Author : vanillaritrin | Genre : Romance, Surrealism, Fantasy | Length : Chaptered | Rating : PG – 17 | Main Cast : Go Nahyun (OC/You), Oh Sehun | Support Cast : Kang Yura (OC), Park Chanyeol, Hong Jonghyun, Huang Zitao, and the others | Poster : pinkfairy
Disclaimer : The plot is mine!
This chapter is dedicated to my madness queen, xxbuing. Keep your spirit up for college life.—Your annoying-but-lovely sissy.
Thank you jungsangneul for beta-ing!
Intro | Ch 1 | Ch 2 | Ch 3 | Ch 4 | Ch 5 | Ch 6
~~~
“Kau sudah menganggap mereka keluarga. Untuk apa aku marah?” tawa Sehun pelan. Dia memberi jarak agar dapat mengelus rambut panjang Nahyun.
“Sehun-a, aku tidak bisa menangis.”
Sehun tercengang beberapa menit. Tatapannya menuntut.
“Aku benar – benar tidak bisa menangis. Aku punya kelainan sejak lahir. Maka dari itu aku sering diejek—kebanyakan oleh anak perempuan. Aku disebut bukan perempuan karena kekuranganku. Sebagian anak laki – laki memandang rendah diriku, sebagian lagi bersimpati padaku. Yang memandang rendah kemudian meledekku, pernah teman sekelasku mengunciku dalam kelas sendirian tapi aku tetap tidak menangis. Aku marah sekali tapi aku tetap tidak bisa menangis. Air mataku tidak keluar, entah mengapa. Ibu dan ayahku juga malu memiliki anak dengan kekurangan ini sampai meninggalkanku. Mereka berpisah lantaran saling menyalahkan satu sama lain atas kekuranganku. Kemudian mereka meninggalkanku, kudengar masing – masing menikah lagi dan sudah bahagia dengan keluarganya. Ayah tetap membiayaiku, ibu kadang mengirim uang padaku. Tapi hanya sebatas itu, tidak lebih.”
Detak jarum jam mengisi celah – celah sempit dalam kesunyian. Di luar, angin bertiup kencang menjelang musim gugur. Sehun menatap Nahyun tak percaya sementara gadis itu menelan ludah. Pria itu masih terkesima dengan pernyataan Nahyun.
“Itulah sebabnya aku sangat menyayangi Jonghyun, Chanyeol, dan Yura. Mereka menerima kekuranganku, Chanyeol bahkan pernah berkelahi dengan adik tingkat yang mengejekku. Yura pernah melabrak temanku yang sangat populer semasa SMA karena meledekku. Jonghyun—well, dia berusaha menghindari perkelahian dan lebih memilih melindungiku. Dia akan selalu berjalan di sisiku agar orang – orang tidak memandangku sebelah mata karena tidak punya teman. Ketika kami berempat bersatu, kami merasa bisa melalui segalanya. Kami sangat kuat jika bersama.”
Nahyun mendapati raut Sehun yang masih takjub memandangnya.
“Kau pasti akan merendahkanku juga sekarang. Aku tidak pernah semudah ini menceritakan kisahku pada seseorang dan kalau sekarang kau akan menertawai kekurang—“
Sebuah kecupan di dahi Nahyun memutus segala yang hendak dikatakannya.
“Pantas kau sangat kuat,” Sehun memeluk Nahyun erat, “kau pasti tidak diizinkan menangis karena kau harus selalu tersenyum. Kau harus selalu tertawa.”
Nahyun terperangah. Apa yang dikatakan Sehun sesungguhnya bukan suatu yang pernah terlintas di benaknya. Ketika dia memiliki kekurangan tersebut dan orang mengejeknya, dia selalu marah. Dia tidak pernah berpikir bahwa terdapat sisi positif dalam kekurangannya, bahwa ada cara pandang berbeda mengenai kekurangannya. Nahyun berbicara dengan suara teredam dari dada Sehun.
“Kau tidak menertawaiku?”
“Kenapa? Tidak ada yang lucu, menurutku,” Sehun mengecup puncak kepala Nahyun dua kali, “tidak apa – apa kalau aku menciummu, ‘kan?”
Nahyun membenamkan wajahnya di dada Sehun sepenuhnya. Tangannya berada di punggung Sehun dengan sempurna.
“Biasanya juga tidak minta izin.”
Sehun tertawa sekali lagi. “Sekarang aku paham mengapa kau tidak memajang foto orang tua di kamar flat.”
Nada Nahyun meninggi. Dia mengabaikan esensi ucapan Sehun sebelumnya. “Kau masuk ke kamarku, heh?”
“Mengintip sedikit,” ralat Sehun. Sepertinya suasana hati Nahyun sudah lebih baik—terbukti dari ucapannya yang sudah kembali sinis.
“Tidurlah. Besok kau harus berangkat pagi ke flat Jonghyun dan Chanyeol.”
Nahyun mengangguk dan pada saat yang sama Sehun membisikkan ucapan selamat malam di telinganya.
~~~
Setelah berjalan cukup jauh, Nahyun sampai di flat Chanyeol dan Jonghyun. Dia meminta Sehun menurunkannya di depan kawasan flat. Sehun setuju dengan catatan dia akan menelepon Nahyun nanti. Nahyun yang memakai cap di kepala serta celana pendek berwarna denim dan kaus pastel pink longgar menjadi yang terakhir datang.
“Apa aku terlambat?” Nahyun melepas cap tepat di depan mobil. Jonghyun mengangkat tas Nahyun ke dalam mobil.
“Yeah, kami hampir meninggalkanmu tadi.” Chanyeol mengetuk – ngetukkan telunjuknya pada jam tangan.
Chanyeol mengaduh ketika Yura memukul lengannya dengan sadis.
“Kang Yura! Kau tidak mengerti bercanda, huh?” teriak Chanyeol.
“Tapi kau—“
Nahyun melerai keduanya dengan menarik lengan Yura masuk ke dalam mobil. Yura mengenakan dress putih dengan pita besar yang dibelikan Nahyun—dan Jonghyun—waktu itu. Jonghyun memberi gestur masuk pada Chanyeol.
“Ra, kau manis sekali!” puji Nahyun tulus. Yura langsung berteriak histeris sambil memeluk Nahyun.
“Berisik! Kau tidak lihat Jonghyun sedang konsentrasi?” omel Chanyeol pada Yura.
Yura mendelik. “Kau iri! Tidak ada yang menyebutmu tampan!”
“Oh, semua sudah mengakuinya jadi tidak perlu diucapkan lagi.” Chanyeol mengerling.
“Benarkah? Siapa yang mengatakan—“
“Kau tampan, Yeol. Kau juga, Jonghyun-a,” potong Nahyun.
Yura berdecak kecil sedangkan Chanyeol membenarkan posisi kaus hitamnya.
“Kalian semua tampil sempurna hari ini!” Nahyun mengangkat jempol tinggi – tinggi. “Kau casual dengan kaus hitam dan celana selutut, Yeol. Dan Jonghyun tampak nyaman dengan kaus polo merah dan celana jins hitam. Kalian keren sekali.”
Yura tiba – tiba menoleh pada Nahyun.
“Kurasa ada yang salah di otakmu, Nahyun-a. Kenapa belakangan kau sering mengungkapkan perasaan? Atau ini karena—mmph!” Nahyun membekap mulut Yura sebelum gadis itu kelepasan bicara.
Chanyeol mengirim kode nonverbal pada Jonghyun. Jonghyun hanya menangkap tanpa berniat membalas komunikasi Chanyeol.
Nahyun harus melepas tangannya dari mulut Yura karena sebuah panggilan di ponselnya. Ah, Nahyun melupakan janjinya tadi.
“Halo.”
“Hei. Kalian sudah berangkat?”
“Hm.”
“Jangan lupa makan rotinya.”
“Yeah, tentu.”
“Eum… well, tak kusangka suasana rumah sepi sekali.”
Nahyun berusaha menahan tawa namun ketiga orang lainnya memiliki pendengaran yang tajam menangkap suara itu.
“Ajaklah temanmu datang, siapa namanya? Kalian bisa makan roti perancis sambil menonton film action.” Nahyun melirik ketiga temannya yang terlihat menguping secara tidak langsung.
“Tao. Aku tidak yakin karena sepertinya dia sedang ‘sibuk’ tapi… akan kucoba. Nanti kutelepon lagi.”
“Ya.”
“Bersenang – senanglah, Na.”
“Pasti.”
Nahyun memutar ponsel di tangannya dengan mata menjangkau langit yang cerah hari ini. Cuaca sangat bersahabat, begitu pula dengan jalan raya yang menghampar luas tanpa kendaraan yang memadatinya. Mereka menurunkan jendela sampai setengah sembari menikmati pemandangan pagi hari.
Sehun lebih sering memanggil Nahyun dengan ‘Na’ akhir – akhir ini. Tak dipungkiri hal itu memercikkan kebahagiaan tersendiri dalam hati Nahyun. Nahyun tersenyum tipis lalu menimpali gurauan konyol Chanyeol dan Yura yang saling menyambar sepanjang jalan.
~~~
Sehun melempar sebungkus besar snack ke arah Tao. Tao—yang sedang memanjangkan tubuhnya di sofa—terkejut sewaktu snack berukuran besar mendarat di perutnya. Dia memasang DVD player lalu dalam hitungan detik televisi telah menampilkan bagian pembukaan film Princess Diaries.
“Kau suka menonton film ini? Kukira kau tidak terlalu suka film dengan genre ini. Biasanya kau lebih suka action atau thriller.” Sehun menekuk kaki Tao dengan paksa kemudian duduk di samping pria itu.
Tao berdecak sebal. “Yeah, ini baru mulai. Jangan berisik.”
“Sejak kapan kau senang mengatur begitu, Huang Zitao?” Sehun mengambil segenggam snack yang sudah dibuka oleh Tao.
Tao bergeming. Dia sibuk mengunyah snack sembari memerhatikan scene pertama Princess Diaries.
“Dohee membicarakan film ini kemarin. Aku tidak tahu apa pun—yeah, karena aku belum pernah menontonnya. Dohee bilang film ini sangat bagus dan banyak nilai yang bisa kau ambil dari dalamnya. Banyak komedi juga dalam filmnya, jadi ini bukan film yang mengharu biru sepanjang cerita,” cerocos Tao.
Sehun mengangguk. “Jadi ini karena Dohee.”
Tao serius memerhatikan adegan demi adegan selama lima belas menit pertama. Bukan Tao namanya kalau bisa duduk tenang tanpa bicara lebih dari lima belas menit. Setelah snack besar habis dalam waktu kurang dari lima menit, Tao beranjak ke konter dapur. Dia melihat coffee maker dan krimer di samping alat tersebut. Dia meracik minumannya sendiri kemudian kembali ke depan televisi.
“Kenapa tidak buatkan untukku?” Sehun menaikkan sebelah alis.
Tao berdecih. “Bukankah seharusnya tuan rumah yang melayani tamu?”
“Di sini self-service. Ambil semuanya sendiri, kau bukan tamu.” Sehun mengutip kata – kata Tao tempo hari. Keduanya tergelak sejurus kemudian.
Sampai di bagian Mia sedang belajar dansa dengan Joseph. Dan, yeah, keduanya mengakui film ini sangat menghibur. Banyak bagian komedi di dalamnya dan mereka tertawa berulang kali hanya dalam satu jam pertama.
“Dohee merokemendasikan film yang sangat bagus. Ah, kenapa aku terlambat sekali menonton film ini?” tanya Tao pada diri sendiri. Dia menyeruput kopinya dengan pandangan ke layar televisi.
“Yeah, ini sangat bagus,” Sehun menguap, “kau belum cerita apapun mengenai Dohee padaku.”
Tao tertawa, “Apa yang mau kuceritakan? Dia sangat manis, baik, dan rajin kuliah. Dia selalu mendapat nilai bagus dan dia mencemaskanku karena aku sudah ditegur dosen berkali – kali.”
“Kenapa dia mencemaskanmu? Tidak ada yang mengharuskannya untuk menjengukmu, ‘kan?” Sehun memberi tanda petik menggunakan jarinya. Yeah, siapa yang bilang Tao sakit? Dia hanya malas.
“Dia bilang aku punya potensi. Kami pernah berada dalam satu kelompok di mata kuliah bisnis internasional dan dia melihatku cukup baik dalam memecahkan satu kasus. Padahal aku merasa biasa saja,” kekeh Tao, “dia ingin aku lebih rajin kuliah mulai sekarang.”
Sehun mengangguk paham. “Huang Zitao ternyata bisa menyukai gadis manis seperti Dohee.”
Hampir saja Tao menyemburkan kopi ke wajah Sehun. Untung dia bisa menahan diri.
“Waktu itu kau mengusirku karena ingin bicara berdua dengannya, ‘kan?” Sehun menembak to the point.
“Hei, siapa yang mengusir—“
“Kau. Lewat mata,” sela Sehun dengan memenggal jelas setiap kata.
Tao meneguk habis kopinya tanpa berniat menyangkal. Dia bukan tipe pengelak seperti Sehun. Dia nyaris menitikkan air mata saat Mia dalam Princess Diaries menjadi cantik dan Michael—kakak Lilly yang sangat menyukai Mia sejak sebelum cantik—melihatnya untuk pertama kali.
Sehun melayangkan pandangan pada ponselnya di atas nakas. Nahyun belum menjawab chat terakhirnya lewat Line. Mungkin mereka baru sampai di toko jus bibi Jonghyun dan sedang sibuk membantunya.
“Cinta itu ajaib, ya.”
Sehun menelengkan kepala ke arah Tao. Bukankah tadi Tao sedang serius menonton film? Apa dia sedang mengomentari jalan cerita film ini? Oh, salahkan Sehun yang tidak memerhatikan setiap adegan.
“Orang yang tadinya kuanggap paling tidak peduli sedunia tiba – tiba memikirkan seseorang yang disayanginya, ingin mengetahui kabarnya, ingin mengetahui keadaannya,” lanjut Tao. Dia beranjak untuk meletakkan gelas kotor di bak cuci piring.
Well, yang satu ini tugas Sehun: membersihkan piring dan gelas kotor.
“Tao-ya, tolong buatkan kopi untukku. Aku malas bergerak dan posisimu sangat dekat dengan coffee maker,” Sehun setengah berteriak sambil merenggangkan otot.
Tao geleng – geleng kepala. Meski begitu, dia tetap menuruti kemauan Sehun. Tak sengaja dia menangkap post-it yang ditempel di coffee maker. Kenapa Tao baru melihatnya sekarang?
Jangan terlalu banyak minum kopi. Kalau butuh tidur, istirahatlah. Jangan memaksakan diri.
Karena sudah terlanjur dibuat, Tao menambahkan krimer sesuai selera lalu kembali ke sofa. Tangan Sehun sudah menengadah namun Tao justru menyeruput kopinya.
“Huang Zitao! Kenapa kau—“
Ucapan Sehun terpotong dengan mengarahnya telunjuk Tao pada coffee maker. Sehun bangkit menuju konter dapur dan meneliti tulisan tersebut.
Tulisan Nahyun.
Bibir Sehun mengembangkan sebentuk senyuman. Dia tak melihat tulisan ini sebelumnya sebab tak menyentuh coffee maker sejak pagi. Nahyun sangat memerhatikannya. Dia menebak Sehun akan banyak minum kopi untuk mengurangi rasa kantuk karena menjalankan tugas semalam.
Bunyi notifikasi masuk di ponselnya menarik Sehun kembali ke sofa. Sehun baru akan tersenyum cerah mendapati nama Nahyun di ponselnya ketika sebuah nama lain muncul.
Huang Zitao.
“Kenapa kau mengirim chat padaku?!” sembur Sehun tepat di wajah Tao dan menghalangi pandangan pria China itu ke layar.
Tawa Tao meledak hebat, “Kau mengharapkan siapa, hah? Nahyun?”
“Yang pasti bukan kau.” Sehun menyerang Tao dengan bantal sandaran sofa. Tao menangkisnya dengan gesit.
“Cinta itu ajaib membuat orang yang tidak peduli menjadi sering melirik ponselnya mengharapkan balasan chat dari seseorang yang disayanginya,” Tao menambahkan dengan tatapan menggoda.
Sehun mendengus. “Cinta itu ajaib membuat seseorang yang hobinya menonton film action menjadi suka menonton film comedy-romantic.”
“Kurasa ini juga ber-genre life.” Tao mengangkat bahu tak acuh.
Tao tampak serius mengamati plot film ketika mencapai titik krusial. Mia dijemput oleh Joseph karena mobilnya mogok. Seluruh tubuhnya basah kuyup—bahkan rambutnya harus diperas ketika memasuki ruangan. Para tamu telah menunggu dan Mia tidak sempat merapikan penampilannya. Dia bahkan mengatakan, dulu selalu muntah jika diminta berpidato.
Kemudian lama kelamaan pidatonya membuat orang terenyuh dan meneteskan air mata. Termasuk pria di samping Sehun ini. Dia berpura – pura mengucek mata agar tidak terkesan menangis.
Sementara Sehun terkesima melihat Tao bisa menangis. Pria itu selalu menunjukkan sisi tangguh dan kuatnya selama ini. Hanya karena sebuah film—yang Sehun akui sangat menyentuh hati kecil penonton—matanya berkaca – kaca hingga menitikkan air mata.
Film usai dengan Michael yang akhirnya berdansa dengan Mia. Sebuah akhir yang bahagia.
“Tao-ya, apa semua cerita pasti berakhir bahagia?” tanya Sehun saat Tao mematikan DVD player.
Tao terdiam sejenak. “Tidak, ada juga yang berakhir sedih atau tragis.”
“Itu di dalam sebuah cerita. Maksudku dalam kisah nyata.”
“Memang kau pikir hidup kita bukan sebuah cerita, Sehun-a?”
Sehun tertegun. Dia menunggu Tao melanjutkan kalimatnya.
“Hidup kita adalah sebuah cerita seperti film atau novel. Hanya saja dalam karya – karya tersebut, hanya sepotong kisah bermakna yang disajikan kepada penonton. Hal itu dilakukan agar kita lebih menghargai hidup.” Tao menjatuhkan tubuhnya di sofa.
Menghargai hidup? Apa pilihan yang dijalani Sehun saat ini merupakan bentuk dari menghargai hidup? Hah, semua ini membuatnya semakin pusing.
Dan Nahyun yang belum juga menjawab chat-nya membuatnya semakin pusing. Apa dia tidak tahu Sehun ingin mengetahui kabarnya?!
“Tao-ya, kau mau jalan – jalan?”
~~~
Jonghyun, Chanyeol, Yura, dan Nahyun sepakat menyewa kamar penginapan. Awalnya mereka ingin menyewa rumah tapi berhubung ini bukan liburan panjang sepertinya lebih praktis dan hemat jika menyewa satu kamar untuk dua orang. Mereka menyimpan koper terlebih dahulu sebelum berangkat ke toko jus Bibi Han—bibinya Jonghyun.
Sesampainya di toko, Bibi Han menyambut hangat ketiga teman Jonghyun. Wanita paruh baya itu hanya memiliki dua karyawan ditambah satu puterinya yang menjaga kasir. Dua karyawan lelaki bertugas membersihkan meja sekaligus mengantar minuman ke meja pelanggan.
“Jadi tidak ada karyawan wanita disini, Bi?” Yura bertanya polos. Dia sudah mengganti bajunya dengan celana nude selutut dan kaus biru longgar yang jatuh menutupi bokongnya.
Sedangkan Nahyun memakai kaus katun berwarna crème dengan bahan stretch yang pas di badan serta jins hitam yang menunjukkan kaki jenjangnya. Hal itu menyebabkan Jonghyun sulit melepas matanya dari Nahyun.
“Ya, hanya Ara.” Bibi Han tersenyum secerah matahari pagi. Dia menepuk pundak seorang gadis berambut hitam legam di sampingnya. Tampak seperti Bibi Han versi muda.
“Selamat datang.” Ara menyunggingkan senyum ramah pada pelanggan yang baru datang. Jonghyun dan ketiga temannya turut menebar senyum ramah pada para pelanggan.
“Ah, aku harus kembali ke dapur.” Bibi Han hendak masuk ke pintu khusus karyawan.
Jonghyun buru – buru bertanya, “Bibi, persediaan buah masih banyak atau perlu kuambil lagi?”
Bibi Han menggaruk kepalanya sekilas. Dia masuk ke dapur melewati pintu karyawan diikuti Nahyun dan Yura.
“Biar aku yang menuliskan daftar buah yang perlu diambil.” Nahyun mengambil secarik kertas dan pulpen di dekat kasir sebelum menyusul ke dapur.
Bibi Han mendikte buah yang perlu diambil beserta jumlahnya. Nahyun dengan tekun mencatat dan Yura membantu Bibi Han melihat persediaan yang kurang. Setelah itu Nahyun menjejalkan kertas dan pulpen ke tangan Chanyeol.
“Nanti ceklis yang sudah kau ambil dari daftar ini. Aku akan mengeceknya lagi sebelum diserahkan pada bibi,” perintah Nahyun. Chanyeol mengangkat jempol lalu menenggerkan tangannya di pundak Jonghyun sambil berjalan.
Nahyun dan Yura memakai apron dan bersiap membantu Bibi Han. Ara menyerahkan bill lewat sebuah celah antara dapur dan konter kasir. Nahyun mengantar pesanan minuman ke meja pelanggan sedangkan dua karyawan pria bertugas membersihkan meja yang sudah dipakai.
Ketika dua pria itu tidak mengerjakan apapun, Ara menugaskan mereka membawakan minuman pada pelanggan. Nahyun diizinkan kembali ke dapur membantu Bibi Han—atau sekadar membacakan pesanan selanjutnya untuk dikerjakan.
“Bibi tidak berencana membuat makanan untuk teman minum jus?” tanya Yura di sela – sela kegiatannya membuat Banana Smoothie.
Bibi Han tertawa.
“Tentu, Nak. Siapa yang tidak ingin usahanya maju? Sekarang karena karyawanku masih sedikit dan pengunjung belum terlalu banyak, aku ingin memperkenalkan ciri khas toko ini dulu. Aku ingin toko ini dikenal karena jus dan smoothies. Nanti seiring orang semakin banyak datang kemari, akan kutambah menu dan karyawan disini.”
“Jadi bibi akan menambah varian jus dan smoothie dulu?” Nahyun terlihat penasaran.
“Ya, Nak. Aku ingin memperbanyak varian agar para penyuka buah bisa datang kemari dan mencoba buah apa saja. Aku ingin kami menjadi toko jus terlengkap di Daejeon.” Bibi Han menyematkan jeruk di mulut gelas tinggi berisi jus jeruk.
“Tolong pesanan berikutnya, Nak.” Bibi Han menyerahkan jus jeruk tersebut pada Nahyun. Nahyun meletakkannya di atas nampan lalu mengambil bill lain untuk dibacakan.
“Bibi, ini sudah benar, belum?” Yura bertanya setelah selesai mempercantik tampilan Banana Smoothie-nya.
“Oh, kau cepat belajar.” Bibi Han memuji.
Nahyun baru hendak mengantar pesanan jus jeruk ketika Yura setengah berteriak padanya—terlalu bersemangat.
“Nahyun-a, yang ini juga.”
Nahyun membawa Banana Smoothie dan jus jeruk dalam satu nampan. Dia tersenyum tipis lalu pergi ke meja pelanggan setelah sebelumnya membacakan menu dua Strawberry Smoothie untuk dibuat Yura dan Bibi Han.
Satu karyawan pria membersihkan meja yang baru ditinggalkan pelanggan. Satu lagi diajak bicara Bibi Han untuk mengantar Strawberry Smoothies setelah ini.
“Terima kasih. Selamat menikmati.” Nahyun tersenyum sesudah meletakkan Banana Smoothie di meja pemesannya.
Tidak salah Nahyun datang ke sini. Rasanya benar – benar menyenangkan. Apalagi sekaligus membantu Bibi Han, dia merasa sangat berguna di sini. Toko jusnya berukuran kecil tapi di luar tersedia tempat duduk dengan lampion – lampion unik dan kanopi lebar. Pemandangan di luar pada malam hari pasti sangat indah.
~~~
“Oppa.”
Jonghyun menoleh pada gadis di sebelahnya yang baru melepas apron. Dia membalas dengan senyuman simpul.
“Nahyun Eonni, ‘kan?” tebaknya.
Jonghyun mengerutkan alis sementara gadis bernama Ara yang tak lain adalah adik sepupunya membukakan pintu toko untuknya.
Toko jus Bibi Han tutup pukul sebelas khusus akhir minggu. Ara, Bibi Han, dan dua karyawan pria toko tersebut bekerja lebih keras lantaran toko lebih ramai pada akhir minggu. Hari ini mereka sangat bersyukur didatangi Jonghyun dan teman – temannya sehingga lebih terbantu dalam melayani pelanggan.
“Ada apa dengan Nahyun?” tanya Jonghyun setelah mereka keluar dari toko. Di dalam masih ada Bibi Han bersama Nahyun dan Yura sedang membereskan peralatan dapur.
“Kau menyukai Nahyun Eonni.”
Jonghyun terkekeh. Angin malam menyapa kulit mereka sesaat setelahnya. Musim gugur akan segera datang lantaran suhu udara mulai turun.
Sebuah tepukan pelan mendarat di kepala Ara. “Terlihat jelas, ya?”
“Sepandai apapun kau menutupinya pasti tetap akan ada yang tahu. Lagipula terlihat dari caramu menatapnya.” Ara mengangkat bahu tak acuh.
“Caraku menatapnya?” ulang Jonghyun skeptis.
Ara mengangguk mantap. “Di sana ada Yura Eonni dan Nahyun Eonni. Caramu menatap Yura Eonni sama seperti caramu menatapku. Berbeda dengan Nahyun Eonni. Umm… sulit kujelaskan tapi aku bisa mengerti bahasa tubuh semacam itu.”
Jonghyun terhenyak sesaat. “Benarkah? Aku pasti tidak menyadari itu.”
“Itu akan secara alami terlihat ketika kau menyukai seseorang, Oppa,” bantah Ara. Dia melihat Chanyeol baru turun dari mobil Jonghyun dan berjalan ke arah mereka.
“Aku membantu Eomma dulu. Chanyeol Oppa sepertinya ingin membicarakan sesuatu denganmu.” Ara buru – buru masuk ke dalam toko lagi.
Jonghyun bahkan baru mengerjap setelah gadis itu sudah tak ada di sebelahnya. Dia menghilang dalam sepersekian detik.
“Jonghyun-a.” Tepat seperti dugaan Ara, Chanyeol berdiri di sampingnya. Mereka menikmati pemandangan malam yang indah dengan bulan baru di atas sana.
Dan seperti biasa Jonghyun diam menunggu Chanyeol membuka mulut lagi.
“Ini saat yang tepat. Katakan padanya mengenai perasaanmu. Aku tahu itu bukan hal mudah tapi kurasa kau sudah cukup lama memendamnya sendiri,” Chanyeol melirik Jonghyun yang tak mengalihkan pandangan dari langit malam, “sebelum kau menyesal.”
Napas Jonghyun tercekat beberapa detik.
“Nahyun… kurasa dia cukup dekat dengan Oh Sehun,” ucap Chanyeol nyaris berbisik, “aku mendukungmu, Jonghyun-a. Katakan padanya di kesempatan ini. Kita tidak tahu kapan ada waktu berlibur seperti ini lagi dan… kita tidak tahu pada saat itu bagaimana kelanjutan hubungan mereka.”
Chanyeol menepuk pundak Jonghyun dua kali sebelum meninggalkan Jonghyun sendiri di teras toko. Dia masuk ke dalam dan langsung menyebabkan keributan kecil dengan Yura. Jonghyun tersenyum kecil mendengarnya.
Sampai kapan mereka akan seperti ini? Mungkinkah kehadiran Oh Sehun akan merusak kebersamaan mereka? Mungkinkah dia akan menghancurkan segalanya dan menjadikan Nahyun seseorang yang berbeda sama seperti dia menjadikan dirinya berbeda di antara mahasiswa?
Jonghyun tertawa kecut. Satu – satunya alasan dia tidak ingin mengungkapkan perasaannya pada Nahyun adalah karena dia tidak ingin mengubah apapun dalam persahabatan mereka. Dia tidak ingin itu retak apalagi hancur. Mengingat Nahyun tidak mudah dalam bersahabat dengan orang lain.
Apa yang didapatnya dari memendam sendiri perasaan? Senang namun juga sakit. Senang karena dia bisa terus menjaganya dan berada di sampingnya, sakit karena Nahyun menganggapnya sebagai sahabat—atau kakak, barangkali.
Tapi tidak lebih dari itu.
Dan ketika Sehun masuk ke dalam kehidupan Nahyun, dia merasa ada yang berubah dari Nahyun. Salahkah Jonghyun tidak rela dengan perubahan itu? Well, dari ucapan Chanyeol tadi sepertinya bukan hanya Jonghyun yang tidak rela. Yura juga mungkin merasakan hal yang sama.
Namun ketidakrelaan macam apa yang Jonghyun rasakan? Tidak rela sebagai sahabat, kakak atau… laki – laki?
Jonghyun mengintip kegiatan teman – temannya bersama Bibi Han dan Ara dari pintu kaca. Mereka menertawakan Chanyeol yang sedang bertengkar dengan Yura. Yeah, keributan Yura dan Chanyeol adalah makanan Jonghyun dan Nahyun setiap hari. Mereka selalu berhasil membawa suasana menjadi asyik dan tidak membosankan.
Melihat wajah Ara, Jonghyun teringat ucapan Ara tadi. Benarkah dia begitu mudah dibaca? Mungkin Yura juga menyadari perasaannya pada Nahyun namun dia berpura – pura tidak tahu. Karena Nahyun adalah orang yang tidak peka terhadap hal – hal berbau perasaan, dia menjadi satu – satunya yang tidak menyadari perasaan Jonghyun padanya.
Haruskah… Jonghyun mengatakannya?
~~~
Sehun dan Tao berkeliling Myeongdong sampai malam. Mereka makan malam disana dan bisa dipastikan sampai di rumah akan makan lagi. Tak apa, Tao memiliki banyak film untuk ditonton sambil minum cola.
Sehun membelikan Tao kemeja. Sepertinya pria itu sudah lama tidak memakai baju baru dan dia sudah berniat ingin kuliah dengan baik. Sehun sendiri sudah memilih beberapa potong kemeja. Selagi menunggu Tao, matanya menangkap beberapa gadis yang baru keluar dari toko seberang. Entah mengapa dia teringat pada Nahyun.
“Tao-ya, telepon aku kalau sudah selesai. Aku mau ke sana.” Sehun menunjuk deretan pertokoan seberang. Tao mengangguk lalu melanjutkan kegiatannya mencari kemeja yang sesuai dengan seleranya.
Memasuki toko tersebut, Sehun mengedarkan pandangannya. Dia menemukan hanya dirinya seorang yang mencari pakaian wanita di toko itu. Para gadis saling berbisik—mungkin mereka bingung dengan kehadiran pria di toko itu atau sekadar mengagumi penampilan fisik Sehun. Atau keduanya.
“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” Seorang pramuniaga menghampirinya. Yeah, pria pasti kesulitan mencari hal – hal seperti itu.
Tapi Sehun tidak ingin dipilihkan.
“Aku mau memilih sendiri, Nona. Terima kasih,” tolak Sehun halus. Dia baru akan memasuki toko lebih dalam ketika sang pramuniaga menginterupsinya.
“Kalau kau mau mencari dress atau gaun ada di lorong sebelah kirimu, Tuan.”
Pramuniaga itu menyunggingkan senyum kemudian berlalu. Well, Sehun memang mencari itu. Tapi dia tidak mau tergesa – gesa. Tao sepertinya masih lama.
Sehun mengelilingi ketiga lorong panjang dan mengambil beberapa baju rumah santai juga celana pendek. Serta baju tidur selutut—dia terbiasa melihat para wanita memakai itu di rumah dan belum pernah mendapati Nahyun mengenakannya. Terakhir, dia memasuki lorong dress dan gaun.
Mata Sehun langsung tertuju pada minidress hitam diantara puluhan dress terbuka disana. Bahan brukatnya hanya sampai pinggang, selebihnya berupa satin hitam yang membentuk rok mini. Untuk gadis setinggi Nahyun, mungkin roknya sanggup menutupi bokongnya saja. Dress itu seksi namun elegan. Tidak berlebihan seperti yang lain.
Sebuah chat masuk ke ponsel Sehun saat dia memberikan tas belanja pada pramuniaga.
Sehun-a, aku sudah selesai.
~~~
“Jadi sudah sejauh mana hubunganmu dan Sehun?” tembak Yura spontan. Dia merebahkan diri di ranjang.
Nahyun—yang sudah berbaring lebih dulu—memiringkan kepala ke arah Yura. Dia mengingat janjinya untuk bercerita pada sahabatnya yang satu ini tempo hari. Dia pun menceritakannya secara singkat tanpa mengungkit peristiwa eksekusi yang disaksikannya. Dia hanya mengatakan Sehun menolongnya dari kejaran para pria gempal kemudian ingin memastikannya aman dengan tinggal di rumah atap.
“Dia sangat memerhatikanmu, Nahyun-a.” Yura menutup mulut tidak percaya. Yeah, siapa yang tahu orang seperti Sehun bisa peduli dengan seseorang?
Tentu Yura tidak tahu Nahyun memegang kartu as Sehun. Meski di luar itu, Sehun menjaganya dengan sangat baik.
Tunggu. Nahyun tidak pernah memikirkan ini sebelumnya tapi dia cukup penasaran. Bagaimana jika orang yang kebal dengan hukuman itu—yaitu mereka yang tidak gila setelah melihat proses eksekusi—melaporkan eksekutor pada polisi? Atau mereka menyebarkan berita itu pada orang lain?
Nahyun harus bertanya lebih banyak pada Sehun.
“Nahyun-a.” Yura menyenggol lengan Nahyun sambil menyodorkan ponsel Nahyun kepada pemiliknya.
Nahyun mengerutkan kening membaca chat Line dari Jonghyun. Yura mengintip isi chat lalu berdehem kecil.
“Kalau dia menanyakan perkembangan hubunganmu dan Sehun, jangan menjawab detail. Kumohon.” Yura menangkupkan kedua tangan.
Kedua alis Nahyun terangkat. “Ra, aku ingin memberitahu kalian tentang ini. Aku sudah berjanji padamu, ‘kan? Kurasa ini waktu yang tepat. Aku juga sudah berjanji pada Sehun akan menceritakan ini pada kalian. Sehun tidak keberatan, dia tidak ingin aku merahasiakan ini terus – terusan. Aku merasa bersalah karena menyembunyikan ini dari kalian. Aku seperti membohongi dan mengkhianati kalian. Kalian keluargaku, kalian harus mengetahui ini—tak terkecuali Jonghyun dan Chanyeol.”
Pantang bagi Yura untuk menyerah. “Kalau kau menceritakan ini mereka mungkin tidak menerima penjelasanmu.”
Nahyun beranjak dari ranjang. Dia mengikat asal rambutnya lalu menyelipkan ponsel ke saku celana pendek.
“Aku bisa meyakinkan Sehun bahwa teman – temanku sangat berharga dan dia menerimanya. Dia menghormati keputusanku untuk tetap bersama dengan kalian, untuk tidak menjaga jarak dari kalian. Bahkan dia mendorongku untuk mengatakan yang sebenarnya pada kalian. Maka aku juga akan melakukan hal yang sama kali ini.” Nahyun berjalan menuju pintu yang terletak tidak jauh dari ranjang.
Yura setengah berteriak dari ranjang. Masih dapat dilihatnya punggung Nahyun sebelum mencapai pintu.
“Kalau begitu tunggulah sampai dia mengatakan semuanya padamu. Setelah itu kau jelaskan apa yang terjadi. Jangan menginterupsi, dengarkan dia sampai selesai. Atau kau akan menyesal selamanya.”
Nahyun tak memedulikan pakaian tipis tanpa apapun untuk melapisinya. Dengan sandal milik penginapan, dia datang ke tempat yang dimaksud Jonghyun dalam chat. Yeah, Jonghyun mengajaknya bertemu di sebuah taman yang tak jauh dari penginapan.
Ada sebuah jembatan kecil di sana. Di bawahnya mengalir air yang cukup deras—menyerupai sungai kecil. Tepat disana Jonghyun menunggu Nahyun. Dia arahkan pandangan pada kerlip lampu kota di malam hari. Penginapan berada di perbukitan sehingga dari atas sini bisa terlihat titik – titik cahaya dari bawah.
Jonghyun nyaris terlonjak mendapati Nahyun tiba – tiba berdiri di sampingnya. Gadis itu hanya menyangkutkan cengiran. Semilir angin meniup helaian rambutnya—menyebarkan aroma manis khas musim semi di penciuman Jonghyun.
“Waktu berlalu cepat, ya?” Jonghyun tersenyum masam. Nahyun melipat tangannya di atas pembatas jembatan berupa dinding bata.
“Aku ingat kita bertemu pertama kali pada musim semi. Kau dan Yura berada di kafetaria. Kalian makan sementara aku dan Chanyeol mengitari seisi kafe dan tak ada satupun tempat duduk kosong. Lalu kalian mau berbagi kursi dengan kami,” kenangnya. Mata Jonghyun menerawang jauh ke langit cerah berbintang malam ini.
Entah hanya perasaan Nahyun saja atau Jonghyun memang membawa kesenduan disini. Nahyun memutuskan bungkam dan menuruti perintah Yura untuk tidak menginterupsi Jonghyun.
“Banyak orang datang dan pergi dalam hidupku, silih berganti seiring berjalan waktu. Tapi hanya beberapa yang berada di sisiku sampai akhir. Aku… berharap kita berempat akan selamanya seperti ini.” Jonghyun melirik Nahyun yang memasang ekspresi setuju.
“Seberapa yakin dirimu tidak akan ada yang berubah diantara kita?” Jonghyun bertanya ragu.
Nahyun menoleh pada Jonghyun. “Kita sudah mengetahui karakter masing – masing. Mungkin nanti ada saat dimana kita tidak bisa menerima sikap buruk salah satu dari kita tapi itu akan memperkokoh kekeluargaan kita. Kita jadi semakin memahami satu sama lain.”
“Bagaimana jika… seseorang masuk dalam kehidupan kita? Misalnya, Chanyeol atau Yura punya pacar. Ada saatnya mereka harus memilih mendahulukan kita atau pacar mereka, ‘kan?” tanya Jonghyun lagi. Pengandaiannya kurang tepat sasaran dan sepertinya Nahyun tak kunjung menangkap maksudnya.
“Kalau kita merupakan bagian terpenting dalam hidup mereka, bagaimanapun mereka akan menyeimbangkan antara kita dan pacar mereka. Ada saat tertentu mereka harus lebih memilih pacar tapi kalau kita juga prioritas mereka maka mereka bisa mengakalinya dengan mencari alternatif hari atau jam lain. Kalau hal itu memang sangat penting untuk mereka lakukan bersama, kita harus mengerti. Ini hanya masalah membagi waktu saja, Jonghyun-a.” Nahyun menautkan jemarinya.
“Lagipula kalau seseorang itu benar – benar baik, dia akan mendukung Chanyeol atau Yura melakukan apapun yang dia senangi. Bermain, berkumpul dengan teman – teman, berkumpul dengan keluarga, kuliah, dan semua hal positif. Kalau seseorang itu justru menjauhi mereka dari apa yang biasa dia lakukan, dia senangi hingga menjadi seseorang yang seperti bukan mereka, artinya orang itu tidak baik. Dia melarang begitu banyak hal tanpa alasan masuk akal, dia terlalu protektif. Kita yang berteman sejak semester dua tidak pernah melarang satu sama lain melakukan hal – hal yang kita sukai—selama itu baik,” tambah Nahyun yang semakin larut dalam pengandaian ini.
Jonghyun mengacak rambut gemas. Dia sengaja memutar – mutar pembicaraan mereka untuk menggiring Nahyun pada satu maksud—kalau Nahyun cukup pandai membaca maksud. Tapi orang seperti Nahyun tidak bisa diberitahu seperti itu. Dia harus mengutarakannya dengan gamblang dan tersurat.
“Nahyun-a, seberapa dekat kau dengan Oh Sehun?” Jonghyun akhirnya bertanya langsung. Dia menatap Nahyun tepat di manik matanya.
Nahyun terdiam sejenak. Mendadak dia teringat kata – kata Yura agar tidak menjawab detail.
“Mengapa tiba – tiba bertanya seperti itu?” Nahyun memaksakan diri untuk tertawa namun suaranya terdengar aneh.
“Tadi itu hanya pengandaian. Sebenarnya aku sedang bertanya mengenai dirimu pada dirimu sendiri,” Jonghyun menjawab lugas.
“Aku?” Nahyun mengarahkan telunjuk ke hidungnya. Dia mengerjap tak percaya.
Sudah Jonghyun duga akan seperti ini. Pada akhirnya dia harus mengungkapkannya terang – terangan.
“Tolong jawab dulu pertanyaanku sebelumnya.”
Nahyun menimbang – nimbang jawabannya. Di dalam kepalanya terngiang suara Yura. Kalau dia menanyakan perkembangan hubunganmu dan Sehun, jangan menjawab detail. Kumohon.
“Ada satu peristiwa yang membuat kami cukup dekat,” Nahyun memulai dengan raut yakin, “dia menyelamatkanku dari kejaran para pria yang berusaha menggodaku. Sejak saat itu kami cukup dekat dan terkadang dia menjemputku pulang untuk memastikan aku aman sampai di rumah.”
Nahyun sama sekali tidak berbohong dalam kalimatnya barusan. Hanya dia tidak menyebutkan bahwa rumah yang dimaksud adalah rumah Sehun.
“Karena itu saja, Nahyun-a? Dia bisa sedekat itu denganmu hanya karena itu? Sedangkan kau baru bisa terbuka padaku dan Chanyeol setelah sebulan kita berkenalan?” tanya Jonghyun bertubi – tubi. Kentara sekali gejolak emosi dalam ucapannya meski Nahyun tahu dia berusaha menekan amarahnya.
“Jonghyun-a.”
“Aku merasa ada yang berubah,” Jonghyun membuang napas kasar, “Chanyeol dan Yura mungkin juga merasakannya. Tapi mereka tidak pernah mengatakannya secara langsung padamu.”
Nahyun memutar tubuh menghadap Jonghyun sepenuhnya.
“Apa? Katakan padaku. Aku akan memperbaikinya.”
“Ini bukan hal mudah,” Jonghyun masih tak mengalihkan tatapan dari langit malam, “kurasa ini karena kami tidak menyukainya. Dia sudah banyak mendapat label buruk dan kami—aku, terutama—tidak rela kau dekat dengannya. Apalagi prosesnya begitu cepat dan mudah.”
Napas Nahyun tersangkut di tenggorokan. Dinginnya malam melilitnya ke dalam, menggulungnya sampai dia merasa begitu pedih.
“Dia bisa saja mempermainkanmu, Nahyun-a. Kudengar dia sering datang ke bar dan meniduri wanita – wanita di sana. Dia jarang masuk kuliah, tidak ada yang tahu ke mana perginya. Dan sekarang kau dekat dengannya, bagaimana aku tidak khawatir? Kau bukan orang yang mudah terjerat perasaan. Itu benar. Aku masih ingin memercayai hal itu sampai tadi kau mengatakan kalian menjadi dekat melalui sebuah peristiwa. Aku tahu peristiwa itu amat pahit dan menakutkan untuk kau ingat. Lalu bagaimana caranya kau memasang benteng agar tidak terseret pada perasaan lebih jauh, Nahyun-a? Bagaimana bisa ketika kau menjadi begitu intens dengan satu peristiwa? Apa yang akan terjadi pada masa depan kalau hanya karena satu peristiwa kau bisa begitu dekat dengannya? Apa kau yakin kau bisa bertahan?”
Terpaan angin sejenak mengisi kekosongan di antara mereka. Kepiluan itu merambat melalui celah – celah sempit, membuat keduanya kian tersiksa oleh perasaan serba salah.
“Kalau kau bisa dengan mudah dekat dengannya, apa itu berarti kau sudah lebih peka sekarang?” Jonghyun bertanya miris.
Nahyun sendiri mempertanyakan hal itu pada dirinya. Bagaimana bisa Sehun membuatnya begitu mudah jujur dan terbuka padanya? Sedangkan Nahyun mengenal dirinya sebagai orang yang butuh waktu lama untuk dekat dengan seseorang. Nahyun bahkan mengizinkan Sehun memeluknya, tidur di sampingnya, dan… menciumnya.
Tentu rasanya sangat tidak adil bagi Jonghyun dan Chanyeol.
Nahyun baru ingin membuka mulutnya ketika Jonghyun sudah lebih dahulu berbicara dalam nada rendah.
“Kalau kau peka seharusnya kau menyadari perasaanku padamu.”
Kepedihan terpantul di bola mata Jonghyun. Belum pernah Nahyun melihat Jonghyun begitu lemah seperti ini dan dia tidak tahu harus berkata apa saat ini.
“Aku… berusaha menjaga apa yang telah kita bangun selama ini.” Jonghyun membalikkan tubuh. Kini dia bersandar pada dinding bata jembatan.
“Aku tidak berencana mengutarakannya sekarang. Tapi aku tidak mau terlambat dan menyesal, Nahyun-a. Aku menyukaimu. Sejak pertama kita bertemu di musim semi semester dua. Aku menemukan dirimu berbeda, kau punya selera, kau begitu tinggi dan percaya diri. Juga keras kepala. Kau terlihat sulit diraih. Itu sangat menarik.”
Nahyun menelan ludahnya yang terasa pahit.
“Ketika aku tahu kau tidak bisa menangis, aku semakin tidak ingin meninggalkanmu. Kau juga bukan orang yang mudah dekat dengan orang lain. Maka dari itu aku berusaha tetap dekat padamu walaupun kau tidak menganggapku dan Chanyeol—pada awalnya.” Jonghyun tertawa perih.
“Aku tidak ingin menghancurkan persahabatan yang telah kita jalin hingga seperti keluarga ini. Kalian sangat penting bagiku. Kalian sangat berarti. Aku mengalahkan egoku agar bisa terus berada di sampingmu, terus menjagamu… dan tidak berencana mengatakannya selamanya. Mungkin nanti ketika kematian tampak sudah menghampiri, baru aku akan mengatakannya,” lanjutnya dengan bola mata bergerak tak menentu.
Kalau Nahyun bisa menangis, dia pasti sudah menangis hebat sekarang.
“Kau tidak cukup peka untuk menyadarinya, ‘kan?”
Perasaan kebas menjalar di sekujur tubuh Nahyun. Dia tak mengenalinya lantaran sudah terlalu lama tak merasakannya. Terakhir sewaktu orang tuanya meninggalkan dirinya seorang diri.
“Sesudah aku mengungkapkan semuanya, kita… masih bisa seperti dulu, ‘kan?” Jonghyun menatap sandal penginapan yang dipakainya.
Nahyun menghela napas berat.
“Aku benar – benar minta maaf karena tidak menyadarinya, Jonghyun-a.” Kepala Nahyun tertunduk dalam.
“Kau sangat tulus padaku selama ini. Kau dan Chanyeol menjagaku dengan sangat baik dan aku sangat nyaman berada di sisi kalian. Aku tidak pernah punya kakak dan sejak bertemu kalian aku merasa punya dua kakak laki – laki yang siap menerjang orang – orang yang mencoba menjahatiku. Aku tidak menyadarinya, bodoh sekali.” Nahyun memukul kepalanya.
“Tapi aku… jatuh cinta pada Sehun.”
Mata Jonghyun berkaca – kaca. Nahyun baru saja mengawali ucapan dan kesedihan itu merangkak naik ke tenggorokannya begitu saja. Jonghyun begitu sulit meneguk ludahnya sendiri. Dia memejamkan mata agar Nahyun tidak melihatnya hampir menangis.
“Itulah penyebab aku begitu mudah dekat dengannya,” Nahyun akhirnya mendapat jawaban dari pertanyaan besar itu, “aku tidak mengerti bagaimana bisa aku menyukainya dalam waktu singkat. Dia seperti mengerti apa yang kubutuhkan tanpa aku perlu berkata – kata. Dia tidak hanya menolongku tapi dia membawaku ke dalam perasaan damai dan aman.”
Nahyun melirik Jonghyun sekilas. Pria itu tak kunjung mengangkat wajahnya dan Nahyun ragu untuk meneruskannya atau tidak.
“Jonghyun-a, maafkan aku… aku—aku juga tidak tahu apa yang terjadi padaku. Belakangan ini aku begitu sering bermimpi buruk dan aku menjadi sering melamun. Tapi ini tak ada kaitannya dengan Sehun. Dia sangat menghormati keputusanku yang lebih sering mendahulukan kalian. Apa… kau pikir Sehun membawa pengaruh buruk untukku?”
Lamat – lamat Jonghyun mengangguk.
“Jonghyun-a,” Nahyun memandang langit yang mulai terang. Ini hampir fajar, “Aku—sungguh, kalau saja aku bisa menceritakan semua padamu. Sekarang kehidupanku jauh lebih rumit. Kehadiran Sehun justru membuatku merasa… lebih baik. Ada hal – hal yang tak bisa kujelaskan padamu—pada kalian. Karena aku pun sampai sekarang tak bisa memahaminya. Kalau aku berubah, percayalah ini bukan keinginanku sepenuhnya. Terkadang keadaan memaksaku untuk melakukan hal yang tidak ingin kulakukan.”
“Bisakah… kau menerima ini semua?”
Jonghyun membuka mata sambil mengembuskan napas panjang.
“Bukankah kami selalu begitu?” ralat Jonghyun. Dia memaksakan diri untuk tertawa namun tawanya tak menyentuh matanya.
Jonghyun melewati Nahyun yang masih mematung. Sembari merenggangkan otot ke kiri dan kanan dia berkata, “Ayo, kembali ke penginapan.”
~~~
Kendati hari begitu berat bagi Jonghyun dan Nahyun, mereka tetap tersenyum sewaktu berpamitan dengan Bibi Han dan Ara. Mereka pergi sebelum toko dibuka dan sempat membantu membersihkan toko. Ara menangkap mata redup Jonghyun ketika pria itu memeluknya namun dia tak ingin mendesak kakak sepupunya lebih jauh. Biarlah nanti Jonghyun yang bercerita jika sudah siap.
Tadinya Chanyeol ingin berangkat dini hari menuju Pantai Daejeon dan melihat matahari terbit. Melihat suasana batin yang lebih mendung daripada awan pagi ini, dia mengurungkan niat. Mereka baru tiba di pantai siang hari dan tempat itu menjadi cukup panas dengan sejuk udara musim gugur.
Seperti ada kesepakatan implisit, Nahyun dan Jonghyun tertawa seperti biasa. Meski tak dipungkiri keduanya menahan sesuatu dalam dada, Chanyeol dan Yura sangat berterima kasih karena mereka mau tetap bermain air dan melempar pasir di bibir pantai. Yura mengambil ranting kecil di dekat pohon lalu mengukir nama mereka di pasir.
Mereka berlomba membangun istana pasir dalam keceriaan dan kehangatan. Pada akhirnya, Yura dan Chanyeol bertengkar mengenai selisih waktu mereka yang tipis. Jonghyun menyipratkan air pada tiga temannya kemudian mereka saling mengejar. Yura menyerang Jonghyun dan Chanyeol dengan pasir dari istana yang mereka buat.
Ketika istana pasir Yura dan Nahyun tidak sengaja terinjak Chanyeol, pria itu langsung diburu Yura sampai ke tengah pantai.
Nahyun geleng – geleng kepala dengan segaris senyum tipis. Matanya menyorot sepanjang tepi pantai dimana terdapat penjual cenderamata khas pantai.
“Ah, nona. Kau mencari apa? Biasanya gadis – gadis sepertimu menyukai kalung ini.” Bibi penjual menyodorkan kalung dengan bandul kayu berbentuk gitar.
“Woah, manis sekali.” Nahyun menggantung kalung tersebut di tangannya. Namun sepertinya bukan ini yang dicarinya.
“Atau kau mau pajangan dari kerang – kerang kecil ini? Ini ada gelang dari bebatuan. Ada juga gelang dari mutiara air tawar.” Bibi itu menawarkan cenderamata yang menjadi favorit pengunjung.
Nahyun mencoba salah satu gelang bebatuan kecil. Gelang itu tampak cantik dan terasa dingin di permukaan kulit. Bibi penjual langsung memujinya dan memperlihatkan berbagai koleksi lain yang jarang diminati tapi bagus untuk dipakai Nahyun, menurutnya. Dia akan memberikan diskon pada Nahyun.
Mata Nahyun berhenti pada sebuah topi hitam yang digantung di belakang bibi penjual. Dia meminta sang Bibi menunjukkan topi tersebut lebih dekat. Ukurannya tidak terlalu besar, tidak sebesar topi yang digunakan bangsawan eropa abad pertengahan. Tapi jika dia memakainya…
“Oh! Kau tampak seperti Lady, Nona! Aku punya cermin, sebentar!”
Nahyun memerhatikan refleksi dirinya di cermin. Benar, kharismanya langsung terpancar keluar. Auranya seperti keturunan darah biru yang siap turun dari Limousine hitam. Well, berlebihan. Namun kepercayaan dirinya meningkat tajam saat menggunakan topi tersebut.
“Bibi, aku ambil ini dan dua gelang batu.” Nahyun mengedarkan pandangan ke meja penjual—mencari barang yang sedang diskon untuk Tao. Yeah, bagaimana pun pria itu sudah menemani Sehun semalaman.
“Cocok sekali topinya denganmu.” Tiba – tiba Jonghyun berdiri di sampingnya. Jonghyun menilik setiap cenderamata dan menemukan sebuah bingkai foto koral. Dia mengamatinya dari dekat.
“Eh? Kapan kau datang?” Nahyun memutar kepalanya ke belakang. Kedua orang itu—Yura dan Chanyeol—masih sibuk bermain air.
“Sewaktu kau mencoba topi.” Jonghyun mengangkat bahu acuh. Dia kemudian meminta bibi penjual membungkus bingkai foto tersebut sambil menyerahkan sejumlah uang.
Kalau dilihat – lihat, bingkai itu unik sekali. Nahyun akhirnya meminta bibi penjual membungkus bingkai untuknya juga. Karena barang itu tidak terlalu laris, sang bibi memberi diskon pada Jonghyun dan Nahyun.
“Kalian serasi sekali. Dua teman kalian itu juga serasi. Ah, kalau mereka beli barang yang sama akan kuberi diskon juga.” Senyuman simpul terpatri di wajah bibi penjual. Nahyun dan Jonghyun kikuk sesaat lalu membungkuk sebelum kembali ke pantai.
“Hei! Kalian curang! Ini hukuman karena kalian pergi begitu saja!” Chanyeol melempar segenggam pasir bertubi – tubi ke arah Jonghyun dan Nahyun. Yura membantu dengan menyipratkan air pada mereka.
Keempatnya berjanji tidak akan pernah melupakan hari ini. Kebersamaan mereka akan selalu indah untuk mereka kenang di kemudian hari dan berharap agar mereka tidak pernah terpisah.
Karena Jonghyun bahkan sudah merelakan hatinya tertohok demi apa yang mereka bangun selama ini. Karena Jonghyun sudah mengalahkan egonya demi kekeluargaan diantara mereka. Dan Jonghyun yakin bahwa pengorbanannya tidak sia – sia. Kini semua berada di pihak Nahyun serta akan mendukung keputusan gadis itu asalkan dia tidak berubah dan tetap berada di sisi mereka selamanya.
~~~
Tao menggeliat malas di sofa. Dia berguling untuk menggulung diri sepenuhnya dalam selimut. Hari semakin dingin, suhu udara turun cukup drastis. Pertengahan musim gugur sudah berlalu—pertanda musim dingin akan tiba dan dia belum belanja bahan makanan. Ugh, malang sekali.
Yang lebih malang lagi adalah dia harus menemani Oh Sehun yang kesepian di rumah atap. Bukannya mengajak teman wanitanya ke swalayan atau sekadar menikmati minggu – minggu terakhir musim gugur di tepi Sungai Han. Atau berdiam di bangku taman sambil mengamati daun – daun kemerahan.
“Kau seperti kepompong,” Sehun meledek setelah sebelumnya bersin. Dia menghabiskan satu selimut penuh untuk bergelung.
“Kau seperti sarang lebah,” balas Tao dengan wajah paling menyebalkan.
Detak jarum jam bersuara lebih nyaring dari biasanya. Begitu mendebarkan, sama dengan detak jantung Sehun yang kian berpacu. Ini sudah sore dan Nahyun belum juga pulang. Apa dia tidak tahu seberapa dingin cuaca di luar?!
“Kenapa tidak kau telepon saja dia?” tanya Tao dengan suara bergetar. Belum ada satu pun yang beranjak dari sofa dan televisi terus menyala sejak Nahyun pergi.
Sehun terdiam beberapa detik—memikirkan opsi itu. Kemudian dia teringat chat terakhir dari Nahyun.
“Dia bilang tidak usah menelepon. Sebentar lagi sampai.”
Hening beberapa menit. Tao mulai menggigil dan tubuhnya malas bergerak untuk menyalakan pemanas ruangan atau perapian. Keduanya melilitkan selimut di seluruh tubuh sampai tinggal kepalanya saja yang terlihat.
Sehun berusaha mengingat jam berapa Nahyun mengirim chat tersebut. Sekitar tengah hari dan sekarang matahari hampir terbenam namun gadis itu tidak muncul juga.
“Sehun-a.”
“Hm.”
“Kau tidak buat ramen?”
Sehun menoleh dalam dingin pada Tao.
“Disini self ser—,”
“Ya, ya. Aku akan buat ramen dua porsi. Kau dengar? Dua porsi,” Tao mendahului dengan penuh penekanan. Dia bangkit sambil mengerling sedangkan Sehun setengah tersenyum padanya.
Tanpa melepas selimut, Tao mengambil ramen di dalam lemari. Dia baru saja akan menghidupkan kompor ketika suara pintu berderit menarik pendengarannya.
“Astaga!” Nahyun menutup mulutnya dengan satu tangan. Hal pertama yang dilihatnya adalah bantal sofa dan bungkus snack yang bergelimpangan.
Dan Oh Sehun yang menggulung dirinya di depan televisi. Hidungnya merah dan wajahnya sedikit pucat. Mata sayunya menatap Nahyun kesal.
“Kau seperti sarang lebah.” Itu adalah kalimat pertama yang terlontar dari bibir Nahyun.
Sontak Tao menyemburkan tawa. Dia bahkan tidak bisa berdiri tegak, dia bersandar pada kulkas sambil memegangi perut.
Dahi Nahyun mengenyit namun sejurus kemudian dia sadar ada siapa disana. Susah payah Sehun bangun dan melepas selimut yang menggulungnya seperti pisang dalam Banana Roll. Dia membawakan tas pergi Nahyun ke kamar.
“Itukah kalimat pertamamu saat sampai di rumah setelah berlibur?” tanya Sehun sinis sebelum melesat ke kamar.
“Cih~ ketus sekali,” gerutu Nahyun sambil lalu.
Tao membungkuk sekilas pada gadis berambut hitam dengan highlight cokelat yang baru masuk. Well, dia harus mengakui selera Sehun sangat baik. Gadis itu terlihat murni dan cantik meski wajahnya hanya memakai dandanan tipis.
Nahyun balas membungkuk. “Halo, kau pasti Tao.”
Tao tertawa kecil. Apa saja yang sudah Sehun ceritakan tentangnya? Ah, semoga bukan yang aneh – aneh.
“Dan kau Nahyun.” Yang langsung diiringi kekehan Nahyun. Gadis itu mengikat rambutnya menjadi satu ke belakang sembari menyusuri ruang tamu yang berantakan.
Tao tak melepas pandang dari Nahyun. Pantas Sehun jatuh cinta padanya. Bahkan setiap hal kecil yang dilakukannya begitu menarik. Dia memoles kukunya dengan cat bening bermotif kepingan salju perak. Mungkin jika gadis lain menerapkan nail art itu terkesan norak, tapi tidak dengan Nahyun.
Dia begitu alami dalam menyentuh setiap detail dirinya.
“Oh, kau mau buat ramen?” Nahyun bertanya sesudah melongok konter. Tao buru – buru memungut selimut sebelum Nahyun terjerembap karena ulahnya.
“Yeah, tadinya. Sehun sama sekali tidak mau bergerak. Dia kedinginan dan… mencemaskanmu,” bisiknya pada kata terakhir. Tao melipat asal selimut lalu meletakkannya di sandaran sofa.
Dan pria itu berani bersumpah melihat sekelebat rona merah di pipi Nahyun.
“Kau juga bergulung di selimut? Kenapa tidak memasang perapian atau pemanas?” Nahyun memasukkan kembali ramen ke lemari. Dia mengambil sesuatu yang lain dari sana.
Tao membersihkan ruang tamu dari sampah snack sisa semalam. Mereka menghabiskan persediaan Sehun setengah bulan ke depan hanya dalam semalam, sembari menonton lima film sekaligus.
“Begitulah. Aku baru mau memasak ramen dan Sehun sama sekali tidak mau melakukan apapun. Dia bilang di sini self-service dan aku bukan tamu.”
Kena kau, Oh Sehun!
Sehun keluar dari kamar dengan wajah merengut. Dia hanya memantau Tao yang—sedikit—merapikan ruang tamu sembari melipat tangan di dada. Dia bersandar pada kulkas—memerhatikan Nahyun yang sedang memasak. Oh, gadis itu tahu mereka lapar dan ramen instan tidak baik dikonsumsi terus – terusan.
“Kau malas bergerak, ya? Kalau kedinginan kenapa tidak pasang pemanas, huh?” Nahyun mengocok adonan pancake cokelat yang kelihatannya lezat.
Sehun diam.
“Kenapa tidak rapikan ruang tamu sebelum aku pulang? Lihat, pekerjaanku banyak sekali. Aku baru pulang dan tumpukan pekerjaan rumah menanti,” omel Nahyun dalam volume rendah. Dia tidak ingin Tao mendengar mereka berdebat atau pria itu merasa ini salahnya.
Sehun bergeming.
“Kau juga tidak mencuci piring, ‘kan? Apa saja yang kau lakukan selama aku pergi?!”
Nahyun membalik pancake cokelat di atas wajan teflon. Dia mengambil whipped cream dari lemari sambil menunggu pancake matang sempurna.
“Ajak Tao makan. Kalian lapar dan malas bergerak, ‘kan?”
“Go Nahyun.”
Nahyun menoleh sesudah meletakkan satu pancake di atas piring kecil.
“Kenapa aku tidak boleh menelepon? Kenapa perjalananmu lama sekali? Kau tidak tahu seberapa dingin cuaca di luar? Kenapa aku tidak boleh menjemput? Kenapa kau pulang lalu marah – marah bukannya tersenyum senang seperti orang – orang yang baru pulang liburan, hah?” semprot Sehun.
Tao yang mendengar itu dari sofa ruang tamu mengulum senyum. Jadi ini yang dimaksud Sehun berdebat. Ah, pertengkaran ini adalah ungkapan rindu keduanya. Atau ini kebiasaan mereka sehingga mereka merindukan pertengkaran?
“Aish! Sudahlah, aku masih harus membuat kue!” Nahyun akhirnya menyerah setelah beradu mulut dengan Sehun. Pria itu tidak mengerti juga dengan penjelasannya.
Tao—yang merasa tidak enak—menghampiri mereka. “Eum… karena Nahyun sudah pulang, sekarang aku mau pamit. Ini hampir malam, sebaiknya kalian istirahat. Nahyun pasti lelah dan Sehun… sedang flu.”
Nahyun otomatis membalikkan tubuhnya. Dia meletakkan tiga piring pancake dengan whipped cream di atas meja.
“Ah, kau harus makan. Kalian pasti belum makan dengan benar, ‘kan? Kalau aku membuat makanan berat waktunya tidak cukup jadi hanya bisa membuat ini. Makan dulu, Tao-ya.” Nahyun menepuk kursi makan di sampingnya. Meja makan Sehun berbentuk lingkaran dengan empat kursi.
“Yeah, makan dulu, Taozi. Kau belum makan gara – gara aku malas bergerak,” sindir Sehun pada Nahyun.
Nahyun memberi gestur mempersilakan Tao duduk. Dia lalu melahap pancake sambil membalas ucapan Sehun.
“Kau sadar sekarang.”
“Jangan membuat selera makanku hilang, Nona Go. Kau mau berdebat?”
“Hei, kalau kalian bertengkar aku pulang saja. Okay?” Tao menyela Nahyun sebelum gadis itu menangkis Sehun.
Nahyun menekuk wajah sedangkan Sehun mengimitasi omelan Nahyun dengan gerak bibir.
Sebelum Nahyun semakin naik darah, dia mengalihkan tatapan pada Tao. Tao tinggi, tubuhnya proporsional, dan tampan. Dia pasti punya banyak kekasih seperti Sehun dulu.
Ralat, Sehun tidak punya kekasih. Kenapa dia seburuk itu, sih?
“Tao-ya, kukira badanmu besar seperti panda. Sehun pernah bilang begitu, ternyata tidak. Kau seperti model.” Nahyun tertawa kecil di sela – sela makan.
Tao yang hendak menyuapkan potongan terakhir pancake menoleh pada Nahyun.
“Dia bilang begitu?”
Nahyun mengangguk. Tao melempar tatapan mematikannya pada Sehun.
“Dia bertanya dengan mata seperti ini,” Sehun mencontohkan ekspresi excited Nahyun saat itu, “bagaimana aku bisa bilang tidak? Dia bingung kenapa kau dipanggil panda dan mengira badanmu besar.”
Tao tertegun sebelum menghabiskan pancake hingga seperti tak pernah ada makanan di atas piringnya.
“Nahyun-a,” Tao memanggil dan langsung disambut tatapan menunggu Nahyun, “lihat, dia pria yang baik.”
UHUK!
Nahyun buru – buru menenggak air putih sebelum tersedak lebih jauh. Sebaiknya sudahi saja obrolan ini.
“Dia tidak ingin membuatmu kecewa,” sambung Tao dengan tawa geli. Sehun hanya sanggup menatap Nahyun sebal sesudah menandaskan pancake.
Nahyun menepuk dadanya sebelum mengalihkan topik. “Karena penampilanmu bagus, biar kutebak. Eum… kau pasti sudah punya kekasih. Atau banyak?”
Tao mengerutkan alis. “Kenapa? Apa karena aku teman pria buruk seperti Sehun jadi kau mengira aku playboy?”
Yeah, bahkan temannya mengakui kalau Sehun bad guy.
“Well,” Nahyun melirik Sehun sekilas, “ada benarnya. Tapi firasatku mengatakan kau tidak seburuk dia.”
“Oh, kau hebat sekali, Go Nahyun. Aku memang pria buruk yang mengizinkanmu tinggal di rumahku. Aku pria buruk yang menjemputmu di kampus setiap hari, memastikan kau aman sampai di rumah. Aku pria buruk yang membawamu pergi dari flat agar tidak dikejar para pria itu lagi. Yeah, aku memang pria buruk.” Sehun berkata sebelum Tao sempat membuka mulut.
“Nahyun-a,” Tao buru – buru menengahi, “kurasa kita perlu bicara lain waktu. Ada banyak hal yang belum kau ketahui tentang Sehun dan kau… sedikit banyak salah mengenai dirinya. Telepon aku kalau ada waktu luang, okay? Aku pulang sekarang dan kalian istirahatlah.”
Sehun cepat – cepat bangkit. “Kuantar sampai halte.”
Tao menyambar jaket kulitnya di ruang tamu sembari mengibaskan tangan di udara. Namun Sehun sudah keluar lebih dulu dengan sedikit membanting pintu.
“Nahyun-a, jangan lupa telepon aku. Kita harus membicarakan ini secepatnya. Dia kekanakkan sekali kalau marah.”
~~~
Sehun menapaki lorong yang begitu panjang. Nyaris tidak terlihat ujungnya, atau sebuah pintu di sisi kanan dan kirinya. Hanya ada cahaya merah menyilaukan yang berjarak beberapa meter menuntunnya. Sepanjang lorong begitu gelap dengan penerangan berupa obor.
Tungkainya menembus cahaya merah yang berhenti pada satu titik. Di balik cahaya tersebut, Sehun terkesima beberapa saat—mengagumi sebuah kastil yang menyerupai kediaman bangsawan Eropa di abad pertengahan. Tidak pernah berubah setitik debu pun, juga tidak pernah berhenti membuatnya terpukau.
Kastil itu tidak dijaga ketat prajurit bersamurai panjang atau baju besi. Kenyataannya siapapun yang menginjak tempat itu memiliki misi khusus untuk dilaporkan atau dijalankan. Mereka tidak memerlukan pengawal atau apa pun karena semua yang datang kesana atas dasar sukarela maupun suka tidak suka. Pilihan mana pun akan membawa mereka kembali setelah bertemu dengan penguasa kastil.
“Lord Aegis.”
“Aku sudah menjalankan tugas,” ucap Sehun. Dia mengulurkan tangan yang terkepal lalu membukanya.
Pria berambut hitam legam di hadapannya membuka penutup benda yang diambil dari Sehun. Lapisan kulitnya aneh, tipis layaknya kertas namun kuat. Warna kulitnya sangat pucat dan transparan—yang dapat dipastikan tak ada aliran darah di sana—kontras dengan jubah hitam kelam yang dikenakannya.
Sebuah pemantik dengan api kemerahan berada dalam genggaman pria itu. Wajah seorang wanita terpantul disana, dengan mulut terbuka dan bisa dipastikan dia menjerit. Pria dengan rambut seputih salju tersebut menutup kembali pemantik Sehun kemudian mengembalikannya dengan senyum misterius.
“Seperti biasa, kau melakukannya dengan baik, Oliver.”
Sehun membungkuk sekali lagi sebelum meninggalkan ruangan. Terdapat tiga kursi di sana namun hanya ada satu yang selalu ditempati. Dua yang lain sering tidak ada di tempat—entah apa yang mereka kerjakan. Tapi mereka selalu hadir di saat – saat genting, seperti saat Aegis membutuhkan pertimbangan. Mereka layaknya penasihat presiden di negara republik.
“Oliver .”
Sehun berbalik. Aegis masih setia di singgasananya, duduk dengan angkuh karena kursi yang ditempatinya mengartikan kekuasaan tertinggi.
“Berhati – hatilah ketika mengeksekusi lain kali.” Bola mata merah sekental darah nan berselaput itu beradu dengan mata Sehun yang tidak berwarna serupa. Sama – sama merah namun di dalam mata Aegis terdapat kehausan akan sesuatu.
Bersamaan dengan kata – kata Aegis, bola mata Sehun berubah warna menjadi hitam. Sehun menunduk dalam. “Aku minta maaf.”
Dia mencermati Sehun sementara langkah Sehun semakin menjauhinya. Pandangannya mengawasi dengan dagu terangkat—menyiratkan sesuatu yang kelihatan tidak terlalu disukainya hingga punggung Sehun tak dijangkaunya lagi.