Prev Part : https://saykoreanfanfiction.wordpress.com/author/jongchansshi/page/2/
——
“Apakah ibu sudah baik-kan?” Luhan menggenggam erat tangan perempuan yang terbaring lemah di kasur bangsal khas rumah sakit. Mata perempuan itu terbuka, membalas segala tatapan khawatir Luhan dengan tatapan senduhnya. Dia ingin berbicara banyak, tapi alat bantu oksigen pada mulut dan hidungnya membuat dia hanya bisa menganggukkan kepalanya, menjawab pertanyaan Luhan bahwa dia sudah jauh lebih baikkan. Berkat anak itu, tentu saja.
“Aku sudah menemukan Jiyoon, bu, dan dia baik-baik saja. Kupikir dia cerewet, tapi dia tidak pernah berbicara lebih dari 3 kata per kalimat.” Ujar Luhan menceritakan penemuannya beberapa minggu terakhir. Dia ingat bagaimana tatapan kosong gadis itu, bagaimana gadis itu hanya menatapnya datar tanpa minat, tapi dia juga tidak lupa bagaimana gadis itu sempat salah tingkah ketika Luhan berusaha menggodanya. “Lelaki tua itu tidak akan bisa menyakitinya karena Jiyoon berada ditempat yang aman. Dia bersama temanku,bu. Kim Jongin pasti akan melindungi Jiyoon. Aku juga, aku juga akan melakukannya,” lanjut Luhan lirih. Perempuan itu hanya bisa merespon kata-kata Luhan dengan senyumannya. Senyum menyakitkan yang hanya ia perlihatkan dalam waktu seperkian detik, tapi setidaknya otak Luhan dapat merekam itu. “aku akan melakukan apapun agar pria sakit jiwa itu tidak melakukan hal yang lebih buruk lagi pada kau, bu, pada Jiyoon ataupun pada Seungyoon. Aku janji akan menghentikannya.” Luhan berkata sungguh-sungguh. Dia tidak akan membiarkan pria psikopat itu menyakiti ibunya lagi ataupun adik-adiknya. Sudah berapa nyawa yang hilang karena pria gila itu? Dia tidak akan membiarkannya lagi. Dia bersumpah untuk itu.
———-
Jongin memakirkan sebuah Maserati Quattroporte tepat didepan rumah yang warna dinding putihnya nyaris memudar. Dia turun dari sana dan menatap kearah depan, bertanya-tanya dalam hati, sudah berapa lama semuanya berlalu? Jongin ingat, dia membeli rumah ini seharga 300 juta won beberapa hari setelah kepindahannya dari New York ke Korea. Tempat yang tidak setrategis, daerah kumuh banyak penjahat dan jauh dari keramaian adalah tujuannya, apalagi terdapat basement didalam rumah itu, sempurna, semuanya sesuai kemauannya.
Dia membeli rumah ini khusus untuk mengurung Song Jiyoon, gadis itu tidak akan memiliki jalan keluar jika dia berusaha sendiri, bagaimanapun caranya. Tapi Jongin cukup ceroboh waktu itu, Jiyoon tentu terlalu pintar untuk meminta bantuan pada temannya, Kim Jinwoo, yang secara tidak langsung sudah terlibat dalam permainan ini dari awal. Meskipun Jiyoon sudah memberitahu lelaki tukang ikut campur itu bahwa dia baik-baik saja bersama Jongin, Kim Jinwoo tentu tidak berhenti sampai disitu. Dia merasa aneh, curiga, dan penasaran. Apalagi pekerjaannya yang sebagai jaksa membuat naluri tidak percaya-annya begitu kuat. Dia menyelidiki Jongin secara diam-diam, tapi jangan pikir bahwa Jongin tidak tahu. Jongin berhasil membuat Jinwoo percaya segala citra baiknya, tapi pria itu masih belum percaya bahwa sahabatnya, Song Jiyoon sama sekali tidak terancam dan menderita.
Jinwoo bahaya juga, bukan? Benar, pria itu bahaya. Apalagi Jongin tidak jarang mendapat informasi bahwa Jinwoo sering menyelidiki tempat ini. Awalnya Jongin diam saja dan tidak perduli karena Jinwoo bukan tandingannya, tidak sebanding. Sesekali preman di sekitar sana menghadang Jinwoo, merampok dan menghajarnya tapi dia tetap kekeuh dan percaya bahwa Jiyoon masih berada di tempat itu. Dia tidak cepat menyerah ternyata. Atau mungkin pria itu diam diam sangat mencintai Jiyoon.
“Kim Jinwoo berusaha pergi ke Gwangmyeong lagi tadi pagi.” Itu adalah informasi yang dia dapatkan ketika melajukan mobilnya ke tempat ini. Jongin mengepal kuat tangannya, dia merasa desiran darahnya mendidih. Dia marah, kesal, benci dan menyesal kenapa tidak menghabisi pria itu dari saat pertama kali dia ikut campur. Kim Jinwoo benar-benar ingin mengajaknya berperang terang-terangan. Jangan pikir ia akan takut.
Pria itu membuka kasar pintu rumah yang kuncinya tentu berada dalam kepemilikannya. Dia melihat keadaan ruang tamu yang sudah bersih, tiada lagi bekas kerusuhan yang disebabkan oleh orang-orang gila itu semalam. Siapalagi kalau bukan Jiyoon yang membereskannya? Jongin pergi dari sini pagi-pagi sekali bersama bibi Han, dan sesuai janjinya, dia menemui Kim Young Woon yang menceritakan sesuatu yang sebenarnya penting, tapi itu terasa tidak penting lagi ketika Jongin mengetahui bahwa Jinwoo bisa membuat dirinya terancam. Merebut Jiyoon darinya.
Dia membuka kamar Jiyoon dengan tidak sabaran dan mendapati gadis itu baru keluar dari kamar mandi. Rambut hitam panjangnya masih basah dan dia mengenakan gaun rumah selutut berwarna orens. Iris gelap Jongin terpaksa bertemu dengan cokelat terang gadis itu. Seperti biasa, sorot matanya kosong dan mati, benar-benar hampa dan tidak bisa di kenali.
“Apakah tadi kau bertemu dengan pria itu? Apa yang dia lakukan padamu?” Dia bertanya dengan suara pelannya yang begitu halus. Jongin sama sekali tidak ingin membahas soal ini sebenarnya, tapi dia kecurian start sehingga Jiyoon mengungkapkan isi pikirannya lebih dulu.
“Sama sekali bukan urusanmu.” Jawabnya dingin.
Tidak. Tentu saja itu urusan Jiyoon karena setengah dari pembicaraan perang mereka tadi membahas gadis itu. Tapi Jongin sudah mengeluarkan pernyataan final, apapun tentang Song Jiyoon, biar saja dia yang mengurus. Tidak seorangpun boleh ikut campur, termasuk lelaki yang mengaku sebagai adik ayahnya tersebut. Gadis itu kembali berada dalam masalah lainnya, sementara Jongin akan menghapus segala masalah itu. Cukup dirinya saja yang menjadi satu-satunya masalah pada gadis itu. Mungkin bisa dikatakan bahwa Song Jiyoon akan aman dari orang lain, Jongin sdndifi yang menjamin itu, tapi tidak darinya, tentu saja.
“Dia tidak menyakiti-mu, kan?”
“Sudah kubilang bukan urusanmu, brengsek!” Jongin tidak tahu kenapa jawabannya bisa sekasar ini. Jiyoon sudah menundukkan kepalanya dalam-dalam. Mungkin ketakutan atau mungkin dia tahu Jongin akan menyakitinya sebentar lagi. Jiyoon tidak mengerti bagaimana Jongin yang semalam bisa terlihat begitu tenang sekarang menjadi sangat kacau. Apa yang terjadi? Apa yang dilakukan Kim Youngwoon kepadanya? Apakah Kim Youngwoon menyakitinya? Tidak, tidak seharusnya Jiyoon merasa perduli, kan?
Jongin berjalan mendekati Jiyoon sementara gadis itu reflek mundur beberapa langkah. Membuat langkah Jongin kearahnya menjadi semakin cepat. Perlakuan Jiyoon barusan tentu membuatnya semakin naik darah. Gadis itu masih berusaha menghindari Jongin hingga punggungnya menyentuh tembok dan Jongin berhenti tepat dihadapannya, dengan jarak yang begitu dekat, bahkan Jiyoon dapat merasakan detak jantung pria itu yang menggebu-gebu. Semua tahu kalau Kim Jongin tengah marah besar sekarang.
“Dengarkan aku baik-baik.” Dia berkata tajam, satu tangannya menggenggam kuat lengan Jiyoon, yang meskipun dia tahu bahwa rasanya sakit, tapi gadis itu tidak keluarkan suara apapun dan hanya menatap kearah lantai. “Kau beruntung karena Kim Jinwoo masih berusaha membantumu. Tapi kau sangat sial karena aku tahu itu.” bisiknya dingin. Jiyoon tidak merespon apapun, dia masih dalam posisi yang sama seperti tadi, diam seperti patung hingga Jongin pada akhirnya melepaskan genggaman kasarnya. Pria itu dapat melihat bekas merah yang kentara pada bagian lengan Jiyoon. Tapi dia berusaha untuk tidak perduli.
Pria itu memejamkan matanya, berusaha bernapas normal dan menghilangkan perasaan marahnya yang semakin berlebihan. Tenang, dia harus tenang atau gadis ini bisa mati ditangannya sebentar lagi. Dan itu tidak boleh ia lakukan.
“Bagaimana menurutmu? Apakah aku harus membunuh Kim Jinwoo? Kau lihat sendiri kan siapa yang menantang siapa lebih dulu!” Jongin bertanya santai, meskipun suara santai nya terdengar bergetar akibat amarah dan kebencian. Dia betul-betul butuh untuk melampiaskan segalanya di detik ini juga.
Kemudian Jiyoon bereaksi, membuat sudut bibir pria itu sedikit terangkat, menampakkan aura jahatnya yang semakin menjadi. Masih ada sesuatu yang Jiyoon pedulikan rupanya.
“Kumohon…..jangan lakukan itu.” gadis itu berani memandangnya, dengan tatapan kosong dan takutnya yang biasa. Jongin ingat bahwa mata itu dulunya pernah bersinar begitu terang, layaknya keindahan matahari terbit.
“Berikan aku penawaran yang menguntungkanku kalau begitu.”
“Aku akan lakukan apapun.”
“Sayangnya, kau tidak bisa melakukan apa-apa.” Balas Jongin pedas.
Lalu yang dilakukan gadis itu berikutnya benar-benar membuat Jongin terkejut, dengan cepat ia tukar raut kagetnya dengan tatapan datar. Apakah Kim Jinwoo seberharga itu sampai-sampai Jiyoon berlutut padanya agar dia mengampuni Jinwoo? Kenyataan ini membuatnya merasa mual. Dia benci. Sangat benci apabila Jiyoon masih memikirkan orang lain ketika dirinya sendiri sudah benar-benar sekarat.
“Jongin, jika kau sangat membenciku, tolong jangan libatkan siapapun selain aku. Kau berhak melakukan apapun yang kau mau terhadapku, aku tidak akan membantah keinginanmu. Dan Jinwoo….dia tidak akan bisa berbuat banyak jika aku tetap mulut dan….dan aku berjanji tidak akan membeberkan apapun kepadanya. Aku berjanji akan diam saja. Aku berjanji tidak akan melakukan sesuatu yang tidak kau sukai….” Mata gadis itu bergerak-gerak panic seiring dengan kata-kata yang keluar dari bibir pucatnya. Dia sungguh-sungguh dengan perktaannya, asal Jongin benar-benar tidak menyakiti orang lain lagi.
Apakah Song Jiyoon bisa dipercayai? Jika Jiyoon benar-benar menepati janjinya, lalu apa yang harus Jongin takutkan lagi?
“Bagaimana dengan Luhan, huh?”
Ngomong-ngomong, Jongin tidak menyangka bahwa Luhan lebih gampang dikelabuhi daripada Kim Jinwoo, urusannya dengan Luhan tentang Jiyoon tentu berjalan selancar itu. Pria itu percaya bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan apabila Jiyoon bersamanya, gadis itu akan baik-baik saja. Meskipun kenyataan sebenarnya Jongin adalah monster yang paling tidak ingin dilihat dan dibenci oleh gadis itu. Dia benar, kan? Bahkan Luhan tidak memiliki kekuatan yang cukup besar untuk membuat Jiyoon pergi darinya. Luhan juga tidak berhasil, siapapun tidak akan berhasil tentu saja. Harga mati ketika dia mengatakan bahwa tidak seorang-pun yang bisa menyelamatkan Jiyoon darinya. Tidak perduli Luhan, Jinwoo atau siapapun.
“Aku juga tidak akan memberitahukan apapun pada Luhan….aku tidak akan memberitahu siapapun. aku janji.” Gadis itu berkata lagi, masih dengan posisi berlutut dihadapan Jongin.
“Fine, penawaranmu aku terima. Tapi jika kau berani melanggar janji-mu, aku bersumpah akan menghabisi kalian semua. Kau yang terutama.” Ucap Jongin dengan nada kejinya. Jiyoon tentu bergidik dengan ancaman Jongin. Dia mencoba untuk bernapas meskipun terasa sulit sekali. Tapi dia bisa kehabisan napas jika terus menahannya seperti ini.
“A—a-ku tidak akan menghianati janjiku….”
“Kalau begitu ganti bajumu. Kita harus segera pergi dari sini karena aku akan segera membakar tempat ini.”
——–
Jongin menghembuskan asap rokok-nya yang bercampur dengan udara dingin. Daritadi sesuatu terus mengganggu pikirannya. Dia nyaris menyerang gadis itu lagi. Apabila tadi sedikit saja Jiyoon melakukan kesalahan, dia pasti sudah habis ditangan Jongin. Ah tidak, itu berlebihan, Jongin hanya akan membuat gadis itu sekarat. Dia tidak akan membiarkannya mati begitu saja ngomong-ngomong.
Jiyoon sudah semenderita itu, Jongin bahkan tidak ingin membayangkan bagaimana perasaan gadis itu setelah apa yang terjadi padanya. Setelah apa yang Jongin perbuat untuknya.
Dia tahu seperti apa perasaan kelewat sakit itu. Dia pernah merasakannya, tidak, dia bahkan masih merasakannya. Sesuatu dalam dirinya terasa mati padahal dia masih hidup. Dan mungkin tidak ada rasa kehilangan yang lebih parah dari itu.
Dia berpikir.
Apakah itu kesalahan Song Jiyoon apabila Jongin meletakkan kebahagiannya diatas tangan gadis itu tetapi dia malah menghempasnya jauh-jauh?
Apakah itu kesalahan Song Jiyoon jika Jongin menganggap gadis itu adalah segalanya sementara dirinya bukan apa-apa?
Apakah itu kesalahan Song Jiyoon ketika Jongin mencintainya setengah mati tapi gadis itu tidak sama sekali?
Apakah itu kesalahan Song Jiyoon apabila Jongin masih mengharapkan gadis itu bisa bersamanya selamanya?
Tidak, tentu saja itu semua bukan kesalahan Song Jiyoon, itu kesalahannya. Kesalahan fatal Kim Jongin karena begitu menginginkan gadis itu yang pada akhirnya membuat perasaan cinta matinya menjadi obsesi dan benci.
Pria itu sekali lagi menyesap puntung rokoknya, semuanya semakin kacau, semakin berat, semakin tidak terkontrol. Jongin tahu bahwa dia sudah melewati batas dan perbuatannya tidak termaafkan oleh siapapun. Jangan berpikir bahwa dia baik-baik saja ketika menculik gadis itu, membawanya kemari dan menyakitinya untuk pertama kali. Dia merasa bersalah sampai-sampai terus dihantui oleh perasaan itu setiap detiknya, menyiksa dirinya bukan main waktu itu. Tapi lama-kelamaan, Dia menjadi terbiasa menyiksa Jiyoon, dia tidak mementingkan dengan rasa sakit gadis itu, dia tidak perduli bagaimana segala omongannya akan berefek nantinya, dia tidak mengindahkan ketika gadis itu memohon ampun. Semuanya sudah terlanjur parah.
Jadi, jika dia memohon pada Jiyoon untuk memaafkan segala perbuatannya, semuanya akan terasa percuma. Gadis itu sudah terlalu rusak, mungkin tidak dapat diperbaiki lagi. Jadi tidak akan ada perbedaan apapun apabila dia meminta maaf atau tidak. Jiyoon akan hidup dalam rasa takut yang amat sangat terhadapnya. Tidak masalah. Setidaknya rasa takut dapat membuat Jiyoon menjadi taat padanya, meskipun dia sendiri tahu bahwa itu tidak akan mengubah keinginan hati yang sebenarnya. Dan Jongin selalu begitu, dia akan melakukan segala cara untuk mencapai keinginannya. Termasuk mengurung Song Jiyoon dalam penderitaan selama-lamanya. Asal gadis itu tetap bersamanya, dia akan berbuat apa saja, tidak perduli benar ataupun salah. Karena sebenarnya, Jongij memang tidak lebih dari laki-laki pengecut tidak tahu diri yang ingin hidup bersama Song Jiyoon.
Jongin mematikan rokoknya ketika mendengar suara pintu terbuka. Well, bisa saja dia tiba-tiba khilaf dan menempelkan api panasnya ke kulit Jiyoon, kan? Pria itu kemudian menatap kearah sana, memperhatikan Song Jiyoon yang menggunakan dress dengan motif bunga yang membalut tubuhnya hingga lutut. Lehernya di lilit syal dan sebuah jaket beludru tebal berwarna coklat melapisi gaun buatan Givenchy tersebut. Dia cantik, gadis itu selalu cantik di mata Jongin.
Jongin keluar lebih dulu sementara gadis itu mengekor di belakang. Dia menghentikan langkahnya tiba-tiba sehingga Jiyoon menabrak punggungnya, reflek gadis itu langsung mundur dan mengatakan maaf berkali-kali ketika Jongin menghadap kearahnya. Well, gadis itu bagaikan mulai tidak terbiasa menatap lurus kedepan, dia hanya tahu bagaimana caranya menunduk.
“Apakah tidak ada sesuatu yang ingin kau bawa dari sini?”
Jiyoon menggeleng, dia yakin tidak miliki apa-apalagi disini selain tubuhnya. Kemana Jongin akan membawanya pergi? Dia tidak mengungkapkan pertanyaan itu. Sebenarnya dia sudah mulai nyaman disini, menghabiskan kehidupan hampanya seorang diri dan menjadikan rumah ini sebagai saksi bisu segala penderitaannya. Dia tidak ingin pindah, tapi apa yang bisa ia perbuat ketika Jongin sudah berkehendak?
Jongin nyaris membalikkan tubuhnya lagi, tapi matanya lebih dulu menangkap bayangan kaki gadis itu. Dia menghela napas berat ketika melihat tali sepatunya sudah terlepas, “Jangan pakai sepatu ket jika kau tidak tahu cara mengikat talinya!” Gumam Jongin kesal sembari berjongkok di depan kaki Jiyoon. Dia merapikan talinya dengan hati-hati, memastikan itu tidak akan terbuka lagi sehingga berkemungkinan membuat gadis itu terjatuh.
Jongin tidak sadar perbuatan nya barusan membawa kembali sebuah kenangan yang nyaris hilang dalam ingatan Jiyoon. Gadis itu tiba-tiba sedikit mundur kebelakang, kakinya tidak sengaja menendang dagu Jongin.
“Ya! Apa yang kau lakukan?” tanya Jongin kesal. Dagunya sama sekali tidak sakit, tapi kelakuan anak ini benar-benar aneh. Apalagi dia tampak ketakutan melihat Jongin. Kening pria itu berkerut, “aku sedang tidak berniat untuk mencelakaimu.” Atau jangan-jangan Song Jiyoon sudah benar-benar gila sekarang?
Jongin kembali berdiri dan menatap lekat-lekat ke mata gadis itu yang tampak panic. Mungkin Jiyoon tidak akan pernah merasa aman bila berada didekat Jongin. Ya, tentu saja. Pria itu adalah bahaya paling menyeramkan yang pernah ada untuknya. “Are you okay?”
Tidak, dia sama sekali tidak baik-baik saja apabila menyamakan Kim Jongin yang berada di hadapannya sekarang dengan Kim Jongin 8 tahun lalu.
———-
Jiyoon menatap serius kearah kaca mobil disampingnya. Matanya menangkap gambaran pohon pinus berselimutkan salju yang memeleh. Ini adalah jalan menuju tempat-nya dikurung dan untuk pertama kalinya dia memperhatikan jalan-nya. Pertama kali dia sadar melewati ini adalah ketika Jinwoo membawanya keluar. Ia cukup senang mendengar bahwa Jinwoo belum menyerah, tapi dia sedih karena pria itu tidak akan bisa berbuat banyak selain mencelakai dirinya sendiri. Meskipun Jongin sudah bersepakat untuk tidak membunuh Jinwoo, Jiyoon merasa yakin pria itu pasti tetap akan melakukan sesuatu untuk memberikan pelajaran pada anak itu.
Dia pikir, dia akan keluar dari tempat ini dan bebas selama-lamanya. Dia pikir, apabila dia keluar dari tempat ini, semuanya menjadi selesai. Dia pikir setelah dia keluar dari tempat ini, kehidupan dulunya yang menyenangkan akan kembali. Tapi tidak, semuanya terasa seperti tidak memiliki ujung. Dia tersesat di tengah-tengah labirin yang tidak memiliki jalan keluar sama sekali.
Jiyoon terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri tanpa sadar bahwa Jongin memperkecil kecepatan pada laju mobilnya. Dan…………brakk.
Dia mengerem mendadak! Membuat kepala Jiyoon tentu saja membentur kaca di hadapannya. Gadis itu langsung melihat kedepan, mencari tahu alasan apa yang membuat Jongin tiba-tiba berhenti, sementara tangannya masih memegang dahinya yang ngilu.
“Itu balasan karena kau sudah menendangku tadi.” Ucap Jongin santai.
Jadi dia sengaja? Jiyoon hanya mengelus-elus kepalanya, memaklumi tingkah childish-nya, Jongin sudah terlalu sering seperti ini, jadi gadis itu mulai terbiasa.
Gadis itu merasa bingung karena Jongin tidak kunjung melajukan kembali mobilnya yang berhenti ditengah jalan. “kenapa tidak jalan?” tanyanya pelan.
Jongin berdecak sebal, “pakai seatbelt-mu dulu! Kau benar-benar mau kehilangan kepalamu?” tanyanya ketus. Jiyoon baru sadar jika dia lupa memasang seatbelt, karena ini perintah, dia segera menggunakannya. Tak lama setelah itu, Jongin mulai melajukan kembali mobilnya, kali ini jauh lebih kencang dan mereka mulai kembali hilang dalam pemikiran masing-masing.
—–
Maserati Putih milik Jongin berhenti tepat di depan sebuah rumah megah di khawasan Gangnam-gu. Jiyoon pernah kemari beberapa kali, pertama ketika Jihyo dan teman-temannya memukulinya hingga tidak sadarkan diri, kedua ketika Jongin ke New York, Pria itu tidak ingin Jiyoon memiliki kesempatan untuk kabur sehingga dia mengurungnya disini dengan penjagaan ketat pelayan-pelayannya. Rumahnya besar, jauh lebih besar dari rumah ayahnya sebelum bangkrut. Arsitektur nya menarik, kau akan semakin menganga-kan mulut-mu ketika melihat isi dalamnya. Rapi, dilengkapi perabotan mahal, tetapi sepi. Jika Jiyoon masih memiliki rasa kagum, dia akan terang-terangan berkata bahwa Jongin sangat mengagumkan. Lelaki itu memulai semuanya dari nol, dia dulu sama sekali tidak memiliki apa-apa, jadi dia benar-benar pekerja keras, bukan? Sebut dia pintar, tampan, keren, cerdas, berkharisma, beruntung tapi itu semua terasa percuma apabila dia hanyalah lelaki jahat yang suka menghancurkan hidup orang lain.
Jongin turun lebih dulu dari Maserati putihnya sementara Jiyoon merasa berat hati untuk turun dari mobil ini. Dia suka baunya, bau apel khas yang membuat hidungnya ketagihan. Tapi Jongin pasti akan marah jika Jiyoon membuat pria itu menunggu. Dia lekas turun dan berhenti didekat Jongin. Pria itu tetap tidak bergeming, berdiri ditempatnya, tidak jauh dari mobilnya yang diparkirkan sembarangan, dia kemudian melihat kearah Jiyoon yang menunggunya, memperhatikan gadis itu.
“Kepala-mu tidak apa-apa?” matanya mengecek kearah dahi Jiyoon, sedikit memar tapi tidak sampai bengkak. Well, meskipun dia sudah memelankan mobilnya sebelum menginjak rem, tapi gaya dorong yang disebabkan ternyata besar juga.
Gadis itu menggeleng tapi Jongin malah menundukkan sedikit badan tingginya, dia kemudian meniup-niup bagian dahi Jiyoon, membuat tubuh gadis itu membeku merasakan napas hangat Jongin pada wajahnya. Jongin masih belum berhenti, dia juga mengelus-elus lembut bagian sana menggunakan rambut Jiyoon, mitos lama kalau ada memar diusap pakai rambut agar cepat sembuh. Dia begitu serius melakukannya tanpa sadar bahwa Jiyoon terus memperhatikannya daritadi.
“Makanya lain kali jangan lupa pakai seatbelt!”
Siapa yang sengaja mengerem mendadak? Kenapa malah Jiyoon seperti satu-satunya yang salah disini? Ah Jongin selalu begitu, dia selalu melemparkan kesalahan pada Song Jiyoon selagi bisa.
Dan ada apa dengan Jongin? Dia daritadi seperti seorang pak guru yang selalu menasehati anak muridnya yang aneh-aneh. Sehingga Jiyoon hanya bisa menatap aneh kearah pria itu. Jongin tidak lupa bahwa apa yang dia lakukan selama ini lebih mencelakai Jiyoon daripada hal-hal kecil ini, kan? Tapi, meskipun Jiyoon tidak mau mengakui ini, dia dapat kembali merasakan sesuatu yang begitu ia rindukan. Ia merasakan kehangatan. Dan dia mengutuk itu karena itu disebabkan oleh pria gila yang berada di hadapannya sekarang.
———–
Jongin berlari-lari memasuki sebuah Restaurant Perancis yang sebenarnya memiliki jarak cukup dekat dengan kantornya. Dia lupa bahwa memiliki janji makan siang bersama Lee Yura, terlalu sibuk dengan dokumen-dokumen kantor yang menjadi tanggung jawabnya sehingga lupa dengan janji yang seharusnya ia ingat tersebut. Hingga berakhir seperti inilah dia sekarang, berlari sekencang mungkin dari kantornya menuju sini, di musim dingin pula. Mudah-mudahan gadis itu belum beranjak dari sana.
Seperti dugaan Jongin, Yura masih duduk disana. Di bagian sudut dekat kaca yang menampilkan pemandangan air pancur, berkutat dengan Laptop dihadapannya. Gadis itu tidak berubah, dia selalu suka Makanan Perancis dan duduk didekat jendela kaca. Jongin tahu betul, well terlalu banyak yang ia ketahui tentang Lee Yura.
“Kau tampak lelah.” Gumam Yura ketika pria itu duduk dihadapannya. Dia menutup macbook applenya dan memperhatikan Jongin yang masih berusaha mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Jika saja ini musim panas, Yura menjamin bahwa Jongin pasti sudah mandi keringat sekarang.
“Maaf, aku terlambat.”
Yura tersenyum. Senyumnya benar-benar menawan, mau kau laki-laki ataupun perempuan, pasti merasa terpana dengan senyum itu. Termasuk Jongin.
“Tidak apa-apa. Kau mau pesan apa?” tanya Yura lembut. Dia menggunakan gaun merah, rambutnya disanggul rapi, membuat kecantikkannya bertambah berlipat ganda. Perempuan ini bak seorang bidadari surga dengan wajah anggun yang dapat membuat laki-laki manapun menjadi mabuk.
Jongin melihat menunya, “café au ait.” Jawabnya cepat kemudian langsung menutup kembali lembaran tebal itu.
“Tidak makan?”
Jongin menggeleng, “aku sudah kenyang.” Bohongnya.
“Kau tidak lupa jika memiliki Maag-kan? Kau harus makan, Jongin.” Pintanya. Jongin langsung menggeleng.
“Aku hanya sedang selera kopi.”
“Hati angsa disini enak sekali. Kau yakin tidak mau?” tawar Yura. Dia selalu khawatir apabila Jongin sudah begini, tidak mau makan, hanya memikirkan tugas, seperti tidak ingin mengurus diri lagi.
“Kau saja, Noona. Aku benar-benar tidak lapar.” Ucap Jongin final, dia berkata lembut, layaknya merayu agar Yura yang mengalah.
Yura tahu jika Jongin tidak suka dipaksa maka dari itu dia memanggil waiter dan memesan makanan yang ia mau, sementara hanya kopi untuk Jongin.
“Kau semakin sibuk, ya?”
Jongin menganggukkan kepalanya, “aku merasa ingin menyerah.”
Yura tertawa pelan, “kukira kau bersungguh-sungguh dengan impianmu. Menjadi sukses dan kaya raya, sekarang semuanya sudah tercapai, bukan?”
Jongin jadi ikut tertawa. Tawanya manis sekali. Menampakkan lesung pipi dibagian rahangnya. Yura benar-benar suka dengan tawa anak itu. “Ternyata tidak seindah yang aku pikirkan sebelumnya.”
“Jadi, apa yang akan kau lakukan?”
“Aku juga tidak tahu.” Jawabnya seraya mengangkat kedua bahunya, antara masa bodoh dan benar-benar pasrah.
“Dasar anak nakal.” Ejek Yura sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Jongin adalah seorang yang ambisius terhadap keinginannya. Jika dia menginginkan sesuatu, dia akan bersungguh-sungguh, tidak ada kata setengah-setengah dalam kamus hidupnya. Dan benar, apapun yang Jongin mau, akan ia dapatkan pada akhirnya. Maka dari itu terkadang Yura merasa kagum sekaligus iri. Dia ingin memiliki sifat ambisius seperti itu.
Makanan yang mereka pesan sampai sehingga Jongin langsung menikmati kopi yang bercampur susu tersebut, mereka sedaritadi membicarakan sesuatu yang kemana-kemana, tidak jelas apa topiknya.
“Jongin.” Panggil Yura ketika keheningan menyerang mereka berdua. Suaranya tidak sesantai tadi. Jongin dapat mendengar nada tegang pada suara lembut itu. Kenapa Yura Noona menjadi canggung padanya?
“Ya?”
“Aku ingin mengatakan sesuatu.”
“Katakan saja, aku akan mendengarkan.”
“Tapi ini serius.”
“Apakah aku seperti tidak bisa serius?”
“Aku menyukaimu….Jongin dan aku akan menunggu. Aku akan menunggu hingga kau bisa benar-benar menghapus gadis itu dalam pikiranmu dan memaafkannya.” Ucap Yura cepat. Jongin hampir saja menyemburkan kopi yang terasa lezat tersebut dari mulutnya. Untung berhasil dia tahan. Dia menatap kaget kearah gadis cantik yang tengah menunduk tersebut. Kenapa Yura menyukainya? Apa yang menarik dari dirinya? “Aku menyukai-mu sejak 8 tahun yang lalu.” Ungkap gadis itu lagi.
Jongin menahan napasnya. Kenapa hukuman mati terasa jauh lebih baik dari pernyataan Yura barusan? Sudah 8 tahun dan Jongin tidak sadar sama sekali! Hebat, bukan? Dia, sedikitpun, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Well, selama ini Jongin tidak pernah bisa menolak permintaan Lee Yura, selama itu untuk kepentingan gadis itu, for your information. Bagi Jongin, Yura bagaikan seorang kakak yang baik hati untuknya, selalu membantunya dan memberikannya banyak nasihat. Jongin menyayangi Yura, tentu saja, tapi bukan dalam artian sayang dari laki-laki untuk perempuan.
“Noona….aku minta maaf.” Dia hanya berkata begitu. Otaknya yang biasanya memberikan jawaban dari sebuah pertanyaan secara cepat terasa tidak dapat bekerja sama sekali. “tapi..tapi kau tahu aku terlalu pengecut…aku tidak bisa menjalin hubungan dengan siapapun.” Ucapnya patah-patah. “aku sama sekali tidak bisa mencintai gadis lain.”
Yura tahu jika Jongin masih trauma dengan yang namanya cinta dan semuanya disebabkan oleh gadis brengsek bernama Song Jiyoon. Salahkah dirinya jika ikut-ikutan menyalahkan gadis itu sekarang?
Jongin tampak kacau, mungkin merasa bersalah atau perasaan lainnya. Jangan pikir jika dia tidak mencoba untuk move on, jangan pikir jika dia tidak berusaha untuk melupakan gadis itu, jangan pikir jika dia tidak ingin semuanya kembali menjadi baik-baik saja.
Yura terdiam, berikut Jongin yang juga tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Dia ingin sekali mengutuk dirinya sendiri yang begitu bodoh. Memang terdapat jutaan gadis di dunia ini tapi dalam dunia Kim Jongin, hanya ada Song Jiyoon. Sebuah fakta yang tidak dapat ia rubah hingga detik ini.
————-
Hari ini hari selasa, jam 3 siang, tanggal 17 Februari. Jiyoon tetap disana, terkurung didalam rumah mewah Jongin yang entah kenapa terasa lebih asing daripada rumah sederhana yang ia tempati sebelumnya. Jongin tidak akan mengizinkannya menginjak pintu keluar barang sedikitpun. Pelayan-pelayan disini selalu mengingatkannya tentang apa yang tidak boleh ia lakukan tiap detiknya. Dan demi apapun, dia merasa risih. Lagipula bagaimana caranya dia kabur sementara dia tidak tahu harus kemana? Kenapa Jongin sulit sekali mempercayainya?
Jiyoon membuka pintu agar dirinya bisa keluar dari kamar Jongin. Ya, dia tidur disana, sendirian, karena dia sendiri tidak tahu Jongin tidur dimana. Pria itu tidak pernah menampakkan batang hidungnya ketika malam tiba. Well, mungkin dia terlalu sibuk akhir-akhir ini hingga Jiyoon bahkan jarang menemukan kehadirannya disekitar sana. Atau mungkin dia lebih suka menghabiskan waktunya bersama Yura. Jiyoon mencoba untuk tidak perduli meskipun pikiran yang terus melayang-layang dalam benaknya terus terarah kearah sana.
Pertama kali Jiyoon tahu tentang berita itu ketika dia menanyakan pada bibi Han kemana Jongin pergi, kenapa dia tidak pernah datang lagi. Bibi Han dengan ke-sok-tahuannya menjawab bahwa Jongin sedang berpacaran dengan teman perempuannya yang juga bersekolah di Stanford. Orang korea juga. Dan Jiyoon sudah langsung bisa menebak siapa perempuan itu tanpa harus diberitahu. Jongin memutuskan untuk kuliah di Stanford karena ingin mengejar perempuan itu. Kemudian Jiyoon tidak tahu atau lebih tepatny tidak mau perduli lagi apa yang terjadi berikutnya.
Dia berjalan entah mau kemana dan langsung berhenti ketika tubuhnya menabrak tubuh seseorang. Tidak perlu mengangkat kepalanya untuk tahu siapa orang yang berada dihadapannya sekarang, Jiyoon sudah dapat mengetahuinya dari wangi parfum khas yang selalu ia hirup beberapa bulan terakhir.
“mau kemana?”
“tidak tahu.” Jawab Jiyoon, dia benar-benar tidak berminat mengangkat kepalanya.
“Hari ini kau ulang tahun.” Ingat Jongin. Dia berbicara pelan sekali, seperti berbisik. Jiyoon mengangguk, dia bukannya lupa, tapi dia tidak perduli. “Selamat…ulang…tahun…” ucap Jongin putus-putus, salah tingkah, entah kenapa dia tidak berani untuk berbuat apapun sekarang. Nyalinya hilang begitu saja.
Jiyoon mengangkat kepalanya, tapi tidak berbicara. “ya, selamat ulang tahun.” Jongin berkata sekali lagi, tapi kali ini tidak sepayah sebelumnya, sambil menatap dalam-dalam kearah mata tidak bernyawa gadis itu.
Pria itu memberikan Jiyoon sesuatu yang dilapisi kotak kardus berukuran sekitar 20cm, tanpa bingkisan apapun lagi. “untukmu. isinya tidak akan seaneh yang kau pikirkan.” Ucap Jongin karena Jiyoon tidak kunjung mengubris pemberiannya. Ya, dia ingat. Pertama kali dia memberikan Jiyoon hadiah isinya memang benar-benar tidak masuk akal. Wajar jika gadis itu menanamkan kecurigaan terhadapnya.
Pelan-pelan Jiyoon mengambilnya dari tangan Jongin yang masih terulur, “terimakasih.” Dia menatap kearah mata Jongin, entah kenapa membuat pria itu menjadi kikuk, “boleh aku membukanya sekarang?”
Jongin mengangguk meskipun dia merasa tidak siap apabila Jiyoon membukanya sekarang. Gadis itu membuka kotaknya, menatap datar isinya, sebuah kamera tua, mungkin keluaran 10 tahunan yang lalu. Jiyoon mengangkatnya dari dalam kotak lalu memperhatikan Jongin.
“Aku tidak tahu apa yang kau mau, makanya aku memberikan itu.” ucap lelaki itu canggung. Dia tidak pernah menjadi secanggung ini dihadapan Jiyoon, sungguh.
“Ya. Aku yang mencurinya. Aku hanya mencuri itu.”
Jiyoon menatap kosong Jongin. Dia ingat ini merupakan kamera milik ekskul Jurnalistik di sekolahnya dulu. Kamera itu hilang dan semuanya menuduh Jongin sebagai pelakunya. Tapi dia tidak sama sekali. Dia percaya bahwa Jongin tidak seperti yang mereka pikirkan. Dan berakhir dengan dirinya yang mengeluarkan uang tabungannya untuk mengganti semuanya.
Tapi pelakunya benar-benar Jongin-kah?
“Kau harus melihat ke dalam isinya.”Jiyoon menghidupkan kamera itu, meskipun keluaran lama tapi terlihat bersih sekali. Seperti selalu dibersihkan setiap hari. Apakah ini kejutan atau rencana gila Jongin lainnya? Dia tidak mengerti.
“Aku tidak mau menghapus isinya maka dari itu aku mencurinya.” Jongin berkata setenang yang ia bisa.
Jiyoon melihat isinya. Satu per satu. Jika dia tidak salah mengartikan, jantungnya berdetak begitu kencang setelah menemukan gambar didalamnya. Dia ingin menangis, benar-benar ingin menangis. Isinya adalah foto-foto dirinya sewaktu SMA dulu. Dari dia tersenyum, tertawa, cemberut, menunduk, berbicara, berjalan, semuanya tergambar didalam sana dalam angle yang bagus. Banyak sekali. Dan bisakah dia mengakui bahwa ini merupakan hadiah terindah di hari ulang tahunnya?
“Aku akan ke sekolah dan mengganti uangnya. Tenang saja.” Lanjut Jongin lagi, melihat kearah manapun selain Jiyoon. sementara gadis itu menatap nanar kearah benda yang masih berada di genggamannya sekarang.
Apakah waktu itu Jongin benar-benar menyukainya? Jiyoon tidak pernah tahu.
“Kuharap, apabila aku mengembalikan benda itu kepadamu, perasaanku padamu bisa hilang begitu saja. Selamat ulang tahun.” dia mengucapkannya sekali lagi. Mungkin dalam hati menambahkan kalimat seperti ‘semoga kau bahagia’ meskipun dia tahu sendiri bahwa Jiyoon tidak mungkin bahagia apabila bersamanya.
“Terimakasih………” Jiyoon berkata dengan suaranya yang terdengar bergetar, entah karena apa. “Terimakasih karena sempat menyukaiku……”
Dan bisakah kau tidak berhenti?
Tapi semuanya sudah terlalu terlambat. Mungkin tak ada yang bisa diperbaiki lagi. Gadis itu terlanjur mati rasa, begitu juga Kim Jongin. Dan untuk Song Jiyoon, semuanya terasa semakin buruk.
———–
TBC
This was the first time i wrote tbc anyway. The words count was already almost 4500 and i had to cut it here because my friend just came right now and we had to make our tasks. I was just afraid if i didnt post it now, i would not post it until next week and next week and next week. Tapi mungkin nih ya, mungkin aja ntar tgh malem atau bsk lanjutannya sampe yang part Jongin nusuk dirinya sendiri itu udah dipublish. But i dont promise you, sorry.
1. untuk kado Jiyoon ke Jongin di part selanjutnya akan kuberitahu (haha) (tertawa jahat)
2. Gue udah ngasih tahu ga sih dari awal kalo Jongin sebenernya baik tapi sama Jiyoon aja dia jahat? dia juga punya karakter manusiawi, kalo lg ga sama Jiyoon sih kalo sama Jiyoon dia monzter. yah, semoga aja pada gangerasa dia berubah.
3. Soal perasaan Jiyoon, sebenernya kelihatannya gmn? mereka berdua sama2 gapeka makanya ganyambung,
4. Gue punya part khusus Point of Viewnya Jiyoon. itu banyak moment mereka sma dan bagaimana isi pikiran cewek itu waktu itu. Soalnya menurut gue, Jiyoon karakternya terlalu samar. Tapi part ini di khususkan untuk yang rajin komen di part2 sebelumnya, sebagai hadiah untuk yang rajin. jadi akan aku beri password hehe. jadi maafkan aku reader2 baru atau yang tiba2 menjadi baru aku tak bisa memberikan kalian, tapi someday atau ketika semuanya tamat, akan aku berikan. Akan ada part Jongin juga dan lainnya mungkin. (tapi kalo misal ada yg wanna explain alasan masuk akal selain reader baru dan males, hal2 tettentu maklum kok, i still will give u anyway) (bbrp part doang udah gue anggep rajin kok) (tapi sblm tanggal ini) (ga jahat kan w) (seenggaknya bkn part ending yg gue giniin) (concequence guyss)
5. Kalau misal mikirnya ceritanya ngga berkembang, lah emang sih, konfliknya tuh pada diri mereka sendiri yang bikin mereka sendiri jadi menderita sendiri. Itu ngga akan segampang kalo misal Jongin udah baik, Jiyoon bakal nerima semuanya gitu aja. ngga lah. ngga bakal semudah itu. tapi amour obsede sebentar lagi tamat kok. kalo gue mau tulis yang panjang2.
6. jangan terkecoh sama pov author, itu terkadang penipuan dan propaganda banget. like people said, tidak ada yg bener2 ngerti isi hati orang yang sebener2nya.
7. maafin bikin ff ini jadi berasa susah banget, salah satu alesannya karena gue baper Jongin yang baik2. lah disini dia masih jahat aja. gue jadi sebel sendiri sama yang buat (lah)
8. tapi seenggaknya Jongin setia. kan susah jg tuh cari di jaman skrg.
Nih Jiyoon
Aoi yu+Zhang Xin Yuang =
kalo Yura itu, ulzzang Lee sarang (ini pemikiran gue dulu).
Filed under: Uncategorized Tagged: kim jongin