Title : Regret | Mianhae..
Author : SehunBee [@Nurul_Hunie]
Cast :
Oh Sehun as Mafia
Khaza Hanna as Sehun’s Wife
Xi Luhan as Detective
Byun Baekhyun as Jaksa
Other Cast : Find by yourself
Genre :
Angst || Sad || Romance || Marriage Life || Action
Rating : PG-17 or Mature
Lenght : [7548] Series/Chaptered
Disclaimer :
Semua alur murni hasil imajinasiku, jangan copy paste seenaknya dan jadilah reader yang baik.
Poster and Header by : popowiii | SHINING VIRUS
Summary
Matamu menatap ke arahku, namun hatimu telah terikat olehnya.
¤¤¤
Belajarlah memaknai kehadiran Hanna sebagai istrimu. Jangan terlalu digenggam erat agar tak berkarat, jangan juga diberi kebebasan agar tak lepas. Cukup dijaga karena ia memang hanya titipan. Dan suatu saat nanti, ia akan pergi, entah itu karena diambil Tuhan atau diambil orang. Karena pada dasarnya, apa yang kita miliki juga apa yang kita sayangi hanyalah sebuah titipan. Semuanya adalah milik-Nya yang paling berkuasa.
Prev. Chapter
Chapter 1 ¤ Chapter 2 ¤ Chapter 3 ¤ Chapter 4 ¤ Chapter 5 ¤ [TEASER] Chapter 6 ¤ Chapter 6 ¤ [TEASER] Chapter 7 ¤ Chapter 8
Semuanya kembali seperti semula. Dimana perang dingin kembali terjadi diantara mereka. Bahkan lebih parah dari sebelumnya, dimana tak ada lagi interaksi yang terjadi diantara keduanya. Sehun sibuk dengan pekerjaannya, dan Hanna sibuk dengan dunianya. Terlebih, gadis itu selalu mengurung diri di dalam kamar. Dan hanya keluar, saat perutnya minta diisi. Karena hanya jika menyangkut urusan perut–Hanna tak bisa lagi menundanya, sekalipun saat ia sedang marah.
Marah?
Ya. Hanna masih marah pada Sehun. Terhitung, sejak ia pulang dari cafe bersamanya beberapa hari yang lalu. Dan kemudian mendapati seorang wanita, yang tengah terduduk santai di sofa.
Saat itu, Hanna langsung menghempaskan tangan Sehun kasar. Lalu pergi begitu saja, tanpa sepatah kata pun. Sehun yang melihat sikap Hanna pun, hanya mengendikkan bahunya acuh. Sebelum akhirnya, menyuruh wanitanya itu untuk pulang.
Dan kini, kejadian itu sudah berlalu selama 6 hari lamanya. Namun, perang dingin itu masih terjadi. Terutama Hanna yang seolah enggan menemui Sehun. Meski Sehun, tak lagi membawa wanita lain ke rumah.
Sebelumnya meskipun marah, Hanna tak pernah seperti ini. Ia tetap mempersiapkan baju untuk Sehun bekerja juga makanan untuknya. Namun kini, tidak sama sekali. Dan semakin lama, Sehun pun semakin jengah dibuatnya. Dan pada akhirnya, ia menerobos masuk kamar Hanna dengan kunci duplikat yang ia punya.
Sehun sempat marah, dan menanyakan apa yang Hanna inginkan. Namun, Hanna hanya diam. Hingga pada akhirnya, ia hanya melakukan ‘hal’ yang begitu dirindukannya bersama Hanna. Tanpa menunggu lagi jawaban darinya.
Dan kini, Sehun tengah memejamkan matanya rapat. Mencoba menikmati sisa-sisa kenikmatan dari kegiatan yang baru saja selesai ia lakukan. Namun tak lama, Sehun kembali membuka matanya, saat merasakan tubuh polos Hanna yang kembali merapat ke dalam pelukkannya.
“Dingin?” Tanya Sehun dengan senyum kecil di bibirnya, saat mendapati tangan Hanna yang sudah melingkar di perutnya.
“Heum…” Hanna hanya bergumam sebagai jawaban. Detik berikutnya, Sehun membalas pelukkan Hanna seraya mengecup keningnya—lama. Entahlah, Sehun hanya merasa begitu merindukan gadis itu. Hingga sedari tadi, ia terus memperlakukannya dengan begitu manis–Meski ia sedikit marah padanya. Hanna sendiri kembali bersikap manja padanya. Selain memang karena ia kedinginan, meski selimut tebal sudah menutupi tubuhnya. Ia pun bersyukur perutnya belum terlihat begitu buncit, hingga ia tak perlu takut, Sehun akan mencurigainya. Dan Hanna pastikan, ini terakhir kalinya ia tidur bersama Sehun, agar keberadaannya tetap terlindungi. Karena semakin hari, ia akan tumbuh semakin besar di dalam perutnya.
Kecupan Sehun kembali turun, dari kening ke hidung dan dari hidung berakhir di bibir. Lama ia melumatnya, meski Hanna hanya membalasnya sesekali. Dan detik berikutnya, Sehun kembali berada di atas tubuh Hanna. Dan pada akhirnya, Sehun kembali melanjutkan kegiatannya, sampai Hanna tak lagi kedinginan dibuatnya, namun terganti dengan keringat yang membanjiri tubuhnya.
Desahan kecil pun terus mengalun indah dari bibir Hanna. Membuat Sehun semakin enggan mengakhiri kegiatan yang kembali dimulainya itu.
Sebuket rangkaian bunga tertata begitu rapi dalam genggaman seorang pria. Ia melangkah santai dan terus membawa tubuhnya ke sebuah area pemakaman. Ini hari libur yang sangat dinantikannya, hingga ia bisa kembali mengunjungi makam seorang wanita yang dulu sangat ia hormati itu. Meski kegiatannya cukup padat, tapi akan selalu ia sempatkan untuk mengunjungi makamnya. Minimal sekali dalam satu bulan.
“Annyeong haseyo, Eommonim…” Baekhyun tersenyum cerah di depan sebuah batu nisan yang dikunjunginya, seraya meletakkan bunga yang dibawanya. Dan detik berikutnya, ia kembali mengoceh–menceritakan segala pengalamannya di depan batu nisan itu.
Seseorang yang sedari tadi mengikutinya pun, tersenyum kecil dibuatnya. Ia hanya tak menyangka, Baekhyun yang dikenalnya memiliki wajah dingin nan tenang, ternyata memiliki sifat kekanakan yang tersembunyi di dalamnya.
Beberapa kali juga ia mencoba menahan tawanya, saat Baekhyun mulai menceritakan pengalamannya saat kembali bertemu dengan Sehun juga Hanna. Baekhyun menceritakan segala kekesalannya pada pria itu, juga rasa cemburunya saat itu. Sungguh sangat di luar perkiraan. Dimana saat kejadian, Baekhyun bersikap amat tenang bahkan terkesan menantang, namun kini justru sebaliknya. Baekhyun mencurahkan semua isi hatinya pada seseorang yang telah terkubur itu.
“Kau sangat menarik, Jaksa Byun,” ungkapnya pada akhirnya. Dan secara tidak langsung, ia memberitahu keberadaannya pada Baekhyun.
Baekhyun yang baru menyadari keberadaannya pun, terkejut. Lantas menatapnya penuh tanya.
Sedang apa dia di sini?
“Maaf mengagetkanmu…” Ujarnya lagi. Membuat Baekhyun tersadar dari keterkejutannya.
“Letnan Kim, sedang apa kau di sini?” Pertanyaan tanpa sapaan pun terlontar dari bibir mungil Baekhyun. Sementara Myungsoo, tak mempermasalahkan itu. Ia hanya tersenyum kecil dibuatnya.
“Aku mengikutimu,” jujurnya. Membuat Baekhyun menaikkan sebelah alis bingung. “Ada yang ingin aku bicarakan secara pribadi denganmu. Dan anggap ini sebagai bentuk kerjasama kita seperti sebelumnya…” Lanjutnya–menyadari tatapan bertanya Baekhyun.
“Mwo?”
“Beritahu aku, dimana Jo Khaza berada..!!!” Ujar Myungsoo to the point.
Deg.
“Untuk apa kau mencari tau?” Selidik Baekhyun, tanpa melepas fokus dari manik mata lawan bicaranya. Namun, senyum tipis di dapatnya. Membuatnya semakin yakin ada maksud tersembunyi di baliknya, meski ia seorang letnan.
“Kau terlambat mencurigaiku, Jaksa Byun…” Seringai Myungsoo semakin lebar. Membuat Baekhyun sadar, lantas membelalakkan matanya.
“Kau, salah satu dari mereka…” Desisnya kemudian. Tatapan tajam penuh introgasi pun tersirat dari mata kecilnya. Saat ingatannya kembali membawanya pada kejadian beberapa hari lalu. Saat dimana Sehun datang menjemput Hanna, dan terlihat berteman baik dengan seorang letnan. Sekarang, Baekhyun mengerti mengapa Myungsoo bisa berteman baik dengan seorang penjahat yang seharusnya menjadi buronannya.
“Ya, Aku anggota Black ID dan aku tak akan menyangkalnya…” Myungsoo membenarkan. Batinnya pun kagum, karena Baekhyun tak sebodoh yang ia kira. Bahkan hanya dengan beberapa kalimat dan sedikit senyuman, ia sudah bisa menebak identitas aslinya. “Seperti yang kau tau, aku berprofesi sebagai anggota kepolisian dan aku tak sejahat seperti yang kau kira, Jaksa Byun…” Myungsoo terkekeh, setelah melanjutkan kalimatnya. Membuat Baekhyun seketika muak dibuatnya. Namun, tatapan tajam masih ia peruntukkan untuk Myungsoo.
“Jangan salah paham dulu Jaksa Byun,” Ujar Myungsoo kikuk. Saat menyadari tatapan Baekhyun yang semakin tak bersahabat itu, “aku datang menemuimu karena Hanna yang memintaku…” Jelasnya kemudian. Seolah tak sanggup menerima tatapan tak suka itu lama-lama.
Sementara, Baekhyun yang mendengarnya–membelalak samar. Jantungnya tiba-tiba saja memompa cepat saat mendengar nama itu. Namun, akal sehatnya masih bekerja dengan baik, hingga ia tak bodoh untuk terjebak–dengan langsung mempercayainya.
“Kau ingin bermain denganku, Letnan Kim?” Baekhyun mengangkat salah satu ujung bibirnya, membentuk sebuah senyuman sinis yang begitu menyiratkan ketidaksukaan.
Myungsoo pun balas tersenyum. Sudah ia duga, Baekhyun tidak akan langsung mempercayainya. Namun, ia tak akan menyerah sampai pria itu menaruh kepercayaan padanya. Dan perlahan, Myungsoo kembali membuka mulutnya. Menceritakan apa yang sudah ia sepakati bersama Hanna.
FlashBack On
“Arraseo,..” jawab Myungsoo parau, “tapi bukankah kita sama, Hanna?” tanyanya kemudian, seraya menatap manik mata Hanna lekat, “kita berdua sama, kita sama-sama ingin melindungi orang yang kita sayangi, kita ingin mereka tetap hidup.” Lanjutnya. Seraya mengalihkan fokus dari Hanna ke jalanan di depannya.
“Kau rela menjadi boneka untuk itu, aku pun demikian. Hanya peran kita saja yang berbeda.”
Hanna menatap nanar lawan bicaranya. ‘Percuma.’ Batinnya menyerah. Myungsoo akan tetap melindungi orang yang disayanginya dengan caranya. Namun,
“Kalau begitu, kita buat kesepakatan,” Hanna tak ingin kehilangan kesempatan untuk melindungi Ayahnya. Myungsoo yang mendengarnya pun kembali menatap Hanna, seraya menaikkan sebelah alisnya–penuh tanya.
“Mwo?”
“Aku ingin melindungi Ayahku dengan caraku. Dan aku akan membantumu melindungi orang-orang yang kau sayangi dengan cara yang baik,” Myungsoo masih menatap Hanna dengan penuh tanya, “jika Ayahku mati, maka pemimpinmu akan tetap pada tahta-nya, benar?”
Myungsoo hanya mengangguk.
“Kalau begitu, bunuh Ayahku sebelum Sehun menemukannya,” Myungsoo membelalakan matanya tak percaya. Namun detik berikutnya, ia mengerti.
“Kau ingin aku berpura-pura membunuh ayahmu?” Tanyanya tak percaya.
“Ne, lakukan semuanya serapi mungkin. Dan buatlah berita dengan fakta palsu…” Hanna mengangguk-mengiyakan.
“Maksudmu?”
“Pemimpinmu bukanlah orang yang bodoh dan ia begitu menginginkan kematian Ayahku. Oleh sebab itu, kau harus menemukan Ayahku untuk membuatnya senang, dan kemudian mengambil beberapa potret tubuhnya yang ‘terlihat’ mati untuk kau berikan padanya sebagai bukti, bahwa Ayahku telah tiada.” jelas Hanna. Membuat Myungsoo tersenyum kecil dibuatnya. Tak menyangka ternyata Hanna licik juga.
“Namun sebelum itu, kau harus menemui Oppa-ku untuk mencari tahu keberadaan Appa. Dan setelahnya, temui juga seorang jaksa bernama Byun Baekhyun. Pinta ia untuk menghentikan aksi pencariannya terhadap bukti-bukti mengenai kasus Appa. Karena itu percuma, ‘kalian’ akan tetap menang dalam pengadilan.” Hanna terdiam sesaat–terlihat merenung. Membuat Myungsoo menatap sendu ke arahnya, seolah ikut merasakan beban yang dirasakan olehnya.
“Sebenarnya, aku tak masalah nama Appa tetap kotor karena itu, karena yang terpenting bagiku–ia tetap hidup. Dan jika kasusnya ditutup, maka Black ID pun akan merasa tenang dan tak akan mengusik kami lagi.” Jelas Hanna lagi, sedikit sendu. Myungsoo pun mengangguk mengerti. Helaan nafas pelan pun terdengar dari pria itu. Sebelum akhirnya, ia tekadkan hatinya untuk menyetujui rencana Hanna.
“Aku mengerti dan Kau bisa percaya padaku, Hanna… Dengan begitu, aku tak perlu membunuh demi melindungi orang-orang yang aku sayangi…” Myungsoo tersenyum dengan begitu tulusnya, seraya mengacak rambut coklat Hanna.
“Tapi jika rencana kita gagal, mungkin kita akan mati bersama…” Tangan Myungsoo bergerak, menghapus sisa kesedihan di pipi Hanna.
“Mati dengan cara seperti itu lebih baik, daripada terus-terusan hidup di jalan yang salah. Sementara kita tau ada hal baik dan benar yang bisa kita lakukan…” Ujar Hanna yakin.
End of FlashBack
Baekhyun menundukkan kepalanya. Kini, mereka tengah terduduk di bawah pohon rindang yang tak jauh dari area pemakaman.
“Apa aku bisa mempercayaimu?” Tanya Baekhyun–masih ragu. Hatinya gelisah, memikirkan rencana Hanna yang begitu bertolak belakang dengan apa yang ia rencanakan. Terlebih sebelumnya, Hanna sangat bersikeras ingin membersihkan nama Appa-nya. Mengapa kini, justru sebaliknya. Apa mungkin karena ada tekanan dari Sehun? Dan Sehun yang memaksanya untuk melakukan ini. Astaga, begitu banyak pertanyaan yang berlalu lalang dalam benaknya.
“Kau meragukanku? Kau bisa membunuh kekasihku sebagai jaminan…” Ujar Myungsoo santai, namun terdapat nada keseriusan di dalam nada bicaranya. Membuat keraguan Baekhyun terkikis perlahan.
“Kau sudah menemui Luhan Hyung?” Tanyanya lagi.
“Luhan berada di bawah kendali Sehun, jika Sehun tak memintaku untuk menemuinya maka aku pun tak berani menemuinya. Itu sangat beresiko…” Jelas Myungsoo. Baekhyun pun mengangguk paham. Namun,
“Mwo? Kendali?” Baekhyun sadar akan sesuatu.
“Luhan sudah direkrut menjadi bagian dari Black ID. Sehun sendiri yang melakukannya…” Jelas Myungsoo, seraya melirik ekspresi Baekhyun sekilas.
“Brengsek… Sehun benar-benar licik,” Baekhyun mengumpat kesal. Tangannya terkepal erat, matanya pun kembali memincing tajam. Dengan bergabungnya Luhan ke dalam Black ID, maka akan semakin sulit untuk mereka merencanakan rencana pembebasan Tuan Khaza. Sekarang, ia mengerti mengapa Luhan menemuinya dengan cara sembunyi-sembunyi tempo hari.
“Rencana Hanna memang terdengar sangat mudah, tapi aku tidak yakin semuanya akan mudah dijalankan…” Ujar Myungsoo, mencoba mengalihkan kekesalan Baekhyun. Sementara Baekhyun, mulai kembali menyandarkan tubuhnya pada pohon besar di belakangnya. Matanya pun terpejam, menimang segala resiko yang mungkin saja terjadi. Myungsoo mengikutinya, ia ikut menyandarkan tubuhnya pada pohon besar itu. Namun matanya berkeliling–waspada. Takut, jika ada orang yang mengikutinya, terlebih mendengarkan semua percakapannya bersama Baekhyun.
“Jika Jo Khaza dikabarkan meninggal, maka Sehun dan Hanna akan bercerai. Itu ‘kan yang kau harapkan?”
Baekhyun membuka matanya perlahan. Hatinya pun mengiyakan.
“Kalau begitu, pertemukan aku dengan Hanna. Agar aku yakin dan tak salah mengambil keputusan…”
Shit. Myungsoo mengumpat kesal dalam hati.
Dia benar-benar pintar.
Hanna baru saja terbangun dari tidurnya. Dan saat terbangun, Sehun sudah tak ada di sampingnya. Helaan nafas pelan pun terdengar, lantas ia beranjak menuju kamar mandi. Sudah tiga hari ini, ia tak lagi mengalami mual juga muntah di pagi hari. Namun terganti dengan rasa sakit kepala yang teramat mengganggu. Terlebih, ia tak bisa meminum obat sembarangan untuk meredakannya.
Setelah selesai membersihkan diri, Hanna memilih sweater rajut berwarna merah untuk dipakainya, dengan ukuran yang kebesaran di tubuhnya. Setelahnya, Hanna kembali menuju tempat tidurnya, lantas kembali berbaring di atasnya–bermalas-malasan ria di sana. Bahkan, ia enggan untuk turun ke bawah, meski itu untuk sekedar mengisi perutnya. Sungguh, seperti bukan Hanna yang sebelumnya.
Sementara Sehun, tengah membaca majalah bisnis di ruang tamu. Dengan pakaian santainya, namun terkesan formal. Sesekali ia melirik ke arah tangga. Menanti seseorang yang datang menuruninya. Namun sayangnya, seseorang yang diharapkannya itu tak kunjung turun. Membuatnya tak tenang dan pada akhirnya beranjak, menuju kamar gadis itu.
Ceklek.
Sehun membuka pintu kamarnya perlahan. Dan saat itu juga, pemandangan yang amat menyebalkan dilihatnya. Dimana Hanna tengah berbaring terlentang, dengan kaki yang dinaikkan ke atas headboard tempat tidur. Bisa Sehun dengar, mulutnya yang terus mengoceh tak jelas–menghitung sebuah kalender yang berada di tangannya, seraya menunjuk-nunjuknya pelan. Dan bisa dipastikan, Hanna tak sadar akan kehadirannya karena posisi kepalanya mengarah ke arah pintu masuk.
Sehun sendiri hanya bisa mendengus sebal. Seraya menyandarkan sebelah bahunya di ambang pintu.
“29, 30, 31, 32, 33, 34, 3–”
“Sampai kapan kau akan bermalas-malas terus seperti itu, Hanna?” Akhirnya Sehun membuka suara. Membuat Hanna menangkupkan mulutnya seketika. Saat mendengar suara dingin nan menusuk yang amat di kenalnya itu. Kepalanya lantas mendongak ke bawah. Dan saat itu juga, ia melihat Sehun yang tengah menatap malas ke arahnya, dengan sebelah bahu yang bersandar pada pintu.
Hanna yang melihat posisi Sehun terbalik pun, semakin pusing dibuatnya. Padahal sesungguhnya, kepalanya ‘lah yang terbalik.
“Sampai aku bosan,” jawabnya kemudian. Seolah tak peduli dengan wajah tak bersahabat Sehun. Hanna hanya mencoba untuk bersikap sewajarnya, seraya menghilangkan rasa canggungnya. Setiap kali ingat akan pernyataan perasaan Sehun beberapa hari yang lalu. Ia kembali membenarkan posisinya, seraya memijat tengkuknya pelan.
Sehun yang mendengarnya pun, hanya bisa memejamkan matanya sesaat. Lantas melangkah ke arahnya, dan kemudian merebut kalender yang berada di tangannya.
“Ya! Kau mengacaukan hitunganku…” Protes Hanna kesal, seraya bangkit dari tidurnya.
“Memangnya apa yang kau hitung, huh?”
Deg.
Hanna mengerjapkan matanya pelan. Ia bingung harus menjawab apa. Karena sedari tadi, ia tengah mencoba menghitung usia kandungannya, dengan mengingat-ngingat kembali–kapan terakhir kali ia mengalami menstruasi. Dan sangat tidak mungkin baginya, untuk menjawab pertanyaan Sehun dengan mengatakan alasan sebenarnya.
“Hari ulang tahunku. Aku sedang menghitung berapa hari lagi aku ulang tahun…” Jawabnya kemudian seraya memalingkan wajahnya dari Sehun. Membuat Sehun dapat mengetahui dengan jelas, bahwa Hanna tengah berbohong. Terlebih, ia tau Hanna sangat membenci hari ulang tahunya. Karena Ibunya meninggal 3 jam sebelum hari lahirnya itu, dan Ayahnya terluka tepat di hari ulang tahunya. Juga kematian rekan-rekan Ayahnya di hari itu. Jadi untuk apa Hanna menanti hari itu, dengan menghitungnya?
Tak lama, Sehun melirik kalender di tangannya. Kecurigaannya pun kembali dan semakin menjadi. Terlebih semalam, ia melihat perut Hanna yang tak lagi ramping. Dan kini, ia melihat Hanna yang kembali berbaring. Kali ini, dengan posisi yang lebih manusiawi. Seolah mencoba untuk menghindar darinya.
Trak.
Sehun meletakkan kembali kalendernya di atas nakas, “Turun dan sarapan. Setelah itu, kita pergi ke rumah kedua orang tuaku.” Ujarnya. Dan kemudian pergi meninggalkan Hanna begitu saja.
Hanna yang mendengarnya pun, hanya bisa menghela nafas pelan. Sebelum akhirnya menurut, lantas beranjak dari kasur empuknya.
Dan kini, Hanna hanya bisa diam–terduduk manis di atas kursi penumpang. Setelah dipaksa Sehun untuk memakan sarapan yang tidak dikehendakinya, kini, ia kembali dipaksa Sehun untuk ikut bersamanya. Namun, bukan ke rumah kedua orang tuanya seperti yang ia katakan sebelumnya. Hanna sendiri bahkan tidak tau hendak dibawa ke mana olehnya, yang ia tau hanyalah, jalan yang dilewatinya berbeda dengan jalan yang biasa ia lewati setiap kali berkunjung ke rumah kedua orang tua Sehun.
“Sebenarnya kau mau membawaku ke mana?” cicit Hanna, seraya menatap Sehun yang tengah fokus mengemudi. Namun, tak ada jawaban darinya. Sehun hanya diam dengan segala kebisuannya. Membuat Hanna mendengus kesal karenanya. Tidak tau ‘kah Sehun, Hanna membutuhkan keberanian penuh untuk sekedar bertanya padanya. Karena jujur saja, Hanna masih merasa canggung padanya. Ingatan akan Sehun yang pernah mencintainnya benar-benar mengacaukan sistem kerja tubuhnya, hingga ia merasa tak nyaman setiap kali di dekatnya.
“Hentikan mobilnya..!! Aku mau turun…” Namun kini, emosi kembali menguasainya. Persetan dengan perasaan aneh yang mengganggunya. Hanna hanya tak suka diacuhkan. Apa susahnya menjawab, hanya itu yang ingin Hanna dengar. Dan tanpa diduga Sehun menepikan mobilnya, lantas menatap Hanna yang tengah menatapnya dengan kilatan amarah di matanya.
“Kau sensitif sekali, heum…” Sehun mengulurkan tangannya, lantas mendaratkannya di pipi Hanna. Mengelusnya lembut dengan senyum penuh arti di bibirnya. Hanna yang mendapat perlakuan seperti itu pun, hanya bisa mengerjap pelan.
“Aku hanya ingin pergi ke suatu tempat bersamamu… Dan aku ingin memastikan sesuatu di sana,” lanjutnya. Tangannya pun turun, dan kembali mendarat di tempat yang berbeda. Hanna yang merasakan tangan Sehun berpindah ke perutnya pun membebelalak. Darahnya berdesir hangat di dalam sana. Membuat dadanya berdebar tak tentu. Dan detik berikutnya, Hanna merasakan betapa manisnya bibir Sehun di bibirnya. Tak hanya itu, ia pun merasakan pergerakan lembut tangan Sehun di perutnya.
Nyaman.
Perasaan itulah yang Hanna rasakan. Membuatnya membatin tak percaya, ‘seperti ini ‘kah perasaan yang dirasakan oleh seorang Ibu hamil, saat suaminya mengelus sayang janin yang berada di dalam perutnya?’
Sehun sendiri masih mengelus perut Hanna pelan, seraya memberikan lumatan-lumatan lembut di bibirnya. Sementara Hanna, sudah memejamkan matanya erat–menikmati sensasi nyaman yang Sehun berikan itu. Namun tak lama, Sehun melepaskan pautannya, membuat suara decakan kecil terdengar.
Perlahan Hanna membuka matanya, dan saat itu juga–manik mereka bertemu. “Kita akan bercerai setelah aku menemukan Aboeji dan aku ingin memastikan, bahwa—tidak akan ada yang mengikat kita lagi nantinya,” Sehun tersenyum kecil. Membuat Hanna kembali membelalakkan matanya. Ia mengerti dengan baik, maksud dari kalimat terakhir yang Sehun ucapkan itu. Dan saat itu juga Hanna sadar,
Sehun akan membawanya ke rumah sakit, demi memeriksakan kondisinya.
Sehun yang melihat reaksi Hanna pun kembali tersenyum dibuatnya. Senyum yang berbeda.
“Kau mengira aku hamil?” Tanya Hanna memastikan dengan wajah yang kembali tenang, dan suara yang tak kalah tenang. Maniknya pun menatap hazel Sehun tanpa ragu.
“Kau pintar!” Sehun mengusap bibir Hanna yang basah dengan ibu jarinya. Keyakinannya pun bertambah berkali-kali lipat. Ia tak bodoh untuk tak memahami ketakutan Hanna–di balik wajah tenangnya itu.
“Apa yang membuatmu beranggapan seperti itu?” Hanna masih menatap Sehun, mencari tau sesuatu yang tersembunyi di balik mata tajamnya itu, “Bahkan aku tak beranggapan seperti itu. Sementara aku wanita, dan seharusnya aku bisa merasakannya, jika memang aku hamil..” Jelas Hanna, mencoba untuk bermain peran.
“Benarkah? Kalau begitu kita akan memastikannya bersama…” Sehun merapihkan surai Hanna yang sedikit berantakan. Membuat Hanna semakin takut dibuatnya. Namun sebisa mungkin, ia bersikap tenang di depan pria itu.
“Bukankah kau tidak pernah mengeluarkannya di dalam?” Hanna mencoba untuk menghindar, dan meyakinkan Sehun. Bahwa kecurigaannya tak mungkin terjadi.
“Aku pernah kehilangan kendali, dan aku melakukannya. Itu sebabnya aku ingin memastikan, bahwa ‘ia’ tidak tumbuh…”
Percuma. Hanna menyerah. Sehun tidak bodoh, dan sangat tak mudah untuk meyakinkannya. Semakin ia mengelak, semakin curiga juga Sehun terhadapnya. Lebih baik diam dan menurut. Lalu memikirkan cara menghindar yang masuk akal, agar Sehun tak lagi mencurigai ‘kehadirannya’.
“Jika kecurigaanmu benar? Apa yang akan kau lakukan?” Hanna memberanikan diri–menanyakan hal yang sudah ia ketahui jawabannya.
“Aku akan membuatnya ‘layu’ dengan cara yang halus…” Sehun tersenyum miring menatap Hanna.
Hanna yang mendengarnya pun, hanya bisa memejamkan matanya. Demi mengatur emosinya juga debar ketakutan di dalam hatinya. ‘Sehun, benar-benar tidak menginginkannya.’ pikirnya mulai kalut. ‘Apa yang harus aku lakukan, sementara aku ingin melindunginya?’ Hanna menatap Sehun yang mulai menyalakan mesin mobilnya kembali. Dan kemudian, kembali melanjutkan perjalanan mereka.
Sepanjang perjalanan, Hanna terus memikirkan cara untuk tetap menyembunyikan keberadaannya. Ia berpikir keras untuk itu, beberapa nama pun melintas dalam benaknya. Luhan, Baekhyun, Myungsoo, dan Suzy. Namun, sangat tidak mungkin baginya untuk meminta pertolongan dari salah satu diantara mereka, karena ia tak memiliki alat komunikasi untuk menghubunginya. Ia pun tak memiliki telepati untuk mengirimkan sinyal pada mereka, bahwa ia dalam masalah dan membutuhkan bantuan.
Hanna merasa buntu. Dan kini, ia hanya bisa diam, seraya menyiapkan kata-kata untuk ia susun menjadi sebuah kalimat, demi meyakinkan Sehun. Bahwa ia yang akan merawatnya ketika mereka sudah bercerai nanti, tanpa melibatkan Sehun di dalamnya. Ya, hanya itu yang bisa Hanna lakukan, agar Sehun tak membunuh anaknya sendiri.
Sehun mulai memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah sakit. Dan saat itu juga, keringat dingin mulai bercucuran dari pelipis Hanna.
Ia gugup, juga takut.
Ketakutannya pun semakin menjadi, saat Sehun membukakan pintu mobil untuknya, lalu menarik tangannya untuk turun dan mengikutinya masuk ke dalam. Beberapa kali juga Hanna menelan ludahnya, gugup. Jantungnya pun semakin memompa tak tentu di dalam sana. Kegugupannya itu pun semakin bertambah, saat Sehun menuntunnya untuk menuju meja receptionist dan mendaftar di sana. Lalu seorang suster penjaga mengatakan, bahwa mereka harus menunggu sesuai nomor antrian. Kegugupan Hanna pun semakin menjadi, karena ia harus menunggu. Dan itu berarti, kegugupannya serta rasa takutnya itu akan lebih lama ia rasa. Meski sesungguhnya, ada setitik kebahagiaan yang Hanna rasakan, saat menyadari ia akan mengetahui usia Janinnya, juga menyadari–Ayahnya sendirilah yang mengantarnya untuk melakukan medical check up. Tapi sayangnya, kebahagiaannya itu tertutupi oleh rasa khawatir juga takutnya.
“Hanna-ssi?”
Sebuah suara mengalihkan rasa gugup Hanna sesaat. Dan saat itu juga, ia menolehkan kepalanya ke arah sumber suara.
“Suzy-a…” seru Hanna, seraya bangkit dari duduknya. Saat melihat gadis yang sudah memanggilnya itu. Sehun yang berada di samping Hanna pun, ikut menatap gadis yang kini tengah berlari ke arah istrinya itu.
“Kau kenapa? Sedang apa di sini? Dengan si–, eh. . . mianhamnida…” Suzy membungkukkan tubuhnya, meminta maaf. Saat menyadari ada Sehun yang ternyata duduk di samping Hanna. Sementara Sehun, hanya diam menatapnya. Mencoba mengingat gadis yang berstatus sebagai kekasih rekannya itu.
“Aku hanya tidak enak badan,” dusta Hanna, mencoba mengalihkan kegugupan Suzy. “Kau sendiri sedang apa? Kau sakit?” Tanyanya kemudian. Seraya memberi isyarat pada Suzy untuk mengambil tempat duduk di sampingnya.
“Ah ani, aku hanya menjenguk bibiku yang sedang sakit. Kau sakit apa, An?”
Sehun mulai diacuhkan. Sementara kedua gadis itu–kini asik mengobrol. Membicarakan sesuatu yang tak menarik bagi Sehun. Rasa gugup Hanna pun mulai teralihkan dengan adanya Suzy. Namun sayangnya, itu tak bertahan lama saat,
“Nyonya Oh Hanna,” Seorang suster memanggil namanya. Saat itu juga wajah Hanna menegang. Terlebih Sehun sudah bangkit terlebih dahulu, lantas mengulurkan tangannya padanya.
“Pamit pada temanmu,” ujar Sehun mengingatkan. Selanjutnya, Hanna hanya bisa menatap wajah Suzy, dengan raut yang amat sulit untuk diartikan. “Suzy-a… Mianhae, aku harus segera pergi,” ujar Hanna terdengar sangat sedih. Seolah tak rela meninggalkan Suzy, namun sesungguhnya, ia tengah ketakutan saat ini.
“Heum, semoga cepat sembuh…”
“Ne, sampai jumpa…” Hanna melambaikan sebelah tangannya yang bebas. Sementara sebelah tangannya lagi, sudah ditarik oleh Sehun. Namun, langkah kaki Sehun tiba-tiba saja terhenti–tepat di depan pintu masuk ruang Dokter yang mereka tuju.
Tangannya yang bebas merogoh saku kemejanya. Lantas melihat ponselnya yang tengah menampilkan sebuah nama…
Myungsoo.
Hanna yang sempat bingung kenapa Sehun berhenti pun mengangguk mengerti. Rupanya ada yang menelepon. Batinnya, dan saat itu juga Hanna mengerjap pelan.
Ini kesempatan.
“Angkat dulu saja, aku akan masuk duluan..” Saran Hanna, seraya melepaskan gengaman tangan Sehun. Lalu berlalu begitu saja, tanpa memperdulikan lagi Sehun yang mencoba menahannya–untuk menunggunya.
“Ada apa?” Desis Sehun, terdengar tidak sabaran. Setelah menggeser warna hijau pada layar ponselnya itu.
“Aish… Kau menyebalkan Sehun,” ketus Myungsoo di sebrang sana. Saat mendengar nada bicara Sehun yang jauh dari kata ramah itu.
“Aku tutup jika tidak penting,”
“Begitu caramu memperlakukanku?” Myungsoo mencegah, dengan merajuk. Seolah ia adalah kekasihnya. Membuat Sehun yang mendengarnya, mendengus kesal dibuatnya.
“Kau menjijikan,” umpat Sehun. Membuat Myungsoo terkekeh geli.
“Kau serius sekali. Jangan-jangan kau memang menginginkanku, eh?” Nada menggoda Sehun dengar. Membuatnya ingin muntah saat itu juga.
“Kau ingin aku membunuhmu?” Tanya Sehun sarkastik.
“Astaga, aku hanya bercanda!” Myungsoo membela diri.
“Kalau begitu, cepat katakan apa yang ingin kau katakan!” Titah Sehun tegas.
“Ini soal Ayah mertua-mu..” Jawab Myungsoo santai. Dan detik itu juga, fokus Sehun teralihkan sepenuhnya. Ia mendengarkan dengan seksama rentetan kalimat yang Myungsoo katakan.
Sementara Hanna, tengah berbaring. Ia baru saja selesai merasakan gelinya sebuah tangan yang meraba-raba permukaan perutnya. Dan detik berikutnya, Dokter Shin yang memeriksanya tersenyum. Lantas,
“Selamat Nyonya, ada malaikat kecil yang tengah tumbuh di dalam rahim, Anda…” mengucapkan selamat padanya. Hanna yang mendengarnya pun mengerjap tak percaya. Ia tak menyangka, ternyata dugaannya itu benar. Bahkan kini, ia tak bisa mendeskripsikan perasaannya. Ia begitu bahagia juga, ah entahlah, Hanna tak tau bagaimana perasaannya kini, saat dokter itu mengatakannya secara langsung padanya. Meski sebelumnya, ia sudah mengetahuinya.
“Berapa usia kandunganku, Dokter?” Tanyanya, setelah larut dalam kebahagiaannya itu.
“9 Minggu Nyonya. Mengapa Anda baru memeriksakannya sekarang?” Tanya Dokter Shin, ingin tau.
Sementara Hanna, sudah kembali larut dalam angannya. Kini, ia tak menyangka–ternyata usia kandungannya lebih lama dari yang ia perkirakan. Dan saat itulah Hanna menyadari kebodohannya, karena melupakan jadwal ‘bulanannya’ sebagai seorang wanita.
“Nyonya?” Dokter Shin menatap bingung keterdiaman Hanna. Sementara Hanna, baru saja sadar dibuatnya.
“Suamiku sibuk, jadi ia baru sempat mengantarku,” jelas Hanna, “Oh ya, suamiku belum mengetahuinya, jadi tolong rahasiakan ini, Dokter. Aku ingin memberinya kejutan…” Hanna berucap dengan begitu santainya. Membuat aktingnya terlihat alami.
“Haha.. Arraseo, apa suami Anda–ada di luar?” Dokter cantik itu tertawa, seraya memasangkan tensimeter pada lengan Hanna.
“Nde ada, teman kerjanya tadi menelepon…” Jawab Hanna, dengan senyumnya. Dan tak lama setelah itu, Sehun masuk ke dalamnya. Kemudian, melihat Hanna yang tengah dicek tekanan darahnya.
“Bagaimana?” Tanyanya to the poin. Setelah tiba di samping tempat tidur yang kini Hanna duduki.
“Anda harus lebih berusaha lagi Tuan Oh,” ujar Dokter Shin dan seketika itu juga ada perasaan kecewa yang Sehun rasakan. Entah mengapa. Tapi, bukankan memang itu yang ia harapkan. Namun, ada rasa tak percaya juga saat mendengarnya.
“Anda yakin? Akhir-akhir ini, kondisi kesehatannya menurun…” Sehun mencoba untuk memastikan.
“Haruskah kita melakukan USG untuk membuktikannya, Tuan?” Dokter Shin meyakinkan. Hanna sendiri menatap Sehun dengan begitu yakinnya.
“Kalau begitu lakukan…!!!” Ujarnya, seraya balas menatap Hanna. Hanna yang mendengarnya pun refleks mengerjapkan matanya.
“Geurae, Nyonya silahkah berbaring lagi…” Dokter Shin melepas tensimeter itu dari lengan Hanna, lantas mengambil sesuatu dari nakas. Sementara Hanna, sudah kembali menegang dibuatnya.
Dokter Shin? Kau lupa aku memintamu untuk merahasiakannya. Batin Hanna mulai kalut. Namun, Hanna tetap menuruti perintahnya. Ia kembali membaringkan tubuhnya–dengan amat ragu.
Sementara Sehun, tengah menatap setiap gerak-gerik dokter itu. Sweater Hanna pun kembali diangkatnya, lantas perutnya ia olesi dengan gel bening. Sebelum akhirnya, ia menempelkan sesuatu di atas permukaan perutnya itu. Yang kemudian menampilkan gambaran organ dalamnya pada sebuah monitor.
Kini, fokus Sehun sepenuhnya tertuju pada monitor itu. Namun, ia mengerutkan alis tebalnya saat tak menemukan apa pun di dalamnya. Dokter Shin sendiri, hanya diam saja. Tak menjelaskan apa pun,
“Kau lihat, Tuan?” Ia justru bertanya pada Sehun, dengan senyum kecil di bibirnya, “Tidak ada apa-apa…” lanjutnya seraya menatap Hanna penuh arti. Hanna yang ditatap seperti itu pun mengerti, lantas tersenyum dengan cerahnya. Meski ia tak tau, mengapa janinnya menjadi tak terlihat seperti itu. Atau memang belum terlihat, tapi itu tidak mungkin, karena kandungannya sudah berusia 9 Minggu.
“Kau percaya sekarang?” Tanya Hanna dengan nada sendunya. Mencoba kembali memainkan peran.
“Aku tau, Anda kecewa. Tapi percayalah, seorang anak akan hadir saat waktu sendiri yang memanggilnya. Jadi, jangan pernah berhenti berharap dan teruslah berusaha. Karena ia akan hadir saat waktunya sudah tiba…” Ujar Dokter Shin, saat menangkap raut wajah Sehun yang amat sulit untuk diartikan.
Setelah meninggalkan ruangan itu, Sehun kembali meraih tangan Hanna. Menuntunnya untuk meninggalkan gedung itu. Sementara Hanna, tengah tersenyum penuh kemenangan di sampingnya. Meski dalam hati, ia masih bertanya, ‘bagaimana bisa janinnya tak terlihat?’
Hanna akan mencari tau nanti.
Namun, wajah tak bersahabat kembali terlihat di wajah Sehun. Instingnya bertolak belakang dengan faktanya. Membuatnya tak puas, karena instingnya tak pernah salah selama ini.
“Kau seperti seorang suami yang baik saat mengetahui istrinya tidak sedang hamil,” ujar Hanna menggoda Sehun, seraya menatap wajahnya dari samping. Sementara Sehun, hanya diam. Ia sama sekali tak berniat meladeni guyonan Hanna. Pikirannya tengah berkecamuk kini.
Pandangan Hanna pun turun, saat tak kunjung mendapatkan responnya. Dan kini, fokusnya tertuju pada tangan Sehun yang tengah menggenggam erat tangannya. Tak lama, Senyum kecil kembali tercetak di wajah cantiknya, saat menyadari. . .
Sehun selalu menggengam erat tangannya, kemana pun mereka pergi. Tak pernah berubah, dulu pun demikian, Sehun selalu ada di sampingnya setiap kali mereka pergi bersama. Melindunginya dalam diam. Meski kini, dengan alasan yang berbeda–karena memang semuanya telah berubah. Kini, Sehun hanya tak ingin Hanna lari. Ya, itu yang Hanna tau.
“Aku tak mengerti, mengapa kau sampai berpikir aku hamil?” Hanna mulai lagi-,- Entahlah, ia hanya ingin menggoda Sehun. “Kau bodoh, jika kau berpikir bentuk tubuhku berubah karena aku hamil. Asal kau tau, selama kau pergi aku begitu bahagia, hingga nafsu makanku pun bertambah…” Ujarnya enteng. Dengan tampang tanpa dosanya. Sementara Sehun, mulai terpancing dibuatnya.
“Kau mengatai ‘ku apa?” Tanya Sehun tenang, setelah menghentikan langkah kakinya. Namun, tatapan tajam ia tunjukkan pada Hanna. Membuat Hanna sadar,
‘aku kelepasan…’
Glup.
Hanna kesulitan menelan ludahnya. Melihat tatapan tak bersahabat yang tengah Sehun tunjukkan padanya itu. Namun, hazelnya tak bisa lepas dari manik elang miliknya. Membuatnya kesulitan untuk berpikir. Dan pada akhirnya, hanya bisa tersenyum dengan menunjukkan gigi-geliginya. Senyum yang terlihat bodoh, juga senyum yang begitu menggambarkan bahwa–ia terdesak.
Sehun sendiri, sudah tak lagi memasang wajah garangnya. Terganti dengan poker face khasnya, hanya karena melihat wajah bodoh Hanna itu. Tangannya pun bergerak, lalu jari telunjuknya dengan enteng mendorong dahi Hanna. Membuat Hanna mendongak seketika.
“Kau lebih bodoh dariku!” Tegas Sehun.
“Aku bodoh karena hidup denganmu,” bela Hanna. Membuat Sehun kembali mendelik tajam ke arahnya. “Mwo?” lanjutnya sedikit menantang.
“Kau–”
“Ini rumah sakit, kau mau apa, huh?” Sela Hanna, seolah lupa siapa Sehun yang sekarang.
“Mencabut hidungmu…” Jawab Sehun enteng, sembari menarik hidung Hanna tanpa hati dengan menggunakan jari tengah dan telunjuknya.
“APPO… Sehun kau–”
“Mwo?” Sela Sehun dengan wajah menyebalkannya.
“YA KAU… Jika aku tau kau di sini, aku tidak akan rela membuang-buang pulsaku untuk menghubungimu..”
Sehun mengerjap. Saat mendengar protes dari suara yang berbeda. Kepalanya lantas menoleh ke arah sumber suara, diikuti Hanna yang tak jadi mengeluarkan protesnya. Dan saat itu juga, mereka menemukan Myungsoo dan Suzy yang tengah berjalan ke arah mereka.
“Kenapa tadi kau mematikan sambungannya, huh?” Myungsoo kembali berucap, meminta penjelasan. Seolah tak terima dengan apa yang belum lama Sehun lakukan kepadanya, dengan memutuskan sambungan secara sepihak saat ia tengah berbicara.
“Kau seperti kekasihnya saja,” ujar Hanna dengan polosnya. Hanya karena mendengar nada mengintrogasi dari Myungsoo untuk Sehun. Sementara Sehun, kembali mendelik tajam ke arahnya–yang kini tengah mengelus sayang hidungnya.
“Berhentilah bersikap seolah kita memiliki hubungan ‘khusus’, Myungsoo.” Desisi Sehun tajam dengan penekan pada kata ‘khusus’ yang ia ucapkan. Membuat Suzy refleks menutup mulutnya, menahan tawa. Sementara Hanna, hanya bisa menatap keduanya saling bergantian.
“Aku tidak mau tau, kita harus menyelesaikan urusan kita sekarang Sehun.” Myungsoo melangkah menghampiri, lantas meraih lengan kekar Sehun yang hanya dilapisi kemeja putih. Memeluknya, seolah ia seorang wanita.
“Chagia-a, aku ada urusan sebentar. Kau kembali dulu saja ke kamar bibimu. Ajak Hanna bersamamu…” Titahnya enteng, seraya memeluk tangan Sehun posesif.
“Jangan seperti ini, lepaskan aku!” Sehun menghempaskan kasar lengannya. Namun, Myungsoo kembali meraihnya. “Tunggu kami di sana, 30 menit lagi kami akan kembali.”
Sementara Hanna dan Suzy hanya bisa menatap penuh tanya ke arah keduanya. Pun dengan pengunjung juga perawat yang kebetulan berpapasan dengan mereka berdua.
“Mereka tampan, tapi sayang ya…” Bisik seorang perawat pada rekannya. Namun, dapat terdengar dengan jelas oleh keduanya. Membuat wajah Sehun semakin merah padam dibuatnya–menahan amarah. Sementara Myungsoo, hanya tersenyum penuh arti di sampingnya. Sesekali Sehun menengok ke belakang, menatap Hanna yang masih berdiri menatap ke arahnya. Ada rasa tak nyaman saat meninggalkan Hanna. Namun, Myungsoo tak mengizinkannya untuk kembali.
“Kau dengar? Kita hanya memiliki waktu 30 menit.” Ujar Suzy menghampiri. Membuat Hanna menatapnya dengan alis bertaut.
“Ne?”
“Ikut aku…” Suzy menarik pergelangan tangan Hanna. Menuntunnya untuk mengikuti langkah kakinya.
“Kita mau ke mana?”
“Myungsoo sudah mengatakan semuanya padaku. Perihal identitas hitamnya, juga masalah rumah tanggamu dengan Sehun..” Suzy berucap tanpa menatap lawan bicaranya. Bahkan ia tak menggubris pertanyaan Hanna.
“Mwo?” Hanna terus menatap Suzy yang berjalan cepat di sampingnya. Bahkan ia kesulitan untuk mengimbangi langkah kakinya. ‘Ia mengatakan apa tadi? Myungsoo mengatakan apa?’ batinnya panik, karena tak mendengar dengan jelas apa yang Suzy katakan.
“Dan terima kasih untuk itu Hanna..” Suzy tersenyum menatap Hanna. Sebelum mereka memasuki lift.
“Terima kasih untuk apa? Kau membuatku bingung…” Tanya Hanna frustasi.
“Karenamu, Myungsoo mau berkata jujur padaku. Awalnya, ia menyembunyikan pekerjaan utamanya itu. Dan yang aku tau hanyalah, aku memiliki seorang kekasih yang berprofesi sebagai anggota kepolisian. Tanpa tau pekerjaannya yang sesungguhnya di balik itu–selama dua tahun hubungan kami…” Jelas Suzy. Tangannya masih menggenggam tangan Hanna erat. “Tapi setelah ia bertemu denganmu, ia sadar dan tak ingin melukaiku lebih dalam lagi. Ia mengatakan semuanya dan membuatku mengerti. Ia pun mengatakan, bahwa ia ingin membantumu…” Lanjutnya, kembali menatap Hanna dengan senyum.
Sementara Hanna, hanya bisa balas menatapnya. Seolah penjelasan Suzy belum cukup dimengertinya.
“Dan Myungsoo sudah melakukan apa yang kau pinta. Ia sudah menemui Baekhyun, dan mengatakan padanya untuk berhenti melakukan pencarian mengenai barang bukti yang dapat membebaskan Ayahmu–atas permintaanmu. Tapi,” Suzy menggantungkan kalimatnya. Terdiam sejenak.
“Ia tak mempercayainya. Ia ingin kau sendiri yang mengatakannya, karena Myungsoo merupakan rekan baik Sehun. Oleh sebab itu, aku dan Myungsoo mengikutimu dari rumah. Awalnya, kami hanya ingin datang berkunjung, lantas membawamu keluar rumah, tapi saat kami tiba. Mobil Sehun keluar dari gerbang dengan kau yang duduk di sampingnya.” Jelasnya lagi.
“Jadi, Myungsoo sudah mengatakan semuanya padamu juga Baekhyun? Kini, Kau berencana mempertemukan aku dengan Baekhyun?” Tanya Hanna–mulai mengerti. Meski amat terlambat.
“Ne…” Suzy kembali tersenyum. Membuat jantung Hanna berdegup kencang kali ini. “Kau tau? Tadi aku menemuimu di ruang tunggu, karena bosan menunggu Myungsoo dan Baekhyun yang sedang mengurus kamar. Dan saat aku mendekatimu, aku menangkap raut kekhawatiran yang teramat dari wajahmu. Dan saat Sehun mengulurkan tangannya untuk mengajakmu segera memasuki ruang Dokter, raut wajah kekhawatiranmu itu bertambah. Alhasil, aku langsung meminta Myungsoo untuk menghubungi Sehun. Aku sendiri tidak mengerti mengapa, tapi insting-ku menyuruhku untuk melakukannya.” Ujar Suzy seraya mengayun-ngayunkan lengannya yang saling bertaut dengan Hanna. Namun,
Bruk.
Hanna tiba-tiba saja memeluknya. Membuat Suzy membelalak bingung. “Ya! Kau kenapa?”
“Kau menyelamatkanku, ah ani, kalian berdua penyelamatku…” Hanna mengeratkan pelukannya, membuat Suzy semakin sesak dibuatnya. Hanna bersyukur Suzy tak marah setelah mengetahui identitas kekasihnya, ia justru ikut membantunya.
“Maksudmu?”
Tting.
“Kita sudah sampai?” Bukannya menjawab Hanna malah balik bertanya, saat lift yang dinaikkinya berbunyi.
“Oh ne, Kajja..” Suzy kembali menarik tangan Hanna. “Ada yang kau sembunyikan dari Sehun?” Suzy melanjutkan percakapannya.
“Ne… Aku tengah mencoba menyembunyikan sesuatu yang mudah terlihat olehnya. Sesuatu yang sangat ingin aku lindungi dari tangan kotornya.” Jawab Hanna ambigu. Membuat Suzy menautkan alisnya bingung. Namun, tak lama ia mengerti.
“Kau hamil?” Tanya tak percaya. Seraya menghentikan langkah kakinya, lantas menghadap ke arah Hanna yang berdiri di sampingnya.
“Heum..” Hanna menundukkan kepalanya dalam, seraya memegangi perutnya.
“Dan Sehun tak menginginkannya?” Tebaknya, namun benar adanya. Terbukti dari anggukan lemah Hanna sebagai jawabannya.
“Itu sebabnya aku sangat takut Sehun akan mengetahuinya–saat ia membawaku ke Dokter Kandungan… Beruntung Myungsoo menghubunginya sebelum kami memasuki ruang dokter, hingga aku bisa masuk terlebih dahulu ke dalam ruangan itu, lalu melakukan kesepakatan ringan dengan dokternya.”
“Aish… Jika tidak menginginkannya, kenapa ia melakukannya?!” Suzy menggeram kesal.
“Hanya untuk kepuasan batin…” Jawab Hanna semakin lemah. Membuat Suzy semakin geram dibuatnya.
“Aku akan membantumu untuk melindunginya, jangan khawatir..” Suzy memegang kedua bahu Hanna, seraya menatapnya yakin. Membuat Hanna terenyah dibuatnya. Darahnya pun berdesir hangat, karena merasa kembali mempunyai tempat berlindung, setelah Sehun berubah dan jauh dari Luhan juga Baekhyun.
“Gomawo Suzy…” Hanya itu yang bisa Hanna katakan. Matanya mulai berkaca menatap wajah cantik di depannya itu. Sementara Suzy, hanya mengangguk seraya tersenyum.
“Kajja, di sini ruangannya..” Sebelum akhirnya, kembali menarik pergelangan tangan Hanna, lalu membuka sebuah pintu bernomor 202. Dan saat itu juga, Hanna melihat seseorang yang tengah terduduk di sebuah kursi panjang. Dengan posisi yang tepat menghadap pintu.
Hanna terdiam beberapa saat. Ia hanya terpaku di tempatnya menatap Baekhyun yang juga tengah menatapnya. Namun, Suzy tiba-tiba saja mendorong tubuhnya untuk masuk lebih dalam lagi. Dan kemudian pergi begitu saja seraya menutup pintunya kembali.
“Waktu kalian kurang dari 30 menit, bicarakan apa yang seharusnya kalian bicarakan!” Ingat Suzy sebelum pintunya tertutup sempurna.
Sementara Hanna, masih terpaku di tempatnya. Jantungnya bahkan sudah kembali bergerilya tak tentu. Membuatnya merasa gugup juga canggung. Padahal seingat Hanna, semasa mereka menjalin kasih, ia tak pernah merasa secanggung ini dengannya.
Baekhyun sendiri tengah mencoba menetralisir detak jantungnya setenang mungkin. Agar ia tak membuang waktu lebih banyak lagi. Dan pada akhirnya, ia beranjak dari duduknya demi mengahampiri Hanna yang masih terpaku di tempatnya.
Kini, posisi mereka hanya terpaut satu meter saja. Dan detik berikutnya, Hanna sudah berada dalam dekapan pria itu. Membuat Hanna membelalak kaku di dalam dekapan penuh kerinduan itu.
“Aku menyesal, karena kita harus bertemu dengan cara seperti ini..” Ujar Baekhyun, seraya mengelus surai cokelat Hanna lembut. Sementara Hanna, masih belum bisa mencerna apa yang terjadi.
“Aku merindukanmu, Chagiya…” Baekhyun semakin mempererat pelukkannya. Membuat Hanna mengerjap pelan dibuatnya. “Aku tau ini salah. Tapi aku, masih mencintaimu…”
Tatapan polos Hanna berubah menjadi tatapan sayu yang sarat akan kesedihan. Perlahan tangannya bergerak, membalas dekapan Baekhyun. Wajahnya pun ia sembunyikan diantara ceruk leher pria itu. Menghirupnya dalam, penuh kerinduan. Karena Hanna tau, ia tak akan pernah melakukannya lagi.
“Mianhae…” Kata ‘maaf’ terucap begitu saja dari bibir mungil Hanna. Baekhyun bahkan bisa merasakan, kerahnya basah oleh air mata.
Hanna-nya menangis.
“Untuk apa kau meminta maaf, Chagi?”
Isakan kecil mulai terdengar, bahu Hanna mulai bergetar. Membuat Baekhyun bergerak pelan demi merenggangkan pelukkannya. Namun Hanna, masih bertahan di posisinya. Ia tetap merengkuh tubuh Baekhyun dalam dekapannya, seolah enggan dilepaskan. Baekhyun yang mengerti pun, akhirnya hanya bisa membiarkan Hanna menangis dalam dekapannya. Memberikannya ketenangan dengan mengelus surai dan punggungnya lembut. Meski Baekhyun tak tau, apa yang membuat Hanna begitu bersedih hari ini.
“Gwaenchana, menangislah jika itu bisa meringankan bebanmu…” Sungguh, Baekhyun merasa hancur saat ini. Melihat wanita yang begitu dicintai-nya menangis bukanlah perkara mudah untuk seorang pria sepertinya. Karena baginya, air mata Hanna adalah kelemahan terbesarnya.
“A–aku. . .” Hanna kesulitan untuk meneruskan ucapannya. Lidahnya terasa kelu, seolah tak mampu berucap.
“Wae? Katakanlah. . .” Baekhyun masih mencoba untuk menenangkannya seraya menunggu. Namun tak lama, Hanna merenggangkan pelukkannya demi menatap pria di depannya. Tangan Baekhyun pun tak tinggal diam. Ia menangkup pipi Hanna–hangat, seraya menghapus sisa-sisa kesedihan di pipinya.
“Aku ingin kau menghentikan semuanya. Aku ingin kau hidup sebagaimana mestinya. Berhentilah memikirkan kasus yang menjerat Appa. Aku sudah tidak ingin kau membuka kasusnya lagi, aku tidak ingin kau meneruskannya. Hiduplah dengan baik, tanpa beban berat di pundakmu. Pikirkan keselamatanmu juga keluargamu.” Pinta Hanna dengan air mata yang kembali menerobos pertahanannya. Baekhyun yang melihatnya hanya bisa mengantupkan bibirnya. “Aku tak peduli lagi dengan seberapa buruk pandangan orang-orang mengenai Appa, karena apa pun yang terjadi–ia tetap Appa-ku dan aku mencintainya. Aku hanya ingin ia tetap hidup untukku juga Oppa. Jika kita masih bersikeras ingin membersihkan nama Appa, maka Black ID tak akan pernah berhenti mengincar nyawanya. Dan aku, tak ingin kehilangan orang tua untuk yang kedua kalinya. Juga . . .” Hanna kembali terisak menatap iris coklat Baekhyun. “Aku tak ingin kehilanganmu dan Oppa. . .” Hanna kembali memeluk tubuh Baekhyun dan menangis di sana.
Baekhyun sendiri, hanya diam membisu. “Mianhae, Baekhyun-ah. . .” Baekhyun menarik napasnya pelan. Kemudian kembali membalas dekapan Hanna. Tekad yang telah ia bangun selama ini runtuh begitu saja–hanya karena mendengar kata-kata Hanna. Ia bahkan merasa amat kecewa mendengar penuturannya itu. Ia merasa apa yang sudah mereka lakukan selama ini percuma. Rencana yang telah mereka susun pun tak lagi berguna, karena salah satu diantara mereka telah kehilangan keyakinan untuk menang. Sementara kerjasama melibatkan peran semuanya. Baekhyun yakin, Luhan akan sangat kecewa jika mengetahuinya.
“Sebenarnya, apa yang membuatmu berubah pikiran, Hanna?” Baekhyun mencoba bertanya. Namun, isak tangis Hanna semakin pedih terdengar. Membuat Baekhyun merasa amat iba mendengarnya tanpa tau apa yang dirasakan oleh gadis itu.
“A–aku. . . A-aku. . Hamil, Baekhyun-ah…”
Deg.
Gerakan Baekhyun terhenti. Tangannya mengambang di surai cokelat Hanna. Napasnya tercekat, jantungnya bahkan seolah berhenti berdetak–mendengar satu kata penuh makna yang Hanna ucapkan itu.
‘Hamil…’
Serasa dihimpit batu besar. Dadanya begitu terasa sesak. Tubuhnya bahkan kaku, seolah tak bernyawa. Ia bahkan tak menyangka alasan Hanna goyah karena ada nyawa lain di dalam tubuhnya. Dan satu hal yang membuatnya tak habis pikir, bagaimana bisa Sehun dan Hanna melakukannya. Sudah hilangkah perasaan Hanna untuknya?
Memikirkan itu membuat Baekhyun tanpa sadar melepaskan pelukkan Hanna. Lantas menatap pure hazel itu lekat juga dalam.
“Semakin lama menunggu sampai bukti-bukti itu terkumpul. Semakin besar pula perutku, maka saat itu juga, Sehun akan mengetahui bahwa aku tengah mengandung anaknya. Dan aku tak ingin ia membunuh anaknya sendiri, Baekhyun-ah..” Hanna menatap manik Baekhyun dengan tangisnya. “Jika kematian Appa di palsukan, maka aku bisa lepas darinya dengan segera. Dan menyelamatkan anakku dari tangan kotor Ayahnya. Meski, . .”
“Matamu menatap ke arahku, namun hatimu telah terikat olehnya…” Sela Baekhyun, seolah dapat menebak untaian kalimat yang akan Hanna ucapkan. Dan detik itu juga, isakan Hanna semakin nyaring terdengar. Kesedihannya pun semakin mendalam. Karena ia sadari, Baekhyun terluka karenanya, untuk yang kesekian kalinya.
“Mianhae. . . Mianhae. . .” Baekhyun kembali membawa Hanna ke dalam dekapannya. Ia tak kuasa melihat air mata kesedihan dari gadis itu. Meski hatinya hancur saat mengetahui,
Cintanya telah hilang.
“Aku sudah duga Baekhyun mengetahuinya. . .” Sehun meminum segelas Americano di tangannya. Tubuhnya ia rilekskan di sandaran kursi penumpang.
Sementara Myungsoo yang duduk di balik kemudi, hanya meliriknya sekilas. Ia sudah kehabisan akal untuk terus mengulur waktu. Bahkan sebelum mereka berbincang, ia sudah melempar jauh harga dirinya dengan merayu dan meminta Sehun untuk membelikannya minuman di kantin rumah sakit. Sebelum akhirnya, memutuskan berbincang di parkiran, tepatnya di dalam mobilnya.
“Hanna sakit apa?” Akhirnya ia putuskan untuk mengalihkan pembicaraan. Setelah sebelumnya, ia hanya membicarakan Baekhyun di depan pria itu. Karena ia tau hanya dengan mengatakan satu nama itu, dunia Sehun akan teralihkan. Entah mengapa, mungkin ia masih merasa dendam pada satu nama itu. Karena sebelumnya, ia harus rela merasakan sakit saat gadis yang dicintainya menjalin kasih dengannya.
“Dia baik-baik saja…”
“Kau yakin?”
“Haruskah aku mengulanginya?” Sehun mendelik tajam ke arah lawan bicaranya.
“Kau sensitif sekali,” ujar Myungsoo enteng, “tapi aku rasa, ia tidak sedang baik-baik saja.” Lanjutnya seraya menyeruput Iced Latte-nya.
Sehun hanya diam. Tak ingin menimpali, karena ia pun tau. Hanna memang tak dalam kondisi baik, meski fisiknya terlihat baik. Karena hatinyalah yang terluka dan luka itu ada karenanya.
“Sehun. . . ” Panggil Myungsoo, mencoba mengalihkan dunianya yang ia tau tengah menerawang. Terlihat dari sorot tajam nan kelam miliknya.
Sehun yang mendengarnya pun, hanya meliriknya sebagai jawaban.
“Belajarlah memaknai kehadiran Hanna sebagai istrimu. Jangan terlalu digenggam erat agar tak berkarat, jangan juga diberi kebebasan agar tak lepas. Cukup dijaga karena ia memang hanya titipan. Dan suatu saat nanti, ia akan pergi, entah itu karena diambil Tuhan atau diambil orang. Karena pada dasarnya, apa yang kita miliki juga apa yang kita sayangi hanyalah sebuah titipan. Semuanya adalah milik-Nya yang paling berkuasa.” Ujar Myungsoo penuh arti, membuat Sehun hanya diam menatapnya.
“Penyesalan diakhir Sehun. Berhentilah menyia-nyiakannya meski ia pernah menyakitimu. Karena kau tak tau, apa yang akan terjadi di hari esok saat kau bangun dari tidurmu–dirinya sudah tak lagi ada di sampingmu, menemani tidurmu. Kau akan tau bagaimana rasanya, jika kau benar-benar telah kehilangannya. Maka dari itu, belajarlah menghargai apa yang kita miliki, dengan menjaganya.” Lanjutnya, berharap Sehun akan mengerti dan berubah.
“Kau tidak mengerti,” Ujar Sehun seraya kembali menatap lurus ke depan.
Myungsoo pun tersenyum. Ia merasa dejavu. Ia merasa seperti melihat dirinya, saat berbicara dengan Hanna beberapa hari yang lalu. Dimana ia melontarkan kalimat yang sama pada wanita itu,
‘Kau tidak mengerti, Hanna.”
‘Aku mengerti, karena suamiku sama sepertimu!’
“Aku mengerti, karena kita sama Sehun. Dan aku mengerti karena aku melihatnya.” Ujarnya kemudian. Membuat darah Sehun berdesir hangat. “Lupakan rasa bersalahmu, dan kembalilah pada kehidupanmu yang sekarang. Selagi masih ada waktu untuk berubah. Jangan sampai Kau menyesalinya di akhir…”
“Aku tidak bisa.” Ujar Sehun singkat. Sorot matanya kembali dipenuhi ambisi.
“Kalau begitu, Kau akan menyesal…” Desis Myungsoo terpancing.
.
.
.
.
Kokai saki ni tatazu
(Penyesalan selalu datang terlambat)
.
.
.
~To Be Countinued~
.
.
.
Sorry baru sempet ngepost lagi di sini..hehe
makasih buat kalian semua yang masih mau baca dan comment di FF ini….
Saranghae Yeorobun
regards <3
sehunbee
PS: Kalau sempet, kunjungi blog aku juga ya, di sana Regret lebih cepat di post, tapi aku bakal tetep post di sini juga kok^^ http://sehunbee.wordpress.com
Filed under: Action, Angst, Marriage Life, romance, Sadnes Tagged: byun baekhyun, oh sehun, xi luhan