2014-05-07

Tokoh Kunci Kejayaan Peradaban Islam

Tokoh Kunci Kejayaan Peradaban Islam
Pada masa Dinasti Abbasiyah, Kota Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan di dunia. Hal ini dipengaruhi oleh kepemimpinan Dinasti Abbasiyah yang memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan. 

Itu ditunjukkan dengan dukungan mereka terhadap gerakan pengkajian dan penerjemahan karya-karya agung terdahulu. Seperti, dari tamadun (peradaban) Yunani, Parsi, Hindi, dan Cina, khususnya dalam bidang sains, falsafah, ketabiban, astronomi, kimia, dan matematika.




Dari beberapa khalifah yang memerintah, terdapat tiga tokoh kunci (utama) yang berhasil menjadi legenda dunia ilmu pengetahuan pada Dinasti Abbasiyah. Ketiga tokoh tersebut adalah : 

Khalifah al-Manshur, 

Harun al-Rasyid dan 

Ma'mun Ar-Rasyid 

Khalifah al-Manshur Sang Pencetus "Aljabar"
Abu Jafar Abdullah bin Muhammad Al Mansur (712–775; Arab: ابو جعفر عبدالله ابن محمد المنصور) merupakan Khalifah kedua Bani Abbasiyah.
Ia dilahirkan di al-Humaymah, kampung halaman keluarga Abbasiyah setelah migrasi dari Hejaz pada tahun 687-688. Ayahnya adalah, Muhammad, cicit dari Abbas; ibunya bernama Salamah al-Barbariyah, adalah wanita dari suku Barbar.
Ia dibaiat sebagai khalifah karena penobatannya sebagai putera mahkota oleh kakaknya, As-Saffah pada tahun 754, dan berkuasa sampai 775. Pada tahun 762 ia mendirikan ibukota baru dengan istananya Madinat as-Salam, yang kemudian menjadi Baghdad.


al-Mansur tersangkut dengan kerasnya masa pemerintahannya setelah kematian saudaranya al-'Abbas. Pada 755, ia menyusun pembunuhan Abu Muslim, jenderal yang telah memimpin pasukan al-'Abbas menang terhadap keluarga Umayyah dalam perang saudara ke-3. Ia berusaha memastikan bahwa keluarga Abbasiyah ialah yang tertinggi dalam urusan negara, dan kedaulatannya atas Khilafah akan tak diragukan lagi.

Ia menyatakan, sebagaimana yang telah ditempuh Khilafah Bani Umayyah, menyelenggarakan otoritas keagamaan dan keduniawian. Secara lebih lanjut mengasingkan Muslim Syi’ah yang telah terjadi, selama masa pemerintahan al-'Abbas, menginginkan Imam Syi’ah mengangkat khalifah.

Selama masanya, karya sastra dan ilmiah di Dunia Islam mulai muncul dalam kekuatan penuh, didukung toleransi terhadap orang-orang Persia dan kelompok lain. Walau Khalifah Bani Umayyah Hisyam bin Abd al-Malik telah mengambil praktik peradilan Persia, itu tak sampai masa al-Mansur jika sastra dan ilmu pengetahuan Persia sampai mendapat penghargaan yang sebenarnya di Dunia Islam. Munculnya Shu'ubiya di antara sarjana Persia terjadi selama masa pemerintahan al-Mansur sebagai akibat hilangnya sensor atas Persia. Shu'ubiya merupakan gerakan sastra antara orang Persia yang menunjukkan kepercayaan mereka bahwa seni dan budaya Persian lebih tinggi daripada Arab; gerakan, membantu mempercepat munculnya dialog Arab-Persia di abad ke-8.

Barangkali yang lebih penting daripada munculnya ilmu pengetahuan Persia ialah masuknya banyak orang non-Arab ke dalam Islam. Secara aktif Bani Umayyah mencoba mengecilkan jumlah masuknya agar melanjutkan pungutan jizyah, atau pajak terhadap non-Muslim. Keinklusifan Bani Abbasiyah, dan bahwa al-Mansur, memandang ekspansi Islam di antara daerahnya; pada 750, sekitar 8% penduduk Negara Khilafah itu Muslim. Ini menjadi 2 kali lipat 15% dari akhir masa al-Mansur.

Al-Mansur meninggal pada 775 dalam perjalanannya ke Makkah untuk berhaji. Ia dimakamkan entah di mana di sepanjang jalan dalam salah satu ratusan nisan yang telah digali untuk menyembunyikan badannya dari orang-orang Umayyah. Ia digantikan putranya al-Mahdi.

Khalifah al-Manshur Sang Pembangun Peradaban
Harun Ar-Rasyid (786-809 M) adalah khalifah kelima Daulah Abbasiyah. Ia dilahirkan pada Februari 763 M. Ayahnya bernama Al-Mahdi, khalifah ketiga Bani Abbasiyah, dan ibunya bernama Khaizuran.

Masa kanak-kanaknya dilewati dengan mempelajari ilmu-ilmu agama dan ilmu pemerintahan. Guru agamanya yang terkenal pada masa itu adalah Yahya bin Khalid Al-Barmaki.

Harun Ar-Rasyid diangkat menjadi khalifah pada September 786 M, pada usianya yang sangat muda, 23 tahun. Jabatan khalifah itu dipegangnya setelah saudaranya yang menjabat khalifah, Musa Al-Hadi wafat. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Harun Ar-Rasyid didampingi Yahya bin Khalid dan empat putranya.

Daulah Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, seorang khalifah yang taat beragama, shalih, dermawan, hampir bisa disamakan dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah. Jabatan khalifah tidak membuatnya terhalang untuk turun ke jalan-jalan pada malam hari, tujuannya untuk melihat keadaan rakyat yang sebenarnya. Ia ingin melihat apa yang terjadi dan menimpa kaum lemah dengan mata kepalanya sendiri untuk kemudian memberikan bantuan.

Pada masa itu, Baghdad menjadi mercusuar kota impian 1.001 malam yang tidak ada tandingannya di dunia pada abad pertengahan. Daulah Abbasiyah pada masa itu, mempunyai wilayah kekuasaan yang luas, membentang dari Afrika Utara sampai ke Hindukush, India. Kekuatan militer yang dimilikinya juga sangat luar biasa.

Khalifah Harun Ar-Rasyid mempunyai perhatian yang sangat baik terhadap ilmuwan dan budayawan. Ia mengumpulkan mereka semua dan melibatkannya dalam setiap kebijakan yang akan diambil pemerintah. Perdana menterinya adalah seorang ulama besar di zamannya, Yahya Al-Barmaki juga merupakan guru Khalifah Harun Ar-Rasyid, sehingga banyak nasihat dan anjuran kebaikan mengalir dari Yahya. Hal ini semua membentengi Khalifah Harun Ar-Rasyid dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam.

Pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid, hidup juga seorang cerdik pandai yang sering memberikan nasihat-nasihat kebaikan pada Khalifah, yaitu Abu Nawas. Nasihat-nasihat kebaikan dari Abu Nawas disertai dengan gayanya yang lucu, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Khalifah Harun Ar-Rasyid.

Suasana negara yang aman dan damai membuat rakyat menjadi tenteram. Bahkan pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid sangat sulit mencari orang yang akan diberikan zakat, infak dan sedekah, karena tingkat kemakmuran penduduknya merata. Di samping itu, banyak pedagang dan saudagar yang menanamkan investasinya pada berbagai bidang usaha di wilayah Bani Abbasiyah pada masa itu. 

Setiap orang merasa aman untuk keluar pada malam hari, karena tingkat kejahatan yang minim. Kaum terpelajar dan masyarakat umum dapat melakukan perjalanan dan penjelajahan di negeri yang luas itu dengan aman. Masjid-masjid, perguruan tinggi, madrasah-madrasah, rumah sakit, dan sarana kepentingan umum lainnya banyak dibangun pada masa itu.

Khalifah Harun Ar-Rasyid juga sangat giat dalam penerjemahan berbagai buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. Dewan penerjemah juga dibentuk untuk keperluan penerjemahan dan penggalian informasi yang termuat dalam buku asing. Dewan penerjemah itu diketuai oleh seorang pakar bernama Yuhana bin Musawih.

Bahasa Arab ketika itu merupakan bahasa resmi negara dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan bahkan menjadi alat komunikasi umum. Karena itu, dianggap tepat bila semua pengetahuan yang termuat dalam bahasa asing itu segera diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Khalifah Harun Ar-Rasyid meninggal dunia di Khurasan pada 3 atau 4 Jumadil Tsani 193 H/809 M setelah menjadi khalifah selama lebih kurang 23 tahun 6 bulan. Seperti ditulis Imam As-Suyuthi, ia meninggal saat memimpin Perang Thus, sebuah wilayah di Khurasan. Saat meninggal usianya 45 tahun, bertindak sebagai imam shalat jenazahnya adalah anaknya sendiri yang bernama Shalih.

Daulah Abbasiyah dan dunia Islam saat itu benar-benar kehilangan sosok pemimpin yang shalih dan adil, sehingga tak seorang pun yang teraniaya tanpa diketahui oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid dan mendapatkan perlindungan hukum yang sesuai.

Khalifah Ma'mun Ar-Rasyid
Al-Ma'mun ar-Rasyid (bahasa Arab: المأمون الرشيد) (lahir 14 S(depieptember 786 atau 15 Rabiul Awal 170 H dan meninggal pada 9 Agustus 833) bergelar Abu al-Abbas dengan nama asli Abdullah bin ar-Rasyid bin al-Mahdi adalah seorang khalifah Bani Abbasiyah yang berkuasa pada tahun 813 sampai 833, ia meninggal pada usia 48 tahun. Al-Ma'mun adalah putera dari putra dari Khalifah Harun Ar-Rasyid dan saudara dari khalifah sebelumnya Al-Amin.

Ketiganya menggelorakan semangat para penuntut ilmu untuk mendalami berbagai ilmu pengetahuan dengan dukungan sarana dan prasarana yang sangat memadai. Karena, banyak sarjana dari berbagai belahan dunia, menuntut ilmu pada masa pemerintahan ketiga tokoh ini.

Khalifah al-ManshurAbu Jafar Abdullah bin Muhammad al-Mansur (712-775 M) merupakan khalifah kedua Bani Abbasiyah. Ia dilahirkan di al-Humaymah, kampung halaman keluarga Abbasiyah setelah bermigrasi dari Hijaz pada 687-688. 

Ayahnya bernama Muhammad, cicit dari Abbas. Ibunya bernama Salamah al-Barbariyah--wanita dari suku Barbar. Ia dibaiat sebagai khalifah karena penobatannya sebagai putra mahkota oleh kakaknya, As-Saffah, pada tahun 754 dan berkuasa sampai 775. 

Pada 762, ia mendirikan ibu kota baru dengan istananya Madinat as-Salam, yang kemudian menjadi Baghdad. Selama kepemimpinannya, banyak bermunculan aneka karya sastra di dunia Islam. Ia juga mendukung toleransi dengan orang-orang Persia dan kelompok lain.

Al-Mansur meninggal pada 775 M dalam perjalanannya ke Makkah untuk berhaji. Dan, ia digantikan oleh putranya yang bernama al-Mahdi.

Khalifah Harun al-RasyidHarun al-Rasyid lahir di Rayy pada tahun 766 M dan wafat pada 24 Maret 809 di Thus, Khurasan. Harun al-Rasyid adalah kalifah kelima dari Kekhalifahan Abbasiyah dan memerintah antara tahun 786-809 M. 

Ayahnya bernama Muhammad al-Mahdi, khalifah yang ketiga. Kakaknya, Musa al-Hadi adalah khalifah yang keempat. Ibunya, Jurasyiyah, dijuluki Khayzuran dan berasal dari Yaman.

Meski berasal dari Dinasti Abbasiyah, Harun al-Rasyid dikenal dekat dengan keluarga Barmaki dari Persia (Iran). Di masa mudanya, Harun banyak belajar dari Yahya ibn Khalid al-Barmak.

Era pemerintahan Harun hingga al-Ma'mun, dikenal sebagai masa keemasan Islam (The Golden Age of Islam). Saat itu, Baghdad menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dunia.

Sepeninggalnya, pemerintahan dipimpin oleh putranya yang bernama Muhammad bin Harun al-Amin dan lebih dikenal dengan al-Amin. Ia memerintah tahun 809-813 M.

Khalifah al-Ma'munKhalifah al-Ma'mun al-Rasyid, lahir pada 14 September 786 M (15 Rabiul Awal 170 H) dan meninggal pada 9 Agustus 833 M. 

Ia bergelar Abu al-Abbas dengan nama asli Abdullah bin al-Rasyid bin al-Mahdi. Ia meneruskan Dinasti Abbasiyah setelah saudaranya, al-Amin, wafat pada 813 M. Ia memerintah dari tahun 813-833 M. Dan, ia meninggal dalam usia 48 tahun.

Ayahnya adalah Khalifah Harun al-Rasyid. Sedangkan ibunya adalah seorang bekas budak yang bernama Murajil. Lantaran sang ibu bukan dari keturunan Abbasiyah, pada 802 M sang ayah mewariskan singgasana kekhalifahan kepada putranya yang lain bernama al-Amin. 

Sedangkan, al-Ma'mun ditunjuk sebagai gubernur Khurasan dan akan menjadi khalifah setelah al-Amin. Setelah sang ayah wafat pada 809 M, hubungan dua saudara berlainan ibu itu memburuk.

Konflik semakin memburuk setelah al-Amin yang menjadi khalifah memecat al-Ma'mun dari posisi gubernur Khurasan. Al-Amin menunjuk putranya untuk menggantikan posisi pamannya di Khurasan. 

Al-Ma'mun menganggap keputusan itu sebagai pelanggaran terhadap wasiat sang ayah, Harun al-Rasyid. Keduanya lalu berperang. Dengan bantuan pasukan Khurasan pimpinan Tahir bin Husain, al-Ma'mun berhasil mengalahkan kekuatan al-Amin.

Khalifah al-Ma'mun dikenal sebagai figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas yang cemerlang. 

Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Kemampuan dan kesuksesannya mengelola pemerintahan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah peradaban Islam.

Berkat inovasi dan gagasannya yang brilian, Baghdad sebagai ibu kota Abbasiyah, menjadi pusat kebudayaan dunia. Seperti ayahnya, Harun al-Rasyid, al-Ma'mun juga mencintai ilmu pengetahuan. 

Perpustakaan Baitul Hikmah yang didirikan Khalifah Harun al-Rasyid dikembangkan menjadi sebuah lembaga pendidikan yang mampu menghasilkan ilmuwan Muslim terkemuka di dunia melalui madrasah-madrasah Nizhamiyah.

Usaha penerjemahan karya agung dari tamadun-tamadun terdahulu sekaligus telah meletakkan bahasa Arab sebagai bahasa ilmu dunia. 

Dengan demikian, memberi peluang kepada umat Islam mendekati karya-karya ini, dengan mengharmonikan falsafah-falsafah ilmu yang terdapat dalam peradaban ini dengan ajaran agama Islam. 

Maka, lahirlah para ilmuwan Islam yang bukan sekadar alim dalam ilmu fardhu'ain. Mereka juga arif tentang ilmu-ilmu fardhu kifayah. Nama-nama, seperti al-Farabi, al-Biruni, al-Kindi, al-Ghazali, Ibn Sina, Ibn Baitar, Ibn Nafis, Ibn Rushd mewakili ilmuwan Islam yang mahir dalam ilmu agama dan pakar dalam ilmu mereka masing-masing.

Di era kepemimpinannya, Kekhalifahan Abbasiyah menjelma sebagai adikuasa dunia yang sangat disegani. Wilayah kekuasaan dunia Islam terbentang luas mulai dari Pantai Atlantik di Barat hingga Tembok Besar Cina di Timur. 

Dalam dua dasawarsa kekuasaannya, sang khalifah juga berhasil menjadikan dunia Islam sebagai penguasa ilmu pengetahuan dan peradaban di dunia.

Kehebatan mereka tidak sekadar pada ilmu yang ada di dada. Malah mereka memperturunkan ilmu melalui pelbagai penulisan kitab yang menjadi khazanah ilmu bagi umat Islam hingga hari ini. 

Selain itu, karya mereka juga telah dimanfaatkan oleh bangsa Eropa sehingga mereka berjaya dan muncul sebagai bangsa yang menguasai ilmu.

Show more