2014-11-20

Apabila negara seperti Italia, Prancis, dan Inggris lebih dikenal berkat high fashionnya, namun di Jepang uniknya masyarakat dunia justru lebih familiar dengan gaya street fashionnya ketimbang high fashionnya, terutama gaya Harajuku atau Harajuku style. Hal ini bisa terjadi karena ruang publik di Jepang sudah sangat baik dan dapat memberikan kenyamanan bagi masyarakat khususnya anak muda untuk memanfaatkan ruang publik sebagai wadah yang menampung kreatifitas mereka, jalanan pun dapat dijadikan sebagai “catwalk” atau “panggung” eksplorasi hobi bersama komunitas masing-masing. Ditambah lagi media yang menjamur dan berlomba-lomba untuk mengabadikan kreatifitas dan keunikan gaya mereka, salah satunya adalah FRUiTS Magazine yang telah mengabadikan Street Fashion Tokyo dari tahun 1997. Maka voila! Jadilah Tokyo sebagai pusatnya street style, tidak hanya untuk Jepang, tapi juga untuk dunia. Surga street style di Tokyo sebenarnya tidak hanya Harajuku, tapi Shibuya dan Akihabara pun menawarkan keunikan gaya tersendiri.



Harajuku adalah nama sebuah area distrik di Tokyo, lokasinya berada di antara Shibuya, Aoyama, dan Shinjuku. Sejak tahun 1960-an, Harajuku telah menjadi pusat fashion di Jepang. Area tersebut terkenal akan banyaknya toko-toko yang menjual pakaian, tas, alat make-up, aksesoris dan toko-toko keren lainnya. Harajuku Style sangat beragam dan banyak gaya yang berbeda secara ekstrim, mulai dari gaya inosen Lolita, gaya cool-casual Ura-Hara Kei hingga penampilan dark-punk-androginy Visual Kei.


Harajuku menjadi lebih terkenal lagi di era 1980-an, hal ini dikarenakan maraknya aksi street performance dan kostum yang menarik hasil imajinasi para anak muda Jepang yang berkumpul bersama disana setiap hari minggu, saat jalanan dengan butik fashion dan kafe-kafe papan atas di Omotesando ditutup dari lalu lintas kendaraan. Salah satu ciri Harajuku style yang paling menonjol adalah merancang dan/atau re-modifikasi pakaian sesuai karakter diri si pemakainya. Mereka bisa memodifikasi pakaian lama dengan sesuatu yang unik sehingga menjadi gaya baru, misalnya dengan menambahkan aksesoris atau mendekorasi pakaian sesuka imajinasi dan kreatifitas mereka. Dari segi dandanan, jika dibandingkan dengan Shibuya, riasan wajah anak muda di Harajuku biasanya lebih natural, kawaii (manis) dan tidak berkesan seksi.



Shibuya merupakan lokasi street style terkenal di Tokyo setelah Harajuku. Jika Harajuku lebih didominasi oleh remaja berusia belasan tahun, Shibuya lebih didominasi oleh wanita dan pria muda berusia 20-an. Kelompok wanita muda yang eksis di Shibuya dengan evolusi gaya dan penampilannya disebut Gals atau Gyaru sedangkan yang prianya disebut Gyaruo. Dari zaman ke zaman para Gyaru berevolusi dengan gaya busana yang ekstrim berbeda. Di tahun 1990-an gaya Gyaru yang fenomenal adalah Kogyaru yang inosen namun seksi dengan seragam sekolahnya, namun di tahun 2000-an gaya Gyaru yang fenomenal justru gaya slebornya Ganguro gals yang melabrak konsep cantik di masyarakat Jepang, sedangkan untuk saat ini gaya Gyaru yang sedang trend adalah Onee Gyaru yang terkesan dewasa dan mempesona dengan keglamorannya. Ciri khas gaya Shibuya yang paling menonjol adalah riasan wajah dan tubuh mereka yang nyaris sempurna dari ujung rambut hingga ujung kaki, mereka tak segan menggunakan wig, bulu mata palsu, nail arts atau kuku palsu hias, dan alat kosmetik yang selalu lengkap di dalam tas mereka.

Akihabara telah lama dikenal sebagai daerah pusat elektronik berkelas dunia yang berada di Tokyo, Jepang. Dari barang elektronik baru hingga bekas pakai dengan kualitas yang masih baik, ada disini. Tak heran jika para pecinta anime dan video game pun kerap berkumpul dan berburu koleksiannya disini. Budaya manga tidak hanya menghadirkan budaya turunan anime dan video games saja, sejak tahun 1983 sebenarnya sudah terbentuk budaya turunan lainnya yang disebut dengan Kosupure atau Cosplay—singkatan dari kata “Costume” dan “Role-play.” Cosplay baru dikenal dunia internasional sebagai salah satu budaya populer Jepang sekitar tahun 2000-an seiring perkembangan internet dan gambar digital.

Cosplay memang bukan nama sebuah fashion style, namun di dalam budaya tersebut ada kombinasi antara unsur bermain peran (penjiwaan peran sebagai karakter dari manga/anime/video games) dengan proses kreatifitas mendesain, menciptakan dan mengenakan sebuah kostum yang dibuat sedemikian rupa hingga menyerupai karakter yang terdapat di dunia dua dimensi tersebut. Seiring bertambah banyaknya komunitas Cosplayer maupun Otaku, Akihabara pun menjadi salah satu kawasan street style yang unik dan memiliki ciri khas tersendiri yaitu berkarakter dan memberikan kesan utopia baik itu dalam kostum Uniform-Cosplay (Uni-Cos), Character Cosplay (Chara-Cos) maupun Cosplay Doller (Animegao).

Industri Fashion dan Brand Populer

Street fashion Jepang terkenal karena keberanian mix-match gaya yang berbeda dan tidak terpaku terhadap satu merek tertentu. Meskipun begitu, kebutuhan akan fashion item yang besar dan berkualitas menimbulkan tumbuhnya industri fashion Jepang. Brand seperti Comme des Garçons yang dimiliki Rei Kawakubo merupakan pionir dan sering dijadikan rujukan Street Fashion Jepang.

Pada awal tahun 1950’an, ada beberapa merek yang sengaja dibuat untuk Street Fashion, salah satunya Onitsuka Tiger (sekarang dikenal sebagai ASICS). Pergerakannya semakin menjamur di awal tahun 1990’an dengan bermunculannya berbagai merek seperti, A Bathing Ape, Comme des Garçons, Evisu, Head Porter, OriginalFake, Uniqlo, Visvim, W)TAPs, and XLarge. Untuk menambah nilai jual beberapa Street Fashion brands melakukan kolaborasi dengan artist dan desainer terkenal serta membuat produk dengan edisi terbatas sebagai strategi pemasaran.

Jepang juga dikenal sebagai pemakai yang signifikan dari fashion merek-merek asing. Menurut data tahun 2006, Jepang mengkonsumsi 41 persen dari barang-barang mewah dari seluruh dunia.

Berbicara tentang Jepang, Wadezig! pun memiliki koleksi Japanese Illustration Series yang bisa kamu cek di sini.

Sumber

Show more