story by slmnabil
in association with jungleelovely @ posterchannel
prolog | prev
Hyena menatap lamat-lamat refleksi-refleksi dalam benda persegi panjang yang dipajang di meja panjang samping daun pintu. Syukurlah ia sempat mereparasi dengan figura usang temuannya di laci, kalau tidak tamatlah sudah.
Ada tiga orang, Jongin, pria paruh baya, dan di antaranya ada wanita itu. Wanita yang disebut-sebut Dokter oleh mereka.
Jadi orang itu ya?
Hyena masih ingat betul apa yang ia temukan saat melukai kakinya, ini adalah sebuah foto mereka bertiga berlatar rumah berdesain minimalis. Ia juga masih bisa merasakan emosi yang dirasakannya saat membaca deret kata di baliknya.
Penghapusan memori pertamamu! Hiduplah dengan baik, Kai!
Pantas Jongin tenang-tenang saja meski tinggal satu atap dengan dirinya. Pria itu tidak ingat apa-apa tentang Kim Ahra, setidaknya itulah yang dapat Hyena tangkap.
Namun malam itu, saat pertama kali ia melihat Jongin lagi, kenapa Kim Jongin begitu santainya berbicara tentang putrinya? Apakah penghapusan ingatannya masih samar-samar?
Tapi yang sangat Hyena pertanyakan adalah, apa jadinya Jongin jika ingatannya tidak dihapus? Akankah ia menjadi gila atau semacamnya? She had no idea. Dan apakah Hyena memperdulikannya? Yang satu itu… kalau boleh jujur ia juga tak tahu.
Awalnya Hyena merasa seperti dirinya akan meledak, dan dengan tinggal bersama pria itu lagi pikirnya ia bisa menghancurkan Jongin perlahan. Tapi mengapa beberapa hari di tempat ini ia tidak melihat sisi mengerikan seorang Kai? Segala yang ia lihat adalah Kim Jongin, Jonginnya yang dulu.
Ia terlalu banyak tersenyum, dan cara Jongin memperlakukannya…. Hyena menyukainya. Jongin menyediakan kursi roda untuknya, membuatkan dapur sekaligus alat-alat dan bahan-bahan masaknya meski Hyena tahu lelaki itu bisa saja terganggu. Jongin yang disebut-sebut sebagai Kai, tidak ada niatan untuk kembali menjadi seorang yang normal. Mungkin dia sudah kecanduan, just like morphine, right?
Mengerikan ya? Dunia ini?
Dulu sekali, saat seorang Jeon Hyena dan Kim Jongin masih berkencan, seperti halnya pasangan muda yang lainnya, mereka juga pernah merasakan apa itu berpisah dan saling melupakan. Namun kalian tahu, bahkan belum genap 8 jam sejak perpisahan mereka, Jongin sudah menghubunginya lagi. Ia begitu mudahnya kembali. Dan seharusnya tidak sulit meninggalkan titel Kai.
But life goes on, you know. Kepribadian seseorang bisa berubah, begitu pula Jongin dan dirinya. Rasanya untuk kali ini, mereka berdua sama-sama berkembang menjadi manusia mengerikan. Jongin dengan kanibalnya, dan Hyena dengan rasa ingin membunuh Jongin.
Aku hanya akan menutup mata, terlepas bagaimana Jongin di masa lalu, aku tidak akan membiarkan dendamku begitu saja. Mulai saat ini, manusia itu bernama Kai.
“Boleh aku menemuinya? Istrimu?”
Hyena menajamkan inderanya. Ia jadi ingat kata-kata Seulgi tentang menguping, tapi yah bagaimana lagi tempat ini terlalu hening bagi dirinya untuk tidak mendengarkan.
“Hyena tidak dalam kondisi bisa bersosialisasi dengan baik. Nanti, aku janji akan mempertemukannya denganmu, Dok.”
Suara Jongin terdengar semakin samar, itu tandanya mereka tidak lagi berada di depan kamarnya. Dan Hyena kehilangan kesempatan untuk mencari tahu, ingatan apa yang dihapus sebenarnya.
“Kau kenapa?”
Hyena mendongak begitu suara berat yang begitu akrab menyapa gendang telinganya, milik Jongin.
“Tidak ada apa-apa,” timpalnya gemetar sembari menyisir rambutnya dengan jari. Irisnya berpendar ke penjuru ruangan, seperti mencari spot yang baik agar tak bertemu pandang dengan Jongin.
“Bohong, kau menyisir rambutmu seperti itu jika sedang gugup. Ceritakan, ada apa sebenarnya?”
Ia tidak melakukan apa-apa, namun rasanya seperti tertangkap basah saat mengutil. Sial, mata elang itu belum ada matinya juga.
“Aneh saja, kenapa kau baik padaku.”
Jongin tertawa ringan, baiklah yang pertama untuk hari ini. Sinyal bagi Hyena agar ia bersiap karena mungkin Jongin akan melakukan hal itu sepanjang hari.
“Karena kau cantik sekali hari ini.”
Aku butuh oksigen, tolong. Gosh kenapa dia berlutut?
Jongin berbicara lagi, “Jeon, mau berkecan?” katanya.
Mau tak mau pandangan mereka bertemu. “Kenapa tiba-tiba kencan?”
“Karena…karena….” Jongin menggantung kalimatnya. Ia menatap lamat-lamat wanita di hadapannya, seperti mencari sesuatu yang bisa dijadikannya alibi. “Pakaianmu, bukankah persediannya sudah habis?”
“Tidak perlu, aku baik-baik saja. Lagipula akan merepotkanmu.”
Hyena menempatkan ruas-ruas jarinya ke benda lingkaran di sisi-sisi kursi penopangnya, berancang-ancang untuk menarik diri menjauh dari Kim Jongin. Membayangkan pria itu mendorong-dorongnya seperti karung beras, ah memalukan sekali.
Hyena mengerjap, tak ada pergerakan berarti. Look like she struggling under his control. Jongin menahan roda pemutarnya. “Kalau itu wanitaku, apa lagi yang perlu kupikirkan? Ayo, beli banyak pakaian dan aku harus memberimu gizi. Lihat pipimu, tirus sekali.”
Pria itu meluruskan tungkainya sebelum berjalan setengah putaran ke gagang pendorong kursi. Tanpa berkata macam-macam Jongin mendorong kursi, membuat karet rodanya bergesekan dengan lantai kayu. Jongin menuntunnya keluar dari sarang, dan Hyena tidak tahu arah jalan pikiran pria itu. Jongin bisa saja mencelakainya, siapa yang tahu ia tiba-tiba hilang kendali?
“Kalian mau kemana?” Itu yang Seulgi tanyakan saat Jongin tengah mengangkat tubuh mungil Hyena ke mobil audy hitamnya.
“Membeli beberapa perlengkapan,” timpal Jongin tanpa balas menatap Seulgi. Ia memutar langkah mengitari bagian depan mobil dan menarik gagang pintunya sebelum mengatakan, “Dan kau tidur duluan saja, tidak perlu menungguku,” yang disusul suara debuman yang cukup kencang saat Jongin menutup pintu.
Hyena menunggu sampai Jongin benar-benar melajukan audy miliknya, hanya saja mesin-mesin di bawah sana tak kunjung beroperasi.
“Apa?” tanya Hyena gugup, kentara sekali dari suaranya yang terdengar gemetar.
Hyena pernah mendengar kalau para pria lebih suka menggunakan bahasa tubuh dibanding melisankannya, ia tak percaya Jongin juga salah satunya. “Your seatbelt, Madam.”
Jongin mengulurkan lengannya, menarik sabuk pengaman dari arah samping kanan Hyena. Epidermis mereka sempat bersinggungan, dan rasanya Hyena benar-benar bisa kehilangan pasokan oksigen jika Jongin seenaknya saja menyentuhnya seperti itu.
Tapi Jongin hanya tersenyum saja. Sialan memang.
—
Tahu rasanya menjadi manusia terbodoh di muka bumi ini? Seperti ketinggalan berita terbaru idola kesayanganmu sedang orang lain sudah menggila sejak lama. Hyena tahu betul perasaan macam apa itu.
“Aku tidak tahu akan setenang ini.”
Mall-mall besar beroperasi sebagaimana mestinya, para ibu mengantarkan anaknya ke sekolah, pejalan kaki yang menunggu lampu menyala hijau, bahkan rumah makan sekalipun tampak dipadati pengunjung.
“Memang apa yang kau harapkan? Saling membunuh? Darah?” Jongin mencecarnya dengan pertanyaan, menoleh ke arah Hyena sembari menunggu mobil di depannya melaju.
Hyena tidak bisa menjawab, takut-takut kalau Jongin bisa saja tersinggung. Namun ya, ia kira seluruh penjuru negeri akan porak poranda. Ia sering melihat asap pembakaran dari sisi timur rumahnya, jadi pikirnya Korea benar-benar kacau.
“Hei sepertinya kau harus lebih sering keluar, wawasanmu buruk sekali,” cibir Jongin. “Kasino Key berhasil membuat kesepakatan dengan La Food dan seminggu yang lalu pasokan makanan besar-besaran di kirim ke Seoul.”
Hyena menimpali. “Tapi Key tidak pernah mengatakan apapun,” yang rupanya membuat Jongin menancap gasnya lebih cepat saat lampu merah berganti hijau. Hyena hampir saja terlempar ke depan kalau ia tidak berpegangan lebih kuat.
Baiklah, aku meragukan lisensi mengemudinya sekarang.
“Lalu, apa yang mereka lakukan dengan makanannya?”
Jongin berdeham sejenak sebelum berkata, “Mereka menyebarkannya, ke restaurant yang memang sudah bekerja sama sejak awal atau yang berani membayar dengan harga tinggi. Seperti yang kau lihat restaurant bisa beroperasi kembali.”
“Memangnya masih ada yang mau membelinya?”
“Jika sejatinya mereka anak baik maka ia bisa kembali menjadi anak baik, namun jika sudah kecanduan mereka bisa melanjutkan rutinitas barunya.”
“Jadi maksudmu tidak ada kanibal lagi?”
Jongin mengurangi kecepatan mobilnya, Hyena terlalu banyak bertanya hari ini untuk ukuran seorang wanita yang sebut saja bisa berada dalam bahaya, karena kalian tahu ia berada di suatu ruangan yang sama dengan seorang kanibal.
Hyena tidak terlihat takut, mungkin ia terbawa kebiasaan. Jika sedang bepergian seperti ini biasanya wanita itu tidak berhenti bicara sejak awal perjalanan sampai tiba di tempat tujuan, dan Jongin akan menimpali setiap perkataannya. Namun jika jawabannya semakin singkat, Hyena akan mengamuk dan pura-pura tertidur.
Dan Jeon Hyena masih tetap sama.
“Bukan begitu. Mereka bisa memilih, menjadi seorang yang normal atau tetap bertahan dengan makanan spesial itu, karena kau tahu kanibalisme sudah menjadi konformitas. But you, you still pure, my lucky girl.” Jongin mengerlingkan maniknya.
“Kau juga bisa, Jongin.”
Hyena tidak tahu apakah menghasut Kim Jongin untuk kembali ke karakter sejatinya bisa membuat ingatannya kembali, kendati ia tidak tahu apa yang akan menimpa Jongin namun Hyena yakin itu adalah sesuatu yang tidak baik bagi Jongin. Ia ingin mencoba saja.
“Aku tidak ada niatan untuk kembali Hyena.”
So you’re scared huh?
Jongin melanjutkan, “Sekarang keluar,” katanya. Hyena mengerjap beberapa kali, memastikan apakah Jongin benar-benar mengatakan dua kata itu kepadanya. Namun kemudian Jongin tersenyum, “Sudah sampai, Sayang.”
Kalian tahu, Kim Jongin selalu berhasil membuat Hyena terpana. Ia mungkin bisa membuatnya mati berdiri. Hyena masih belum berkutik saat Jongin keluar terlebih dulu sebelum membukakan pintu sisi kanan tubuhnya, siap dengan kursi roda yang sengaja dibawanya.
Jongin tidak pernah meminta izin untuk menyentuh Hyena, dan sebenarnya sampai detik ini pun ia tidak membutuhkan persetujuan wanita itu. Ia santai saja menempatkan lengannya di leher dan lutut Hyena, memindahkan berat tubuhnya ke lengan berototnya sebelum mendudukan Hyena di kursi rodanya.
“Tunggu!” Hyena berseru sebelum Jongin mendorongnya ke pintu masuk.
Ia memutar lehernya ke belakang dan sedikit mendongak, membuat Jongin melakukan pergerakan untuk menyeimbanginya. “Kau tidak malu?”
“Jangan mengatakan hal-hal yang tidak perlu,” sahut Jongin.
Hyena tidak tahu respon macam apa yang Jongin berikan, ia bukan seorang pembaca ekspresi lagipula. Namun tiga tahun hidup bersama Kim Jongin membuatnya secara asal menarik kesimpulan kalau pria itu sedikit terganggu dengan perkataannya tadi. But why? Hyena baru saja menanyakannya jika Jongin tidak membawanya paksa memasuki area pusat perbelanjaan.
Tempat seperti ini masih saja padat pengunjung, membuat Hyena benar-benar merasa konyol karena spekulasi-spekulasinya yang tak berdasar fakta. Ia menganggap semua orang itu sudah menjadi tak waras, hanya dirinya lah yang masih pantas disebut manusia. Ternyata kepantasan bukanlah sesuatu yang boleh ia nilai.
Hyena bisa merasakan langkah Jongin yang melambat saat pasangan siswa sekolahan melintas. Mereka saling bergurau dengan posisi jemari yang saling mengait, luapan kebahagiaan yang tidak dapat disembunyikan.
“Aku iri.”
Hyena tersenyum. “Aku tahu,” timpalnya singkat. Ia memang jelas menyadarinya, dulu Jongin pernah merajuk hebat karena ingin melakukan hal semacam itu.
“Dude, do something about your desire.”
Hyena menyingkirkan lengan Jongin yang berusaha melingkari bahunya.
“Kau yang lakukan sesatu, kau! Kau yakin gender kita tidak tertukar? Para gadis biasanya selalu memimpikan macam-macam tentang romance.”
“Heol! Sekarang kau bahkan membandingkanku dengan gadis lain?”timpal Hyena.
Dan mereka akan mulai bertengkar.
“Ah, akan lebih baik jika Ahra bersama dengan kita sekarang,” kata Hyena saat melintasi sebuah toko pakaian anak.
Mendengar itu Jongin memperlambat langkahnya. “Ahra? Siapa dia? Temanmu?”
“Kau tidak ingat? Kim Ahra, dia putrimu.”
“Putri?”
–to be continued-
Filed under: Fantasy, revenge, romance, Thriller, tragedy Tagged: Kai EXO, Kim Jong In, OC, SHINee