2015-04-01



Tittle          : We’re Married (Chapter 8) #Pov Ver.2

Author       : @mskim22

Length       : Chaptered

Genre        : Marriage life, School life, Comedy (a little)

Rating        : PG-15

Main cast :

–          Kim Jongin (EXO)

–          Kim (Jung) Jinni (OC/You)

Additional Cast:

–         Kim Jonghyun (SHINee)

–         Song Eunra (OC)

–         Jeon Sunny (OC)

Disclaimer: cerita ini murni bikinanku sendiri, cast diambil dari beberapa tokoh yang udah di sesuaikan ;) harap jangan copas, karena bikin cerita itu butuh banyak jeri payah untuk merangkainya. Hargailah orang lain kalau kau mau dihargai ;)

Selamat membaca!! ;)

Edisi sebelumnya: Prolog, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7

~”~”~”~

Awal! Ini masih awal! Karena setiap hari adalah awal untuk belajar mencintaimu lagi dan lagi!

~”~”~”~

Suara-suara ribut mengganggu pendengaranku. Kecil memang suaranya, tapi itu cukup menggangguku. Kau tahu ‘kan ketika tidur, semua indra menjadi lebih sensitif. Akhirnya mau tidak mau aku membuka mata. Ouh, rasanya kepalaku pusing. Tubuhku juga pegal-pegal. Aku tidak mengenakan apa-apa tapi rasanya hawa di sekitarku panas. Eh tunggu! TIDAK MEMAKAI APA-APA?! AIGOO! APA AKU BENAR-BENAR ‘MELAKUKANNYA’?!

Ini pasti cuma mimpi! Ini pasti cuma mimpi!! Tapi… kalau ini mimpi, bagaimana aku bisa merasakan berat tangan Jongin diatas pinggangku?! Aissh! Jinjja!! APA YANG SUDAH AKU LAKUKAAAAN!!

Duk-duk-duk

“JINNI-YA! JONGIN-AH! KALIAN MASIH TIDUR? AYO BANGUN! SEKARANG SUDAH SIANG, APA KALIAN MAU MATI KELAPARAN?!” kalau aku bermimpi, tidak mungkin telingaku berdengung mendengar teriakan Eomma dari luar sana.

Aigoo-ya… aku benar-benar menuruti permintaan Hyojin dan Eunkyung… apa aku akan punya anak…

“Ehm…” Jongin mengerang. Ia mengusap-usap matanya sambil melirik kearah pintu. Seketika aku terdiam. Mematung tidak tahu harus berbuat apa.

“JINNI-YA! KIM JONGIN!”

“YEEE!” teriak Jongin hampir membuatku terjatuh dari tempat tidur.

“BENAR-BENAR BARU BANGUN?! CEPAT TURUN! JANGAN SAMPAI KALIAN MASUK RUMAH SAKIT LAGI!” teriak Eomma untuk terakhir kalinya sebelum melangkah pergi meninggalkan kamar kami.

Jongin menggeliat meregangkan tubuhnya sedang aku masih terdiam menatapnya. Jantungku berdetak cepat mengingat apa yang baru saja kami lakukan pagi buta tadi. Sedikit demi sedikit ingatan itu bermunculan. Aku melirik jam dinding, sekarang sudah pukul 1 siang. Apa yang ada dalam pikiranku sampai berani memintanya untuk ‘melakukannya’? Aku pasti sudah gila ‘kan?! Tidak! Tidak! Ini pasti karena kelainan hormon itu! Siaaaal!

“Kau kenapa?” tanya Jongin membuat pikiranku buyar.

Mataku membulat dengan sendirinya. Rasanya pandanganku tidak bisa fokus. Pikiranku melayang kemana-mana.

“Yaa, kau kenapa? Sakit?” ia mengulurkan tangannya hendak meraih keningku.

Entah mengapa tubuhku langsung menghindar. Mengelak dari sentuhannya. Jantungku berdegup keras sekali sampai membuat keringat dingin mengucur di keningku. Aku jadi merasa bersalah melihatnya yang menatapku bingung. Alisnya bertaut menebak apa yang sedang kupikirkan.

Apa aku berlebihan? Anniya! Kalau kalian berada di posisiku, kalian juga pasti akan merasakan hal yang sama. Kejadian itu berlangsung terlalu cepat untuk aku yang dulu sempat gagal ‘melakukannya’. Ya, malam dimana hypotermia Jongin kambuh. Entah mengapa saat itu aku menjerit, aku merasa takut untuk ‘melakukannya’, mungkin karena kami baru saling terbuka. Jadi malam itu kami gagal. Dan pagi ini? Tanpa perencanaan…

“Apa kita baru saja ‘melakukannya’? Bagaimana bisa?!” tanyaku bingung. Aku tidak tahu apa yang sedang kurasakan sekarang. Rasanya semua seperti mimpi. Antara bahagia, panik, takut, dan tidak percaya. Ini adalah pertama kalinya untukku. Wajar ‘kan kalau aku bingung?!

Sebenarnya ada sebuah rasa yang mengisi hampir sebagian ruang hatiku. Rasa lega. Ketika kami saling menyerahkan yang paling berharga dari yang kami miliki. Aku tak pernah bermimpi ia benar-benar akan terbuka padaku. Setelah segala perjuangan yang kulalui untuk mendekatinya. Rasanya aku lebih bahagia melihatnya sekarang.

“Kau seperti orang amnesia… gwaenchana?”

“Yaa… aku tidak sedang bermimpi ‘kan? Bagaimana aku bisa melakukannya? Padahal sebelumnya aku paling takut disentuh olehmu…”

Ia menyeringai. Ada rasa bangga yang kutangkap dari wajah angkuhnya. “Itu karena kau sudah jatuh cinta padaku! Lagipula kau yang minta…”

“Terus kenapa kau ikuti? Aku ‘kan sedang khilaf. Yaa… kalau aku benar-benar hamil bagaimana?”

“Berarti aku akan jadi Appa…”

“Yaaa!” jeritku sambil menutup wajahnya dengan bantal. Sepertinya ia senang aku khilaf. Issh lagi kenapa aku bisa lepas kendali hanya karena berpisah dengannya satu malam saja?!

“Tapi bukankah itu menyenangkan? Kupikir aku akan memintamu melakukannya lagi…” ucapnya ringan sekali. Aku jadi merinding melihat sifat aslinya yang itu. Untung hanya aku yang tahu. Kalau sampai Jonginicious mendengar kalimatnya, mungkin ia sudah habis jadi santapan gadis-gadis kegatelan itu.

“Ckckck! Sekarang aku mengerti kenapa Appa ingin sekali cepat-cepat menikahkanmu. Kau benar-benar parah! Berterima kasihlah padaku karena aku mau menikahimu tanpa syarat…”

“Kau juga perlu berterima kasih karena lelaki tampan sepertiku mau memilihmu diantara jutaan gadis yang menginginkanku…”

“Kau menggelikan Tuan Kim! Sama persis seperti Appamu!”

“Jangan pernah samakan aku dengan Appa!”

“Kenapa? Kalian sama-sama byuntae, arra?!”

“Tapi aku mau bertanggung jawab kalau sampai kau hamil, sedang dia tidak!”

“Mwo? Aku hamil? Kalau sampai aku hamil aku akan menyeretmu ikut dikeluarkan dari sekolah bersamaku!”

“Geurae, dengan begitu kita bisa terus bersama-sama setiap hari!” ia menyeringai senang. Sial! Jadi sekarang ia sudah berpikir untuk keluar dari sekolah bersama-sama. Ini tidak boleh terjadi! Bagaimana dengan impian kami kalau sampai hal itu terjadi?!

“Kau bilang kau ingin jadi dancer nomor satu di dunia, aku juga ingin menjadi pelukis terbaik di dunia. Agar suatu hari nanti aku bisa menunjukkan lukisanku yang dipajang di sebelah lukisan Leonardo da Vinci pada anakku. Aku akan membuat lukisan pasangan untuk Mona Lisa. Jongin Nisa, eotte?” wajahnya langsung berubah masam.

“Kenapa tidak Jonginicious sekalian?! Kau ini sama saja dengan gadis-gadis di sekolah…” cibirnya sambil melemparku dengan bantal dari kepalanya. Ia bangun lalu bergegas masuk kamar mandi. Meninggalkanku dengan sejuta rasa bahagia yang tiba-tiba saja membuncah dalam dadaku. Hari setelah hari ini pasti akan lebih menyenangkan ‘kan?

~”~”~”~

Aku masih ingat jelas tahun kemarin kami pernah pulang terlambat. Aku, Eunkyung, Hyojin, Yein, dan Sunny sama-sama menghabiskan sore di atap sekolah. Memandang langit sambil bercerita banyak hal. Hari itu Sunny sedang bertengkar dengan orang tuanya. Ia sengaja pulang terlambat agar orang tuanya tahu kalau ia sedang marah. Tapi dengan solidernya kami ikut pulang terlambat bersamanya. Menemaninya sampai akhirnya kami semua jadi ikut dimarahi waktu pulang ke rumah.

Sunny adalah seorang gadis yang selalu mengingat moment apapun berdasarkan waktu. Ingat saat ia mengatakan moment paling penting bagi pengantin baru adalah saat mereka berdua? Begitu juga saat ia menceritakan moment terindah bersama keluarganya. Ia bilang ketika sore hari, seluruh keluarganya akan berkumpul di ruang keluarga. Menikmati suguhan dari Eommanya sambil bercerita tentang kejadian apa saja yang dilalui selama satu hari ini. Begitulah keluarganya dapat bercengkrama satu sama lain. Karena orang tua Sunny sama-sama sibuk, tidak ada satupun yang menemaninya sepanjang hari terkecuali di sore hari. Karena itu juga ia mengatakan waktu sore adalah waktu paling berharga untuk sebuah keluarga.

Dan lagi-lagi apa yang dikatakannya benar. Sore ini, kami berkumpul di ruang keluarga sambil melihat-lihat album foto keluarga Jongin lalu saling berbagi cerita tentang masa lalu.

Aku bersumpah, aku tidak pernah tahu kalau keluarga suamiku adalah kumpulan orang-orang yang melegenda. Jadi, dulu Eomma dan Appa Jongin sama-sama idol yang sempat menggemparkan dunia entertainment. Mereka sama-sama dari satu agensi. Awalnya karier Jonghyun Appa baik-baik saja, hanya saja setelah Eomma Jongin debut, terjadi konflik besar yang membuat agensi mereka mengalami penurunan selama beberapa tahun. Entah bagaimana ceritanya, pada akhirnya Appa dan Eomma Jongin akhirnya malah menikah. Sebenarnya cerita mereka panjang, tapi aku tidak menanyakannya karena menurutku itu adalah privasi mereka yang tidak perlu aku ketahui.

Sampai sekarang Jonghyun Appa masih terkenal sebagai seorang composer dan pencipta lagu. Tapi tidak lagi memilih sebagai seorang penyanyi penuh, Jonghyun Appa hanya ingin mengisi acara off-air atau acara-acara kecil saja. Entahlah, mungkin acara besar hanya akan membuatnya mengingat lagi kejadian di masa lalu.

Begitu juga dengan Eomma Jongin. Sampai sekarang mungkin masih membekas dalam ingatannya soal kejadian itu. Seolah hidup Appa hancur karena kehadirannya. Tapi melihat mereka masih bersama setelah apa yang mereka lalui, membuatku tersentuh. Mereka bertahan karena mereka saling mencintai dan saling memiliki. Padahal kalau aku jadi Appa, mungkin aku akan berpikir ribuan kali sebelum memilih menikah dengan orang yang sudah menghancurkan karirku.

Geurae, setiap orang punya luka mereka masing-masing. Mereka punya cara sendiri untuk melupakan luka itu dan hidup bersama pasangannya dengan berbahagia. Kalaupun suatu hari nanti ada orang yang menanyakan bagaimana aku bisa menikah dengan Jongin dan hidup rukun bersama sahabat-sahabatku, aku juga tidak tahu harus menjawab apa. Cinta bisa membuat kita berjalan beriringan bagaimanapun susahnya.

“Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Tapi kali ini aku berharap buah itu terbawa arus sungai lalu jatuh di tempat yang jauh. Meskipun Appa tahu kau ingin menjadi idol, setidaknya kau harus melanjutkan pendidikanmu. Kau harus tetap kuliah. Jadi kau bisa mencontohkan yang baik pada anakmu kelak…”

“Tidak” jawab Jongin sebelum Appa selesai mengutarakan nasehatnya. Singkat padat dan menyebalkan. Aku baru tahu ada masalah lain antara dia dan Appa soal pendidikan. Setahuku Appa memang tidak melanjutkan pendidikannya karena sibuk menjadi idol. Tapi aku tidak tahu kalau ternyata Appa tidak ingin Jongin mengikuti jejaknya.

Appa tampak menahan nafasnya. Menahan emosi mendapati anaknya membangkang. “Kau harus memikirkan masa depanmu. Memikirkan bagaimana pandangan anakmu terhadapmu!”

“Setidaknya aku akan bersikap lebih baik sejak awal pada anakku!” dan pertengkaran ini terjadi lagi. Aku tidak tahu kapan Appa bisa mendapatkan maaf dari Jongin. Aku tidak tahu kapan mereka berdua bisa berdamai. Bukankah memalukan kalau sampai nanti aku punya anak dan anakku melihat kelakuan mereka yang seperti ini. Eottokhaji? Aku bahkan tidak bisa berbuat apa-apa.

“Sudah-sudah!” Eomma menengahi dan api di mata Appa dan Jongin langsung padam. “Ngomong-ngomong, kelihatannya ada yang berbeda dari kalian…” cetus Eomma langsung menghancurkan atmosfer yang tadi sedang damai dan tentram. Apalagi saat mata Eomma melirik tubuhku. Rasanya aku jadi ingin menutup tubuhku dengan selimut. Padahal aku pakai pakaian tertutup. Berbeda apanya coba?

“Aku juga merasa begitu. Ada aura-aura berbeda dari kalian. Kukira hanya perasaanku saja, ternyata kau merasakannya juga?!” tanya Jonghyun Appa pada Eomma. Entah mengapa jantungku langsung berdetak tidak beraturan. Rasanya seperti sedang di introgasi. “Apa kalian baru saja…”

“Anniyo!”

“Ne!”

Potong kami serempak. Kalian pikir aku yang mengatakan ‘iya’ ‘kan? Karena aku yang mengajak Jongin melakukan ‘itu’ tadi pagi. Padahal kenyataannya Mr. Byuntae ini yang dengan semangat mengakui ‘itu’ di depan orang tuanya. Memalukan!

“Ne? Memangnya aku bertanya apa? Ehee… jangan-jangan kalian…”

Drrrt-drrrrrrt

Lagi-lagi kalimat Appa terpotong, tapi kali ini oleh suara getaran ponsel Jongin di atas meja. Aku tidak sempat melihatnya, tapi sepertinya panggilan itu penting sekali untuk Jongin. Buktinya ia langsung membawa ponselnya pergi ke ruangan lain. Kalau hanya panggilan biasa dia ‘kan bisa menerimanya di sini.

Tiba-tiba saja aku ingat sesuatu. Bukankah tadi Jongin mendapat pesan dari Sunny? Jangan-jangan itu telepon dari Sunny. Baboya! Bagaimana kalau kau jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya?!

“Eomma Appa… aku permisi dulu…” izinku sebelum berlalu pergi dari ruang keluarga menyusul Jongin yang beranjak ke kamarnya. Ia sepertinya akan pergi keluar dan kecurigaanku semakin menjadi saat melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul 3.30. Sudah cukup sore untuk Sunny menunggu di tempat yang ia janjikan. “Jong…” kalimatku terputus saat mataku bertemu manik mata yang terlihat begitu tenang. Ia sedang menyalin bajunya. Tidak seperti akan pergi diam-diam.

“Wae?” tanyanya datar.

Tiba-tiba saja jantungku jadi berdegup tidak beraturan. Tadinya aku ingin mengintrogasi dia dan menahannya agar tidak menemui Sunny. Tapi ada pikiran lain yag menggangguku. Menahannya untuk tidak bertemu Sunny bukan hal yang bagus. Aku tahu ia selalu tersiksa belakangan ini karena ulah Sunny. Ada baiknya kalau ia menyelesaikan semuanya agar ia tidak dikejar-kejar rasa tidak adil. Meskipun aku khawatir, tapi itu yang terbaik untuknya. Mungkin aku bisa mengikutinya, jadi kalau terjadi sesuatu aku bisa menolongnya!

“Ayo keluar bersama! Aku mau mengambil barang yang ketinggalan di rumah Hyojin!” jawabku agak lama.

~”~”~”~

Demi apapun di dunia ini, aku tidak tahu sekarang aku ada dimana. Yang aku tahu hanya aku sedang berada di Apgujung, itu pun aku tahu dari nama halte tempat aku turun dari bus tadi. Jejak Jongin sudah menghilang. Sebenarnya kami satu bus, hanya saja aku sengaja turun belakangan supaya tidak dicurigai. Tapi akhirnya malah kehilangan arah. Ada banyak orang yang berlalu lalang di sini. Yang aku tahu Apgujung adalah tempat agensi-agensi besar berada. Banyak teman sekelasku yang bolak-balik ke Apgujung untuk menjalani masa training.

Eottokhaji? Sekarang aku harus kemana? Aku juga tidak tahu letak cafe Xion dimana. Tidak mungkin ‘kan aku menelpon Jongin atau Sunny hanya untuk menanyakan cafe itu? Kentara sekali aku sedang menguntit mereka. Geurom eottokhae?

“Jinni-ya…” tiba-tiba sebuah suara memanggilku dari belakang. Dari suaranya aku merasa mengenalnya. Sangat mengenalnya tanpa harus melihat pun aku tahu dia siapa. “Kau sedang apa di Apgujung?” tanyanya yang sudah pasti membuat ia berpikir aku sedang juga ada urusan training di sini. Padahal ia dan sahabatku yang lain tahu aku tidak akan jadi idol dan semacamnya.

“A-aku… aku sedang… jalan-jalan!” jawabku asal.

Tatapanku terpaku pada seorang lelaki bertipe wajah America di sebelahnya. Entah karena alasan apa feelingku tiba-tiba mengatakan kalau lelaki itu lelaki yang tidur di kamar Sunny bersama Jongin waktu itu. Jongin memang tidak menceritakan soal lelaki yang menghamili Sunny, tapi entah mengapa aku malah berpikir demikian.

Merasa aku memperhatikan lelaki disebelahnya, Sunny tiba-tiba menggandeng lelaki itu lalu mengenalkannya padaku. “Kenalkan dia… tunanganku!”

~”~”~”~

Aku melirik papan nama diluar ruko ini. Cafe Xion. Aku merasa beruntung bisa sampai di cafe ini tanpa harus bertanya pada Sunny ataupun Jongin. Ternyata Sunny benar-benar menepati janjinya. Apa itu artinya sebentar lagi Jongin juga akan datang ke sini? Yang mengganggu pikiranku sekarang adalah apa Sunny akan menyelesaikan semuanya dengan memperkenalkan tunangannya pada Jongin? Atau ada siasatnya yang lain?

“Kau belum menjawab pertanyaanku, kau sendiri sedang apa disini? Apa kalian sedang berkencan?” tanyaku berusaha keras mengeluarkan kemampuan aktingku. Memasang poker face.

“Ah aku kesini untuk bertemu seseorang… hehe aku belum pernah menceritakan ini pada kalian ya…” jawabnya sambil meletakkan cangkir cappucinno yang baru saja di minumnya.

Aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Aku mengetahuinya. Mengetahui semuanya. Tapi aku tidak tahu bagaimana Sunny akan mengakhirinya. Kau tahu ‘kan permainan ini sangat sulit dan sudah berlangsung cukup lama. Menyiksa Jongin dan juga Hyojin. Yang hanya ingin kuketahui darinya hanya satu. Alasan ia menjebak Jongin malam itu. Kalau memang dia terobsesi pada Jongin, kenapa sekarang ia malah bertunangan dengan lelaki lain? Segitu mudahnyakah ia melupakan perbuatannya pada Jongin?

“Soal apa?” tanyaku sedikit lama.

“Begini… sebenarnya… aku sudah dekat dengan Jongin dari dulu. Kami berteman sejak kecil. Tapi ada sesuatu yang terjadi pada kami setahun kemarin. Aku merasa masih ada yang perlu kuselesaikan dengannya, jadi aku meminta ia untuk menemuiku disini sekalian ia berangkat training…”

Training? Training apa? Jongin sudah masuk agensi? Jinjja? Kenapa aku tidak tahu apa-apa? Kenapa ia tidak pernah memberitahuku soal ini?

“Kau tahu ‘kan Jongin itu menyebalkan? Kau juga paling malas kalau berurusan dengannya. Setahun yang lalu kesalku sudah berada dipuncaknya. Orang tuaku terus menerus membicarakan Jongin. Jongin ranking satulah, Jongin hebatlah. Aku muak mendengarnya. Lagipula asal kau tahu saja, Jongin itu sombong!” ia berbisik pada akhir kalimatnya. “Gara-gara dia orang tuaku sibuk berpikir untuk menjodohkannya denganku. Apa-apaan? Aku sudah punya calonku sendiri. Dan gara-gara dia juga aku jadi sering bertengkar dengan orang tuaku. Akhirnya aku sedikit memberinya pelajaran. Setidaknya untuk menodai reputasinya agar tidak menjadi nomor satu lagi di mata kedua orang tuaku. Tapi aku tidak tahu masalahnya akan menjadi panjang, membuatku lelah, jadi aku meminta ia untuk datang ke sini. Aku ingin menyelesaikan semuanya…”

Sedikit? Sedikit memberinya pelajaran untuk menodai reputasinya? Apa ia bercanda? Menodai reputasi Jongin sama saja dengan menghancurkan masa depannya! Bagaimana orang yang selalu memberiku nasehat selama ini ternyata berkelakuan busuk?

Tanganku gemetar. Rasanya mataku dipenuhi kunang-kunang. Aku terkejut mendengarnya. Aku ingin sekali marah tapi aku tidak berhak. Aku tidak berada dalam lingkaran masalah ini. Mencampuri urusan mereka hanya akan membuat masalah ini semakin rumit.

“Aku tidak tahu kenapa Jongin yang dulunya sangat hitam dan dekil sekarang bisa jadi idola setiap gadis. Bahkan Eomma dan Appaku juga ikut mengidolakannya. Mungkin mata mereka sudah dibutakan dengan semua kelebihan Jongin.” ia mengambil lagi cangkir cappucinnonya lalu meneguk cairan di dalamnya sambil memandang ke luar jendela.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak bisa lagi melihat diri Sunny yang dulu. Yang selalu membuatku tenang dengan segala macam kata mutiaranya yang luar biasa. Kenapa pikirannya pendek sekali?

“Kenapa kau melakukannya? Apa kau tidak berpikir itu sedikit berlebihan? Maksudku… bukan mau Jongin ‘kan terlahir dengan semua kelebihan yang membuat ia dicintai banyak orang?” tanyaku masih berusaha menahan diri. Aku tahu aku bisa saja lepas kendali kalau masih membahas ini lebih jauh, tapi aku butuh kejelasan. Aku butuh mengetahui semuanya. Setidaknya kalau aku tidak bisa mencampuri urusan mereka, aku bisa mengerti perasaan mereka.

Ia terdiam. Matanya sekarang jatuh pada permukaan cangkirnya yang hanya bersisa setengah. Ia terlihat seperti sedang merenungi sesuatu. Matanya memancarkan rasa bersalah dan emosi yang entah sudah sejak kapan ia simpan. Baiklah, semua orang pasti punya pemikirannya masing-masing.

“Entahlah… aku juga sudah menanyakan pertanyaan itu pada diriku sendiri berulang kali, tapi aku tidak bisa menjawabnya. Disatu sisi aku membencinya, karena semua yang ingin aku miliki malah dimilikinya. Perhatian orang tuaku, prestasi di sekolah, perhatian semua orang termasuk sahabatku, perhatian agensi… rasanya membuatku frustasi ketika aku yang berusaha meraih semua itu masih harus berdiam diri di sisinya. Menjadi sahabat yang paling mengenalnya sejak kecil. Tapi disisi lain aku juga mulai memperhatikannya lebih. Ketika ia mulai mendapat perhatian gadis lain, ia akan mulai melupakanku. Aku tidak mendapat perhatian yang sama seperti dulu karena ia tertarik pada gadis lain. Aku takut kehilangannya…” jelasnya sambil terus memandang pinggiran gelas. “Kau tidak tahu ‘kan? Hyojin dan Jongin sudah berpacaran sejak semester 2 dibelakang kita. Dia yang bahkan baru mengenal Jongin sejak satu kelas dengannya, bisa mendapatkan Jongin dengan segitu mudahnya. Itu melukaiku!” nada bicaranya meninggi diakhir kalimat. Menunjukkan jelas seberapa emosinya ia ketika mengingat soal Hyojin. Sampai tidak menyadari responku yang sama sekali tidak terkejut mendengar soal itu.

Geurae, setiap orang memang tidak ada yang sempurna. Sunny yang selalu menjadi panutan dan menjadi yang paling dewasa diantara kami, kenyataannya sudah dibutakan oleh rasa iri yang ia sendiri tidak mengerti.

Aku mengerti apa yang ia inginkan, dia ingin keadaan tetap sama. Jongin tetap menjadi sahabat yang selalu ada untuknya tidak lebih. Tapi dunia bukan tempat yang tak bergerak. Dunia ini punya waktu yang akan merubah segala isi didalamnya seiring berjalannya waktu. Jongin tidak bisa selamanya hanya menjadi lelaki yang menjadi sahabatnya. Jongin punya kehidupan sendiri yang harus ia jalani. Begitupun dengan kami nanti, aku, Hyojin, Eunkyung, dan Yein tidak akan bisa bersama selamanya. Setelah lulus kami pasti akan terpisah dan berpencar mengejar cita-cita kami masing-masing.

Hah… jadi sudah 3 orang sahabatku yang menyimpan perasaan pada Jongin. Semua pada Jongin. Aku hanya berharap Yein tidak ikut-ikutan menyukai Jongin. Sudah cukup. Kepalaku mau pecah kalau harus mendapat masalah yang ujung-ujungnya karena menyukai Jongin. Hah… mungkin aku harus mengakui kalau aku gadis paling beruntung didunia karena bisa mendapatkan Jongin dengan begitu mudahnya tanpa harus mencintainya lebih dulu seperti mereka.

“Kudengar Hyojin sudah sejak lama dibully. Tapi ia tidak tahu siapa yang membullynya. Hoksi… kau…” tanyaku menggantung. Sedikit memancingnya agar ia mengaku. Seperti di drama-drama.

“Ya… aku yang melakukan itu. Tapi aku punya alasan kenapa aku melakukannya.” jawabnya tepat sasaran. Rasanya kepalaku semakin pening mendengar ia mengakui itu semua dengan mudah.

“Apa kau juga harus menghukum Hyojin? Hyojin yang selalu membagi bekal makan siang padamu? Padahal kau tahu dia hanya seorang anak yang tinggal di panti asuhan. Kau yang paling tahu bagaimana berat hidupnya. Kenapa kau malah menambah beban hidupnya?” tanyaku mencoba memberi sisi lain yang tidak dilihatnya. Karena aku tinggal di panti asuhan yang sama dengan Hyojin, jadi aku tahu semuanya. Semua perasaan yang dirasakan Hyojin. Sebuah beban berat yang tak dapat dibagi pada siapapun karena ia hanya sebatang kara.

Sunny menatapku datar. Ia pasti sudah kehilangan akal sehatnya sampai tidak dapat lagi merasakan perasaan orang-orang di sekitarnya. Padahal aku tahu ia adalah orang yang penyayang. Jongin-ah… seandainya kau tahu bagaimana dahsyatnya pesonamu itu sampai membutakan mata sahabat kecilmu sendiri. Ooh… aku semakin tidak percaya lelaki itu sudah menjadi suamiku. Semakin jauh mengenalnya malah membuatku semakin tercengang. Geurae, Jongin memang sudah sepatutnya menjadi jodohku. Kau bayangkan saja apa yang akan terjadi kalau Jongin mendapat istri seperti mereka. Gadis-gadis yang terobsesi pada suaminya sendiri. Itu mengerikan.

“Aku tahu perbuatanku salah, tapi aku tidak bisa menahannya. Aku beberapa kali mereka bersama. Ketika aku membutuhkan Jongin, dia tidak ada…” jawab Sunny kembali menundukkan kepala. Merasa malu pada dirinya sendiri.

“Apa kau akan melakukan itu pada semua wanita yang dekat dengan Jongin? Bahkan kalau Jongin menikah?” tanyaku hati-hati. Ia menatapku lagi. Matanya membulat. Mungkin terkejut dengan pertanyaanku. “Kau tidak akan tahu kapan ia bertemu dengan jodohnya. Dan lagi apa kau masih akan terobsesi padanya meskipun kau sudah bertunangan?” kali ini aku menunjuk lelaki yang duduk di meja bar sana dengan ujung daguku. Sunny sengaja membawa lelaki itu ke sana karena ia merasa harus membicarakan hal yang sifatnya pribadi.

Sunny mengikuti arah pandanganku. Kali ini tatapannya terlihat iba. Aku tahu sebenarnya ia menyadari dirinya bersalah. Tapi aku mengerti, orang yang terobsesi tidak akan memiliki akal sehat ketika dirinya hanya dibutakan pada satu arah.

“Maka dari itu aku merasa harus mengakhirinya. Aku harus menyelesaikannya…” ia menatapku lagi. Kali ini dengan wajah yang lebih damai. “Aku tidak ingin bermuka dua lagi…”

“Kau akan menyelesaikannya dengan cara bagaimana? Menunjukkan pada Jongin kalau kau sudah punya tunangan?”

“Ya… kupikir itu cara yang terbaik agar ia tak marah lagi padaku…”

“Itu tidak akan menyelesaikan masalah. Yang ia butuhkan bukan kabar tentang kau masih mengejarnya atau tidak. Tapi… minta maaflah padanya. Kau sudah menempatkan ia di posisi yang sulit selama setahun. Kau tidak tahu bagaimana ia menderita. Ia tidak pernah bisa tidur nyenyak setiap malam karena perbuatanmu! Tidak bisakah kau memikirkan dia sedikit?” baiklah aku khilaf. Khilaf yang kulakukan kedua kalinya hari ini. Aku sudah tidak bisa menahan emosiku lagi. dan janjiku untuk tidak mencampuri urusan mereka akhirnya gagal.

Ia tampak terkejut. Tentu saja ia terkejut. Aku yang ia tahu selalu menghindari Jongin sejak pertama kali aku satu kelas dengannya, tiba-tiba membela Jongin bahkan mengetahui semuanya lebih banyak dari dirinya. Mungkin sebentar lagi aku akan menjadi bahan targetnya.

“Kau… apa rumor itu benar? Kalian berpacaran?” tanyanya dengan wajah tidak percaya.

“Sekarang semua sudah jelas ‘kan? Aku tidak peduli kau mau melakukan apapun padaku, tapi aku mohon, tinggalkan Hyojin dan minta maaflah pada Jongin. Meskipun kau berpikir masalah yang kau buat tak berefek apa-apa padanya, kau tetap harus meminta maaf padanya. Perbuatanmu hampir merusak masa depannya, arra? Bagaimana kalau saat itu ia benar-benar menikahimu sedang kau hanya ingin dia menjadi sahabatmu? Apa kau hanya akan meninggalkannya begitu saja? Setidaknya berpikirlah selayaknya seorang sahabat kalau kau memang sahabat kecilnya.” jelasku lalu berdiri dan pergi meninggalkan meja itu.

Dadaku sesak. Wajahku memanas. Rasanya aku ingin berbuat lebih untuk melindungi Jongin tapi aku tidak bisa. Aku tidak tahu bisa berbuat apa untuknya. Aku hanya bisa mengatakan itu meskipun aku berharap bisa bicara lebih. Eottokhae? Jonginku malang sekali… diantara hidupnya yang sempurna, menjadi dambaan setiap orang. Menjadi favorit dimanapun dia berjuang, kenyataannya ia punya banyak luka yang tidak bisa orang lain lihat. Rasanya kebencian yang dulu aku punya sekarang sudah menguap entah kemana. Aku tidak mengasihaninya, tapi aku menyayanginya. Menyayanginya lebih daripada diriku sendiri.

Hah…

Sebuah tangan menahanku ketika aku akan keluar dari cafe. Dia, seorang lelaki berjaket putih yang tadi membawa ransel dari kamarnya berdiri menatapku dengan sebuah senyum manis di bibirnya. Dan disana aku sadar ia sudah mendengar semuanya. Semua yang aku dan Sunny bicarakan. Bukankah itu artinya dia sedang terluka? Mendengar pernyataan busuk dari mulut sahabatnya sendiri. Entah bagaimana caranya, aku seolah bisa merasakan perasaannya.

“Gomawo…” ucapnya sambil mengusap pipiku. Ia tak terlihat sedih sama sekali tapi aku tahu ia sedang terluka. “Apa kau mau makan es krim?”

~”~”~”~

Langit mulai gelap, banyak bintang yang bertaburan di atas sana. Cuaca semakin dingin ketika kami masih berada di Apgujung. Menghabiskan waktu malam minggu kami di tengah hiruk pikuk kota Seoul. Kami duduk di pinggiran air mancur menikmati pemandangan malam yang indah di sini. Jarang-jarang ‘kan kami punya waktu berdua diluar seperti ini. Lagipula tidak akan ada yang kenal kami. Jadi aku tidak perlu khawatir pada Jonginicious.

“Kau… kenapa kau tidak bilang padaku kalau sekarang kau seorang trainer?” tanyaku ditengah keheningan karena kami sibuk melihat aktivitas orang-orang di sekitar kami. Ada banyak pasangan yang menghabiskan malam minggunya di sini.

Jongin menatapku. Ia tampak tidak senang aku membahas ini. “Tadinya aku mau memberi kejutan setelah lulus nanti, tapi sepertinya… gagal.” ia membuang pandangannya ke arah lain. Kesal. Dia membuatku terkekeh diam-diam. Kadang kelakuannya yang seperti ini membuatku ingin terbahak.

“Gwaenchana. Lagipula aku tidak berharap kau akan memberiku kejutan apa-apa.” ucapku mencoba menghiburnya.

Dari yang kuperhatikan, sebenarnya Jongin orang yang kaku. Dia selalu ingin melakukan semuanya dengan benar. Ketika ia gagal, ia akan mengeluh dan kesal. Kepikiran sampai tidak bisa tidur. Akhirnya ia jadi terobsesi untuk berbuat lebih baik. Tapi bukankah itu lucu? Apalagi kalau ia sudah mengeluh, kelakuannya seperti anak kecil.

Kami kembali terdiam menatap langit dan sesekali melihat anak-anak kecil yang bermain kembang api. Ada beberapa musisi jalanan yang membuka pertunjukkan di sudut sana, pemandangan malam ini jadi semakin sempurna. Apalagi hanya ada aku dan dia. Bukankah ini pertama kalinya kami nge-date? Rasanya seratus kali lebih bahagia daripada saat aku bersama Hoseok dulu.

“Kau kenapa mengikutiku?” tanyanya tiba-tiba membuat lamunanku buyar.

“Ehm?” gumamku sambil melihatnya. Ia juga menatapku.

“Kenapa kau mengikutiku ke sini? Kau ‘kan belum pernah ke sini. Bagaimana kalau sesuatu yang buruk terjadi padamu?” tanyanya lagi kali ini dengan sedikit nada marah yang tersirat dalam kalimatnya.

“Aku lebih khawatir Sunny melakukan hal yang lebih buruk padamu, arra?! Lagipula aku tidak menyangka Sunny sebenarnya orang yang semena-mena. Apa-apaan itu tidak ingin menikah denganmu, membencimu, tapi melihatmu bersama Hyojin malah membuatnya ingin mengganggu Hyojin. Memangnya kau apa? Peliharaannya? Cih!” omelku panjang lebar. Cacian yang sudah kusimpan sejak tadi akhirnya keluar juga.

Ia terkekeh. Membuatku bingung. Apa aku baru saja berbuat hal yang memalukan?

“Apa kau sedang cemburu sekarang?” tanyanya membuatku terdiam. Rasanya aku baru saja tersambar. Apa aku baru saja mempermalukan diriku sendiri? “Aah kwiyeopta!” ejeknya sambil mengacak-acak puncak kepalaku.

Blussh

Siapa saja tolong panggilkan pemadam kebakaran. Rasanya pipiku sudah terbakar. Sial! Aku terlalu sering berkelakuan tanpa kupikirkan, jadinya begini!

“Tapi aku berterima kasih padamu karena sudah mau melakukan semuanya. Setidaknya kau peduli padaku…”

“Yaa kau pikir selama ini aku tidak pernah peduli padamu eoh? Aku peduli! Aku selalu memikirkan bagaimana caranya agar kau tidak tertekan lagi! Bagaimanapun aku ingin melihatmu bahagia… saat bersamaku…” tuh ‘kan keceplosan lagi.

Senyum diwajahnya semakin merekah. Ia mengacak puncak kepalaku sekali lagi sebelum tiba-tiba berjongkok di depanku. “Ayo naik!” ucapnya membuatku bingung. Naik? Maksudnya naik ke punggungnya begitu? “Ayo!” ia melirikku.

“Sirheo! Nanti kau bilang aku berat!” tolakku setengah merengut.

“Ayo!” ia malah menarik kakiku. Alhasil aku terjatuh ke punggungnya dan ia langsung berdiri. Jadilah aku digendongnya. “Sebenarnya traumaku sudah lama sembuh sejak tidur bersamamu…”

Tadinya aku ingin meronta agar diturunkan, tapi setelah mendengar pengakuannya barusan sepertinya lebih baik aku digendongnya saja. Kalau perlu sampai rumah biar dia tahu rasa! “Jangan harap aku akan tidur denganmu malam ini! Lebih baik aku tidur di kandang peliharaan Appa daripada bersamamu!” omelku.

“Ahahaha mian mian!”

Syukurlah dia baik-baik saja…

~”~”~”~

Jongin Pov

Krieet

Pintu kamar mandi terbuka untuk kesekian kalinya. Jinni keluar sambil memegangi perutnya. Wajahnya sekarang sudah berubah pucat. Aku jadi merasa bersalah padanya. Padahal rencananya tadi aku hanya ingin mengerjai Eomma dengan mengatakan kalau kami ingin punya anak. Rupanya bahan bercandaanku salah. April mop gagal!

Jadi, karena ini tanggal 1 april, aku berniat memberi kejutan pada Eomma. Mengerjainya dengan mengatakan kalau kami ingin punya anak. Lalu membocorkan kalau ini adalah April mop saat makan malam. Tapi kenyataannya Eomma malah menganggap serius. Eomma memberitahu Appa dan orang tua Jinni kalau kami ingin segera punya anak. Akhirnya dengan rasa bersalah, aku hanya bisa melihat Jinni yang terpaksa menghabiskan berbagai jenis makanan yang aku juga tidak tahu apa saja. Kata Eomma untuk menyuburkan kandungan. Sepertinya makanan itu tidak cocok dengan perutnya yang membuat Jinni harus bolak-balik ke kamar mandi setiap 15 menit sekali. Ide menjahiliku malah salah sasaran.

Sekarang sudah pukul 1 malam dan ia masih belum bisa tidur. Aku duduk di meja belajarku, mempelajari materi yang akan diulangankan 2 minggu lagi. Minggu depan aku tidak punya banyak waktu karena training ekstra dari agensi.

“Apa perutmu masih sakit? Mau kubuatkan teh?” tawarku penuh rasa khawatir. Aku menutup bukuku dan fokus melihatnya.

“Air hangat saja. Sepertinya aku kekurangan cairan.” jawabnya lemas semakin membuatku merasa bersalah.

Tanpa menunggu, aku segera turun ke bawah. Membawakan segelas air hangat untuknya. Mungkin sebutir obat sakit sakit perut bisa sedikit mengurangi sakitnya. Kalau begitu aku perlu membawakannya makanan kecil untuk mengganjal perut. Kue beras! Sepertinya aku masih menyimpan satu di kulkas.

Hawa dingin menerpa wajahku saat pintu baja itu kubuka. Lemari pendingin malam ini dipenuhi banyak makanan yang sebagian pemberian dari orang tua Jinni. Setelah mendengar kabar yang niatnya bercanda itu orang tua Jinni sibuk mengirimkan banyak makanan yang aku tidak tahu fungsinya apa-apa saja. Aku memang bodoh. Harusnya aku tidak mempermainkan soal itu.

Plakk

Sebuah kotak berwarna putih jatuh ke lantai tersenggol sikuku. Ketika kau akan mengambilnya, cairan dalam kotak itu sudah tumpah ke lantai. Cairan berwarna putih pekat dan aku baru sadar itu adalah susu persiapan kehamilan yang dulu sempat kuminum.

Tiba-tiba saja aku tersenyum mengingat kejadian lucu itu. Kenajian konyol yang emngantar kami masuk rumah sakit. Yaaa… rasanya kejadian itu sudah lama sekali berlalu setelah semua masalah ini berakhir. Bukankah perjalanan kami panjang sekali? Tapi ini masih awal. Masih banyak masalah lagi yang akan datang menerpa kami. Tapi aku yakin kali ini kami pasti akan baik-baik saja karena kami sudah saling terbuka. Saling menerima dan mengerti. Kehidupan pernikahan kami benar-benar sudah lebih matang sekarang.

Aku membuang kotak susu itu ke tempat sampah lalu membawa nampan yang sudah terisi air hangat, obat, dan kue beras ke lantai atas. Ketika aku membuka pintu Jinni sednag terbaring dengan ponsel… ponselku?

“Yaa! Kau sedang apa?” tanyaku buru-buru meletakkan nampan itu diatas pangkuannya.

Ia menurunkan ponselku lalu menatapku dengan ekspresi tidak suka. Sepertinya ia melihat sesuatu yang tidak beres di ponselku. Apa? Aku sudah menghapus semua foto Hyojin. Tidak ada yang aneh-aneh juga didalamnya. Lalu kenapa ekspresi wajahnya seperti ini?

“Tadi ponselmu terus bergetar. Karena berisik, jadi aku membukanya. Ada 5 pesan dari adik kelas. Semuanya perempuan dan semuanya serentak mengucapkan selamat hari April mop padamu. Tidak lupa ada tanda hati di akhir pesannya.” jawabnya sambil menyerahkan ponsel itu padaku. Ia mengambil kue beras yang tadi kubawa lalu memakannya masih dengan wajah kesal.

Hah… mau bagaimana lagi? kalau soal itu terjadi diluar kehendakku. Aku tidak bisa menghentikan gadis-gadis lain menghubungiku. Mereka akan terus menghubungiku bagaimanapun ceritanya.

“Ah aku tidak tahu lagi bagaimana kalau kau sudah debut nanti. Entah berapa banyak lagi gadis yang akan menghubungimu…”

“Itu alasannya aku tidak menggunakan media sosial. Kau akan lebih terluka melihatnya.” jelasku sambil bergerak kembali ke meja belajarku. Aku merasa kasihan padanya tapi tak ada yang bisa kulakukan. Semua terjadi diluar kehendakku.

Ia terdiam menatapku. Lama. Memikirkan sesuatu yang tidak bisa kutebak. Beberapa detik setelahnya ia meneguk obat sakit perut yang tadi kutaruh diatas nampan.

“Aku tidak mempermasalahkan itu selama kau tetap bersamaku. Maksudku, siapa yang peduli dengan mereka kalau sebenarnya yang lebih tahu dirimu adalah aku.” jelasnya sambil meletakkan nampan itu di atas meja.

Aku kembali menatapnya. Ia membaringkan tubuhnya sambil memandang pemandangan langit di luar jendela. Sesaat kemudian kembali hening. Aku dengan bukuku dan dia dengan pemandangan malamnya. Aku bersyukur dia bukan tipe gadis yang selalu butuh perhatian. Ketika aku harus berjuang dengan semua waktu belajar dan trainingku, ia tak pernah menuntutku lebih. Hanya berdiam disisiku sambil memberiku support. Benar-benar tipe idealku.

“Jongin-ah…”

“Hmm?”

“Bagaimana kalau kita pisah kelas saja? Biar aku sekelas dengan Hoseok…” ucapnya menggantung.

Refleks aku menatapnya. Ia membalas tatapanku ragu-ragu. “Wae?”

“Geunyang… aku selalu memikirkanmu setiap kali aku melihatmu. Dan lagi kalau kita pisah kelas, aku tidak harus melihat bagaimana gadis-gadis di kelas kita mendekatimu. Kadang aku kesal, tapi aku tidak tahu harus berbuat apa sebagai seorang gadis yang tidak punya hubungan apa-apa denganmu…” ceritanya panjang lebar.

“Apa kau sedang memberiku kode untuk mengakui hubungan kita di depan mereka?” tanyaku mencoba menebak arah pikirannya.

“Anni. Aku tak pernah bermimpi untuk menjadi gadis yang akan berada di sampingmu di depan mereka. Aku hanya… hanya ingin pisah saja…” jawabnya terdengar bingung dengan pikirannya sendiri.

Tiba-tiba saja pikiranku melayang ke percakapanku dan Sehun di sekolah tadi siang. Saat kami sibuk mencatat rumus fisika yang ditulis Ibu mertuaku di papan tulis. Aku tidak sadar terus melihat ke belakang. Ke arah Jinni yang juga sibuk menyalin papan tulis ke buku catatan. Entah mengapa di tengah kesibukan dan konsentrasi penuhku pada pelajaran aku malah memikirkannya.

“Kau kenapa? Merindukan pacarmu?” tanya Sehun membuyarkan lamunanku. Ia mengikuti arah pandanganku yang menatap Jinni diam-diam. “Ckckck… kau ini! Dia saja tidak memikirkanmu sama sekali!”

“Dia memikirkanku!”

“Mana? Dia sama sekali tidak memandangmu! Dia terlalu sibuk dengan buku catatan dan papan tulis, arra?!”

“Pokoknya dia memikirkanku!”

“Aissh! Sudahlah! Meskipun kau lebih terkenal daripada aku di sekolah ini, tapi kenyataannya aku yang paling berpengalaman soal hubungan…” nada bicaranya menggantung ketika ia melihat dua orang yang baru saja melewati pintu kelas. Seorang gadis yang sudah tidak asing lagi bagiku. Gadis itu pergi bersama seorang lelaki sambil bergandengan tangan.

“Maksudmu berpengalaman dipermainkan perempuan?!” cibirku sambil menyeringai meremehkannya.

“Dia sudah melupakanku…” ucapnya dengan nada sedih tanpa ia sadari. Ia bukan tipikal lelaki yang akan mengeluh seperti itu secara terang-terangan. “Apa yang baru saja kupikirkan?! Biar saja ia pergi dengan siapapun! Apa peduliku!” marahnya tiba-tiba pada diri sendiri. Wajahnya memerah. Kadang aku merasa prihatin melihatnya di selingkuhi lagi dan lagi. Tapi pada akhirnya ia memilih tidak melanjutkan hubungannya dengan Jiah. Aku bersyukur dia masih punya otak untuk mengakhiri penderitaannya. Meskipun terkadang dia masih teringat-ingat soal Jiah. “Percayalah, jangan terlalu percaya pada wanita. Seperti kau akan menikahi Jinni saja!” begitulah bagaimana ia mengakhiri kekecewaannya, dia akan melimpahkannya padaku.

Ini bukan soal aku akan menikahi Jinni atau tidak, karena aku memang sudah menikahinya. Sudah hampir 2 bulan. Dan kami berhasil menyembunyikannya. Ya… terkecuali pada Hoseok… Eunkyung… dan Hyojin. Tunggu… sepertinya aku salah. Kami gagal menyembunyikannya.

“Kapan kau akan melupakannya?” tanyaku sambil kembali menyalin rumus dari papan tulis ke buku catatan.

“Nugu? Jiah? Cih!” dia tertawa. “Yaa! Untuk apa aku melupakannya? Asal kau tahu saja! Dimana-mana cinta pertamalah yang akan jadi juaranya! Tunggu saja, sebentar lagi ia pasti akan kembali padaku!” jelasnya penuh keyakinan. Senyum kemenangan menambah aura penuh kepercayaan-dirinya.

Cinta pertama? Darimana dia mendapatkan teori itu?

“Kau terlalu banyak menonton drama!” cibirku memilih tak menghiraukannya. Dipikir berapa kalipun teorinya salah. Cinta pertama yang tidak terlupakan itu hanya ada dalam drama. Lihat saja! Buktinya aku menikah dengan Jinni, bukan dengan gadis yang dulu pernah membuatku pindah sekolah waktu sekolah dasar. Aku bahkan tidak ingat namanya.

Tapi bagaimana kalau teorinya benar? Jinni yang selama ini tidak pernah menyebutkan nama Hoseok lagi tiba-tiba saja ingin dipindah-kelaskan ke kelas Hoseok. Padahal dia tahu bagaimana rumitnya mengurus administrasi segala macam hanya untuk pinsah kelas. Belum lagi sahabat-sahabatnya yang selalu mengekorinya kemanapun ia pergi.

“Andwae!” jawabku agak lama. Aku kembali fokus pada buku pelajaran di depanku. Berusaha keras tak menghiraukannya. Karena aku yakin kalau ia membujukku aku pasti aku akan luluh. Apalagi kalau ia sudah mengancam tidak akan tidur bersama atau mengeluarkan aegyonya yang sangat parah.

“Wae? Aku ‘kan jadi bisa lebih leluasa mengatur jadwal latihan menariku dengan Hoseok kalau kami sekelas. Kau tahu ‘kan waktu ujian tinggal sebentar lagi dan tarianku masih sangat buruk…”

“Latihan saja denganku!”

“Yaaa! Kau sibuk! Kau tidak lihat berapa jam dalam sehari kau tidur? Bagaimana kalau kau mau mengajariku…”

“Besok aku akan bolos latihan jadi aku bisa mengajarimu sampai kau bisa!” potongku bersikeras menolak permintaannya. Bagaimanapun aku tidak akan memberi ia kesempatan dekat dengan cinta pertamanya lagi.

“Yaaa! Kau pikir aku robot yang bisa hafal tarian hanya dengan sekali latihan?!”

Sudah cukup. Ia terlalu keras kepala. Kalau aku terus menyahutinya kami pasti akan bertengkar. Aku meninggalkan bukuku lalu mendekatinya. Menempati sisi tempat tidur yang masih kosong. Ia butuh tidur. Ia harus tidur!

Tapi ketika aku akan memeluknya, ia malah memelukku lebih dulu. Bibirnya mengembang ke atas dengan mata yang penuh binar. Beda jauh dari sedetik yang lalu saat ia bersikeras ingin pisah kelas dariku. Ada apa dengannya? Bukankah dia sedang marah?

Kepalanya tiba-tiba mendongak lalu terdengarlah tawa renyah dari bibirnya. “April mop!” cetusnya seketika membuat dengusan panjang keluar dari mulutku. Ah aku benci sekali 1 april. “Ahahaha kau masih cemburu dengan Hoseok eoh? Whooaa coba kau lihat wajahmu tadi! Ahahaha…” ia malah tertawa. Terbahak-bahak sampai membuat wajahku rasanya memanas menahan kesal. Aku inin memarahinya tapi ia terlalu lucu untuk kumarahi.

Akhirnya aku menarik tubuhnya dan membekap wajahnya dengan dadaku. Agar ia diam. “Yaaa! Lepaskan! Aku tidak bisa bernafas!”

“Biar saja! Kau terlalu menyebalkan untuk kumaafkan!” jawabku masih memeluknya erat.

“Yaaa!” ia meronta kuat-kuat. Aku melonggarkan sedikit tenagaku, memberinya kesempatan untuk mendongak menatapku. “Kau marah eoh? Aku ‘kan hanya bercanda! Lagipula kau tidak merasa bersalah sama sekali setelah membuatku sakit perut! Sibuk dengan belajar. Kau bilang kau pintar, lalu untuk apalagi kau belajar eoh?!” marahnya dengan hidungnya yang merah.

“Aku sudah memberimu obat…”

“Kau pikir obat itu bisa menyembuhkanku!”

“Lalu kau butuh apa?”

“Neo… arra?!” jawabnya kali ini dengan wajah bersemu. Ia tersipu malu dengan kalimatnya sendiri. Kepalanya kembali tertunduk lalu memelukku erat. Bersembunyi di tubuhku. Ternyata dia ingin bermanja-manja denganku?

“Kau!” cibirku sambil mencubit hidung peseknya. Ia terkekeh dengan suaranya yang sengau karena hidungnya tertutup. Bagaimanapun aku tetap bersalah padanya. “Mianhae. Harusnya aku tidak membawa topik itu sebagai bahan april mop.” ucapku penuh rasa bersalah. Aku menyapu rambutnya agar tidak menghalangi wajahnya yang tampak cantik.

“Gwaenchana. Lagipula kita memang menginginkannya ‘kan?” tanyanya sambil menggodaku.

Soal anak. Itu memang cita-citaku setelah aku menikah. Aku sudah merencanakannya dari jauh-jauh hari. Ketika aku menikah, aku ingin segera punya anak. Tapi ternyata lain kasusnya kalau sudah begini. Aku juga memikirkan masa depannya. Bagaimana kalau sampai ketahuan lalu ia dikeluarkan? Kalau hanya aku yang dikeluarkan aku tidak masalah karena aku sudah terikat agensi. Tapi kalau dia? Akan jadi apa mimpinya.

“Aku tidak memaksamu. Lagipula…”

“Ssst!” ia menutup bibirku dengan jari telunjuknya. “Nanti Jongin kecil dengar!” bisiknya dengan wajah menyebalkan.

“Memangnya kau sudah hamil!”

“Jongin kecil di langit sana babo! Lagipula kenapa sih kau tidak menurutiku saja? Kau sudah memberiku banyak tapi aku belum memberimu apa-apa. Untuk keluargamu dan keluargaku juga. Satu cucu tidak akan apa-apa ‘kan?!” jelasnya dengan wajah memelas. Melakukan aegyo seolah ia mampu melakukannya dengan wajah dewasa itu.

“Kau tidak bisa aegyo! Hentikan itu!”

“Bbuing bbuing!” dia malah menyengajakan diri.

“Fokuslah pada ujianmu!”

“Kau ‘kan bisa membantuku!”

“Ketua kelas tidak akan melanggar peraturan!”

“Kau jahat!”

“Demi kebaikanmu!”

“Aku tidak mau tidur denganmu! Keluar sana!”

“Ini kamarku, arra?!”

“Geurae? Kalau begitu biar aku saja yang keluar!” ia bangkit dari tidurnya hendak pergi meninggalkan kamar ini. Siasat yang sudah biasa ia lakukan, tapi lagi-lagi aku tetap terjerumus ke dalamnya.

Aku menarik tubuhnya lalu memeluknya. Menjatuhkan ia di tempat tidur. Menarik selimut sampai ke atas tubuh kami dan mulai memejamkan mata. Ini sudah terlalu larut untuk kami bermain-main. “Andwae! Kau tidak boleh pergi. Kau harus tetap disisiku…”

Ia tersenyum di atas dadaku. Tangannya melingkar ditubuhku dan memelukku erat.

-to be continued-

Terlambat 11 hari. Maaf banget ya readers, kalo masih ada yang mau ngikutin ff ini author berterima kasih sekali. Author kehabisan ide banget dan ada masalah pribadi yang bikin konsen buyar. Maaf ya ga maksimal. Ga sesuai penantian panjang kalian.

Kalo ada yang mau bantu ngasih ide, author terima dengan senyum berkembang (?)

Eh ngomong-ngomong EXO comeback yeee! Partnya Kai banyak banget lagi! bahagia banget dah ah! :-)

Filed under: Marriage Life, school life Tagged: exo, kim jongin, OC

Show more