2014-06-30

Belum lama lalu, dalam acara “Indonesia EBTKE ConEx 2014” Juni 2014, Wapres Budiono menyebutkan bahwa energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) merupakan satu-satunya jaminan bagi Indonesia untuk mandiri dalam kebutuhan energi. Apalagi energi minyak bumi mengalami penurunan kapasitas termasuk gas bumi. Batubara dan gas juga akan habis karena yang tersedia dalam perut bumi terbatas.

Untuk Indonesia, masalah energi dan BBM ini menjadi semakin relevan ketika disebutkan dalam RAPBN-P 2014 telah terjadinya peningkatan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), LPG, dan BBN dari semula Rp210,7 triliun menjadi Rp285 triliun. Peningkatan konsumsi BBM kelihatannya tidak bisa dihentikan lagi. Ini ditambah lagi dengan harga minyak bumi dunia yang melejit melewati $100 per barrel-nya karena situasi geopolitik di Irak.

Dampak dari pembengkakan alokasi anggaran subsidi BBM pemerintah terpaksa mengambil langkah pemangkasan anggaran pada 86 kementerian/lembaga mencapai Rp100 triliun, yang mungkin masih bisa berubah angkanya. Tetapi jelasnya pemangkasan anggaran ini akan menghambat proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang semulanya hendak ditingkatkan. Pembangunan infrastruktur kita yang selama ini sering dianggap kurang memadai akan makin tertinggal jadinya.

Arah Kebijakan Energi
Pemerintah telah menetapkan Kebijakan Energi Nasional yang dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2006. Kalau pada hari ini kurang lebih komposisi antara energi minyak bumi : batubara : gas bumi : terbarukan (air dan panas bumi) adalah 48% : 27% : 21% : 4% (3% + 1%). Hampir separuhnya didominasi oleh minyak bumi. Targetnya pada tahun 2025 BBM ditekan menjadi hanya 20% dan terbarukan menjadi 17%. Atau, total komposisinya menjadi 20% : 33% : 30% : 17%.

Sementara itu, pada Januari 2012, Sekjen PBB mendorong pemanfaatan energi terbarukan dunia menjadi dua kali lipat, dari 15% menjadi 30%, pada tahun 2030.

Program-program yang akan dikembangkan dalam rangka mencapai target mencapai 25% EBT disebutkan adalah listrik pedesaan, interkoneksi pembangkit EBT, pengembangan biogas, Desa Mandiri Energi (DME), Integrated Microhydro Development Program (IMIDAP), PLTS perkotaan, pengembangan biofuel, dan proyek percepatan pembangkit listrik 10.000 MW tahap II berbasis EBT (panas bumi dan hidro). Untuk mencapai itu, Indonesia diperkirakan membutuhkan dana sekitar Rp.134,6triliun (US$15,7miliar) guna mengembangkan sumber-sumber EBT untuk 15 tahun mendatang.

Melihat kondisi dan kenyataan yang ada, industri energi baru dan terbarukan tak pelak lagi adalah industri masa depan. Semua negara sedang sepakat berusaha menuju ke sana. Indonesia jelasnya merupakan negeri dengan potensi yang sangat besar untuk pengembangan dan pembangunan energi terbarukan. Barangkali, pemerintah yang akan datang akan memiliki nyali lebih untuk mengembangkan lebih agresif lagi industri energi ini.

Prospek Besar Pembiayaan
Dibutuhkan pembiayaan lebih dari Rp100 triliun dalam industri ini. Karenanya, jelas terlihat, bahwa perbankan berpotensi besar untuk masuk ke dalamnya, atau mengembangkan lebih jauh dan mungkin lebih aktif untuk pembiayaan industri energi baru dan terbarukan ini. Dari sisi industri listrik jelasnya tingkat permintaannya di negeri kita jauh lebih besar dari pemasokannya.

Sejumlah bank sepertinya telah menunjukkan minat yang lebih besar untuk masuk dalam pembiayaan energi baru dan terbarukan ini. Umumnya masuk di proyek berbasis energi air atau hydro dan panas bumi (geothermal). Namun, kenyataannya juga masih lebih banyak bank yang enggan untuk masuk pembiayaan ini. Mengapa? Sejumlah bank menyebutkan bahwa mereka tidak terbiasa untuk pembiayaan energi dan karenanya dipandang sebagai industri yang berisiko tinggi.

Memang pengembangan industri energi baru dan terbarukan akan menghadapi sejumlah tantangan, di antaranya:
•Masalah biaya produksi. Biaya produksi energi terbarukan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan biaya produksi energi konvensional, sehingga harga jual energi terbarukan tidak dapat bersaing dengan harga jual energi konvensional;
•Biaya investasi untuk memproduksi EBT cukup tinggi. Namun demikian, investasi pada industri EBT ternyata cukup diminati oleh investor dalam negeri;
•Dari sisi teknologi, dapat disebutkan bahwa beberapa teknologi EBT sudah dikuasai, seperti teknologi pembangkit listrik skala kecil sampai medium, teknologi biogas untuk non-listrik. Teknologi EBT lainnya masih disediakan oleh pihak asing;
•Kuantitas maupun kualitas sumber daya manusia di bidang EBT masih terbatas.

Analisis Risiko pada PLTMH
Dalam rangka analisis lebih detail pada aspek pembiayaan kredit perbankan, secara lebih spesifiknya lagi kita dapat mengambil contoh pembiayaan proyek pembangkit listrik mini hydro (PLTMH).

Tenaga air merupakan salah satu sumber energi untuk pembangkit listrik dan sudah lama di-implementasikan di Indonesia terutama di pulau Jawa dan Sumatra. Sebagian besar PLTA di Indonesia ini dimiliki dan dioperasikan oleh PLN sendiri. PLTA di Indonesia diklasifikasikan menjadi 3 klasifikasi: Hydro (skala besar), Mini dan Micro.  Secara umum klasifikasinya dapat dikemukakan berikut:
1.Pembangkit Listrik Skala Besar yang memiliki kapasitas > 20 MW.
2.Pembangkit Listrik Skala Kecil yang memiliki kapasitas 5 MW hingga 20 MW.
3.Mini Hydro Power Plant (PLTM) yang memiliki kapasitas 1MW hingga 5 MW.
4.Micro Hydro Power Plant (PLTMH) yang memiliki kapasitas <1 MW.

Di seluruh Indonesia, potensi PLTA skala besar dan kecil sesungguhnya sangat besar, sekitar 75,7 GW, tetapi dewasa ini hanya dimanfaatkan 5.940 MW atau 7,92% saja. Di dalamnya termasuk  PLTMH sebesar 228,75 MW. Dirjen EBTKE sendiri menargetkan pemanfaatan PLTA sampai dengan 9.700 MW pada tahun 2015. Sementara itu, untuk PLTMH dalam jangka pendek, PLN menargetkan membangun pembangkit listrik tenaga mini hydro dan mikrohidro dengan total kapasitas 400 MW hingga 2014. Dengan demikian cukup jelas terlihat bahwa industri PLTA dan PLTMH adalah industri yang prospektif dan karenanya menarik untuk dibiayai sektor perbankan.

Keengganan sebagian bank untuk terjun dalam pembiayaan proyek listrik berbasis EBT adalah karena faktor risiko dan mitigasinya yang kurang diketahui. Dari sudut analisis pemberian fasilitas kredit bank, berikut ini dijabarkan faktor risiko yang perlu diperhatikan dan dianalisis bank pada proyek pembangkit listrik termasuk PLTMH, di antaranya adalah:

1.Risiko ketersediaan air. Berkurangnya debit air, turunnya permukaan air atau tidak ada ketersediaan air untuk menghasilkan energi karena perubahan tingkat curah hujan, iklim atau perubahan hidrologi di daerah bersangkutan akan menjadi risiko terbesar bagi perusahaan karena mengancam aliran pendapatan dari proyek. Untuk itu penting bagi bank menganalisis data hidrologi di masa lalu dan proyeksi di masa yang akan datang.

2.Risiko konstruksi. Dalam proses konstruksi bisa terjadinya penundaan, gangguan bahkan hal force majeur yang mengganggu target penyelesaian proyek dan membuat terjadinya “cost over-run risk” yang mengakibatkan gangguan para proyeksi aliran kas perusahaan. Mitigasinya di antaranya adalah dipastikan adanya coverage asuransi yang memadai seperti contractor’s all risk, dll.

3.Risiko kurs mata uang. Ini karena banyak komponen pembangkit listrik dan suku cadangnya yang masih diimpor sementara pendapatan adalah dalam rupiah. Risiko akan semakin relevan terutama di masa fluktuasi mata uang rupiah –seperti yang terjadi belakangan ini. Mitigasinya bisa diutamakan produk-produk pembangkit dari dalam negeri atau pendapatan yang dikonversi dalam mata uang asing.

Faktor sponsor proyek, pengalaman dan track record sebelumnya sangat perlu diperhatikan oleh bank. Harus dipastikan ada tenaga ahli sebagai key person yang dapat diandalkan dan berpengalaman panjang di industri spesifik ini. Tentunya sebagai suatu pakem yang jelas dalam pemberian kredit aspek karakter dari calon debitur ini harus sudah dipastikan.

Hal lainnya yang perlu diperhatikan oleh bank pada dasarnya sama ketika memberikan pembiayaan proyek (project financing). Proyeksi yang akurat dengan dasar asumsi yang benar akan sangat strategis dalam menetapkan struktur pinjaman yang sudah memitigasi segala risiko. Untuk hal ini, diharapkan analis kredit sudah terlatih dengan baik pada pembiayaan proyek.

Penutup
Keterlibatan sektor perbankan dalam membiayai proyek EBT akan memiliki banyak impikasi positif. Selain akan mendukung program lingkungan yang lebih bersih, bank bersangkutan akan menuai reputasi baik sebagai bank yang progresif dalam program EBT.

Ada peluang lain yang kiranya dapat dipertimbangkan. Proyek PLTMH pada kenyataannya sangat bermanfaat untuk membangun elektrifikasi di kawasan-kawasan yang terpencil yang belum terjangkau dengan baik oleh distribusi jaringan PLN. Ini merupakan peluang bagi bank dalam program CSR-nya yang sekaligus berkontribusi terhadap pengembangan portfolio kreditnya. Ibarat pepatah “Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”. Kalau punya banyak manfaat, mengapa tidak?

Title Ind:

Perbankan di Industri EBT; Prospek dan Antisipasi Risikonya

Body Ind:

Belum lama lalu, dalam acara “Indonesia EBTKE ConEx 2014” Juni 2014, Wapres Budiono menyebutkan bahwa energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) merupakan satu-satunya jaminan bagi Indonesia untuk mandiri dalam kebutuhan energi. Apalagi energi minyak bumi mengalami penurunan kapasitas termasuk gas bumi. Batubara dan gas juga akan habis karena yang tersedia dalam perut bumi terbatas.

Untuk Indonesia, masalah energi dan BBM ini menjadi semakin relevan ketika disebutkan dalam RAPBN-P 2014 telah terjadinya peningkatan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), LPG, dan BBN dari semula Rp210,7 triliun menjadi Rp285 triliun. Peningkatan konsumsi BBM kelihatannya tidak bisa dihentikan lagi. Ini ditambah lagi dengan harga minyak bumi dunia yang melejit melewati $100 per barrel-nya karena situasi geopolitik di Irak.

Dampak dari pembengkakan alokasi anggaran subsidi BBM pemerintah terpaksa mengambil langkah pemangkasan anggaran pada 86 kementerian/lembaga mencapai Rp100 triliun, yang mungkin masih bisa berubah angkanya. Tetapi jelasnya pemangkasan anggaran ini akan menghambat proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang semulanya hendak ditingkatkan. Pembangunan infrastruktur kita yang selama ini sering dianggap kurang memadai akan makin tertinggal jadinya.

Arah Kebijakan Energi
Pemerintah telah menetapkan Kebijakan Energi Nasional yang dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2006. Kalau pada hari ini kurang lebih komposisi antara energi minyak bumi : batubara : gas bumi : terbarukan (air dan panas bumi) adalah 48% : 27% : 21% : 4% (3% + 1%). Hampir separuhnya didominasi oleh minyak bumi. Targetnya pada tahun 2025 BBM ditekan menjadi hanya 20% dan terbarukan menjadi 17%. Atau, total komposisinya menjadi 20% : 33% : 30% : 17%.

Sementara itu, pada Januari 2012, Sekjen PBB mendorong pemanfaatan energi terbarukan dunia menjadi dua kali lipat, dari 15% menjadi 30%, pada tahun 2030.

Program-program yang akan dikembangkan dalam rangka mencapai target mencapai 25% EBT disebutkan adalah listrik pedesaan, interkoneksi pembangkit EBT, pengembangan biogas, Desa Mandiri Energi (DME), Integrated Microhydro Development Program (IMIDAP), PLTS perkotaan, pengembangan biofuel, dan proyek percepatan pembangkit listrik 10.000 MW tahap II berbasis EBT (panas bumi dan hidro). Untuk mencapai itu, Indonesia diperkirakan membutuhkan dana sekitar Rp.134,6triliun (US$15,7miliar) guna mengembangkan sumber-sumber EBT untuk 15 tahun mendatang.

Melihat kondisi dan kenyataan yang ada, industri energi baru dan terbarukan tak pelak lagi adalah industri masa depan. Semua negara sedang sepakat berusaha menuju ke sana. Indonesia jelasnya merupakan negeri dengan potensi yang sangat besar untuk pengembangan dan pembangunan energi terbarukan. Barangkali, pemerintah yang akan datang akan memiliki nyali lebih untuk mengembangkan lebih agresif lagi industri energi ini.

Prospek Besar Pembiayaan
Dibutuhkan pembiayaan lebih dari Rp100 triliun dalam industri ini. Karenanya, jelas terlihat, bahwa perbankan berpotensi besar untuk masuk ke dalamnya, atau mengembangkan lebih jauh dan mungkin lebih aktif untuk pembiayaan industri energi baru dan terbarukan ini. Dari sisi industri listrik jelasnya tingkat permintaannya di negeri kita jauh lebih besar dari pemasokannya.

Sejumlah bank sepertinya telah menunjukkan minat yang lebih besar untuk masuk dalam pembiayaan energi baru dan terbarukan ini. Umumnya masuk di proyek berbasis energi air atau hydro dan panas bumi (geothermal). Namun, kenyataannya juga masih lebih banyak bank yang enggan untuk masuk pembiayaan ini. Mengapa? Sejumlah bank menyebutkan bahwa mereka tidak terbiasa untuk pembiayaan energi dan karenanya dipandang sebagai industri yang berisiko tinggi.

Memang pengembangan industri energi baru dan terbarukan akan menghadapi sejumlah tantangan, di antaranya:
•Masalah biaya produksi. Biaya produksi energi terbarukan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan biaya produksi energi konvensional, sehingga harga jual energi terbarukan tidak dapat bersaing dengan harga jual energi konvensional;
•Biaya investasi untuk memproduksi EBT cukup tinggi. Namun demikian, investasi pada industri EBT ternyata cukup diminati oleh investor dalam negeri;
•Dari sisi teknologi, dapat disebutkan bahwa beberapa teknologi EBT sudah dikuasai, seperti teknologi pembangkit listrik skala kecil sampai medium, teknologi biogas untuk non-listrik. Teknologi EBT lainnya masih disediakan oleh pihak asing;
•Kuantitas maupun kualitas sumber daya manusia di bidang EBT masih terbatas.

Analisis Risiko pada PLTMH
Dalam rangka analisis lebih detail pada aspek pembiayaan kredit perbankan, secara lebih spesifiknya lagi kita dapat mengambil contoh pembiayaan proyek pembangkit listrik mini hydro (PLTMH).

Tenaga air merupakan salah satu sumber energi untuk pembangkit listrik dan sudah lama di-implementasikan di Indonesia terutama di pulau Jawa dan Sumatra. Sebagian besar PLTA di Indonesia ini dimiliki dan dioperasikan oleh PLN sendiri. PLTA di Indonesia diklasifikasikan menjadi 3 klasifikasi: Hydro (skala besar), Mini dan Micro.  Secara umum klasifikasinya dapat dikemukakan berikut:
1.Pembangkit Listrik Skala Besar yang memiliki kapasitas > 20 MW.
2.Pembangkit Listrik Skala Kecil yang memiliki kapasitas 5 MW hingga 20 MW.
3.Mini Hydro Power Plant (PLTM) yang memiliki kapasitas 1MW hingga 5 MW.
4.Micro Hydro Power Plant (PLTMH) yang memiliki kapasitas <1 MW.

Di seluruh Indonesia, potensi PLTA skala besar dan kecil sesungguhnya sangat besar, sekitar 75,7 GW, tetapi dewasa ini hanya dimanfaatkan 5.940 MW atau 7,92% saja. Di dalamnya termasuk  PLTMH sebesar 228,75 MW. Dirjen EBTKE sendiri menargetkan pemanfaatan PLTA sampai dengan 9.700 MW pada tahun 2015. Sementara itu, untuk PLTMH dalam jangka pendek, PLN menargetkan membangun pembangkit listrik tenaga mini hydro dan mikrohidro dengan total kapasitas 400 MW hingga 2014. Dengan demikian cukup jelas terlihat bahwa industri PLTA dan PLTMH adalah industri yang prospektif dan karenanya menarik untuk dibiayai sektor perbankan.

Keengganan sebagian bank untuk terjun dalam pembiayaan proyek listrik berbasis EBT adalah karena faktor risiko dan mitigasinya yang kurang diketahui. Dari sudut analisis pemberian fasilitas kredit bank, berikut ini dijabarkan faktor risiko yang perlu diperhatikan dan dianalisis bank pada proyek pembangkit listrik termasuk PLTMH, di antaranya adalah:

1.Risiko ketersediaan air. Berkurangnya debit air, turunnya permukaan air atau tidak ada ketersediaan air untuk menghasilkan energi karena perubahan tingkat curah hujan, iklim atau perubahan hidrologi di daerah bersangkutan akan menjadi risiko terbesar bagi perusahaan karena mengancam aliran pendapatan dari proyek. Untuk itu penting bagi bank menganalisis data hidrologi di masa lalu dan proyeksi di masa yang akan datang.

2.Risiko konstruksi. Dalam proses konstruksi bisa terjadinya penundaan, gangguan bahkan hal force majeur yang mengganggu target penyelesaian proyek dan membuat terjadinya “cost over-run risk” yang mengakibatkan gangguan para proyeksi aliran kas perusahaan. Mitigasinya di antaranya adalah dipastikan adanya coverage asuransi yang memadai seperti contractor’s all risk, dll.

3.Risiko kurs mata uang. Ini karena banyak komponen pembangkit listrik dan suku cadangnya yang masih diimpor sementara pendapatan adalah dalam rupiah. Risiko akan semakin relevan terutama di masa fluktuasi mata uang rupiah –seperti yang terjadi belakangan ini. Mitigasinya bisa diutamakan produk-produk pembangkit dari dalam negeri atau pendapatan yang dikonversi dalam mata uang asing.

Faktor sponsor proyek, pengalaman dan track record sebelumnya sangat perlu diperhatikan oleh bank. Harus dipastikan ada tenaga ahli sebagai key person yang dapat diandalkan dan berpengalaman panjang di industri spesifik ini. Tentunya sebagai suatu pakem yang jelas dalam pemberian kredit aspek karakter dari calon debitur ini harus sudah dipastikan.

Hal lainnya yang perlu diperhatikan oleh bank pada dasarnya sama ketika memberikan pembiayaan proyek (project financing). Proyeksi yang akurat dengan dasar asumsi yang benar akan sangat strategis dalam menetapkan struktur pinjaman yang sudah memitigasi segala risiko. Untuk hal ini, diharapkan analis kredit sudah terlatih dengan baik pada pembiayaan proyek.

Penutup
Keterlibatan sektor perbankan dalam membiayai proyek EBT akan memiliki banyak impikasi positif. Selain akan mendukung program lingkungan yang lebih bersih, bank bersangkutan akan menuai reputasi baik sebagai bank yang progresif dalam program EBT.

Ada peluang lain yang kiranya dapat dipertimbangkan. Proyek PLTMH pada kenyataannya sangat bermanfaat untuk membangun elektrifikasi di kawasan-kawasan yang terpencil yang belum terjangkau dengan baik oleh distribusi jaringan PLN. Ini merupakan peluang bagi bank dalam program CSR-nya yang sekaligus berkontribusi terhadap pengembangan portfolio kreditnya. Ibarat pepatah “Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”. Kalau punya banyak manfaat, mengapa tidak?

Date:

Monday, June 30, 2014

Show more