2014-01-20

Dari puluhan ribu tulisan yang pernah gue baca, baik dari buku,koran,berita daring, blog, ataupun social media, hanya sedikit tulisan saja yang bisa mengubah jalan pemikiran gue dalam menjalani kehidupan nyata.

Pengalaman menjalani kerasnya persaingan di Jakarta, membuat gue tak mudah untuk'teracuni' dengan tulisan-tulisan para motivator terkenal,karena gue anggap mereka hanya menceritakan tentang jalan kesuksesan yang cocok bagi mereka sendiri. Menurut gue, pengalaman hidup yang gue jalani tersebut merupakan guru terbaik yang mesti gue pelajari demi mencapai kesuksesan hidup.

Sekitar tujuh bulan yang lewat, gue membaca sebuah artikel sisipan di harian KOMPAS di halaman 35 yang dituliskan oleh seorang konsultan bisnis terkenal bernama Rene Suhardono (@reneCC). Tulisan yang beliau buat mengenai passion dan kesuksesan hidup, sangat mengena ke pikiran dan hati gue, dan mampu mengubah jalan pemikiran gue hingga saat ini.

Berikut gue kutip utuh artikel yang pernah ditulis oleh Rene Suhardono mengenai Passion.

"Apa jadinya kalau passion tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup? Jika terus-menerus passion, apa artinya harus berpindah pekerjaan, jadi manusia super-idealis yang siap hidup susah- dan membuat keluarga jadi susah? Apakah harus kompromi dengan passion sendiri supaya bisa bayar tagihan setiap bulan? Ini serangkaian pertanyaan dari FB, Twitter, atau e-mail yang paling sering saya dengar setiap kali bicara soal passion. Gongnya adalah saat mebaca twit dari seorang teman dan selebritas Twitter yang isinya kurang lebih begini:”Memang terkadang passion tidak cukup membayar tagihan…” Walaupun dengan nada bercanda, saya merasa perlu berkoomentar supaya pembahasan passion tidak jadi semakin rancu.

Ini sama sekali bukan komplain lho. Jujur saya senang banget semakin banyak telinga yang akrab dengan satu kata yang telah banyak memengaruhi hidup saya. Saya juga bersyukur semakin banyak organisasi, keluarga, dan individu yang membuka diskusi seputar passion dalam keseharian mereka, sebagian bahkan ada menyebut diri sebagai passion coach, passion mentor, dan lain-lain. Sama sekali tidak masalah. Namun, saya khawatir ketika passion muncul sekadar sebagai buzzword, tanpa makna yang jelas. Lebih khawatir lagi saat passion sekadar dijadikan alasan untuk berpindah kerja, tidak berpenghasilan, tidak bertanggung jawab, dan ujungnya ketidakberdayaan.



Seriously people, what pays you bill is money, not passion. Passion bukan komoditas sehingga tidak bisa dilabeli dengan harga sebagaimana layaknya barang dagangan. Membayar tagihan bulanan, cicilan kartu kredit, biaya sekolah anak, dan alokasi investasi harus, perlu, dan mutlak menggunakan UANG sebagai denominator transaksi yang paling diakui hingga saat ini.

Passion without creation is meaningless, nothing! Nah, uang berasal dari kinerja, yang akan sangat keren jika diawali dari passion. Apakah bisa dapat uang tanpa passion? ya, bisa saja, tapi belum tentu prosesnya mengasyikkan dan sudah pasti tidak maksimal. Mempertanyakan bagaimana jika passion tidak bisa bayar tagihan = bertanya kenapa karyawan baru tidak langsung jadi presiden direktur? Atau, kenapa suka politik, tapi tidak jadi presiden? Jawabannya: Semua dan apa pun di kolong langit perlu PROSES.

Your passion is already within you- the clues are everywhere in your feelings. Passion bisa didenifisikan dengan banyak cara. Definisi yang palin pas buat saya adalah ini: Segala aktifitas yang membuat kita merasa berdaya. Kata kunci pertama adalah “aktivitas” sehingga tidur tidak temasuk ya… kata kunci kedua adalah “merasa berdaya” sehingga tidak harus langsung piawai, tetapi prosesnya terasa dimudahkan, diasyikkan, dan diberdayakan.

If you think your passion does not pay your bill, please ask these questions to yourself: (1)Apakah saya sudah tahu aktivitas yang membuat saya merasa berdaya, mampu, tahan banting dan seterusnya? (2) Apakah saya sudah menekuni aktivitas tersebut sehingga menjadi piawai? (3) Apakah saya sudah menghasilkan kreasi keren (karya keren yang bermanfaat bagi banyak orang) dari aktivitas tersebut? Silahkan dijawab, jika semua jawabannya YA!maka saya pastikan uang sudah tidak jadi masalah.

Na, bagi yang masih mempertanyakan (lagi) kenapa harus tahu, paham, dan peduli passion, bisa jadi jawabannya sudah disajikan dalam serangkai kalimat indah karya Jalaludin Rumi sekitar 800 tahun lalu:

“With passion, we pray”

“With passion, we make love”

“ With passion, we eat and drink and dance and play”

“Why look like a dead fish in this ocean of GOD?”

Artikel yang tertulis di atas tadi sangat menohok alam pemikiran gue. Untuk anda ketahui, sepanjang puluhan tahun, passion hidup gue adalah musik dan olahraga (terutama sepakbola), yang ternyata pada realitanya, kedua passion gue tersebut tak bisa memberi gue penghidupan. Beberapa tahun lalu gue juga sering berpindah-pindah kerja, pernah juga berwirausaha, tapi gue tak pernah menekuninya dalam waktu yang lama karena menurut pemikiran pandir gue pada waktu itu, semuanya tak sesuai passiongue.

Hingga pada akhirnya secara kebetulan yang tak terduga pada empat tahun yang lewat, gue menemukan bahwa passion gue adalah menulis sebuah artikel/cerita. Gue sendiri sempat tidak yakin apakah menulis sebuah artikel/cerita (baik secara cetak/online) merupakan passion gue.. Tapi gue konsisten banyak belajar dari membaca artikel yang dibuat penulis-penulis blog hebat, ataupun jurnalis-jurnalis media daring yang gue favoritkan. Dari apa yang gue pelajari itu, perlahan gue mulai menekuni dengan serius tentang Blogosphere.

Sekitar dua setengah tahun yang lalu, gue nekad untuk mengundurkan diri dari pekerjaan gue di bidang pariwisata. Saat gue mengundurkan diri itu, General Manager tempat gue bekerja sempat mengajak gue bicara empat mata di sebuah caffe yang menyarankan gue untuk berubah pikiran untuk resign. Tapi gue bertekad 100% bahwa hue harus hidup sebagai penulis (walaupun pada waktu itu  gue tak tahu persis bagaimana caranya mencari uang dari menulis artikel/cerita, karena pendidikan gue tak ada hubungannya dengan dunia kepenulisan/jurnalisme)

Sempat beberapa lama gue terkatung-katung dalam dunia penuh ketidakpastian dengan kegiatan sebagai freelance ‘content writer’, yang penghasilannya sangat minim untuk bisa hidup layak di kota Jakarta. Sempat terpikir juga ingin balik ke bidang pekerjaan pariwisata, yang merupakan basic pendidikan gue. Namun pada akhirnya keberuntungan menaungi gue. Pada suatu waktu, gue dikejutkan dengan seorang penelepon yang menanyakan kesediaan gue untuk bergabung dengan grup media sang penelepon tersebut, karena beliau melihat gue cukup berbakat dalam mengisi tulisan-tulisan di blog gue.

Gue sempat tak percaya diri, dan ragu, mengabaikan ajakan telepon tersebut beberapa lama, karena tak yakin dengan basic pendidikan gue. Hingga pada akhirnya gue ditelepon kembali oleh orang yang sama menanyakan kesediaan gue untuk bergabung bersama mereka di salah satu media tersebut. Pada akhirnya gue pun tanpa pikir panjang mengiyakan, dan melalui proses belajar yang panjang dan didikan yang berat, gue pun kini bisa meraih penghidupan yang sangat layak dari dunia kepenulisan, dan kini dipercaya sebagai salah seorang redaktur.

# Bahaya terbesar bagi sebagian dari kita bukanlah cita-cita yang terlalu tinggi dan kita gagal menggapainya, melainkan cita-cita itu terlalu rendah dan kita berhasil meraihnya (Michaelangelo 1475-1564)

# Jenius adalah 1 persen inspirasi dan 99 persen keringat (Thomas Alva Edison 1847-1931)

# Filosofi seseorang paling baik jika diekspresikan dalam pilihan-pilihan yang dibuatnya dalam kehidupan sehari-hari,bukan dalam kata-kata (Eleanor Roosevelt 1884-1962)

# Percayalah kepada TUHAN dan jalani hidup hari demi hari (Norman Vincent Peale 1898-1993)

Show more