2015-03-29



Cast: OC, Jackson (Got7), Mark (Got7)

Lenght: Twoshoot

Genre: Angst (semoga ngga gagal)

Poster by Jungleelovely @ Poster Channel

a/n: Flashbacknya seenaknya jadi yang jeli yang baca ya. Hehe.

“Jackson!”

Bocah lelaki yang tengah berjalan mengendap-endap itu menempalkan jari telunjuk tepat di depan bibirnya. Seketika gadis cilik yang tengah berada di atas tempat tidurnya menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

“Apa yang kau lakukan tengah malam seperti ini?” tanya gadis kecil dengan suara berbisik.

Jackson berjalan mendekat ke arah tempat tidur. “Aku ada hadiah untukmu.” Jackson menyingkap bajunya memperlihatkan tangan kirinya yang tengah membawa sebuah toples. Ia memperlihatkan toples itu kepada gadis kecil yang tengah mengerutkan dahinya dengan penuh tanya.

“Happy birthday, Eve.” Jackson menunjukkan sebuah toples berisi binatang-binatang kecil yang berterbangan ke sana-kemari dengan cahaya dalam berbagai warna dibagian pantatnya.

“Kunang-kunang!” pekik Eve yang membuat Jackson membekap mulut Eve dengan cepat.

“Sssssttt… nanti bibi penjaga bisa mendengar teriakanmu.”

Eve mengangguk tanda mengerti. “Darimana kau mendapat kunang-kunang ini Jackson?”

Jackson menunjuk kebun belakang dengan ibu jarinya. “Kau tahu yang warna merah ini sangat susah didapat.” Ia menunjuk kunang-kunang dengan cahaya merah yang sedang menempel di dinding toples kaca dengan jari telunjuknya. “Aku sampai harus mendapatkan luka ini karena satu kunang-kunang.” Kini Jackson menunjuk lututnya yang lecet di sana-sini.

Eve tercengang mendapati luka Jackson yang cukup banyak. Lukanya pasti perih. Eve turun dari ranjangnya, ia dapat merasakan kedua bola mata Jackson yang mengekor. Eve membuka laci meja belajarnya dan mengeluarkan sebuah kotak berwarna biru muda. Eve membawa kotak itu ke atas tempat tidur, membukanya dihadapan Jackson. Sebuah kotak P3K lengkap dengan isinya.

Eve mengambil sebuah kapas dan membubuhinya dengan beberapa tetes alkohol. “Kemarikan lututmu Jackson,” pintanya dengan lembut.

Jackson menggeleng. “Itu akan membuat lukaku semakin terasa perih Eve. Tidak!” Jacskon menolak dengan memalingkan wajahnya dari Eve.

“Baiklah kalau kau tidak mau. Aku akan melaporkanmu pada bibi penjaga kalau kau keluar tanpa izin!” ancam Eve yang langsung mendapat respon dari Jackson –seperti dugaannya.

“Bagaimana kau bisa sekejam itu terhadapku?!” gerutu Jackson dengan menaikkan kedua kakinya di atas kasur.

Eve tersenyum geli mendapati gerutuan Jackson namun ia masih tetap menurut untuk memberikan kakinya. Eve menyapu luka itu dengan kapas beralkohol. Ia menyapukannya dengan sangat hati-hati dengan tujuan tidak menambah sakit luka milik Jackson namun Jackson tetap merintih kesakitan.

Kini Eve mengambil obat merahnya lalu meneteskan obat merah itu pada luka yang telah ia sterilkan. Lagi-lagi Jackson harus merintih menahan perihnya membuat Eve terkekeh. “Apa yang lucu dengan melihat orang yang sedang kesakitan Eve?!”

“Terima kasih untuk kunang-kunangnya Jackson. Kau yang terbaik!” Eve memberikan senyum termanisnya malam itu.

“Siapa yang sedang bicara?! Eve?! Jackson?!” suara bibi penjaga diiringi dengan langkah kakinya di lorong membuat Eve dan Jackson kelabakan.

Jackson menyibak selimut kemudian berbaring di atas kasur. Ia melambai ke arah Eve, menyuruhnya melakukan hal yang sama. Eve menurut, ia berbaring di samping Jackson dengan mendekap erat toples pemberian Jackson. Jackson dengan sigap menarik selimut motif beruang milik Eve sampai benar-benar menutupi tubuh mereka berdua.

Pintu kamar Eve berderit, sebuah cahaya menerobos pintu tersebut. Jackson menaruh telunjuknya di depan bibirnya, memberi perintah kepada Eve agar tidak melakukan hal yang bisa membuat bibi penjaga tahu keberadaannya. Selama beberapa saat mereka hanya saling menatap yang terdengar diantara mereka hanya suara hembusan nafas yang menderu karena ketakutan akan ketahuan bibi penjaga.

Setelah dirasa aman. Kamar Eve sudah terasa lebih gelap dari sebelumnya, Jackson kemudian menyibak selimutnya. Jackson dan Eve menghirup oksigen menggantikan pengapnya udara yang mereka hirup di dalam selimut tadi, mereka menghirup oksigen seperti orang yang tengah berebut permen. Keduanya saling berpandangan kemudian tertawa bersamaan. Eve menempelkan telunjuk pada bibir mungil warna peach miliknya. Jackson langsung membekap mulutnya sendiri.

“Ayo kita lepaskan kunang-kunangnya,” ucap Jackson kemudian.

Eve tidak mengerti, kenapa harus dilepaskan? Bukankah Jackson menangkap kunang-kunang itu memang sengaja untuk diberikan kepadanya?

“Tapi, kau sampai terluka untuk mendapatkan kunang-kunang ini Jackson.”

“Tapi kunang-kunang itu akan mati jika tidak kita lepaskan. Tidak ada udara di dalam toples itu Eve. Ayo kita lepaskan kunang-kunangnya.” Jackson beranjak dari tempat tidur dan membuka jendela kamar Eve.

Eve menatap kecewa toples yang berada pada pelukannya. Kunang-kunang itu masih berterbangan dengan riang di dalam toples, masing-masing memamerkan warna lampunya. “Tapi kita bisa membuat lubang agar udara bisa masuk ke dalam toplesnya, Jackson.”

“Untuk tidak melihatnya lagi keesokan harinya. Hidup mereka bukan berada di dalam toples Eve. Rumah mereka ada di alam.” Eve masih diam tak menjawab. Ia hanya memandangi kunang-kunang itu seakan tak rela membiarkan mereka pergi secepat ini.

“Aku akan menangkap kunang-kunang untukmu lagi di ulang tahunmu yang berikutnya.” Eve mendongak menatap Jackson. “Aku berjanji,” ucapnya dengan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya.

Eve mengangguk setuju. Ia turun dari ranjangnya dan berjalan mendekati Jackson. “Janji?” Eve memberikan jari kelingkingnya yang disambut dengan jari kelingking Jackson kemudian. Jari kelingking mereka saling bertaut.

“Janji!” ucap Jackson dengan tersenyum lebar.

Tapi janji itu tidak pernah terpenuhi. Jackson meninggalkan Eve bahkan sebelum hari ulang tahunnya tiba. Jackson meninggalkan Eve begitu saja. Jackson meninggalkan Eve tanpa alasan. Jackson meninggalkan Eve seorang diri di dalam panti asuhan.

Pagi itu berjalan seperti biasa. Eve dan anak-anak yang lain termasuk Jackson sarapan dengan makanan yang paling dibenci Jackson seumur hidup, sayur. Eve dan anak-anak yang lain selalu akan menertawakan kelakuan Jackson yang menghindari suapan sayur dari bibi penjaga.

“Jackson makan sayurmu!”

“Aku lebih baik mati daripada harus makan sayur,” ucap Jackson dengan raut muka ingin muntah.

Dan itu terakhir kalinya Eve melihat sosok Jackson. Ia tidak melihat Jackson saat pulang sekolah yang biasanya akan menyambut dengan tubuh yang berpeluh dan penuh noda tanah pada bajunya siang itu. Eve mengira Jackson hanya tengah bermain bersama teman-temannya yang lain namun sampai waktu makan malam tiba ia tidak muncul juga.

“Dimana Jackson? Kenapa ia tidak ikut makan malam? Apa ia sakit?”

“Kau belum tahu? Jackson telah diadopsi oleh ibu-ibu yang kaya. Wajahnya juga sangat cantik dan sepertinya ia orang yang baik. Beruntung sekali Jackson. Kenapa ibu-ibu itu ingin mengadopsi Jackson, anak paling nakal di panti ini?”

Ucapan selain Jackson telah diadopsi hanyalah angin lalu bagi Eve. Candaan tentang Jackson dan ibu “barunya” tidak lagi dipedulikan oleh Eve. Yang dipikirannya sekarang hanya tentang Jackson yang tengah diadopsi. Bukan Eve tidak suka namun apakah alasan Jackson sampai tidak ingin memberikan salam perpisahan kepadanya? Kenapa Jackson tidak menunggunya sampai ia kembali? Kenapa Jackson meninggalkanya begitu saja? Kenapa Jackson tega membuatnya merasa kesepian di panti asuhan ini? Kenapa Jackson yang diadopsi? Kenapa bukan dirinya? Kenapa? Kenapa Tuhan tidak mengabulkan pintanya? Eve yang paling ingin diadopsi diantara mereka berdua.

“Kira-kira keluarga seperti apa yang akan mengadopsiku ya?”

“Kenapa kau ingin sekali pergi dari panti asuhan ini Eve? Kau tidak ingin berlama-lama denganku?” tanya Jackson yang tengah sibuk dengan legonya kala itu.

“Bukan begitu. Aku ingin segera berguna bagi bibi-bibi yang telah menjagaku selama ini. Dengan diadopsi aku bisa pergi ke sekolah tanpa memberatkan bibi yang kebingungan mencari dana, jika aku bisa sekolah sampai universitas dan sukses aku bisa membantu untuk panti asuhan ini. Haruskah aku berhenti bersekolah sepertimu dan bekerja saja jika memang tidak ada yang ingin mengadopsiku?”

“Jangan!” sahut Jackson melarang. “Kau pintar kau harus sekolah. Kau juga anak yang baik dan penurut terlebih kau juga cantik jadi akan ada banyak orang yang ingin mengadopsimu,” lanjutnya yang kembali sibuk dengan legonya.

“Bagaimana jika kau yang diadopsi terlebih dulu Jackson?”

“Aku akan menolaknya. Aku akan menyuruh orang itu untuk mengadopsimu, jika ia tidak mau, aku tidak akan pergi dengannya sampai kau diadopsi.”

Kini kata-kata itu hanyalah bualan bagi Eve. Kenyataan yang terjadi, Jackson meninggalkannya terlebih dahulu tanpa mengucapkan apapun kepadanya. Dunia ini tak adil.

Eve menjadi anak yang pemurung setelah kepergian Jackson. Yang ia lakukan hanya berangkat sekolah dan pulang lalu mengurung diri di kamar. Tidak membantu bibi menyiapkan makan malam seperti biasa, tidak ikut bermain dengan anak-anak lainnya. Bibi penjaga telah membunjuk Eve untuk tidak berlarut-larut sedih akan Jackson.

“Eve, Jackson pasti punya alasan kenapa ia melakukan hal itu,” ucap bibi Hwang yang mencoba menenangkan Eve yang tengah meringkuk di dalam selimutnya. Bibi Hwang tahu Eve sedang menangis.

“Tapi sampai sekarang ia tidak juga memberikan kabar kepadaku bibi. Apa ia sudah lupa dengan panti asuhan ini? Apa ia sudah lupa dengan teman-temannya di sini? Apa ia sudah lupa denganku?” ucap Eve ditengah-tengah isak tangisnya.

“Jackson mungkin sibuk dengan sekolahnya.” Kata-kata itu membuat Eve sontak menyibak selimutnya dan bangkit terduduk.

“Darimana bibi tahu?” Pertanyaan itu membuat bibi Hwang kebingungan. Tampak dari bola matanya yang tidak fokus menatap Eve dan bibirnya yang digigit-gigit kecil –tanda jika bibi Hwang sedang menyembunyikan sesuatu.

“Bibi menyembunyikan sesuatu? Bibi pasti tahu sesuatu! Bibi cepat beritahu aku! Apakah Jackson baik-baik saja?”

Bibi Hwang nampak semakin gelisah dibombardir pertanyaan dari Eve. “Aku tidak boleh memberitahu siapapun tentang ini. Aku sudah berjanji kepada bibi Barbara. Tapi aku akan memberitahumu sesuatu,” Bibi Hwang terlihat menghirup nafasnya dalam-dalam dan Eve tengah menunggu dengan tak sabar kelanjutan kalimat bibi Hwang, “Jackson diadopsi oleh keluarga yang kaya. Jackson juga mau berangkat sekolah sekarang. Ia termasuk anak yang pintar di sekolahnya. Yang kutahu hanya itu Eve.”

“Hanya itu? Jackson tidak menitipkan apapun untukku? Ucapan selamat tinggal sekalipun?” Bibi Hwang menggeleng lemah lalu memeluk Eve sedangkan Eve menangis sejadinya dalam pelukan bibi Hwang.

“Eve, jangan tinggalkan aku,” racau Jackson ketika sakit panas kala itu.

Eve yang bersiap untuk berangkat ke sekolah hanya terkekeh geli. “Jackson, aku hanya pergi ke sekolah dan akan pulang ketika jam makan siang. Kau istirahatlah di rumah.”

Eve hendak beranjak pergi namun tangan Jackson menahannya. “Jangan tinggalkan aku. Temani aku di sini. Sehari saja,” pinta Jackson dengan mata sayu akibat tidak bisa tidur karena sakit panasnya.

Eve menghela nafas putus asa. “Baiklah… tapi bagaimana jika bibi penjaga tahu? Mereka pasti akan memarahiku Jackson.”

“Aku yang akan bertanggungjawab. Sekarang temani aku,” ucap Jackson dengan menepuk-nepuk sisi tempat tidurnya yang kosong.

Eve menurut. Ia naik ke atas tempat tidur Jackson dan berbaring di sebelahnya. “Jangan lagi berengang malam-malam. Mengerti?” ucap Eve dengan menjewer telinga Jackson pelan.

“A-aw. Tapi berenang malam-malam itu menyenangkan Eve. Kau harus mencobanya. Berenang dengan kunang-kunang dan katak yang tengah bernyanyi.”

“Bagaimana kalau di danau itu ada ular atau bahkan buaya? Bisa tidak kau sekali saja tidak melakukan hal gila seperti itu. Kau membuat khawatir banyak orang Jackson.”

“Iya, iyaaaa… aku minta maaf. Aku berjanji tidak akan mengulanginya.” Jackson berjanji dengan membentuk tanda peace dengan jarinya. “Sekarang ceritakan padaku tentang kehidupanmu di sekolah. Apa saja yang kau lakukan di sekolah? Apa saja yang diajarakn guru-gurumu di sekolah.”

“Aku belajar banyak Jackson. Banyaaaaaak sekali. Kau harus pergi ke sekolah. Sekolah itu menyenangkan. Kau akan mempunyai banyak teman di sana hanya saja kadang ada satu dua yang menyebalkan.”

“Siapa yang berani membuatmu sebal?!” Jackson merespon dengan serius.

Eve tertawa dibuatnya. “Bukan masalah serius. Hanya anak-anak kelas 6 yang tidak suka kantinnya dipenuhi anak kelas kami, kelas 5. Jadi terkadang kami adu mulut dulu untuk bisa dapat tempat duduk.”

Jackson mengangguk-angguk mengerti. “Oh, omong-omong soal anak kelas 6.” Eve menghentikan ucapannya yang kemudian meraih tas ranselnya. Eve mengeluarkan sebuah amplop berwarna merah muda. “Aku mendapat surat dari anak kelas 6,” ucapnya dengan suara berbisik agar tidak ada orang yang mendengarnya.

“Wow!!” teriak Jackson yang tentu saja langsung di bekap Eve.

Eve memberikan isyarat kepada Jackson untuk mengecilkan suaranya. Jackson mengangguk mengerti. Eve melepaskan tangannya dari Jackson saat dirasa Jackson benar-benar bisa dipercaya. “Apakah orang yang memberikanmu surat ini tampan, Eve?” tanya Jackson yang kali ini dengan suara berbisik. “Apakah lebih tampan daripada aku?”

“Namanya Ray. Dia tidak terlalu tampan tapi dia sangat pintar, tulisannya sangat indah dan rapi,” jelas Eve dengan pandangan menerawang entah kemana. “Ia dengan berani memberikan surat ini di depan teman-temanku dan kakak kelas. Ini membuat beberapa teman dan kakak kelas semakin membenciku.”

“Apa yang spesial dengan memberikan surat di depan umum?”

“Tentu saja spesial. Jika kau menyukai seseorang kau harus mempunyai kekuatan yang lebih untuk mengutarakan perasaanmu di depan orang itu Jackson karena biasanya orang akan malu-malu dan kikuk jika berhadapan dengan orang yang disukainya.”

“Aku menyukaimu Eve. Aku menyukaimu Eve. Aku menyukaimu Eve,” sahut Jackson tiba-tiba. “Lihat, aku tidak malu untuk mengatakannya. Berarti aku memang sangat berani.”

Eve terkekeh. “Karena kau tidak benar-benar serius mengatakannya.” Eve mencubit lengan Jackson membuat Jackson mengaduh tanpa suara kemudian mereka terbahak bersama.

“Orang yang akan menjadi suamimu kelak harus lebih tampan dariku. Ia juga harus lebih pintar dariku. Lebih berani dariku. Lebih segalanya dariku.”

“Lebih segalanya darimu? Tidak! Tidak! Tidak! Dia tidak boleh lebih nakal, ngeyel dan cerewet darimu. Aku tidak mau memiliki suami seperti itu. Pasti sangat merepotkan.”

“Jadi kau anggap aku ini merepotkan?!” Jackson mendelik tak percaya dengan apa yang barusan diucapkan oleh Eve.

“Tentu, kau itu–”

Belum sempat Eve menyelesaikan kalimatnya Jackson telah memukulnya telak di kepala. “Tuh kan, kau nakal! Berani sekali kau memukul seorang gadis?!”

“Siapa suruh kau membuatku kesal.” Jackson memalingkan mukanya dari Eve dan melipat tangannya di depan dada. Bukanya marah Eve malah tertawa mendapati ekspresi Jackson yang sama sekali tidak nampak marah.

“Dia juga harus pintar berbahasa Rusia, Jackson.” Eve melanjutkan pembicaraannya tadi.

“Kenapa harus bahasa Rusia?” Jackson mengernyit penuh tanya.

“Karena jarang ada orang yang menguasai bahasa Rusia. Kalau aku bisa bahasa Rusia aku bisa membicarakan sebuah rahasia di depan banyak orang sekalipun dan itu tak masalah. Aku juga bisa mengumpat dengan bahasa Rusia dan orang tidak menyadari jika aku sedang mengumpat,” jelas Eve.

“Sekarang waktunya kau tidur Jackson. Kau perlu banyak-banyak istirahat!” perintah Eve kepada Jackson.

Jackson menggeleng seperti dugaan. “Tidak mau! Kau pasti akan meninggalkanku jika aku tertidur nanti. Tidak!”

“Aku tidak akan meninggalkanmu Jackson. Aku berjanji.”

Jackson berpikir sejenak kemudian ia mengulurkan kelingkingnya kepada Eve. “Janji?”

Eve menautkan kelingking Jackson dengan kelingkingnya. “Janji.”

Eve memang tidak pernah meninggalkan Jackson tapi Jacksonlah yang meninggalkan Eve terlebih dahulu. Meninggalkan Eve dengan kesedihan yang mendalam. Eve tidak tahu bahwa orang yang sangat ia percaya bisa menyakiti sekian dalamnya.

Tiga tahun berlalu. Eve melanjutkan hidupnya tanpa Jackson. Ia kira akan sulit tapi ya… memang sulit pada awalnya tapi nyatanya ia bisa melewati kesulitan itu. Karena Jackson Eve sekarang menjadi gadis yang tegar. Ia tidak lagi menangis jika ditinggalkan anak-anak yang lain karena mereka diadopsi.

“Toh masih akan ada anak yang baru yang mewarnai hidupnya,” pikir Eve.

Tiba saat ketika ini waktunya ia pergi meninggalkan tempat yang sudah lama merawatnya. Hari itu sore hari, Eve sedang menyirami bunga-bunga di beranda panti asuhan kemudian datanglah seorang wanita berambut sebahu dengan seorang pria berpakaian sangat rapi seperti orang kantoran, memakai jas dan sepatu pantofel.

Wanita itu berjalan mendekati Eve dengan pria berwajah ramah di belakangnya. “Boleh kau antarkan kami kepada bibi kepala di sini?”

“A-ah… tentu saja.” Eve menaruh gayungnya di dalam ember kemudian ia berjalan menuntun sepasang suami-istri itu ke dalam rumah. “Lewat sini nyonya.”

“Siapa namamu?” tanya wanita itu kepada Eve.

Eve menunjuk dirinya. “Namaku? Eve. Evelyn.”

“Nama yang indah. Kau duduk di kelas berapa sekarang?”

“Aku kelas 2 SMP sekarang, nyonya.”

“Jangan panggil aku nyonya, panggil saja aku bibi. Bibi Kim. Namaku Kim Hana dan ini suamiku Kim Won Bin,” ucap Hana dengan menyentuh lengan suaminya.

“Namaku Evelyn. Salam kenal.” Eve menunduk memberi hormat.

“Apakah kau mau tinggal bersama kami?” tanya Hana yang membuat Eve kebingungan.

“T-tinggal?”

Hana mengangguk. “Ya, tinggal bersama kami. Kami berencana ingin mengadopsimu. Ugh, aku tidak suka kata adopsi. Kami berencana ingin menjadikanmu bagian dari keluarga kami,” jelas Hana.

Dan hari itu juga Eve meninggalkan panti asuhan. Ia mengepak semua barang-barang yang ada di kamarnya. Dari baju sampai alat-alat sekolahnya. Bingkai-bingkai foto yang membingkai potret dirinya dan anak-anak panti asuhan yang lain termasuk dengan Jackson. Ia membawanya.

“Sudah siap?” suara itu mengagetkan Eve yang tengah memandangi potret dirinya bersama Jackson.

Eve meletakkan bingkai foto itu pada bagian paling atas di dalam kopernya. Ia menoleh. “Bibi Barbara? Apakah aku seperti memiliki waktu untuk tidak siap?”

Bibi Barbara tersenyum lalu duduk pada tepi tempat tidur. “Kemarilah. Aku akan memberitahumu sesuatu yang selama ini berkecamuk dalam dirimu.”

“Kalau ini tentang Jackson. Aku sudah tidak apa-apa bibi. Aku sudah rela dengan kepergiannya.” Eve kembali merapikan kopernya, mengecek barang-barang yang belum dikemasnya.

“Jackson menitipkan sebuah surat untukmu.” Ucapan bibi Barbara itu langsung mendapat sambutan tak percaya dari Eve. Eve membalikkan badannya dan kini di depannya sudah ada sebuah amplop berwarna biru muda–warna kesukaannya–pada genggaman tangan bibi Barbara. “Jackson yang meminta untuk tidak memberikan kepadamu sebelum kau diadopsi. Ambilah, semoga bisa membuatmu tidak menyimpan kesedihan itu lagi.”

Eve meraih amplop dari tangan bibi Barbara. Bibi Barbara tersenyum lembut kemudian memeluk Eve. “Baik-baik dengan keluarga barumu.”

Tiba-tiba saja airmata Eve turun membasahi kedua pipinya dengan surat Jackson dalam genggaman dan berada di dadanya ia mengangguk dalam isakan. Entah kenapa amplop itu menambah kehangatan dalam diri Eve. Tiba-tiba saja ia tidak ingin pergi dari panti asuhan. Ia tidak ingin meninggalkan kenangan-kenangannya bersama anak-anak yang lain, bibi penjaga dan juga Jackson.

“Aku pasti akan merindukan bibi dan juga tempat ini,” ucap Eve masih dalam pelukan bibi Barbara.

“Kami juga akan sangat merindukan keceriaanmu di rumah ini, Eve.”

Eve meninggalkan panti asuhan hari itu dengan amplop berisi surat dari Jackson yang ia baca diperjalanan menuju rumah barunya di Seoul. Isi surat itu berhasil membuat Eve tidak henti-hentinya berurai airmata.

“Kau tidak apa-apa? Jangan paksakan dirimu Eve jika kau memang tidak ingin ikut bersama kami,” ucap bibi Kim dari kursi depan.

Eve menggeleng. “Tidak, Bu. Aku hanya tengah merindukan sahabatku.” Eve tersenyum untuk menenangkan kedua orang tuanya.

Kini Eve sudah tumbuh menjadi seorang wanita 21 tahun yang baru saja lulus dari universitas. Eve berencana ingin mengambil S2, ia ingin menjadi dosen. Tapi ia masih ingin menikmati waktunya sehingga Eve memutuskan menjadi guru bahasa Inggris di sebuah TK di Seoul.

Eve juga memutuskan untuk memanjangkan rambutnya. Kini rambutnya panjang melebihi bahunya, panjang dan berwarna hitam. Eve juga ahli dalam merias wajahnya walau hanya sekedar memakai bedak dan maskara. Eve juga mencoba menyukai memakai sepatu hak tinggi, hitung-hitung melatihnya untuk menjadi dosen nantinya.

Impian Eve terwujud. Ia diadopsi oleh keluarga yang berkecukupan dan sangat menyayanginya. Mereka menganggap Eve seperti anak kandungnya sendiri. Mereka mau menyekolahkan Eve sampai universitas dan selalu mendukung apa yang menjadi impian Eve. Kini dengan ia mengajar di sebuah TK, ia mulai mengumpulkan uangnya agar bisa membantu panti asuhan tempatnya berada dulu. Ia ingin semua anak-anak di sana dapat bersekolah sampai mereka sarjana.

Selain itu semua, ada satu lagi impian Eve yang menjadi nyata. Eve memiliki seorang kekasih yang ahli berbahasa Rusia. Dia adalah kakak tingkatnya saat diperguruan tinggi. Wajahnya tirus dengan rahang yang cukup menonjol, giginya yang berderet rapi dengan sepasang gigi taring yang nampak seperti vampire, hidungnya bak perosotan, kulitnya putih susu, matanya bak bulan sabit jika tersenyum dengan beberapa kerutun di ujung matanya, rambutnya yang berwarna putih keabu-abuan menambah kesan pendiam di dirinya. Tapi memang kekasih Eve adalah orang yang pendiam. Ia lebih suka mendengarkan Eve bercerita panjang lebar daripada ia yang harus bercerita. Namanya, Mark.

“Halo, Mark? Kau sudah ada di luar? Tunggu aku, aku sedang bersama Nana. Ia belum juga dijemput oleh keluarganya. Kau tak apa jika kita harus mengantarnya pulang terlebih dahulu?”

“Apa? Sudah ada yang menjemput Nana? Siapa?” Eve seakan melakukan sebuah monolog dengan ponselnya sendiri. Nana yang ada digandengannya hanya diam mendengarkan. “Hyorin?”

Eve menyingkirkan ponselnya beberapa senti dari wajahnya lalu ia menunduk menghadap Nana. “Kau memiliki saudara bernama Hyorin?”

Nana mengangguk. “Itu pasti bibi Hyorin. Ia baru datang dari Amerika. Pasti ia membawa oleh-oleh untukku makanya ia menjemputku,” sorak Nana kegirangan.

Eve terkekeh geli. “Mereka sudah menunggu di luar. Ayo kita ke luar,” ucap Eve dengan melangkah menuju gerbang. Ia hampir lupa bahwa ia belum menutup ponselnya.

“Mark, kau masih di sana?” Terdengar Mark menjawab. Eve menggurat senyum. “Aku dan Nana sudah berjalan keluar. Kuharap kau tidak bosan menungguku.”

Eve dapat merasakan sudut bibir Mark yang terangkat membentuk sebuah senyuman walau ia sedang tidak bertatap muka dengannya. “Aku matikan teleponnya ya. Bye.”

Beberapa langkah lagi Eve dan Nana sudah sampai pada gerbang TK tersebut. Eve melihat punggung Mark yang tengah bersandar di mobilnya, membelakangi mereka. Lagi-lagi Eve menyunggingkan sebuah senyuman.

“Bibi Hyoriiiiiiin!!” teriak Nana dengan berlari.

“Nana, hati-hati. Tidak usah lari. Nanaaaaa!” teriak Eve yang berjalan cepat di belakang Nana, takut jika akan terjadi sesuatu kepada Nana.

Mark membalikkan badan ketika mendengar suara Eve. Ia mendapati adegan Eve yang mengejar Nana yang tengah berlari menuju bibinya. Mark terkekeh geli. Eve nampak ngos-ngosan mengikuti Nana.

“Nana, tidak usah lari. Unnie tidak akan meninggalkanmu!” ucap orang yang bernama Hyorin. Itu hanya tebakan Eve. Ia kira bibi Hyorin akan seperti sosok seorang bibi yang paruh baya tapi bibi Hyorin ini jauh dari kata itu. Kira-kira umurnya jauh lebih mudah dari dirinya atau bisa sama.

“Maaf ya telah membuatmu repot. Aku Hyorin, sepupu Nana. Dia memang tidak terbiasa memanggilku dengan sebutan unnie jadi terkesan aku sangat tua ya jika Nana memanggilku,” ucap Hyorin diikuti tawa Eve.

“Aku guru Lyn. Guru bahasa Inggris Nana. Dia anak yang cerdas di sekolah.” Kini giliran Eve yang memperkenalkan diri. Eve menunduk sebagai tanda penghormatan untuk orang yang baru ia kenal.

“Kalau begitu aku pamit pulang duluan ya. Bye Nana.” Eve melambai ke arah Nana yang dibalas dengan lambaian tangan juga oleh Nana dan Hyorin.

“Salam untuk Mark oppa ya, Bu. Ia nampak tampan sekali hari ini!” teriak Nana yang tanpa Eve menyampaikan pun pasti terdengar oleh Mark.

Mark menatap Eve yang tengah berjalan ke arahnya. Keduanya tertawa kemudian Mark melambai ke arah Nana. “Thank you, Nana. See you later!”

“Hai tampan,” sapa Eve dengan bahasa Rusia dan aksen kental khas orang Rusia.

“Oh, hai cantik,” balas Mark dalam bahasa rusia juga. Eve mencium pipi Mark.

“Menggelikan,” sahut sebuah suara yang membuat Eve dan Mark menoleh ke arah sumber suara itu bersamaan.

Bukan. Bukan masalah menggelikan atau bukan hanya saja suara itu… orang itu… menyahut dengan bahasa Rusia juga.

“Jackson, ayo cepat antarkan Nana pulang,” pinta Hyorin yang berjalan mendekati pria bernama Jackson.

Seketika itu juga tubuh Eve menegang. Tatapanya bertemu dengan milik pria bernama Jackson tersebut. “J-J-Jackson?” Akhirnya Eve memberanikan diri untuk memastikan bahwa yang dihadapannya adalah Jackson yang ia kenal selama ini. Sahabat terbaiknya.

“Eve? Evelyn?” sahutnya.

Eve tak percaya, setelah sekian lama akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali. Eve menutup bibirnya agar tidak mengeluarkan isak tangis haru sedangkan matanya sudah berkaca-kaca berusaha membendung air mata yang sudah di ambang batas pelupuk matanya.

“Siapa dia Eve?” tanya Mark memecah keheningan.

Dengan cepat Eve menghapus air matanya sebelum sempat turun membasahi pipinya. “Namanya Jackson. Jakson, ini Mark. Kekasihku.”

Mark mengulurkan tangan ke arah Jackson yang disambut hangat. Namun tatapan Jackson tetap mengarah ke arah bola mata kekasihnya, Eve.

“Eve sering bercerita tentangmu.”

“Jackson, kau tidak ingin mengenalkan aku?” sebuah suara menginterupsi.

“A-ah ya. Hyorin ini Mark dan Evelyn. Evelyn, Mark ini Hyorin. Tunanganku.”

Untuk kesekian kalinya Jackson selangkah lebih dulu di atas Eve.

***

Haruskah aku melanjutkannya lagi? Masih ada yang minat baca lanjutannya ngga? Kritik dan saran ditunggu di comment box! <3

Filed under: Angst Tagged: GOT7, Jackson, Mark

Show more