Prolog - Chapter 1 - Chapter 2 - Chapter 3 - Chapter 4 - Chapter 5 - Chapter 6A –
Chapter 6B – Chapter 7 – Chapter 8 – Chapter 9 – Chapter 10A –Chapter 10B
- Chapter 11 – Chapter 12
SOML
| Author: Shimmerlight |
Main Cast : Kim Soyun, Byun Baekhyun, Park Chanyeol
Other Cast : Oh Sehun, Kim Jongdae, Lee Minjung, Kang Hyura and EXO Members
Genre : Romance, School Life, Sad, Family
Length: Chapter
Rating : PG-15
Disclaimer : Jalan cerita murni dari hasil imajinasi kami. Apabila ada kesamaan nama tokoh ataupun alur, itu ketidaksengajaan semata.
.
© Shimmerlight 2015
.
***
“Jika kau merasa bahwa cinta Luhan masih lebih besar dari cintaku, kau boleh menjauh, kau boleh anggap aku tak ada.”
—
Baekhyun berlari sekencang mungkin menuju ke gudang belakang, tempat dimana api sedang bersantap siang dengan enaknya; termasuk menyantap Soyun yang ada di dalamnya. Sungguh, Baekhyun masih berharap kalau orang-orang itu salah melihat, kalau yang ada di dalam gudang itu bukan Kim Soyun.
Bukan Soyun-nya yang itu…
Pemuda itu terus berlari, tak peduli ada apa atau siapa di depannya, akan ia terjang.
Baekhyun sama sekali tidak peduli.
Tentu tidak, apalagi disaat sesuatu yang buruk tengah terjadi pada gadis itu.
Baekhyun memimpin di depan, sedangkan di belakangnya, Kim jongdae dan beberapa teman sekelas mereka ikut berlari.
Ketika mereka sampai di sana, selanjutnya semua bergulir bagai adegan lambat yang mengiris hati…
Baekhyun hanya mampu berdiri dalam diam. Ia merasakan tubuhnya melemas seketika melihat api yang membumbung tinggi itu.
Jantungnya seakan jatuh ke tanah. Tatapan matanya kosong, selayaknya lorong yang tidak memiliki pangkal ataupun ujung. Tidak teraih udara maupun isi.
Tak seorang pun yang bereaksi selain berteriak panik, terkejut, melihat seberapa besar api yang telah melahap bangunan tua itu–menyebabkan sebagian bangunannya menghitam.
Lehernya yang terasa kaku ia putar untuk melihat sekeliling. Sudah cukup banyak siswa yang berkumpul di sekeliling gudang, sibuk memadamkan api dengan peralatan seadanya. Beberapa dari mereka tengah sibuk dengan ponselnya, berusaha mencari bantuan dari manapun.
Namun tak seorang pun yang berani masuk ke dalam gudang.
“Apa Kim Soyun benar-benar di dalam?!” tanya pemuda itu akhirnya membuka suara, meski terdengar agak bergetar. Ia panik, sehingga tidak menyadari bahwa dirinya setengah berteriak pada salah seorang siswa yang berada paling dekat dari tempatnya berdiri.
Pemuda bertubuh mungil itu tersentak, sebelum kemudian menjawab dengan gugup. “I-itu…tadi aku melihat ia masuk ke dalam sana. Lalu—”
“B-Baekhyun...” suara rintihan Soyun diujung telepon kembali terngiang di telinga Baekhyun, membuat pemuda itu menatap gudang yang terbakar itu dengan tatapan yang sulit diartikan, dan…
“Kim Soyun, bertahanlah sebentar lagi…” gumam Baekhyun. Pemuda itu hendak berlari masuk ke dalam gudang, dengan segala kenekatan dan tanpa pikir panjang—demi menyelamatkan Soyun.
Namun…
Belum sempat Baekhyun melangkah masuk ke dalam gudang, pemuda Byun itu merasakan tangan seseorang menahannya, kemudian berteriak tepat di sampingnya, “BYUN BAEKHYUN! APA YANG MAU KAU LAKUKAN?!”
Baekhyun melirik seseorang itu dengan tajam, ia lantas menarik tangannya hingga cengkraman gadis itu terlepas. Ia lantas menyahut dengan kasar. “Bukan urusanmu, Kang Hyura.”
Ketika pemuda itu hendak berbalik dan melanjutkan langkahnya masuk ke dalam untuk menjalankan niatnya, lagi-lagi Hyura menggagalkannya. “Bodoh! Terlalu berbahaya untuk masuk! Kau tidak akan selamat!”
Baekhyun hendak membalas, namun terpaksa harus ia telan lagi ketika seseorang datang dan dengan sok akrabnya meletakkan tangan besarnya di pundak Baekhyun. “Ia benar. Aku tahu kau sedang panik. Apinya terlalu besar, dan itu berbahaya!”
“Lalu apa yang harus kulakukan? Diam dan hanya menonton seperti yang orang-orang bodoh ini lakukan sejak tadi, hah?!” Baekhyun menatap Chanyeol kesal. “Soyun di dalam sana, dan aku harus menyelamatkannya!”
“Tapi kau akan mati kalau kau masuk ke dalam sana!”
Sekali lagi, Baekhyun menyentak tangan pemuda itu dan menatapnya tajam. Ada kemarahan luar biasa yang terpancar dalam tatapan itu. “Dengar baik-baik! Aku lebih rela mempertaruhkan nyawaku di dalam sana untuk menyelamatkan Kim Soyun, daripada aku tetap diam di sini, membiarkan gadis itu mati terbakar, lalu akhirnya aku merasakan sakitnya kehilangan orang yang kucintai untuk ketiga kalinya.”
Setelah mengatakan itu, Baekhyun berlari semakin dekat ke arah bangunan yang nyaris seluruh bagiannya telah dijilat api merah itu. Meninggalkan Chanyeol dan Hyura yang sudah tidak sanggup berkata apa-apa.
Keduanya membisu.
Pemuda itu terus berlari, hingga akhirnya menembus pintu yang menjadi satu-satunya jalan masuk bangunan itu. Ia berlari ke dalam api.
“BAEKHYUN!” teriak Hyura histeris, begitu menyadari punggung Baekhyun telah lenyap dari pandangannya. Gadis itu melangkahkan kakinya maju, semakin mendekati gudang. “BYUN BAEKHYUN!”
Hyura melepas jasnya dan secepat yang ia bisa, mencari kran air terdekat untuk kemudian membasahi benda itu—ia siap mengejar Baekhyun. Namun belum sempat ia melangkahkan kakinya barang satu langkah pun, Chanyeol sudah lebih dulu menahannya. “Hei, kali ini apa yang akan kau lakukan?!” teriak Chanyeol di depan wajah Hyura sembari mencengkram pergelangan tangan gadis nekat itu.
“Aku tidak bisa membiarkan Baekhyun masuk ke sana sendirian, Park Chanyeol! Aku harus—”
“Kau harus apa? Ikut?” Chanyeol meletakkan kedua tangannya di pundak Hyura kemudian memutar tubuh gadis itu agar menghadap ke arahnya, lalu lanjut berbicara. “Kalau kau ikut masuk ke dalam sana, kau hanya akan mati lebih dulu daripada Baekhyun! Jadi berhentilah bertindak bodoh!”
“Sumpah, aku tidak peduli!” Hyura menyentak kedua tangan Chanyeol yang berada di kedua pundaknya, kemudian melanjutkan, “Mereka di dalam sana—maksudku, Baekhyun dan Soyun, mereka—”
Hyura tidak melanjutkan kata-katanya. Gadis Kang itu terdiam, ketika Chanyeol kembali mencengkram kedua pergelangan tangannya kuat-kuat, dan menatapnya dengan kilatan penuh amarah.
“Kau, diam di sini.” ujarnya dengan suara yang teramat rendah, tajam, dan mengancam. Membuat siapapun yang mendengarnya seolah terintimidasi.
Detik berikutnya, pemuda itu melepaskan cengkraman tangannya dari Hyura, begitu juga dengan jas seragamnya. Ia lalu menjatuhkan benda itu ke tanah. Tepat di atas sepatu mereka.
Pemuda itu lalu berbalik. Namun, sebelum masuk dan menyusul Baekhyun, ia menyempatkan diri menoleh pada Hyura untuk merampas jas gadis Kang yang sudah basah dengan air itu dan berkata, “Kalau kau berpikir aku masuk karena ingin dianggap sebagai seorang pahlawan, kau salah besar.” Dan tanpa mengatakan apapun lagi, ia berlari masuk ke dalam bangunan yang hampir seluruh bagiannya telah terbakar itu diikuti seorang siswa lain.
“PARK CHANYEOL!!”
—
“KIM SOYUN!! KIM SOYUN DI MANA KAU?!” teriak Baekhyun lantang. Asap kotor telah menyambutnya dengan tak ramah sejak ia masuk, dan kini, asap itu membuatnya terbatuk karena sesak.
Untuk mencegah masuknya asap, Baekhyun menggunakan tangan kirinya untuk menutupi mulut dan hidungnya, dan kembali melanjutkan langkahnya ke bagian dalam gudang. Matanya terus ia edarkan ke sekeliling, mencari keberadaan Soyun dengan teliti.
Rasa sakit di tangan dan kakinya yang terkena jilatan api tak lagi ia hiraukan. Ia hanya sempat merintih sejenak sebelum kemudian kembali berteriak, “KIM SOYUN APA KAU MENDENGARKU?! JAWAB AKU!”
“Baekhyun!” teriak suara bass yang baru beberapa menit lalu ia dengar. Baekhyun mengikuti arah suara itu dan mendapati si pemilik dan seorang siswa yang wajahnya kurang akrab dalam ingatan Baekhyun berlari tergesa ke arahnya.
Bagai cenayang, sebelum Baekhyun sempat menayakan apa tujuan mereka masuk kemari, Chanyeol sudah terlebih dulu berujar cepat. “Kami kesini untuk membantumu menyelamatkan gadis itu.”
Tanpa menunggu Baekhyun bersuara, Chanyeol kembali berujar. “Ayo, jangan buang-buang waktu! Asap-asap ini tidak akan membiarkannya bernapas lebih lama lagi!”
Ketiganya menyebar, agar lebih mudah mencari keberadaan Soyun.
Kayu-kayu di atap gudang satu persatu mulai berjatuhan dalam potongan-potongan kecil. Kim Myungsoo—si murid nekat—meneriakkan dari sisi timur gudang kalau waktu mereka tak banyak jika tidak ingin terjebak di dalam gudang.
Tapi tampaknya kedua rekannya tidak peduli. Yang menjadi fokus mereka adalah mencari Soyun.
Maju sedikit, Baekhyun menahan napasnya. Di sana, di dekat tumpukan matras-matras tidak terpakai yang dulu sering digunakan para siswa dan siswi klub senam, Baekhyun melihat sosok gadis yang terkulai lemah di lantai.
Itu pasti Soyun.
Tak ingin membuang waktu, Baekhyun langsung berlari mendekati gadis itu. Namun, karena terlalu bersemangat, Baekhyun tidak melihat kotak-kotak kaca berisi hewan mati yang direndam dalam larutan formalin, alkohol, dan asam asetat glacial itu sudah berada di ujung rak—siap jatuh kapan saja—dan tak sengaja menyenggolnya.
Kotak-kotak kaca itu jatuh ke lantai dan pecah, tepat di jalan yang menjadi jalurnya masuk kemari.
Api berkobar dengan liar, memblokir jalan.
Sial, Baekhyun terjebak.
“SIAPAPUN TOLONG AKU!! AKU MENEMUKAN KIM SOYUN!!” teriak Baekhyun dengan sisa tenaganya. “PARK CHANYEOL, KEMARI!! KIM SOYUN ADA DI SINI!!”
Selesai berteriak, Baekhyun merasakan dadanya semakin sesak, membuatnya semakin kesulitan bernapas.
Baekhyun jatuh terduduk, tepat di samping Soyun. Pemuda itu mengulurkan tangannya untuk meraih Soyun, dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
“Kim Soyun, ini aku, Baekhyun… Aku disini, a-ku disini…” lirih Baekhyun tepat di telinga Soyun. Tangan pemuda itu bergetar hebat. “Kau aman sekarang… Kau ada bersamaku…”
Perlahan, Baekhyun dapat merasakan dada Soyun yang naik turun, dan napas lemah gadis itu yang mengenai sisi wajahnya.
“B-baek…hyun…” lirih Soyun. Suaranya begitu lemah, membuat Baekhyun lemas mendengarnya—tapi juga senang karena gadis itu masih sadar, dan baik-baik saja. Ia masih hidup.
“Kita akan segera keluar dari sini. Kau tenang saja…” ujar Baekhyun. Pemuda itu membenamkan wajahnya di rambut Soyun dan mencium puncak kepala gadis itu lembut. “Aku berjanji…”
Dan tepat, detik berikutnya, Chanyeol dan Myungsoo datang. Keduanya langsung berusaha memadamkan api yang memblok jalan dengan kain-kain basah yang baru saja Myungsoo dapatkan dari para siswa di luar.
“BAEKHYUN!!” teriak Chanyeol. “Ayo, cepat bawa ia keluar sekarang!”
Baekhyun meletakkan tangannya di bawah lutut Soyun. Ia lalu mengangkat gadis Kim itu dengan sisa tenaga yang ia miliki. Mengabaikan rasa sakit di kakinya yang membuatnya sulit berdiri sekalipun.
Demi Kim Soyun.
—
Di luar, Hyura meremas kuat-kuat jas Chanyeol yang ada di tangannya. Sesekali gadis itu menggigiti kukunya sendiri.
Di sampingnya, Jongdae berdiri dengan sama gelisahnya. Pemuda Kim itu bolak-balik mengecek ponselnya, dan mengulang panggilan pada petugas pemadam kebakaran.
Pasalnya, ini sudah lebih dari tiga menit mereka di dalam sana, namun belum ada seorang pun yang keluar. Apakah mereka sudah menemukan Soyun? Apakah mereka bisa keluar dalam keadaan selamat? Apakah mereka baik-baik saja di dalam sana?
Ia panik. Tentu saja.
“Kenapa bantuan belum juga datang…” lirih gadis Kang itu, ia semakin gelisah.
Hyura mencoba mengedarkan pandangannya kesana kemari, melihat apakah ada siswa lain yang berniat mengikuti langkah Baekhyun, Chanyeol, dan seorang siswa ‘bodoh’—yang ia tidak tahu namanya—itu masuk ke dalam.
Namun hasilnya nihil, karena tak ada satu pun yang memiliki jiwa sepemberani–atau lebih cocok disebut nekat—itu. Yang ia lihat hanyalah kerumunan siswa dan siswi yang dari raut wajahnya tampak sama panik dengan dirinya. Dan juga, sama-sama tak bisa berbuat apa-apa, selain menunggu bantuan.
Hyura mengalihkan tatapannya ke arah lain, dan tepat saat itulah matanya bertemu dengan mata seorang gadis, yang menatapnya tenang; gadis dengan rambut hitam sebahu yang amat ia kenal.
Gadis itu, berdiri cukup jauh dari tempat para siswa berkerumun, di bawah pohon yang daun-daunnya telah hilang, digantikan oleh butiran-butiran putih salju yang menempel di tiap ujung ranting.
Dari tempatnya, samar-samar, Hyura dapat melihat gadis itu tertawa, sebelum kemudian beranjak pergi, menjauhi kerumunan.
Gadis itu, tentu saja Lee Minjung.
—
Hyura berlari menuju halaman parkir sekolah. Di tangannya, ia menggenggam erat sebuah kunci mobil sport merah yang selalu tampil paling mencolok seantero sekolah.
Ya, yang ada dalam genggamannya adalah kunci mobil milik Park Chanyeol yang ia ambil dari saku jas pemuda itu. Hyura tidak peduli sedikitpun apabila nanti pemuda sombong itu akan marah atau mematahkan lehernya—atau apalah itu. Terserah saja.
Yang terpenting baginya sekarang adalah; ia harus mengejar Lee Minjung.
Ia yakin, amat yakin, bahwa dalang dari kejadian ini—dan semua kejadian-kejadian aneh belakangan ini—adalah Lee Minjung. Gadis psikopat yang dulu pernah menjadi sahabatnya.
Dan Hyura percaya, dugaannya, tidak akan meleset.
Hyura langsung masuk ke mobil sport merah milik Chanyeol. Dan tanpa basa-basi lagi, ia lantas menyalakan mesin mobil dan menginjak pedal gas. Ia harus mengejar mobil Minjung yang sudah keluar dari area sekolah lebih dahulu.
—
Sehun mengirimkan pesan singkat ke sebelasnya hari ini, namun tak kunjung mendapat jawaban dari Fei.
Pasalnya, sudah hampir dua minggu ini gadis itu tidak datang ke kafe tempat Sehun bekerja, seperti yang selalu gadis itu lakukan dulu. Ia juga sudah tidak pernah membalas pesan-pesan singkat yang di kirimkan Sehun hampir setiap hari.
Dan setiap hari itu pula ia harus berusaha sekuat mungkin untuk tidak ambil pusing tentang gadis itu dan fokus pada pekerjaannya. Meskipun nyatanya itu tidak mudah.
Ia harus bekerja lebih keras demi mengumpulkan uang lebih banyak untuk biaya operasi Ibunya dua bulan lagi.
Baekhyun pernah mengenalkannya pada seorang dokter yang dapat menangani penyakit Ibunya dan siap membantu, tapi tetap, Sehun harus melengkapi administrasi terlebih dahulu karena itu prosedur dari rumah sakit.
Biaya yang tak sedikit itu mengharuskan Sehun bekerja lebih keras demi meraup bonus yang lebih besar. Dan karena itu, ia jadi kehilangan waktu berkomunikasinya dengan Fei, gadis yang beberapa bulan belakangan ini mampu membuatnya jatuh hati.
Sesekali, ia merasa seperti melihat sosok gadis itu di tempatnya yang biasa, namun tak sampai dua detik, Sehun kemudian sadar bahwa itu hanya bayangannya saja. Tidak nyata.
Dan ketika itulah Sehun sadar, bahwa ia merindukan gadis berdarah Kanada itu.
Tapi apa yang Sehun dapat hari ini? Tak satupun dari pesannya yang dijawab oleh Fei, dan itu membuatnya khawatir, sekaligus bingung.
“Ayolah, Fei, balas satu saja pesan dariku…”
Dan tepat setelah ia mengatakan itu, ponselnya bergetar, ada pesan masuk.
From: Fei
Apa ada sesuatu yang penting yang ingin mau bicarakan denganku, Oh Sehun?
Sehun tahu, bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja. Atau minimal, gadis itu sedang marah padanya.
Dengan penuh penyesalan, Sehun mengetikkan balasannya.
To: Fei
Kenapa kau tidak pernah membalas pesanku dua minggu belakangan? Apa kau marah padaku? Aku membuat kesalahan?
Tak sampai satu menit setelah Sehun mengirimkan balasannya, balasan dari Fei pun datang.
From: Fei
Katakan apapun yang ingin kau katakan sekarang. Aku sedang sibuk.
Sehun menarik napasnya. Kemudian dengan cepat mengetikkan sesuatu di layar ponselnya.
To: Fei
Sabtu depan aku libur. Kita harus bertemu di taman. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Ini penting.
Sehun langsung mengirimkan pesan singkat itu. Namun, karena ia merasa ragu pesannya akan dibalas oleh Fei, Sehun lantas menekan tombol hijau pada ponselnya.
Terdengar suara khas nada sambung.
Cukup lama, namun kemudian…
“Ha-halo, Fei?” sapa Sehun begitu panggilannya diangkat. Terdengar dua ketukan di ujung telepon yang ia ketahui sebagai ‘iya’, jadi ia pun melanjutkan, “Apapun itu, aku akan menunggu di taman, Sabtu depan. Aku akan menunggumu.”
—
Soyun sedang sibuk mencari bunga lavender yang mekar dengan cantik dipadang rumput, ketika secara tiba-tiba api membakar habis segalanya. Tak lupa, benda panas itu mencium kakinya dengan penuh mesra, membuatnya terjatuh di atas rumput yang terbakar.
Soyun meneriakkan sisa suaranya sekeras mungkin, berharap ada seseorang yang mendengar, dan bergegas menolongnya.
Tak ada seorangpun yang datang hingga ia mulai merasakan sesak yang teramat sangat di dadanya akibat asap kotor api yang membakar rumput, dan juga dirinya. Soyun berteriak sekali lagi, sebelum kemudian ia merasakan sekelilingnya berubah menjadi buram.
“To…loong…” dan sepersekian detik sebelum ia menutup matanya, Soyun melihat seseorang datang.
Tanpa tahu siapa orang itu, Soyun menutup matanya. Dan dunianya, gelap.
Dalam kegelapan, Soyun merasakan sesak dalam dadanya yang membuat ia kesulitan bernapas. Ia juga merasakan panas dan perih di sekujur tubuhnya.
Soyun ingin berteriak, tapi tak ada suara yang keluar. Ia terus berusaha, hingga ia merasakan sakit di lehernya.
Ia butuh udara, ia harus bernapas sekarang.
Soyun mengerahkan sisa usahanya, menggapai udara dan berteriak meminta pertolongan, hingga akhirnya, matanya terbuka lebar, dan…
“Hhh…hh..to-tolooong…” dadanya naik turun, berusaha mengumpulkan udara sebanyak yang ia bisa.
Samar-samar, Soyun melihat seseorang mendekat dengan tergesa, seseorang yang langsung menggenggam tangannya.
“Kim Soyun? Kau sudah sadar? Kau bisa mendengarku?”
Soyun hanya bergeming. Tidak mampu menjawab apapun. Detik-detik berikutnya ia habiskan untuk menstabilkan pernapasannya.
Setelah semuanya mulai terasa lebih ringan, ia lalu mengangguk lemah.
“Oh, syukurlah. Terima kasih, Tuhan.” Terdengar suara napas pemuda itu yang mendesah lega.
Ia adalah Kim Jongdae.
“Sebentar ya, aku akan memanggil dokter dulu.” Ujar Jongdae seraya bangkit dari duduknya. Namun gerakannya terhenti ketika mendengar suara gadis itu lagi.
“Mi…min-jung…” lirih Soyun seraya menoleh pada pemuda yang hendak beranjak itu. “A-aku…tidak menyangka…”
Jongdae, mengernyit begitu mendengar nama Minjung disebut.
“Maksudmu, Lee Minjung?” tanya Jongdae sembari berjalan mendekat ke arah Soyun. “Ada apa dengan Lee Minjung?”
Tepat saat itulah, keduanya mendengar derap langkah seseorang di luar. Yang kemudian, diikuti oleh sesosok pemuda bertubuh jangkung, berambut merah, dan mengenakan kemeja putih yang sudah kotor di sana sini karena abu.
“MO-MOBILKU HILANG!!!” teriaknya panik. “Barusan aku menelpon Joonhyung di sekolah dan katanya menurut para siswa tingkat satu…Hyura yang membawa kabur mobilku! Mereka bilang gadis tidak berotak itu memakai mobil mahalku untuk mengejar seseorang! Oh, bagaimana ini?! Mobilku…Kang Hyura…”
“Tenang, Park Chanyeol, mereka berdua—maksudku mobilmu dan Hyura—akan baik-baik saja. Hyura pengemudi yang baik, asal kau tahu. Hanya saja—”
“Mi-Minjung…Hyura pasti…mengejar Lee Minjung…” lirih Soyun sembari menatap kedua pemuda itu bergantian. “Kalian…kalian harus memastikan Hyura baik-baik saja…”
Soyun menarik napas panjang, sebelum berujar lagi. “Minjung…gadis itu…berbahaya…”
—
“Sial! Mau kemana dia?!” teriak Hyura frustasi di dalam mobil milik Chanyeol. Gadis Kang itu berusaha sekuat tenaga untuk mengejar Minjung. Karena kali ini, Hyura tidak akan membiarkannya lolos.
Hyura memang sempat meragukan feelingnya, yang mengatakan bahwa Minjung adalah pembunuh Luhan, dan dalang dari semua kejadian-kejadian aneh belakangan ini. Namun, melihat bukti-bukti yang ada dan cara Minjung bersikap, ia menjadi yakin, dan semakin yakin bahwa dugaannya tepat, seiring detik bergulir.
Minjung, adalah pembunuh Luhan. Dan sekarang, gadis gila itu berniat membunuh Kim Soyun juga.
“Dasar psikopat! Gadis gila!” maki Hyura seraya mempercepat laju mobil yang dikendarainya. Hyura sedang berusaha menyamakan posisinya dengan Minjung. Ketika nanti ia merasa saatnya tepat, ia akan membanting setir ke arah dimana Minjung dan mobilnya akan terhimpit, dan kemudian berhenti.
Yah, bukan rencana yang buruk.
Namun, pada kenyataannya agak sulit mewujudkan itu. Karena, semakin Hyura berusaha menyamakan posisinya dengan Minjung, semakin kencang pula gadis Lee itu melajukan mobilnya.
Sambil terus menginjak pedal gas, Hyura menyempatkan diri melirik ke arah palang jalan.
“Ke kanan, arah Seongam, menuju Gyeonggi-do…jalur enam puluh lima.” Hyura mengangguk sebelum kemudian berteriak lagi. “Hei, ini bukan jalur cepat! Kemana dia akan membawaku?! Apa dia—”
Hyura menyipitkan matanya, dan menyeringai kala matanya menangkap sebuah mobil polisi yang sedang berjaga di dekat pertigaan.
“Bukan jalur cepat, ya… Baik sekali, Lee Minjung… Aku jadi ingin bermain-main sebentar denganmu…”
—
“Arah Seongam, menuju Gyeonggi-do, jalur enam puluh lima.” ulang Chanyeol sekali lagi pada Jongdae yang sedang menyetir, lewat sambungan telepon. “Kau ingat apa yang baru saja kukatakan, kan? Di saat genting seperti ini, tolong jangan menjadi orang bodoh seperti biasanya.”
Kesal dikatai begitu, Jongdae menyempatkan diri mengumpat untuk Chanyeol, sebelum kembali fokus pada jalan dan menyahut, “Kau merendahkanku sekali, bajingan.”
Umpatan Jongdae itu membuat Chanyeol tergelak. “Hahaha, itu pujian? Baik sekali.” Chanyeol tertawa lagi. “Dan, by the way, bajingan ini ingin menanyakan sesuatu padamu.” Chanyeol meredakan tawanya, lalu memasang wajah serius—yang tentu saja tidak dapat dilihat oleh Jongdae—sebelum kemudian melanjutkan, “Aku penasaran, sebenarnya, masalah besar apa yang terjadi di antara orang-orang itu, dan…apa hubungannya dengan Lee Minjung?”
Jongdae yang biasanya banyak bicara seketika terdiam, tampak sekali bahwa pemuda ia terkejut dengan pertanyaan yang baru saja Chanyeol ajukan. Benaknya kini mulai menimbang-nimbang, apakah ia harus menceritakan semuanya pada Chanyeol sekarang, atau tidak.
Ya, si rambut merah itu memang masih anak baru dalam pertemanan mereka, dan ia sekarang bagian dari mereka juga—meskipun secara tak resmi. Tapi…
Oh, baik, Jongdae menyerah. Terbuka pada Chanyeol mungkin tidak ada salahnya.
Tapi…tidak, jangan sekarang, mungkin nanti.
Pemuda Kim itu tersenyum tipis. Senyum, yang tentu saja tidak dapat dilihat oleh Chanyeol dari ujung telepon sana. “Lain kali, akan kuceritakan padamu semuanya, secara lengkap.”
Chanyeol berdecak kesal. “Cerita sekarang, atau aku akan mencari mobil dan menyusulmu? Hei, aku berhak tau apa yang sebenarnya terjadi. Dan lagi, seharusnya aku tidak menuruti perintahmu untuk duduk diam disini. Aku berhak ikut, karena yang dibawa oleh gadis sialan itu adalah mobilku! Mobil kerenku yang mahal!”
“Kau pikir aku peduli dengan mobilmu?” tanya Jongdae dengan nada kesal. Heran, karena si rambut merah itu masih saja meributkan soal mobil—mahal—nya itu. “Bukankah yang terpenting itu membawa Hyura pulang dengan selamat?”
“Iya, tapi bagaimana dengan mobilku—”
“Bla-bla-bla. Kututup, ya? Dah.”
Klik. Jongdae memutus sambungannya dan langsung melempar ponsel miliknya itu ke kursi penumpang di sampingnya.
“Akan panjang urusannya kalau aku membiarkan si rambut merah itu bertanya lebih jauh.” Jongdae menghela napasnya berat. “Lagipula, siapa yang peduli dengan mobilnya? Yang terpenting sekarang, aku bisa membawa pulang Hyura dengan selamat…”
Pemuda itu tersenyum tipis. “…dan kalau bisa, aku juga akan membawa pulang Minjung…”
—
Hyura melirik kaca spion mobilnya, dan tersenyum puas melihat dua mobil polisi kini sibuk mengikutinya dan Minjung dari belakang.
Tadi, ketika ia hendak melewati mobil polisi yang sedang berjaga itu, Hyura sengaja membunyikan klakson panjang, dan membuat kegaduhan, sembari melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, di atas rata-rata yang seharusnya diterapkan di jalan itu. Tentu saja, semua itu ia lakukan untuk menarik perhatian para polisi jaga itu.
Dan, ya, rencananya sukses.
Mobil keduanya kini memasuki area jalan berbatu di ujung kiri jalur enam puluh lima. Minjung yang mengarahkannya ke sana, entah apa rencananya.
“Oke, Lee Minjung, aku sudah mulai muak denganmu.” dan tanpa banyak berpikir, Hyura menginjak penuh pedal gasnya, berusaha menyalip mobil Minjung. Saat itu mobil keduanya sampai di dekat sebuah lahan kosong di ujung jalan berbatu itu. Hyura tahu, pasti saat ini Minjung sudah mulai lelah dan berniat mengajak Hyura untuk bertemu satu lawan satu. Ya, pasti benar, karena ia hapal kebiasaan Minjung yang tidak begitu suka berkendara jauh.
Jadi, begitu Hyura sukses menyalip mobil Minjung, gadis Kang itu langsung membanting setirnya ke kiri, membuat Minjung terpaksa melakukan hal yang sama jika tidak ingin mobilnya dan Hyura bertabrakan, lalu mereka berdua mati sia-sia.
Karena, bukan kematian Hyura yang Minjung inginkan, tetapi kematian Soyun. Kim Soyun.
Keduanya kini berputar-putar beberapa kali hingga menyebabkan debu-debu cokelat berterbangan akibat gesekan antara ban mobil mereka dengan tanah. Minjung berusaha menghindar dari desakan mobil Hyura, sedangkan Hyura justru semakin gigih mengejarnya.
Aksi kejar-kejaran itu terus berlanjut sampai akhirnya Hyura memutuskan untuk berhenti. Hanya sepersekian detik sebelum ia membelokkan arah mobilnya untuk mengejar Minjung, dan berniat menabrakkan mobil yang ia kendarai ke arah mobil Minjung hingga gadis itu dan mobilnya tersudutkan ke jurang.
Ide spontan yang cukup brilian.
Ketika merasaan dirinya melaju sendirian, Minjung melirik ke arah spion mobil, dan menahan napasnya ketika matanya menangkap Hyura yang kini tengah melajukan mobil ke arahnya. Lurus, siap menabrak. “Oh, sial.”
Minjung langsung tancap gas, dan aksi kejar-kejaran yang diiringi dengan belokan-belokan tajam pun kembali terjadi. Persaingannya jadi semakin sengit sekarang.
Dan, yah, keduanya baru berhenti berkejaran ketika mobil Minjung berada sangat dekat dengan jurang. Nyaris terjatuh jika keduanya tidak cepat menginjak rem.
Minjung mengklakson panjang sebelum kemudian menghentikan laju mobilnya. Hyura, dibelakangnya, melakukan hal yang sama. Seolah mereka sedang sibuk memaki, menyumpah serapah dengan bunyi-bunyian keras yang memekakkan telinga.
Begitu mobil keduanya berhenti, tanpa membuang waktu, keduanya lantas turun dari mobil; siap berhadapan satu sama lain.
“Menyerah, hah?!” teriak Hyura dengan nada penuh kemenangan. “Larilah ke pengadilan, lalu mengakulah di hadapan hakim, Lee Minjung. Mereka tentu akan mengerti dan memilihkan tempat yang cocok untukmu di salah satu bangsal rumah sakit jiwa!”
Dari tempatnya, Minjung menyeringai licik. “Oh ya?” teriak Minjung balik dengan nada menantang. “Kurasa tidak, belum saatnya!”
Minjung mengeluarkan sebuah benda kecil dari saku seragam sekolahnya, lalu memainkan benda itu di tangannya sembari mendekat pada Hyura, kemudian berujar, “Aku masih punya urusan yang belum kuselesaikan. Dan sebelum urusanku itu tuntas, aku tidak akan berhenti.”
“Kau gila! Tidak waras! Apa sih yang sebenarnya ada di—akkh!!”
Dalam gerakan cepat Minjung merapat pada Hyura. Gadis Kang itu berhenti berbicara ketika ia merasakan benda dingin dan tajam menyentuh permukaan kulit lehernya.
Dingin, tajam…
Pisau itu tepat di lehernya.
“Ja…jauhkan benda laknat ini dariku, Lee Minjung! Kau gila! Kau mau membunuhku?!” Hyura berteriak sekuat yang ia bisa, berusaha menantang—meskipun pada kenyataannya nyalinya mulai terkikis sedikit demi sedikit. “Setelah membunuh Luhan, melakukan percobaan pembunuhan pada Soyun, dan sekarang kau mau membunuhku?! Kau benar-benar tidak waras! Tidak punya otak! Kau—”
“Berhenti bicara, atau kau mau mati terpotong oleh benda tajam di lehermu ini?”
Ya, Minjung benar, sekali lagi ia berteriak atau melakukan sesuatu yang melawan Minjung, gadis gila itu bisa saja melukainya. Ya, bukannya tidak mungkin, kan? Toh Hyura sadar, bahwa posisinya sangat tidak aman sekarang. Tapi jika ingin menghindar, ia juga tidak tahu kemana.
Ia tidak bisa melawan, mengindar, apalagi bersembunyi. Dan memang, ia sudah bertekad akan menyelesaikan semuanya sekarang.
Tidak boleh ada yang menghindar lagi.
“Aku sudah tidak paham denganmu, Lee Minjung! Bisa-bisanya kau membunuh Luhan, orang yang kau cintai setengah mati…” Hyura mengatur napasnya, berusaha bersikap setenang mungkin. “Untuk apa? Bukankah dengan begitu kau akan kehilangan Luhan, hah?”
“Aku…”
“Apa kau begitu karena kau iri pada Kim Soyun yang dengan mudahnya Luhan jadikan sebagai kekasihnya? Karena kau cemburu? Tapi bukankah—”
“Diam! Kau sungguh banyak bicara!” Minjung menggerakkan pisaunya untuk menggores tipis kulit leher Hyura, perlahan.
“AKH!”
“Sstt, ini balasan untuk gadis menyebalkan yang ingin mencampuri lebih dalam urusan orang lain.” Melihat darah segar yang perlahan mengalir keluar dari kulit leher Hyura membuat Minjung tersenyum penuh lebar. “Masih belum cukup kah kau mencuri ciuman pertama Luhan dulu, hm?”
Hyura merasakan perih yang teramat sangat di lehernya. Sangat sakit, hingga Hyura merasa tak sanggup berkata-kata lagi.
Tak mendengar sepatah kata pun balasan dari Hyura, Minjung melirik gadis Kang itu hina. “Kau lupa?” gadis Lee itu lalu tertawa. “Emm, tapi tak apa kalau kau lupa, dan kau memang merasa belum cukup…”
Minjung tersenyum kecil, sembari menyayat-nyayat halus permukaan kulit di sekitar luka yang ia buat. “Tenang saja, aku akan melakukan hal yang sama jika memang begitu.” Minjung menggeleng. “Dendamku pada Soyun belum terbalaskan, aku gagal membunuh gadis itu, dan well, aku masih merasa belum cukup melukai Kim Soyun.”
“Kalau kau berani mencelakainya—”
Minjung melirik Hyura tajam. “Oh bodohnya, kau kini bertindak menjadi pahlawan kesiangan baginya, ya?”
“AKKHH!” teriak Hyura nyaring di telinga Minjung, sekali lagi, ketika Hyura merasakan benda tajam itu menggores lehernya secara perlahan. Sekali, lagi…
“Ketidakpuasanku terhadap nasib percintaanku, dan kehidupanku…akan kulimpahkan padamu, Kang Hyura. Kau, yang merusak semuanya!”
Minjung mengangkat pisaunya tinggi, mengarahkannya lurus pada Hyura. Siap ditikamkan kapan saja.
“Selamat bertemu di neraka, Kang Hyura.”
Minjung mengayunkan tangannya, mengarahkan pisaunya yang tajam ke perut Hyura. Namun untungnya, sebelum benda dingin nan tajam itu sukses menikam perutnya, bunyi ledakan pistol terdengar, diiringi oleh ambruknya Minjung ke tanah, yang membuat Hyura sontak berteriak kaget.
Hyura berteriak tak karuan, gadis itu syok, dengan semua yang terjadi langsung di depan matanya. Teriakannya yang histeris baru mereda ketika ia merasakan seseorang menariknya menjauh, dan memeluknya.
“Ssshhh, shh, tenang Kang Hyura, tenang… Kau aman, tenang…”
Seseorang itu, Kim Jongdae.
“Tenang, Kang Hyura. Aku di sini, polisi sudah tiba,” Jongdae melirik luka tembak di kaki Minjung—yang terbaring tak jauh darinya sembari mengerang kesakitan—dengan iba. Jongdae menatap gadis yang berkali-kali diteriaki gila oleh Hyura itu, terus, hingga tatapan keduanya bertemu. Jongdae buru-buru mengalihkan wajahnya ke lain arah, lalu kembali berusaha menenangkan Hyura yang tubuhnya masih bergetar hebat.
“Tidak apa-apa, kau aman. Ayo, kita pulang—”
“Kang Hyura…” panggil Minjung lemah, yang sontak membuat Hyura dan Jongdae mengalihkan pandangan mereka pada Minjung yang kini tengah dikerubungi beberapa polisi dan orang-orang berpakaian putih untuk diberi pertolongan darurat, lalu dibawa entah ke mana.
“Kalau kau pikir aku gila, tunggu, sampai kau merasakan sendiri…bahwa merelakan…tidak semudah yang kau pikirkan…”
—
Baekhyun baru saja mengakhiri percakapnnya dengan Jongdae lewat telepon. Pemuda itu lalu memasukkan kembali ponselnya ke saku celananya, lalu mengintip ke dalam lagi, lewat celah kaca yang ada di pintu.
Sudah lebih dari lima menit Baekhyun berdiri di sana—di depan ruangan tempat Soyun beristirahat—dalam diam. Tangannya ia letakkan di gagang pintu. Hanya meletakkan, belum berniat menggerakkan besi dingin itu, untuk kemudian membiarkan pintu kayu besar setebal lima sentimeter yang menjadi pembatas antara dirinya dengan Soyun itu terbuka.
Ia masih ingin disana, dan mengawasi Soyun dari kejauhan.
Dari apa yang ia lihat, gadis itu tampak tenang, dan tentu saja hal itu membuat Baekhyun merasa lega. “Syukurlah, dia baik-baik saja.”
Baekhyun mengamati sekali lagi, memastikan bahwa gadis Kim itu benar-benar lelap dalam tidurnya, jadi ia bisa masuk ke sana diam-diam untuk mengamati Soyun dari dekat. Tanpa perlu gadis itu ketahui.
Yakin Soyun tertidur pulas, Baekhyun menggerakkan tangannya sehalus mungkin untuk membuka pintu, lalu memberanikan diri masuk ke dalam ruangan seluas dua puluh lima meter persegi itu—sebisa mungkin tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
Setelah menutup pintu di belakangnya sepelan yang ia bisa, Baekhyun langsung berbalik.
Pemuda Byun itu sedikit terlonjak kebelakang dan terdiam. Ia terkejut, karena ternyata Soyun tidak tidur, dan kini tengah menatap ke arahnya.
Keheningan lantas menyelimuti keduanya. Cukup lama, mereka hanya saling memandang dalam diam, membisu, tanpa seorang pun ingin membuka suara dan memulai percakapan.
Sampai akhirnya Baekhyun memanglingkan wajahnya, yang otomatis memutus kontak mata mereka.
“Kupikir Jongdae menemanimu,” ujarnya singkat, berbohong. Jelas-jelas ia tahu bahwa Jongdae meninggalkan Soyun sendirian, dan Jongdae lah yang meminta Baekhyun menemani gadis Kim itu.
“Ya, tadinya,” jawab Soyun. “Baru beberapa menit lalu ia pergi. Mungkin—kurang lebih sepuluh menit sebelum kau datang.”
Baekhyun mengangguk. “Lalu, dimana ia sekarang? Kenapa ia meninggalkanmu sendirian?”
Pertanyaan-pertanyaan itu hanyalah basa-basi belaka. Kemana Jongdae pergi, dan alasan sahabatnya itu pergi, Baekhyun sebenarnya sudah tahu. Tapi Baekhyun tetap berpura-pura, sementara ia mencari bahan pembicaraan yang lain.
Jadi ketika Soyun menjawab, “Aku memintanya untuk memastikan bahwa Hyura baik-baik saja.” Baekhyun hanya menganggukkan kepala dan ber-‘oohh,’ ria.
“Syukurlah kau sudah sadar,” ujar pemuda Byun itu kemudian, seraya tersenyum tipis. “Oh, iya, tadi dokter bilang padaku bahwa kau tidak mengalami luka yang serius, jadi kau bisa pulang hari ini.”
Soyun hendak mengatakan sesuatu, namun Baekhyun membuat Soyun menahan kata-katanya dengan sebuah senyum—yang entah maknanya apa—lantas berujar,
“Aku pergi dulu.”
Dan tanpa menunggu jawaban Soyun, pemuda itu pun membalikkan tubuhnya. Tangannya terulur menggenggam gagang pintu. Namun, sebelum ia sempat menggerakkan tangannya dan membiarkan pintunya terbuka, terdengar Soyun memanggilnya dari belakang.
“Baekhyun…” panggil Soyun lemah. “Hanya itu yang mau kau…katakan?”
Soyun memutar kembali semua kejadian yang terjadi belakangan secara cepat di dalam kepalanya. Semua rasa sakit, dan pengkhianatan. Semua rasa kehilangan, dan juga sepi…
“Setelah…semua ini…hanya itu, Byun Baekhyun?”
Baekhyun terdiam. Sama seperti Soyun, ia sedang memutar kembali seluruh kejadian yang melukai hatinya, hal-hal manis antara Luhan dengan Soyun, perasaan cinta antara dua orang terkasihnya yang sayangnya tidak bisa ia cegah.
Rasa kehilangan yang amat dalam atas meninggalnya Luhan, bercampur dengan rasa lega yang terlarang karena ia merasa peluang dirinya dan Soyun bisa bersatu masih terbuka lebar.
Semua itu membuatnya kalut.
Berulang kali ia berpikir, apakah pantas ia merasa lega seperti ini, di saat Soyun menangis karena kehilangan Luhan—dan bukan dirinya? Tidak kah seharusnya ia merasa sedih?
Berbagai pikiran menyerbu kepala Baekhyun, membuatnya terdiam cukup lama di pintu. Sampai kemudian ia berkata, “Tidak.” ujarnya tegas, setelah dua menit membisu. “Terlalu banyak yang ingin kukatakan padamu. Sampai aku tidak tahu harus memulai dari mana.”
—
“APA?! SOYUN HAMPIR MATI KARENA KEBAKARAN?” teriak Sehun pada seseorang di ujung telepon. Sehun yang tadinya sedang mengistirahatkan kakinya setelah bekerja sejak jam tujuh pagi tadi hingga sore ini tanpa henti sontak berdiri. “Ba…bagaimana bisa?”
“Ceritanya panjang sekali, Oh Sehun.” jawab Jongdae di ujung sana. “Tapi tenang saja, kau tidak perlu khawatir. Ia baik-baik saja, Baekhyun datang tepat pada waktunya.”
“Byun Baekhyun? Bagaimana—tunggu, kau harus menceritakan padaku sekarang.” ujar Sehun lagi, memaksa. “Jangan membuatku penasaran!”
Diujung lain, Jongdae menggeleng, dengan mata yang masih fokus memperhatikan jalanan di depannya. “Nanti saja. Aku baru saja keluar dari rumah sakit sekarang, dan sedang dalam perjalanan menuju sekolah untuk mengambil barang-barang Soyun dan Baekhyun yang tertinggal.”
Jongdae menginjak pedal rem ketika lampu lalu lintas berubah merah. “Kau bisa tanyakan pada Soyun begitu ia kembali dari rumah sakit nanti.”
“Di mana rumah sakitnya? Aku akan ke sana sekarang—”
“Tidak perlu. Baekhyun bersamanya sekarang.” jawab Jongdae cepat, memotog perkataan Sehun. “Aku rasa mereka perlu waktu untuk benar-benar berbicara berdua.”
—
Memang benar, banyak yang ingin Baekhyun bicarakan dengan Soyun, tapi di samping semua itu, ada beberapa hal penting yang amat ingin ia tanyakan pada Soyun, sejak lama.
Ia ingin memastikan pada Soyun, apakah perasaan yang ia pendam selama ini berbalas, atau tidak? Terihat terburu-buru memang, tapi Baekhyun tidak ingin kehilangan kesempatan lagi. Ia tidak ingin seseorang mendahuluinya lagi. Tidak, cukup.
Baekhyun butuh kepastian.
Tapi melihat luka di beberapa bagian tubuh Soyun membuat Baekhyun merasa lemah, dan tiba-tiba saja mengurungkan niatnya. “Mungkin sekarang bukan saat yang tepat untuk kita bicara, Kim Soyun,” ujarnya lembut. “Kita bisa bicarakan ini lain kali. Aku juga belum siap, dan aku yakin, kau pun begitu.”
“Memangnya apa yang ingin kau bicarakan? Dan memangnya ada lain kali?”
Baekhyun mengedarkan pandangannya ke sekeliling, memandangi dinding serta perabotannya yang serba putih. Dingin. Suci, namun terkesan kejam, membuat nyali Baekhyun perlahan menciut ketika membayangkan bahwa ruangan serba putih inilah yang akan menjadi saksinya berbicara.
Tapi…mungkin Soyun benar, mungkin memang tidak ada lain kali. Baekhyun, Soyun, dan semua yang hidup di bumi ini tidak tahu, apa mereka masih hidup sepuluh menit ke depan, apakah masih ada lain kali.
Jadi, “Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Baekhyun tiba-tiba.
Sebelum menjawab, Soyun menatap Baekhyun selama beberapa detik, kemudian mengangguk, “Baik, tapi kau tahu, yah, tidak sebaik itu.”
“Oohh,” sahut Baekhyun seraya mengangguk. “Lalu, bagaimana dengan hatimu? Apakah sudah jauh lebih baik, sekarang?”
Soyun mengerutkan keningnya. “Maksud…mu?”
“Kau tahu maksudku.” sahut Baekhyun cepat. “Kau tentu merasakan kehilangan yang teramat sangat atas kematian Luhan. Ya, aku juga. Tapi, itu sudah lama, Kim Soyun. Kenapa sepertinya kau masih hanyut dalam duka?”
Soyun mengalihkan pandangannya, menatap ke sudut lain ruangan. Mulutnya ia bungkam, tak ingin berkomentar apa-apa.
“Kau masih mencintai Luhan, kan?”
Soyun masih bungkam. Wajahnya menunduk, dan matanya terpejam. Ia tak berani menatap Baekhyun, tidak, apalagi di matanya.
“Tanpa perlu kau jawab, aku sudah tahu jawabannya, Kim Soyun. Tapi…” Baekhyun berhenti sejenak. “Tidakkah kau berniat membuka hatimu untuk orang lain juga?”
Baekhyun mengulurkan tangannya untuk menyentuh tangan Soyun, namun ia segera megurungkan niatnya. Menarik kembali tangannya. “Kau tentu tahu perasaanku.”
Soyun memperhatikan pergerakan tangan Baekhyun. Bagaimana pemuda itu mengulurkan tangannya, namun ditariknya kembali. “Beri aku waktu untuk membuktikan perasaanku padamu, atau katakan ‘tidak’ saat ini juga.”
“Kau tidak pernah tahu seberapa besar aku mencintaimu. Kau tidak tahu, Kim Soyun. Karena kau tidak pernah memberiku kesempatan untuk menunjukannya.”
Soyun semakin bungkam. Terus diam, seakan membisu. Dan perlahan, ia mulai merasakan matanya memanas, serta pandangannya yang mulai buram.
“Kau, gadis pertama yang benar-benar berhasil membawa hatiku sejauh ini.” Baekhyun tersenyum, kecut. “Tapi aku bukanlah pemuda pertama yang kau sambut perasaannya, kau mengacuhkanku, dan lebih memilih membuka mata dan hatimu pada Luhan.”
“Baekhyun…”
“Pernahkah kau menatapku? Mengakui kehadiranku?” Baekhyun menatap gadis itu tepat di matanya.
Tidak, ia tidak bisa menatap Baekhyun. Ia tidak sanggup membalas tatapan pemuda itu.
Soyun berusaha sekuat yang ia bisa, menahan air yang menggenang di pelupuk matanya agar tidak jatuh membentuk aliran kecil di pipinya yang pucat. Ia tidak ingin terlihat begitu lemah saat ini.
Baekhyun mengulurkan tangannya untuk mengangkat wajah Soyun, meminta gadis itu menatap ke arahnya, kemudian berujar lembut. “Yang pasti, aku ingin kau tahu bahwa aku akan selalu ada untukmu. Aku tidak akan pernah membiarkan hal buruk terjadi padamu lagi.”
Tanpa diduga, Soyun menyelipkan tangannya di antara kedua lengan Baekhyun, untuk kemudian menarik tubuh pemuda itu semakin dekat, hingga tak ada lagi jarak di antara mereka. Ia melingkarkan lengannya di tubuh pemuda itu.
Soyun memeluknya.
Seketika tubuh Baekhyun membeku. Apa ini? Soyun memeluknya?
Apa ini mimpi? Kenapa Soyun memeluknya? Apa ia—
“Terima kasih, Byun Baekhyun. Terima kasih banyak.” Lirih gadis itu, suaranya bergetar. Ia lalu menenggelamkan wajahnya di pundak pemuda Byun itu. “Kalau tidak ada kau…mungkin aku…aku sudah mati.”
Baekhyun masih tidak berani bergerak. Ia belum berani membalas pelukan Soyun yang tiba-tiba.
“Maafkan aku, Baekhyun. Aku selalu membuatmu berada dalam masalah. Aku membuatmu hampir celaka. Sungguh, maafkan aku.” air matanya yang sejak tadi ia bendung, kini ia tumpahkan di pundak Baekhyun yang hangat. Soyun menangis, keras.
Mendengar suara tangisan Soyun yang semakin lama semakin menjadi membuat Baekhyun tersentuh. Sungguh, ia tak tega.
Pada akhirnya, Baekhyun memberanikan diri untuk membalas pelukan gadis Kim itu. Ia melingkarkan lengannya di pinggang sang gadis. Balas memeluknya erat. “Apa yang kau bicarakan? Aku baik-baik saja.”
Tangan Baekhyun bergerak naik, dan membelai rambut Soyun lembut. “Ya, aku akan baik-baik saja, selama kau juga baik-baik saja.”
Baekhyun merasakan gadis itu menggeleng dalam pelukannya. “To-tolong jangan bertindak bodoh seperti tadi lagi. Aku…aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu.”
Kali ini, Baekhyun yang menggeleng. “Kalau aku tidak melakukannya, membernaikan diri untuk masuk dan menyelamatkanmu, mungkin aku sudah kehilanganmu, Kim Soyun.” Baekhyun sedikit menarik diri dan menatap wajah gadis Kim itu, yang kini basah akan air mata. “Dan sungguh, aku tidak mau itu.”
“Tapi aku tidak ingin kau—”
Seakan tak mau mendengarkan jawaban gadis itu—tanpa pikir panjang, Baekhyun mendekatkan wajahnya perlahan dan mulai memejamkan kedua matanya. Detik berikutnya, ia telah berhasil mendaratkan bibirnya di bibir Soyun dengan sempurna; mengecup ringan bibir gadis Kim itu.
Dalam tautan bibir mereka, Baekhyun berusaha menyampaikan perasaannya.
Soyun yang pada awalnya tak membalas ciuman Baekhyun, namun pemuda itu tidak menyerah. Ia sedang berjuang, namun sungguh, ia tidak memaksa. Ia membiarkan Soyun memilih sendiri jawabannya.
Setelah lama mematung, tanpa Baekhyun duga, ia mulai merasakan bibir Soyun mengecup bibirnya. Membalas ciumannya.
Membuat Baekhyun ingin berteriak sekencang yang ia bisa. Mengatakan kepada seluruh dunia, bahwa kini ia bahagia. Sangat bahagia. Dengan Kim Soyun bersamanya, dalam pelukannya.
Pemuda Byun itu mengeratkan rengkuhan tangannya di pinggang Soyun, menarik gadis itu semakin dekat padanya, seakan ingin menghapus jarak sekecil apapun. Meskipun pada kenyataannya, sudah tidak ada sekat yang membatasi keduanya sama sekali.
Baru saja Baekhyun menikmati suasana yang mereka ciptakan, tiba-tiba Soyun menarik dirinya, melepaskan tautan bibir mereka. Kembali merajut darah di antara keduanya.
Gadis itu lalu menatap kedua mata Baekhyun.
“Kau tahu bahwa aku masih belum bisa melupakan Luhan seutuhnya—”
“Aku ingin kau menatapku, Kim Soyun.” Baekhyun memotong ucapan Soyun begitu saja. Ia tidak mau mendengar apa yang akan dikatakan gadis itu selanjutnya. Pemuda itu lalu menyunggingkan seulas senyum yang Soyun tahu apa maksudnya—senyum yang menggambarkan sebuah rasa sakit yang begitu besar.
“Tapi, jika kau merasa bahwa cinta Luhan masih lebih besar dari cintaku, kau boleh menjauh, kau boleh anggap aku tak ada.”
Lalu tanpa menunggu kata-kata dari Soyun, pemuda itu berbalik dan pergi, meninggalkan Soyun sendirian di dalam ruangan yang luas itu.
—
Suasana di hampir setiap koridor rumah sakit memang menyeramkan. Gelap, suram, tak peduli itu pagi atau malam. Terlebih, jika kau berjalan menyusuri ruang sempit itu tanpa siapapun di sampingmu.
Seperti yang Hyura lakukan saat ini; berjalan sendirian menembus sepinya koridor rumah sakit tempat ia diberikan penanganan darurat atas luka di lehernya, begitu pula dengan Soyun dan luka bakarnya. Langkahnya besar-besar dan cepat.
Kepalanya ia tolehkan ke kanan dan ke kiri, mencari-cari nomor kamar pasien dengan nama Kim Soyun di pintunya. Bodohnya, ia tidak sempat bertanya pada resepsionis atau pun perawat yang berjaga tentang Kim Soyun karena ia terburu-buru. Ia ingin tahu keadaan Soyun sekarang. Dan juga, ia ingin mencari Kim Jongdae yang meninggalkannya satu jam yang lalu.
Ia ingin berterima kasih.
Tadi, saat dokter sedang mengobati lehernya, Jongdae memberikan isyarat agar ia segera mengecek ponselnya begitu ia selesai. Ternyata, Jongdae mengatakan bahwa ia ingin menjaga Soyun karena gadis Kim itu sendirian tanpa pengamanan.
‘Kalau Soyun sendirian, lalu di mana Baekhyun?’
Ya, saat itulah Hyura baru ingat bahwa ia tidak mendengar sama sekali kabar tentang Baekhyun. Apa pemuda itu baik-baik saja?
Saat sedang sibuk memikirkan Baekhyun, tiba-tiba Hyura merasakan getaran ponselnya di dalam saku rok seragamnya.
Drrrtt drrrt.
Gadis itu buru-buru menekan tombol hijau tanpa membaca nama si penelepon.
“Ha-halo?” sapa Hyura begitu ia menempelkan benda kesayangannya itu ke telinga. ‘Baekhyun kah?’
Namun, wajah yang tadinya semangat itu luntur seketika begitu mendengar suara berat seseorang—yang menyebalkan—di ujung telepon.
Park Chanyeol.
“Kau dimana sekarang?”
Hyura mendengus, sebelum kemudian menjawab asal, “Lantai dua, mencari ruangan Soyun.”
“Dari tangga, lurus saja. Ruangan ketiga sebelum koridor timur, nomor 278.” jelas Chanyeol di telepon. “Aku akan menyusulmu,”
“Eh, jangan, kau—”
Tut tut tut
“—sial, aku tidak ingin bertemu si jelek itu.”
Gadis Kang itu menghela napasnya berat. Well, ia belum ingin bertemu Chanyeol sekarang. Ada beberapa alasan yang tidak bisa ia jelaskan. Tapi intinya, ia belum bisa.
Ia tidak mau.
Satu-satunya cara agar ia tidak bertemu dengan pemuda berambut merah menyebalkan itu adalah: menemukan Soyun dan Jongdae secepat mungkin, lalu segera pergi sebelum si rambut merah itu datang.
Hyura mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ah, ia berada di arah yang berlawanan dengan yang dimaksud Chanyeol. Buru-buru ia berbalik dan menuju ke ruangan yang dimaksud oleh Chanyeol tadi.
‘Ruangan ketiga, sebelum koridor timur…’
Dan, senyum lega terukir di wajahnya yang cantik kala ia menemukan nama Kim Soyun di salah satu pintu di deretan kiri. “Akhirnya…”
Hyura menggenggam gagang pintunya terlebih dulu, berusaha mengatur kata-kata, sebelum kemudian membuka pintu kayu itu dan masuk.
Namun tertahan, begitu matanya menangkap sesuatu lewat celah kaca di pintu yang sontak membuatnya berhenti, terpaku di tempatnya.
Sesuatu yang membuat gadis Kang itu langsung merasa sesak karenanya.
Apa yang Hyura lihat, di dalam sana, adalah pemandangan Byun Baekhyun yang mendekatkan dirinya secara perlahan pada Soyun, dan kemudian mencium bibir gadis itu.
Ya, Baekhyun, mencium Soyun…di depan matanya.
Seketika Hyura merasa udara di sekitarnya begitu berat, membuatnya kesulitan untuk bernapas. Suasana di sekitarnya terasa begitu hening, sampai-sampai Hyura merasa suara detak jantungnya yang berdegup kencang terdengar hingga ke ujung koridor.
Detik demi detik yang bergulir serasa membekukan, segalanya terasa begitu dingin dan menyakitkan; tak terkecuali gagang pintu yang sejak semenit lalu digenggamnya—yang kini bahkan terasa lebih dingin dari bongkahan es dan menyengatnya.
Perlahan, Hyura melepaskan tangannya dari gagang pintu, dan beralih meletakkan jemari lentik itu di dadanya sendiri. Di tempat dimana ia merasakan sakit yang teramat sangat.
Jujur saja, Hyura tidak tahu mengapa ia merasa sesakit itu. Setelah ia berusaha tidak memikirkan Baekhyun selama beberapa hari belakangan, berusaha melupakan perasaannya pada pemuda Byun itu dan mulai merasa jauh lebih baik…mengapa rasa sakit itu malah muncul lagi sekarang, ketika ia berpikir sudah merelakan Baekhyun untuk Soyun, gadis tak bersalah yang dulu menjadi pelampiasan amarahnya karena tidak bisa mendapatkan Baekhyun?
Hyura menggeleng. Ternyata benar kata Minjung; bahwa merelakan, tidaklah semudah yang ia pikirkan selama ini. Karena merelakan, berarti melepaskan orang yang selama ini ia patri nama dan sosoknya dalam hati, agar dapat berbahagia dengan siapapun yang dipilihnya.
Termasuk dengan Kim Soyun sekalipun.
Sungguh, Hyura tidak pernah menyadari ini sebelumnya, bahwa merelakan termasuk salah satu cara terbaik untuk membuatnya terluka semakin dalam.
“Oh, jadi kau sudah ada di sini.”
Suara berat yanga amat ia kenal akhir-akhir ini tiba-tiba terdengar dari ujung koridor, membuat Hyura tersentak dan lantas menolehkan kepalanya ke arah sumber suara yang sedang bergerak mendekat.
“Begini, Nona sok cantik, aku sungguh ingin tahu apa yang sebenarnya kau lakukan pada mobilku sampai-sampai menjadi seperti itu—lecet dimana-mana dan oh, hancur!” celoteh pemuda itu berlebihan. “Well, asal kau tahu saja, aku membeli mobil kerenku itu ketika aku di Amerika dengan harga yang—oh, sangat sangat mahal sehingga kau akan pusing begitu kusebutkan harganya. Dan juga, biaya untuk memperbaikinya pun tak kalah mahal!” ujar pemuda itu menyombong. Ia kini berada tak jauh dari tempat Hyura berdiri. “Jadi, apa yang akan kau lakukan untuk mempertanggung jawabkan—”
Hyura memilih untuk menutup telinganya rapat-rapat, tidak ingin mendengarkan perkataan Chanyeol yang membosankan—dan menjengkelkan—dan sama sekali tidak berhubungan dengan suasana tegang juga sesak yang saat ini ia rasakan.
Jadi dengan langkah besar-besar, Hyura meninggalkan tempatnya, setengah berlari melewati Chanyeol.
Dalam hati, gadis itu memaki Chanyeol. Ia benci sekali pada pemuda itu.
Sekilas, Chanyeol dapat melihat bongkahan air mata yang menggenang di pelupuk mata gadis Kang itu—siap turun kapan saja. Melihat itu membuat Chanyeol mengerutkan keningnya heran, karena ia sendiri tidak yakin apakah gadis pemarah semacam Kang Hyura itu bisa menangis.
“Apa itu? Dia menangis, ya?” Chanyeol menggeleng, tak habis pikir. “Cih, kenapa gadis pemarah itu mendadak cengeng sekali? Aku bahkan belum melakukan apa-apa.” sembari merajut langkah mendekati pintu ruangan tempat Soyun beristirahat, Chanyeol kembali mengoceh, “Aku hanya berbicara. Tidak menyentuhnya, tidak pula memukulnya. Memangnya diajak bicara saja bisa membuat seseorang menangis, ya? Tidak, kan? Harusnya tidak. Memang dia saja yang aneh.”
Ketika Chanyeol sampai tepat di depan pintu, ia berinisiatif untuk mengintip lewat celah kaca untuk memastikan siapa saja yang ada di dalam. Dan sama halnya dengan Hyura tadi, ia pun tertegun menyaksikan apa yang terjadi di dalam sana.
Bedanya, ia tidak merasakan sakit hati seperti yang Hyura rasakan.
Pemuda Park itu membisu untuk beberapa saat. Terdiam dan berusaha memahami sesuatu. ‘Gadis Kang itu tadi berdiri di tempatku berdiri sekarang. Yang artinya, ia juga melihat apa yang sekarang aku lihat…’
“Ah,” Chanyeol menggumam, seraya mengangguk paham. Ia lalu memutar kepalanya ke arah di mana ia terakhir kali melihat punggung Kang Hyura, sebelum akhirnya gadis itu berbelok di ujung koridor.
Ia mengerti sekarang.
Kang Hyura benar-benar menyukai Byun Baekhyun.
***
Di Sabtu pagi yang dingin, Sehun datang ke taman tempat dimana ia janji dengan Fei sebelumnya, dengan berlari. Sungguh, ia takut terlambat dan membuat Fei menunggu. Tidak biasanya Sehun seperti ini. Semalam, ia sibuk menanyakan pertanyaan ini itu pada Soyun seputar kejadian yang baru dialami gadis itu sehari sebelumnya.
Ia tidak puas dengan satu jawaban, jadi ia terus bertanya dan bertanya. Dan jadilah semalaman suntuk keduanya sibuk bercerita satu sama lain.
Hingga membuatnya bangun terlambat pagi ini.
“Bodoh, bodoh…” maki Sehun pada dirinya sendiri. “Seharusnya aku tidak lupa pada janji pagi ini.”
Sehun terus berlari, sampai kemudian ia tiba di tempat yang dijanjikan dengan terengah-engah. Sehun melirik jam tangannya. Jam 10 tepat, belum terlambat.
Sehun berdiri tegak, kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling taman. Banyak orang disana, tapi tak satupun dari orang-orang itu yang tampak seperti Fei.
Apa gadis itu belum datang?
Atau justru sudah pergi?
Sehun tertawa kecil, canggung. “Ah tidak mungkin. Tidak mungkin ia sudah pergi.”
Setelah menunggu selama lima menit sambil berdiri, Sehun memutuskan untuk duduk dan mengistirahatkan kakinya setelah berlari cukup jauh dari tempat tinggalnya hingga kemari.
Sambil duduk, Sehun menatap ke langit, memperhatikan arakan awan yang bergerak lambat. Perlahan, ia melihat gumpalan awan di atas sana membentuk sesuatu—membentuk wajah seseorang—yang tampaknya ia kenal.
Wajah Fei. Wu Yi Fei.
Melihat itu, Sehun tertawa sendiri. “Tampaknya aku terlalu merindukan dia, sampai-sampai aku merasa awan-awan itu membentuk wajahnya.” Sehun melirik gumpalan awan di atasnya sekali lagi. Dan ketika ia melihat gumpalan awan itu masih membentuk objek yang sama, pemuda itu menggumam, “Aku terlalu berlebihan.”
Sehun kembali melirik jam tangannya. Jam sepuluh lewat sepuluh menit. Baru lewat sepuluh menit dari yang mereka janjikan. Jadi Sehun memutuskan untuk tetap menunggu. Mungkin saja gadis itu akan tiba sebentar lagi, kan?
Sehun tersenyum, “Mungkin sebentar lagi,”
Pemuda itu kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jaketnya, lantas tersenyum kembali, membayangkan wajah gadis Wu itu ketika nanti ia membuka bungkusan kecil itu.
Wajahnya yang pucat pasti akan berubah cerah, tersenyum, dan tentu saja tampak cantik.
dua puluh menit...
Sehun kembali menatap sekeliling, mencari, mungkin saja gadis itu duduk di tempat lain, kan? Namun setelah memutar kepalanya kesana dan kemari, hasilnya nihil, ia tidak menemukan Fei, maupun gadis yang mirip dengannya.
empat puluh menit…
Dua puluh menit lagi, genap sudah ia menunggu selama satu jam. Dan selama itu, ia hanya duduk diam sambil sesekali memainkan ponselnya.
Berbicara soal ponsel, Sehun mengeluarkan benda mungil itu dari saku celananya untuk memastikan apakah ada pesan singkat dari Fei, yang berisi tentang permintaan maaf atas keterlambatannya.
Namun lagi-lagi nihil, tak ada satu pun pesan yang masuk—tidak dari Fei, tidak juga dari yang lain.
Sehun tersenyum tipis, seraya bergumam, “Sebentar lagi…”
satu jam…
Gadis Wu itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya, membuat Sehun semakin merasa cemas.
‘Apakah terjadi sesuatu yang buruk dengan gadis itu hingga membuat ia tidak bisa datang kemari?‘
Saat ini pukul dua belas siang, tepat dua jam ia telah menunggu gadis Wu itu di tengah dinginnya salju di bulan Desember.
Namun tetap, gadis itu tak kunjung datang…
***
Soyun menatap ke luar lewat jendela kelasnya, memerhatikan butir demi butir salju yang turun perlahan dari langit. Benda dingin itu turun dan menutupi sebagian besar permukaan tanah, atap, dan puncak pohon hingga menyerupai permadani putih yang tampak begitu lembut dan nyaman untuk ditiduri.
Perhatiannya dari salju-salju itu baru teralih ketika ia mendengar suara seorang gadis yang bertanya padanya secara tiba-tiba, “Apa rencanamu untuk liburan Natal minggu depan, Soyun-ssi?” tanya Yoon Sooni, gadis selama seminggu belakangan menjadi telah menjadi teman sebangku Soyun yang cukup baik.
“Ah—” gumam Soyun pelan. “Entahlah, sepertinya aku tidak memiliki rencana apapun.” jawab Soyun berbohong.
Kadang ia berpikir, bahwa ia lelah jika harus berbohong pada semua orang ketika mereka menanyakan tentang sesuatu yang terkesan menjurus ke hal-hal yang pribadi. Ia tidak merasa perlu memberitahu teman-temannya tentang kehidupannya, pekerjaannya; bahwa ia bekerja di restoran milik orangtua Park Chanyeol dan harus menghabiskan malam natalnya dengan bekerja lembur karena pelanggan yang datang pasti akan ramai sekali.
“Kau tidak pergi ke rumah saudaramu yang lain?” tanya Sooni lagi.
“Tidak.” jawab Soyun cepat, tanpa berpikir. “Aku lebih suka menghabiskan liburan Natalku seorang diri. Dan aku sudah terbiasa dengan itu.”
Soyun melempar senyum tipis pada Sooni, yang dengan cepat membalas senyuman Soyun dengan hangat. “Kau pasti begitu merindukan kedua orangtuamu, ya…”
Soyun mengangguk mendengar ucapan gadis itu. “Tentu saja, aku sangat merindukan mereka.”
“Pasti berat sekali rasanya menjadi dirimu.” Gadis itu menaikkan kakinya ke atas kursi, lalu memeluk kedua kakinya itu. “Setelah kehilangan orang tua, kau juga kehilangan kekasihmu, Luhan sunbae…”
Soyun menundukkan kepalanya sejenak, lalu kembali menatap keluar jendela.
“Ditambah lagi, tempo hari kau hampir saja mati karena ulah gila Lee Minjung yang tega menjebakmu dan membakar gudang belakang—”
“Untungnya aku baik-baik saja.” jawab Soyun tanpa menoleh. “Untung aku tidak mati, seperti yang ia harapkan.”
Mendengar jawaban bernada datar dan sarkastik dari Soyun membuat gadis Yoon itu tersenyum, lagi. Ia tahu beratnya hidup yang dialami Soyun, reaksi yang akan timbul, dan semuanya. Jadi ketika mendengar tanggapan Soyun yang masih terdengar normal itu membuat Sooni senang.
Setidaknya mental Soyun tidak terganggu—dan gadis itu juga tidak mengalami depresi yang berat.
“Oh iya, yang kudengar hari itu Minjung juga hampir membunuh Hyura saat gadis itu mengejarnya! Kau tahu, soal kau dan Hyura itu benar-benar menjadi topik pembicaraan di kalangan para murid!” Sooni mulai bercerita dengan semangat. Berusaha mengusir mendung yang perlahan muncul di wajah Soyun.
Mendengar nama Hyura dan Minjung disebut secara bersamaan, membuat Soyun menolehkan kepalanya pada Sooni. Dan melihat gadis Kim itu mulai tertarik dengan ceritanya,