2013-09-12

Kampung nan Jauh... - Ciboleger, Indonesia

Ciboleger, Indonesia

"we're never alone here, no
there's lots of unknown here in the crowd
here are many wild animals"

#here are many wild animals-a camp

baduy. apa yang terbersit di kepala saat terucap kata itu? beberapa kali niat mengunjungi kampung ini dan harus tertunda karena ketidaksesuaian jadwal. ada trip tapi ga bisa ikut, or ngangur tapi ga ada yang ngajakin ke sana. saat akhir na ditawari dany untuk ngisi seat kosong yang dibatalkan pemilik kursi sebelum na, langsung sorak girang akhir na kesampaian juga mengunjungi kampung adat ini.

menumpang kereta rangkas jaya (tanah abang-rangkasbitung) seharga 4k yang berangkat jam 07.50, kami memulai perjalanan sabtu pagi. perjalanan 1,5 jam dengan kereta dilanjutkan dengan menyewa elf untuk sampai ke desa ciboleger. elf yang dipaksa untuk menampung 23 orang harus rela dinaikin dengan cara abnormal sampai ke atas atap na. ternyata jarak na lumayan jauh, sekitar 2 jam perjalanan untuk sampai ke pintu masuk desa kanekes -lumayan buat mereka yang terpanggang di atas :D-. di sini letak minimarket terkhir jika kita belum menyiapkan logistik perjalanan atau mau membeli buah tangan bagi warga baduy.

ciboleger menyambut dengan patung dan warung makan na -sarapan yang belum puas tadi pagi-, belanja dan makan siang sambil repacking untuk perjalanan ke baduy dalam. sudah ada rombongan lain juga yang siap masuk kampung, yang mo masuk ke baduy dalam atau sekedar sampai ke desa wisata di baduy luar. buat yang kira-kira ga kuat jalan ada anak-anak yang menjual tongkat atau mo sekalian pakai porter saja. jasa porter sampai baduy dalam 35k. ngaku na traveller bawa sendiri dunk barang na, apalagi ini tracking bukan naik gunung jadi bawaan na ga terlalu berat dan medan na ga terlalu susah -harapan na-. mari kita mulai, fulltank, dan… baduy, kami datang.

kang emen yang harus na jadi pemandu sedang ada acara di desa na sehingga digantikan dengan mamang dari baduy dalam langsung, 2 orang dan 1 anak kecil -yang ternyata anak salah satu mamang-. awal perjalanan pasti semua masih dengan kekuatan dan semangat yang sama. mulai bareng-bareng, jalan bareng-bareng. tapi awan hitam yang mulai kelihatan membuat beberapa orang mengatur pola jalan mereka sendiri-sendiri -sesuai kostum dan kemampuan-. tracking ini memang ke kampung sebelah tapi bukan kampung sebelah yang hanya berbataskan lapangan -apalagi lantai licin na mall- melainkan lereng dan perbukitan. dari rombongan yang start sebelum kami mulai tampak beberapa orang yang seperti na kurang nyaman dengan kostum mereka. ada yang mulai sewa porter sampai nyeker karena ga biasa dengan jalan na. sebenar na berjalan tanpa alas kaki adalah salah satu aturan yang dianut warga baduy dalam. beda na mereka memang telah melakukan na sedari lahir, sementara para penyeker ini adalah orang-orang yang putus asa dengan keadaan jalan. hal yang sama dengan alasan berbeda dan hasil na juga. yang satu lari setengah loncat, yang lain na jalan tertaih-tatih.

rute awal melalui perkampungan baduy luar dan desa wisata baduy masih tergolong jalur wisata yang mudah dilalui karena track na yang jelas dan relatif datar. sedikit naik turun karena memang kontur bukit yang harus dilewati. bahkan di desa wisata na dijumpai sekelompok siswa smp dan kelompok lansia yang berhasil sampai di sana untuk merasakan tinggal dalam suasana pedesaan. hanya saja nama na juga desa wisata, ketenangan yang diharapkan saat tinggal terganggu hiruk pikuk pedagang souvenir dan anak-anak desa yang sudah mulai dengan konsep kapitalisme mereka untuk memperoleh laba dari pertukaran. bukan lagi suasana alami, pemandangan saja, mari kita lanjut ke baduy dalam.

tracking ke baduy dalam bukan merupakan lintasan yang relatif mudah. hal ini lebih karena tanah perbukitan yang liat dan lincin saat hujan yang datang na pas banget ketika kami mulai tracking liar, bukan lagi di desa wisata. nyeberang jembatan, naik turun bukit, keluar masuk desa dan hujan pun akhir na mengalahkan mental yang basah. numpang istirahat di rumah penduduk lebih karena melindungi barang. sayang na ada satu teman perjalanan kami yang akhir na menyerah sampai batas ini karena kram kaki dan ditinggal di desa saat perjalanan ini belum juga sampai separoh na. semakin lama menunggu semakin banyak waktu terbuang dan semakin malam kami nanti sampai ke baduy dalam. akhir na hujan pun mengalah dengan keputusan kami melanjutkan perjalanan. hanya saja mental peserta sudah tak lagi sepenuh perjalanan awal tadi dan mulai terlihat jarak antar pejalan.

rhe mengikuti petunjuk jalan asda -anak mamang pemandu- yang langkah na kecil-kecil. niat hati biar ga terlalu ngos-ngosan ngejar na. ternyata salah besar, anak sekecil itu sudah berotot dan pijakan na mantap. bahkan untuk membalap na saja rhe ga mampu -malu-. dan inilah rhe, bersama langkah-langkah kecil asda memulai 2/3 sisa perjalanan.

perbedaan usia, perbedaan budaya dan terlebih lagi perbedaan bahasa menjadi kendala yang bikin jambak-jambak rambut awal na. tidak biasa jalan dalam diam, pengen rasa ngobrol dengan anak baduy dalam ini. tapi apa daya, jawaban na kalo ga tatapan bingung, ya lirikan mencari dukungan dari sang ayah yang jaoh di belakang sana. rupa na tanpa sadar kami telah membuat jarak yang lumayan jauh dengan orang berikut na. takut? tidak dunk, karena rhe bersama orang yang keseharian na di situ, dan akhir na kami pun menertawakan satu sama lain. rhe yang geli karena dipandu oleh seorang anak dan asda yang ntah menertawakan apa karena hanya itu bahasa kami, tatapan dan senyuman. dari kekuatan jalan memang asda tidak diragukan, tapi untuk pengetahuan jalan… ops, ternyata kami nyasar. hahaha… dia hanya berjalan sesuai yang dia mau. sampai akhir na disusul mamang sebelum masuk ke desa bawah. seandai na beneran nyasar, ya… memang ini dunia baru yang harus rhe akrabi tanpa media komunikasi apapun -sinyal pun tak sampai- :D

untuk nyusul asda, mamang menambah speed yang arti na semakin menciptakan jarak dengan orang di belakang. mo lanjut jalan tapi ga ada orang di depan. nungguin yang di belakang tak kunjung datang. porter kelompok depan akhir na yang menjadi pemandu kami selanjut na. beruntung muncul bekti dan bang ipul kemudian maka dimulailah perjalanan bersama orang yang mampu berbahasa. pufh… ternyata diam terkadang menyesakan, walo bisa juga menjadi jeda dari keributan yang ada. masih bersama asda tapi bisa bercakap dengan manusia dewasa juga -eh, kalian bedua dewasa kan ya bang?-. kendala selanjut na adalah lumpur -jadi inget malela-. saat jalan di waktu hujan, pasir dan lumpur terguyur air dan hilang. sedangkan saat harus melewati jalan sehabis hujan yang ada adalah air yang mengenang dan tanah berlumpur. mau ga mau memanfaatkan pantat kalo memang kaki ga mampu menopang lagi. sedangan rintik hujan mengkamuflase keringat yang bercucuran. masuk ke desa yang dengan pintu menyerupai pintu kandang ukuran besar. sudah siap untuk mengemas kamera karena ada na larangan mengambil gambar di kawasan baduy dalam. siap diam ga bikin keributan, mengucapkan salam dan masuklah kami ke desa di balik pintu. eng ing eng… namun apa yang kami temukan, 2 turunan dari gerbang masuk ada warung air mineral. heh?

ternyata kami masih menemukan satu desa lagi sebelum memasuki baduy dalam. wajar, karena kawasan baduy ini terdiri dari 22 desa baduy luar dan 3 desa baduy dalam sehingga untuk bisa masuk ke dalam na perlu perjalanan panjang melalui desa-desa di kawasan luar ini. kita masih bisa ngobrol -dalam artian ribut- dan berfoto serta melakukan kegiatan dengan teknologi lain na selamaberada di baduy luar, sedangkan di dalam nanti harapan na tidak ada aktivitas teknologi lagi. perbatasan antara baduy luar dan baduy dalam sangat tidak jelas, hanya berupa jembatan atau sungai kecil yang baru disebutkan nanti oleh pemandu -jangan lupa bawa pemandu ya-. ntah apa akibat na jika kita melanggar aturan ini, tapi sebagai tamu tidak ada salah na untuk bersikap sopan jika mau diterima oleh tuan rumah.

beberapa kelokan, tanjakan, turunan dan ladang akhir na kami mulai menapaki tepian tebing yang sejajar dengan sungai. dengan semua peluh dan lembab karena kehujanan, pengen rasa na nyemplung kesana. kapan lagi ketemu sungai besar dan masih segar seperti itu. alangkah senang na jika 2 cowo' tadi mau berubah kelamin. hahaha... dan, tibalah kami pada batas itu. jembatan batas baduy dalam dan luar. saat na mengabadikan moment terakhir sebelum harus mengepak kimung di dalam ransel demi adat setempat. semoga kami bisa menemukan desa na di seberang jembatan ini.

siapa bilang? jika kau mengira demikian maka perkiraan dan dugaan itu salah besar. mengapa? karena jembatan itu menyembunyikan tanjakan yang sangat terjal. baru sesaat lalu ngepak kimung sudah pengen ngeluarin lagi buat bukti tanjakan terjal ini -nyaris 90 derajat-. ternyata seperti inilah orang yang sudah terbiasa dengan tekhnologi, baru lepas sedikit aja langsung nyariin. mungkin karena kekhawatiran terhadap hal-hal semacam inilah yang membuat suku baduy dalam membatasi diri mereka dengan paparan teknologi.

stok nafas dulu untuk -nyaris- panjat tebing ini. di tengah-tengah na istirahat nungguin rombongan depan yang naik na lama -secara ga bisa nyelip mendingan berhenti aja-. lagi-lagi kami bertemu dan berbaur dengan rombongan lain. apakah hidup dan perjalanan ini selalu loncat-loncat ya? dari satu kelompok ke kelompok lain, dari satu tempat ke tempat lain. lagi-lagi, ini bukan perjalanan ke desa sebelah. masih ada perjalanan panjang di atas tanjakan terjal itu. kenalan istirahat dan membutuhkan uluran tangan orang lain, ternyata inilah kehidupan yang sebenar na. batas-batas atau sekat yang kadang kita pasang terhadap manusia lain luluh semua na di sini. saat kau dengan spontan mengulurkan tangan melihat orang lain yang tergelincir atau reflek menerima uluran tangan orang lain saat jalanmu tak lagi mudah. tak peduli siapa dan dari mana asal na. terimakasih ini bukan sekedar perjalanan mencapai suku tak berteknologi.

sempet berhenti ngebantuin kaka' yang cidera lutut na dan meminjamkan pembalut lutut, menikmati pemandangan calon-calon durian, keluar masuk lumbung dan... akhir na kami tidak lagi punya pemandu aka nyasar. untung na berhasil papasan dengan warga lokal yang ntah pulang atau malah sedang menuju kemana. dan... setelah sekali lagi menyeberang jembatan kecil akhir na kami sampai pada desa ini, salah satu dari 3 desa baduy dalam. taraaaa... cikeusik menjadi tempat singgah kami kali ini. tepat setelah jembatan terdapat rumah yang akan kami tumpangi nanti na. seperti perjalanan-perjalanan sebelum na, belum ada siapa-siapa dari rombongan kami. hanya kami bertiga, asda dan pemilik rumah. bercengkrama dengan warga lokal dalam jumlah yang wajar -tidak berasa turis atau rombongan- ternyata gift buat kami yang sampai duluan. melihat kebiasaan natural mereka tanpa diganggu pelancong yang mulai meperkenalkan dunia luar kepada warga setempat.

ntah mengapa ada sedikit rasa miris di sana. untuk suku yang membatasi diri dengan dunia luar, tekhnologi bahkan ilmu pengetahuan, ternyata ada hal-hal janggal yang sebenar na jika mau mengakui na adalah ulah kita, ulah para pendatang. karena rasa ingin tahu kitalah maka kita memaksakan diri atau terusik untuk mencoba sampai kesana tanpa mengetahui kebudayaan dan adat setempat serta latar belakang mereka melaksanakan adat atau kepercayaan itu -ok, rhe merupakan salah satu manusia egois yang rhe sebut tadi-. pelancong-pelancong ala turis atau anak mall yang mo datang dan lihat, yang sekedar mencari pengakuan bahwa "aku juga sudah pernah ke sana" ternyata berdampak besar pada kehidupan masyarakat ini.

warga baduy dalam yang konon menolak pengaruh dan kontak dengan dunia luar bahkan saat ditawari mengenyam pendidikan ternyata ada yang mulai menggunakan hape-ya hape, telepon genggam itu- untuk melakukan kontak dengan penyelenggara dan rombongan yang ingin mencapai atau sekedar mengunjungi baduy dalam. orang-orang ini biasa na adalah orang baduy dalam yang bekerja sebagai pemandu. pertama, dia bisa membaca yang bertentangan dengan ikrar mereka tidak menerima pendidikan. kedua, mereka memanfaatkan tekhnologi, bukti perkembangan jaman yang selama ini mereka tentang.

pemandangan mengusik lain adalah ketika ditemukan beberapa bapak yang sedang membaca koran. apa ini pengaruh ilmu pengetahuan yang selama ini mereka tolak? darimana koran itu? yups, tak lainadalah kita para pelancong yang tanpa sadar membawa na dan memperkenalkan na pada mereka. hal lain adalah baju yang mereka gunakan. untuk pakaian yang mereka gunakan pasti ditemun sendiri dengan warna khas seperti hitam, biru tua atau putih. tapi apa itu yang ada di kepala gadis-gadis kecil itu, ikat rambut warna warni? ini rhe tidak sedang ditipu dengan berada di desa baduy luar yang disamarkan sebagai baduy dalam kan? miris dan sedih. bahkan ketika sedang mengamati kejanggalan-kejanggalan ini mendadak ada pedagang asongan -mirip dengan yang sering ditemui di metromini- lewat menawarkan asesoris pada warga lokal. pengen rhe tendang sampe berkilapan di langit sana. enyah kalian dari sini! toh sebagai sama-sama yang datang membawa ego, akhir na rhe hanya bisa menatap, melongo.

sketsa lain adalah wajah-wajah anak penasaran dan mencuri-curi pandang apa yang kami lakukan. untung na saat iitu rhe membawa camilan kacang oven yang kemasan na hanya plastik transparan tanpa merek seperti produk kebanyakan sekarang. setidak na ketika rhe menikmati na bersama anak-anak tersebut, hanya sedikit modernitas yang terbawa. selebih na, itu hanyalah kacang biasa tanpa rasa or bumbu yang aneh-aneh, masih original -pembelaan-. sedikit risih dengan mereka yang membawa camilan masa kini. berpikirkah mereka kalo itu mencemari tidak hanya lidah tapi juga pikiran anak-anak. gimana kalo mereka yang hidup dari alam dan barter harus mencari makanan dari luar yang diperkenalkan kepada mereka sejak kecil? apakah tradisi itu masih bisa terjaga? bagaimana jika anak yang tidak pernah keluar dari desa na itu menginginkan camilan seperti yang pendatang itu bawa? dimana cari na, pake apa beli na? bisa jadi pendidikan memang ditolak di sini tapi segala macam ..mart itu mungkin justru punya potensi untuk diterima -jambak jambak rambut-.

semoga hal lain yang kami lakukan tidak memperparah paparan mereka terhadap kemajuan dunia luar. tidak hanya menjaga dari pencemaran lingkungan, tapi pantaslah kita yang bertamu di sana tidak ikut mencemari mental asli para penduduk na. waktu yang memperkenankan kami sebagai orang yang sampai pertama untuk bisa bercakap-cakap lebih jauh dengan mereka. berhubung baju basah selama perjalanan yang kehujanan, setelah ganti baju kering maka mulailah percakapan ditemani kopi hangat yang disajikan oleh pemilik rumah -maaf, lagi lagi kami mencemari na dengan membawa kopi instan, bukan kopi tubruk-. suasana pedalaman na terasa ketika kopi yang disajikan dalam gelas bambu mengepul hangat di depan kami. mulailah obrolan tentang mereka, kegiatan mereka bahkan adat dan kebiasaan mereka. seberapa tradisi itu dipegang, siapa yang bertanggung jawab jika ada yang melanggar, siapa yang bertanggungjawab jika ada yang sakit di sana. pasti na mereka tidak mengenal dokter.

pernah dalam sebuah persalinan yang bermasalah bidan dipanggil masuk ke sana. pernah pula terjadi kasus yang mengharuskan calon ibu dibawa ke rumah sakit untuk membantu persalian na. kebayang ga bahwa ibu mengandung yang hampir melahirkan harus jalan kaki keluar desa -rhe yang normal aja ngos ngosan-, seperti na bisa kontraksi sepanjang jalan. ditambah lagi dari ciboleger dia harus dibawa ke rumah sakit dengan ambulans. apa yang terjadi, apakah adat atau nyawa yang didahulukan? ternyata memang cukup kaku adat di sana. salah satu adat melarang warga na untuk naik kendaraan dan ketika suami dan istri na yang nyaris melahirkan ini harus naik ambulans ke rumah sakit apa yang menjadi pilihan na? pastilah sang suami memilih keselamatan anak dan istri na, namun tidak demikian dengan adat. mereka yang mengharuskan warga na untuk taat dengan adat akhir na menyetujui pelanggaran tersebut, tapi setelah na… suami istri tersebut harus meninggalkan desa dan tinggal di baduy luar. sungguh… ga tau mo ngomong apa.

pembicaraan terhenti dengan kedatangan 4 orang lagi dari rombongan kami dan snack bawaan mereka mulai dihidangkan untuk bersama. tapi yang muncul kemudian sungguh mengagetkan. jika kopi disajikan dalam gelas-gelas bambu, sekarang pemilik rumah meminjamkan piring porselen untuk menyajikan camilan. dari mana datang na piring-piring ini? makin lama kuk makin janggal. ditambah lagi ketika semua rombongan akhir na datang. kami dibagi menjadi 2 rumah, hunian cowo' dan hunian cewe’. sebelum berpindah rumah -tempat mangkal rhe tadi ternyata hunian cowo’, malas pindah rasa na- buah tangan pun diberikan kepada pemilik pondokan yang salah satu isi na -yang bikin rhe dongkol pasti na karena jelas jelas tidak alami- adalah mie instant. ish… kenapa sih ketua rombongan kami tidak mendiskusikan barang apa yang akan dibawa? atau mungkin mereka berpikir praktis na aja tanpa berpikir apa yang menjadi imbas na. pufh… inilah sebuah prinsip perjalanan yang harus bisa rhe terapkan, menahan ego karena sebuah perjalanan adalah perubahan dari aku menjadi kita. tidak boleh banyak mengeluh jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak atau keinginan sendiri.

berpindah ke rumah belakang yang lebih kecil, rhe ditempatkan bersama 6 cewe’ lain. pemilik na keluarga ramah dan sederhana yang langsung menjamu kami dengan makan makam yang sudah disiapkan, nasi ayam goreng. seperti na menu ini biasa aja tapi yang bikin luar biasa adalah ukuran ayam na, gede banget. mungkin klo makan ayam na aja udah bisa kenyang kali ya -dalam kedaan normal-. namun perjalanan seharian ini telah menguras banyak tenaga sehingga membuat rhe mampu menghabiskan nasi dan sedikit ayam yang ada -laper-. segala hal yang ada dihadapanmu akan tampak memuaskan kalo kau mendapatkan na dengan perjuangan. dan inilah hasil dari semua na itu -heran juga ada cewe’ yang ngaku ga doyan makan dan milih dibikinin mie instant yang awal na diniatkan untuk ngasih ke pemilik rumah-. tampak semua sifat nyata dari manusia-manusia yang ada, itulah yang menyenangkan dari perjalanan terutama perjalanan seharian lebih, kau bisa tau karakter orang yang sebenar na.

terlalu banyak hal yang bikin gondok di sini dan ternyata masih nambah lagi. okay rhe, bersabar merupakan salah satu pembelajaran selama perjalanan. hari akhir na ditutup dengan obrolan singkat selepas makan malam sambil berbenah diri mempersiapkan zona tidur. rumah yang tidak terlalu luas dengan kedatangan beberapa orang beransel besar cukup menyita ruang. ditambah alas kayu tak berbantal -untung punya bantal tiup dan sarung-. tidak merasa direpotkan dengan kondisi maka rhe langsung atur posisi. namun rupa na ada ritual cewe’ yang dilakukan rekan lain mulai dari membersihkan muka dan pernak-pernik lain na. yups, rhe memang tidak pernah melakukan na -dasar jorok-, tapi yang bikin miris adalah saat ibu pemilik rumah tampak na sangat memperhatikan ritual ini -antara penasaran atau pengen-. satu lagi… kali ini rhe sudah ikutan kebal. mari kita tutup saja malam ini.

pagi hari disambut dengan kabut tipis yang masih mengantung. belum banyak yang beraktivitas ketika rhe memutuskan keluar rumah dan turun ke sungai. di sini sungai merupakan tempat kegiatan dasar. segala aktivitas berbenah diri ada di sana. tanpa ragu -ga tau apa yang ada di hulu sana- rhe langsung mengambil air untuk gosok gigi dengan doa semoga tidak tercampur limbah manusia. hihihi… tampak na semua warga juga melakukan aktivitas pagi na di sini dari orang tua sampai anak kecil. hebat na, mereka benar-benar tidak menggunakan sabun atau bahan chemical lain. maaf ya, kami jadi penyumbang cemaran kimia di daerah ini.

lanjut sarapan pagi dengan menu yang masih sama dan kami pun melanjutkan perjalanan dengan rute berbeda. kali ini jalur na akan melewati jembatan akar. ntah apa beda na jembatan ini dengan jembatan akar yang konon kata na tertua ada di sumatera barat. untuk perjalanan ini kami kembali bertemu dengan rombongan sebelum na. hanya saja mereka memilih jalur yang berbeda dengan jalur kami, lewat bawah, ntah itu ada di mana. rute yang kami lalui sebenar na tidak jauh berbeda dengan tipe jalan sebelum na, naik turun bukit dan jalanan pinggir hutan. yang sempet bikin histeris adalah saat melalui tangga bebatuan tiba-tiba dapat senyum manis dari seekor ular pohon tepat di depan muka rhe. langsung mematung sambil membisikan nama pemandu kami dan si bapak pun datang dengan sabetan golok na. terimakasih bapak… terimakasih tuhan tu ular cuma semapt senyum-senyum saja -nge’keep nyawa-

tidak ada yang istimewa dengan jalur lainan kecuali pemandangan di samping pepohonan durian. sayang na kami terlalu cepat ke sana karena durian na belum terlalu masak, sudah tua tapi belum enak dimakan. lagi pula aturan yang berlaku di sana adalah tidak boleh mengambil buah yang masih ada di pohon, tapi jika buah itu sudah jatuh maka menjadi hak semua orang yang menemukan na. senang na… tapi tetep aja salah waktu.

track lain sangat sangat curam. berapa kali harus lari dan memberhentikan diri dengan poon -atau terpaksa na orang yang berdiri di depan rhe, muup :D-. mendekati jembatan akar jalanan na makin ekstrim lagi, tebing di kiri jurang di kanan. ga ada media apapun untuk pegangan sementara jalanan dari tanah liat sehabiis hujan. kembali mendekatkan diri dengan sang pencipta dan bilang jangan cepat-cepat diminta bertemu dengan na. lanjut lagi dan akhir na tiba di tantangan terakhir sbelum jembatan akar. yups, tempat ini memang layak dapat semua perjuangan yang ada. pemandangan na memang jarang ditemukan -sungguh sungguh terjalin dari akar walo dibantu kawat dan bambu-. ga tenar aja menakjubkan begini apalagi yang setenar jembatan akar yang di padang ya? mungkin hanya bisa melongo dan sungkan untuk menyeberang na.

penggangu pemandangan na adalah kayu-kayu yang dihanyutkan di sungai. ntah ini kayu dari mana dan untuk kemana. yang jelas sudah terjadi penebangan hutan di kawasan ini untuk dikomersilkan. tidak sempat bertanya banyak ke pemandu kami tentang kejadian ini karena para penambang kayu ini sudah seperti preman terminal -beda na mereka mendominasi sungai bukan jalur bus-. bailkah, cukup ambil gambar na saja dan segera beranjak dari sini. tidak banyak lagi yang menarik setelah na sampai akhir na kami bertemu pemukinan baduy luar dan memberi harapan sebuah… kamar mandi. kali ini rhe hanya pengen mandi or setidak na bebersih diri. berasa semua lumpur dan tanah liat tadi nempel kuat di badan -pantes item :)-. setelah melalui jembatan -yups tempat ini sangat sangat sering dijumpai jembatan- akhir na perkampungan modern pun mulai tampak. mampir di masjid menunggu jemputan dan mau mandi. tapi apa daya ternyata kamar mandi yang ada sangat tidak mendukung. bertemu dengan wanita-wanita lokal yang melakukan aktivitas pembersihan diri dan… seperti na rhe tidak bisa melakukan yang seperti itu. baiklah… cukup bebersih diri saja dan mari kita tunggu jemputan dan segera balik ke ibu kota. lagi-lagi dengan kereta, kali ini kelas ekonomi yang lama na luar biasa. tengkiu semua… perjalanan kali ini cukup membuat rhe bersabar untuk ga nendang orang :) -***-

pengeluaran:
jakarta-rangkas: 4 K
logistik: 40 K
share cost elf,baduy: 100 K
makan siang: 15 K
total pengeluaran: 159 K

Show more