2018-12-07

Journey merupakan sebuah karya film kolaborasi tiga sineas dari tiga negara berbentuk kumpulan film pendek (Omnibus) dengan tema sama, yakni “Perjalanan”. Program kolaborasi kedua ini dinamakan Asian Three Fold Mirror yang telah berlangsung sejak 2016, dan didukung oleh Tokyo Internasional Film Festival (TIFF) dan The Japan Foundation Asia Center yang memang fokus pada kerjasama dan pendanaan produksi film. Program ini fokus pada pertukaran antarbudaya, antara Jepang dan negara Asia lainnya yang bertujuan untuk berbagi pengetahuan, saling memahami keragaman, serta menilik identitas Asia. Filmnya diharapkan mampu mengeksplorasi kondisi sosial budaya dari negara-negara di Asia dengan melakukan proses produksi film di tiga wilayah negara Asia yang dipilih. Kali ini China, Myanmar, dan Jepang yang dipilih sebagai setting lokasi. Kerja sama kolaborasi ini juga melibatkan pertukaran kru produksinya.

Journey mengusung tiga karya film yang disajikan berurutan yang masing-masing berjudul “The Sea” karya sutradara Degena Yun asal China, “Hekishu” karya sutradara Daishi Matsunaga asal Jepang, dan “Variable No.3” karya sutradara Edwin asal Indonesia. Film ini berdurasi 83 menit, dan masing-masing segmen film memiliki porsi durasi yang relatif sama. Film ini baru lalu, diputar di ajang festival film tahunan, 13th Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) dalam program Asian Perspective, yang menghadirkan pula sutradara, produser, dan sinematografernya. Selain pemutaran film, diadakan pula sesi tanya jawab (Q&A) dengan para sineasnya. Kabarnya, film ini akan diputar di bioskop regular awal tahun mendatang.

Film pertama adalah karya Degena Yun berjudul “The Sea”. Film yang berlatar cerita di Beijing, China ini berkisah tentang seorang ibu (Jin Chen) dan putrinya (Zhe Gong) yang sedang melakukan perjalanan ke pesisir pantai timur dari wilayah Beijing. Hubungan mereka tak akur dan dingin satu sama lain. Suami sang ibu baru saja meninggal. Sang ibu mencoba berdialog mengenai masalah yang tengah mereka hadapi, namun sang putri cenderung diam, acuh, dan kadang meluapkan kemarahannya.

Plotnya sangat sederhana. Seorang ibu dan putrinya yang melakukan perjalanan menggunakan mobil. Sekalipun sang sineas membangun cerita melalui dialog-dialog singkat, namun mampu menggambarkan persoalan yang tengah mereka hadapi secara utuh, sepeninggal sang suami. Intensitas drama yang dibangun tampak dari percakapan dingin di antara keduanya sehingga penonton seolah juga merasakan kekalutan mereka. Walau terlihat mengalir tanpa konflik yang berarti, namun pada segmen akhir mampu memberi kejutan yang menjelaskan tujuan perjalanan mereka. Keberhasilan cerita film ini amat didukung akting kedua pemainnya yang sangat natural dan begitu mendalami perannya.

Film selanjutnya, Heishiku karya sutradara Jepang, Daishi Matsunaga. Bercerita tentang pegawai muda bernama Suzuki (Hiroki Hasegawa) asal Jepang yang bekerja di Yangon, Myanmar. Ia tinggal sendirian di apartemen miliknya. Suatu ketika, ia ingin membelikan satu busana khas Myanmar untuk kekasihnya di Jepang. Suzuki berjalan ke sudut-sudut kota dan pasar tradisional hingga bertemu seorang gadis penjahit yang kelak membuatkan pesanannya. Petualangan kecilnya membawa sebuah pengalaman yang berbeda baginya karena di tempat asalnya segala sesuatunya terlihat serba cepat.

Berbeda dengan film pertama yang lebih mengutamakan dialog, film kedua ini terasa lebih sunyi dan minim dialog. Kisahnya memang lebih personal. Sang sineas yang memiliki basic sebagai sutradara film dokumenter, memotret keseharian sang tokoh begitu realistis dan mengalir secara natural. Tempo film yang lambat juga mendukung suasana yang berjalan lambat. Hampir tak ada konflik yang berarti. Momen-momen kecil yang mengalir, membawa kita melihat secara utuh kondisi geografis dan sosio-kultural masyarakat Myanmar. Satu momen kecil penuh chemistry, yakni ketika Suzuki diajak makan malam bersama keluarga si gadis dan mendadak listrik padam. Semua lalu menyanyikan lagu Happy Birthday ketika lilin dinyalakan. Pemadaman yang konon sering terjadi ini, dijadikan lelucon kecil bagi mereka. Sang tokoh memang kesepian, namun kita tak pernah paham apa kegelisahan mendalamnya hingga akhir kisahnya yang mengambang.

Film ketiga berjudul Variable No.3 karya sutradara kita, Edwin. Filmnya yang mengambil setting di Kota Tokyo. Berkisah tentang sepasang suami istri, Sekar (Agni Pratistha) dan Edi (Oka Antara) yang tengah berlibur di Jepang. Mereka menyewa sebuah penginapan yang dikelola oleh Kenji (Nicholas Saputra), yang ternyata juga orang Indonesia. Sekar dan Edi adalah pasangan yang kurang harmonis. Kenji yang tengah melakukan sebuah penelitian tentang  pasangan suami-istri mencoba menawarkan bantuan dengan menawarkan opsi yang diistilahkan Variable No. 3.

Sang sineas ingin berbicara soal keintiman (intimacy) hubungan pasangan suami-istri. Plot filmnya mencoba mengeksplor hubungan keduanya. Masalah terletak pada logika cerita yang lemah. Aneh, pasangan tersebut mau melakukan satu hal yang kontroversi tanpa sebuah perdebatan atau pertimbangan yang matang dari keduanya. Setelah itu apa? Efeknya tak terlihat jelas. Untuk film berdurasi pendek film ini kurang menggambarkan proses. Background cerita juga kurang menggambarkan masalah utama yang tengah mereka hadapi. Beberapa kali, dialog mereka mengarah pada masa lalu yang kelam namun tetap terasa tanggung dan tak jelas.

Salah satu sineasnya, Edwin, mengatakan bahwa makna perjalanan semata tak hanya terbatas  pergi ke suatu lokasi, namun juga adalah kisah perjalanan hidup manusia bersama problem masa lalu mereka. Keragaman cerita telah tercakup pada ketiga filmnya, dengan menggambarkan hubungan antara ibu dan anak, seorang laki-laki dengan lingkungan asingnya, hingga hubungan pasangan suami istri. Tone ketiganya nyaris sama, yakni bertempo lambat dan sunyi, didukung teknik long take yang lebih menggambarkan realita.

WATCH TRAILER

Show more