2014-06-15

AKANKAH INDONESIA AKAN TERGADAIKAN LAGI

Prestasi Jokowi di Jakarta Adalah Menjadikan Utang Luar Negeri Pemprov DKI Menumpuk
Setelah Meninggalkan utang di PEMKOT SOLO
kami bukan membuka kebuukan seseorang tetapi kami akan memaparkan fakta sebenarnya yang terjadi sepeninggal MR.JOKOWI yang terhomat.

(Memang sulit untuk membedakan ORANG KAYA dengan ORANG yang Dibuat KAYA)

"TIDAK SEMUA YANG DAPAT DIHITUNG, DIPERHITUNGKAN, DAN TIDAK SEMUA YANG DIPERHITUNGKAN, DAPAT DIHITUNG" (Albert Einsteein)


Berbagai Fakta-fakta (tertutupi dengan pencitraan Jokowi) tentang Mr.Jokowi Selama Menjadi Walikota Solo

Selama satu periode lebih sedikit, menjabat Walikota Solo Jokowi seperti sosok yang istimewa di mata media. Tapi kenyataan yang terjadi di lapangan seharusnya membukakan mata bagi siapa saja yang selama ini mendewa-dewakan Jokowi.

Berikut berbagai fakta di Solo berkaitan dengan Jokowi:

1. Jokowi, PKL dan konspirasi para preman dibawah FX Hady Rudiatmo (dikenal dengan Pasukan AD2)

Pada tahun kedua menjadi walikota, Jokowi sudah mulai menyita perhatian media karena dianggap sukses menangani permasalahan PKL di Solo yang selama puluhan tahun memusingkan pemerntah daerah. Drama pemindahan PKL dari kawasan monumen Banjarsari (Monjari) yang berdekatan dengan rumah pngusaha Lukminto, disebut-sebut menjadi kunci suksesnya menangani PKL secara keseluruhan di kota Solo.

Proses penanganan PKL ini, jadi menarik karena berjalan secara damai tanpa melibatkan aparat keamanan, satpol PP maupun kepolisian. Bahkan PKL yang jumlahnya ribuan menjalani ritual boyongan dengan sukarela ketika menempati areal relokasi ke pasar baru yang kini dikenal dengan Notoharjo.

“Kesukesan” mengelola PKL tersebut menjadikan Jokowi kemudian dikenal sebagai Walikota kaki lima karena keberpihakannya kepada pedagang kaki lima. Ia sering diundang ke berbagai kota untuk menceritakan pengalamannya. Tak hanya di dalam negeri tapi juga keluar negeri. Bahkan tahun ini, Solo bakal menjadi tuan rumah untuk acara konferensi international khusus untuk penanganan pedagang kaki lima.

Belakangan mulai muncul suara-suara sumbang berkaitan dengan proses relokasi PKL ke pasar Notoharjo. Keberhasilan tersebut ternyata merupakan hasil skenario yang sudah dirancang secara matang. Ada yang menyebut kesuksesan ini hasil persekongkolan antara preman dan penguasa.

Sebagaimana diketahui, dalam berbagai kesempatan, Jokowi selalu menjelaskan bahwa proses pemindahan tersebut merupakan hasil dari loby yang cukup panjang dengan cara nguwongke komunikasi dari hati ke hati. Ia berkali-kali mengundang tokoh pentholan di kalangan PKL untuk diajak makan malam di Loji Gandrung, rumah dinasnya sebagai walikota. Dalam setiap kali makan bersama, Jokowi mengaku tidak pernah bicara tentang penataan PKL karena katanya pasti akan menimbulkan perlawanan. Baru setelah puluhan kali makan bersama dan terjalin komunikasi yang baik, Jokowi mulai memunculkan rencana relokasi PKL tersebut. Dan konon semua langsung sepakat dengan apa yang dikatakannya. Ia menyebut sebagai buah dari diplomasi meja makan.

Jokowi boleh mengklaim ada diplomasi meja makan dibalik kesuksesannya merelokasi PKL ke Pasar Notoharjo. Tapi ada sebuah sumber yang menyatakan bahwa keberhasilan itu tidak lepas dari skenario besar yang dirancang wawalinya, FX Hady Rudiyatmo. Wawali yang akrab disapa Rudy ini sebenarnya menjadi penguasa riil di Solo. Sedangkan sang walikota, Jokowi hanya seperti boneka yang digerakkan FX Hady Rudiyatmo dengan Pasukan Bayangan yang dikenal dengan pasukan AD2.

Sekedar diketahui saja, selama ini FX Hady Rudiyatmo adalah tokoh yang memiliki massa hingga ke akar rumput. Massa yang dikuasainya berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari pedagang kaki lima, tukang parkir, hingga preman jalanan maupun yang berdasi. Sebagai penguasa di dunia hitam, ada yang bilang Rudy bisa membuat merah hijaunya Solo. Ia sebenarnya juga punya peluang menjadi walikota, namun karena statusnya yang non muslim menjadi pengganjal bagi Rudi. Dan ia pun sadar diri.

Kalau melihat dana yang digelontorkan dari APBD untuk relokasi PKL ke Pasar Notoharjo sebenarnya terlihat jelas ada kejanggalan. Jumlahnya memang sangat fantastis, mencapai hampir ratusan milyar. Maklum semua semua proses ditanggung Pemda. PKL dibebaskan dari semua biaya alias gratis. Selain dapat tempat, juga dapat modal kerja, bahkan uang makan selama sebelum dagangannya laku.

Besarnya anggaran ini sempat menggelitik anggota dewan di Solo. Untuk membiayai PKL yang jumlahnya ribuan, mengalahkan anggaran operasional kelurahan. Padahal berdasarkan survai, sekitar 20 % PKL Notoharjo bukan orang asli Solo. “Anggaran PKL Notoharjo banyak yang salah sasaran karena yang menikmati bukan orang Solo,” kata M Rodhi, anggota dewan dari PKS.

Selain salah sasaran, ada yang terang-terangan mengatakan bahwa yang menikmati anggaran PKL Notoharjo tersebut hanya kelompok masyarkaat tertentu yang selama ini dikelola FX Hady Rudiyatmo. Tepatnya mereka yang bernaung dibawah partai pimpinan wawali ini. “Ini salah satu cara mereka mendapatkan uang,” kata salah satu sumber di DPRD Solo.

Terlepas dari itu, semua Jokowi sudah telanjur dicitrakan sebagai walikota yang sukses mengelola PKL dengan cara-cara yang manusiawi. Tapi apakah, dia juga sukses menangani sampah secara umum di kota Solo? Ternyata tidak.

Saat ini, PKL masih menjadi persoalan serius di kota Solo. Status Jokowi sebagai walikota kaki lima memang menjadi dilema. Ia tidak tegas terhadap PKL. Ini terlihat dari makin banyaknya PKL yang sepertinya didiamkan saja berjualan di kawasan yang seharusnya steril dari keberadaan mereka.

Bukan hanya muncul PKL baru, tapi ada juga PKL yang sudah direlokasi ke tempat baru kemudian pindah ke tempat asal dengan dalih tidak laku di tempat baru. Dari pantauan di lapangan, para PKL masih dengan bebas di Jl. Slamet Riyadi, Jl, Veteran, Jl,. Kapten Mulyadi dan Jl. Urip Sumoharjo. Padahal jalan-jalan ini mestinya menjadi kawasan yang steril dari PKL.

Penanganan terhadap para PKL yang dilakukan Pemkot Surakarta, tak hanya dilakukan dengan relokasi, tapi juga dengan shelterisasi dan gerbakisasi. Pada kenyataannya, PKL yang sudah terkena penataan tersebut banyak kembali ke tempat semula atau mencari lokasi baru.

2. Jokowi dan City Walk
Salah satu impian Jokowi dalam mewujudkan kota Solo menjadi kota yang nyaman dan asri adalah dengan membangun kawasan City Walk di kawasan Jl. Slamet Riyadi, yang terbentang antara Purwosari sampai Gladag/Pasar Gede. Konsepnya, kawasan ini akan menjadi asset wisata baru. Para pengunjung berjalan kaki dan menikmati fasilitas yang ada di kawasan ini.

Dengan menghabiskan anggaran Rp 1.3 milyar, kawasan Citywalk mulai diresmikan sejak 1 Oktober 2007 bertepatan dengan t peringatan Hari Habitat Nasional. (Dibalik itu ada pendanaan asing dari Hibah UN Habitat 9 milyar yang sampai sekarang masih tergantung)  Kawasan ini sebenarnya diharapkan menjadi daya tarik tersendiri sebagai wahana wisata bagi warga dalam rangka berinteraksi, bersosialisasi, sekaligus rekreasi.

Pemkot Isyaratkan Lepas Hibah UN Habitat
SOLO –Pemkot Solo selaku pelaksana program Griya Layak Huni (GLH) tak mau terbelenggu pada penyederhanaan aturan hukum pengelolaan dana hibah dari UN Habitat senilai Rp9 miliar.

Jika justru menyulitkan, Pemkot Solo akan melepas hibah itu. ”Jangan sampai telaah ini mengganggu saya dan TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) dalam menyusun APBD 2014. Saya tidak mau bantuan hibah yang hanya Rp9 miliar dari UN Habitat, menguras konsentrasi. Anggaran Rp1,4 triliun untuk tahun depan di APBD seharusnya lebih diprioritaskan untuk dibahas,” papar Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo kemarin.

Rudy, sapaan akrabnya, menengarai pemkot tidak akan leluasa saat mengelola bantuan UN Habitat dalam program penjaminan hunian layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Rudy mengisyaratkan rela melepas bantuan UN Habitat apabila perikatan tersebut menyulitkan pemkot dan tak bermanfaat bagi MBR. Pemkot kini memegang dana bantuan Rp6 miliar dari total Rp9 miliar sejak 2010.

Kabag Hukum dan HAM Kinkin Sultanul Hakim mengupayakan regulasi penggunaan dana hibah bisa menguntungkan MBR. Telaah materi perjanjian akan mengubah prasyarat warga miskin dalam mengajukan aplikasi kredit dan penjaminan ongkos renovasi rumah. abdul alim

Sayang seribu sayang setelah memasuki tahun kelima, kawasan ini sepertinya tidak mendapatkan respon warga. Kawasan Citywalk belum menjadi daya tarik sebagai tujuan wisata sebenarnya. Kalangan anggota dewan, menganggap Citywalk merupakan salah satu proyek gagal yan dikelola Jokowi.” Ini jelas-jelas proyek gagal karena tidak ada kelanjutannya, sekarang hanya digunakan tempat mangkal PKL dan tukang becak,” kata Supriyadi, wakil ketua DPRD Kota Surakarta.

Karena itulah, Supriyadi mengaku langsung menolak ketika Pemkot Solo mengajukan anggaran untuk pembangunan citywalk di kawasan lain sepanajng 10 km yang akan menghubungkan jalan protocol di dalam kota. “Yang pertama saja gagal mau membangun Citywalk lagi,” kata Supriyadi.

Masih menurut Supriyadi, pembangunan Citywalk tanpa melalui kajian yang mendalam dan kesannya hanya gagah-gagahnya saja. Dampak dari proyek ini, justru menimbulkan banjir karena system drainase yang tidak digarap dengan baik. Selain itu, para pemilik toko di kawasan ini juga mengalami kerugian karena harus bongkar muat di tempat yang jauh, tidak lagi bisa dilakukan di depan toko seperti sebelum citywalk dibangun.

Sementara itu, dampak dari pembangunan Citywalk tersebut, tukang becak dan sepeda kehilangan akses jalan. Mereka tidak lagi memiliki jalur lintasan di kawasan Jl, Slamet Riyadi, apalagi tempat parkir.

Konsep City Walk mengadopsi dengan apa yang ada di Orchad Road di Singapura. Ketika berkunjung di negeri singa tersebut, Jokowi nampak terpana karena kawasan ini menarik bagi para wisatawan.

Di sepanjang Orchard Road banyak sekali bangunan-bangunan komersial seperti hotel dan pusat perbelanjaan berlabel mall, shopping center, galeri, plasa, square dan nama-nama pusat perbelanjaan lain. Ada lebih dari 50 pusat perbelanjaan dan deretan pertokoan di sepanjang Orchard Road. Di mana jalan ini bersambungan dan berdekatan dengan Marina Bay dan City Centre.

Di kawasan Orchad Road, juga banyak ditemukan bangunan penting seperti Museum Raffles Landing Site, Singapura Art Museum, Singapura City Gallery, Singapura History Museum, Singapura Philatalic Museum, Theatre dan Concert Hall, pengunjung juga bisa menemukan taman-taman kota dan bangunan-bangunan megah kantor Parliament House dan beberapa gedung kedutaan besar. Bahkan tempat ibadah mulai dari pura, mesjid dan gereja tersedia di sana.

Kehidupan di kawasan Orchad Road memang sangat nyaman dan aman. Hal ini terjadi karena didukung infrastruktur yang memadai, sumber daya manusia serta financial yang mencukupi untuk maintenannya. Selain itu juga aparat di lapangan dan birokrasi yang memang memiliki dedikasi yang sangat baik, tertib, teliti dan bertangungjawab.

Sarana tranportasi juga sangat mendukung, mulai dari kereta cepat maupun bus yang menjamin kecepatan, keamanan, kenyamanan bahkan keselamatan penumpangnya.

Yang juga tak kalah penting, jumlah kendaraan bermotor pribadi di Singapura sangat dibatasi. Parkir mobil juga diatur dengan tertib. Setiap bangunan memiliki ruang parkir khusus.

Yang jelas mereka yang berlalu lalang di Orchid dijamin tidak akan menemukan pengamen, gelandangan apalagi pengemis, maupun pemulung. Kalaupun ada PKL, keberadaannya sangat diatur dengan rapi. Tidak adanya kesenjangan sosial, memang memungkinkan semuanya terjadi.

Ir. Kusumastuti,MURP dosen Arsitektur UNS melihat bahwa potensi yang ada di kawasan Jl. Slamet Riyadi tidak cukup mendukung untuk membuat City walk seperti yang ada di Orchad Road Singapura.

Kalaupun ada bangunan perkantoran, hotel, mall, museum, sriwedari, toko batik Danarhadi, Luwes, dsb, belum mampu menjadikan Citywalk sebagai magnet yang menarik wisatawan datang ke sana. Tak mengherankan bila saat ini, proyek City walk terkesan mangkrak.

3. Jokowi Gagal Mengurangi Kemiskinan
Kalau melihat fakta dan data jumlah warga miskin yang ternyata terus meningkat, pantas dipertanyakan apa ukuran kesuksesan bagi Jokowi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Siapa sebenarnya yang diuntungkan dengan konsep pembangunan kota Solo yang selama ini dikembangkannya. Orang kaya atau orang miskin? 80% orang kaya di solo mayoritas golongan Tionghoa 20% Pribumi

Berdasarkan data yang dirilis Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) ternyata jumlah warga miskin di Kota Solo dari tahun ke tahun justru terus mengalami peningkatan. Tidak menurun seperti yang selama ini dipublikasikan. Tahun 2012 ini, jumlah warga miskin mencapai 133.000 jiwa atau sekitar 25% dari total jumlah penduduk Solo yang mencapai 530.000 jiwa.

Data tersebut tentu sangat mengejutkan, karena melebihi data yang dilansir oleh Program Perlindungan Sosial (PPLS’08) dari Badan Pusat Statistik (BPS), termasuk data Pemkot sebelumnya yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Jumlah warga miskin berdasarkan PPLS’08 tercatat sebanyak 21.945 keluarga atau sekitar 85.000 jiwa dengan asumsi setiap keluarga terdiri atas empat anggota. Sedangkan data warga miskin yang dimiliki Bappeda tercatat sebanyak 125.000-an jiwa.

Wawali FX Hadi Rudyatmo selaku Ketua TKPKD mengakui data warga miskin yang lebih besar itu memang tidak bagus dari sisi politis maupun citra Kota Solo. Namun, data itu harus diakui karena lebih mendekati kenyataan di lapangan.

Setelah mendapatkan data yang riil itu, Rudy mengatakan tantangan besar yang menanti di depan adalah bagaimana agar data itu diterima oleh semua satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan dijadikan dasar dalam kegiatan-kegiatan dari sumber APBD yang berhubungan dengan penanggulangan kemiskinan. Selama ini, data kemiskinan itu berbeda-beda di masing-masing SKPD sehingga sulit sekali untuk mengukur keberhasilan penanggulangan kemiskinan.

Kepala Kesekretariatan TKPKD Solo, Shemmy Samuel Rory menyatakan yang diperlukan adalah sikap legawa dari masing-masing pihak. Tidak hanya kalangan SKPD, tetapi juga ormas, LSM dan kalangan usaha. Mereka harus mau melepaskan ego sektoral masing-masing, melihat kenyataan yang ada, duduk bersama, mengeksplorasi masalah, memahami dan membagi peran dalam penyelesaian masalah itu.

Ada pernyataan dari wawali yang kemudian mengundang kontroversi. Entah apa alasanya, dia justru merasa patut bersyukur dengan penambahan angka kemiskinan di kota Surakarta. Pernyataan itulah yang mengundang keprihatinan dari kalangan DPRD Kota Surakarta. “Makin banyak orang miskin kok malah disyukuri,” kata ketua Fraksi PAN, Umar Hasyim kepada Media Indonesia (9/5/2012).

Menurut Umar Hasyim, penambahan angka kemiskinan membuktikan bahwa selama ini Pemkot Solo gagal dalam menjalankan program pengentasan kemiskinan. “Kemiskinan tidak perlu ditutup-tutupi tapi juga jangan disyukuri,” katanya politisi PAN tersebut.

Umar Hasyim menambahkan, kebijakan Pemkot Solo yang belum berhasil menekan jumlah kemiskinan menandakan kinerja SKPD tidak berjalan maksimal, sehingga kesenjangan semakin lebar.

Peningkatan kemiskinan tersebut juga menandakan pemberdayaan ekomi tidak berjalan sukses. Kegagalan program pemberdayaan ekonomi ini, bisa dilihat dari jumlah pendapatan perkapita warga Solo yang hanya Rp 18 juta pertahun.

Sedangkan, unsur pimpinan DPRD dari Partai Demokrat Supriyanto menegaskan duet Joko Widodo-Hadi Rudyatmo dalam memimpin kota Solo selama dua periode memang hanya sering memberikan kejutan dan bukan keberhasilan. “Seperti kemiskinan ini. Meski DPRD sudah berupaya memenuhi anggaran yang dibutuhkan eksekutif di dalam melaksanakan program pengentasan kemiskinan, ternyata jumlahnya malah makin membengkak. Anehnya lagi, hasil pendataan BPS pun seolah menggunakan indikator tersendiri,” ungkap Supriyanto.

Penduduk miskin Kota Solo versi TKPKD

Tahun 2009: 107.000 jiwa

Tahun 2010: 125.000 jiwa

Tahun 2011: sekitar 130.000 jiwa

Peningkatan penduduk miskin

Dari tahun 2009 ke tahun 2010: 18.000 jiwa atau 16,8%

Dari tahun 2010 ke tahun 2011: 5.000 jiwa atau 4%

5 Kelurahan berpenduduk miskin paling banyak tahun 2010
1. Sudiroprajan, Jebres
2. Sangkrah, Pasar Kliwon
3. Kepatihan Wetan, Jebres
4. Semanggi, Pasar Kliwon

5. Ketelan, Banjarsari

4. Jokowi dan keburukan manajemen Pemerintahan

Ada peristiwa menarik di penghujung tahun 2011 lalu. Tepatnya sejak 23 Desember kota Solo gelap gulita. Ini terjadi karena PLN memutuskan jaringan listik untuk 17.000 titik lampu penerangan jalan. Penyebabnya tak lain karena Pemkot untuk kesekian kalinya menunggak pembayaran rekening listrik untuk penerangan jalan umum. Pemkot Solo menunggak rekening sejumlah Rp 8.9 milyar.

Pemadaman listrik selama beberapa malam di penghujung tahun 2011 tersebut, menunjukan bahwa ada ketidakberesan dalam pengelolaan keuangan daerah. “Tunggakan ini semestinya tidak perlu terjadi karena dana sudah ada, ini menunjukkan ada yang tidak beres dalam manajemen pengelolaan keuangan daerah,” kata Muhammad Rodhi, wakil ketua DPRD kota Surakata.

Pihak PLN sebagaimana diungkapkan Manajer Area Pelayanan dan Jaringan Surakarta, Puguh Dwi Atmanto, pemadaman tersebut terpaksa dilakukan karena jumlah tunggakan rekening listrik yang dilakukan Pemkot Solo sudah tidak bisa ditolerir lagi.

Puguh mengatakan, selama ini Pemkot Surakarta mendapat setoran pajak rekening listrik rata-rata 2.4 milyar tiap bulannya. Dari jumlah itu, sebenarnya masih ada kelebihan karena tagihan yang harus dibayar ke PLN rata-rata hanya sekitar Rp 2 milyar saja. Artinya Pemkot Surakarta mendapat surplus hingga Rp 400 juta tiap bulannya dari pajak penerangan jalan umum (PPJU).

Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, Pemkot Surakarta memang selalu mengalami surplus dari pembayaran rekening PPJU, karena hasil pajak yang didapat dari konsumen listrik jauh lebih besar dibandingkan dengan rekening yang harus dibayarkan. Surplus yang diperoleh antara Rp 184 juta hingga Rp 467 juta. Bahkan pada Juni 2010 lalu surplusnya mencapai lebih dari Rp 1 miliar. “Anehnya Pemkot Solo masih memiliki tunggakan rekening PPJU Rp 13 milyar,” kata anggota dewan dari PKS tersebut.

Pihak PLN rupanya habis kesabaran, karena kasus tunggakan listrik ternyata tidak hanya terjadi sekali saja. Tahun 2010, kasus serupa juga terjadi tapi jumlahnya lebih kecil Rp 3.6 milyar. “Waktu itu kami masih tolerir,” kata Puguh.

Menurut Puguh, dampak tunggakan listrik Pemkot Surakarta tersebut berakibat pada perjalanan karir mereka sebagai karyawan PLN. Jajaran manajer PLN Surakarta terpaksa mendapat sanki penundaan kenaikan golongan dan pangkat selama satu semester. “Kami diberi sanksi karena dianggap tidak becus menangani masalah tunggakan listrik,” ujar Puguh lebih lanjut.

Kala itu Wakil Wali Kota Surakarta, FX Hadi Rudyatmo, menyebut langkah pemutusan itu akan menimbulkan keresahan di masyarakat. “Kami berjanji segera melunasinya setelah APBD tahun depan disahkan,” kata Rudyatmo. Menurutnya, anggaran untuk pelunasan utang tersebut sudah disiapkan.

Seperti diungkapkan Puguh, Pemkot Surakarta masih memiliki tunggakan rekening senilai Rp 13 milyar. Pemkot belum bersedia membayar karena masih mempersoalkan keabsahan catatan PLN mengenai jumlah lampu yang mencapai 17.000 titik, “Masalah titik lampu sudah klar, kini Pemkot mempersoalkan dasar pengenaan tarifnya,” ungkap Puguh kepada media.

Kalangan anggota dewan Kota Surakarta menilai, kasus pemadam listrik tersebut menggambarkan betapa buruknya manajemen keuangan di Pemkot Solo. Mestinya Pemkot tidak perlu menunggu pencairan APBD karena dana pembayaran tersebut dibebankan kepada masyarakat yang dibayar setiap bulannya.

5. Kota Heritage yang tak Peduli Heritage
Publik dikejutkan dengan perseteruan antara Walikota Solo, Jokowi dan Gubernur Jateng, Bibit Waliyo. Inti persoalannya karena adanya rencana pembangunan mall di bekas gedung pabrik es Sari Petojo. Jokowi menentang keras pembangunan tersebut karena gedung bekas pabrik es tersebut sebagai cagar budaya sehingga tidak bisa dirobohkan begitu saja. Sementara Bibit Waluyo yang berada di belakang pembangun mall tersebut marah karena gedung tersebut statusnya milik Pemda Jateng bukan milik kota Solo.

Penentangan Jokowi dan FX Hadi Rudiatmo tidak hanya dilakukan melalui statemen di media saja. Tapi sampai berlanjut ke pengerahan massa. Wawali mengerahkan massa merahnya untuk demo menolak pembangunan mall tersebut. Situasi makin memanas karena sampai berlanjut pada penolakan Bibit Waluyo masuk ke kota Solo. Entah kenapa Bibit Waluyo memilih memundurkan langkah dengan membatalkan pembangunan mall yang dilakukan pemodal dari Jakarta.

Jokowi agaknya memang selalu bernasib baik. Konflik dengan Gubernur tersebut makin membuat namanya kian berkibar. Ia dianggap sebagai tokoh yang peduli dengan heritage atau benda cagar budaya. Apalagi selama ini, Jokowi dianggap sebagai walikota yang peduli dengan bangunan kuno dengan slogannya, “Solo Masa depan adalah Solo masa lalu”.

Namun lagi-lagi masyarakat rupanya terkecoh. Dibalik kasus Sari Petojo sebenarnya ada kepentingan ekonomi. Jokowi ternyata disambati para pemilik mall yang merasa terancam bila Sari Petojo akan dijadikan mall lagi. Yang jelas ini lebih karena persaingan bisnis antar pengusaha mall di Solo. (lagi lagi CSIS) Karena pemilik mall adalah orang-orang dekat Walikota dan wakilnya, tentu saja mereka harus dibela habis-habisan dengan cara apapun, termasuk dengan dalih melindungi cagar budaya.

Sebenarnya antara Jokowi dan Bibit Waluyo sama saja. Mereka sama-sama menjadi pejabat yang berkongsi dengan para pengusaha. Mereka juga sama-sama menjadi pejabat yang tidak peduli dengan heritage.

Meskipun berhasil membuat brand Solo’s Future is Solo’s Past tidak lantas membuat Jokowi menjadi walikota yang peduli dengan heritage. Berdasarkan catatan heritage society Solo, justru di era pemerintahan Jokowi, heritage yang ada di Solo habis berpindah tangan ke para pengusaha China.

Menurut Sejarawan dari UNS, Drs. Soedarmono, tahun 2005-2010 merupakan masa penghabisan terhadap bangunan heritage di Solo. Bangunan heritage di kota sudah punah tak tersisa apapun.”Ada usaha pengerusan jejak heritage perkotaan karena UU perlindungan cagar budaya terasa mandul di Solo,” kata Drs. Soedarmono SU ketika menjadi nara sumber dalam Konferensi Sejarah Nasional IX,di Jakarta pertengahan tahun lalu.

Soedarmono mensinyalir, ada grand-desain dari kalangan orang kaya untuk menghapus heritage di Solo untuk kepentingan bisnis.
Berdasarkan catatan Soedarmono selama Jokowi berkuasa, sudah banyak heritage yang berpindah tangan kepada para para kapitalis. Sebagai bukti, dia mengungkapkan adanya :

5 lapangan sepak bola dijual kepada kalangan Taipan,

ada 5 rumah sakit dijadikan Mall,

sekitar 20 bangunan heritage berpindah tangan ketangan orang China,

bekas-bekas taman kota dijadikan sumber ekonomi karena ambisi privatisasi seperti taman Sriwedari. Komplek pemukiman loji wetan sudah dioperkan menjadi situs kampong pecinan.

Kini para pemerhati cagar budaya juga mempersoalkan rencana Jokowi merobohkan bekas bekar RSJ Mangunjayan yang didirikan oleh Paku Buwono X pada tahun 1918 demi mewujudkan konsep Solo Green City.

Saat ini, bangunan bekas rumah sakit tersebut digunakan untuk Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Solo. Rumah sakit ini didirikan oleh Pakubuwono X pada tahun 1918 dan diresmikan penggunaannya 17 Juli 1919 dengan nama Doorganghuis voor Krankzinningen, oleh masyarakat dikenal dengan RSJ Mangunjayan. Pendiriannya bebarengan dengan RS Kadipolo dan RS Mangkubumen.

Ketiga rumah sakit itu mengukuhkan kota Solo sebagai kota negara yang maju dalam bidang kesehatan. Pada perkembangannya, tahuan 1986 RSJ Mangunjayan pindah ke daerah Kentingan, Bekas RSJ Mangunjayan Solo, salah satu penanda identitas kota Solo.

RSJ Mangunjayan menunjukkan kemajuan di bidang kesehatan kota Solo awal abad XX. Walaupun bangunannya biasa dan sederhana namun bangunan ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sejarah kota Solo.

Para pemerhati cagar budaya Solo, tidak menginginkan nasib RSJ Mangunjayan mengalami nasib sama dengan RS Mangkubumen, bangunan lama dihancurkan dan sekarang dijadikan mal dan apartemen Paragon, sementara RS Kadipolo bak rumah hantu saking tidak ada yang merawatnya. RSJ Mangunjayan dan RS Kadipolo merupakan peninggalan Sunan PB X. Pada zaman kemerdekaan, Keraton Solo telah menyerahkan semua asetnya kepada negara agar dipergunakan dengan baik, sayang sekali bila semua aset itu tidak dirawat dengan baik.

Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Solo, Kusumastuti, menyarankan agar dilakukan kajian terlebih dahulu terkait kesejarahan bangunan itu, mengingat kota Solo adalah salah satu kota heritage dan RSJ Mangunjayan merupakan salah satu identitas sejarah kota Solo. Sayangnya, Jokowi beralasan bahwa perobohan bangunan bekas RSJ Mangunjayan sudah merupakan program Pemkot dalam rangka menjadikan kawasan itu sebagai area hijau (demi terwujudnya green city).

Soedarmono, sejarawan kondang yang juga anggota Tim Ahli Cagar Budaya, menyesalkan rencana Pemkot Solo untuk merubuhkan bangunan itu. Beliau menganggap Pemkot Solo tidak memiliki komitmen serius dalam menjaga kelestarian heritage, padahal Solo telah dicanangkan sebagai salah satu World Heritage Cities beberapa tahun yang lalu dan ironisnya lagi, baru-baru ini Pemkot juga telah membentuk Tim Ahli Cagar Budaya yang salah satu tugasnya menginventarisis bangunan cagar budaya di Solo. “Ini yang saya sayangkan, kenapa mesti dirobohkan? Bangunan RSJ itu masih terlalu kuat jika sekadar untuk dirobohkan,” terang Soedarmono kepada harian lokal Solopos (24/10/11).

Para aktivis kebudayaan di kota Solo banyak yang prihatin dengan cara-cara Jokowi menangani benda cagar budaya. Ironis memang, Jokowi yang selama ini dianggap sebagai tokoh yang peduli dengan heritage ternyata banyak menghancurkan bangunan heritage.

6. Jokowi Pro Ekonomi Kerakyatan atau kapitalis?

Dalam berbagai kesempatan, Jokowi selalu mengatakan bahwa konsep pengembangan ekonomi yang dijalankannya adalah ekonomi berbasis kerakyatan. Dia ingin memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi pengembangan ekonomi masyarakat kelas bawah di Solo. Artinya dia berpihak kepada wong cilik yang jumlahnya relative lebih besar dibandingkan dengan jumlah orang kaya di Solo.

Sebagai bentuk pembelaan terhadap ekonomi kerakyatan, Jokowi selalu mengklaim telah merenovasi pasar-pasar tradisional yang terancam kolap karena ditinggalkan pembelinya. Ia juga mengaku membatasi kehadiran mall, supermarket dan pasar modern yang bisa mengancam eksistensi pasar-pasar tradisional.

Dalam rangka mengembangkan ekonomi kerakyatan, selama masa pemerintahan di tahun pertama, Jokowi sudah merelokasi 5.817 Pedagang Kaki Lima (PKL), memperbaiki 15 Pasar dari 37 Pasar Tradisional yang ada.

Kebijakan Jokowi jelas-jelas tidak anti mall dan anti investasi, namun Jokowi berpendapat sebelum Mall masuk, atau Investasi besar masuk, rakyat sudah mapan lahan bisnisnya, sudah mapan segala bentuk aksesnya sehingga rakyat tidak lagi kesulitan dalam menciptakan lahan pendapatan mereka. Jokowi memperkirakan bila akumulasi modal rakyat itu sudah kuat akan dengan sendirinya tercipta cluster-cluster bisnis yang tidak mengganggu antara satu dengan yang lainnya, antara ekonomi kerakyatan dan ekonomi bermodal raksasa. Keduanya harus ada keseimbagan.

Bagi Jokowi, ekonomi rakyat adalah yang utama dan pasar harus diletakkan dalam kerangka etalase pembangunan sebuah kota. Pasar harus bisa menempatkan dirinya menjadi showroom bagi Petani, Showroom bagi Nelayan dan Showroom bagi pengusaha-pengusaha kecil. Sehingga mereka bisa membangun daya kompetitifnya.

Jokowi selalu mengungkapkan, Pemerintah harus bisa melakukan pembentukan watak kompetitif pedagang, caranya ya harus konkret : Pasar disediakan, pedagang kecil diberi tempat gratis, biarkan mereka berkembang dan membayar retribusi lalu rakyat menciptakan pasarnya sendiri, ekonomi kesejahteraan berbasis rakyat kecil terselenggara, itulah kesetiaan Jokowi pada Pasal 33 UUD 1945. Bahwa Ekonomi disusun secara kekeluargaan dan tidak dilandasi saling memakan antara pemodal besar dengan orang yang lemah ekonominya. Tapi apa kenyataan yang terjadi?

Apa yang diungkapkan dengan yang dipraktekan kadang membang berbanding terbalik. Kenyataan yang terjadi, saat ini pembangunan ekomomi kerakyatan bisa dibilang gagal. Hal ini bisa dilihat dari angka kemiskinan yang terus meningkat, kampung kumuh masih terus tumbuh, jurang perbedaan antara yang kaya dan miskin semakin menganga.

7. Kegagalan wisata kuliner Galabo
Dalam hal kreatifitas Jokowi memang patut dipuji. Banyak program yang dia jalankan dalam rangka memajukan kota Solo. Hanya saja, banyak program yang tidak berjalan sesuai rencana karena factor manajemen dan pemeliharaan. Salah satunya adalah program wisata kuliner Gladag Langen Bogan yang lebih dikenal dengan Galabo.

Wisata kuliner malam hari yang berada di kawasan Gladag ini, dibuka pertama kali sejak 13 April 2008. Konsep awalnya, Jokowi ingin mengumpulkan menu-menu kuliner yang selama ini menjadi andalan di kota Solo dalam satu lokasi. Pengunjung yang datang dari luar kota maupun warga Solo sendiri tidak perlu repot-repot mencari lokasi untuk menemukan menu makanan favorit tersebut.

Pihak Pemkot Solo menyediakan gerobak dan semua peralatan lengkap. Sementara pedagang hanya tinggal buka saja. Sudah ada petugas yang secara khusus menyiapkan peralatan dan kemudian membereskan bila para pedagang sudah tutup. “Kami hanya menyiapkan dagangan yang mau kita jual,” kata Ety, salah satu pedagang di Galabo.

Awalnya wisata kuliner berkonsep outdoor ini memiliki 46 pedagang yang menjual 46 menu mulai dari nasi liwet, sate lilit, bebek goreng, ayam goreng dsb. Selama 50 hari pedagang dibebaskan dari segala macam pungutan. Sementara itu, pemkot juga serius mempromosikan kawasan ini dan sudah kerjasama dengan beberapa travel biro.

Semula tempat ini, mulai ramai dikunjungi. Namun entah kenapa jumlah pengunjung makin lama makin menurut. Ini tentu berdampak bagi pedagang. Pedagang yang semula berjumlah 76 orang, makin lama makin menyusut. Kini hanya tinggal 45 orang.

Beberapa pedagang juga mengalami penurunan omset penjualan. Seperti yang dialami Ety (54). Pedagang aneka minuman dan jus ini mengeluh sejak dua tahun terakhir dagangannya sepi. Kalau paa tahun pertama ia bisa mengantongi omset antara Rp 1-2 juta semalam, kini melorot drastic. “Mencari omset Rp 200 ribu saja sehari susah, untung saya masih jualan di rumah,” katanya.

Ety mengaku, penghasilannya berkurang sejak sejumlah pedagang di Galabo menyalahi aturan yang ditetapkan Pemerintah Kota (Pemkot) Solo. Setiap pedagang harusnya hanya menjual satu jenis dagangan. Namun, aturan tersebut hanya berjalan satu tahun saja. Saat ini, sejumlah pedagang mulai menjual lebih dari satu jenis dagangan.

Jadi, dagangan jus buah milik Etty sekarang sepi pembeli karena pedagang makanan juga ikut menjual jus buah. “Dulu kan sudah sepakat harus berjualan sesuai dengan yang didaftarkan ke pengelola. Kalau sesuai aturan, semua dagangan di Galabo akan laku,” katanya saat ditemui belum lama ini.

Kawasan Galabo memiliki dua akses masuk, yakni sisi barat dan sisi timur. Dalam perkembangannya, pintu masuk dari sisi barat lebih ramai karena berdekatan dengan Jalan Slamet Riyadi, jalan utama di Kota Solo. Gerobak dagangan Etty yang ada di sisi timur, semakin sulit menggaet pelanggan, sehingga pelanggannya tak seramai perdagang yang ada di sisi barat.

Bahkan, karena sepi pembeli, sejumlah pedagang Galabo yang berada di sisi timur gulung tikar. Karena sejumlah pedagang lain tutup, kini gerobak dagangan Etty berada di posisi paling timur, di antara deretan gerobak pedagang di kawasan Galabo. “Kalau saya mencoba bertahan meski jualannya sepi,” katanya.

Banyaknya pedagang yang tidak berjualan juga mebuat bagian timur terkesan gelap. Pengunjung pun akhirnya enggan berjalan hingga ke ujung paling timur. Pembeli paling cuma sampai tengah, lalu mereka balik ke arah barat, karena dagangan yang dijual di sisi timur juga tersedia di sisi barat.

Sudah tiga tahun ini kawasa wisata kuliner ini berjalan. Banyak fasilitas dan infrastruktur pendukung kawasan wisata malam itu pun sudah mulai rusak. Para pedagang mengeluhkan mengeluhkan sanitasi air yang sering mengeluarkan bau busuk.

Selain itu, sejumlah kran air bersih dan wastafel untuk cuci tangan pun sebagian besar rusak, bahkan ada yang hilang. Hasil inventarisasi yang dilakukan pedagang, setidaknya ada enam gerobak rusak, 30 lampu penerangan putus, 30 unit keran air hilang atau rusak, 12 wastafel hilang.

Sejumlah keruskan tersebut, kini telah diperbaiki Pemkot. Namun masalah utama belum terselesaikan, yakni bau busuk yang berasal dari saluran pembuangan dan sejumlah fasilitas wastafel yang rusak.

Wali Kota Solo Joko Widodo mengatakan, dilihat dari sudut pandang bisnis dan manajemen produk, Galabo kini membutuhkan sentuhan inovasi. Menurutnya, jika tidak dilakukan inovasi, makan sudah bisa dipastikan Galabo akan mengalami penurunan dari segi bisnis. Karena itulah, Galabo akan dibangun, dan dibuat berstandar internasional.

Pemkot Solo melalui Dinas Kesehatan akan melakukan sertifikasi makanan higienis pada seluruh pedagang di Galabo.Untuk menambah daya tarik wisatawan, juga akan dibangun panggung yang akan menjadi ikon baru di kawasan tersebut. Dari panggung tersebut, pengunjung bisa menikmati keindahan Galabo dari ketinggian dan menikati keindahan Beteng Vastenberg.

Selain itu, jalur pedestrian juga akan diperlebar. Proses penataan kawasan Galabo, diharapkan selesai pada 2012. Saat ini pun telah disusun Detail Engineering Desain (DED) penataan kawasan tersebut. Diperkirakan, proyek tersebut menghabiskan dana tidak lebih dari Rp 5 miliar “Kami kawatir kalau tidak dirawat dengan baik, nasibnya juga akan sama dengan proyek-proyek lain yang tidak kelas nasibnya,” kata Supriyanto, wakil ketua DPRD Kota Surakarta.

8. SOLO BERSERI SARAT KORUPSI

Solo Berseri Tanpa Korupsi. Inilah jargon yang menjadi andalan Jokowi ketika kampanye untuk memenangkan Pilkada Kota Surakarta hingga ia akhirnya tampil menjadi pemenang. Namun dalam prakteknya ternyata Solo Berseri Sarat Korupsi. Banyak kasus korupsi yang ditangan aparat penegak hukum selama Jokowi menjadi walikota Surakarta.

Jokowi memang sempat mendapatkan Bung Hatta Anti Coruption Award (ABHACA). Penghargaan ini seakan menjadi symbol bahwa dia benar-benar terbebas dari praktek korupsi selama menjabat sebagai walikota Solo.

Polrerta Surakarta setidaknya pernah melakukan penyelidikan tia kasus dugaan korupsi bernilai minyaran rupiah di lingkungan SKPD Pemkot Surakarta. Tiga kasus tersebut antara lain, pengadaa0n mesin Kir Kendaraan Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Solo, pembelian rumah dinas Wakil Walikota Solo dan pengadaan blangko identitas warga di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) Solo.

Dalam kasus pertama, pengadaan mesin uji kelayakan bermotor Dishub Kota Solo diduga menggunakan anggaran APBD Tahun 2002 sebesar Rp 1,9 milyar tanpa menggunakan aturan jelas dalam tender. Perkara ini mencuat kepermukaan menyusul adanya gugatan CV Sinar Toyasan kepada mantan Kepala Dinas Perhubungan ke Pengadilan Negeri (PN) Solo beberapa waktu.

Selain itu petugas juga mengusut kasus pengadaan rumah dinas Wakil Walikota Solo periode tahun 2005 yang terletak di Jalan Setyo Budi Solo. Saat pengadaan rumah dinas menelan anggaran APBD Tahun 2004 milyaran rupiah.

Kasus ketiga adalah pengusutan pengadaan blangko identitas warga seperti Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kutipan akte lahir di Dispendukcapil Kota Solo. Dalam kasus pengadaan barang di Dispendukcapil diduga terdapat penmyimpangan dalam pengadaan barang yang menghabiskan dana rakyat jumlahnya Rp 600 juta.

Sementara itu dari sebuah sumber yang layak di percaya, KPK sedang mengusut dugaan korupsi dalam pembelian restoran Omah Sinten milik Jokowi yang berada di \depan Mangkunegaran. Restoran ini dibeli setelah Jokowi menjabat walikota. Luas tanahnya 500 m2 dengan harga jual NJOP sekitar Rp 5 juta permeter.

Jokowi mempercayakan pengelolaan restoran Omah Sinten tersebut kepada kerabatnya, Slamet yang sama-sama pernah aktif di organisasi Asmindo (Asosiasi Mebel Indonesia). “Pak Jokowi resah karena rumah sinten mulai diselidiki KPK,” kata sumber tersebut.

Kasus Korupsi lain yang sedang diusut adalah penggunaan dana APBD untuk Persis Solo yang melibatkan Wawali FK Hady Rudiatmo. Sementara, dugaan korupsi juga disinyalir terjadi dalam pengelolaan dana rekening PPJU. Dugaan ini mencuat setelah Pemkot Solo menunggak rekening PPJU senilai Rp 8.9 milyar yang membuat PLN terpaksa memutus jaringan listrik penerangan jalan pada akhir tahun kemarin.

9. Jokowi Tak Peduli dengan Pembangunan Moral

Duet Jokowi dan FX Hady Rudiatmo selalu merasa bangga dan mengklaim telah membuat kota Surakarta lebih maju dengan pembangunan di segala bidang. Tapi pembangunan yang mereka kerjakan ternyata lebih bersifat fisik belaka. Pembangunan moral masyarakat nyaris tidak mendapat perhatian sama sekali. Kalau boleh menilai mereka tak mau menyentuh persoalan moral yang berkaitan dengan moral karena sangat sensitive karena dianggap menghidupi puluhan ribu orang.

Sejak menjadi walikota, Jokowi nyaris tidak pernah membuat statemen berkaitan dengan keberhasilannya mengurangi penyakit masyarakat. Angka kriminalitas makin tinggi, sementara solo juga menjadi syurga bagi dunia pelacuran.

Sungguh mempratinkan kini banyak perllaku negatit remaja Solo yang menjadi santapan lezat media. Mereka sering muncul di media cetak maupun elektronik, sebagai pelaku mabuk-mabukan, perjudian, criminal hingga seks bebas di ruang terbuka. Walikota atau setidaknya pejabat di Solo, tentu membaca berita banyaknya remaja yang terlibat dalam perilaku menyimpang tersebut. Anehnay tidak ada kebijakan Pemkot untuk mengatasi masalah tersebut.

Kota Solo dibawah Jokowi,memang makin layak disebut sebagai kota prostitusi. Makin menjadi Kota berseri dengan Prostitusi. Penutupan lokalisasi Silir, tidak membuat kegiatan pelacuran mereda. Yang terjadi jutru sebaliknya. Praktek pelacuran makin marak dan terjadi dimana-mana. Makin mudah diakses 24 nonstop. Semua jelis prostitusi ada di sini, mulai kelas jalanan, hingga yang beroperasi di salon dan panti pijat, rumah bordil hingga hotel.

Bahkan di dunia hitam ini, banyak melibatkan anak di bawah umur yang menjadi korban. Baik sebagai korban perdagangan manusia, maupun konsumen. Kalau ingin tahu keberadaan ******* di bawah umur, bisa survai langsung maupun Tanya pada tukang becak dan sopir taksi. Banyak tukang becak dan sopir taksi yang berprofesi ganda sebagai agen mucikari.

Tak hanya pelacuran, Solo ternyata menjadi kota yang bebas dengan miras. Setiap hari kegiatan mabuk-mabukan menjadi agenda rutin. Apalagi pada malam minggu bisa dilihat di banyak tempat dan kampung.

Menjadi pertanyaan besar, kenapa selama ini Jokowi dan FX Rudy seakan menutup mata dengan kegiatan pelacuran dan miras yang ada di Solo. Kenapa mereka terkesan diam dan tak mau menyelamatkan generasi muda agar tidak terjerumus di dalamnya?

Sudah bukan rahasia lagi, bahwa selama ini kehidupan dunia hitam di Solo sebenarnya tidak lepas dari kendali FX Rudi Hadiatmo. Di dalam dunia prostitusi dan criminal ada orang-orang binaan wakil walikota yang setiap saat siap menjalankan perintah apa saja. Mereka adalah orang-orang yang mudah digerakan. Untuk memelihara mereka cukup tidak diganggu sumber pancaharian yang berasal dari perdagangan manusia, miras dan narkoba.

Jokowi mungkin tidak sadar, pembiaran terhadap praktek pelacuran yang tidak terkontrol sama saja dengan membiarkan penyebaran PMS (penyakit menular seksual) yang juga kian tidak terkendli. Ini menjadi bom waktu yang kapan saja siap meledak.

Sang walikota yang banyak diidolakan tersebut, rupanya perlu mendengar laporan dari Pokja Penanggulangan HIV/AIDS yang menyebutkan bahwa penyebaran virus HIV/AIDS di kota Solo tergolong sangat cepat. Setiap bulan angka orang yang tertular virus ini terus meningkat. Sebagai gambaran dari September 2010 hingga Maret 2011 saja ada peningkatan hingga 15 persen. Pada bulan September 2010 baru mencapai 447 penderita, sementara di bulan Maret 2011 sudah bertambah 517 orang. Ini angka yang sangat mengerikan. “Parahnya, yang menderita bukan hanya PSK, tapi sudah menjalar ke ibu rumah tangga, mahasiswa dan bahkan pelajar,” kata Ketua Pokja Penanggulangan HIV/AIDS Kestalan, Beni Budi Susetyo, seperti pernah diberitakan Solopos.

Dari data Pokja tersebut, rata-rata pekerja seks yang sempat menjalani pemeriksaan kesehatan pada umumnya terkena IMS (Inveksi Menular Seksual) mulai yang ringan hingga yang berat, dari sekedar jamur, syphilis dan HIV. Kalau mereka dibiarkan terus tentu akan semakin banyak korban yang tertular penyakit kelamin tersebut. Nyatanya angka peningkatan HIV/AIDS terus terjadi.

Untuk dimengerti saja, seperti pernah diberitakan di berbagai media, pengelola program KPA Tommy Prawoto menyebut ada sekitar 10.000 orang yang masuk kelompok risiko tinggi IMS di kawasan Soloraya. Dari jumlah itu, 4.988 orang di antaranya bersedia mengikuti tes HIV/AIDS. Sementara yang lain masih enggan (SOLOPOS, 7/2011).

Sebagai catatan, jumlah PSK yang beroperasi di Solo memang terus mengalami peningkatan:

Agustus 2006–Des 2007 1.048

Agustus 2006–Des 2008 2.804

Agustus 2006–Feb 2009 2.995

//// Sumber : dari berbagai media di solo dan http://wongciliksolo.wordpress.com/ ////

Prestasi Jokowi di Jakarta Adalah Menjadikan Utang Luar Negeri Pemprov DKI Menumpuk

Hutang luar negeri Pemprov DKI Jakarta menumpuk. Total hutang untuk membiayai megaproyek mencapai Rp35 triliun. Dengan hutang tersebut, Jakarta sudah tergadai kepada asing. Tiap tahun Pemprov harus mengeluarkan dana ratusan miliar membayar cicilan hutang berikut bunganya.

Apalagi akan ada investari baru senilai 3,4 triliun yen untuk Rencana Induk Metropolitan Priority Area (MPA) hingga 2020 yang bersumber dari Japan International Cooperation Agency (JICA) yang dikemas dengan Public Private Partnership (PPP).

Pengamat ekonomi politik dari Indonesia for Global Justice (GJI), Salamuddin Daeng, menilai, Jakarta sebagai Ibukota telah “digadaikan” kepada asing. “Penggadaian itu dilakukan melalui utang luar negeri dan investasi,” jelas Daeng, kemarin.

Daeng mengakui hutang tersebut untuk membiayai berbagi proyek besar di Jakarta. Terutama untuk mengurai kemacetan, banjir dan lainnya. “Sayangnya, penyelesaian yang ditawarkan Gubernur DKI Jakarta atas masalah-masalah tersebut dilakukan dengan cara berutang kepada luar negeri, memberikan ruang yang teramat leluasa bagi masuknya modal asing, dan membuka keran impor untuk seluruh kebutuhan infrastuktur,”tandasnya.

Daeng mencontohkan kebijakan Pemprov DKI Jakarta mengimpor 656 unit Bus TransJakarta dan Bus Kota Terintegrasi Busway (BKTB) yang seluruhnya dari China. Untuk kepentingan tersebut Gubernur Jokowi meminta penghapusan pajak impor.

Tak hanya itu, kata Daeng, Pemprov juga telah membuat utang bagi perealisasian tiga mega proyek, yaitu Mass Rapid Transit (MRT) yang berutang kepada pemerintah Jepang, monorel yang pengerjaannya dipimpin China Communications Construction Company (CCCC) dan seluruh keretanya juga diimpor dari China, serta pengerukan 13 kali/sungai yang dananya dipinjam dari Bank Dunia. Total utang luar negeri DKI untuk membiayai ketiga proyek infrastruktur tersebut mencapai Rp35 triliun, dimana 1,5 miliar dolar AS (sekitar Rp16,5 triliun) di antaranya digunakan untuk pengerjaan proyek monorel.

“Yang lebih gila lagi, Pemprov DKI bahkan telah menetapkan Rencana Induk Metropolitan Priority Area (MPA) hingga 2020 yang dananya sebesar 3,4 triliun yen atau Rp394 triliun, bersumber dari Japan International Cooperation Agency (JICA) yang dikemas dengan Public Private Partnership (PPP),” imbuh Daeng.

Dari data, MPA akan dikerjakan secara keroyokan oleh sejumlah perusahaan raksasa dari Jepang seperti Mitsubishi Corporation, Chiyoda Corporation, JGC Corporation, Taisei Corporation, Tokyo Metro Co. Ltd, Hitachi Ltd, Metropolitan Expressway Company Limited, dan NYK Line. Bahkan konsultannya pun dari Jepang, seperti dari Nippon Koei Co. Ltd, Oriental Konsultan Co. Ltd, dan Mitsubishi Research Institute Inc.

Andi Baso M, Kepala Badan perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta mengaku tidak hapal secara detil. “Tolong tanyakan ke Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, agar valid,”katanya.

M.Sanusi, anggota DPRD DKI Jakarta, mengakui dalam APBD selalu ada pembayaran untuk cicilan hutang berikut bunganya. “Memang ada, tapi jumlahnya saya tidak tahu persis.”

//// poskotanews ////

SEKARANG INDONESIA "NKRI" AKANKAH TERGADAIKAN LAGI ke PIHAK ASING dan ACENG

Show more