2015-02-27



WILD BOY #OVA – GOOD BOY

Author :: SANGHEERA || Cast :: LU HAN as XI LUHAN and CHEON SERA (OC) || Support Cast :: Lu Ziyu and the twins Baby Lu—Sean Sena || Genre :: Marriage Life, Romance, Family || Lenght :: Oneshoot || Rating :: PG 17

-

-

-

Luhan memacu ­sunbike-nya—sepeda matic tenaga surya—meninggalkan tempat parkir Seoul National University untuk menuju rumahnya yang berjarak kurang lebih 20 menit dari kampus tempatnya bekerja sebagai dosen. Setengah jam yang lalu, Luhan baru saja selesai menghadiri seminar bersama para petinggi KARI (Korean Aerospace Research Institute) di SNU. Seminar itu membahas tentang peran Korea terhadap penelitian yang akan dilakukan NASA demi mewujudkan proyek Stasiun Ruang Angkasa baru di Chaneos-51—planet yang ditemukan NASA 3 tahun lalu. Senyum terus saja mengembang di bibirnya manakala ingat bagaimana idenya tentang anti-materi disambut baik oleh para petinggi KARI dan mereka telah setuju untuk membawa presentasi Luhan ini ke pertemuan bersama NASA bulan depan. Luhan telah menyelesaikan S3-nya 2 tahun lalu, dan jika penelitiannya tentang antimateri sukses, mungkin dalam waktu 4 tahun mendatang—saat Luhan berusia 37 tahun—gelar profesor akan tersemat di depan namanya.

Dada Luhan melambung oleh perasaan bangga. Ia sekarang bisa dibilang adalah seorang ilmuwan dan akademisi unggulan di Korea dan tentu saja—termuda. Usianya baru menginjak 33 tahun tapi karirnya telah melesat jauh meninggalkan dosen sebayanya. Luhan telah sering menjadi pembicara di berbagai seminar lokal maupun internasional, dan ia kini juga menjadi staff ahli KARI hingga membuatnya harus berkantor di dua tempat—SNU dan Markas Besar KARI di Incheon.

Siapa sangka sang wild boy yang dulu merupakan anggota gangster kelas kakap—Lightsaber—dan biang onar sekolah yang sering menyabotase ruang siaran hanya untuk menggoda seorang gadis, kini menjadi seorang penggiat ilmu. Pencapaiannya di bidang fisika sangat mengagumkan.

Dengan bakat dan kecerdasannya ini, sebenarnya banyak yang menyayangkan kenapa 8 tahun lalu, Luhan memilih meninggalkan Amerika setelah lulus S2 di MIT. Luhan memiliki paras yang tampan, otaknya yang brilian dan kepribadiannya yang menyenangkan, membuatnya menjadi favorit semua orang. Mudah baginya untuk diterima bekerja di perusahaan multinasional di Amerika dengan gaji besar dan fasilitas terbaik. Tapi Luhan memilih kembali ke tanah yang ia tempati ketika ia berusia 12 tahun. Tanah yang juga merupakan tempat kelahiran istrinya.

Luhan tak menyesal. Ia bahkan tak merasa perlu memikirkan kesempatan-kesempatan emas apa yang telah ia lewatkan saat itu. Meski selama 7 tahun di Seoul kehidupannya jauh dari kemewahan Ferrari, Armani, Rolex,VVIP class, dan sejenisnya yang dulu pernah ia nikmati semasa remaja, tapi Luhan merasa hidupnya kini jauh lebih sempurna.

Bagaimana tidak sempurna?

Ia kini adalah seorang suami dari gadis yang ia cintai setengah mati sepanjang 17 tahun hidupnya, ia juga merupakan ayah dari ketiga anaknya yang luar biasa, penghuni dari sebuah rumah bercat hijau lembut yang indah dan ia adalah peraih dari semua mimpi-mimpinya semasa muda.

Sebanyak apapun Luhan bersyukur, sepertinya tidak akan pernah cukup membalas semua kebaikan yang diberikan Tuhan padanya. Luhan sangat bahagia, amat sangat bahagia.

Senyum Luhan semakin terkembang ketika ia memasuki istana kecil yang ia bangun dengan hasil kerja kerasnya bersama Sera memeras keringat selama bertahun-tahun. Aroma masakan yang sedang dihangatkan Sera—istri dan ibu dari anak-anaknya—merasuk ke indera penciumannya. Ketika Luhan sampai di dapur, ia melihat Sera memunggunginya. Telinga gadis itu tersumpal oleh earphone—mendengarkan lagu j-rock favoritnya. Bahkan suara mini-porche yang menggonggong untuk menyambut Luhan, tidak berhasil mengalihkan perhatian Sera dari sepanci soondubbu jiggae.

“Ya Tuhan!!”seru Sera, saat tangan Luhan melingkari pinggangnya. “Kau mengagetkanku, Lu!”

Luhan terkekeh pelan. Mencium bahu Sera lama dan mengetatkan pelukannya. Dadanya yang menempel di punggung Sera terasa hangat. “Aku merindukanmu,”ujarnya mesra.

“Aku tidak!”balas Sera, terkesan cuek seperti biasa. “Kau baru keluar dari pintu rumahku 13 jam yang lalu, jadi mana mungkin aku merindukanmu…”

“Uuh… aku bahkan merindukan kata-kata dinginmu itu, Ziyu eomma…”

Sera tersenyum. Gadis yang di mata Luhan nampak begitu menakjubkan di usianya yang telah kepala 3 itu mematikan kompornya sebelum menghadap Luhan. “Mau kusiapkan makanan?”

“Aku sudah makan malam, sayang. Bersama kolega di KARI.”

“Mereka menyukai presentasimu?”tanya Sera sambil tangan terampilnya mengurai dasi yang dipakai Luhan.

“Mm…”Luhan mengangguk senang dan mengecup pipi Sera lembut. “Terima kasih atas bantuanmu mempersiapkan presentasiku seminggu ini. Hasilnya menakjubkan, sayang, mereka menyukainya. Bulan depan aku harus terbang ke Amerika untuk mempresentasikan temuanku ini di depan pihak NASA. Bukankah itu menakjubkan?”

“Wahhh… suamiku memang hebat!”

“Keoreom!!”sahut Luhan. Dadanya membusung bangga. “Suami seorang Cheon Sera, tentu saja harus hebat.”

Sera tertawa, begitu pula dengan Luhan. Wanita yang telah dinikahi Luhan selama 7 tahun itu memukul dada Luhan pelan. Gemas.

“Mandilah… aku akan menyiapkan air hangat untukmu, hm?”tawar Sera.

Tapi Luhan malah memeluk tubuh Sera. Mengusap punggung gadis itu pelan. Wajahnya ada di kulit leher Sera, menghembuskan napasnya disana. “Anak-anak sudah tidur?”

“Hmm…”jawab Sera pelan, mengiyakan.

“Mandilah bersamaku,”pinta Luhan sambil mengecup lembut cekungan antara leher dan bahu Sera. Hari ini ia merasa sangat bahagia—dan bergairah—ia ingin menghabiskan malam ini bersama Sera. Meminum red wine berusia puluhan tahun hadiah dari Baba-nya sambil memeluk tubuh indah Sera di tempat tidur jelas akan sangat menyempurnakan hari ini.

“Lu, hari ini…”Sera menggerakkan tubuhnya, berusaha merenggangkan sedikit jaraknya dari tubuh Luhan, tapi Luhan menahannya.

“Cheonse, kau tahu kan berapa tahun dan berapa banyak uang kuhabiskan untuk meneliti tentang antimateri itu? Dan hari ini akhirnya aku mendapat pengakuan secara resmi.”

“Ya aku tahu…”

“Aku ingin merayakannya bersamamu. Aku janji malam ini aku akan bersikap lembut,”bujuk Luhan.

“Kau selalu bersikap lembut padaku, Luhan…”Sera mengusap punggung suaminya itu. Ia menghembuskan napas panjang sebelum akhirnya menyerah pada permintaan Luhan. “Baiklah…”

Luhan tersenyum di leher Sera. “Aku mencintaimu…”bisiknya.

Mata Sera terpejam. Ohh… meski telah 17 tahun berlalu, ungkapan cinta itu ternyata masih memiliki efek luar biasa di jantungnya. Mata Sera memanas. Sebenarnya, ada perasaan mengganjal di hatinya saat ini, tapi ia enggan merusak kebahagiaan suami tercintanya itu. Aku bisa menghadapinya sendiri, Luhan tidak perlu tahu, batin Sera.

“Tapi, mandilah sendiri, eo?”ujar Sera sambil berusaha mempertahankan suaranya agar tidak bergetar. “Aku tidak mau mandi 3 kali hari ini. Dan sementara kau mandi, aku akan memastikan popok Sean dan Sena masih kering. Kau tidak mau kan mereka mengganggu kegiatan kita dengan tangisan mereka?”

“Ahh…”Luhan menggangguk, mengingat bagaimana 2 anak kembarnya yang baru menginjak usia 7 bulan itu sering mengganggu kesenangannya di malam hari bersama Sera hanya karena popok mereka basah karena ulah mereka sendiri.

-

-

-

15 menit kemudian, Luhan telah selesai dengan kegiatan mandinya. Ia melangkah keluar dari kamar mandi, dengan celana piyama dan atasan yang terbuka. Luhan merasa tidak perlu untuk mengancingkan baju piyamanya itu, toh dalam waktu beberapa menit kemudian ia akan melepasnya lagi.

Sambil mengucek-ngucek rambutnya yang basah, Luhan menatap ke seluruh penjuru kamar dan dia tak menemukan sosok Sera dimanapun. Apa istrinya itu tertahan di kamar Sean dan Sena? Mungkin anak-anak kembarnya yang berbeda jenis kelamin itu perlu mendapatkan ganti popok terlebih dulu.

Tanpa berpikir lagi, Luhan berjalan menuju kamar si kembar yang berada di sebelah kamarnya. Ia membuka pintu dan melongok ke dalam.

Tapi, Sera tidak ada disana.

Heran dan penasaran, Luhan meneruskan pencariannya ke kamar yang ada di sebelah kamar si kembar. Ya, mungkin saja Sera sedang mengecek Ziyu di kamarnya.

Dan benar saja, Sera ada disana.

Membungkukkan badannya pada gundukan mungil yang pasti adalah tubuh Ziyu yang terbungkus selimut, Sera mencium kening putra sulungnya itu. Luhan tersenyum seraya menyandarkan tubuhnya di bingkai pintu, menikmati pemandangan yang penuh dengan kasih sayang itu. Sebelum kemudian, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres.

Tubuh Sera berguncang pelan, diiringi oleh isakan yang terdengar dari bibir wanita itu.

Uh… sejak remaja, Luhan telah mengenal Sera dan paham benar dengan tabiat istrinya itu. Sera tak akan menangis jika bukan karena hal-hal besar yang begitu mengganggunya. Wanita itu selalu pintar menyembunyikan emosinya dan berusaha nampak biasa-biasa saja demi harga dirinya. Bahkan setelah 17 tahun berlalu, hal itu tidak pernah berubah. Lalu kenapa sekarang…

“Cheonse…”tegur Luhan halus sambil berlutut di dekat kaki Sera. “Ada apa?”tanyanya kemudian sambil tangannya menghalau tangan Sera yang berusaha menghilangkan jejak tangisnya. Luhan menoleh ke arah Ziyu, memastikan bahwa tidak ada hal yang salah dengan putranya itu hingga perlu Sera tangisi. “Apa Ziyu sakit?”tanyanya lagi, kali ini sambil beranjak bangun dari hadapan Sera dan menengok ke arah Ziyu yang membelakanginya.

Anak laki-laki berpipi tembam dan bertubuh mungil itu nampak pulas dan baik-baik saja. Karena Sera tak kunjung menjawab pertanyaannya dan terus saja menangis tanpa suara, Luhan menyapukan tangannya di kening Ziyu. Menyibakkan sedikit rambut hitam halus anak itu untuk mengecek suhu tubuhnya.

Saat itulah Luhan melihat sebuah cetakan basah di bantal yang Ziyu tiduri dan bagaimana bengkaknya bagian bawah mata anak itu.

Luhan menoleh ke arah Sera. Menyadari situasinya. Ziyu pasti tertidur setelah lelah menangis, dan Sera menangis karena melihat putranya seperti itu. Pasti ada masalah, dan Luhan tentu saja merasa wajib untuk tahu. Ia kepala keluarga di rumah ini.

Tangan Luhan menyelip di lipatan kaki dan punggung Sera, lalu tanpa kesulitan mengangkat tubuh wanita itu. “Aku akan mendengarkanmu, tapi tidak disini, sayang. Ziyu bisa terbangun.”

Sampai di kamarnya, Luhan membawa Sera ke sofa mereka yang ada di dekat jendela kamar. Luhan tidak menurunkan Sera melainkan menjatuhkan dirinya sendiri ke sofa dengan Sera yang masih meringkuk nyaman di gendongannya. Wanita itu masih terisak di bahunya, dan memeluk leher Luhan erat-erat.

“Cheonse…”panggil Luhan pelan sambil membelai lembut rambut panjang Sera.

“Maafkan aku, Lu…”

“Kenapa kau harus meminta maaf, hm?”

Lengan Sera semakin mengetat di leher Luhan. Suara isakan tangis Sera terdengar jelas di telinga Luhan dan bahunya lambat laun terasa basah. “Aku bukan istri dan ibu yang baik,”keluh Sera.

“Sshhh… Cheonse… sayang… bagaimana bisa kau bicara seperti itu?”

“Entahlah, Lu. Aku merasa tertekan dan lelah mengurus anak-anakku sendiri,”ungkap Sera.

“Tentu, Cheonse. Kita memiliki 3 orang anak, tentu saja itu bukan hal yang mudah untukmu. Aku lah yang salah karena tidak banyak membantumu.”

Sera menggeleng dan perlahan melepaskan pelukannya. Suaranya bergetar saat menambahkan, “Aku iri padamu…”

“Ne?”

“Aku mulai menyesali banyak hal, Lu, dan itu semakin membuatku tersiksa,”ujar Sera. Wanita itu menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Mianhae…”

“Aku tidak mengerti Cheonse, apa yang kau sesali, eo? Katakan padaku…”bujuk Luhan lembut sembari berusaha melepaskan tangan Sera dari wajahnya. Luhan mengumpat dalam hati, melihat wajah Sera yang nampak begitu payah. Basah oleh airmata dan mata indahnya mulai membengkak.

“Tidak, Lu… aku tidak seharusnya menangis seperti ini di hadapanmu, maafkan aku.”

“Astaga, berhenti meminta maaf, baby. Aku tidak akan mengerti apa yang terjadi jika kau tidak bilang padaku. Hoksi…”Luhan menjeda kalimatnya, menatap Sera lekat dan menyelami apa yang ada di sana. “…yang kau maksud iri itu, kau iri pada pencapaianku?”

Sera tertunduk. Lalu beberapa detik kemudian, mengangguk pelan. “Aku istri yang buruk, bukan?”

Luhan menghembuskan napas panjang. Tidak… dirinya tidak kecewa pada Sera, Luhan justru merasa kecewa pada dirinya sendiri.

Seharusnya ia tahu hal ini akan terjadi…

Cheon Sera—seperti yang kita kenal—adalah wanita yang cerdas dan berkepribadian menganggumkan. Dia seorang akademisi seperti Luhan, tapi selain untuk penelitian, ilmunya juga ia gunakan untuk terjun langsung ke lapangan. Memegang title cum laude dari Universitas Harvard, Sera bisa saja menggenggam kesuksesan dengan mudah di dunia kerja. Tapi jiwanya ia abdikan untuk kemaslahatan masyarakat. Dia aktivis anak. Relawan untuk UNICEF selama beberapa tahun. Sera bahkan pernah bergabung di tim khusus untuk membantu anak-anak di Genoa. Beberapa tahun lalu ia aktif di Lembaga Perlindungan Wanita dan Anak. Zaman sekarang, banyak wanita di usia 30-an yang bersinar dan mampu meraih prestasi menganggumkan di berbagai bidang. Bahkan Mimosa—sahabatnya semasa SMA—kini berhasil menjadi anggota parlemen. Dengan kecerdasan, ketekunan, kepedulian, dan kharisma-nya, Sera mungkin bisa mencapai hal yang lebih hebat lagi.

Tapi keadaan—dan jelas Luhan berkontribusi besar terhadapnya—telah membuat Sera menjadi seperti sekarang.

Luhan dan Sera satu visi dalam menyatakan bahwa pendidikan anak yang nomor satu adalah dari orang tua-nya. Karena Luhan tidak mungkin berhenti bekerja, Sera lah yang harus di rumah untuk mengurus Ziyu. Saat itu, Sera harus merelakan diri vakum dari pekerjaannya untuk mengurus Ziyu yang ternyata membutuhkan perhatian ekstra karena keterlambatan perkembangannya. Setelah Ziyu bersekolah, Luhan menyetujui keinginan Sera untuk mengambil S2 di SNU, tapi baru setahun kuliah, ia hamil. Oh… salahkan Luhan yang selalu saja membuat Sera hamil di saat yang tidak tepat!

Hingga akhirnya kini, Sera hanya bisa berkutat di rumah. Mengurus bayi kembar-nya—Sean dan Sena—dan Ziyu yang semakin besar semakin menunjukkan kecerdasannya yang tak biasa. Luhan pikir, tidak ada masalah dengan hal itu. Sera selalu telaten mengurus anak-anaknya, dan Luhan kira wanita itu menikmati segala kesibukannya di rumah. Luhan selalu disambut saat pulang—semalam apapun itu. Sera selalu siap menyiapkan makan malam yang hangat untuknya. Wanita itu juga tak pernah menolak menemaninya berdiskusi tentang pekerjaan dan penelitian-penelitian Luhan.

Tapi melihat Sera sekarang, Luhan menyesal tidak mengindahkan ucapan Dongwoon beberapa hari lalu saat mereka minum bersama.

“Sera tak pernah mengeluh? Eiii, memangnya sejak kapan Sera pandai mengeluh? Harga diri gadis itu tidak akan mengijinkannya untuk mengeluh padamu, Luhan. Sera berbeda dengan istriku—Sanghee. Sanghee akan merasa bahagia hanya dengan menemani Haru dan Haejin seharian di rumah, merajut atau mencoba resep-resep baru. Tapi Sera tidak… Sera selalu haus prestasi. Kau sudah membawanya melihat dunia—kau yang membuatnya pergi ke Amerika dan menjadikan gadis pendiam itu gadis pemimpi. Jika saja ia tidak menikah denganmu di usia muda, Sera pasti sekarang sudah melanglang buana di luar sana.”

Benar. Meski Luhan benci sekali mengakuinya, tapi untuk urusan menebak hati Cheon Sera, Dongwoon hampir selalu benar. Pria yang semasa muda merupakan musuhnya itu, selalu lebih tepat memahami Sera dibandingkan Luhan yang notabene adalah suami wanita itu.

“Apa Sean dan Sena begitu merepotkan? Jika kau ingin aktif kuliah lagi, kau harus mempertimbangkan saranku untuk mencari pengasuh, sayang…”kata Luhan sembari merapikan rambut panjang Sera dan mengusap wajah Sera yang basah.

“Kau tahu aku tidak suka jika ada orang asing berkeliaran di dalam rumah,”gumam Sera pelan. “Sudahlah, aku akan baik-baik saja besok, Lu. Hari ini aku terlalu sensitif…”

“Kalau begitu, aku akan meminta Mama untuk datang dan menginap beberapa minggu di sini,”Luhan tak mau menyerah begitu saja. Jika yang diinginkan oleh Sera adalah mulai berkegiatan lagi dan bisa sejenak terlepas dari keseharian menjadi ibu rumah tangga, maka Luhan akan berusaha memberikannya.

“Lu… kau tahu sendiri kan? Jika Mama datang, berarti Baba juga ikut. Kalau Baba ada disini, Appa tidak akan terima, beliau pasti akan cemburu pada Baba dan menyusul kesini. Eomma tidak mungkin membiarkan appa ke rumah kita sendirian. Pada akhirnya orang tua kita semua akan berkumpul di rumah, dan itu malah akan membuat kita pusing karena harus mendengar Appa dan Baba bertengkar terus setiap waktu…”

“Aku tidak keberatan jika rumah kita runtuh karena perkelahian Abeonim dan Baba asal kau tidak merasa sedih lagi, Cheonse…”

“Oh, Lu…”Sera tersenyum dan memeluk Luhan erat. Tersentuh oleh besarnya perhatian sang suami padanya. “Tapi, cicilan rumah kita masih sisa 1 tahun lagi, mana boleh kau membiarkannya hancur?”canda Sera.

Luhan terkekeh, membuat tubuh Sera sedikit terguncang.

“Bersabarlah sedikit lagi ya, sayang. Setelah anak-anak besar aku janji akan membawamu keliling dunia. Hanya berdua. Aku dan kau…”

“Backpacking?”

“Mmm… all you want, baby.”

“Baiklah kalau begitu aku akan bersabar…”

“Dan aku akan membantumu sebisaku. Seandainya bisa, aku akan menggantikanmu menyusui Sean dan Sena…”

Tawa Sera meledak. Ia memukul dada Luhan karena gemas pada candaan pria itu. Coba saja bayangkan, bagaimana anehnya jika dada Luhan gembung karena air susu dan Sena atau Sean berada dalam gendongannya. Menyusu.

“Itu menjijikkan, Lu…”

“Kau membayangkannya?”tanya Luhan di sela tawanya. “Yaaak~ Sebagai pria aku cukup cantik untuk punya payudara!”

“Jangan konyol!! Aku tidak mau punya suami ber-payudara!!”pekik Sera sembari tertawa.

Yaya, untuk urusan mencintai Sera… Luhan tak pernah berubah. Lihatlah bagaimana pria itu sudah membuat Sera tertawa padahal semenit lalu wanita itu masih banjir airmata. Cara Luhan menenangkan Sera tak berubah sejak mereka masih sekolah dulu.

“Saranghae, Luhan…”bisik Sera di bahu Luhan.

Senyum Luhan terkembang. Wajahnya yang bersih begitu tampan ketika sedang tersenyum seperti itu. Dia mengecup lembut kepala Sera yang duduk di pangkuannya. Tangan kuatnya memeluk erat pinggang Sera.

“Ngomong-ngomong, kau menangis juga karena Ziyu, bukan? Ada apa dengan anak itu? Dia membuat ulah lagi?”

Tubuh Sera menjauh, wanita itu menegakkan punggungnya agar bisa saling menatap dengan Luhan. “Aku dipanggil ke sekolahnya hari ini, Lu…”lapor Sera.

Dipanggil ke sekolah? Luhan dan Sera sering dipanggil ke sekolah oleh guru-guru Ziyu, kebanyakan untuk membahas perkembangan belajar Ziyu yang terlampau pesat. Diumurnya yang baru 7 tahun, Ziyu sekarang sudah kelas 3 SD karena loncat kelas beberapa kali. Sayangnya, tidak seperti saat Luhan kecil dulu, kemampuan adaptasi Ziyu sangatlah buruk. Ziyu tak bisa menahan diri untuk tidak kesal karena menganggap teman-teman di kelas 1 dulu dirasanya terlalu lamban dalam belajar. Ia murung di kelas dan tidak suka bersosialisasi. Setelah gerah dengan rengekan Ziyu untuk loncat kelas dan diskusi panjang dengan wali murid, akhirnya Sera dan Luhan memutuskan untuk membolehkan Ziyu loncat kelas. Lalu, apa lagi masalah kali ini?

“Ziyu membolos sekolah hari ini.”

Mata Luhan membulat. “Mwo?”

Oh, tidak!! Jangan bilang kenakalan Luhan waktu kecil juga menurun pada Ziyu. Tapi saat SD, Luhan tak pernah berani bolos sekolah!!

“Beberapa hari ini ia merengek minta h-phone, alasannya karena semua teman-temannya di kelas memilikinya.”

“Kita sudah bilang berkali-kali pada Ziyu bukan? Kalau dia baru boleh punya h-phone saat usia 12?”

“Ne, Ziyu appa… tapi sepertinya teman-teman di sekolah mengejeknya, dan itu membuatnya enggan masuk sekolah. Tidak biasanya Ziyu mudah terpengaruh seperti itu. Lihat, Lu, teman-teman yang bukan seusianya, ternyata memberikan pengaruh buruk pada Ziyu. Oh, Tuhan, aku masih saja berpikir bahwa membiarkannya loncat kelas bukanlah keputusan tepat. Dia seharusnya menjalani pendidikan sesuai usianya sama sepertimu dulu,”ujar Sera dengan suara yang terdengar putus asa.

“Aku dan Ziyu berbeda, sayang…”

“Kau benar, sepertinya ia menuruni kemampuan sosialku yang buruk. Kata wali muridnya, Ziyu tidak mempunyai teman di sekolah.”

“Itu karena Ziyu menganggap semua temannya itu idiot…”Luhan nyengir.

Sera mendelik. “Itu tidak lucu, Lu!”ujarnya kesal. “Ziyu keluar lagi dari sekolah setelah kau mengantarnya dan pergi entah kemana. Aku menanyainya dan Ziyu bilang ia pergi ke perpustakaan yang ada di kota sebelah. Anak sekecil itu, Luhan… Ya Tuhan…” Mata wanita itu kembali berair, hendak mulai menumpahkan air mata lagi. “Ia baru 7 tahun, bagaimana bisa ia begitu nekad naik subway sendirian?”

“Anak kita sudah cukup pintar untuk menjaga dirinya sendiri, Cheonse. Dan subway adalah alat transportasi yang aman. Buktinya Ziyu baik-baik saja…”

“Aku tahu… tapi tetap saja aku begitu marah saat membicarakan hal ini dengan Ziyu. Entahlah Lu, aku bahkan mencubitnya tadi…”ujar Sera, penuh sesal.

Helaan napas panjang keluar dari bibir Luhan. Ia menarik Sera kembali ke pelukannya. Membiarkan gadis itu menyandar pada bahunya. “Ziyu membolos, itu sudah cukup untuk membuatnya mendapatkan hukuman, sayang.”

“Aku lelah mengurus Sean dan Sena. Kau tahu kan Sean akan menangis jika aku meninggalkannya untuk mengurus Sena, begitu juga sebaliknya, Sena akan menangis jika aku sedang mengurus Sean. Untuk pergi ke sekolah Ziyu saja aku harus setengah mati menyiapkan perlengkapan mereka. Aku bahkan tidak sempat berdandan dengan layak. Dan Ziyu… anak kita itu, aku tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapinya. Ia terus saja membuat masalah di sekolah. Aku berharap sebagai anak sulung ia mengerti betapa repotnya aku mengurus kedua adiknya. Aku tidak meminta ia membantu, tapi paling tidak Ziyu bisa meringankan bebanku dengan tidak merengek jika menginginkan sesuatu atau membuat guru-gurunya kesal. Oh… hari ini sepertinya semua beban di benakku berkumpul jadi satu dan Ziyu yang sial karena aku melampiaskannya padanya. Melihat anakku menangis hingga jatuh tertidur, membuat hatiku sakit Lu,”tandas Sera sambil menghapus airmatanya yang jatuh.

“Aku akan bicara pada Ziyu…”

“Ya, kau memang harus bicara padanya,”sahut Sera. “Dia lebih mendengarkanmu daripada aku.”

Luhan menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Tiba-tiba merasa lelah. “Mengurus anak ternyata tidak mudah ya Cheonse, dan kau mengorbankan banyak hal untuk itu bukan?”

“Tapi bagaimanapun juga aku sangat bahagia memiliki mereka, Lu…”Sera mendongakkan kepalanya, menangkap tatapan Luhan yang tertuju padanya. “Karena mereka anak kita…”

“Ya… kau benar…”Luhan menurunkan wajahnya untuk meraih bibir Sera dan mengecup lembut bibir sang istri. Ciuman yang disambut Sera dengan antusias.

“Sepertinya aku butuh hiburan malam ini, my ace…”gumam Sera, tak mau menutupi hasrat yang kini menyala di mata tajamnya yang indah. Jemarinya sudah asyik bergerilya membelai dada Luhan yang terbuka hingga ke pinggang.

“Padahal aku sedang berpikir untuk membiarkanmu tidur mengingat mood-mu yang sedang buruk saat ini, cheonsa…”

“Hentikan pikiranmu yang tidak menyenangkan itu, ace, dan bercintalah denganku.”

Luhan tersenyum senang. “With pleasure, my life…”

-

-

-

Jam baru menunjukkan pukul 5 pagi saat Luhan membuka matanya. Dengan tangan kirinya yang bebas—karena bahu kanannya dipakai sebagai bantal tidur Sera—Luhan menekan keningnya yang terasa pening. Ia baru tidur 2 jam setelah kegiatan bersama Sera semalaman, pantas jika ia merasa pusing saat terbangun.

Tapi senyumnya langsung terkembang dan sakit di kepalanya terlupakan saat Luhan menatap wajah tertidur Sera di sebelahnya. Wanita itu begitu pulas tertidur dan nampak sangat nyaman bersandar pada Luhan. Melihat betapa banyaknya hal yang dikhawatirkan oleh Sera dan membuat wanita itu tertekan, Luhan merasa bahagia bisa memberinya sandaran saat lelah. Hal kecil seperti ini—tidur bersama di tempat tidur—bisa begitu berarti bagi Luhan dan Sera.

Luhan dan Sera harus bersyukur karena bisa mempertahankan sisi romantis mereka setelah 17 tahun bersama. Mungkin itu semua karena mereka sudah tahu bagaimana sakitnya berpisah dan betapa kerasnya perjuangan mereka dulu sampai mereka bisa menikah dan memiliki 3 orang anak seperti sekarang.

Dan lagi, Luhan selalu dan selalu kagum pada Sera, gadis itu—mengingat betapa dingin, kaku dan pendiamnya ia waktu awal mereka bertemu—siapa sangka jika Sera begitu hebat saat di ranjang. Sera tak akan pernah membiarkan Luhan menguasainya penuh, tapi disaat-saat tertentu ia juga bisa nampak begitu pasrah dan tak berdaya, itu membuat Luhan merasa sangat diinginkan, dicintai, dimiliki dan sekaligus juga berkuasa. Rasanya tidak akan pernah puas bagi Luhan, jika saja ia tidak ingat Sera harus mengurus ketiga anaknya, mungkin pria itu tidak akan membiarkan Sera tidur hingga lusa.

Suara Diana Ross dan Westlife mengisi ruangan berpenerang candle light itu, membuat nuansa romantis begitu kental.

I wanna call the stars down from the sky. I wanna live a day that never dies. I wanna change the world only for you. All the impossible I wanna do. I wanna hold you close under the rain. I wanna kiss your smile and feel the pain. I know what’s beautiful looking at you. In a world of lies you are the truth.

“Lu?”gumam Sera yang terbangun ketika Luhan mengelus pipinya lembut.

“Baby, aku ingin pindah ke kamar Ziyu, tak apa kan kau tidur sendiri?”

“Wae?”

“Aku harus bicara padanya, bukan? Saat Ziyu bangun, aku ingin langsung mengajaknya bicara.Tidurlah lagi, hari ini aku yang akan memasak sarapannya dan memandikan Sean, Sena dan Ziyu.”

“Tidak perlu, Lu… tidurlah lagi, pagi ini kau harus mengajar. Kau bisa mengajak Ziyu bicara sebelum mengantarnya ke sekolah.”

“Hm, ani, saat sarapan aku tidak ingin melihat Ziyu yang masih kesal padamu. Jadi aku harus bicara padanya sebelum itu. Kau lelah, Cheonse, tidurlah!”

“Mmm.. Kau sudah membuat seluruh tulangku remuk, Luhan…”

Luhan terkekeh. “Aku akan menganggap itu sebagai pujian,”katanya sambil mengecup kening Sera.

Sera beringsut untuk berpindah dari bahu Luhan ke bantal, sementara Luhan menyingkap selimutnya dan beranjak dari tempat tidur. Ia memungut celana dan baju piyamanya yang berserak di lantai. Setelah selelai memasangnya di tubuh, Luhan kembali pada Sera untuk memastikan wanita itu sudah kembali tidur. Dirapatkannya selimut yang membungkus tubuh Sera.

Menjadi seorang akademisi yang baik, suami yang baik, dan sekarang Luhan ingin menjadi ayah yang baik.

Kedua kakinya membawa Luhan menuju kamar Ziyu, kamar dengan ornamen-ornamen luar angkasa. Luhan ingat betapa girangnya Ziyu ketika tahu ayahnya itu menjadi ilmuwan di KARI. Sejak kecil Ziyu sangat tertarik dengan semua hal yang berbau luar angkasa, ia ingin menjadi antariksawan dan bekerja di KARI atau NASA seperti Luhan.

Ziyu terbangun, ketika Luhan naik ke tempat tidur dan memosisikan tubuhnya di samping anak usia 7 tahun itu. Melihat ayahnya, bibir anak kecil itu tersenyum dan langsung memeluk tubuh Luhan erat. Matanya kembali terpejam. Tapi Ziyu tak kembali tidur.

“Papa, Ziyu benci Mama…”

“Heii… kenapa kau berkata seperti itu, jagoan?”

“Mama marah, tanpa mendengarkan penjelasan Ziyu lebih dulu. Ziyu membolos kan ada alasannya…”

“Bahkan meski ada alasannya, membolos tetap saja bukan tindakan yang benar, nak,”nasehat Luhan. Diam-diam di hati, Luhan menekankan hal itu pada dirinya sendiri. Teringat masa-masa sekolahnya, bagaimana membolos bisa jadi seperti budaya bagi Luhan. Seingat Luhan, ia tak pernah lagi membolos setelah pindah ke Toronto, tapi sebelum itu… hhh, jangan tanya. Saat SMP dan awal SMA, sekolah hanya tempat bermain baginya. Luhan jenius, tapi ia tak pernah benar-benar menunjukkannya dan memilih belajar sesuka hati. Sekarang, setelah melihat anaknya mungkin punya bibit nakal seperti dirinya, Luhan mulai menyesal.

Ziyu mempautkan bibirnya, matanya yang jernih—yang identik sekali dengan mata Luhan—menatap sang ayah dengan tatapan memelas. “Teman-teman mengejek Ziyu karena tidak punya h-phone, mereka bilang Papa dan Mama orang tua yang pelit. Tidak sayang pada Ziyu.”

“Omo, apa Papa dan Mama pelit? Apa mama dan papa tidak sayang Ziyu?”

“Tentu saja tidak!! Papa dan mama saaaaaaaaaaangat sayang pada Ziyu. Tapi mama memang pelit.”

Luhan tertawa. “Itu karena h-phone bukan barang yang penting untuk kita saat ini, Ziyu. Kebutuhan kita banyak, terutama sejak kau memiliki Sean dan Sena. Gaji papa memang berlebih, tapi itu lebih baik ditabung untuk kebutuhan pendidikanmu dan kedua adikmu. Apalagi kau ingin ikut kursus membuat robot di tempat Profesor Lee Taemin kan? Papa harus membayar mahal untuk itu.”

“Lagipula…”lanjut Luhan. “Kau tidak benar-benar membutuhkan h-phone kan? Papa dan Mama membuat peraturan untukmu tidak memiliki h-phone sebelum usia 12 tahun itu ada alasannya. Papa dan Mama tidak ingin Ziyu terlalu bergantung pada gadget di usia Ziyu yang masih muda. Papa dan Mama lebih senang melihat Ziyu bermain dengan teman-teman Ziyu atau dengan kedua adik Ziyu daripada berkutat dengan layar hologram itu. Jika Ziyu penasaran akan sesuatu, Ziyu bisa selalu bertanya pada Mama atau Papa, bukan? Mama—yang kau bilang pelit itu—setiap hari belajar, menghimpun banyak informasi dan memilih-milihnya agar jika Ziyu bertanya, Mama bisa menjawabnya. Mama dan Papa tidak suka Ziyu bertanya pada google, karena informasi di luar sana terlalu banyak dan mungkin ada yang tidak sesuai dengan usia Ziyu. Sebagai ibu, Mama selalu berusaha melindungi Ziyu, karena itu mama marah sekali saat tahu Ziyu membolos dan pergi sendirian naik subway ke kota sebelah. Mama mengkhawatirkan Ziyu…”

Mata bulat Ziyu mengerjap. Tampak berpikir. Apa benar h-phone itu yang menjadi masalah? Apa bukannya karena Ziyu kesal tidak mendapat perhatian dari teman-temannya? Tubuhnya jauh lebih kecil dari anak-anak kelas 3, yang membuatnya selalu tak diajak bermain oleh mereka. Ziyu akan dianggap sebagai black hole saat bermain sepak bola karena kakinya yang pendek dan larinya yang tidak cepat. Di kelas, jika ia menjawab pertanyaan guru, ia akan dianggap sok pintar, sehingga Ziyu malas mengikuti kegiatan belajar di kelas dan memilih belajar sendiri dengan komputer meja-nya. Anak perempuan yang dulu menjadi juara kelas, jelas-jelas membenci Ziyu karena Ziyu lebih pintar darinya. Karena usianya yang masih muda, Ziyu selalu diremehkan, dianggap tidak layak diajak untuk membicarakan apapun.

Lama-lama Ziyu tidak betah, dan masalah h-phone itu menjadi puncaknya. Saat semua anak di kelas memegang h-phone masing-masing ketika jam istirahat, Ziyu semakin merasa kesepian. Lalu ketika Ziyu iseng menengok tampilan h-phone milik temannya, ia malah mendapatkan ejekan.

“Papa, Ziyu ingin homeschooling saja…”pinta Ziyu lirih.

“Ziyu tahu jawaban Papa apa kan?”sahut Luhan dengan nada suara tegas, membalikkan permintaan anaknya itu dengan pertanyaan.

Ziyu menggembungkan sebelah pipinya, mengangguk. Papa tidak akan setuju, karena ingin Ziyu bersekolah dan bergaul. Home schooling di jaman sekarang—dimana anak-anak sudah jarang sekali nampak bermain dan lebih sibuk dengan gadget mereka—bisa semakin menghambat kemampuan sosial anak. Setidaknya itu yang diyakini Luhan dan Sera.

“Dengarkan Papa, Ziyu. Mungkin menjalin hubungan dengan orang lain memang berat, tapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Ketika dewasa, Ziyu akan mengerti betapa pentingnya kemampuan untuk berkawan dengan orang lain.”

“Ziyu sering diejek sok pintar, papa…”keluh Ziyu.

“Ziyu tidak sok pintar, tapi Ziyu memang pintar. Tunjukkan pada mereka kalau tidak ada yang bisa dijadikan bahan ejekan dari diri Ziyu. Orang yang berharga dinilai dari isi otak mereka, Ziyu. Bahkan petinju paling tangguh pun tidak hanya memerlukan tubuh kuat tapi juga otak yang pintar untuk membaca gerakan lawan dan memikirkan strategi untuk mengalahkannya,”jelas Luhan sambil menepuk-nepuk punggung Ziyu. Anak laki-laki itu tersenyum lalu mengangguk kecil tanda mengerti.

Luhan mengeratkan pelukannya pada Ziyu. “Sekarang, Papa harap Ziyu mengerti kenapa Mama tidak mengabulkan permintaan Ziyu dan marah pada Ziyu semalam.”

“Mama melakukan itu karena mama sayang pada Ziyu.”

“Ya. Ziyu benar. Mama ingin Ziyu menjadi murid yang baik dan disayang oleh para guru. Di rumah ini, Mama adalah ratu, tapi sang ratu sudah berkorban sangat banyak, anakku. Mama lah yang pertama bangun di pagi hari, menyiapkan sarapan, memandikan anak-anaknya, menyiapkan pakaian papa, setelah papa dan Ziyu pergi ke sekolah mama harus mengurus 2 adik bayi, kau tahu kan betapa merepotkannya Sean dan Sena?”

Ziyu mengangguk kecil. “Mereka suka sekali menangis.”

“Eo, benar. Setelah itu mama masih harus memastikan rumah tetap rapi, baju-baju Ziyu sudah bersih dan tertata di lemari—siap Ziyu pakai, lalu mama akan menyiapkan makan siang, makan malam, membantu Ziyu belajar, menidurkan Ziyu dan menunggu papa pulang. Mama yang pertama bangun tapi mama pula yang terakhir tidur. Apa Ziyu bisa bayangkan betapa lelahnya Mama?”

Ziyu menggeleng. Tiba-tiba merasa bersalah pada mamanya.

“Papa dan Mama akan senang jika Ziyu mau membantu dengan menjadi anak yang manis dan baik.”

“Ziyu janji tidak akan bolos lagi, Papa…”

“Bagus.”

“Nanti, Ziyu juga akan minta maaf pada mama.”

“Anak pintar.”

Luhan mencium kening Ziyu penuh sayang. Ziyu mungkin anak yang cerdas, IQ-nya mencapai 157 saat Luhan dan Sera membawanya ke biro psikologi SNU untuk diukur, tapi egonya besar, harga dirinya tinggi seperti Sera dan Ziyu jelas mewarisi sifat Luhan yang kekanak-kanakan. Jika Luhan melihat Ziyu, ia seperti melihat perpaduan sempurna antara dirinya dan Sera. Ia tidak bisa membayangkan, bagaimana jika Sena dan Sean besar nanti. Babanya dulu pernah bercanda dengan mengatakan bahwa jika Ziyu, Sena dan Sean besar, mereka bertiga bisa saja menghancurkan Korea dengan kecerdasan mereka. Yah, menghancurkan, bukan membangun, karena tabiat mereka bertiga yang buruk…

Jadi sudah menjadi tugas Sera dan Luhan untuk mendidik ketiga anaknya secara tepat dan itu adalah hal tersulit menjadi orang tua.

Di luar, matahari masih belum mau beranjak dari peraduannya. Ziyu sudah kembali jatuh tertidur di lengan Luhan. Sementara Luhan kembali tenggelam dalam pikirannya. Mungkin Luhan terlalu ambisius ketika berharap ia bisa menjadi a good worker, good scientist, good hubby dan sekaligus juga good daddy untuk anak-anaknya. Tapi setidaknya ia mencoba dan berusaha.

Perhatian Luhan teralih pada pintu kamar Ziyu mendesis terbuka dan Luhan melihat Sera—yang ia kira telah kembali tidur, padahal tidak—berdiri di ambang pintu sambil tersenyum. Tangannya bersedekap. Mata tajam yang selalu menjadi perangkap jitu untuk Luhan itu menatap Luhan lurus. Ada sirat kekaguman disana.

“Kau menguping?”tanya Luhan dengan bisikan. Takut Ziyu terbangun.

Sera mengangguk. “I love you, wild boy…”bisiknya mesra.

Luhan tersenyum, “Love you too~~”

Oh iya, ia memiliki Sera di sisinya. Tentu saja Luhan bisa melakukan apapun untuk membuat wanita itu bahagia ^^

-

-

-

END

-

-

-

Mau baca cerita lainnya? Scroll down juseyo~~

-

-

-

Cahaya matahari musim semi yang berhasil lolos lewat celah-celah dedaunan menembus kaca jendela ruang kelas. Ziyu tidak tertarik memperhatikan penjelasan guru matematika-nya. Anak laki-laki itu lebih tertarik memperhatikan bagaimana gelombang cahaya matahari bisa menembus kepadatan klorofil hingga membuat dedaunan nampak agak transparan. Oiya, bukankah pohon-pohon itu butuh cahaya matahari untuk makan, seperti halnya sun-bike papa-nya yang butuh tenaga surya untuk bisa berjalan secara otomatis tanpa perlu dikayuh. Enak sekali pohon-pohon itu, sinar matahari kan gratis, humus dan mineral dalam tanah juga gratis, mereka bisa makan sepuasnya tiap hari tanpa perlu bekerja. Mungkin tidak ya suatu hari nanti juga ada manusia tenaga surya? Makan cahaya matahari rasa sup ayam ginseng?

“Anak-anak, coba sebutkan angka-angka mana yang bisa dibagi 2!”Im Yoona-sonsaengnim—guru matematika kelas 3 itu bertanya pada anak-anak sekelas. Mencoba mengawali pelajarannya tentang bilangan genap dengan pertanyaan sederhana. Murid yang berjumlah 19—plus Ziyu yang tidak tertarik memperhatikan—itu hanya menatapnya bengong, tanpa suara apalagi jawaban. Memandang papan tulis yang bertuliskan angka 1 sampai 10 itu seolah mereka sedang memandang alien.

“Ayo, coba cari angka-angka mana yang bisa dibagi 2!”Im-saem tak putus asa, kembali bertanya. Beberapa anak mulai menghitung dengan jari satu persatu-satu angka-angka itu. Tapi sepertinya kesabaran Im-saem tak cukup panjang untuk menunggu mereka. Ia menoleh pada Ziyu yang duduk di bangku paling belakang, menangkap basah anak itu yang sedang asyik menatap ke luar dan tidak memperhatikannya.

“Ziyu-ya, coba jawab pertanyaan Ibu!”pintanya.

Ziyu yang merasa dipanggil bereaksi. Menoleh ogah-ogahan. Mata bundarnya yang jernih menatap ke arah Im-saem lalu beralih ke papan tulis.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

“Mana yang bisa dibagi 2, Ziyu?”

“Semuanya, saem…”sahut Ziyu cepat, lalu kembali menatap keluar.

Im-sonsaengnim ternganga. Begitu pula dengan anak-anak sekelas. Beberapa murid nampak hendak mengajukan protes. Heii… bukan itu jawaban yang ia benar! Bagaimana lah Ziyu ini, mana bisa angka 1 dibagi 2!!

Ups!!

Tentu saja bisa!!

1 dibagi 2 kan 0,5. 2 dibagi 2 = 1. 3 dibagi 2 = 1,5… dst.

Im-saem tersenyum keki. Merasa bodoh. Tentu saja… ya tentu saja… di dunia ini semua bilangan bisa dibagi 2 bukan?

-

-

-

Mau lagi? Scroll down~~ :-D

-

-

-

“Ziyu-ya, siapa yang lebih kamu sukai, harabeoji atau grandpa?”

Luhan yang berada di dapur dan mendengar ucapan mertuanya itu memutar bola matanya jengah. Oh… belum ada semenit genjatan senjata, sekarang gantian mertua-nya yang memicu perang. Ibu mertuanya—eomma Sera—yang juga ada di dapur bersamanya untuk menyiapkan makan malam, terkekeh kecil mendengar ucapan suaminya. Sejak dulu, sepertinya beliau selalu menikmati adu mulut antara suaminya dan besannya itu. Yah, memang sebenarnya lucu sih… kedua pak tua itu selalu saja berdebat hal-hal tak penting. Apalagi ini… sudah ratusan kali mereka mendebatkan siapa yang lebih disukai Ziyu, dan sejak dulu sepertinya mereka terlalu sibuk membanggakan diri masing-masing dan saling mengejek daripada benar-benar mendengar pendapat Ziyu. Lihat saja!! Sejak tadi Ziyu hanya memandang kedua kakeknya dengan tatapan antusias, tidak terlibat sama sekali dengan pembicaraan dan sesekali terkikik geli melihat betapa konyol ayah dari papa dan mamanya itu.

Hari ini, keluarga Sera dan Luhan—tak disangka-sangka—berkumpul. Luhan serius saat bilang akan meminta Mamanya untuk datang ke rumah dan membantu Sera mengurus anak-anak. Tapi Sera benar akan prediksinya. Sekarang ayah, ibu, dan kedua mertuanya sedang berkumpul. Sementara Luhan membantu mertuanya memasak, Sera dan Mamanya sedang memandikan Sean dan Sena. Lalu kedua kakek itu, yang seharusnya bertugas menemani Ziyu bermain, malah sibuk dengan debat mereka.

“Pertanyaan bodoh macam apa itu, Seunghyun-ah, tentu saja yang paling disukai Ziyu adalah aku, grandpa-nya. Ya kan, jagoan?”

“Jika Ziyu bilang menyukaimu, itu hanya karena rasa sungkannya setelah menerima hadiah robot itu darimu. Ziyu anak yang penuh sopan santun seperti ibunya…”

“Kenapa rasa-rasanya aku sedang mendengar pembelaan dari orang yang pelit ya? Bahkan untuk cucu yang katanya paling kau sayangi sedunia pun kau tak mau mengeluarkan uangmu! Untung Ziyu anak yang tidak materialistis seperti Luhan.”

“Kau benar, cucu tampanku ini memang tidak materialistis. Ziyu tentu tahu bahwa cinta tak akan bisa diukur dengan barang. Harabeoji menyayangimu, cucuku…”

Ziyu tersenyum saat Seunghyun mengusap kepalanya lembut dan tersenyum padanya.

“Omo… omo… tolong ralat ucapanmu tadi Seunghyun-ah. Ziyu itu cucu kita, bukan hanya cucumu. Aighooo… bagaimana ini, uri Ziyu?”Guangyi menepis tangan Seunghyun di kepala Ziyu dan gantian mengusap kepala anak itu. Kali ini tatapannya nampak prihatin. “Semoga sifat culas harabeoji-mu itu tidak menurun padamu, sayang…”

Mata Seunghyun melotot. Ia seperti hendak mencekik Guangyi saat itu juga.

“Astaga eommonim, aku harus segera memisahkan mereka sebelum mata anakku ternodai oleh adegan pembantaian!”ujar Luhan gusar, tangannya yang tadi sibuk mengaduk sup terhenti.

Sera eomma—Shin Sekyung—mengambil alih. “Sudah, biarkan saja mereka, nak Luhan. Semakin kangen mereka berdua karena lama tak bertemu, semakin pedas mulut mereka.”

“Oh, itu akan menjadi contoh yang buruk untuk Ziyu, eomma…”

Luhan beranjak meninggalkan dapur, tapi saat ia sampai ke ruang tengah, saat itu Sera dan Mamanya juga berjalan kesana. Langkah Luhan terhenti saat Sera menyerahkan Sean pada ayahnya dan Mamanya menyerahkan Sena pada Baba-nya.

“Daripada Baba dan besan bertengkar terus dari tadi, lebih baik jaga Sena dan Sean. Ajak mereka bermain…”ujar Mama Sera tegas. “Ziyu, marahi kedua kakekmu jika mereka bertengkar lagi!”pesannya serius sambil berlalu menuju dapur, hendak membantu besannya memasak.

“Siap!! Grandma!!”Ziyu mengangkat tangannya ke dahi, sikap menghormat seperti tentara. Luhan tersenyum melihat tingkah menggemaskan anaknya itu.

Sera bersedekap. Memandangi kedua ayahnya yang sekarang sudah sibuk menenangkan Sean dan Sena yang mulai menangis di gendongan mereka. Helaan napas keluar dari bibir wanita itu.

“Hei…”panggil Luhan lembut ke arah Sera.

Sera menoleh dan melangkah mendekati Luhan.

Tangan Luhan terulur, dan ketika pinggang Sera berada dijangkauannya, pria itu menarik istrinya mendekat. Memeluk Sera dengan satu tangan.

“Untung aku melahirkan 2 anak sekaligus kali ini, jadi appa dan Baba tidak perlu berebut lagi…”gerutu Sera.

Luhan terkekeh, sebelum mendaratkan ciumannya ke pelipis Sera.

-

-

-

Mau lagi? Aduh udahan ya… hehehe… ^^

-

-

-

Sorry, aku gatel pengen menggambarkan betapa kerennya uri wild boy di usianya yang udah 30-an dan kayaknya jarang kan ada karakter suami yang seorang akademisi macam ini. Aku greget sendiri pas bayanginnya. Pengeeeeeeeennnn~~~ Jadi tolong dimaklumi pemilihan konflik yang gak cetha ini. Habis, aku gak bisa bikin marriage life, trus aku baru nyadar Lusera di WB hampir gak pernah bertengkar karena masalah kecil—kecuali pas Luhan lagi cemburu ma Dongwoon atau pas manjanya kumat—dan mereka udah tinggal serumah selama bertahun-tahun di Amerika yang berarti mereka udah terbiasa satu sama lain. Jadi bingung kan mau ngangkat konflik apa…

Ini juga sebagai penghibur karena kemarin aku bikin galau gara-gara Fated to Love You. Gak nyangka kalau banyak banget yang senasib sama Sera, hehehe. Be strong, guys!! Karena aku udah posting FF yang romantis, please jangan minta sequelnya Fated to Love You yak~!! Untuk alasan ‘tertentu’ aku gak sanggup bikinnya, hahaha  :-D

Oiya, aku mau rekomendasi wp nih, silahkan menyempatkan diri buat berkunjung ya…

allmyfantasy.wordpress.com

EXO SAGA-nya bagus banget ^^. Aku dan temen-temen di BBM suka banget sama ceritanya mbak yulli ini, tapi sayang wp-nya masih sepi. Thanks buat Luhan Eomma yang pertama kali rekomendasiin ke aku. Love you, mbak… kekeke~

Ah, sekian dari saya, i hope you like it, guys~~!!  <3

  

Warm regard,

Seara Sangheera

Filed under: family, fluff, Marriage Life, romance Tagged: Luhan, OC

Show more