyik bermain dengan sejumlah pemikirannya berkenaan tentang si gadis minim membuat Sehun tak menyadari bahwa Kai Kim telah berdiri tepat di hadapannya, menggantikan petugas keamanan yang semula menghadangnya. Mungkin pemilik manik obsidian ini takkan lekas kembali ke dunia nyata jika Kai tak segera menepuk bahunya. “Sedang memikirkan apa?” tanya pria berkulit tan itu sembari melepaskan kacamata tanpa frame –model terbaru—nya.

“Eh?” Sehun terkesiap. Maniknya berpendar spontan, mencari sosok gadis yang baru saja ia pikirkan dalam diam. Ia mendengus saat menemukan gadis itu telah berjalan mendekati pintu keluar. Sama sekali tak menyadari bahwa Kai jadi ikut menatap ke titik yang sama.

“Gadis itu—”

“Maaf, tapi aku ke sini bukan untuk mendengar cerita tentang kekasihmu yang sama sekali tidak penting, Tuan,” potong Sehun cepat.

“Iya … Tapi gadis itu—”

“Oh, ya. Luhan sedang ada urusan sebentar. Berbicara berdua denganku dulu, tidak masalah, ‘kan?” Lagi-lagi Sehun menyela ucapan Kai.

Kai menggeleng dengan senyum tipis yang membingkai ketampanannya. “Tentu saja tidak,” jawabnya. “Aku berharap banyak pada kalian.” Kai kembali menepuk bahu Sehun. “Aku yakin ada yang salah dengan kesimpulan akhir dua tahun lalu. Semuanya diputuskan terlalu cepat dalam keadaan mendesak. Aku sudah mencoba mengerti tapi … dia adalah orang yang sangat baik. Aku berhutang jasa padanya. Karena itulah ak—”

Sehun berdeham, memutus rentetan kalimat penjelas yang dilontarkan lawan bicaranya. “Bisakah kita bicarakan di tempat lain? Maksudku … di tempat yang lebih aman?”

Kai mengangguk lalu mengambil langkah lebarnya. Membiarkan Sehun mengekorinya tanpa bicara apa pun lagi.

-oOo-

Keesokan paginya, kelelapan Sehun terusik suara gaduh yang ditimbulkan Luhan. Pria ini mencoba menyembunyikan kepalanya di bawah bantal, serta berguling ke sana-kemari demi mengembalikan kenyamanannya. Lalu begitu tahu usahanya nihil, Sehun terpaksa memerintahkan saraf motoriknya bekerja. Mendudukkan diri di tepian ranjang meski sesekali terhuyung ke sisi kanan-kiri karena kesadarannya yang belum terkumpul sempurna.

Meskipun sibuk, Luhan tetap menyempatkan diri melempari Sehun dengan jilidan kertas yang terjangkau lengannya, lalu tergelak puas begitu tahu lemparannya tepat sasaran. “Bangunlah! Jangan kacaukan jadwal yang kita susun kemarin,” ujar Luhan di sisa tawanya.

“Aku lelah, Lu. Semalaman aku mencoba mencocokkan apa yang tertulis di buku harian mendiang Suho Kim dengan beberapa artikel yang beredar dan sekarang kepalaku berat sekali rasanya.” Untuk pertama kali Sehun berbicara dengan suara lemahnya. Keangkuhan yang selama ini menyelimuti seolah menguap bersama embun, pagi ini. Tak sulit bagi Luhan untuk memahami bahwa Sehun memang sedang kelelahan. Di pertemuan kemarin Kai Kim hanya mampu menyerahkan sebuah buku harian milik Suho Kim. Perlu dicatat, buku harian tersebut tebalnya bukan main. Sehun dan Luhan saja heran mendapati kenyataan bahwa di zaman modern ini masih ada pria dewasa yang suka menulis buku harian, terlebih semua isinya ditulis tangan langsung.

“Aku tak ingin tertidur sepanjang perjalananku,” imbuh Sehun sebelum menjatuhkan kepalanya kembali ke atas ranjang yang empuk.

“Bukan kau yang pergi, tapi aku.”

Serta merta Sehun mengangkat kepala. Obsidiannya ikut andil menghujam sosok Luhan yang masih saja larut dalam kegiatan berbenahnya. Tunggu dulu, berbenah? Pria itu benar-benar membereskan barang-barangnya? “Kau—” Sehun memutus kalimatnya begitu saja. Fokusnya mulai sibuk mengamati Luhan yang tengah sibuk memasukkan beberapa setel pakaiannya ke dalam sebuah koper hitam berukuran cukup besar.

“Kita tukar tempat saja. Aku sudah meminta izin ketua dan beliau mengabulkannya,” jelas Luhan. Ia menyempatkan diri membalas tatapan Sehun sebelum kembali pada kegiatannya. “Lagipula ada satu nama yang takkan berhasil kuselesaikan jika aku tetap di sini.”

Sepasang alis tebal Sehun menukik. Kesulitan menerjemahkan sederet kata yang baru saja disuap ke dalam pusat sarafnya. “Siapa?” tanya Sehun, tapi begitu menyadari penolakan yang Luhan tunjukkan ia pun lekas menambahkan, “Tak perlu menjawabnya. Pasti itu tak penting bagiku. Aku akan siap-siap untuk mengantarmu.”

“Bukannya kau masih mengantuk? Aku bisa naik kendaraan umum.”

Sehun menoleh di langkah terakhirnya sebelum meraih kenop pintu kamar mandi. “Sekarang tidak lagi. Kau tidak perlu memikirkanku sampai sebegitu khawatirnya. Well, ini setimpal mengingat aku bisa menikmati mobilmu dan apartemen ini sendirian selama—” Sehun berpikir sejenak. “Berapa lama kau akan pergi?” Sehun tetaplah Sehun. Pria yang lebih suka menutupi kebaikannya dengan segelintir kalimat bernada sinis.

“Seminggu, atau lebih, atau bisa juga kurang. Entahlah.” Luhan mengangkat bahunya, acuh. “Tergantung seberapa mudah kasus ini diselesaikan. Oh, iya.” Kali ini Luhan beralih menunjuk selembar kertas di atas meja kerja mereka. “Datangi alamat itu dan temui anak bungsu mendiang Suho Kim. Namanya … Ilana Kim.”

-oOo-

Seusai mengantarkan Luhan, Sehun bergegas memacu kuda besinya menuju ke alamat gadis yang digadang-gadang bernama Ilana Kim. Meskipun belum sempat membaca secara menyeluruh mengenai data diri narasumber –diam-diam- pertamanya tersebut, Sehun tak berniat sedikit pun menunda rencananya, dan dengan berbekal sedikit informasi mengenai sosok Ilana, Sehun pun membawa dirinya hingga ke tempat ini.

Luxury 11 Berlin-Mitte, yang ia ketahui merupakan salah satu apartemen terbaik di Berlin.

Manik sewarna obsidian milik Sehun berpendar sesaat, menelanjangi tiap sudut yang terjangkau olehnya. Begitu merasa cukup, barulah ia mengambil langkah lebarnya menuju ke meja resepsionis. Derap langkah Sehun memang teredam karpet merah yang tergelar di sepanjang jalan yang ia lewati, namun tidak dengan degup jantungnya yang berpacu melampaui batas normal. Sehun gugup. Ini memang bukan kasus perdananya, tapi perlu diketahui ini adalah kali pertamanya menjalankan tugas tanpa keberadaan sosok Luhan di dekatnya.

Setelah puas bertanya, Sehun pun meneruskan kembali perjalanannya sesuai informasi yang ia dapat. Langkah pria ini baru berhenti kala sepasang fokusnya menangkap angka 4 yang terpahat rapi pada salah satu pintu yang ada di lantai tiga.

“Stay cool, man! (Tetap tenang, man!),” Sehun meyakinkan diri sebelum menekan bel yang tersedia di sisi kanan pintu. “Everything will be okay, (Semuanya akan baik-baik saja,)” tambahnya lagi.

Setelah menekan bel beberapa kali, barulah pintu berayun terbuka. Alangkah terkejutnya Sehun begitu mengetahui siapa yang menyambutnya di balik pintu. Entah dosa apa yang telah ia lakukan hingga kini dirinya kembali dipertemukan dengan gadis menyebalkan –perusak harinya kemarin.

“KAU!” keduanya memekik di waktu yang bersamaan.

“Gadis minim?” pekik Sehun spontan.

“Gadis … apa kau bilang?” Sepasang alis hitam milik gadis di hadapan Sehun menukik, menambah lipatan heran dalam kerutan dahinya. “Untuk apa kau kemari, hah?” tanyanya, sinis.

Sehun memutar bola matanya jengkel. Dengan enggan ia pun menjawab, “Bertemu Ilana.”

Kening milik gadis di hadapan Sehun mengernyit semakin dalam. “Aku Ilana.”

“Maksudku Ilana Kim,” jelas Sehun, berharap gadis ini bukanlah Ilana yang harus ia hadapi. Karena jika benar, maka Sehun yakin perjalanannya kali ini tak akan mudah mengingat kesan pertama keduanya yang sangat buruk.

“Itu namaku, dan kenapa kau bisa mengetahuinya?” Gadis yang baru saja mengaku bernama Ilana itu tampak heran, walau tak lama kemudian ia tersadar akan sesuatu. Tak sabar, ia pun memuntahkan praduganya. “Aah, kau sedang ingin menyewa jasaku ya?”

Ganti Sehun yang mengernyit. “Jasa?” ulangnya tak mengerti. Pikirannya terantuk pada sejumlah usaha di bidang jasa yang ia ketahui. Semacam bisnis properti atau real estate. Mungkin gadis itu menyandang satu dari profesi tersebut, karena itulah dengan percaya dirinya Sehun pun meng-iya-kan pertanyaan Ilana. Berpasrah diri, namun tetap menampakkan ketenangan ketika ucapannya dibalas satu senyuman aneh yang belum ia ketahui sebabnya.

Ilana sendiri tak bergeming untuk waktu yang cukup lama. Hanya manik violet-nya yang asyik bergulir menekuri siluet tubuh yang kini berdiri tepat di hadapannya. Sampai akhirnya … “Masuklah!” Ilana mundur selangkah, sengaja memberi akses agar Sehun dapat memasuki kediamannya. Setelah memastikan bahwa tamunya telah duduk manis di kursi ruang tamu, Ilana menyodorkan satu selebaran yang diambilnya asal dari tumpukan kertas berwarna yang menggunung di sudut ruangan. “Aku hanya menyewakan status sebagai saudara, sahabat, dan kekasih. Kalau kau ingin mencari gadis untuk dijadikan istri, aku akan memberikan daftar gadis yang lain.”

Sehun terlongong mendengar penjelasan Ilana. Hanya sebagai saudara, sahabat, dan kekasih? Istri? Daftar gadis yang lain? Sepertinya Sehun menangkap ketidakberesan dari transaksi mereka ini. Jasa macam apa yang disewakan Ilana sebenarnya? Terlalu malu untuk bertanya, Sehun pun memutuskan untuk mencari jawabannya sendiri pada selembar kertas dalam genggamannya. Lalu, begitu mengetahui medan macam apa yang telah menjebaknya, Sehun pun menyeringai. Menarik juga. Pikirnya. Yakin bahwa permainannya dengan Ilana kali ini akan berbeda dengan berbagai kisah picisannya bersama sejumlah gadis di masa lalu.

“Jangan membuang—”

“Apa bajumu memang kurang bahan semua ya?” sela Sehun.

Ilana berdecak. Pria ini mulai lagi. Umpatnya dalam hati. Ingatannya tertarik mundur, mengingat kembali sederet kata pedas yang kemarin dimuntahkan pria di hadapannya secara cuma-cuma, apalagi pria itu juga sempat membahas ukuran dadanya dengan begitu vulgar. Tak ingin kejadian tempo hari terulang, gadis ini pun lekas menyahut, “Jika kau datang kemari hanya untuk menceramahiku, lebih baik kau pulang saja!”

“Tidak.” Sehun menggeleng santai, lalu menyandarkan tubuh pada sandaran sofa. “Aku ke sini tentu untuk menyewamu. Jadilah kekasihku selama satu bulan ke depan.”

“Hah? Be-berapa lama?” Ilana memekik.

“Sa-tu bu-lan, Nona,” ulang Sehun dengan sedikit penekanan di beberapa silabelnya.

“Kau yakin? Bayaranku cukup mahal.” Ilana menunjukkan senyum mengejeknya.

Sehun mencibir sambil mengangkat acuh kedua bahunya. “Tidak masalah. Sudah lama aku kehilangan pengeluaran fantastisku selama tinggal di sini. Hidupku sebenarnya nyaris membosankan—” Sehun kembali menyeringai sebelum merampungkan kalimatnya. “—tapi kurasa tidak lagi setelah bertemu denganmu.” Pemilik manik sewarna obsidian ini berdeham, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan dan dengan satu jarinya ia memerintahkan Ilana agar melakukan hal serupa. “Sebenarnya aku juga pria normal yang suka wanita seksi … sepertimu,” bisiknya kemudian, tepat di daun telinga Ilana.

Tergesa, Ilana kembali ke posisi tegapnya kemudian tertawa sinis. Berharap sikapnya ini dapat menutupi getaran pada tubuhnya karena hembusan napas Sehun yang sempat menyapa tengkuknya, namun sayangnya kedua pipi gadis ini justru merona di luar kendali. Respon konyol yang ditunjukkan Ilana ini sontak membuat Sehun berada di atas awan. Pria ini berasumsi bahwa mendekati Ilana tak sesulit yang ia bayangkan di awal. Belum tahu bahwa masih banyak sisi lain dalam diri Ilana yang belum dirinya ketahui. Sehun terlalu percaya diri dan menyimpulkan segalanya dengan terburu-buru.

“Bukankah kemarin kau menghinaku?” tantang Ilana.

Sehun memiringkan kepalanya ke sisi kiri dan kanan dengan fokusnya yang asyik memerhatikan Ilana dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia berdecak beberapa kali sebelum akhirnya menyuap kasar karbondioksida-nya ke udara. “Setelah kulihat lagi, untuk ukuran tubuhmu yang tidak terlalu tinggi, ukuran dadamu sudah bisa dikatakan pas. 34B, ‘kan? Atau 34A?” Sehun menunggu jawaban, namun Ilana tetap bungkam. Tanpa beban, Sehun pun kembali mengangkat bahunya. “Kau juga tidak sebodoh yang kupikirkan. Aku hanya terlalu terbawa emosi kemarin,” imbuh Sehun dengan senyumnya yang bisa membuat siapa pun meleleh. Ya. Siapa pun kecuali Ilana.

“Aku sama sekali tak mengenalmu tapi kau—”

“Namaku Sehun,” potong Sehun cepat. “Jadi, mana kontrak kerja kita?” ujar Sehun yang kontan membuat Ilana semakin terlongong tak percaya.

Jadi … pria ini serius?

Hari ini Ilana benar-benar gagal menutupi satu kelemahannya.

-oOo-

Di hitungan yang ke sepuluh, Ilana membuka kembali pintu apartemennya. Kepalanya menyembul di antara celah kecil yang ia cipta akibat sengaja tak membuka daun pintunya secara gamblang. Manik ungunya bergulir gelisah sebelum akhirnya terantuk pada satu titik –punggung Sehun yang bergerak menjauh dan menghilang di belokan pertama lantai ini. Gadis ini menggigit bibirnya. Satu kebiasaan yang tak bisa ia hilangkan ketika rasa gusar datang menyambangi pikirannya, serta mengusik ketenangan hatinya.

“Sudah kubilang jangan menggigit bibirmu seperti itu.” Ilana menolehkan kepalanya dengan gerakan yang bisa membuat siapa pun meringis melihatnya. Ah-ha. Gadis itu baru saja memutar kepalanya dalam satu kali gerakan yang dapat mematahkan lehernya. Baik, ini sedikit … berlebihan, tapi memang begitu adanya. “Kau seperti menggodaku untuk ikut menggigitnya, tahu?” Belum selesai keterkejutan pertama Ilana, kejutan lainnya datang begitu ia menemukan sesosok pria berkulit tan yang tak lagi asing.

“Kai?”

Kai tersenyum hangat. Mengunci lengkungan tersebut selama beberapa saat, lalu bertanya, “Siapa?” Manik cokelatnya ikut menatap ke titik yang sebelumnya menjadi pusat perhatian Ilana. “Klienmu, atau … keka—”

“Klien baruku. Kau tahu, ‘kan, aku belum berminat untuk menjalin hubungan serius?” sela Ilana. Nada bicaranya naik karena tak suka membahas hal yang jika dilanjutkan hanya akan membangkitkan ingatan masa lalunya. “Ada apa kemari?” Ilana kini balik bertanya. Sadar telah melupakan sesuatu, gadis ini pun bergegas menuju salah satu lemari besar sambil menggumamkan kata ‘Masuklah!’. Membiarkan Kai menutup pintunya sendiri, tidak seperti saat menyambut kedatangan Sehun tadi. Bukan karena Ilana tidak menyukai kedatangan Kai, namun lebih kepada ‘Kai bukanlah orang asing seperti Sehun’.

“Ini berarti aku kalah lagi ya?” Kai kembali tertarik untuk membicarakan pria yang tadi di lihatnya di lorong bagian luar apartemen. Pria ini sudah duduk nyaman di ruang tengah, bahkan dengan santainya mengganti channel televisi tanpa seizin empunya.

Ilana muncul di hadapan Kai dengan dua gelas tinggi tergenggam di tangan kanan dan sebotol wine di tangannya yang lain. “Ayolah, Kai! Harus berapa kali kukatakan? Aku takkan pernah mau kau sewa,” seloroh Ilana sembari meletakkan botol tadi ke atas meja, lalu menyerahkan satu dari dua gelas tinggi yang ia bawa pada Kai.

“Minum wine di siang bolong begini?” ucap Kai dengan satu alisnya yang terangkat. “Buatkan aku secangkir kopi saja,” tolak Kai sembari meletakkan gelas tinggi pemberian Ilana ke atas meja. Membiarkan ketinggiannya tertelan botol hitam yang telah lebih dahulu terabaikan.

Satu dengusan kecil disuap Ilana ke udara. Selalu begini. Keluhnya dalam hati. Ilana mengenal Kai sejak keduanya masih sangat kecil. Kai selalu menjaganya dan membatasi pola kehidupannya dalam hal ini dan itu, tapi sialnya ia tak dapat membantah sekalipun ingin. Kai terlalu baik untuk dibantah. Itulah yang selalu ditekankan gadis ini dalam hati. Seperti saat ini, Ilana sudah kembali dengan membawa dua kaleng kopi instan. Terlalu malas untuk menenggelamkan diri bersama kitchen set-nya hanya demi dua cangkir kopi panas.

Baru saja Kai membuka mulutnya, Ilana sudah memotong. “Yang penting kopi.” Gadis ini sudah hafal betul karakter dan tindak tanduk Kai. Jadi, sebelum pria itu melayangkan sebuah aksi protes Ilana akan bergegas menyelanya.

“Bukan itu.” Kai menarik Ilana agar duduk di sampingnya. “Aku baru sadar warna ungu sedikit mendominasi apartemenmu sekarang. Kenapa dirubah? Bukankah kau tak begitu menyukai warna ungu?” Kai memuntahkan pertanyaannya yang tidaklah penting.

Ilana tersenyum puas, lalu menunjuk manik violet-nya. “Aku hanya menyesuaikannya dengan warna mataku yang indah ini,” ucapnya berbangga hati. Gadis ini pun tahu bahwa Kai begitu menyukai warna bola matanya yang langka, warisan sang Ibunda.

“Kau ini …” Kai yang kehabisan kata hanya mampu terkekeh. “Jadi siapa pria tadi?”

Ilana menoleh. “Maksudmu pria yang mana?” balas tanya gadis ini.

“Yang tadi kau intip kepergiannya, Nona Kim.”

Sekilas Ilana membentuk huruf ‘o’ tanpa suara dengan bibirnya. “Namanya Sehun dan dia pria yang sangat-sangat menyebalkan!”

Senyum simpul membingkai wajah Kai. Sayangnya Ilana tidak menyadari makna tersembunyi di balik lengkungan sempurna tersebut. Sejatinya Kai membenarkan ucapan Ilana dalam hati mengingat bagaimana cara bicara Sehun saat menjumpainya kemarin. Pria itu berbicara semaunya dengan nada angkuh. Namun Kai tetap mengacungkan satu ibu jarinya melihat hasil kerja Sehun, pria itu pintar menutupi identitasnya, terbukti dari Ilana yang kini tidak menuai secuil pun rasa curiga. Baik pada Sehun, ataupun dirinya.

“Dia menyewaku selama sebulan. Kau tahu, ‘kan? Bayaranku selama satu hari saja sudah bisa dikatakan mahal, tapi dia justru memintaku selama tiga puluh hari yang jika dikalkulasikan bayaranku bisa mencapai puluhan juta dolar,” ucap Ilana lagi, lebih menggebu dari sebelumnya.

Lagi-lagi Kai tersenyum lalu mendaratkan telapak tangannya di puncak kepala Ilana. Ia berujar masih dengan segala ketenangan yang terpancar, “Setelah klienmu yang satu ini selesai, tutup saja usahamu.” Kai terpaksa menahan geli saat menyisipkan kata ‘usaha’ dalam kalimatnya, namun demi menutupinya pria ini lekas menambahkan. “Aku bisa membiayaimu, Sayang.” Tangan Kai bergerak turun, menyambangi kelembutan pipi kanan Ilana. Sudah bukan hal aneh lagi jika Kai memanggil Ilana dengan segala panggilan sayangnya. Meski sempat risih, pada akhirnya gadis itu pun ikut terbiasa bahkan berani melakukan hal yang sama. Walau, ya … tak ada ikatan apa pun yang mengikat keduanya.

“Dan menikmati uang yang sebagian besar kau dapatkan dari Ritz-Carlton Hotel Company LLC, begitu?” balas Ilana sengit. Nadanya tidak berubah ketika ia kembali memuntahkan kalimat lainnya. “Oh, tidak perlu repot-repot, Tuan Kim.”

Kai melenguh panjang. “Ayolah, Ilana! Kembalilah dan bantu Kakakmu. Aku yakin dia kesulitan, apalagi Ritz-Carlton saat ini bukan lagi perusahaan induk. Marriott International Company sudah membeli sebagian besar sahamnya satu bulan lalu. Apa kau tak kasihan pada Kakakmu Lena? Dia harus bolak-balik Jerman-Amerika demi mengurus perusahaan, sementara kau dan Minseok hyung meninggalkannya begitu saja.” Kai mulai serius membahas salah satu topik yang Ilana benci, tak peduli meski ini hanya akan menyulut bara api di hati Ilana. “Tidakkah kau ingin mengurus saham milikmu yang tersisa di New York dan merebut kembali hak penuh atas brand keluargamu? Aku berjanji akan membantumu, Lana.”

Benar-benar tak mau ambil pusing, Ilana mengibaskan satu tangannya di udara, kemudian menenggak habis kopinya. “Aku tidak peduli. Aku tak sudi menenggelamkan diriku pada hal yang membuat seorang anak kehilangan momen penting bersama Ayahnya. Lagipula Lena memilikimu yang siap membantunya kapan saja.”

“Tapi aku hanya seorang karyawan biasa saat ini. Sepertinya pamanmu tak terlalu memercayaiku. Dia dan ayahmu begitu berbeda, karena itulah aku memutuskan untuk lebih fokus pada profesiku sebagai dosen.”

“Kalau begitu kau tinggal meyakinkan Paman Kris dan meraih kembali posisimu. Mudah, ‘kan?” sahut Ilana enteng.

“Ilanaaa …”

“Aah! Jika kau kemari hanya untuk membahas hal ini, aku akan pergi ke tempat tidur sekarang juga,” ancam Ilana.

Kai menyeringai. “Tidak masalah. Aku akan menemanimu dengan senang hati.”

“KAI!” jerit Ilana, ngeri melihat tatapan seduktif yang baru saja dilayangkan Kai padanya. “Kau satu-satunya dosen mesum yang kutahu,” ledeknya. Usia Kai memang terpaut beberapa tahun lebih tua dari Ilana, namun ia tak ingin repot-repot menambahkan embel-embel ‘Kakak’ dalam caranya memanggil pria itu. Hal ini pun dianggap wajar dalam budaya Eropa yang telah keduanya kenal sejak kecil.

“Maaf. Mungkin karena aku terlalu mencintaimu, jadi sedikit sulit bagiku menahan diri.”

Ilana terkesima mendengar ucapan Kai. Fokusnya menikam lurus sosok pria yang baru saja mengalihkan pandangannya ke layar televisi. Tak ada kekehan apa pun yang disuarakan Kai, menandakan bahwa pria itu masih serius dengan apa yang baru saja ia katakan. “Sudah kubilang, kau tak perlu menungguku, Kai. Kau berhak mendapatkan gadis lain yang jauh lebih baik.”

“Tapi aku hanya menginginkanmu.” Kai memutar tubuhnya ke arah Ilana, melingkarkan tangannya di pinggang gadis itu lalu menariknya lebih dekat. Sementara satu tangannya yang bebas mendarat di pipi pualam Ilana, melakukan gerakan memutar yang begitu lembut dan memabukkan. Di tengah keintiman yang ia ciptakan sendiri, pria berkulit tan itu berbisik, “Kai hanya membutuhkan Ilana.”

Cepat tanggap, Ilana menekankan kedua tangannya di dada Kai. Berusaha mencegah pergerakan pria itu. Ia sadar Kai tengah mencoba untuk mencuri ciumannya lagi, untuk kesekian kali. “I can’t. Sorry. (Aku tidak bisa. Maaf.)” Secara perlahan Ilana membebaskan diri dari kungkungan Kai. Ia bangkit kemudian melesat pergi ke kamarnya tanpa pamit.

Kalau sudah begini, tandanya Kai harus segera pergi meninggalkan apartemen ini.

-oOo-

Sehun tengah berkutat dengan setumpuk artikel di meja kerjanya ketika Luhan menelepon. Sengaja pria ini menyalakan feature loudspeaker pada ponselnya agar kegiatannya tak begitu terganggu. Setidaknya ia tak perlu repot-repot menempelkan ponselnya ke telinga, meski ya … fokusnya tetap akan terbagi.

“Ada apa?” tanya Sehun mengawali percakapan. Tetap ketus seperti biasanya.

“Aku sudah sampai,” suara Luhan menggema melalui speaker ponsel pintar Sehun.

Manik sewarna obsidian milik Sehun melirik jengkel benda elektronik kebanggaannya yang tergeletak di meja, seolah benda tersebut adalah Luhan. “Aku tidak bertanya, ‘kan? Kalau kau menghubungiku hanya untuk mengatakan hal yang tidak penting, aku akan menutupnya.”

“Ck. Bagaimana? Apa kau sudah menemui … Ilana Kim?”

Mendengar nama Ilana yang baru saja Luhan serukan, Sehun kontan menghentikan kegiatannya. Punggungnya yang semula tegap pun langsung terjatuh menyapa sandaran kursi. Dalam diam pria ini mengangguk, namun begitu sadar bahwa Luhan takkan mungkin melihatnya, Sehun lekas mengganti jawabannya dalam bentuk lisan. “Sudah. Menurutku gadis itu agak aneh. Percaya atau tidak aku baru saja menyewanya sebagai kekasihku.”

“Menyewa?”

“Ya.” Merasa Luhan tak berminat menyahuti ucapannya, Sehun pun menambahkan, “Sepertinya Kai Kim menyukai Ilana.”

“Begitukah? Kau jangan sok tahu!”

“Tadi aku sempat mengintip dia mengunjungi Ilana di apartemennya tak lama setelah aku pulang. Dari caranya menatap Ilana … Ah, sudahlah! Ini bukan bahasan yang penting,” ujar Sehun, mengakhiri racauannya sendiri. Manik berwarna birunya kembali bergulir searah dengan serentet kata yang tercetak kecil-kecil pada salah satu halaman koran yang ia baca. “Aku menemukan banyak sekali keganjilan dari diagnosa akhir yang diambil badan intelijen dua tahun lalu itu. Suho Kim memang mabuk tapi dari rekaman CCTV yang ketua berikan padaku, aku rasa dia tidak sepenuhnya kehilangan kesadaran. Bisakah kau mengambil rekaman CCTV yang lain? Kita tidak bisa mengandalkan satu rekaman saja.”

“Waah,” Luhan memekik cukup keras, terbukti dari suaranya yang menggema menyamarkan detak jarum jam. “Kau sudah mulai berani ambil keputusan dan memerintahku ya? Aku ini masih seniormu.”

Sehun berdecak. “Aku serius, Lu! Aku yakin Suho Kim tidak bunuh diri, tapi—”

“Tapi apa?”

“Dibunuh.”

Meski samar, Sehun tetap bisa mendengar Luhan mendesah dari seberang sana. “Sebenarnya aku juga sudah berniat untuk meminta rekaman CCTV yang lain. Walaupun aku yakin ini tidak akan mudah. Jika aku berhasil mendapatkannya akan segera kukirimkan padamu.”

Belum sempat Sehun menyahut, Luhan sudah lebih dulu memutus sambungan telepon. Menyisakan Sehun dalam kesendiriannya. Pikiran Sehun menerawang. Mengingat kembali kehidupan lamanya, berlanjut pada kasus kematian Suho Kim yang dipenuhi kejanggalan, lalu ditutup oleh bayangan gadis yang ia temui tadi pagi. “Sepertinya gadis itu akan membuat segalanya menjadi lebih menyenangkan,” gumam Sehun diikuti senyum miringnya. Menaklukkan seorang gadis memang bukan lagi hal baru bagi Sehun, mengingat betapa brengseknya ia di masa lalu.

Sejak dulu Sehun tak pernah gagal mendapatkan apa yang ia inginkan.

Sebuah ambisi baru saja tertanam dalam hati Sehun. Dirinya berkeyakinan dapat menyelesaikan kasus Suho Kim ini tanpa cela, lalu menganggap Ilana sebagai bonus yang akan ia lepas setelah semuanya berhasil. Toh, sejauh ini Sehun memang membutuhkan Ilana untuk mempermulus jalannya menuju kesuksesan. Just it!

See? He was born to be a jerk. So sly, right?

-oOo-

Kai membawa plastik belanjaannya ke dapur. Dengan telaten ia menyusun lima cup ramen yang dibelinya ke dalam lemari makanan. Satu kebiasaan pria ini adalah ia dapat menghabiskan banyak waktunya demi memilah cup ramen jenis apa yang ia sukai dan ingin ia beli. Begitu pula ketika menyusunnya ke dalam lemari makanan, Kai akan dengan teliti memisahkannya sesuai tanggal kadaluarsa yang tertera pada masing-masing cup.

Puas dengan hasil kerjanya, Kai pun mengambil salah satu cup lalu menyeduhnya dengan persediaan air panas yang ia miliki. “Sudah berapa lama ya aku tidak makan ramen?”

Sesudahnya Kai tampak mengeluarkan sesuatu yang tersisa dari dalam plastik belanjaannya, kemudian tersenyum samar. Seolah lupa pada satu cup ramen yang menanti untuk disantap, Kai justru menyeret sepasang tungkainya secara tergesa untuk memasuki ruangan yang berada tepat di samping kamarnya. Pria berkulit tan itu mulai sibuk memenuhi alveolus-nya dengan aroma Shalimar yang memabukkan. Manik cokelatnya berbinar kala menangkap sebuah bingkai foto berukuran medium yang tergantung posesif di sisi tembok –satu benda sakral yang selalu berhasil menarik seluruh kuriositas Kai. Umpama sebuah magnet, Kai tak pernah bisa menghalau keinginannya menghampiri bingkai tersebut, namun untuk kali ini saja Kai ingin lebih dulu menyelesaikan tugasnya.

“I’ll make the change (Aku akan membuat perubahan,)” seloroh Kai sebelum menarik sebuah kursi yang dapat membantu melancarkan aksinya dengan cekatan.

– To be continued –

.

.

Main Cast :

-0-

Supported Cast :

AUTHOR’S NOTE

Haiiii~ Aku bawa cerita baru yang mungkin (baru mungkin lho ya …) bakal lebih ‘liar’ dibanding FF chapter yang kubuat sebelumnya. Pengaruh setting tempat juga kali ya.~ Yup! Di FF ini aku gak bakal pake Korea sebagai setting tempatnya. Kenapa? Karena aku pengen menyesuaikan sama ide ceritanya aja sih.

Gimana? Masih pada bingung kah? Wajar sih, namanya juga baru awal. Tapi seiring berjalannya chapter dijamin bakal ngerti kok. FF ini masih seputar kehidupan lah ya, aku ambil dari banyak kejadian nyata yang kadang suka dipandang sebelah mata. Kadang manusia kan suka gak nyadar kalo sesuatu yang keliatan biasa itu bisa berubah jadi luar biasa setelah diabaikan. Entah larinya ke positif atau negatif. Semoga aja bisa worth it dan gak berhenti di tengah jalan karena aku keburu pesimis duluan sama respon pembaca *eh malah curhat kan kan kaaan -_-

Untuk kasus kematian Suho sendiri aku ngutip dari salah satu artikel ‘Misteri kematian Elisa Lam di Hotel Cecil’. Mungkin buat yang sering nonton berita bakal tau ya? Nah, dari artikel itu aku kembangin lagi pake imajinasi sendiri, abis kurang srek sih sama hasil akhir dari kasus dua tahun lalu itu dan kalo aslinya Elisa Lam adalah perempuan, di sini gender ‘korban’-nya aku ganti pake laki-laki. Biar gak terlalu sadis aja. Hehe

Untuk nama di sini emang aku bikin sendiri, termasuk nama pemilik Ritz-Carlton sama Marriott International. Aku gak akan bawa nama Chaesar Ritz, J.W. Marriott, Bill Marriott, Arne Sorenson atau sejumlah nama lain yang ada hubungannya real sama dua perusahaan itu. Alasannya simple, biar tetep ada bumbu-bumbu Koreanya hehe. Tapi soal beberapa tempat yang aku sebutin di FF ini, mulai dari apartemen, Midtown Manhattan, Empire State Building, Universitas Berlin  itu emang beneran ada makanya sengaja aku sertain fotonya biar kalian yang baca bisa lebih enak bayanginnya. Brand Ritz-Carlton  juga pasti sebagian udah pada denger kan? {Salah satu hotelnya juga ada yang nangkring di Jakarta, yang sempet kena bom kemarin itu lho). Tadinya aku mau pake Calvin Klein, tapi batal setelah nemuin banyak faktanya Ritz-Carlton yang lebih sesuai sama jalan cerita FF ini, termasuk jatuhnya Ritz-Carlton ke tangan Marriott International, Inc. Pas banget ngegambarin kondisi saham yang menurun setelah ditinggal ‘pergi’ pemiliknya (yang ini aku ngepas2in aja sih) hehe. Intinya aku sengaja masukin bumbu ‘real’ di FF ini biar ada ilmu pengetahuan yang tetep bisa diserap pembaca. Apalagi yang masih kecil-kecil, ambil yang positif dan buang yang negatifnya yaaa :D Tapi tetep lho, cerita ini bukan berpusat di masalah bisnisnya, itu cuma sekedar side story aja karena ceritanya Suho Kim ini pemilik dari Ritz Carlton~

To be honest, aku juga author biasa yang pengen karyanya dihargai. Jadi, dimohon dengan sangat buat kalian yang udah baca jangan kabur gitu aja ya. Aku udah berencana buat bikin aturan main baru sejak diluncurkannya FF ini #ceileh~ Aku bakal private 3 chapter terakhir dan yang bisa dapet passwordnya cuma mereka yang bener-bener ninggalin jejak di tiap chapternya (bolong-bolong apalagi lompat-lompat enggak diitung lho ya :p). Cuma pengen meminimalisir siders aja sih. Hayati lelah abisnya. Capek-capek nulis tapi penyemangatnya sedikit banget. Padahal komentar readers itu something precious banget for me. Bahkan aku juga udah niat kalo FF ini yang minatnya minim alias dikit pake banget dalam kurun waktu 3 hari bakal langsung aku hapus~ Biar aku fokus ke FF-ku sebelumnya yang emang udah biasa sepi.

Numpang promosi dikit ya, kali aja ada yang mau kenalan lebih deket /?

Facebook : Arlene Park

Twitter/IG : @babyyoo56

WP : arleenepark.wordpress.com

Oke. Sebelum ini A/N panjangnya ngalahin ficlet, aku stop di sini deh. Sekali lagi diinget-inget ya aturan mainnya, kalo 3 hari minim pengunjung aku bener-bener bakal hapus FF ini. Thank you and …

BE A GOOD READER, PLEASE~

Filed under: AU, Hurt, Life, mystery, Psycho, Psychologic, romance Tagged: Kai Kim, kim minseok, kris wu, Luhan, OC, oh sehun, Suho Kim

Show more