2014-08-01

Program  RFID  dengan Pertamina – PT Inti manaaaa???

0 KOMENTAR FACEBOOKTWITTER



JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat mengeluhkan sosialisasi pengendalian bahan bakar minyak bersubsidi yang minim. Sosialisasi dilakukan mulai Senin dengan membagikan surat keterangan dari BPH Migas terkait kebijakan pengendalian BBM. Kegiatan ini kurang tepat waktu karena sebagian besar warga sedang mudik.”Pasti akan muncul masalah karena selama ini yang menggunakan solar nonsubsidi hanya mobil operasional pemerintah, BUMN, dan BUMD,” kata Kepala Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU) di Jalan Tanah Abang I Ferliq P Yuditama, di Jakarta, Kamis (31/7).

Sesuai dengan kebijakan yang diterbitkan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), solar bersubsidi akan dihentikan penyalurannya untuk wilayah Jakarta Pusat per 1 Agustus. Solar bersubsidi juga akan dibatasi penjualannya pada pukul 08.00-18.00 di beberapa daerah, seperti Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan Bali, per 2 Agustus.

”Jadi, yang ingin mengisi dengan solar subsidi akan diarahkan ke luar Jakarta Pusat,” kata Ferliq.

Selama ini, ia mengungkapkan, penjualan solar bersubsidi jauh lebih tinggi daripada solar nonsubsidi dan pertamina dex. Dalam sehari, penjualan solar bersubsidi tercatat 6 kiloliter (kl), sedangkan solar nonsubsidi hanya 1,5 kl.

Pasokan solar bersubsidi mencapai 16 kl per 3 hari sekali. Sementara solar nonsubsidi masuk ke SPBU sebanyak 16 kl per 11 hari sekali dan pertamina dex hanya masuk 2 kl per 8 hari sekali.

”Ada protes pasti. Apalagi dari angkutan umum karena beda harga cukup jauh. Beda Rp 500 saja, sopir pasti bertanya mengapa,” ujar Ferliq.

Selama ini, harga per liter solar bersubsidi Rp 5.500, sedangkan solar nonsubsidi Rp 12.800 dan pertamina dex Rp 13.150.

Tidak efektifSosialisasi terkait kebijakan ini dinilai mendadak. Sebagian besar SPBU baru menerima informasi pada Sabtu lalu. Sosialisasi dilakukan mulai Senin dengan membagikan surat keterangan dari BPH Migas terkait kebijakan pengendalian BBM.

”Ada spanduk dan rekaman suara juga yang terus kami pasang di stasiun pengisian ini sehingga orang yang datang bisa tahu,” ungkap pengawas SPBU di Kramat Raya, Jakarta Pusat, Aip Sutarlan.

Namun, hal itu kurang efektif, apalagi untuk wilayah Jakarta yang sebagian besar warganya tengah mudik Lebaran. Pemilihan wilayah Jakarta Pusat sebagai uji coba penghentian solar bersubsidi karena jumlah stasiun pengisiannya paling sedikit dibandingkan dengan wilayah administrasi Jakarta lainnya.

Pengawas SPBU Pejompongan, Jakarta Pusat, Mariono, menuturkan, pihaknya telah siap melakukan kebijakan ini meski pemberitahuan pembatasan baru dilakukan pada Senin lalu.

”Akan tetapi, kami telah melakukan sosialisasi dengan memasang spanduk dan memutar pengumuman sepanjang hari. Beberapa pengguna yang mengisi solar subsidi di tempat kami juga telah kami sampaikan meski masih terbatas karena masih libur Lebaran,” katanya.

Namun, menurut Mariono, pembatasan dengan daerah percontohan ini akan berimbas pada turunnya omzet di SPBU sebab solar bersubsidi masih dijual di tempat lain di luar wilayah Jakarta Pusat.

Manajer SPBU Cikini, Jakarta Pusat, Andi Hardiansyah mengatakan, stok solar bersubsidi di tempatnya masih tersisa sekitar 20 kl. Jumlah ini akan dihitung ulang oleh pihak Pertamina dan dikenai harga sesuai harga solar nonsubsidi.

”Selisih dari keduanya akan kami bayarkan kemudian. Mudah-mudahan pembeli tetap banyak sehingga selisih itu tertutupi,” kata Andi.

Di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sejumlah pengawas SPBU belum mengetahui adanya kebijakan pengendalian BBM bersubsidi, yaitu pembatasan penjualan solar bersubsidi pada pukul 08.00-18.00 yang akan dilaksanakan per 2 Agustus.

Rano, pengawas SPBU 64.735.02 di Jalan Pemuda, Kapuas, Kalimantan Tengah, mengaku belum mengetahui kebijakan tersebut.

Rizky, pengawas SPBU 64.731.06 di Jalan Lintas Kalimantan Km 10, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, menyampaikan hal serupa. ”Saya belum dapat sosialisasi ataupun surat edaran mengenai pengendalian solar subsidi. Lagi pula, di SPBU ini kami tidak punya tabung khusus untuk menyediakan solar nonsubsidi atau pertamina dex,” ucap dia.

Kalangan pengusaha di Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Bali menyatakan siap menjalankan kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi. Hiswana Migas Bali masih menunggu sosialisasi dan penerapan kebijakan pengendalian tersebut.

Kepala Bidang SPBU Hiswana Migas Bali Ida Bagus Rai mengatakan, sebagai mitra Pertamina yang menjual produk-produk Pertamina, pihaknya siap menjalankan kebijakan pemerintah dan arahan dari Pertamina.

Bali termasuk wilayah yang akan terkena kebijakan pengendalian solar bersubsidi selain Kalimantan, Sumatera, dan Jawa.

Pelayaran rakyatTak hanya untuk angkutan darat, solar bersubsidi bagi nelayan juga akan dikurangi 20 persen dari kuota normal dan hanya diperbolehkan untuk nelayan berkapal dengan bobot mati sekitar 30 gros ton (GT) per 4 Agustus.

”Sekarang saja kami sudah susah untung. Apalagi kalau solar nonsubsidi tidak boleh lagi, pelayaran rakyat bisa mati,” ujar Amir (47), salah satu pemilik kapal.

Ia mengungkapkan, untuk sekali perjalanan mengirim barang ke Kalimantan atau Sumatera, biaya bahan bakar yang dikeluarkan mencapai Rp 44 juta, dengan asumsi pemakaian solar sebanyak 8 kl atau setara dengan 40 drum. Biaya sewa kapal sekali berangkat miliknya sekitar Rp 100 juta.

”Pulang balik bisa habis Rp 80 juta lebih. Sementara saat ini ketika pulang kami tak pernah dapat order angkut. Jadi, makin sulit saja kalau tidak ada subsidi,” kata Amir.

Sementara itu, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia mendukung kebijakan pengendalian konsumsi solar bersubsidi hanya untuk kebutuhan nelayan kecil.

Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina (Persero) Hanung Budya mengemukakan, BPH Migas telah mengeluarkan kebijakan pengendalian konsumsi solar bersubsidi bagi nelayan. Kuota solar bersubsidi bagi nelayan akan dikurangi sebanyak 20 persen dari kuota normal 1,8 juta kl.

”Pertamina tetap akan menyediakan solar bersubsidi bagi nelayan-nelayan kecil dengan kapal kapasitas 30 GT ke bawah. Bagi kapal-kapal nelayan di atas 30 GT, akan kami sediakan solar nonsubsidi. Mekanisme penyaluran dan pengawasan akan dilakukan pemerintah setempat,” kata dia.

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang, FX Sugiyanto mengatakan, kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi yang telah diputuskan saat ini merupakan kebijakan sementara. Ke depan, mau tidak mau, harga BBM bersubsidi tetap harus naik secara bertahap agar tidak membebani keuangan negara. Kebijakan tersebut harus disertai dengan peta jalan. (A04/A10/DKA/HEN/PRA/COK)

KOMENTAR

Filed under: Energy, mafia migas, Pertamina

Show more