Lha Sang Presiden yang tidak punya rasa … Katroks !
Pengetatan Remisi Salah Satu Penerapan Efek Jera
Ikon konten premiumCetak | 18 Maret 2015 Ikon komentar2 komentar Ikon jumlah hit503 dibaca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden meminta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia memperhatikan rasa keadilan rakyat terkait adanya wacana mengkaji kembali aturan pengetatan remisi untuk narapidana perkara korupsi. Pemerintah tetap punya komitmen tinggi terhadap pemberantasan korupsi.
kiri ke kanan, Wakapolri, Komjen Pol. Badrodin Haiti, Panglima TNI, Jendral TNI Moeldoko, Menkumham, Yasonna Laoli, dan Menkopolkam, Tedjo Edhy Purdijatno saat Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memasuki ruangan untuk memimpin rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (17/3).
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
kiri ke kanan, Wakapolri, Komjen Pol. Badrodin Haiti, Panglima TNI, Jendral TNI Moeldoko, Menkumham, Yasonna Laoli, dan Menkopolkam, Tedjo Edhy Purdijatno saat Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memasuki ruangan untuk memimpin rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (17/3).
Demikian disampaikan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto. Dia menambahkan, usulan adanya kajian kembali terkait aturan pengetatan remisi untuk koruptor masih wacana dan belum pernah dibahas dalam sidang kabinet.
”Jika rumusannya sudah siap, menteri terkait biasanya meminta agar hal itu diagendakan dalam rapat terbatas,” kata Andi, Selasa (17/3), di Jakarta.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno menambahkan, pemerintah membuka ruang diskusi dengan semua pihak terkait wacana pengetatan remisi untuk koruptor. Pemerintah punya posisi jelas dalam hal ini, yaitu tetap punya komitmen terhadap pemberantasan korupsi.
Namun, Tedjo menolak memberi pandangan lebih jauh karena merasa bukan kewenangannya.
00:00:00
KOMPASTV
Hukuman mati yang tegas diberikan kepada sejumlah terpidana, seolah jadi ironi di tengah wacana pemberian remisi bagi para koruptor. Wacana ini dilempar oleh Menteri Hukum dan Ham, Yasonna Laoly. Meski sudah jadi sorotan, isu ini rupanya belum sampai dibahas dalam rapat kabinet. Presiden Joko Widodo melalui Sekretaris Kabinet, meminta Menkumham mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat, terkait remisi kasus korupsi.
Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna H Laoly mengatakan sedang mengkaji aturan pengetatan remisi untuk narapidana kasus korupsi. Hal ini karena ada sejumlah ketentuan yang perlu direvisi, khususnya dalam pelaksanaan pemberian remisi yang cenderung diskriminatif dan tidak adil.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi menegaskan, KPK tetap menolak adanya kemudahan bagi narapidana korupsi untuk mendapatkan pemotongan hukuman atau pembebasan bersyarat. Pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat merupakan salah satu penerapan efek jera bagi pelaku korupsi.
Pertimbangan
Yasonna menyatakan setuju jika ada pengetatan remisi untuk koruptor. Namun, ada ketentuan atau sistem yang perlu ditinjau dalam pemberian remisi ini, yaitu tentang perlunya pertimbangan dari instansi/lembaga terkait.
content
,12
Perlunya pertimbangan dalam pemberian remisi ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Pasal 34 A PP No 99/2012 menyebutkan, syarat bagi koruptor untuk mendapatkan remisi antara lain harus bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar tindak pidana yang dilakukannya serta sudah membayar lunas denda dan uang pengganti. Kesediaan bekerja sama itu harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum (Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK).
Kiri ke kanan, Menkopolkam, Tedjo Edy Purdijatno, Menhukham, Yasonna Laoly, Jaksa Agung, HM. Prasetyo, dan Kepala BIN, Marciano Norman sebelum dimulainya rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (17/3).
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
kiri ke kanan, Wakapolri, Komjen Pol. Badrodin Haiti, Panglima TNI, Jendral TNI Moeldoko, Menkumham, Yasonna Laoli, dan Menkopolkam, Tedjo Edhy Purdijatno memberi hormat saat Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memasuki ruangan untuk memimpin rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (17/3).
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Sementara itu, pada Pasal 24 B disebutkan, pemberian remisi oleh Menteri Hukum dan HAM harus mendapat pertimbangan dari pimpinan lembaga terkait (Polri, Kejaksaan Agung, KPK).
Menurut Yasonna, begitu seseorang dinyatakan bersalah oleh hakim, kewenangan selanjutnya, termasuk pemberian remisi, ada di Kementerian Hukum dan HAM. Dengan demikian, menurut dia, menjadi pertanyaan jika dalam pemberian remisi, Kementerian Hukum dan HAM harus menggantungkan pada pertimbangan lembaga lain.
”Bagi terpidana kasus extraordinary crime (kejahatan luar biasa), kami masukkan tambahan pengetatan remisi. Namun, Kementerian Hukum dan HAM bukan menggantungkan kepada instansi lain (dalam pemberian remisi),” kata Yasonna.
Sementara itu, KPK menyatakan siap jika diajak Kementerian Hukum dan HAM membahas soal pemberian remisi untuk narapidana korupsi.
”Kalau diajak dialog, kami akan hadir untuk memberikan perspektif, mengapa sejak beberapa waktu lalu KPK menyarankan pembatasan remisi kepada narapidana korupsi,” ujar Kepala Bagian Pemberitaan KPK Priharsa Nugraha.
Sudah menuntut optimal
Johan Budi menambahkan, KPK dengan kewenangan yang dimilikinya telah berusaha memberikan efek jera untuk koruptor. Hal ini antara lain dilakukan dengan menuntut para terdakwa kasus korupsi yang tak mau bekerja sama mengungkap kejahatannya dengan tuntutan maksimal. Bahkan, sebagian di antara terdakwa dituntut dengan pidana tambahan, seperti pencabutan hak politik dan dijerat dengan tindak pidana pencucian uang.
”Menjadi tak relevan lagi ketika kami sudah menuntut maksimal, tetapi ketika koruptor itu sudah dihukum, justru diberikan remisi lagi,” ujar Johan.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana Bonaprapta, menuturkan, undang-undang mengatur remisi sebagai hak bagi narapidana apa pun tindak pidananya. Namun, ada sejumlah syarat untuk memperoleh remisi tersebut hingga selanjutnya diperlukan perangkat ukuran untuk menilai pemenuhan syarat itu.
Dalam kejahatan tertentu, seperti kejahatan serius dan kejahatan luar biasa, menurut Gandjar, pengetatan syarat remisi bukan hal yang dilarang. Ini karena jika syarat biasa saja diterapkan, bisa berpotensi terjadi penilaian subyektif atau bahkan kolusi agar dapat dianggap memenuhi syarat.
Dengan pertimbangan ini, Gandjar berpendapat, pengetatan persyaratan remisi dan pembebasan bersyarat untuk narapidana korupsi sebagaimana diatur PP No 99/2012 sudah tepat.
Pelicin
Peneliti Transparency International Indonesia, Wahyudi Thohary, mengatakan, pemberantasan korupsi kerap menemui kendala karena tindak pidana ini menjadi fenomena yang lazim di Indonesia. Merujuk data Indeks Persepsi Korupsi 2014, Indonesia masuk dalam kriteria cenderung korup dengan skor 34 dari skala 0-100.
”Korupsi yang paling sering terjadi berbentuk uang pelicin untuk memuluskan atau mengamankan kepentingan para pelaku bisnis,” kata Wahyudi.
Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada Revrisond Baswir menuturkan, pemberantasan korupsi harus mengacu pada konstitusi dan menyisir dari hulu ke hilir.
”Banyak pengusaha yang terjun ke politik, kemudian mereka ikut membiayai seseorang pada masa rekrutmen penguasa. Kalau mau ditelusuri, korupsi sudah terjadi sejak masa ini. Namun, selama ini pemberantasan langsung ke hilir,” katanya. (BIL/NDY/WHY/ANA/ONG/IAN)
++++
Traktor Bantuan Presiden untuk Petani Ponorogo Ditarik Kembali Senin, 16 Maret 2015 (16:38) / Nasional
Traktor Bantuan Presiden untuk Petani Ponorogo Ditarik Kembali
Menurut situs Setneg.go.id, pada kunjungan kerjanya di Kecamatan Jetis, Ponorogo, Jawa Timur, Jumat (6/3), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan kepada para Petani tentang rencana pemerintah untuk membagikan 40 ribu unit traktor untuk Petani secara nasional, 3000 unit khusus untuk Petani di Ponorogo.
Selain itu, Pemerintah juga akan membagikan mesin tanam dan mesin panen. Hal itu sejalan dengan upaya Pemerintah untuk mewujudkan swasembada beras. “Apa kita tidak malu, lahan pertanian sedemikian luas, tetapi masih impor beras”, imbuh Presiden Jokowi
Untuk itu, Presiden Jokowi mendorong petani untuk secara optimal mendukung upaya pemerintah tersebut dengan lebih giat lagi.
Selain membagikan traktor, Jokowi juga akan membagikan mesin pompa air 250 unit dan mesin tanam 70 unit. Sambil menunggu rakitan selesai, peralatan itu terus memenuhi jalan kecamatan. Sepanjang jalan itu dijejer traktor dan peralatan pertanian.
Anehnya Alat-alat tersebut akan di tarik kembali setelah kunjungan tersebut usai.
“Sudah dikasih diambil kembali,” ujar masyarakat setempat.
Setelah kunjungan Jokowi di Ponorogo, berbagai media massa mainstream nasional memberitakan bahwa Jokowi telah membagikan bantuan traktor sebanyak 1016 unit.
Namun dari pantauan langsung Forum Hijau Indonesia di lokasi panen raya dan berdasarkan saksi mata narasumber, jumlah traktornya tidak sebanyak itu, bahkan traktor yang sebelumnya dipajang akhirnya diangkut kembali.
Warga setempat, Oppie Widianto mengatakan, “Saya orang jetis asli, lokasi panen raya dan penataan traktor hanya 400 meter dr rumah saya. Pd hari sabtu saya g sengaja lewat tempat penurunan & perakitan traktor. Disisi utara saya bertemu dg bapak2 dr dinas, ketika saya bertanya mau diapakan traktor2 ini pak, katanya mau dibagikan? Beliau menjawab, mau diangkut dikembalikan ke gudangnya, duitnya siapa buat bayari traktor segini banyak klo duitnya aja g cair. Begitu kata beliau. Trus yg diselatan malah orang dr quick jg bilang hal yg sama. Besoknya saya konfirmasi sma paman saya yg kebetulan kerja di dinas pertanian, kata beliau klo mau traktor gratis prosedurnya ya harus mengajukan proposal dulu ke dinsos, habis itu dinsos konfirmasi sama dinas pertanian, nunggu acc pejabat diatas dsb pokoknya panjang. Tp ya sudahlah, itu bukan urusan saya…”