2013-08-08

Malam masih gelap, matahari masih tertutupi gelapnya langit. Waktu menunjukkan pukul 02.40 dini hari, saatnya mempersiapkan diri untuk makan sahur, sendiri disubuh hari yang dingin ini. Sebelumnya telah tuntas ibadah shalat malam yang rutin ia laksanakan, dibulan Ramadhan maupun diluar Ramadhan, bedanya di bulan Ramadhan ia berusaha melakukannya setiap hari, sedangkan diluar Ramadhan hanya ia lakukan beberapa kali dalam seminggu saja. Berdua dengan Allah memang terasa begitu membuat hati menjadi damai, curahatan hati keluar begitu saja diikuti buliran air mata yang jatuh tak terbendung.

Menu sahur kali ini tidak jauh berbeda dengan menu sahurnya sebelumnya, ada sayur dan juga beberapa potong ayam goreng. Memang makanan halal dan sesuai selera lidah cukup sulit mendapatkannya disini, jauh berbeda kalau di kandang sendiri, ada ibu yang rutin memasak makanan kesukaan pemuda ini.
“Tiba-tiba kangen dengan ibu dan masakannya”, desahnya sambil menyeka air mata di pipi setelah sebelumnya tebayang kenangan-kenangan di Indonesia.

Dibacanya niat berpuasa, ”Na waitu shauma ghodin an adaa’i fardhi syahri Ramadhana lillahi Ta’ala ”, ucapnya kembali terasa segar setelah basuhan air wudhu tadi, ditambah lagi setelah dicharge oleh ibadah shalat malam.
Puasa telah sampai hari kelima oleh pemuda ini, dia terbayang-bayang entah bagaimana kabar keluarganya di sana, apakah masih mengingatnya? Apa masih mengkhawatirkan kondisinya disini??
“Aku baik-baik saja disini ibu dan ayah, tapi aku merindukan kalian. Aku masih semangat menjalankan ibadahku sampai hari ini”, ucapku seolah mereka ada didepanku.

Ada selaksa rindu yang menguasai yang terkadang hanya bisa terpuaskan lewat suara yang terdengar dari kejauhan, dan kemudian tetesan hangat lagi-lagi terjatuh. Yaa...memang puasa tahun ini mesti dijalani Ahmad, pemuda berumur 19 tahun ini jauh dari negara tercinta, Indonesia.

Puasa di negeri orang, tepatnya di kota New York sama sekali tidak menyurutkan semangatnya. Walaupun dalam beberapa hari kemarin ia merasakan suasana yang sangat berbeda dari Indonesia, tidak ada orang-orang yang turun ke jalan guna membangunkan untuk sahur, tidak ada pukulan kentungan yang akrab terdengar disepertiga malam, tidak ada kebiasaan orang-orang pergi menziarahi kuburan saudara, keluarga, ataupun kerabat mereka sebelum Ramadhan tiba, dan berbagai perbedaan lainnya yang membuatnya merindu bukan main. Tak jarang, suasana disini serasa menggedor-gedor jiwanya untuk kembali ke tanah air.

Pagi ini matahari menyingsing dengan cerahnya, tengah bersiap memancarkan sinar termegahnya disiang hari nanti. Yaa.. kali ini musim panas memang tengah tiba dikota besar ini, kota New York. Keberagaman yang menghiasi warga New York ini seakan mejadikan kota ini ibu kota dunia. Telah hampir setahun Ahmad menjalani kehidupan baru di negeri orang, menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh dengan harapan suatu saat ilmunya bisa ia amalkan dan dapat menuai hasil yang baik seperti apa yang ia tanam.

Besiaplah Ahmad, pemuda berparas tampan ini dengan rutinitas dan kesibukannya sebagai salah seorang mahasiswa disalah satu universitas di New York. Aktif berpuasa tentu tidak membuatnya bermalas-malasan tanpa kegiatan walaupun diluar sana berbagai cobaan telah menanti, mulai dari cuaca yang terik sampai pada kondisi-kondisi yang ia yakin akan temui lagi dijalan nanti. Ia tahu saja tentang hal itu, karena setiap hari itu sudah menjadi langganan tetap untuknya.
Di kelasnya ia menjadi satu-satunya yang beragama Islam, beruntung teman-temannya mengerti akan aktivitas yang ia jalani selama Ramadhan. Mereka menghormati dengan tidak makan dihadapan Ahmad. Walau awalnya mereka bertanya-tanya juga tentang apa yang pemuda ini lakukan.
“hei Ahmad. Why you don’t eat ?? Are you diet??”, kata Donofan salah seorang teman yang merupakan warga New York asli dengan logat kebarat-baratannya yang begitu kental terdengar.
“No..i’m not. I am fasting”, jelasku mencoba menjelaskan.

Teman-teman sekelasnya berasal dari berbagai negara di Rusia, Asia dan berbagai daerah lain, dan rupanya banyak diantaranya yang tidak mengetahui tentang Islam. Saat mereka mengetahui bahwa pemuda Indonesia ini menjalani sesuatu yang disebut puasa, mereka bertanya-tanya kepadanya tentang apa itu puasa dan mengapa Ahmad melakukannya. Tanpa ragu ia jelaskan kepada mereka bahwa dalam agama Islam salah satu tujuannya adalah untuk merasakan apa yang saudara yang miskin atau yang kurang mampu rasakan, ketika mereka kurang mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari sampai untuk makanpun susah, selain itu puasa juga bertujuan mengendalikan serta melatih diri dan hawa nafsu. Dan yang paling penting adalah untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Ahmad juga menjelaskan bahwa puasa dapat menjadi jalan yang baik bagi yang ingin diet jika itu dilakukan dengan benar. Mereka pun mendengarkan dengan seksama penjelasan Ahmad, seringnya terlontar lagi pertanyaan demi pertanyaan yang dengan santai dijawabnya selama ilmunya masih sampai.
Salah satu temannya yang berkebangsaan China asli, Zhang Yong bahkan harus berteriak setengah kaget yang bahkan membuat yang lain juga terkejut ketika Ahmad menyebutkan bahwa ia harus menahan lapar dan haus selama kurang lebih 16 jam. Ia benar-benar berpikir bahwa ini tidak wajar dan sesuatu yang gila untuk dilakukan.
“Bagaimana mungkin kamu harus menahan lapar dan haus sampai segitu lamanya, apalagi dimusim panas seperti ini?”, serunya masih dengan nada takjub.
Walaupun begitu, Zhang Yong yang begitu bangga dengan nama pemberian orang tuanya ini, yang disebut-sebutnya memiliki arti berani tetap saja menghormati dan bahkan mengacung jempol sebagai tanda kagumnya.

Tanpa terasa siang hari sudah tiba, terik matahari terasa begitu menyengat, membuat tenggorokan serasa makin kering. Tidak tanggung-tanggung suhu udara bisa mencapai 37 derajat celcius. Walaupun ini adalah kali pertamanya menjalani puasa dinegeri rantau, namun ia harus beradaptasi. Ia sendiri menyadari bahwa ia pasti sanggup.

Berita baiknya, bulan Ramadhan yang tepat jatuh pada musim panas ini memang membuat waktu puasa yang harus dijalani sampai 16 jam lamanya, jadi mereka harus menunggu waktu maghrib sampai pukul 20.30 tidak seperti di Indonesia yang hanya dijalani sampai 14 jam saja. Dengan waktu yang hanya 14 jam saja cobaanya berat, apalagi jika waktu menahan lapar dan dahaga serta hawa nafsu ini harus sampai 16 jam, belum lagi dengan segala cobaan yang menantang iman. Apalagi di Indonesia bulan Ramadhan jatuh pada musim penghujan dan bukan musim panas seperti di New York.

Siang ini, ia lewati jalan-jalan di kota ini dengan kaki yang masih kokoh berdiri. Tak terelakkan pemandangan penggoyah iman akan kembali menghiasi perjalanannya diteriknya matahari siang ini. Bukan sekedar candaan, benar saja dia mendapatinya. Disepanjang mata memandang, telah terhampar pemandangan indah luar biasa. Indah?? Ahh...buru-buru ia ralat dengan istighfar berkali-kali. Bukan indah, akan tetapi sebaliknya. Disetiap sudut mata memandang telah banyak manusia-manusia ciptaanNya yang menghabiskan waktu disiang ini. Yang menggoyahkan iman adalah para perempuan yang kemana-mana tidak mengenakan jilbab atau paling tidak pakaian yang tetutup. Memang diakuinya bahwa di Indonesia Muslim dan Mulimahnya sudah mulai mengikuti budaya barat salah satunya dalam segi berpakaian yang terbuka dan terkesan kekurangan bahan, Meski jika bulan Ramadhan biasanya para Muslimah tiba-tiba berbondong-bondong memakai jilbab, istilahnya jilbab dan tutup aurat musiman. Jadi, jika bulan Ramadhan tiba beramai-ramai dengan pakaian tertutup, namun jika Ramadhan usai semua itu mereka tinggalkan dan kembali pada gaya hidupnya semula. Sangat disayangkan bahwa bulan Ramadhan yang seharusnya menjadi bulan tarbiyyah, tempat kita belajar untuk menjadi hamba yang lebih baik, justru seakan tidak menuai apa-apa. Selain itu, restoran-restoran di New York bebas beroperasi disiang hari, tidak ada toleransi bagi yang berpuasa seperti yang terjadi di Indonesia, banyak orang yang makan dan jajan dimana-dimana, dijalan-jalan, ditaman atau tempat-tempat umum lainnya. Yaa...Penduduk yang beraneka ragam dan minoritas Islam memang membuat semuanya terkesan tidak toleransi terhadap mereka yang berpuasa.

Malam-malam di bulan Ramadhan harus dilalui Ahmad dengan melaksanakan shalat Isya dan tarwih di apartemennya saja, karena kondisi mesjid yang masih kurang dan sulit dijumpai disini. Pernah juga ia mencoba keluar mencari mesjid namun kondisi yang memang teramat jauh membuatnya hanya sesekali menyambangi rumah suci Allah itu.
Mesjid dikota besar ini sekarang berjumlah setidaknya ada 100 serta musholah-musholah yang terkadang tidak diketahui, biasanya didirikan diapartemen milik seorang Muslim, sedangkan dijalan-jalan didirikan ditempat-tempat yang sulit terlihat dari jalanan. Salah satu hal yang membuat miris memang, apalagi jika teringat bagaimana kondisi bulan Ramadhan di Indonesia terutama di pedesaan-pedesaan dimana suasana Ramadhan benar-benar terasa, mesjid selalu penuh dengan jamaah yang berbondong-bondong paling cepat kemesjid, memburu tempat paling depan seakan takut kepenuhan, semangat anak-anak kecil untuk ke mesjid entah atas dasar tuntunan ibunya atau keinginan mereka sendiri, yang memberikan warna tersendiri dengan ulah-ulah lucu mereka berlarian kesana-kemari sambil berteriak membuat bapak-bapak dan ibu-ibu jengkel juga sebab tidak dapat berkonsentrasi saat shalat maupun saat Ustadz menyampaikan pesan walau satu ayatnya.
Begitulah, pengalaman Ramadhan yang dilalui Ahmad di negeri rantau yang tidak banyak menyita semangatnya. Dengan berbesar hati, lebaran tahun ini harus ia terima bahwa ia tidak dapat merayakan Idul Fitri bersama dengan keluarga dan saudara setanah air di negara tercinta Indonesia.

Show more